Esteban dan Rodriguez

9. Esteban dan Rodriguez

D ua orang sepupu itu sudah bersepakat untuk m elarikan diri.

Mereka sudah bosan pada dinasnya. Mereka bermaksud hendak m ewujudkan impian lam a: mengem barai N usantara sebagai orang bebas, melihat negeri-negeri kafir dan penduduknya yang m asih perbegu.

D ua orang itu adalah pemuda-pemu da Portugis keturunan Spanyol, Esteban del Mar dan Rodriguez D ez.

D ua-duanya kanonir, penembak meriam pada kapal Peranggi.

Berita kemenangan -kemenangan Portugis di seluruh perm ukaan bumi, penemuan negeri-negeri baru jauh-jauh di seberang lautan yang tak terduga, kekayaan yang datang berlim pahan, telah mem anggil pemuda-pemuda Portugis, meninggalkan

masing-masing untuk menggabungkan diri dengan armada-armad a yang akan berangkat belayar meneruskan Perang Salib di seberang lautan.

desanya

Juga Esteban del Mar dan Rodriguez D ez. Mereka tak mampu menolak godaan kebesaran dan kemenangan dan harta-henda dan kemasyhuran ini. Mereka tinggalkan juga ladang mereka diperiuaran kota Lisboa dan mendaftarkan diri. D an mereka tak perlu kembali ke ladang seperti yang lain-lain. Mereka diterima setelah menyodorkan uang sogokan.

Mu lailah keduanya bekerja sebagai awak kapal kemudian meningkat jadi kanonir, menga rungi samudra, menaklukkan

negeri-negeri, meneggelamkan kapal saudagar-saudagar asing beserta isinya ke dasar laut. Tak

ada di antara kapal-kapal dari berbagai negeri itu mampu melawan. D engan meriam segala yang nam pak di laut dan di pesisir bisa dihembusnya dari permukaan bumi.

Mereka pun ikut serta dalam perang laut di Teluk Parsi melawan arm ada gabungan negeri-negeri Islam yang

dipimpin oleh laksamana Mesir itu, dan menang dengan mu dah. Sejak itu tak ada perlawanan lagi terhadap Portugis.

Portugis penguasa dunia! D an mereka berdua bangga menjadi putra bangsa yang besar, ditakuti seluruh dunia itu.

Ia senang m elihat kapal-kapal asing yang buyar berlarian bila melihat salib raksasa yang tergam bar pada layar. Mereka itu laksana tikus melihat kucing. Tangan mereka Ia senang m elihat kapal-kapal asing yang buyar berlarian bila melihat salib raksasa yang tergam bar pada layar. Mereka itu laksana tikus melihat kucing. Tangan mereka

Tetapi kebesaran dan kebanggaan, kepahlawanan dan pengembaraan semacam itu, kehidupan tanp a perubahan, lama kelam aan mem bosankan mereka juga. Kejemuan setiap hari di tengah laut merindukan mereka pada sesuatu yang Iain. Selingan yang menyenangkan hanya sebentar saja terjadi: sementara kapal mendarat. Mereka dap at melihat-lihat negeri yang ditaklukkan, menampilkan diri sebagai pemenang tanpa lawan, mendapatkan segala yang mereka kehendaki. Selebihnya hanya laut dan laut saja di keliling mereka, dan kapal-kapal mu suh yang melarikan diri, dan langit, dan bintang-bintan g di malam hari, dan badai di hari-h ari sial. Mereka tak dapatkan apa yang mereka rindukan belakangan ini: kebebasan dan kesenangan yang tak terbatas.

Akhir-akhir hidup yang sesungguhnya adalah di daratan, mereka mem utuskan. D i laut tak ada yang mereka dap at

kutip kecuali bila diadakan pencegatan dan peramp asan kapal. Tapi di darat! Segala-galanya ada di sana. D ada selalu dap at menggelembung dengan kebanggaan sebagai putra Portugis yang jaya, bangsa pemenang, kawula raja pemenang, awak kapal pemenang, di atas daratan taklukkan! Pribumi pada menyingkir bila pemenang lewat. Orang mengangguk mengiakan dan menyilakan bila pemenang menudingkan telunjuk pada sesuatu dan setiap baran g.

D an setiap kali menginjak bum i kafir, bergemalakan nam a Jesus dalam hati: daratan ini akan segera diterangi oleh ajaran Isa Almasih.

Kebanggaan seperti itu akhirnya tak mem uaskan juga.

D ada pun jenuh dengan kebesaran. Mereka mengh endaki D ada pun jenuh dengan kebesaran. Mereka mengh endaki

Tertarik oleh cerita yang menyebar ke mana-m ana sejak orang tua-tu a dulu, yang mungkin mendengam ya dari

orang-orang Moro atau Sephari, mereka berdua mem buat persepakatan untuk mengelanai N usantara. Untuk itu jalannya hanya satu: melarikan diri dan punya perahu sendiri.

Im am kapal, Mario Fasetti, oran g Italia itu, tak bosan- bosan mengu langi pesan dalam khotbah -khotbah nya, ‘Jangan masuki daerah kafir tanpa perintah, karena kalian akan m embawakan kabar duka, bukan suka. Tak ada terang Allah di setiap jengkal tanah kafir.’ Pesan itu malah diulangi beberapa kali dalam sekali khotbah, setelah ketahuan ada awak kapal yang melarikan diri, dan tak kembali pada kesatuan, atau kembali sebagai tangkapan.

Tetapi awak kapal yang lari itu dan tak tertangkap lagi, mereka tak bakal mu ncul, bertahun-tahun, dan kembali ke tanahair, berpindah ke kota lain, mem bawa harta-benda dan cerita-cerita indah , benar dan bohong juga nyanyian baru, yang menyebabkan mereka jadi tersohor.

Mem ang benar sebagian terbesar pelarian itu hilang untuk selam a-lam anya dan dilupakan oran g. Itu semua orang tahu. D an itu pun sudah jadi bea kebebasan. Maka Esteban del Mar dan Ro griguez D ez tak ambil peduli.

Semua mem ang ada risikonya. Mereka ingin juga jadi kaya dan tersohor sekaligu s.

Setelah Portugis di bawah Alfon so d’Albuquerque mengu asai Malaka dan tinggal beberapa bulan di sana untuk melakukan penataan kembali kehidupan baru di bawah sang salib, mereka berdua giat mem pelajari bahasa Melayu dari pendudu k Tanpa bahasa itu mereka takkan mu ngkin dapat berdiri sendiri.

Pada seorang Pribumi mereka mem esan agar dibuatkan sebuah perahu layar yang ramping menurut petunjuk mereka sendiri. Setelah jadi, perahu layar kecil itu mereka sembunyikan di sebuah ceruk beberapa belas kilom eter di selatan bandar, di bawah penjagaan si pembikinnya.

Sedikit demi sedikit ditimbunnya barang keperluannya di dalam perahu itu: terigu, keju, mentega, arak – semua diperolehnya dari gud ang perbekalan di bandar Malaka.

Menjelang D esember 1512, waktu Portugis menyiapkan arm ada untuk menuju ke Maluku, mereka berdua melarikan diri. M ereka berhasil menggond ol musket dengan mesiu, teropong, peta dan alat tuhs-menulis.

Tak sulit mereka mendap atkannya. D an itu pun secara kebetulan pula. W aktu itu beberapa orang serdadu yang sedang berdinas jaga sedang berpesta-pora mengh abiskan arak curian. Mereka berdua menyertainya berdasarkan undangan gelap dengan hanya lambaian tangan. D an mereka pergunakan kesemp atan ini.

Melihat yang lain-lain sudah pada menggeloyor tanpa daya dalam kemabokan, Esteban dan Rodriguez masuk ke dalam kantor dan menggodol apa saja yang dap at diambil.

Mereka lari ke selatan, turun ke atas perahu layarnya, mengem bangkan layar dan berangkat. Belum pernah Mereka lari ke selatan, turun ke atas perahu layarnya, mengem bangkan layar dan berangkat. Belum pernah

D ari pengetahuan sejak di negeri sendiri mereka sudah tahu : di dunia ini tak ada bangsa kafir yang memiliki senjata am puh kecuali Portugis, mu sket dan meriam dengan gaya ledak tinggi. Mu sket ada pada mereka. D an mereka tak perlu merasa kuatir terhadap bajak laut. Pedang dan tom bak para pembajak pasti akan temyata melengkung berhadapan dengan mu sket. Mereka berhati besar. Tak akan ada yang m enghalangi pelayaran m ereka.

Mereka tahu juga: kapal dagang Pribumi tak pernah berubah jadi kapal bajak. D an kapal-kapal perang Pribumi, yang segera nam pak dari kejauhan karena lubang-lubang pendayung pada sepanjang lambung kapal, juga tidak berbahaya selam a tidak diganggu terlebih dahulu. Mereka berbahaya karena cetbangnya, tapi tak pernah menem bak tanp a alasan. Pendeknya tak bakal ada sesuatu yang mengh alangi pelayaran m ereka.

Mereka bergantian tidur, mengem udi dan masak. Mereka menyinggahi bandar-bandar kecil, sepanjang

pantai Sum atra untuk mendapatkan kelapa dan daging dan air minum dan sayur-mayur dan buah-buahan. Di mana

pun tak ada yang mengganggu. W alau sekecil-kecilnya bandar kebebasan berniaga terjamin. Setiap orang boleh mendarat dan berjual beli dengan bebas. D an bandar- bandar itu selalu bersaing satu dengan yang lain untuk menjadi persinggahan rempah-rempah.

D i setiap bandar segera dua orang petualang itu m enjadi kerum unan orang banyak. Kulit mereka, wajah m ereka dan bahasa mereka yang aneh, segera menarik perhatian. D an D i setiap bandar segera dua orang petualang itu m enjadi kerum unan orang banyak. Kulit mereka, wajah m ereka dan bahasa mereka yang aneh, segera menarik perhatian. D an

Mereka telah menyinggahi bandar Ban ten, Sunda Kelapa, Cimanuk Tegal, Pekalongan, Semarang dan

akhimya berlabuh di bandar Jepara. Bandar ini tidak begitu besar, buruk, tapi lain daripada

yang lain, pikir mereka. Di sini bukan saja ada keistimewaan dan kekhususan, malah keluarbiasaan.

G alangan-galangan besar berdiri megah mem bikin kapal- kapal, sama besarn ya dengan kapal negerinya sendiri, Portugis. Bahkan sebuah di antaranya lebih besar. Kapal perang! Jelas nam pak dari lubang-lubang lambung tempat mengayuh. Layar-layar kuning dari sutra terbeber di tanah dan sedang dijahit. Agak lama mereka awasi kapal terbesar yang sedang dilepa dengan adonan dengan minyak kelapa itu. Ingin mereka naik ke atas dan melihat-iihat susunannya. Isyarat dari banyak tangan menyebabkan mereka menyingkir m enghindar.

D an yang mereka herani, hampir-h ampir tak ada perdagangan di sini. Yang ada hanya pekerja-pekerja yang sibuk dan bergegas-gegas seakan besok takkan ada hari baru lagi.

Juga di bandar Jepara tak ada yang m engganggu mereka.

Bunyi logam yang di tempat menyebabkan mereka tergoda untuk menyaksikan bagaiman a Pribumi mem bikin perabot. Mereka mem asuki bengkel pembuatan cetbang. Mereka mencoba bertanya apa saja yang sedan g mereka buat. Pandai-pandai Biam bangan temyata tak mengerti Melayu. Mereka mem bisu, bahkan melambaikan tangan menyuruh pergi

Esteban dan Rodriguez pergi, tetapi datang lagi untuk mengh erani benda yang sedang dibuat itu. Ro driguez menebak, itulah meriam Pribumi. D an Esteban tertawa terbahak melihat pada larasnya yang tipis bergelang-gelang dan kamar-ledaknya yang segede buah kelapa.

“Meriam boneka yang baik hanya untuk melontarkan gom bal!” seru Rodriguez.

Tertawa mereka tak dap at ditahan. D an itulah yang menyebabkan beberapa orang Pribumi merasa tersinggung. Tetapi karena bandar Jepara juga bandar bebas, di mana setiap oran g dapat bebas bergerak, asing atau Pribumi, tak ada orang dapat dipeisalahkan hanya karena tertawa.

Tetapi orang-orang Pribumi, yang temyata pejabat- pqabat penting itu. mempersembahkan datangnya dua orang kulit putih itu pada seorang punggawa. Kebetulan Adip ati Unus Jepara sedang mengh adap ayahandanya. Hanya punggawa itu saja pejabat tertinggi di Jepara.

Maka terjadilah sebagaimana dilihat oleh Wiran ggaleng. Esteban dan Ro driguez D eez melarikan diri dalam

kejaran para prajurit. Hanya karena tingginya kewaspadaan menyebabkan mereka bisa selam at mencapai perahunya dan meneruskan pelayaran ke tunur.

Malam itu mereka berada di tengah laut. Sebelum salah seorang tidur bersama-sama mereka mengu capkan puji Malam itu mereka berada di tengah laut. Sebelum salah seorang tidur bersama-sama mereka mengu capkan puji

D engan sinar lilin mereka melihat pada peta, yang disalin dan sebuah kapal Parsi yang mereka rampas kemudian mereka tenggelamkan. D an awak kapal itu kemudian mereka jual di Mesir.

D an pada suatu pagi berm endung m asuklah perahu layar langsung itu ke bandar Lao Sam. Pelabuhan itu kecil dan mu ngil dilindun gi oleh bukit-bukit terselaputi mendun g, nam un kelihatan ramah dan mem bentangi bandar dari badai.

D an betapa terkejut mereka mengetah ui penduduk bandar itu bukan P ribumi. Semua orang Tionghoa, berm ata sipit dan berkuncir. Satu-dua Pribumi nampak berjalan mo ndar-mandir tiada bekerja.

Aturan di bandar ini lain, keras, dan mem ang bukan bandar bebas. Setiap perahu pendatang diperiksa sebelum orangn ya mendarat. Pengalam an baru ini

tak menyenangkan mereka. Selama belayar menyusuri

sepanjang Sum atra dan Jawa tak pernah orang mem perlakukan demikian. Begitu perahu mereka terpancang pada patok derm aga atau cerocok takkan ada orang datang menjenguk untuk mengintip mu atan. Orang mem biarkan mereka mendarat, pedagang-pedagang

berebutan untuk menjual atau mem beli baran g. Orang pun takkan m enghalanginya bila m ereka langsun g pergi ke pasar pelabuhan . D i Lao Sam lain yang terjadi.

Tiga orang Tionghoa, bercelana dan berbaju serba putih, dengan topi di atas kuncimya, juga berwarna putih. Mereka semua bersenjata penggada kayu berbentuk blimbingan.

Esteban tak mengerti bahasa mereka. Rodriguez juga tidak. Pada mu lanya mereka berdua disuruh mendarat.

Salah seorang di antara mereka berdua menolak untuk disuruh mendarat. Salah seorang di antara yang tiga mem anggil teman -temannya.

D alam waktu pendek derm aga itu telah penuh dengan

orang. Semua mem perlihatkan sikap yang m engancam.

Untuk menyelamatkan perahu dan mu atan agar tidak ditenggelamkan mereka naik ke derm aga, mengikuti tiga orang itu.

Mereka dibawa masuk ke dalam sebuah rumah besar berlantai batu gunung dan diperintah kan menunggu. Tiga orang itu masih tetap menjaganya, seakan mereka orang tangkapan.

Esteban dan Ro driguez mendapat tempat duduk pada sebuah bangku panjang. Penjaga-penjaga itu berdiri.

D ua jam kemu dian m ereka diperintahkan masuk lebih ke dalam lagi, di sebuah ruangan dengan perabot kayu. Tidak kurang dari tujuh orang telah duduk atau berdiri menunggu mereka dengan sikap seram , lebih seram lagi karena mata mereka berubah, seperti terbuat daripada kayu. Mereka berpakaian wama-warni, dan semua mem bawa kipas pada tangannya, sekalipun tidak dipergunakan. Mereka mengenakan pakaian seperti jubah, semua dari sutra, dengan lengan tangan lebar.

Seorang yang gemuk, berkumis dan berjenggo t panjang tipis tergantung, menan yainya dalam Melayu.

Esteban tak dap at menan gkap bahasanya. Ro driguez juga tak mengerti. Kata itu diucapkan begitu aneh pada perasaan mereka. Rodriguez D ez menatap Esteban dengan pandang bertanya. Esteban menggeleng. Bersam a-sama mereka mem andangi orang gemuk di hadapan itu, dan orang itu mengangkat alis. Esteban tidak dapat menah an tawanya m endengar orang gemuk itu bicara lagi. D an orang Esteban tak dap at menan gkap bahasanya. Ro driguez juga tak mengerti. Kata itu diucapkan begitu aneh pada perasaan mereka. Rodriguez D ez menatap Esteban dengan pandang bertanya. Esteban menggeleng. Bersam a-sama mereka mem andangi orang gemuk di hadapan itu, dan orang itu mengangkat alis. Esteban tidak dapat menah an tawanya m endengar orang gemuk itu bicara lagi. D an orang

Orang gemuk itu sekarang bicara pada para pengapitnya. Suara mereka ram ai, tetapi badan mereka seakan-akan terbuat dan kayu seluruhnya, nampak sangat sulit untuk digerakkan.

Esteban merasa seperti sedang menonton suatu pertunjukan aneh, Tawanya meledak tak terkendalikan. Ro driguez juga m erasa diundang untuk tertawa.

Percakapan terpaksa dihentikan.

D ari dalam rumah mu ncul seorang Tionghoa lain, wajahnya tanp a kumis dan tanpa jenggot. Ia tidak mengenakan jubah tetapi bercelana dan berbaju longgar, tanp a topi, kakinya berkasut. Pakaiannya dari sutra dan nam pak terawat baik. Ia berjalan langsung mendapatkan yang gem uk dan mem beri hormat. Suatu pembicaraan telah terjadi. Orang baru itu bicara tenang. Si gemu k menganggu k-angguk

Orang baru yang langsing itu berpaling pada Esteban dan Ro driguez, mengawasi mereka tajam-tajam, dan terjadilah yang sama sekali mereka tak duga: “Kalian orang Portugis mem ang pongah!” tuduhnya dalam bahasa Portugis. Esteban dan Rodriguez tak dapat menyembunyikan

kejutnya. “Kau bisa Portugis?” Rodriguez D ez bertanya. “D emi keselam atan kalian sendiri, lepaskan kepongahan

itu,” katanya tanpa perubahan nada, datar, tanpa tekanan. “jangan kalian lupa, tak ada seorang pun suka pada Portugis di sini.”

Matanya yang sipit menusuk mereka seakan hendak merabai pikiran yang tersembunyi dalam kepala mereka.

Esteban mencoba mem perlihatkan keunggulan bangsanya dengan tawa kecil merem ehkan.

“Baik. Terserah pada kalian bagaiman a hendak bersikap. Aku hanya memperingatkan . Itu pun kalau orang Portugis mengerti artinya nasihat.”

“Kau penterjemah?” Esteban bertanya. “Pemeriksa kalian.” “Pemeriksa!” Ro driguez tertawa mengejek. “Apa yang

hendak kau periksa? Kami bukan tangkapan kalian.” “Aku yang mem eriksai kalian, bukannya kau yang

mem eriksa aku Itu pun kalau kalian mengerti bahasa Portugis yang benar.”

“Kaulah yang pongah, bukan kami,” bantah Esteban “Kami orang bebas!” gum am R odriguez. ‘Tak ada alasan

mem eriksa kami Kami menolak. Tak ada orang Portugis diperiksa di bandar asing.”

“D iam!” bentak pemeriksa itu. “Aku dengar kalian tidak mengerti Melayu.”

“Siapa bilang kami tak mengerti Melayu? Orang itu,” Ro driguez menuding pada si gemuk, “yang tak keruan Melayunya.”

Seseorang mem ukul tangann ya yang menuding dengan kasar. Rodriguez merah-padam karena merasa terhina. Tak

pernah ada oran g dari bangsa lain berani berbuat seperti itu terhadap orang Portugis. la berjalan menghampiri meja si gendut hendak m emprotes.

Pemeriksa itu menan gkap tangannya dan menyeretnya ke lempatnya kembali. Rodriguez meronta. Tetapi sikutnya terasa hendak patah dalam kempitan pemeriksa itu. Makin meronta m akin dekat perbukuan sikutnya pada keremukan. Ia m eringis tanpa bisa mengerti.

“Orang Portugis juga perlu belajar sopan di negeri orang,” kata pemeriksa itu, dan menyorong Rodriguez. “Ingat-ingat, namaku Liem M o Han. ”

Esteban mengawasi Liem Mo Han dengan pandang mem pelajari cara oran g itu dapat mengem pit sahabatnya sehingga tak berdaya. Ia tak m encoba mem belanya.

“Baiklah kuterangkan pada kalian, orang-orang Portugis. Kalau kalian bersikap begini terus, aku, Liem Mo Han, akan lakukan segala sesuatu yang telah kalian lakukan terhadap diriku selama tiga tahun.”

Esteban diam-diam mendengarkan dan mem perhatikan tingkah laku dan bahasa Portugis Liem Mo Han yang cukup baik.

Ro driguez sudah berdiri lagi di tempat sambil meringis kesakitan,

mencoba ramah: “Bagaimana kau bisa berbahasa Portugis sebaik itu?”

kemudian

bertanya

“Itu bisa diceritakan nanti. Jadi nama kalian Esteban del Mar dan Rodriguez D ez. Siapa yang Rodriguez?”

Kepala Ro driguez yang beram but pirang itu menganggu k.

“Baik. Pekerjaan mu ? Tentu bukan saudagar bukan nakhoda.”

D ua oran g Portugis itu berpandan g-pandan gan. “Baiklah kalian tak perlu mengaku. D i perahu kalian

telah didapatkan musket. Jadi kalian ini pelarian dari kapal

Portugis. Jangan pura-pura bodoh, aku tahu peraturan dalam kapal Portugis. Hati-hatilah, kalian, jangan sampai mem buat onar di sini. Kepala kami yang terhormat, Tuan

G ong E ng C u, masih berhati luas, m asih dapat menenggang kelakuan kalian. Maka dengarkan: mu sket kalian dan mesiunya kami tahan untuk disimpan.”

Liem Mo Han bicara seperti tiada kan habis-habisnya, tidak mem berikan kesempatan pada Esteban atau pun Ro driguez untuk menyela.

“Jadi kalian berdua tidak mempunyai sesuatu pekerjaan ,” kemudian ia mem utuskan. “Hanya punya

mu sket, dan dengan senjata itu mem bajak perahu-perahu kecil di tengah laut.”

“Tidak benar!” bantah Esteban. “Tidak ada bukti kami berdua pernah mem bajak,”

banlnh Rodriguez. “Mem ang tidak ada bukti dalam perahu kalian. Boleh

jadi yang tak kalian butuhkan telah kalian buang ke laut, yang kalian butuhkan telah kalian telan.”

“Bukan kebiasaan dan bukan watak Portugis untuk mem bajak,” susul Esteban dengan nada tersinggu ng.

“Mem ang dengan satu-dua orang Portugis tidak pernah mem bajak. Tetapi dengan satu kapal, apalagi satu armada, setiap Portugis adalah bajak.”

“Itu soal tafsiran!” bantah Esteban. “Kami tidak mem bajak, kami berperang.”

“Itu soal tafsiran!” tuduh Liem Mo Han. “Setiap kapal dan arm ada Portugis tidak berperang, tapi membajak. D an setiap orang Portugis yang jatuh ke tangan kami adalah juga “Itu soal tafsiran!” tuduh Liem Mo Han. “Setiap kapal dan arm ada Portugis tidak berperang, tapi membajak. D an setiap orang Portugis yang jatuh ke tangan kami adalah juga

“Berperang dan mem bajak tidak sama,” bantah Ro driguez.

“Ya, tidak sama,” Esteban mem benarkan, “berperang punya tujuan lebih jauh, lebih mu lia, mem bajak untuk dirinya sendiri.”

‘Tujuan itu urusan kalian sendiri. Bagi mereka yang terkena aniaya perbuatan kalian tetap menganggap kalian bajak belaka. Kalian haru s lakukan hukuman sebagai bajak. Lao Sam berada dalam wilayah kekuasaan Tuban. Hukum an atas bajak menurut ketentuan Tuban adalah kerjapaksa, entah samp ai berapa tahun sesuai dengan ketentuan, untuk kemu dian menjalani hukuman mati. Kami bisa serahkan kalian pada G usti Adipati Tuban.”

D ua orang petualangan itu menjadi lemas. Mereka terdiam.

G ong Eng Cu bicara dalam Tiongho a pada Liem Mo Han.

Yang belakangan mengangguk-angguk dan nam paknya hanya m engiakan.

“Kepala kami,” Liem Mo Han meneruskan, “mengatakan, kelihatannya kalian masih mu da dan segar. Kekasaran nampaknya sudah jadi watak bangsa kalian. Kami bisa juga jual kalian pada M alaka. pada bangsa kalian sendiri. D an karena kalian kelihatan kuat dan segar, bisa juga kami jual pada oran g-orang Arab. Atau bisa kami pakai sendiri untuk mem bajak sawah.”

Liem Mo Han diam. G ong Eng Cu dan pengapit juga diam. Semua mengawasi dua orang Portugis yang nam paknya kehilangan diri itu.

“Kalau kam i jual kalian pada Malaka, kalian akan segera naik ke tiang gantungan, dan kami mendapat uang tebusan. Kalau kami serahkan kalian pada G usti Adipati Tuban, kalian akan lakukan kerjapaksa sebelum naik ke tiang gantungan. Tapi kami tak mendapat sesuatu keuntungan. Kalau kami jual kalian pada orang-orang Arab, kami akan mendapatkan keuntungan lebih banyak, dan kalian harus bekerjapaksa samp ai mati tua.” Ia diam lagi untuk dap at melihat hancurnya kebanggaan kebangsaan dua orang itu.

“N ah, pilihlah salah satu di antaranya.” Esteban del Mar dan Rodriguez

D ez sejenak berpandang-pandangan dan berunding dengan matanya.

“Tidak ada jalan untuk melarikan diri,” Liem Mo Han mem peringatkan.

“Jadi mana yang dipilih, kalian, bajak laut celaka?” “Kami bukan bajak laut, ” Ro driguez mem bela diri. “Kelakuan semua pelaut tak lain dari bajak.” Esteban berpikir keras. “Kau, Esteban, yang lebih tua, bicara, kau!” melihat

orang itu masih juga berpikir keras ia meneruskan, “baran gkali L iem Mo Han ini kau anggap kurang berharga. Baik, silakan bicara sendiri pada kepalaku, Tuan G ong Eng Cu . Hanya, pakailah sedikit kesopanan. Kami tidak hargai kepongahan dan kebanggaan kalian. Bagi kami kalian tak

lebih hanya bajak laut.” Esteban melangkah maju mendekati G ong Eng Cu,

mem bungkuk mem beri hormat dan membela diri: “Tuan

G ong E ng C u, benar kami bukan bajak laut. Kami mem ang pelarian dari kapal Portugis di Malaka. D alam perjalanan samp ai kemari tak pernah sekalipun kami melakukan G ong E ng C u, benar kami bukan bajak laut. Kami mem ang pelarian dari kapal Portugis di Malaka. D alam perjalanan samp ai kemari tak pernah sekalipun kami melakukan

Setelah Liem Mo Han terjemahkan, G ong Eng Cu berkata melalui terjemahan: “Kalian tidak sekedar hanya melihat negeri-negeri. Ada didapatkan senjata, mesiu, peta, kom pas, teropong dan buku-buku dalam perahu kalian.”

“Tak pernah ada larangan mem bawa barang-barang itu, bahkan semua kapal Portugis dilengkapi dengan semua itu.”

“Kalian jangan permain-m ainkan kami. Pelarian biasa tidak akan mem bawa semua itu, kalau tidak karena tidak

sempat tentu sulit untuk bisa mendapatkann ya. Kalian mem punyai cukup persediaan bahan makanan. N ampaknya kalian ini mata-m ata Portugis.”

“Mata-mata?” Esteban berseru kaget. Ro driguez terbeliak. “Apakah kalian ingin mencoba jadi mata-m ata Sang

Adip ati Jepara? N ah, kau, Rodriguez, mengapa tak ikuti jejak teman mu mengh adap Tuan Gong Eng Cu dengan

baik-baik?” Ro driguez maju dan memberi hormat. Ia berdiri di

samp ing temannya. Berkata: “Sesungguhn ya kami mem ang melarikan diri dari M alaka.”

“Aku percaya,” jawab G ong Eng Cu . “Kalau kalian mengaku bukan bajak laut, bukan mata-mata, mengapa tak

juga menyampaikan kami apa rencana Portugis setelah merebut Malaka? Apakah kalian yang sudah bodoh, atau kah m emang m au m embodohi?”

“Tuan G ong Eng Cu , Portugis sedang menunggu datangn ya tam bahan kekuatan di Malaka. Mereka akan terus berlayar ke Maluku.”

“Ke Maluku? Begitu cepat?” G ong Eng Cu terpekik dengan mata mem beliak menatap Liem Mo Han. Kemu dian ia bicara dengan penterjemah itu dan Liem Mo Han tidak mem portugiskan.

Esteban dan Ro driguez berpandang-pandan gan dan berunding dengan matanya.

Liem Mo Han menghampiri mereka, menusuk mereka dengan pandan gnya, menetak: “Pembohong!”

“Semua awak kapal tahu,” sekaran g Esteban mengambil- alih.

‘Tadinya dimaksudkan akan mem berangkatkan empat buah kapal. T am bahan kekuatan yang ditunggu belum juga datang Kalau dalam bulan D esember… Tuan Liem Mo Han m engerti artinya D esember?”

Liem Mo Han mengangguk. “Kalau dalam bulan

D esember tam bahan kekuatan itu tak juga datang, Portugis akan berangkat dengan jumlah kapal dan kekuatan orang

yang ada saja.” “Pemboh ong!” bentak Liem M o Han. “Kami tentu akan jadi pemboho ng kalau Malaka

mem batallcan niatnya,” sambung E steban. “Kalau kau bukan pembohong, jalan laut mana yang

akan ditempuh?” “Menyusuri Sumatra dan Jawa.” “Mengapa?”

“Karena hanya peluat-pelaut Jawa yang tahu jalan ke Maluku. Kami semua tahu, kapal-kapal Jawa selalu menenggelamkan kapal bukan-Jawa di perairan Maluku. Tak ada yang berani mem asuki, bangsa apa pun, juga bangsa T ionghoa tidak.”

G ong Eng Cu mengangguk-angguk mendengarkan terjemahan Liem Mo Han.

“Jadi Portugis tahu dia akan berhadapan dengan kapal- kapal Jawa di Maluku?”

“Portugis berangkat untuk berperang,” kembali Esteban mendapatkan kebanggaan nasionalnya. “D an kami tak

pernah kalah.”

“Apa yang kau bisa perbuat dengan keangkuhanm u?” “Aku bicara soal kenyataannya. Belum pernah kami

dikalahkan baik di laut maupun di darat.” “D engarkan kalian, oran g-orang Portugis. Kalau kalian

temyata pembohong, bukan kami yang salah. Kalian pernah tangkap aku, kalian bikin aku jadi budak di dap ur kapal kalian. Kalian telah bawa aku ke negeri kalian, mengarak aku keliling Lisboa jadi tontonan. Orang menariki kuncirku. R asa-rasan ya mau copot kulit kepalaku. Tiga tahun kalian telah siksa aku. Kalian jual aku pada orang Italia. Mereka menjual aku pada oran g Moro. Kapal Mo ro mem bawa aku ke Benggala. Kalian hadapilah aku sebagai orang yang pernah kalian aniaya. Tiga tahun! Kalian jangan berlagak pemenang di sini.”

“Kami tak pernah tahu tentang itu.” “Sekarang kalian tahu, dan kalian hanya bagian dari

mereka selebihnya. Kalian mem ang selam at di bandar- bandar Sumatra dan Jawa. Di Lao Sam ini tidak. Kalian tahanan kami.”

Mereka berdua tak berani mem bantah. “Mengapa diam saja?” G ong Eng Cu mendesak. “Kami berm aksud hanya hendak melihat-lihat negeri.” “Kalian mata-mata!” tuduh G ong Eng Cu. “Portugis

sudah melakukan kejahatan di mana-m ana, dan bersumbar hendak mem bawa bangsabangsa selebihnya pada peradaban. Kalian pelarian atau mata-mata sama saja. Sejak saat ini kalian tidak diperkenankan mendekati pantai. Begitu orang melihat kalian melanggar ketentuan, jiwa kalian jadi tebusan. D an kalau temyata Peranggi datang ke Jawa m embikin keonaran seperti di Malaka….”

G ong Eng Cu yang gendut itu tak meneruskan kata- katanya. Ia mengangguk sambil memejamkan m ata.

“Biar pun begitu kami punya peraturan, tidak hanya Portugis, dan kami pun bisa jalankan aturan kami. Kami lihat kalian punya perahu sendiri. D ari siapa kalian merampasnya?”

“Kami pesan dari Pribumi Malaka.” sam bar Rodriguez. “Mem beli, mem esan ataupun merampas sama saja.

Kalau Portugis suka merampas atau mem esan?” “Juga kam i tidak mencurinya,” tambah Roodriguez. “Mem ang Portugis tidak pernah mencuri, hanya

merampas dan menggagahi, kebiadaban yang tiada tara. Baik, tak ada gunanya bicara soal perahu dan isinya.

D engarkan , kepala kami, Tuan G ong Eng Cu, ingin m elihat apakah kalian mata-mata atau bukan. Kami akan mem butuhkan waktu untuk dapat kalian yakinkan. N ah, apa keahlian kalian?”

Esteban dan Ro driguez berpandang-pandan gan dan berunding dengan matanya.

“Mem buat arak,” Rodriguez menjawab. “Kalau ada buah anggur. Arak terbaik yang pernah dikenal orang.”

“Kalau kau pandai mem buat arak terbaik, kau takkan gentayangan kemari,” Liem Mo Han m elecehkan.

“Tidak boho ng. Kami bisa bikin sendiri, arak merah dan putih dan kuning, mungkin lebih baik dari bikinan negeri- negeri lain,” Esteban m emperkuat.

”Takkan ada yang lebih pandai dari bangsa kam i,” jawab Liem Mo Han.

“Boleh jadi,” sambung Esteban. “Kami juga bisa menukang.”

Liem Mo Han tersenyum. Pengapit-pengapit G ong Eng Cu tertawa waktu mendengar terjemahan Liem .

“Menukang adalah keahlian bagu s,” kata Liem M o Han, “dan aku kira takkan ada tukang lebih baik daripada bangsaku. Co ba, perlihatkan tangan kalian padaku?” dan penterjemah itu memperhatikan otot-otot lengan dan telapak tangan dua orang Portugis itu kemudian menggeleng-geleng m elecehkan.”

“Mem ang kami tak pernah menukang dalam beberapa tahu n belakangan ini,” Esteban m embela diri.

“Pernah kah kalian menukang m embikin kapal?” “Perahu kami itu aku sendiri yang merencanakan, laju

seperti hiu,” Rodriguez menerangkan dengan bersemangat “Betul, orang-oran g bilang mem ang perahu luarbiasa.

Pernah kalian m embikin kapal?” Sekali lagi Esteban dan Ro driguez berpandang-pandang

berunding dengan mata. “Pernah ,” Esteban menganggu k mengiakan..

“Tentu saja. Membuat kapal? Uh, sudah selusin!” “Kapal apa? Kapal samudra? Kapal Portugis?” “Tentu kapal samudra, kapal Portugis.” Ro driguez

meyakinkan Liem Mo Han. “Aku tak percaya kalian bisa m embikin kapal,” Liem Mo

Han mencoba mem atahkan semangat mereka. “Kalian terlalu mu da untuk bisa bikin kapal, terlalu tidak tekun, terlalu pembual. Orang yang bisa bikin kapal tidak begitu tingkahn ya. Juga tidak akan bertualang. D ia akan tetap tinggal di galangan negerinya sendiri. Kalian hanya pembual”

“Betul, kami berpengalaman,” Rodriguez meyakinkan lagi.

“Takkan ada yang bisa percaya kecuali kalian sendiri,” Liem Mo Han terbatuk-batuk. “Barangkali kalian pernah hanya m enonton orang membikin kapal besar.”

“D i sepanjang pantai negeri Portugis oran g membikin kapal samu dra. Setiap bocah pernah melihat,” kata Esteban.

G ong E ng C u m elam baikan tangan m enyuruh dua orang itu menjauh daripadan ya. Kemu dian ia berundingan dengan para pengapitnya. Semua mereka ikut bicara. Orang gendut itu kemudian m emberi perintah pada Liem Mo Han.

“Kalian hanya penipu. Kalian masih beruntung kepala kami tidak sekejam dan tidak biadab seperti bangsa

Portugis. Kepala kami. Tuang Gong Eng Cu. mem erintahkan pada kalian untuk tinggal di Lao Sam samp ai kalian dinilai. Kalau pada suatu kali ada kapal Portugis datang kemari untuk mencari kalian… kalian sendiri yang lebih tahu apa bakal terjadi.”

“Kami akan meneruskan pelayaran kami melihat-lih at N usantara,” bantah Esteban.

Tetapi Liem Mo Han tak peduli dan meneruskan: “Kalian akan ditempatkan di sebuah rumah. Hanya dengan pengawalan boleh keluar dan situ.”

“Kami belum lagi mendarat di Lao Sam sini. Kalian yang m emaksa kami m endarat,” bantah Esteban.

“D an kam i hanya hendak belanja,” sam but Ro driguez. “W alau pun kalian tidak bisa dipercaya seperti halnya

dengan oran g Portugis selebihnya. kepala kami telah mem berikan kemurah an pada kalian untuk bekerja di

galangan kami. Kalian hanya melihat-lihat bagaimana kapal kami dibikin dan mem berikan pendapat dan nasihat sekedam ya.”

Kembali dua orang itu berunding dengan matanya. “Ya, berundinglah kalian. Sebelum kepala kami

mengambil sesuatu keputusan,” Liem Mo Han mem beranikan mereka.

D i luar hujan jatuh berderai, lebat dan berangin. “Ya, kau bisa lakukan itu,” kata Rodriguez pada

teman nya, “dan aku bisa mem bantumu. Terimalah.” Tapi Esteban m asih juga m enimbang-nimban g. “Asal kalian mengerti, tak ada di antara kami bisa

mem perrayai kalian.” “Apa gunanya nasihat oran g yang tidak dipercaya?”

tanya E steban. “Kami yang menentukan. Bukan kau,” Liem Mo Han

melecehkan dengan bibimya. “Hanya karena sikap pemurah kepalaku. Mestinya kalian cukup dibinasakan melecehkan dengan bibimya. “Hanya karena sikap pemurah kepalaku. Mestinya kalian cukup dibinasakan

“Ya, kami sanggup,” jawab Esteban. “Betapa cepat keputusan itu,” Gong Eng Cu

mem berikan komentar. “Makin kelihatan petualangan kalian, ” kata Liem Mo

Han. ”Tapi awas. Tujuh orang yang tersisa dari kapal kami telah kalian perbudak selam a tiga tahun. Lim a di antara

kami akhimya kalian bunuh, kalian buang ke laut. Sekarang kalian hanya berdua. Kalian masih berhutang jiwa pada kami. Begitu kalian….”

”Kami tak tahu begitu menyedihkan pengalamanmu .” Esteban m enanggapi.

“Menyedihkan. memang. Semua yang datang dari Portugis selalu menyedihkan, dan itulah kabar gembira

untuk kalian.” Esteban yang merasa tersinggung mem balas “Kelak.

kalau kapal samu dra kalian jadi, kalian bisa mem balas dendam, mem bajak salah sebuah kapal Portugis yang pertam a-tama kalian temui, menan gkap semua awak kapalnya dan menjualnya pada siapa saja.”

“Kami bukan bajak, juga bukan keturunan bajak. Kami keturunan awak armada Ceng H e yang besar….”

Apa yang dikatakan Liem Mo Han tidak keliru. Setelah arm ada Ceng He tak bisa balik ke Tiongkok. Armada ini kemudian berdiri sendiri, melakukan perdagangan sendiri dengan Malaka dan mem buka pangkalan-pangkalan di

Jawa. D alam kekuasaan Tuban mereka mendapat perlindungan dan ijin berpangkalan di Lao Sam. Pangkalan pokok m ereka dirikan di Sam Toa-lang.

D ari dua pangkalan itu juga mereka lakukan perdagangan dengan Atas Angin samp ai-samp ai mem asuki Laut M erah.

Untuk mem bikin awak armada ini tidak lenyap ditelan oleh Pribumi, baik karena perkawinan mau pun karena kecilnya jum lah mereka. mereka mendirikan sebuah organisasi pengawal yang harus mem pertahankan lembaga peradaban dan kebudayaan negeri leluhumya, bemama N an Lung atau N aga Selatan .

Liem Mo Han adalah seoran g pemuka N an Lung, yang dihorm ati oleh masyarakat Tionghoa sepanjang pantai utara pulau Jawa. Di samping Portugis ia pun mengu asai Jawa. Oleh N an Lung dan masyarakat Tionghoa ia diangkat jadi penghubung antara Lao Sam dengan Toa- lang, juga diangkat jadi duta masyarakat Tionghoa dengan kerajaan D emak

Melihat Liem Mo Han tetap tak mengh argai mereka. Esteban dan Rodriguez kembali mengambil sikap berhati- hati.

“Mem bajak adalah penghinaan untuk awak arm ada Ceng He yang besar, juga untuk keturunann ya,” Liem Mo

Han memp eringatkan. “Kalau bukan karena kehendak kepala kami… lain lagi yang akan terjadi dengan kepala kalian. Hati-hati.”

G ong Eng Cu tiba-tiba bicara lagi sambil melambaikan tangan dan Liem Mo Han menterjemahkan: “Tempat kalian telah ditentukan. Semua keperluan sehari-hari kalian akan dipenuhi.”

“Kami akan berikan nasihat-nasihat kami pada kalian,” jawab Esteban, “tapi kembalikan barang-barang kami.”

“Kalau kapal kami jadi dengan baik, jangan kan baran g- baran gm u seratus kali benda-benda berharga akan kalian dap atkan dari kami” kata G ong Eng Cu. “Jangan banyak bicara. Kalian sebagai oran g Portugis telah mendap at kemurahan terlalu banyak.”

Orang-orang yang menggiringnya dari pantai sekarang mengh ampiri

isyarat mereka mem erintahkann ya berjalan keluar dari rum ah besar itu. Mereka digiring di jalanan sempit, berpasir dan berdebu kuning, ke jurusan selatan , ditempatkan di sebuah kamar rumah batu dan terus-m enerus dikawal.

mereka.

D engan

W aktu pintu terpalang dari luar kamar mereka masih berdiri berpandang-pandangan. Tak ada sepatah kata keluar dari mu lut mereka. Kemu dian dengan serentak mereka berlutut dan m embikin salib dengan jarinya.

G ong Eng Cu mempunyai rencana khusus terhadap mereka berdua. Pelaut-pelaut keturunan awak armada Ceng

He sudah banyak yang ditangkap dan dibinasakan oleh arm ada Portugis. D an mereka tak pernah dapat mem balas. Armada mereka yang pada mu lanya armada militer, kini hanya armada dagan g belaka. D engan Esteban del Mar dan Ro driguez D ez boieh jadi ia dapat mem berikan sedikit

tekanan pada Portugis. Ia hendak pam erkan dua oran g tangkapan itu pada

um um. Setiap hari mereka dipekerjakan di galangan kapal di D asun. Berita tentang m ereka harus sampai ke Malaka.

G ong Eng Cu sendiri bukan keturunan awak arm ada Ceng He. Ia adalah keturunan ke enam seorang pendatang di Tuban. Ia adalah kepala masyarakat Tionghoa di Lao Sam . Tetapi ia bukan anggota N an Lung. Ia tidak G ong Eng Cu sendiri bukan keturunan awak arm ada Ceng He. Ia adalah keturunan ke enam seorang pendatang di Tuban. Ia adalah kepala masyarakat Tionghoa di Lao Sam . Tetapi ia bukan anggota N an Lung. Ia tidak

Setelah menyelesaikan urusannya di Lao Sam, dengan sebuah perahu layar milik Esteban dan Rodreiguez ia kembali ke Tuban.

0o-d w-o0