Lao Sam – Pajajaran -Sunda Kelapa

35. Lao Sam – Pajajaran -Sunda Kelapa

Perang di Tuban bolak-balik ke timur-barat. Usaha Pada untuk menghadap Patih Tuban Kala Cuwil Sang W irabumi gagal. Ia lepaskan usahanya. D engan menghindari daerah- daerah pertempuran ia mem asuki Lao Sam dari sebelah selatan .

Belum lagi mem asuki daerah perkampungan Lao Sam ia telah mengalami sesuatu yang tidak beres. Ia telah terkena Belum lagi mem asuki daerah perkampungan Lao Sam ia telah mengalami sesuatu yang tidak beres. Ia telah terkena

Kelelahan dari perjalanan menyebabkan ia tak mampu mengangkat badan untuk mem bebaskan kaki dengan tangannya. D arah dari kakinya ia rasai menyerbu ke bawah dan menyesak dalam kepalanya. Nafasnya terengah-engah .

D alam rem bang malam itu dilihatn ya tiga orang Tionghoa bersenjata trisula besi dengan bagian tengah lebih tinggi. Mereka datang mengh ampiri. Pada tahu ia telah jatuh ke dalam tangan N an L ung, N aga Selatan.

D engan bahasa Jawa yang kaku dan aneh seorang bertanya: “Tuban apa D emak?”

D alam keadaan tergeong-geong begitu ia menjawab tabah: “D ua-duanya tidak.”

“Bukankah kau Pribumi?” “Betul,” Pada telah merasai kesakitan pada bagian-

bagian badan yang tersekat oleh tali. “Bukankah kau tahu , Pribumi tak boleh mem asuki Lao

Sam di waktu perang?” orang itu bertanya lagi. “Tahu, tahu betul.” “Mengapa berani-berani masuk kemari?” “Turunkan aku, biar kuterangkan pada kalian.” Mereka menurunkannya, dan Pada merasai darah di

kepalanya turun, mem bikin kakinya jadi semutan. Mereka mengancam nya dengan senjatan ya,

“Kau dalam bahaya. Jangan beri keterangan bohong.” “Aku datang untuk mencari Babah Liem Mo Han.”

“Ha! Siapa kau ini?” Pada mu lai berdiri, menjawab: “Siapa? Apa kalian tidak

kenal aku? Aku anak angkat Babah L iem.” “Tidak kenal.” “Kalau begitu kalian orang baru di Lao Sam ini.”

D an benar, mereka mem ang pendatang baru. Setelah

D emak menyerbu Tuban, ratusan orang Tionghoa didatangkan ke L ao Sam dari bandar-bandar lain, terutama dari Semaran g, untuk melindungi perjanjian Semaran g-

D emak dan Ceng He-M ajapahit D ua macam perjanjian yang tersimpan dalam khasanah kelenting Semarang itu

mereka rasai sedang terancam setelah D emak berada dalam kekuasaan Trenggono.

Mereka tidak mengenal Pada. Tetapi mendengar korbannya ingin menem ui Liem Mo

Han mereka melepaskannya dari ikatan dan m enggiringnya di bawah ancam an tiga trisula menuju ke tengah-tengah kota L ao Sam.

Ia dibawa masuk ke sebuah rumah besar yang sudah dikenalnya -rumah Babah Cia M ie An. Ia disuruh duduk di

atas kursi bambu dalam keadaan tetap terjaga. Salah seorang di antaranya menyorongkan bungkusannya pada pangkuannya. D an ia mengu capkan terimakasih dalam bahasa T ionghoa.

Beberapa orang wanita memasuki ruangan besar itu mem bawa lampu tam bahan. Pada mengo cok matan ya. Tidak salah. Ia m engenal dua orang wanita itu. D an m ereka nam pak terkejut melihatnya. Mereka bersiap-siap hendak menegurnya, tapi Coa Mie An kebetulan sedang masuk, dan mereka pergi menghindar.

“Ah, sahabat Pada Mohammad Firman,” tegur tuan rumah sambil tertawa senang. Ia lambaikan tangan menyuruh wanita-wanita itu menyingkir lebih jauh. “Sahabat m au m enemui Babah Liem, aku dengar. ”

Pada m enggangguk. Pikiran nya m asih tetap terpaut pada perempuan-p eremp uan itu. Malah matanya masih terpancang pada pintu ke mana m ereka tadi mengh ilang.

“N am paknya sahabat punya perhatian pada mereka. Atau suka barangkali?”

Pada dipaksa untuk menyimak tuan rumah, la menggeleng.

“Baru beberapa hari ini aku beli mereka itu, yang lain- lain sudah aku bagikan. Yang dua ini aku m aksudkan untuk diriku sendiri. Maaf, sahabat , aku pun ingin punya anak. Tapi kalau sahabat m enghendaki. ..”

Pada tahu dua oran g itu tak lain dari N yi Ayu Sekar Pinjung dan N yi Ayu Camp a.

“Tidak, Babah, terimakasih. D ari siapa Babah mem beli mereka?”

“D ari seorang perwira, sahabat, jarahan perang. ” “Perwira mana? D emak atau Tuban?” “Tuban.” “Masyaallah,” sebut Pada. “Bukankah Babah tahu

mereka selir-selir Sang Adipati? Bukankah yang seorang itu N yi Ayu Sekar Pinjung dan yang lain N yi Ayu Campa?”

“Tidak salah, sahabat. D an perwira Sang Adipati sendiri yang m enjualnya. N amp aknya sahabat begitu terkejut”

D unia apakah semua ini, pikir Pada. D an yang keluar dari mu lutnya: “Aku datang dari Malaka…’

“Ya, aku tahu, sahabat. ” “Untuk bertemu dengan Babah Liem.”

“Ya, aku tahu. Begini, sahabat, sudahkah ada pasukan Tionghoa bergabung? D an pasukan Semenanjung sendiri?

D an pasukan D emak?” “Seorang pun tak ada,” Pada menggeleng. “Sudah aku duga. D alam catatan disebutkan, Pasukan

Tionghoa itu sedikit sekali kemungkinan bisa datang. Mereka juga dibutuhkan di perairan Manado dan Kalimantan. M aaf, kami tak bisa berbuat sesuatu.”

“Biar aku m encari Babah Liem’ “Koh…

sudah berkali-kali mem beritahukan pada Liem Mo Han agar jangan menyam paikan janji pada siapa pun. Rupanya dia telah samp aikan pada sahabat. Ada kau bertemu dengan G ouw Eng Cu sebelum beran gkat ke Malaka?”

‘Tidak.” “Mestinya sahabat menem ui dia lebih dah ulu. Sayang

dia telah meninggal, pada hari pertama D emak masuk. Mem ang suatu bencana, kecelakaan yang tidak bisa

dihindari. Perang, sahabat.” “D ibunuh?” “Ya.” Mereka terdiam. Kemu dian Coa Mie An meneruskan:

“Karena Babah Liem toh sudah menyam paikan pada sahabat, aku merasa perlu untuk mem inta maaf pada Senapati melalui sahabat, juga pada sahabat sendiri.”

Pada tak menan ggapi, dan ia meneruskan: “Melihat penyerbuan D emak kemari boleh jadi dengan sengaja ia tak mengirimkan seoran g pun ke Malaka.”

“Biar aku temui Babah Liem sendiri.” “N anti dulu. N ampaknya sahabat sangat lelah. Perlukah

dilayani wanita-wanita tadi?” ‘Tidak, aku sunggu h terburu-buru.” “Lebih baik samp aikan saja padaku, karena akulah

sekarang penggantinya.” ‘Tidak, Babah Liem sendiri yang aku perlukan.” “Ah, sahabat. Kalau begitu, biar kuceritai apa

sesungguhnya telah terjadi: ayah angkat sahabat sudah tiada.”

“Mati?” “Ya. D ua bulan yang lalu. Ditangkap oleh pasukan

D emak dan diseret dengan kuda di atas jalanan samp ai ajalnya.”

Pada m enyebut. “Itu belum semua. Sewaktu mem bunuhnya, mereka

bersorak-sorak hendak juga menumpas W iranggaleng dan seluruh keturunannya. Juga nam amu disebut-sebut. Kalian dianggap bersekongkol melawan D emak.”

Pada minta diri. “N anti dulu, masih banyak yang harus dipercakapkan.

Seperti sahabat ketahui. Babah Liem tidak punya sanak- keluarga. Ia meninggalkan rumah dan semuanya. Barang tentu semua itu jatuh ke tangan sahabat sebagai warisan….”

Pada minta diri untuk kedua kalinya dan mengu capkan terimakasih atas segala yang telah diketahuinya. Malam itu juga ia tinggalkan Lao Sam kembali ke jurusan tenggara. Ia terpaksa balik ke Awis Kram bil untuk mem bawakan berita ancam an itu.

D alam keadaan kehabisan tenaga ia sampai di Awis Kram bil. Ia terpaksa menemui lagi Idayu dan menceritakan segalanya. Keesokan harinya ia ungsikan keluarga itu lebih ke dalam lagi mem asuki daerah kabupaten Bojonegara. Di sana ia tinggal selam a tiga bulan, mem bantu menyiapkan ladang dan huma. D engan menyandarkan kepercayaan pada kebesaran Tuhan nya ia tak m erasa m erana lagi karena cintanya. Sebaliknya G elarlah yang mem berinya kesulitan. Ia selalu mengajak berdebat dan Idayu mendengarkan dengan diam-diam. Ia tahu Idayu takkan berpihak padan ya.

D ari perdebatan-perdebatan itu Pada menarik satu kesimp ulan. G elar mem benci apa saja yang berbau raja.

Bagi anak muda itu, di mana ada raja di situ ada kelalim an. Ia sendiri berpendapat lain: bagaimanakah kehidupan dapat diatur tanpa ada seorang raja?

Perdebatan yang tak habis-habisnya dan tidak mem uaskan kedua belah pihak, sampai rumah selesai dibangun dan ladang habis ditanami dan ia harus pergi untuk melakukan tugasnya.

Sekali lagi G elar mengantarkan sampai ke perbatasan Tuban. Sebelum perpisahan ia mem erlukan bertanya: “Apa jawaban emakm u?”

“Tentang apa, pam an?” “Anak Senapatiku kau ini atau bukan?”

Ternyata G elar belum juga mendapat jawaban. D an mereka berpisahan.

Ia mengambil jalan darat. Jalanan negeri dilaluinya hanya di malam hari. Bungkusannya sekarang dipikulnya pada dua bilah tom bak lempar. Pada pinggangnya sekarang tergan tung sebilah pedang.

W alau pun ia tak pernah mengalami masa keprajuritan, dengan senjata-senjata itu ia merasa lebih am an.

Perjalanan melalui daerah tandu s yang merupakan sayannah dengan selang-seling rawa besar dan kecil itu sangat berat. Lebih-lebih lagi karena ia tahu balatentara

D emak yang mengh endaki jiwanya. Maka ia pilih jalan di luar kekuasaan D emak.

Setelah samp ai waktu harus mem belok ke utara, ia berjalan hanya di malam hari melintasi daerah kekuasaan bekas rajan ya. D engan demikian ia selam at sampai di Jepara.

Ia sudah tak punya daya lagi untuk meneruskan perjalanan. Ia telah biarkan kumis dan jenggotnya dan camban gnya m elebat pada mukan ya.

D an ternyata tidak semudah itu ia bisa menghadap Ratu Aisah. Sama sulitnya dengan m enghadap Kala Cuwil.

Seminggu sudah ia berjemu r din di depan pendopo rumah Ratu Aisah, dan tak seorang pun datang menegurnya. Maka ia pun mem utuskan, bila pada hari yang ke tujuh ini tak juga mendapat tegur sapa, ia akan meneruskan perjalanan ke Malaka.

Matari sudah mulai condong dan badan nya sudah sesiang tadi mandi keringat.

Seorang gadis cilik, cucu Ratu, datang mengh ampin, berkata: “Sudah dihitung harinya. Seminggu sudah kau

bersim puh hendak mengh adap N enenda. Tidak bisa, Pam an, N enenda tak hendak menem ui siapa pun. Siapa kau ini. Paman?”

“Sahaya utusan dari Malaka, Raden, utusan Senapati W iranggaleng, datang untuk m enghadap G usti Ratu.”

“W iranggaleng,” gadis cilik itu berseru riang. “Aku kenal nam a itu!” D engan kekanak-kanakan dan keram ahan Iuarbiasa ia meneruskan, “Kalau begitu akan aku samp aikan. D uduk saja di situ, Pam an, biar kubisikkan pada N enenda Ratu.”

Ia lari ke samp ing rumah dan mengh ilang. Pada mengh ela nafas lega.

D an matan sudah m ulai tenggelam. Ia m asih menunggu.

G adis cilik itu keluar lagi m embawa sebuah bungkusan dan pundi-pundi.

“N enenda Ratu tak berkenan dihadap oleh siapa pun,” katanya dan menyerahkan pundi-pundi itu. “Ini untuk

Pam an, dinar-dinar mas untuk perjalananm u, dan ini,” ia menyerahkan bungkusan, “untuk siapa saja yang mampu mengenakan nya, kata N enenda. Sekarang Paman buru- buru saja tinggalkan Jepara. Berlayar samp ai Semaran g, kemudian jalan darat samp ai Banten baru kemudian menyeberan g. Begitu pesan nenenda.”

Anak itu tak m engulangi kata-katanya dan m enyuruhnya pergi dengan lambaian tangan, seakan ia hanya seekor lalat

tanp a harga

D engan prihatin ia berangkat ke pelabuhan. Sepanjang jalan ia berpikir: dunia apakah semua ini? D ia pikul bungkusan sendiri dan pemberian itu pada tom bak dan pedang yang telah dibungkuanya dengan daun pisang.

D engan sebuah perahu layar kecil ia menuju ke Semarang kemudian berjalan darat mem asuki pedalaman. Ia menduga, pesan Ratu Aisah mempunyai hubungan dengan gerakan armada Jepara-D emak. Maka ia harus mem atuhinya. Dijauhinya daerah pesisir. D an dengan demikian ia menem puh jarak jauh menuju ke Pajajaran.

la tahu tak mungkin ia turun ke bandar Banten setelah tempat itu diduduki oleh D emak, la harus turun ke bandar Sunda Kelapa. Ia pun sudah mendengar armada Jepara-

D emak melakukan garis pengepungan terhadap Selat Sunda. Ia tak pasti dapat menerobosi kepungan itu atau tidak.

Setiap hari ia berjalan seorang diri atau dalam rombongan dengan orang-orang lain. Sepanjang jalan ia berusaha belajar bahasa Sunda. D an hatinya harap-harap cemas untuk melihat kerajaan Hindu itu. Pasti segalanya akan lebih buruk daripada D emak yang Islam atau Tuban yang setengah Islam. Segala yang kafir pasti buruk.

D an teman-teman seperjalanannya dengan senanghati mengajarinya bahasa Sunda. Ia sendiri dapat belajar cepat.

D i perbatasan Pajajaran ia menginap seminggu. Sudah lama ia ingin mengetah ui apa isi bungkusan dari Ratu Aisah.

D engan ragu-ragu ia mem bukanya, mengetah ui bukan haknya ia melakukannya, maka ia mengangkat sembah.

Tetapi ia tetap ragu-ragu. D an bagaiman a nanti kalau ada punggawa mem eriksanya dan ia tak tahu apa isinya? Pada Tuhan nya juga ia serahkan putusannya.

Sinar matari yang menerobosi dedaunan itu jatuh di atas bungkusan dan berdansa-dan sa dalam bercak-bercak

keputihan. Bungkus itu sendiri adalah kain tenunan putih yang sudah agak tua. Di dalam nya ada pembungkus lagi dari kain putih yang ditenun dengan benang sutra kuning, malang dan bujur. D an pembungkus itu berputar-putar beberapa kali, lebih dari du a depa panjang.

Benda pertama yang keluar adalah selembar kain batik bergam bar kupu-tarung.

“Lam bang Jepara Adipati Unus almarhum!” pikirnya. Kain itu dibukanya dan di dalam nya terdapat destar

dengan gam bar peminggir kupu-tarung pula. Kalau begitu, katanya dalam hati, mu ngkin pembungkus kedua adalah tilam alm arhum.

D i dalam destar terdapat sebuah pundi-pundi coklat dari kulit kepompong berisikan cincin mas dengan gam bar itu pula, terukir pada bagian depan. Dalam pundi-pundi coklat lainn ya yang berselang-seling dengan wama jambu, juga dari kulit kepomp ong, hanya lebih besar, terdap at seutas kalung dengan pemberat selembar mas berukir dengan tengah-tengahn ya terdapat lambang itu juga. G ambar kupu- kupu itu seperti ditempel di atas lembaran m as itu, kaki dan belalai-nya dari perak dan matanya dari intan. Selanjutnya terdapat dalam bungkusan lain sebuah ikat pinggang dari lembaran perak dan mas berselang-seling, berukir indah dan pada bagian kepalanya pun terdapat gambar yang sama.

D alam sebuah kasut dari kulit terdapat sebuah bungkusan kulit kepom pong kuning berisikan sebuah gelas emas

berukir gambar yang sama. Terakhir adalah keris yang terbungkus kain biru nila. Sarung dan tangkainya terbuat dan mas bertatahkan m utu m anikam.

Ia perhatikan baran g-barang itu sebuah demi sebuah, mengagumi indahnya ukiran.

Tiba-tiba ia berseri-seri Suatu pikiran datan g padanya: ia akan m emasuki Pajajaran sebagai seoran g pangeran.

“Aku akan kenakan baran g-barang kerajaan ini. Mengapa tidak? Mem ang bukan hakku, hak orang yang dap at m eneruskan cita-cita G usti Adipati Unus. Aku hanya akan meminjam agar barang-barang bisa lebih cepat sampai pada yang berhak.”

Ia kemasi semua dan dengan girang meneruskan perjalanan, terus seorang diri.

D i pinggiran desa Baleugbak di tepi Ctbwung, ia mu lai mengu bah din-n ya jadi seorang pangeran. Mu la-mu la ia mandi bersih-bersih. Ia gosok badannya dengan pasir kali, mengeringkan badan, dan mengenakan semua pakaian kerajaan itu. Mem ang agak pendek dan longgar, tapi apa salahnya. Seorang pangeran takkan dilihat dengan sebelah mata karena pakaiannya kependekan dan kelonggaran D an ia harus berjalan hati-hati, kasut itu tidak cocok untuk kakinya yang tak pernah beralas, kekecilan.

D ari kejauhan dilihatn ya orang-orang desa sedang mengangkuti panen.

“Bism illah,” bisiknya, dan dalam pakaian Adipati Unus ia mengangkat sedikit kainnya dengan tangan kiri sambil menjinjing bungkusan, dan

tangan kanan berlenggang bergaya raja. Bungkusan itu ia sembunyikan dalam sebuah rumpun semak di pinggir kali.

dengan

Ia tahu betul gaya ningrat bila berjalan. Bagin ya tak ada sesuatu kesulitan. D engan tabah, menyerahkan segalanya

pada Allah ia berjalan melenggang dengan tangan kanan, meninjau ke sana-sini seakan sedang mem eriksa sawah sendiri.

Orang pertam a yang dipapasinya adalah seorang gadis yang mencari kejauhan untuk buang air. Anak itu cepat-

cepat menyingkir, meletakkan bakulnya di tanah, berlutut dan menyembah. D an Pada mengetahui benar anak itu sudah tak dap at menah an desakan perutnya. la lambaikan tangan dan meneruskan jalannya, berlenggang bangsawan dan bergaya, lambat-lam bat berwibawa.

Tanpa melihat ke belakang ia pun tahu gadis cilik itu telah lari dari pandan gan orang. Ia berhenti di bawah pohon Tanpa melihat ke belakang ia pun tahu gadis cilik itu telah lari dari pandan gan orang. Ia berhenti di bawah pohon

Beginilah rasanya jadi pangeran. Belum-belum sudah dap at satu sembah.

Tetapi gadis itu terlalu lama belum juga m uncul, ia m ulai mem anggil-m anggilnya. Anak itu m uncul juga dengan kain basah. Ia merunduk-runduk mendekat dan menyembah lagi.

D ua sembah, senyum Pada alias Mohammad Firman. “Hai, Upik!” perintah nya, “pergi kau mendapatkan

kepala desamu . Samp aikan Sang Pangeran Adipati Pada agar dijemput.”

Ia tak yakin gadis itu dapat menan gkap kata-kata Sundan ya, namun ia segera menyembah dan lari meninggalkan keranjangnya. D an Pada menunggu di tengah jalan dengan satu tangan bertolak pinggang dan tangan lain mem egangi ujung kainnya.

Sawah-sawah di kiri-kanan jalan hampir seluruhnya telah terpaneni, jalan itu sendiri diapit oleh saluran air yang

mengalirkan air jernih tanp a putus-putusnya. Selama hidup di daerah utara Jawa Tengah dan Umur ia tak pernah melihat tanah sesubur itu, kaya akan air yang terkendali. Jelas daerah ini jauh lebih baik daripada Tuban, Jepara atau

D emak. Udaranya sejuk dan nyam an.

D ari kejauhan terdengar olehnya kentongan ditabuh bertalu-talu, dan tampak olehnya orang berlarian gugup. Sebentar ia ragu-ragu adakah itu kentongan bahaya yang mencurigai dirinya, ataukah kentong suka untuk menyam but kedatangan Pangeran Adipati Pada.

Ia tersenyum bahagia melihat orang berbondong- bondong datang tanpa m embawa senjata. D an ia m engucap syukur.

Orang-orang berpakaian lebih baik daripada umu mn ya penduduk negerinya sendiri. Kulit mereka langsat. Cara mengenakan destar pun berlainan, lebih ke bawah dan tak ada nampak sudut-sudut datar yang dikakukan dengan kanji, semu a jatuh layu di bawah tengkuk.

Lelaki dan perempuan datang bersama-sam a seperti biasa terjadi di desa-desa pedalaman. D an wajah mereka berseri-seri, mungkin karena panen yang berhasil, mu ngkin pula karena kedatan gannya.

Tidak, bantah nya setelah teringat pada kata-kata G elar, tak ada orang desa berseri-seri ikhlas karena kedatangan seorang pangeran. Jangan bohongi dirimu.

Seorang lelaki setengah tua berpakaian lebih baik, satu- satunya yang menyelitkan kens pada punggungnya, menyembahnya sekali, kemudian menyila kannya berjalan lebih dulu.

D an Pangeran Adipati Pada pun berjalan dengan satu tangan berlenggang besar, tangan lain mengangkat kain. Seseorang mem bawakan barang-barangnya. D an semua orang mengiringkan di belakangnya.

Pelataran kepala desa ham pir-hampir penuh dengan tum pukan padi sebagaimana halnya di pelataran lain.

W an ita-wanita berlutut di antara tumpukan-tumpukan itu dan menyam butnya dengan sembah.

Melalui tum pukan padi pula ia diiringkan mem asuki rumah.

Juga di tangga rumah anggo ta-an ggota keluarga kepala desa berlutut menyembah. Bocah-bocah bersimp uh di tanah, juga m enyembah .

Selamat, pikir Pada, semua takluk di bawah kekuasaan Sang Pangeran, insya Allah.

la naiki tangga dan masuki pendopo yang digeladaki dengan pecahan kayu sadang yang mengkilat hitam. Sebuah meja rendah disiapkan untuk kedudukan Sang Pangeran. Tak ada bangku di seluruh desa itu. D an semua oran g, baik di geladak atau pun tanah, mengh adap padan ya seakan mereka punggawa pada hari penghadap an.

“Betapa sukacita sekalian kawula di sini mendapat kunjungan G usti Pangeran..”

“Pangeran Adipati Pada!” Pada mem bantunya sambil mengangkat lengan m emamerkan gelang masnya.

“D ari manakah gerangan G usti Pangeran Adipati maka datang ke desa Baleugbak tanpa pengiring?”

Pada mengumpulkan kata-kata Sunda yang dibutuhkannya, tapi ia tak mengerti betul apakah tepat

untuk keperluan resmi semacam ini. Ia menjawab sejadi- jadinya: “Kami datang dari jauh, dari timur sana. D ari Jepara.”

“Jepara!” seru beberapa mu lut. Orang tak mem perhatikan keanehan kata dan

kalim atnya. Orang tersentak karena Jepara. “Bagaimana mu ngkin, G usti Pangeran, sedang armada

G usti sedan g m enerjang bandar Sunda Kelapa…. ” Pada m enggeragap. la menyesal telah menggunakan kata

Jepara. Mengapa ia tak menggunakan tempat lain? Mengapa mesti Jepara? N ama yang sedang dibenci di Jepara. Mengapa ia tak menggunakan tempat lain? Mengapa mesti Jepara? N ama yang sedang dibenci di

Ia hampir-h ampir kehabisan kata. Sedang kata-kata yang terhambur pun belum tentu betul. W aktu ia belajar bahasa

Tionghoa, Liem Mo Han mengatakan padan ya: kalau kau sudah bisa menipu dengan bahasa ini, kau benar-benar sudah pandai Tionghoa. D an sekarang ia sedang menipu dalam bahasa Sunda, dan ia tahu benar sama sekali tidak pandai Sunda.

Semua orang menunggu kata-katanya selanjutnya. D an ia meneruskan tersendat-sendat: “Jadi larilah kami kemari untuk mengabdi di bawah duli Sri Baginda Prabu Sedah. Barangkali diterima dan

diluluskan untuk dap at mengh adapi Panglima-Laksamana-G ubemur Fathillah.”

Pada diam dan menebarkan pandan g pada semua orang di hadapannya. Ia tahu bahasanya menubruk-nubruk, tak ada jalan lain yang dapat ditempuhnya.

Belum lagi kepala desa mem buka suara ia menggeragap lagi, menyedari bahaya baru yang mungkin menimpa dirinya dengan serbuan Fathillah terhadap Sunda Kelapa. Ia bermaksud hendak menerobos kepungan D emak dari Sunda Kelapa, sekarang bandar ini justru jatuh ke tangan

D emak. D engan m enantan g Fathillah hanya karena hendak berkelakar ia akan terjatuh dalam kesulitan yang lebih parah.

“Patik semua di sini bergagama Hindu, G usti, sedang

G usti Islam. Orang-orang Islamlah yang menyerbu negeri kami dari laut, sedang G usti mem asuki negeri kami dari darat.”

Ia sepenuhnya mengerti ketidak-percayaan kepala desa itu. D an sekali dimulai dengan keboho ngan, keboho ngan lain harus mem bantunya. Celaka. Cepat-cepat ia menerangkan: “Ketahuilah, Pangeran Adipati Jepara ini masuk dari darat tanpa mem bawa balatentara. Ia datang sebagai pelarian.”

“Kalau begitu soalnya, G usti akan patik kirim kan utusan untuk mem persembahkan kedatangan G usti Pangeran

kepada G usti Patih di Ibukota.” Pada menjadi pucat. Dan kata-katanya tak juga mau

datang ke otaknya. Ia gerak-gerakkan lengan untuk menutupi kegugupannya. D an keluar saja dari mu lutnya: “Ketahu ilah, kami akan menghadap sendiri. Sediakan untuk kami pengiring secukupnya, sediakan untuk kami penginapan untuk beberapa hari….”

0o-d w-o0

Armada Jepara-D emak mem blokade bandar Sunda Kelapa dari laut dan darat. Perdagangan dan kesibukan bandar jatuh. Perahu -perahu kecil dari pantat jauh dari bandar, juga dari bandar kedua Pajajaran, Cimanuk, berbondong-bond ong menerobos ke Panjan g di ujung selatan Sum atra, meloloskan diri dari blokade.

Armada Fathillah tak mampu mengatasi penerobosan di jarak sejauh itu, Maka ia jatuhkan perintah untuk mengu asai sama sekali Sunda Kelapa.

Pendaratan serentak dimulai. Pertemp uran yang tidak begitu berarti terjadi. Mula-m ula di daerah sekitar bandar, kemudian meluas ke daerah rawa-rawa di peluaran bandar.

Kekuatan Pajajaran di Sunda Kelapa terlalu kecil dan lemah dibandingkan dengan belasan ribu balatentara penyerbu. Pangeran Sunda Kelapa sendiri yang memimpin pertahanan.

D alam hanya satu hari pertempuran pertahanan Sunda Kelapa dadal, pasukan Pajajaran terdesak mu ndur sampai ke pedalaman.

Pangeran Sunda Kelapa ditemukan tewas di tengah- tengah

yang hendak menyelamatkan nya.

Fathillah, yang sendiri mem impin pendaratan, ikut melakukan penghalauan dan pembersihan terhadap daerah bandar. Ia tem ukan tugu perjanjian Portugis-Pajajaran yang berdiri di atas sebidan g tanah, yang dicadangkan untuk kantor dagang Portugis.

Ia mem erintahkan untuk merobohkannya dan menceburkannya ke dalam kali Ciliwung tanpa sesuatu

upacara. Keesokan harinya Fathillah mendapat serangan

pembalasan. Pajajaran menurunkan balatentara besar untuk mengu asai kembali Sunda Kelapa. Pertempuran baru segera terjadi di rawa-rawa, riuh-rendah ditingkah sorak-sorak dan canang dari kedua belah pihak.

D emak menggunakan cetbang bikinan pandai Blam bangan . D an Pajajaran tak pernah mengenal senjata ledak yang melumpuhkan syaraf ini. Mereka terhalau meninggalkan rawa-rawa dan naik ke darat dalam pengejaran peluru cetbang.

Melihat balatentara Pajajaran menarik diri Fathillah mem erintahkan penghentian pengejaran. Seluruh bandar jatuh ke tangan D emak. Perlawanan Pajajaran patah dan Sunda Kelapa terpaksa dilepaskan.

W alaup un Trenggono-Fathillah berkokok-kokok untuk menumpas kerajaan Hindu di sebelah barat ini, nam un Fathillah tidak bermaksud mengu asai pedalaman. Tanpa bandar, katanya pada suatu kali di dalam khotbah nya, Pajajaran akan jatuh dengan sendirinya tanpa arti. Maka bandarnya yang kedua, Cimanuk, juga harus direbut. Seluruh pesisir harus dikawal.

D an itulah yang akan dikenakannya. Ia kerahkan penduduk Sunda Kelapa yang telah

beragam a Islam, dipilihnya yang muda-mu da, dilatih dan dipersenjatai, kemudian dinaikkan ke kapal dan dikirim kan ke Cimanuk

Pasukan kaki D emak ditinggalkan di Sunda Kelapa sebagai tentara pendudukan . Ia sendiri sekarang tinggal di Sunda Kelapa sebagai Panglima Laksamana G ubernur Banten dan Sunda Kelapa.

Pendud uk Sunda Kelapa tidaklah banyak. D alam banyak hal bandar ini tak m amp u melawan bandar Banten. D aerah bandarnya sendiri pada umumnya ditinggali oleh pelarian dari Semenanjung, terutam a Malaka. Orang Pajajaran sendiri segan tinggal di sini karena hebatnya penyakit demam-pembunuh. Pendatang-pendatan g itu seluruhnya beragam a Islam. Mereka lebih berpihak pada D emak yang Islam daripada Pajajaran. Apalagi D emaklah satu-satunya kekuatan yang dengan sunguh-sungguh berusaha mengu sir Peranggi dari negeri kelahiran mereka. Maka jatuhnya Sunda Kelapa ke tangan D em ak terlalu mudah.

Fathillah tak mengh adapi sesuatu kesulitan dalam mengatur kembali kehidupan. Bahkan perintahnya untuk mendirikan mesjid kemenangan di wilayah bandar disambut dengan bersemangat oleh penduduk. O-rang- orang Hindu yang sedikit, yang tak dapat menenggang kerja untuk desa lain dan untuk mengu asai lain pada mem bangkang atau melarikan diri, meninggalkan harta benda dan kampung-halaman. Mereka menghilang di balik- balik perbukitan pedalaman. Yang tertinggal kemudian ditangkapi dan ditindas dengan kerja paksa. Tak ada tempat lagi di bawah kekuasaan Fathillah untuk mereka yang beragam a Hindu.

Selama pembicaraan di pendopo Pada dapat melihat hadirnya seorang gadis yang selalu memperhatikan gerak- gerik dan bahasanya yang aneh, kaku dan dipaksa- paksakan. Dialah satu-satu nya yang tidak menunduk Matanya laksana sepasang bulan kembar, bulat, dengan bulu mata panjang dan lengkung. N ampaknya ia bersimpati pada tam u agun g yang jelas berada dalam kesulitan dan sedang m encoba sekuat daya untuk keluar daripadanya.

Ia adalah Sabarani, anak kepala desa. Ia jatuh kasihan. Baginya tam u itu sama sekali bukan

tam u agung, bukan seoran g pangeran, hanya m anusia biasa yang mem butuhkan pertolongan. D alam gam baran nya,

pasukan Pajajaran yang dibakar oleh dendam pada Jepara-

D emak akan merejamnya tanpa ampun. D an gambarannya itu pasti akan menjadi kenyataan dalam beberapa hari ini.

Ia mendengarkan suara hatinya yang memanggil- manggil untuk menolongnya. Tapi bagaimana? Ia belum lagi tahu . Ia harus menolongnya. Bagaimana? Sedang dirinya sendiri pun m embutuhkan pertolongan?

Ia sendiri harus melarikan diri dari desanya. Seorang ningrat Pakuan dalam beberapa bulan mendatang akan merenggutkan nya dari desanya.

Ia akan diselir olehnya. Orang tuanya tak dapat berbuat sesuatu . Seluruh desa pun tidak.

Ia menundu k waktu oran gtuanya menyatakan bersenanghati menerima Pangeran itu sebagai tamu nya, sudi menyediakan penginapan, dan berjanji akan mengirimkan utusan ke Pakuan.

Setelah pertemuan selesai, di ruang belakang ibunya berkata padanya: “Kau, Sabarini, putri berbangsa, hanya

kau saja yang patut melayani G usti Pangeran.”

D engan demikian ia mu lai melayani tamu agungnya, mencuci kakinya dengan air hangat, merapikan tempat tidur dan menyediakan makan dan minumn ya. Simpati menyebabkan ia merasa lebih dekat pada orang asing ini daripada seluruh penduduk desa.

Mu ngkin perpaduan antara kesulitan pribadi dan kesulitan tam u itu dapat mengh asilkan satu penyelesaian

bagi mereka berdua. Selama ini tak ada pemu da sedesa berani menyatakan

kasih-sayang pada seorang calon selir ningrat. Untuk itu jiwa bisa jadi tebusannya. Maka sebagai seorang gadis ia tum buh seoran g diri dalam kesepian. Ia hanya dap at menyaksikan teman -temannya ria bergembira menikmati keremajaannya. D engan diam-diam ia berjanji dalam hati untuk memban tu tam u itu melarikan diri, dan ia akan mengikutinya kapan saja dan ke mana saja, asal tidak menjadi selir saudaranya sendiri.

D ari cerita ibunya ia dan seluruh penduduk desa sendiri pun tahu, pada suatu kali dalam perburuan kerajaan, Patih

N aro gol mendapat penginapan di rumah kepala desa. Oleh ayahnya, ibunya disediakan untuk Sang Patih buat jadi pelayannya selam a persinggahan. Sejak itu sang ibu tidak digauli oleh ayahnya, sampai si bayi dilahirkan. D an si bayi itu dinamai Sabarini. Seluruh desa menganggapnya sebagai putri Sang Patih. D an tak ada seorang pun berani mem persembahkannya pada N arogol.

Lima belas tahun kemudian suatu perburuan singgah lagi di desa Baleugbak. Putra N arogol yang melihat Sabarini sekaligu s tertarik pada kecantikannya dan meminta pada kepala desa untuk menyelim ya. Ia akan mengambilnya baran g tiga tahu n kemudian. D itinggalkan olehnya sebentuk cincin pada keluarga itu dan selembar destar sebagai tand a pengikat. Tak ada yang dapat mem atah kan ikatan ini kecuali Sri Baginda sendiri atau Sang Patih. Pelanggaran berarti tebusan jiwa.

Setelah beberapa hari menginap, dan sawah telah dituai seluruhnya, pesta panen untuk mem uliakan D ewi Sri. Upacara-upacara telah selesai sedang pesta menunggu setelah itu.

Sebuah kalangan dibuka untuk mengalahkan juara tahun lalu. Mu la-m ula diadakan pertunjukan demonstrasi perkelahian kanak-kanak yang ditingkah dengan gamelan sederhana, gendan g kemong dan banyak suling. W aktu gam elan berhenti, anak-anak keluar dari kalangan. Muncul sang juara dengan sebilah ton gkat bambu mengkilat seperti telah lama di ganggang di atas api dan digosok berminggu- minggu. Beberapa orang penantan g mengeroyoknya berbareng. Pertaru ngan sengit terjadi, juara itu melom pat dan menerjang, berpaling dan bergulung-gu lung seperti baling-baling lepas.

Penonton bersorak-sorak gegap-gempita dalam sinar cempor-cempor besar di empat penjuru.

Baik juara maupun para penantang berkilau-kilau bermandi keringat dan debu. D an setelah agak lama pertunjukan berjalan, senjata seorang penantang terungkit lepas oleh ton gkat bambu sang juara, melambung ke atas dan ditangkap oleh penantang lain. Penantang yang kehilangan senjata keluar dari kalangan dalam iringan sorak pujian untuk sang juara.

Selang beberapa bentar sebuah senjata lagi terungkit lepas lagi. D an demikian seterusnya sehingga para pengeroyok terpaksa meninggalkan kalangan.

Sang juara mem pertahan kan kejuaraan desanya. “D emikianlah kebiasaan di desa patik sejak nenek-

mo yangnya,” kepala desa menerangkan pada tam u- agun gnya.

Sekilas terangsanglah Pada untuk bercerita tentang Tuban dan pes tatah unannya. Satu kesedaran, bahwa ia seorang pangeran Jepara, mem atikan rangsangan. Ia menganggu k dan m enggarami: “Bagus. Calon-calon prajurit ulung.”

“Bukan calon prajurit, G usti. Perang soal lain lagi. Yang pandai berkelahi belum tentu pandai berperang. Lagi pula negeri kami tak pernah berperang seperti negeri G usti. Kami lebih suka hidup dalam kedam aian.”

Pada m enggeragap. Ia tahu telah salah m enanggapi. D an ia merasa beruntung kepala desa itu tidak melanjutkan

persoalan.

G amelan bertalu lagi. Suling-suling mengimbau mem anggil juara baru. D an tak terkirakan heran Pada melihat seorang gadis tampil ke gelanggang mem bawa dua batang bambu kecil sepanjang lengan . Kainnya dilipat G amelan bertalu lagi. Suling-suling mengimbau mem anggil juara baru. D an tak terkirakan heran Pada melihat seorang gadis tampil ke gelanggang mem bawa dua batang bambu kecil sepanjang lengan . Kainnya dilipat

D an gadis itu adalah Sabarini. “Juara?” Pada bertanya. “Juara, G usti,” jawab kepala desa yang dud uk di bawah

sebelah sam ping. Matanya berkilau-kilau bangga. Sabarini memutar-m utarkan dua bilah tongkat pendek itu

ke udara dan menan gkapnya kembali, melontarkan dan menan gkapnya lagi. Tongkat-tongkat itu berputar seperti kitiran. D an Pada baru sekali akan melihat perkelahian dengan dua tongkat pendek.

Seorang gadis lain melom pat ke gelanggang dengan sebilah parang dan langsung menyerang. Oran g bersorak- sorak, kemudian terdiam melihat hebatnya serangan. Hantam an-h antam an parang itu tertangkis oleh bambu- bambu pendek yang m elindun gi lengan .

Pada melihat, dengan bambu-bam bu pendek itu Sabarini ternyata juga bisa menyerang. Satu di antara bambu itu melesit berputar mengenai tangan si penyerang. Parang itu meleset ke samp ing, dan dengan bambu yang lain gadis itu mem ukul tangan berparang sehingga senjata itu jatuh ke tanah tanpa daya.

Orang bersorak-sorak riang. Penantang meninggalkan gelanggang. Sabarini melontar-lontarkan bambunya ke

udara lagi sebagai undangan untuk penantang baru. Tak seorang pun tampil ke depan. “G usti Pangeran!” seseorang berteriak. “Ya-ya, G usti Pangeran,” yang lain-lain mem benarkan. “G usti,” kepala desa itu mem ohon, “itulah adat desa

kami. G usti dipersilakan turun ke gelanggang.”

“Kami!?” tanya Pada tak percaya. Peluh dingin mu lai mem basahi tubuhnya.

Seum ur hidup ia tak pernah berlatih berkelahi. Sekarang! Sekarang akan terbongkar belangn ya. Mana ada seorang pangeran tak pernah berlatih keprajuritan dan berkelahi? Mana ada? Haruskah diri diperm alukan di depan umum oleh seorang gadis pula? G adis desa Baleugbag? Betapa dun ia akan mentertawakan ningrat Jepara di kemudian hari.

“Silakan G usti Pangeran Adipati Jepara!”

D an Pada m engerahkan pikiran untuk menemukan akal. Lam bat-lam bat ia berjalan memasuki gelanggang. Mem ang

tak ada jalan lain untuk menyelam atkan muka. Sabarini berlutut. D ua potong bambu pendek itu

digeletakkannya di hadapan Sang Pangeran, dan ia menyembah.

Aku hanya pernah belajar bicara, pilar Pada, itu pun belum tentu dapat dan bisa meyakinkan oran g…. Langkah nya gon tai dan kakinya berat. Ia ambil dua bilah dari bambu di hadapannya dan pura-pura mengagumi.

Buat para penonton perbuatannya terlalu lama. Orang sudah tak sabar. Tapi akal belum juga datan g pada Pada. Sekarang ia pura-pura mengagumi Sabarini, ikut pula berlutut seakan-akan sedang mengikuti adat gelanggang, tetapi bibirnya menggeletar berbisik: “Sabarini, ah, Sabarini.”

Sabarini menyembah lagi, juga berbisik: “G usti Pangeran, patik di sini, G usti,” suaran ya lunak, bening dan bernyanyi, menyirapkan darah Pada.

Orang-orang bersorak tak sabar. Pada berdiri. Sabarini juga berdiri setelah mengambil jarak. Pada mengem balikan Orang-orang bersorak tak sabar. Pada berdiri. Sabarini juga berdiri setelah mengambil jarak. Pada mengem balikan

“Ambilkan dua bilah pedang.” seseoran g berteriak. Celaka, rau ng Pada dalam hatinya, dari bilah bambu beralih ke pedang. Akal! Hei, kau, akal, mengapa kau tak juga datan g hei akal?

Seseorang masuk ke gelanggang mem bawa dua bilah pedang lebar tapi pendek. D an badan Pada telah basah kuyup oleh keringat dingin sendiri.

Pembawa pedang itu berjongkok menyembah, kemudian mem persembahkan dua-dua senjata itu untuk dipilih mana

yang lebih cocok D an Pada menerima dua-duanya dan menimang-nimang. Berdoalah ia di dalam hati memo hon perlindungan dan petunjuk dari Tuhannya. Keadaan ini harus diatasi. D an doa itu mem berinya ketenangan barang sedikit. Keluar lagi kata-kata bernada protes dari mulutnya: ‘Tidak ada cara di negeri kami seorang satria mengh adapi wanita dalam gelanggang semacam ini/ ’

“Kang Acep, kau tam pil, kang,” seseoran g berseru. Celaka, sekarang juara lelaki yang akan tampil. Mengh adapi Sabarini sekarang harus dianggapnya sebagai kesempatan baik – sebaik-baiknya. Ia tak memp rotes lagi.

D engan mem bawa dua-dua pedang ia mengh ampiri Sabarini dan menyerahkan semua. Cepat-cepat ia berbisik

“Lebih baik kuperistri kau daripada aku binasakan, Sabarini, manis.”

Sabarini mengangkat mata dan mem andangnya. Tangannya salah menerima pedang dan senjata itu jatuh ke tanah. D an Sabarini tak juga segera mem ungutnya.

Orang-orang terdiam, heran melihat seseoran g juara luput m enerima senjata.

G amelan berhenti mengejut. Suling-suling membisu. “Bagaimana, Sabarini?” bisik Pada.

“Pedang itu jatuh, G usti, dan tak ada kekuatan pada patik untuk m emungutnya,” Sabarini berbisik menjawab.

Pada mendapat kepribadiannya kembali dan berseru: “Ambillah pedangmu , Sabarini!”

Orang m elihat gadis itu gemetar. Sabarini mem bungkuk, tangannya layu mengambil pedangnya, tapi badan itu lambat sekali tegaknya. D an belum lagi badan itu berdiri lurus, lututnya kemudian tertekuk, pedang tergelincir dan nam pak tak ada niat padan ya untuk mem ungutn ya.

“Sabarini!” terdengar beberapa wanita berseru-seru. Sekarang gam elan berbunyi lagi, pelan-pelan, tanpa suling.

Kepala desa masuk ke gelanggang, menyembah Pada dan mengh ampiri anaknya, bertanya: “Mengapa kau, anakku?” dan berpaling pada P ada.

“D ia telah m enyerah , Kepala D esa, menyerah.”

G amelan berhenti sama sekali. Kepala desa memban tu anaknya berdiri.

Sabarini mengangkat sembah lagi pada tam u agung, menerima tangan bapaknya dan berdiri dengan susah- payah, berjalan gem etar keluar gelanggang.

Pesta malam itu bubar dengan keheran an semua penduduk.

0o-d w-o0

Sesampai di rumah Pada segera pergi ke belakang dan kemudian bersembah yang di dalam bilik, mengu capkan syukur yang sebesar-besar-nya atas rah mat dan petunjuk Sesampai di rumah Pada segera pergi ke belakang dan kemudian bersembah yang di dalam bilik, mengu capkan syukur yang sebesar-besar-nya atas rah mat dan petunjuk

Ia turun dari am bin dan menyerahkan kakinya. “G usti,” bisik Sabarini, “benarkah yang patik dengar di

gelanggang tadi?” “Mengapa, Sabarini?” “Karena,

G usti, ternyata orangtua patik telah mengirimkan utusan ke Pakuan begitu panen dan upacara panen selesai. Pastilah tentara Pajajaran akan segera datang. Larilah, G usti, dan bawalah patik.”

Suara ribut terdengar di luar rumah: “Kepala desa! Mana itu Pangeran Adipati Jepara?”

“Mereka telah mu lai datang, G usti, mari patik antarkan lari, mari….”

Sabarini menarik tangan Pada dan yang ditarik menyam bar bungkusan-bungkusan bawaan. Mereka lari setelah mem adamkan pelita, ke belakang, langsung menuruni tangga belakang, melintasi ladang, kemudian sawah, sampai ke pinggir Ciliwung.

“N aik, G usti, naik ke atas rakit ini.” Sabarini menarik tali rakit, dan rakit itu meminggir.

Mereka berdua melom pat ke atasnya, dan Sabarini mengetengah kannya dengan sorongan galah. Tanpa bicara

gadis itu meluncurkan dan mengem udikan rakitnya m enuju ke hilir.

Pada sendiri masih terlongo k-longok, kurang semangat, belum juga sembuh dari terkejutnya,

D unia apakah semua ini, ya Tuhan, tanyan ya pada Tuhan nya. D an ia tak m endapat jawaban. Ia menongkrong D unia apakah semua ini, ya Tuhan, tanyan ya pada Tuhan nya. D an ia tak m endapat jawaban. Ia menongkrong

“Sudah jauh, Sabarini, berhentilah kau.” “Belum, G usti, mereka masih bisa mem buru dengan

samp an,” dan ia bekerja terus. Pada berdiri, menghampiri gadis itu, ragu-ragu sebentar,

kemudian berkata: “Sini, Sabarini, biar aku gantikan. Kau lelah.”

“Biarlah, G usti. Patik biasa mem bawa rakit begini Sedang G usti tidak pernah. ”

“Aku biasa m endayung perahu.” “Rakit bukan perahu, G usti, lain.” “Air cukup deras begini, dia akan berjalan sendiri.” “Kalau tidak dikemudikan akan menubruk-nubruk,

G usti. Patik kenal riam-riam Ciliwung ini.” Sabarini tak dapat dihampirinya. Ia terus juga mo ndar-

mandir m endorong rakit dengan galahnya. Pada tidak tahu sesuatu tentang rakit. Ia ingin mem buka

pembicaraan. “Sudahlah, biar rakit berjalan sendiri.” “N anti berputar-putar. G usti.” “Biar berputar-putar,” dan ditangkapnya tangan gadis

itu. Ia rasai tangan itu gemetar. “Ke mana kau akan pergi malam-malam begini?”

“Ke mana saja asal G usti selam at.” Pada melepaskan tangan itu. Sejak kanak-kan ak ia sudah terbiasa bergaul dengan wanita-wanita harem. Ia lakukan apa saja yang “Ke mana saja asal G usti selam at.” Pada melepaskan tangan itu. Sejak kanak-kan ak ia sudah terbiasa bergaul dengan wanita-wanita harem. Ia lakukan apa saja yang

“D an kalau aku sudah selam at kau akan ke mana lagi?” “Ke mana saja G usti pergi.” “Sabarini!” dan gadis itu tak menyahut. “Terimakasih.

terimakasih atas pertolongan mu. N ampaknya keselam atan ku menjadi kepentinganmu benar.”

“Bukankah G usti sudah mengu capkan kata-kata itu? Bukankah G usti seorang satria, sekalipun Islam ?”

Malam itu gelap. D an Pada tidak mengerti bagaimana gadis pendekar ini dapat mengendalikan rakit tanpa

petunjuk jalan. N ampaknya ia sudah mengenal alur Ciliwung. Ia perhatikan aru s kali permukaan air dan air- mu ka Sabarini dalam kegelapan. D an ia tak mampu menduga. Ia tunggu gadis itu menyatakan sesuatu , dan Sabarini tidak mem buka mu lut.

Jauh di sebelah timur sana ada seorang wanita yang mem bangkitkan kekagum an dan hormatn ya, menyemaikan

cintanya yang tulus. Orang itu adalah Idayu. Di Pajajaran ini ada juga seorang. D an dia adalah Sabarini. Benarkah langkahku, ya Tuhan? Adalah gadis asing ini Kau pertemukan padaku dengan cara seperti ini untuk jadi teman -hidupku yang tulus?

D an ia tak mendapat jawaban dari Tuhannya. Tetapi dari lubuk hatinya sendiri terdengar suara lantang: Kau dun gu kalau tetap mengimpikan Istri seorang sahabat, ibu dari anak-an aknya. Sabarini cukup baik untukmu. Suara dari lubuk hatinya tak berulang lagi. D an ia sendiri merasa mem ang telah m embutuhkan seorang istri.

“Sam pai di mana kalau terus m enghilir?” ia bertanya.

“Sunda Kelapa, G usti.” “Sunda Kelapa”, untuk ke sekian kalinya Pada

menggeragap. Mereka akan tangkap dirinya, juga Sabarini. Ia merasa tak patut terlalu sering menggeragap begini. Ia merasa kepercayaannya pada Tuhannya belum cukup sempurna. Seorang yang beriman tidak akan sering menggeragap, karena ada iman padanya, karena ada kepercayaan pada Tuhan dan kekuasaanN ya.

“Ya, Sabarini. Kita akan samp ai ke Sunda Kelapa, mem asuki daerah pendudu kan D emak. Mereka akan paksa kau m asuk Islam. Bagaimana kau?”

“Semua terserah pada G usti. Patik hanya mengikuti

G usti!” ”Tidakkah kau akan takut pada hukuman dari dewa-

dewamu ?” “Barangtentu G usti cukup bijaksana untuk memilihkan

yang baik untuk patik,” jawab gadis itu sambil terus mendorong rakit dengan galahnya.

“Baik. Jadi kau sudah sedia jadi istriku.” Sabarini tak menjawab. Sorongan pada rakitnya

bertam bah keras, dan m ondar-m andirnya semakin cepat. “Kau diam saja, Sabarini.” W aktu melewatinya Pada mendengar nafas gadis itu

yang terengah-engah karena mendorong sekuat tenaga dengan galahnya. Bahkan dalam kegelapan ia mengetah ui

Sabarini sama sekali tidak menengok padanya. Matanya tertuju pada permukaan air yang samar-samar.

“Kita akan kawin di Sunda Kelapa secara Islam, Sabarini, dan kau akan jadi istri-tunggalku.” Ia menunggu “Kita akan kawin di Sunda Kelapa secara Islam, Sabarini, dan kau akan jadi istri-tunggalku.” Ia menunggu

“Apalah yang harus patik katakan lagi, G usti? Semua

G usti yang menentukan. Kebijaksanaan G usti tidak akan patik ragukan, G usti.”

“Baiklah. Jadi kau akan jadi istri-tunggalku.” “Bagaimanakah dengan selir-selir G usti?” “Selir? Seorang pun aku tak punya. Kaulah calon istriku

pertam a-tama, calon istri-tu nggal.”

D an Sabarini tak menanggapi. Ia hanya menjalankan rakit, tanpa pernah menengok pada P ada.

Menjelang subuh rakit dihentikan di sebuah tempat persinggahan. G adis itu melom pat turun ke darat dan mencancan g rakit pada sebatan g pohon ketapang. G alah ia letakkan baik-baik di atas rakit, kemudian diulurkan tangannya pada Pada untuk mem bantunya turun.

D ua orang itu bergandengan mendaki tebing, menuju ke sebuah bangsal bambu pada tubir tebing.

Bangsal itu luas dan menjadi penginapan mereka yang pulang-balik melalui Citarum. Tak ada penjaga khusus.

Perawatannya diserahkan pada setiap perakit atau pemilik perahu.

D an pada subuh itu dalam bangsal telah ada sebuah keluarga pelarian dari Sunda Kelapa. D ari percakapan

antara mereka dengan Sabarini Pada dapat mengetahui, Sunda Kelapa benar-benar telah jatuh ke tangan balatentara

D emak. “Mereka begitu berangsangan ,” salah

seorang mem berikan komentarn ya, “seperti orang tak pernah bertemu nasi. Tak ada lagi bisa merasa aman, maka kami seorang mem berikan komentarn ya, “seperti orang tak pernah bertemu nasi. Tak ada lagi bisa merasa aman, maka kami

Pada m endengarkan dengan diam-diam dari luar bangsal sambil menggam barkan tingkah-laku prajurit-prajurit

D emak yang dikatakan berangsangan itu. Ia belum berani bertemu dengan orang, la masih berpakaian pangeran.

“Masih mu ngkinkah turun ke sana dengan rakit?” Sabarini terdengar bertanya. Suaran ya bening, merdu dan menyanyi.

‘Tentu saja dapat. Mengapa tak dapat? Tapi buat apa? Salah-salah jiwa tebusannya. Palin g tidak oran g akan

terbongkok-bongkok mengangkuti bakau-bakau setiap hari samp ai mati kena demam rawa.’

Pada mengh erani apa sebabnya balatentara D emak hendak mendirikan perbentengan. Seakan-akan mereka sedang bersiap-siap menunggu datangn ya mu suh. D an mu suh dari mana? Mu ngkinkah Peranggi akan mem bantu Pajajaran sebagaimana pernah diperbincangkan orang? D an apa keuntungan Peranggi dengan bantuan nya?

Tidak mungkin. Peranggi takkan mem bantu siapa pun tanp a mendapat keuntungan. Boleh jadi Fathillah mem bentengi dirinya sendiri dari serangan D emak. D ia akan m embangkan g dan berdiri sendiri jadi raja.

Ia tak dengar percakapan selanjurnya antara Sabarini dengan keluarga pelarian itu. Hari telah terang tanah. Burung-burung dari hutan sekitar menyanyi ria menyam but datangn ya sang surya. Pagi itu ia tidak bersembah yang, hanya m engucapkan doa selam at.

Tak lama kemudian Sabarini keluar dari bangsal, menyembah dan berbisik padan ya: “Lepaskan semua Tak lama kemudian Sabarini keluar dari bangsal, menyembah dan berbisik padan ya: “Lepaskan semua

Uitus dan dikenakannya pakaian sendiri, pakaian santri. W aktu ia hendak lepas kasut kerajaan itu, tahulah ia barang itu m asih tertinggal di rumah oran gtua Sabarini.

Mendung yang menutup puncak pegunungan itu kini berubah jadi hujan deras dan mem bekukan darah. Keluarga pelarian itu menyalakan pediangan penghangat kemudian naik ke am bin pelupuh dan meneruskan tidurnya.

Pada dan Sabarini pun naik ke am bin, menggolekkan badan berdampingan dan tertidur dalam kelelahan dan kantuk.

Hujan makin deras dan makin deras.

D an waktu matari dengan lemahnya mewarnai langit, dan silhuet puncak pegunungan dan tajuk pepohonan m ulai mu ncul, hujan masih juga turun. Ciliwung telah meluap sejadi-jadinya.

0o-d w-o0

Ciliwung adalah jalanan utama yang mengh ubungkan Pakuan dengan Sunda Kelapa. Hasil bumi dari pegunungan

turun ke bandar melalui kali ini pula. Sebaliknya baran g- baran g dari laut naik ke pegunungan melalui kali ini pula.

Tapi kali ini kini sunyi. Rakit dan perahu nampak segan meluncur di atasnya setelah Sunda Kelapa jatuh.

W aktu Pada terbangun hujan belum juga berhenti. Ia lihat Sabarini sudah tak ada di tempat. Penginap-pengmap dari Sunda Kelapa telah berangkat m eneruskan pemudikan.

Ia turun ke kali dan dilihatn ya Sabarini dalam keadaan telanjang bulat sedang berenang menuju ke rakit yang kini sudah berada di tengah-tengah. Poh on ketapang tempat mencancan g berada baran g sepuluh depa dari tepi air. Ia lihat gadis itu menyelam untuk mendapatkan tali pada batang ketapang. Kemu dian ia mu ncul lagi dengan mem bawa tali menarik rakit sambil berpegangan batang kayu itu, kemudian melompat ke atasnya dan mendorongnya ke tepian.

Pada menyembunyikan diri dan hanya bisa menyebut- nyebut melihat keindahan tubuh Sabarini: “Masyaallah… Allah Maha Besar… Kau karuniakan keindahan semacam itu kepadaku, ya Tuhan, kepada hamba-Mu yang justru tidak m encari ini. Betapa pemurahnya Engkau, ya Tuhan’

Ia sama sekali tidak perhatikan air kali yang kini telah berubah kuning berlumpur. Sinar m atari yang jatuh ke bumi

setelah menerobosi mendung hanya samar-sam ar menerawang. N amun kesam aran itu tidak mem batalkan pengetahuan Pada, bahwa ia sedang mengagumi tubuh cantik, indah, gesit – tubuh seorang wanita yang belum lagi jadi istrinya.

Ia perhatikan gadis itu mengenakan pakaiannya yang disangkutkan pada cabang batang gempol, dan dengan pandangnya mengikutinya naik ke tebing. D engan mem bawa bungkusan ia keluar dari persembunyian dan turun ke atas rakit. D an sekali lagi ia mengagumi keberuntungannya dalam kepercayaan pada keagungan dan kemurahan Tuhan nya.

Ia mu lai periksa rakit. Sebentar-sebentar ia meninjau ke atas mencari-cari Sabarini. Tapi gadis itu belum juga nam pak. Ia berteriak-teriak mem anggil, kemudian ia lihat gadis itu lari menuruni tebing. W ajah merah dan nafasnya terengah-engah. Tanpa bicara ia turun ke rakit, melom pat lagi ke pantai dan melepaskan tali pencancang, lomp at lagi ke rakit, mengambil galah dan mulai mendorong.

“Kita belum lagi makan pagi, Sabarini.” Ia tak menjawab.

D an Pada mencoba merebut galah, dan Sabarini tidak mengijinkan.

“Patik tidak m engenal air sejak dari sini sampai ke Sunda Kelapa, G usti, apalagi G usti sendiri. Biar patik yang mengem udikan sendiri-lebih baik G usti ikat bungkusan itu agar tak terlempar kalau ada apa-apa.”

Pada m erasa m alu telah kalah wibawa, ia merasa dirinya menjadi begitu bodoh di dekat gadis luarbiasa ini. Biasanya ia merasa cerdas dan dapat mem ecahkan banyak perkara yang pelik-pelik. Ia mengu asai persoalan neraka dan sorga, ia dap at mengh afal nama dua puluh nabi, ajaran dan mu kjizatnya. Tapi di dekat gadis ini ia seperti seorang tua yang pikun. Saking gemasnya pada kepikunannya sendiri akhirnya ia menongkrong di buritan rakit Pada sebuah celah batang bambu ia lihat sebutir lada terjepit sendirian tanp a kawan. Ia korek dengan kuku, mem ungut dan menggigitnya. Mem ang lada. Rakit hanya dipergunakan sekali ke Sunda Kelapa. Sampai di sana dijual atau ditinggal. Tentu sebelum ia dan Sabarini menggunakann ya, orang pernah mem unggah lada di sini, kemudian di bongkar lagi dan lada di daratkan kembali, tak jadi turun ke Sunda Kelapa.

Ia lihat air berkecibak di belakang rakit. Seekor kakap melom pat ke atas air, berenang lari ke hulu. D i belakangnya nam pak sirip hiu cucut yang mem buru, mem bentuk garis lurus m embelah air.

“D i sini ada hiu, Sabarini?” “Kalau kali banjir, G usti, kadang-kadang ada juga.” Kalau kali banjir, kata Sabarini. Mengapa kali ini banjir

sebelum datang mu sim penghujan? D an mengapa di sini sudah mu lai turun hujan? D an mengapa di Semenanjung sana lain pula jatuhnya m usim penghujan?

“G usti!” terdengar Sabarini mem ekik Belum samp ai ia sempat m enengok rakit telah menubruk

sesuatu . Pada jatuh dari cangkungan nya, tertelentan g pada geladak rakit. Dan belum lagi ia dapat berdiri gadis itu datang padanya dan menolongnya berdiri.

“Ampun, G usti, patik tak lihat ada tonggak di bawah air.”

”Tidak apa, Sabarini.” ”Tidakkah G usti terluka?”

”Tidak.” “Rakit harus mem inggir. G usti. Tali bagian depan

putus.”

galahnya dan mem inggirkannya. D engan cekatan ia melom pat ke darat,

G adis itu

mengam bil

lagi

mengambil sebuah batu tajam, dan menariki kulit pohon warn.

Pada tak tahu apa sedang diperbuat gadis itu. Ia berdiri di dekatnya, bertanya: “Mem bikin tali?”

“Ya, G usti.”

“Sini, barangkali aku lebih pandai daripada kau.” ”Tidak, G usti, sebaiknya G usti lihat-lihat kalau ada

perahu balatentara Pajajaran mem buru kita.” Jengkel karena kekikukannya Pada menjauh, mencari

poho n yang sekiranya dap at ia panjat. Tetapi pepoho nan hutan itu tak ada sebuah pun yang dapat dipanjat. Semua besar-besar.

”Tak usah naik, G usti,” seru Sabarini. “Semua pohon menjadi licin habis hujan begini. Lihat-lihat di dekat patik sini saja, G usti.”

D an Pada menjadi malu pada dirinya sendiri. Betapa gadis yang belum

dikenalnya itu mengutamakan keselam atan nya – keselamatan seorang asing yang mu kanya penuh jenggot dan kumis dan camban g bauk. Tentunya seorang gadis dengan pendidikan baik.

Matari berada di atas kepala waktu tali-tali itu habis terpilin. Mereka berdua mengikat bagian depan rakit dan mengencangkan tali-temali dengan pasak bambu.

“Kita teruskan m engilir, G usti.”

D an rakit meneruskan pelayarannya.

0o-d w-o0

D engan seruan assalamualaikum pada penjagaan setiap tikungan kali rakit itu memasuki Sunda Kelapa. Prajurit-

prajurit D emak m embiarkan m ereka lewat.

D an apa yang diberitakan para pengungsi itu ternyata benar. Orang-orang sibuk mem ikuli batang bakau-bakau yang berat itu dari rawa-rawa ke bandar. D i sepanjang bandar oran g mendirikan tonggak-tonggak untuk perbentengan. Ribuan orang mengangkuti pasir dan D an apa yang diberitakan para pengungsi itu ternyata benar. Orang-orang sibuk mem ikuli batang bakau-bakau yang berat itu dari rawa-rawa ke bandar. D i sepanjang bandar oran g mendirikan tonggak-tonggak untuk perbentengan. Ribuan orang mengangkuti pasir dan

D emak bekerja mengangkuti batu. D ari kejauhan mereka nam pak seperti serum pun semut yang sedang menggalang perumahannya sendiri.

Mereka berdua mendarat di tepi mu ara tanpa mendapat gangguan.

Cu kup hanya dengan assalamu alaikum. D an mereka tidak tahu, bahwa Fathillah menghendaki agar oran g-orang pedalaman turun sebanyak-ban yaknya ke Sunda Kelapa, bukan saja untuk bertaubat, juga agar jumlah penduduk yang terlalu sedikit itu bertambah tiga samp ai empat kali lipat D engan pendud uk terlalu sedikit ia tak banyak dap at berbuat. Maka setiap pendatang dari pedalaman untuk sementara tidak dikenakannya peraturan apa pun.

D an pendatang-pendatang baru memang ada, walaupun tidak banyak. Sebagian terbesar dari yang tidak banyak datang dari sebelah barat Sunda Kelapa. Mereka adalah orang-orang Banten yang bermaksud mencari perlindun gan dari Pajajaran setelah masuknya Jepara-D emak ke sana. Serentak mereka mengetah ui Sunda Kelapa juga telah dikuasai Fathillah, mereka melarikan diri ke barat kembali atau naik mem asuki pedalaman Pajajaran. Sebagian kecil dari mereka – orang tua-tua dan kanak-kan ak yang tak mampu meneruskan perjalanan – terpaksa tertinggal. Di antaran ya terdapat juga wanita-wanita dengan bayinya. Fathillah mem beri mereka temp at di bedeng-bedeng bandar yang paling jauh. Bedeng-bedeng terdekat dipergunakan oleh asram a prajurit-prajuritnya.

Pendatang dari selatan adalah laksana tetesan air, tidak semakin banyak, malah semakin tiada. Pada dan Sabarini adalah pendatang terakhir dari selatan.

Mereka melangsungkan perkawinan di mesjid, dengan dalih mengu langi perkawinan mereka yang telah mereka lakukan secara Hindu . Sabarini bertaubat masuk Islam dan Pada bertaubat untuk kedua kalinya.

Apabila mereka tinggal samp ai sebulan, Pada akan terkena wajib kerja seperti yang lain -lain. Bukan maksudnya untuk jadi pendudu k Sunda Kelapa. Ia berada dalam perjalanan tugas. Ia harus segera m eninggalkan tempat ini.

Ia sempat menyaksikan selesainya tanggul yang sangat panjang itu. Ia ikut mengh adiri pesta pembukaan kembali bandar. Fathillah telah menyatakan Sunda Kelapa telah siap untuk menerima lalulintas laut. Tetapi sebagaimana halnya dengan bandar Banten, perdagangan lada ditentukan olehnya. Harga yang menjadi lebih tinggi karena tingginya pajak menyebabkan para saudagar enggan singgah baik di Banten atau pun Sunda Kelapa. Sebaliknya sum ber lada kedua, Sumatra terselatan . Kini berubah jadi ram ai. Bandar Panjan g tiba-tiba menjadi ram ai dan penting.

D i sekitar mesjid oran g pada mem bicarakan peraturan- peraturan yang berlebih-lebihan dari Fathillah. Maka Pada

dap at mengetah ui,

tidak berjalan sebagaimana dikehendaki Sang Panglim a-L aksamana-

perkembangan

G ubemur itu. Orang telah mendengar ancaman telah dinyatakannya untuk menghancurkan bandar Panjang.

Untuk keperluan itu ia telah batalkan persiapannya untuk meneruskan penyeran gan dari Cimanuk ke Cirebon. Ancaman itu tak jadi dilaksanakan karena tersusul datangn ya utusan dari T renggono yang tidak mem benarkan maksudnya, karena itu menyalahi persekutuan militer Trenggo no-Fathillah.

0odwo0