Menjelang Pesta Lo mba Seni dan O lahraga

3. Menjelang Pesta Lo mba Seni dan O lahraga

D ulu di W ilwatikta, ibukota Majapahit, terdapat dua istana. Sebuah istana Kaisar, yang lain istana Sang

D harmadhyaksa, penghulu agun g umm at Buddha. Sekarang di Tuban Kota terdap at dua gedung utama. Sebuah adalah kadipaten, yang lain gedung penghulu negeri um mat Islam T uban.

Sekarang gedung kayu besar megah itu tidak lagi ditinggali oleh Sang P enghulu, kosong. Tetapi beberapa hari

belakangan seluruh pelatarannya dikelilingi pagar papan kayu tinggi. D ari jalanan hanya nampak atapnya yang dari sirap jati, kelabu kehitaman. Melalui pagar setinggi tiga depa itu orang tak dapat meninjau ke dalam.

Penghun inya, Penghulu N egeri berasal dari seberang, telah dipecat oleh Sang Patih atas perintah Sang Adipati.

D ahulu ia diangkat untuk mengu rusi soal-soal agama D ahulu ia diangkat untuk mengu rusi soal-soal agama

Setelah pelataran dipagari tinggi oran g justru pada datang dalam bondongan dan menggerombol, mencoba dap at mengintip ke balik dinding pagar. Berita telah pecah ke seluruh kota: Bidadari Awis Kram bil, I dayu, juara tari dua kali berturut, telah datan g ke Tuban Kota untuk menggondol kejuaraan ketiga kalinya.

D esas-desus meniup sejadi-jadinya: dia datan g untuk takkan balik ke desanya lagi – sebagai bunga perbatasan pasti dia akan diselir oleh Sang Adipati. Sebelum bidadari itu jadi milik pribadi Sang Adipati orang memerlukan datang untuk membelainya dengan pandan gnya. Beberapa pemuda telah bermimpi akan melarikannya. Sebagai selir dia takkan dapat dipuja atau dikagumi lagi.

Tapi rombongan seni dan olahraga dari Awis Kram bil belum lagi tiba.

D esas-desus telah datang mendah ului, mem ercik ke seluruh kota seperti kebakaran pada padang ilalang. D an tak lain dari kepala desa Awis Kram bil sendiri yang merencanakan dan menitipkannya. Rombon gan yang belum datang itu tak tahu -menah u. Hanya mereka yang melaksanakan perintahnya tahu benar duduk-perkaran ya: W ejangan terakhir Rama Cluring telah membawa desa Awis Kram bil ke tepi kebinasaan . D engan keputusan sendiri ia telah meracuni guru-pembicara itu. D an pada up- acara pembakaran jenasahnya, dibiayai oleh seluruh desa, terang-terangan ia menyesali wejangan ipendiang. Seorang pengawal perbatasan berkuda ikut menyaksikan. Ia mengakui di depan umum, ia sendiri yang telah D esas-desus telah datang mendah ului, mem ercik ke seluruh kota seperti kebakaran pada padang ilalang. D an tak lain dari kepala desa Awis Kram bil sendiri yang merencanakan dan menitipkannya. Rombon gan yang belum datang itu tak tahu -menah u. Hanya mereka yang melaksanakan perintahnya tahu benar duduk-perkaran ya: W ejangan terakhir Rama Cluring telah membawa desa Awis Kram bil ke tepi kebinasaan . D engan keputusan sendiri ia telah meracuni guru-pembicara itu. D an pada up- acara pembakaran jenasahnya, dibiayai oleh seluruh desa, terang-terangan ia menyesali wejangan ipendiang. Seorang pengawal perbatasan berkuda ikut menyaksikan. Ia mengakui di depan umum, ia sendiri yang telah

Ia tahu pasti segala sesuatu tentang Awis Krambil telah samp ai pada Sang P atih dan Sang Adipati. D an desas-desus itu perlu untuk mengingatkan mereka pada Awis Kram bil, pada Rama Cluring, G aleng dan Idayu, dan : tindakannya yang bijaksana.

Ro mbongan Awis Krambil telah nampak dari kejauhan.

G endangn ya bertalu-talu menyampaikan berita. Umbul- um bulnya jelas turun-naikdi udara mengu ndan g semua untuk senang menerima kedatangann ya.

Serulingnya melengking. Penyambut sepanjang jalan bersorak-sorai gegap-gempita.

“D irgahayu, Awis Kram bil! D irgahayu Idayu!” Bocah-bocah pada berlarian menyongsong dengan

tangan melambai-lambai. Tubuh mereka, telanjang atau setengah telanjang, mengkilat coklat kehitam an seperti kayu sawo mu da. D ebuan jalanan mengepul tak kenal am pun.

D an um bul-umbul di kejauhan semakin cepat naik-turun. Orang-orang kota yang menyam but pada gerbang

pinggiran Kota ikut bersorak. Laki, perempuan, kakek, nenek, kanak-kan ak. Bocah-bocah terbang berlarian untuk menyatakan kegembiraan atas kedatangan juara negeri, kekasih semua dewa. Pria-pria tak berbaju dengan keris terselit pada pinggang, destar terikat longgar, pertanda menem puh perjalanan jauh. W anita-wanita dalam rombongan juga tidak berbaju, tidak berkemben, bertopi pinggiran Kota ikut bersorak. Laki, perempuan, kakek, nenek, kanak-kan ak. Bocah-bocah terbang berlarian untuk menyatakan kegembiraan atas kedatangan juara negeri, kekasih semua dewa. Pria-pria tak berbaju dengan keris terselit pada pinggang, destar terikat longgar, pertanda menem puh perjalanan jauh. W anita-wanita dalam rombongan juga tidak berbaju, tidak berkemben, bertopi

Begitu sam pai ke gerbang perbatasan Kota, semu a bunyi- bunyian meriuh gila. Seoran g punggawa kadipaten, dad anya terhiasi selempang selendang sutra, sedang destarnya disuntingi bunga kenanga, maju ke tengah jalan mengh entikan rom bongan. Semua melambaikan tangan bersorak-sorai, kecuali pemuda-pemu da yang sedang menelan tubuh bidad ari Awis Krambil, merabai tubuhnya dengan pandan g rakus.

Penyambut resmi itu mengangkat tangan tanpa melambaikannya. Semua bunyi-bunyian padam. Sorak- sorai beku. D engan suara berwibawa ia angkat bicara: “D irgahayu Awis Krambil!”

“D irgahayuuuuuuu,” semua, pendatang dan penonton, meledak serentak.

“Tahukah kalian aturan masuk ke Kota?” tanya penyambut resmi itu, sekarang bertolak pinggang.

“Belum! Belum!” jawab rombongan seperti pada tahun yang lalu, juga seperti tahun-tahun yang sebelumnya.

Penyambut resmi melambaikan tangan kanan, menurun semua diam mendengarkan: “Buka kuping, dengarkan

tajam -tajam. Atas titah Sang Patih, baran gsiapa dari pedalaman memasuki Kota harus memperhatikan aturan ini: semua wanita, kecuali anak-anak di bawah umur, harus menutup dad anya. Paling sedikit dengan kemban .”

D an seperti pada tahun-tahun sebelum nya juga sekarang pemuda-pemu da bersorak mengejek: “Ho-ho-ho, G usti Bendo ro Penghulu yang mem buat aturan sudah dipecat!”

Begitu sorak ejekan padam, penyambut resmi menirukan: “Tetap berlaku! Ho-ho-ho!” ejekan semakin gemuruh.

“N ah, wanita-wanita Awis Kram bil. Kalian sudah dengar peraturan ini. Ambil kemban dan pakailah!” Upacara selesai. Pemud a-pemuda mengh alangi mereka pemakaian kemban, seakan-akan itu pun sudah jadi bagian dari upacara, setelah keluarnya larangan. Semua wanita pendatang melakukan gerakan-gerakan mem bantah kehendak para pemuda. Maka terjadilah tarian untuk merebut dan mem pertahan kan kemban. Kanak-kanak bersorak dan berjingkrak dan gam elan mulai ditabuh riuh.

D an orang-orang tua pada menekur mengenan gkan masa mu dan ya.

“Jangan biarkan Sang Surya m alu melihat kalian. Cepat, karena seluruh Kota sudah menunggu.”

Maka gerak-gerik perawan yang hendak berkemban dan pemuda-pemu da yang mengh alangi berubah jadi tarian yang sesungguhnya. G amelan semakin riuh dan tarian semakin indah .

Ro mbongan Awis Krambil telah nampak dari kejauhan.

G endangn ya bertalu-talu menyampaikan berita. Umbul- um bulnya jelas turun-naikdi udara mengu ndan g semua untuk senang menerima kedatangann ya.

Serulingnya melengking. Penyambut sepanjang jalan bersorak-sorai gegap-gempita.

“D irgahayu, Awis Kram bil! D irgahayu Idayu!” Bocah-bocah pada berlarian menyongsong dengan

tangan melambai-lambai. Tubuh mereka, telanjang atau setengah telanjang, mengkilat coklat kehitam an seperti kayu tangan melambai-lambai. Tubuh mereka, telanjang atau setengah telanjang, mengkilat coklat kehitam an seperti kayu

D an um bul-umbul di kejauhan semakin cepat naik-turun. Orang-orang kota yang menyam but pada gerbang

pinggiran Kota ikut bersorak. Laki, perempuan, kakek, nenek, kanak-kan ak. Bocah-bocah terbang berlarian untuk menyatakan kegembiraan atas kedatangan juara negeri, kekasih semua dewa. Pria-pria tak berbaju dengan keris terselit pada pinggang, destar terikat longgar, pertanda menem puh perjalanan jauh. W anita-wanita dalam rombongan juga tidak berbaju, tidak berkemben, bertopi caping. Pemuda-pemuda penyambut segera mengepung rombongan, untuk lebih dah ulu mem belaikan pandang pada Idayu, mengagumi kecantikan, keindahan tubuh dan buahdadanya.

Begitu sam pai ke gerbang perbatasan Kota, semu a bunyi- bunyian meriuh gila. Seoran g punggawa kadipaten, dad anya terhiasi selempang selendang sutra, sedang destarnya disuntingi bunga kenanga, maju ke tengah jalan mengh entikan rom bongan. Semua melambaikan tangan bersorak-sorai, kecuali pemuda-pemu da yang sedang menelan tubuh bidad ari Awis Krambil, merabai tubuhnya dengan pandan g rakus.

Penyambut resmi itu mengangkat tangan tanpa melambaikannya. Semua bunyi-bunyian padam. Sorak-

sorai beku. D engan suara berwibawa ia angkat bicara: “D irgahayu Awis Krambil!”

“D irgahayuuuuuuu,” semua, pendatang dan penonton, meledak serentak.

‘Tahukah kalian aturan masuk ke Kota?” tanya penyambut resmi itu, sekarang bertolak pinggang.

“Belum! Belum!” jawab rombongan seperti pada tahun yang lalu, juga seperti tahun-tahun yang sebelumnya.

Penyambut resmi melambaikan tangan kanan, menurun semua diam mendengarkan: “Buka kuping, dengarkan tajam -tajam. Atas titah Sang Patih, baran gsiapa dari pedalaman memasuki Kota harus memperhatikan aturan ini: semua wanita, kecuali anak-anak di bawah umur, harus menutup dad anya. Paling sedikit dengan kemban .”

D an seperti pada tahun-tahun sebelum nya juga sekarang pemuda-pemu da bersorak mengejek: “Ho-ho-ho, G usti Bendo ro Penghulu yang mem buat aturan sudah dipecat!”

Begitu sorak ejekan padam, penyambut resmi menirukan: “Tetap berlaku! Ho-ho-ho!” ejekan semakin

gemuruh. “N ah, wanita-wanita Awis Kram bil. Kalian sudah

dengar peraturan ini. Ambil kemban dan pakailah!” Upacara selesai. Pemud a-pemuda mengh alangi mereka pemakaian kemban, seakan-akan itu pun sudah jadi bagian dari upacara, setelah keluarnya larangan. Semua wanita pendatang melakukan gerakan-gerakan mem bantah kehendak para pemuda. Maka terjadilah tarian untuk merebut dan mem pertahan kan kemban. Kanak-kanak bersorak dan berjingkrak dan gam elan mulai ditabuh riuh.

D an orang-orang tua pada menekur mengenan gkan masa mu dan ya.

“Jangan biarkan Sang Surya m alu melihat kalian. Cepat, karena seluruh Kota sudah menunggu.”

Maka gerak-gerik perawan yang hendak berkemban dan pemuda-pemu da yang mengh alangi berubah jadi tarian yang sesungguhnya. G amelan semakin riuh dan tarian semakin indah .

Ro mbongan Awis Krambil semakin tebal dan panjang. Jalanan penuh-sesak. Bahkan kereta pembesar mengalah Ro mbongan Awis Krambil semakin tebal dan panjang. Jalanan penuh-sesak. Bahkan kereta pembesar mengalah

Sepanjang jalan seruan dirgahayu berderai bersambut- sambutan. Sampai di depan bekas gedung Penghulu N egeri yang terpagari papan kayu tinggi, iring-iringan berhenti. Pintu pagar terbuka lebar. Seorang penyambut berdiri di tengah-tengah pintu. Ia berkain. Karena tubuhnya tinggi, kain itu tak mencapai matakaki. D adan ya telanjang. Ia tak mengenakan selendang sutra yang m enyelim pangi dada. Di tangannya ia membawa pedang terhunus. Di kiri dan kanann ya berdiri pengawal bertom bak dan berperisai.

“D ari mana semua ini, m aka mem bikin onar di Kota?” “Kami,” jawab kepala desa yang melompat ke depan,

“dari desa perbatasan Awis Kram bil.” “Apa keperluanm u, pelancang?” gertak penyambut

sambil mengamangkan pedangn ya.

D ua orang pengawalnya maju, mem asang kuda-kuda dengan tombaknya.

“D atan g ke kota untuk merebut kejuaraan. Berikanlah pintu pada rombongan terbaik seluruh negeri ini,” jawab

kepala desa. “Ahai! D atang untuk m erebut kejuaraan. Tidak semudah

itu orang desa!” “Berilah kami kesempatan!”

“Baik, masukkan semua rom bonganmu, dan pergi nyah kau dari sini.”

D an dengan demikian rom bongan Awis Kram bil masuk, kecuali bukan peserta. Penonton bersorak-sorai, bergalau mem anggil-m anggil Idayu.

D an pintu pagar tertutup rapat.

0o-d w-o0

D ua hari rom bongan peserta Awis Kram bil telah diasramakan. Pria menempati bangun an sebelah kanan, wanita sebelah kiri. Semua wakil desa-desa telah datang. Latihan pun sudah dimulai

D i bandar saudagar-saudagar, asing dan Pribumi mengadakan taruhan satu sepuluh: datang-tidaknya Sang Adip ati ke asrama untuk mengu njungi Idayu. D atang berarti bidad ari Awis Kram bil akan terambil jadi selir. Taru han itu sampai mencapai seluruh muatan kapal, malahan kapalnya sendiri. Suasan a hangat membubung di atas bum i dan kepala m anusia Tuban Kota.

Punggawa-punggawa desa Awis Kram bil semakin giat meniup-niupkan desas-desus. D an hanya tiga orang saja sekarang tak tahu tentang itu: Idayu sendiri, G aleng dan Sang Adipati

Penguasa Tuban itu masih juga sibuk menata pikiran mengh adapi kemungkinan datangnya Portugis dan

Spanyol. Juga Idayu tak kurang sibuknya: berlatih dan melakukan pekerjaan

untuk kepentingan bersama: mem asak dan mem bersihkan asram a. G aleng pun sibuk melatih otot-ototnya.

Mereka turun ke kota dan m emasuki asrama dengan hati berat. Persiapan perkawinan mereka kembali harus

disimp an di dalam lumbung. Seorang demi seorang dari punggawa desa itu mendatangi mereka, mem aksa dengan segala macam alasan. Mereka tetap menolak, mereka hendak melangsungkan perkawinan. Kemu dian tak lain dari kepala desa sendiri yang datang. ‘D esa kita telah dicemarkan oleh mendiang Rama Cluring’, katanya. ‘Kehormatannya haru s dipulihkan, dan’, kepala desa itu disimp an di dalam lumbung. Seorang demi seorang dari punggawa desa itu mendatangi mereka, mem aksa dengan segala macam alasan. Mereka tetap menolak, mereka hendak melangsungkan perkawinan. Kemu dian tak lain dari kepala desa sendiri yang datang. ‘D esa kita telah dicemarkan oleh mendiang Rama Cluring’, katanya. ‘Kehormatannya haru s dipulihkan, dan’, kepala desa itu

Tahulah ia: otot-otot yang perkasa sama sekali tanpa daya mengh adapi kekuasaan kepala desa. Ia menyerah tanp a rela hatinya. Sebelum pergi kepala desa masih mengancam: ‘Kau haru s menggondol kemenangan itu di Tuban Kota nanti. Kembalikan kehorm atan Awis Kram bil! Ia hanya bisa mendeham menerima paksaan kepala desa, dan ia harus menggon dol kemenangan.

0o-d w-o0

G aleng sedang menimba sum ur asrama waktu didengarnya teguran seseoran g: Ia menengok. Orang itu ternyata penantangnya dari desa lain, dikenal bernam a Boris. N ama lengkapnya Borisrawa, seoran g pengejek yang tajam menyayat kata-katanya.

G aleng meletakkan timba dan mengh ampirinya. D alam segala ukuran Boris kalah daripadan ya, nam un

semangatnya untuk menang mem ancar kemilau pada matanya.

“Kang G aleng,” katanya lagi. “Kau datang lagi ke Tuban Kota tahun ini.”

“Kau juga, Boris.” Boris milirik tajam, bibirnya tertarik kejang mengejek:

“Kau datang untuk menan g? Atau untuk kehilangan Idayu?”

D arah G aleng tersirap. Sekarang jelas padan ya arti sindiran-sindiran selam a dalam perjalanan dan memuncak dalam asrama ini.

D ua masalahnya belum lagi terpecahkan: menan g dan lepas dari hukum an Sang Adipati. Sekarang gelom bang sindiran tentang kehilangan Idayu. Siapa bakal mampu merampas kekasih daripadan ya kalau bukan punggawa? Ia masih dapat mengingat kebencian Rama Cluring terhadap para punggawa – kebencian yang bukan tanp a alasan. D an pesan kepala desa dan anggo ta-an ggota majelisnya untuk turun lagi ke gelanggang perlombaan. Ia masih dap at mengingat waktu Idayu menolak, dan rapat desa diadakan dengan terburu-buru. Ia pun masih dapat mengingat penutupan perlombaan tahu n lalu: semua gadis perbatasan diperintah kan menari di pendopo kadipaten. Tak ada penduduk desa diperkenankan hadir. D an kemudian desas- desus ini mata Sang Adipati tak lepas-lepas dari gadisnya, Idayu.

“Idayu, Kang – rupanya kau sudah relakan dia,” tetaknya.

G aleng mencoba tersenyum. Sumban g. Satu dugaan telah mendorongnya ke pojok: bukan salah seorang dari para punggawa itu, tapi Sang Adipati sendiri bakal merampas kekasihnya.

“Betapa indahnya kehidupan di desa sendiri, ya Kang?” Boris masih juga mencoba mem bakar dan menganiaya

hatinya. “Ya,” jawabnya ham bar. Sebelum kepergian terakhir ke Tuban ia selalu merasa

bangga melihat pandan g pria yang mem berahikan kekasihnya, pandan g wanita yang mengagumi dan bangga melihat pandan g pria yang mem berahikan kekasihnya, pandan g wanita yang mengagumi dan

“Mengapa kau diam saja, kang? Marah baran gkali?” Begitu dilihatnya G aleng menjatuhkan pandang ke tanah basah berbatuan segera ia meneruskan: “Tak ada guna marah Kang, percuma. Barangkali hanya aku yang berani menyatakan ini terang-terangan padamu. Sekiranya kau marah, itu pun beralasan. Aku mem ang penantan gmu. Hadapi aku nanti di gelanggang. Jangan di sumu r sini.”

D i luar dugaan Boris, G aleng tersenyum. Giginya kemudian mu ncul, nampak dan gemerlapan putih.

“G igimu m asih putih, Kang. Apa akan tetap kau biarkan putih seperti itu?”

“G igimu pun masih putih, Boris. Kapan kau hitamkan ?” “Bagiku tidak soal.” Tiba-tiba ia menetak lagi: “Aku

tidak mengh arapkan perawan atau jandanya Idayu, Kang. Kalau dia lepas dari tanganmu , apa gigimu akan tetap putih juga?”

G aleng meninggalkan sum ur dengan kesakitan dalam hatinya. Sekali ini kemarahan m emang m embuncah. D an ia

tak ingin terjadi perkelahian. Apa lagi ia tahu Boris sengaja hendak mengganggun ya. Ia tak jadi menimba, masuk ke dalam asrama, hendak berdam ai dengan hati sendiri. Tapi kembali ancam an kepala desa memasuki ingatannya. Kalau dia libatkan diriku pada Rama CIuring, tentu juga Idayu.

D ia dan majelisnya telah giring kami ke Tuban Kota, ke hadapan Sang Adipati sendiri.

Setiap oran g tahu akibat gugatan terhadap punggawa, terhadap Sang Adip ati, terhadap seorang raja. Hukuman. Mati. Tak ada tawaran lain. Tapi Rama CIuring tidak keliru, dia .benar, mereka tak pernah berbuat sesuatu untuk kawula; segala tingkah laku mereka tak boleh disalahkan, sekalipun hanya dengan kata-kata. Aku dan Idayu akan ditindak. Tidak sekarang, pastilah nanti sehabis perlombaan. Ia pun tahu betul: ada aturan yang mem bebaskan setiap peserta perlombaan yang diasram akan dari segala tuntutan.

Maka aku dan Idayu harus menang. Haru s! Kemenan gan saja yang baran gkali dap at melepaskan kami

berdua dari hukuman. Bebas! Bebas! Mu ngkin aku bisa bebas, tapi Idayu? Mungkinkah dia bisa balik ke Awis Kram bil bersama dengan ku? Betapa bakal sunyi hidup ini tanp a Idayu, tanpa dia, tanpa tawa tanpa candanya. D an apa pula arti duka-cita seoran g anak desa seperti kami bagi seorang Adipati yang berkuasa atas hidup dan mati….?

0o-d w-o0

Idayu sedang masak waktu mendengar berita itu: “G aleng bingung! G aleng bim bang! Dia akan kalah di gelanggang nanti. Dia akan kehilangan dua: kejuaraan dan Idayu. Kalau dia menan g, dia akan kehilangan satu: Idayu saja, kau saja. D ia tetap akan kehilangan. ”

‘Teka-teki yang buruk,” Idayu menan ggapi dan belum begitu menyedari duduk-perkara.

“Bukan teka-teki. Kau sendiri lebih tahu dari aku.” “Apa maksudm u sesungguhnya?” ia tinggalkan periuk

dan mendekati teman masaknya.

“Maksudku, Idayu. D i desamu sana, semua orang melihat betapa indah dan bersinar kulitmu, agun g kalau sudah menari, memikat, tinggi semam pai seperti puncak gunu ng kapur. D i sini orang melihat kau hanya pada wajahm u. Tidak kurang tertarik.” Teman masak itu mendekatkan bibir pada kuping Idayu: “Kau akan tinggal di keputrian, Idayu.”

Idayu mem beliak. Centong pada tangannya luruh ke tanah. W ajah temannya tak nampak olehnya. Sebagai gantinya mu ncul kepala desa yang berkumis jarang dan kata-katanya yang lembut, manis dan mem bujuk: ‘Kecakapan dan kecantikanmu, Idayu, akan memban tu kau mencapai segala yang jadi impianmu . D an semua orang menilainya sebagai cantik dan tanpa tand ingan dalam menari. Juga semua orang tahu harga kecantikan dalam percaturan kekuasaan, di desa ataupun kota.

“Ya, Idayu, pemenang tunggal akhir-akhirnya G usti Adip ati juga. Tidak lain dari kau sendiri yang lebih mengerti. Sampai sekarang kabarnya Awis Kram bil belum juga mendapat tam bahan Raden Bambang, belum ada lagi N yi Ayu….”

Idayu menarik ke dua-dua lengan nya jadi siku-siku, mengejang jari-jarinya pada pipi, mencengkeram udara kosong. Matanya berpendaran pada langit-langit dapur, hitam diselaputi jelaga tipis.

Temann ya mem ungut centong dan mencucinya dalam jamban g air, kemudian mem betulkan letak kayu bakar. “Tak ada pilihan lain bagimu, Idayu,” katanya lagi sambil melewatinya.

D alam m ata batin Idayu kini terpamp ang dirinya sendiri, la mengerti betul kata-kata tem annya itu. D an ia diam. Satu D alam m ata batin Idayu kini terpamp ang dirinya sendiri, la mengerti betul kata-kata tem annya itu. D an ia diam. Satu

Asrama itu sendiri terletak di tentang alun-alun, tak seberapa jauh dari gedung kadipaten.

D i luar asram a orang-oran g terus juga menggerombol dengan harapan pintu pagar sekali-sekali dibuka dan dap atlah pandang dilemp arkan ke dalam.

Hari semakin gelap. Beduk mesjid Kota dan mesjid pelabuhan telah bertalu-talu. D i sela desau dan deru ombak yang m endesak daratan terdengar azan bilal.

D i depan asrama orang semakin banyak datang. Hampir pada setiap kepala mereka hidup satu gambaran: Idayu

yang sedang menari pada perlombaan tahu n yang lalu. Lebih dari itu: sedang tersenyum pada si pemilik hati masing-m asing, senyum seorang bidadari pujaan. Idayu! Idayu!

Hati mereka berseru-seru, berbisik-bisik, menggonggong dan melolong seperti anjing di mu sim kawin. D an setiap orang di antaranya punya harapan: seorang dewa pemurah akan mengkaruniakan gadis perbatasan itu pada dirinya.

D an malam itu setelah mengikuti pelajaran tatakrama kerajaan bagaimana harus berlaku di hadapan para punggawa, terutam a Sang Adipati sendiri, semua calon petanding menuju ke bangsal ketiduran masing-m asing. Kelelahan berlatih dan bekerja mem bikin mereka terlalu rindu pada bantal.

Idayu masuk ke bangsal wanita. D amarsewu pendek menerangi semua pojokan. Tanpa bicara ia rebahkan tubuhnya di antara kawan-kawan nya wanita. D an ia m asih dap at menan gkap sindiran dari sana-sini.

“Siapa seminggu kemudian akan mem asuki keputrian?” dan tawa terkikik-kikik menyusul berpantulan dari bibir ke bibir.

Idayu diam saja dan hanya dapat berdoa. Ia rasakan duka-cita yang sedang menerjang kekasihnya. D an kekasih yang dempal kuat itu muncul dalam perasaannya seperti seorang bayi seminggu yang mem butuhkan perawatan nya.

D an ia tak dapat mem berikannya. Tanpa disadarinya matanya telah melepas mu tiara-

mu tiara, berkilauan tertimpa sinar damarsewu. Segala keindahan masa kemarin serasa akan bubar-buyar dari

angan-angan kekasihnya. Yang tertinggal akan hanya samp ahnya yang berham buran tak m enentu.

Seorang demi seorang telah mu lai tertidur. Akhirnya tenang. D eburan laut terdengar semakin nyata dan semakin nyata. Kadang berlomba dengan desah angin yang merobosi sirap.

ia masih terbiasa mem bayangkan sebuah pondok bambu beratap ilalang,

Sam pai dengan

kemarin

berdiri sederhana di pinggir hutan. G aleng sendiri yang mengu sulkan pendirian pondok itu. D an mereka berdua akan mem buka hutan di pinggiran desa itu, dan membuka hum a seluas-luasnya untuk gogo dan palawija. ‘Ayam tak perlu banyak/ kekasihnya menyarani, ‘kecuali kalau hutan

itu sudah terbuka luas. Tiga ekor indu k dan seekor jago sudah cukup untuk permulaan. D an sepasang anjing yang cerdas. Kelak atap ilalang akan kuganti dengan injuk. Sudah aku ketahui ada daerah enau. Aku sudah temukan daerah enau, D ayu! Kita akan bikin gula dan tuak sebanyak-ban yaknya!

Ia simp an gambaran itu sebagai suatu yang terlalu mahal sekarang ini.

Kemu dian Sang Adipati mu ncul dalam mata batinnya, bertolak pinggang, semua rambutnya telah putih, tegap, gagah, dan G aleng dihalau dari hadapannya. Kekasihnya itu merangkak pergi bersama dengan impian dan kesakitan sendiri. D irinya sendiri tidak dapat berbuat apa-ap a. Sudah terlalu banyak cerita tentang raja yang mengh endaki perawan cantik dan menikam kekasih perawan dengan tangan dan keris sendiri. Ah, G aleng, Kang G aleng! Bahkan kekasihnya itu tak berani menengok untuk mem andan gi buat terakhir kali.

Tiba-tiba ia tersedan pelan, sangat pelan. Apa pula arti air mata bagi Sang Adipati? Sedang nyawa orang pun

miliknya? Ia tahu, di tangan Sang Adipati tak ada orang boleh menyentuh dirinya, G aleng tidak, orangtuanya sendiri pun tidak. Ia menggeragap bangun. Seorang bocah lelaki, berum ur empat belasan, mendad ak telah berdiri di hadapannya dan menyentuh dirinya. Telunjuknya, yang bercincin mas, terpasang pada bibir – ia mem beri isyarat agar tak ada sesuatu bunyi. Ia pandan gi anak itu dari balik selaputan air mata. Masih dilihatnya bocah itu berpakaian ningrat. G elang mas mengh iasi lengan. D estarnya saja menyangkal

keningratannya, karena ujung-ujung pengikatnya terkanji kaku. Ikat pinggangnya dari kulit, lebar, berkilauan dengan hiasan perak.

D engan sikap rah asia si bocah menyerahkan secarik lontar.

D an sebelum Idayu sempat bertanya ia telah keluar dari bangsal wanita.

G adis Awis Kram bil itu melangkah ke sebuah dam arsewu dan mem bacanya: “Idayu, kekasih si Kakang. Jangan kaget karena datangnya lontar ini. Di luar sana malam, Idayu, tetapi dalam hatiku kekuatiran yang merajalela. Kalau nanti, Idayu, kekasih si Kakang, menang G adis Awis Kram bil itu melangkah ke sebuah dam arsewu dan mem bacanya: “Idayu, kekasih si Kakang. Jangan kaget karena datangnya lontar ini. Di luar sana malam, Idayu, tetapi dalam hatiku kekuatiran yang merajalela. Kalau nanti, Idayu, kekasih si Kakang, menang

Perawan perbatasan itu menghela nafas panjang. Lontar itu diciumnya, kemudian ia gulung kecil, ia tekuk. Ia lepaskan subang kiri dari kuping dan mem buka cepuknya.

G ulungan kecil lontar itu dimasukkan ke dalamn ya subang itu dikenakannya kembali. Ia merangkak ke am bin dan turun lagi mengambil kantong tipis dari anyaman bambu.

D ari dalamnya ia keluarkan selembar lontar dan sepotong besi menggurit. D engan penggurit itu ia mu lai menulis.

Setelah selesai disekanya dengan jelaga pelita dan mu ncul tulisannya.

Si bocah menongolkan kepala di pintu. Idayu menyerahkan lontar balasan.

D am arsewu tetap menyala. Menurut aturan asrama, lampu harus tetap menyala dari surya tenggelam sampai terbit….

G erom bolan orang di luar asrama sudah lama bubar dengan menyemaikan harapan untuk hari esok.

D alam bangsal pria, si bocah Pada menyerahkan lontar balasan pada G aleng. Juara gulat tahun lalu itu tanpa sabarnya segera m embacanya.

“Kakang G aleng, kakang si adik. Mem ang semua orang sudah bicara. Semua orang sudah tahu, Kang. Apa kau dan

aku bisa perbuat, Kang? G usti Adipati tak dap at kita hadapi. Semoga yang ini tidak akan terjadi. Kelak kau akan terpilih jadi kepala desa, Kang, kepala desa Awis Kram bil. Aku akan jadi si embok lurah, ya Kang? Jangan pikirkan yang lain-lain kecuali pertandingan. Jangan malukan aku dengan kekalahan. Hyang W idhi m engabulkan, Kang.”

G aleng menyorong lontar itu pada api damarsewu, terbakar, jadi abu. Ia pandangi Pada yang masih berdiri di samp ingnya. Juara gulat itu mengangguk, dan bocah itu pergi menghindar, meneruskan kewajibannya meronda ke sekeliling asram a.

Bocah itu lebih suka berada di bangsal wanita. Ke sana pula ia pergi. Baru dua tiga langkah ia masuk terdengar canang bertalu tiada hentinya. Ia berhenti dan mendengarkan. Kemu dian terjadi yang diduganya: keri- butan terbit di dalam bangsal itu. Cepat-cepat ia masuk ke ruangan tidur. Para penghuni telah terbangun semua, bertanya satu pada yang lain: bunyi canang tak pernah masuk dalam acara.

Pada berdiri tegak. Mata terarah pada Idayu yang juga berdiri bertanya-tanya. Ia angkat lengan, mem beri isyarat agar semu a tenang kembali. Lengannya yang bergelang m as diangkatnya semakin tinggi untuk mem am erkan perhiasannya.

“Para mbokayu calon juara!” katanya lantang tanpa ragu-ragu, seperti pembesar berpengalaman, “jangan kaget

jangan terkejut, jangan gaduh, jangan ribut. Canang itu mem ang belum ada pada tahu n yang lalu. Apalagi di malam hari seperti ini. Aturan baru, para mbokayu calon juara! Artinya, para mbokayu calon juara, pada malam ini

kelihatan datangn ya kapal asing akan mem asuki pelabuhan .”

“Mengapa dipukul terus seperti panggilan perang?” seseoran g bertanya.

‘Tidak ada perang. Tidak ada kerusuhan. Pertam a-tama sebagai pemberitahuan pada para pedagang pelabuhan supaya siap-siap dengan barang dagan gannya. Kedua untuk mem bangun kan para pekerja pelabuhan. Dan yang ‘Tidak ada perang. Tidak ada kerusuhan. Pertam a-tama sebagai pemberitahuan pada para pedagang pelabuhan supaya siap-siap dengan barang dagan gannya. Kedua untuk mem bangun kan para pekerja pelabuhan. Dan yang

‘Taluan canang itu lebih mirip dengan panggilan perang. ” seseorang membantah.

”Kalau betul ada kapal asing datang, tentulah kapal

D emak.” “D emak?” “D emak m enyerbu dari laut?” “Tidak. Percayalah pada Pada ini. Tidurlah lagi semua

mbokayu calon juara.”

G adis-gadis itu terlampau mu dah diyakinkan dengan gerak gelang dan cincin Pada. Mereka kembali merangkak

ke am binnya masing-masing dan meneruskan tidurnya. Idayu justru m endekati Pada.

“Tidur, mbokayu. Kau begitu pucat. Beberapa hari lagi pertandingan dimulai,” tegur Pada sebagai pejabat.

“Jangan katakan pada siapa pun tentang lontar tadi,” bisik gadis perbatasan itu tanpa mengindah kan teguran.

“Apakah ada nampak olehmu Pada ini tak dap at dipercaya?” si bocah berbisik kembali.

“Percintaan mem ang dilarang di sini mbokayu.” “Bukannya aku tidak percaya. Kalau samp ai terdengar

ke sana….” Idayu menuding ke arah kadipaten, “apa bakal?”

“Apa bakal jadinya?” ia mencibir, “Mbokayu celaka, Kang G aleng celaka. Aku lebih celaka

lagi. Tentang yang sama itu bukankah Mbokayu sendiri yang tinggal pilih? Kang G aleng sendiri bisa apa? Mem ilih seorang di antara dua tidaklah sulit. Bukankah semua orang lagi. Tentang yang sama itu bukankah Mbokayu sendiri yang tinggal pilih? Kang G aleng sendiri bisa apa? Mem ilih seorang di antara dua tidaklah sulit. Bukankah semua orang

“Kalau bicara semaum u sendiri, Pada. Tak ada terniat dalam hatimu untuk membantu aku dan Kakang?”

Untuk pertam a kali dalam asrama gadis itu melihat mata si bocah, yang beberapa tahun lebih muda daripadanya itu, menyala-n yala memberahikannya.

‘Tak ada orang bisa mem bantu,” bisiknya berwibawa. “Hanya Mbokayu sendiri yang bisa menentukan, dan semua akan selesai. Bukankah Mbokayu seorang wanita di negeri sendiri?”

“Kau benar, Pada,” ia mengalah setelah mengherani kebijaksanaann ya. “Akhir-akhirnya aku bukan satu-satunya yang pernah m enghadapi soal seperti ini. Si Mira dulu lebih suka menyobek perutnya. Si D am a lari ke negeri Atas Angin dengan Parta. Tapi mem ang tidak semudah itu, Pada. Kau harus membantu.”

“Kalau kau sudah mem utuskan, tentu mudah untuk mem bantu.”

”Sudah, tidurlah, Mbokayu calon juara. Makin banyak melanggar aturan makin tidak baik,” dan ia pergi. Si lancang m ulut itu ke luar dari ruang tidur.

0o-d w-o0

Pagi itu di ruangan latihan gulat tak ada seorang pun berlatih. Para calon petanding dan pengawasnya pada dud uk-duduk di atas tikar menghadapi sebuah meja rendah panjang yang belum lagi berisi sarap an. Mereka sedang mem ikirkan sesuatu . Tubuh mereka yang dipenuhi oleh gum palan oto t kuat sejak leher samp ai betis seakan Pagi itu di ruangan latihan gulat tak ada seorang pun berlatih. Para calon petanding dan pengawasnya pada dud uk-duduk di atas tikar menghadapi sebuah meja rendah panjang yang belum lagi berisi sarap an. Mereka sedang mem ikirkan sesuatu . Tubuh mereka yang dipenuhi oleh gum palan oto t kuat sejak leher samp ai betis seakan

“Kongso D albi!” seseoran g menyebut nama dengan dihembuskan.

“Kongso – seperti nam a orang sebelah barat sana. Barangkali dia punya darah Jawa dari sebelah sana.”

G aleng diam-diam mendengarkan untuk mengetah ui dud uk perkara.

“D ia bukan Jawa. Juga bukan turunan Jawa. Keling pun tidak. Kata orang kulitnya putih, ram butnya sam a hitamnya dengan kita. Badann ya tidak lebih demp al, tidak lebih tinggi, juga tidak lebih besar daripada kita.”

“Jadi siapa Kongso Dalbi?” akhirnya G aleng bertanya juga.

“D asar tolol perbatasan, kau, juara tahun lalu. Apa guna oto tmu kalau tak pernah dengar nama Kongso D albi? D asar tolol perbatasan! Hanya Idayu saja tahu, itu pun bakal tak kau ketahui juga. Untuk selama-lamanya.”

“Husy!” pengawas mendiamkan . “Kau, G aleng wajib tahu nama itu. Mem ang tidak patut tidak mengetah uinya.

Kongso D albi… oran g Peranggi. Peranggi pun kau tidak tahu barangkali?”

G aleng m enggeleng dan Boris mentertawakannya. “Peranggi,” pengawas mengu langi. “Ayoh, kalian, siapa

tahu tentang negeri Peranggi? Ayoh katakan siapa yang tahu .”

Tak ada yang menjawab. Boris pun tidak “Di mana negeri Peranggi, Pengawas?”

“Aku tak segagah tidak sedempal kalian. Rasanya sudah sepatutnya kalau aku pun tidak tahu.”

“Jadi apa sedang kita bicarakan ini? Petai hampa? Ya, Boris? Petai hampa?” G aleng bertanya.

“Tidak,” jawab Boris gagah, “ketahuilah, calon bekas juara, bahwasanya ada negeri di Atas Angin yang telah jatuh di tangan Peranggi. Sebuah negeri bandar. G oa nam anya. Bandar itu sekaran g dipergunakan jadi pangkalan kapal-kapalnya. Tak ada yang bisa mengalahkan kapai- kapai mereka. Bagaimana bisa kalau mereka sudah bubar sebelum mencoba? Tapi kau jangan coba-coba, Kang

G aleng. D i darat mungkin orang-orang Peranggi akan jadi pisang goreng di tanganmu, kau kemah-kemah, kau

banting. D i laut. Kang, kau hanya agar-agar belaka di tangan m ereka.”

“Betul, G aleng,” pengawas mem benarkan. “Hanya agar- agar. Kau tak bakal bisa mendekat. Hanya mendekat! Tangan mereka terlalu panjang. Mereka bisa lemp arkan bola-bola besi berapi padamu, sebesar sukun! Coba, sebesar sukun! D an kau, Boris, perhatikan mu lutmu . Anak per- batasan juga punya kehormatan dan harga diri. Jangan suka mengejek tidak sepatutnya.”

“Biar, pengawas, daripada kalah untuk kedua kalinya di gelanggang ada baiknya dia diberi kemenangan di luar gelanggang, ” G aleng m elepaskan anak panahn ya. “Biar dia bebas menggetarkan bibirnya sebelum lehernya patah.”

“Husy,” cegah pengawas. “Kau pun sama saja, G aleng, uh. Kalian datang kemari untuk jadi petanding atau pembunuh? PUH! Kalian pulang ke desa masing-m asing untuk mem bawa keharuman, bukan berita kengerian. Jangan kalian lupa.”

“Betul, pengawas, betul sekali. D an Kang G aleng,” kata Boris, “akan pulang, mu ngkin juga dengan membawa keharum an, mungkin juga tidak. Yang jelas dia akan pulang “Betul, pengawas, betul sekali. D an Kang G aleng,” kata Boris, “akan pulang, mu ngkin juga dengan membawa keharum an, mungkin juga tidak. Yang jelas dia akan pulang

Tiba-tiba percakapan m ereka terputus oleh bunyi canang bertalu. Tak lama kemudian canang kadipaten menyahuti bertalu pula. D an apa pun yang sedang terjadi, menurut peraturan, yang berlatih tak diperkenankan berhenti sebelum sarapan pagi datang.

Pengawas, yang mengetah ui pemuda-pemu da tani dan pekerja tak punya kekuatan sebelum sarap an, mengambil kebijaksanaan untuk mengobrol sambil menunggu. D an justru karena canang yang ram ai bersahut-sahu tan pengawas tak jadi meneruskan ceritanya, bahwa kapal- kapal Peranggi sudah mulai kelihatan berkeliaran melewati Singhala D wipa.

D ari luar ruangan terdengar suara Pada berseru-seru seperti seorang pembesar “Para Mbokayu dan Kakang calon juara – sesuai dengan aturan, tahun ini – dengarkan baik-baik. Canang dari pelabuhan berarti: nakhoda dengan atau tanpa saudagar dari kapal semalam sudah berlabuh. Sekarang sudah siap mengh adap G usti Adipati Tuban. Canang kadipaten yang menyahuti menan dakan: G usti Adip ati siap dihadap. Jangan gaduh, jangan gelisah. Tidak ada apa-ap a. Hanya barang siapa ingin mengintip untuk melihat iring-iringan penghadap – kalau bisa mengintip – tapi jangan rusakkan pagar – jangan lewatkan kesemp atan!”

“Barangkali Kongso D albi!” Pengawas menyarani. Mereka berlompatan berebut dulu meninggalkan

ruangan latihan, lari ke luar gedung. Seperti dengan sendirinya baik gadis maupun perjaka mengisi pelataran depan dan bingung m encari lobang pada pagar. M ereka tak mendapatkannya. Mereka lari ke sana kemari mencari ruangan latihan, lari ke luar gedung. Seperti dengan sendirinya baik gadis maupun perjaka mengisi pelataran depan dan bingung m encari lobang pada pagar. M ereka tak mendapatkannya. Mereka lari ke sana kemari mencari

Melewati pagar kayu tinggi itu orang melihat alun-alun yang lengan g seperti biasa pada siang atau pagi hari. Jalan- jalan raya pun senyap. Sebuah iring-iringan kecil menuju ke kadipaten. Beberapa orang yang sedang lewat tidak bersim puh menghormati iring-iringan, tetapi berhenti menonton.

Palin g depan dalam iring-iringan itu berjalan Syahbandar Tuban Ishak Indrajit, yang lebih biasa disebut Rangga

Ishak. Tubuhnya yang jangkung itu berjubah dan bersorban putih. Sedikit di belakangn ya berjalan seoran g nakhoda berbangsa Arab, berjubah dan bersorban coklat muda. Pada pergelangannya m elingkar akar bahar besar. Ia berterompah seperti halnya dengan Syahbandar. Langkahnya tenang sambil mem belai-belai jenggot yang sangat tebal lebat dan kepalanya selalu menundu k seakan sedang menghitung setiap batu yang dilewatinya. D i belakangn ya menyusul

para pemikul. Barang-baran g yang dipikul selalu jadi pergunjingan . Orang mendapat kesemp atan m enaksir-naksir berapa dan apa macam yang bakal dipersembahkan. D an orang bertaruh.

Canang kadipaten bertalu satu-satu, pertanda iring- iringan melewati gapura kadipaten. D an para pengintip

meninggalkan tempat masing-masing dan berlarian kembali ke dalam asram a untuk m endapatkan sarap an.

0o-d w-o0

Pada siang hari berita tentang kedatangan tam u itu meniup cepat. Benar ia seorang saudagar Arab, bukan nakhoda dan hanya bisa berbahasa Arab, Syahbandar yang Pada siang hari berita tentang kedatangan tam u itu meniup cepat. Benar ia seorang saudagar Arab, bukan nakhoda dan hanya bisa berbahasa Arab, Syahbandar yang

Tam u itu agak aneh, kata warta yang datan g m eniup. Ia telah mem ohon diperkenankan mempersembahkan sesuatu tanp a dihadiri atau didengar oleh siapa pun. Juga tidak diperlukan penterjemah.

“Jadi dia bisa Melayu!” seseorang m emberi kom entar. “Mu ngkin juga pintar Jawa,” yang lain m enambah i. Persoalan baru itu tidak m enarik orang.

D i dalam ruangan latihan G aleng berdiri di dekat sebuah meja rendah panjang yang kini telah ditaruhi cobek-cobek tanah berisi telur dan buah-buahan, penganan serta cawan minuman dan madu lebah. Para calon petanding pada mem perhatikan gelang dan cincin mas Pada: Bocah yang punya gaya pembesar itu cekatan dalam mengatur letak makanan dan minum an: Hanya G aleng mem perhatikan airmukanya.

“Madu dan telor mem ang cukup, Pada,” tegur juara gulat dari Awis Kram bil itu. ‘Tuak tidak. Tuak, Pada.

Barangkali kau sendiri yang menghabiskannya.” “Ya, tuak! Tuak!” yang lain-lain m embenarkan. “Tuak dilarang di sini!” Pada m emekik sengit dan keras,

berdiri tegak menan tang mata setiap orang: Ia tahu tak ada di antara pegulat-pegulat itu berani meletakkan tangan pada seorang pejabat: D an ia seorang pejabat terpercaya dari Sang Adipati. “Semestinya Kakang semua ini sudah senang berdiri tegak menan tang mata setiap orang: Ia tahu tak ada di antara pegulat-pegulat itu berani meletakkan tangan pada seorang pejabat: D an ia seorang pejabat terpercaya dari Sang Adipati. “Semestinya Kakang semua ini sudah senang

“D ulu tak begitu banyak larangan,” G aleng m emprotes. “Mem ang. Kang G aleng tidak keliru: D ulu, dulu –

sekarang, sekarang. D aging babi pun sekarang sudah tak boleh dihidan gkan di sini. D i asrama sini, juga daging anjing.”

“N am paknya di Kota ini hanya larangan saja yang ada,”

G aleng m engancam . “Belum lagi semua aku katakan. N anti sore akan

diresmikan larangan baru: orang tak boleh lagi mem ahat batu. N anti sore.” D an suaranya meningkat keras. “Kalau tidak percaya, dengarkan sendiri nanti di alun-alun. Juga itu belum semua. Semua batu berukir di dalam kota harus dikumpulkan di alun-alun – besok samp ai lusa, sebelum perlombaan dimulai. Akan dibuang ke laut!”

“Apa salahnya batu -batu itu? “Salahnya, karena mereka berukir!” jawab Pada ketus.

“Kata orang, G usti Adipati Tuban merasa segan terhadap putranya, Raden Said, yang sudah jadi pandita besar Islam, jadi guru pembicara di m ana-m ana, jadi Ulama, kata oran g.

D an batu berukir dalam peraturan Islam, katanya, baran g- baran g jahat.”

Mereka tak menyedari, Boris dengan diam-diam mendengarkan dan mendekati mereka: Matanya menyala- nyala berang. Tiba-tiba ditariknya meja rendah panjang itu dan ditekuk-lipatnya dengan kedua belah tangan sampai gemertak patah. Cawan-cawan dan cobek beserta isinya jatuh pecah berham buran di lantai. D engan mata mem belalak ia lemparan m eja remuk itu pada dinding.

Orang terkesim ak. Boris jadi pusat perhatian. Pegulat penantan g itu berdiri di tengah-tengah ruangan. Seluruh oto tnya di dada, perut, pinggu l dan punggung bermunculan tegang seakan bersiap hendak bertarung. Kedua belah tangannya kini terangkat sampai bahu, juga penuh bergum palan otot. Lututnya ditariknya jadi siku-siku, siap hendak menerkam siapa saja yang datang. Tak ada orang datang menyerang. Yang ada justru sesuatu yang tak nam pak: kekuasaan Sang Adipati. Kekuasaan mu tlak seorang raja yang tak dap at ditawar tak dap at diketeng, utuh bulat tiada retak tiada rekah.

“Mengapa marah, Boris?” Pada mencoba m eredakan. Ketegangan pada wajah dan otot Boris lambat-lambat

jadi kendur. Suatu kemurungan menggantikannya. Ia menundu k dalam. Tanpa mem andang pada siapa pun keluar kata-kata sendu: “Mem ahat batu dilarang. Lantas harus kerja apa aku?”

“Itu baru warta, Boris,” kata Pada lunak. “Sejak kecil,” Boris mengadu dengan suara tetap sendu,

“bapakku mengajari aku mem ahat. Keluarga kami hidup dari pahatan, turun-temu run. Mengapa oran g tak boleh mem ahat lagi? Mengapa? Apa jahatnya batu-batu berukir itu?”

G aleng tak mem perhatikan kata-kata itu. Ia terheran- heran melihat kekuatan penantangn ya. Tahun yang lalu ia

belum sekuat itu. Sungguh lawan bertanding yang bisa mem atah kan lehernya.

Boris berjalan m ondar-mandir dalam beran gnya. “Teduh! Teduh!” kata G aleng menghibur. “Pada belum

lagi selesai dengan wartanya. Teruskan, Pada.”

“Bagaimana wajah dun ia tanpa gapura?” Boris mengaum. “D ewa-dewa pun akan enggan turun ke bumi. Hancurkanlah gapura kahyangan, dan para dewa akan pindah ke tempat lain” Ia tutup mu kanya dengan kedua belah tangan seperti sedang memanggil-manggil kekuatan dari luar dirinya. Suaranya keluar lagi, seperti tangis bayi, tanp a daya: “Pindah entah ke mana para dewa itu. Celakalah manusia bila para dewa tak mau tahu lagi. Apakah G usti Adipati sudah bertekad melawan para dewa?”

Lam bat-laun G aleng mengerti, pernahat penantan gnya sama halnya dengan dirinya: sedang mengh adapi

kekuasaan yang tak dapat dilawan. D irinya dan Boris tak ubahnya seperti bayi tanpa daya. Ia jadi iba terhadapnya, juga terhadap diri sendiri. Ia rasai kesamaan nasib. Ia dekati Boris, dan: ‘Teduh, Boris. Teruskan, Pada, yang jelas.”

“Begitulah kata warta,” Pada meneruskan dengan hati- hati matanya tertuju pada Boris. “Semua bangunan batu di atas wilayah Kota, gapura, arca, pagod a, kuil, candi, akan dibongkar. Setiap batu berukir telah dijatuhi hukum buang ke laut! Tinggal hanya pengumu mannya. ”

“Biadab! D isambar petirlah dia!” Boris meraung, seakan batu-batu itu bagian dari dirinya sendiri. “Dia hendak cekik semua pernahat dan semu a dewa di kahyangan. D ikutuk dia oleh Batara Kala!” Tiba-tiba suaranya turun mengh iba- hiba: “Apa lagi artinya pengabdian? Biadab! Aku pergi! Jangan dicari. T ak perlu dicari!” M eraung: “Biadaaaaab!”

Ia lari keluar ruangan, langsung menuju ke pelataran depan. Diangkatnya tangga dan dengannya melangkahi pagar papan kayu.

D ari balik pagar orang berseru-seru: “Lari dari asrama! Lari!”

“Siapa? Siapa? Pegulat, ya, pegulat?” “Boriiiiiis! Mau ke mana kau? Kembali!” Sebentar

kemudian seruan-seruan terdengar menggelom bang dan bergum ul jadi satu, tak dap at ditangkap maksudnya. Suatu pertanda orang sudah mu lai menggerom bol lagi di depan asrama.

Mereka yang tertinggal masih juga term angu-man gu.

G adis-gadis mulai menyerbu ke dalam ruangan latih an gulat.

“G ila mendadak!” jawab Pengawas. “Biar saja dia pergi.” Seperti telah ada persetujuan bathin. “Pergi. Itu

lebih baik.”

G aleng m elemparkan pandang pada tangga. Ia juga ingin bebas, lari seperti Boris. D an itu tidak mu ngkin. Hatinya terpaut pada Idayu….

Keadaan tenang sampai malam turun pelahan -lahan langit dan menyelebungi bumi.

Melalui pintu pagar samping, dengan iringan beberapa orang pengawal bertom bak tanp a perisai, Sang Adipati

mem asuki asrama. Ia berjalan langsung menuju ke bangsal wanita.

D am arsewu yang mem ancar di setiap pojokan tidak mengacuhkan kedatangannya. Para calon petanding pada bergolek-golek di atas am bin sambil mengobrol. Melihat Sang Adipati masuk semua melompat turun, bersimp uh di lantai dan mengangkat sembah.

‘Idayu! Mana Idayu!” panggil Sang Adipati. “Mana Idayu Awis Kram bil?”

Alis, kum is, jenggot dan camban gnya yang putih menyala tertimpa sinar damarsewu.

“Idayu, kekasih Tuban! Mendekat sini, kau, G adis!” Sesosok tubuh merangkak beringsut-ingsut mengh ampiri

kaki Sang Adipati. Tubuhnya menggigil seperti kucing habis tercebur dalam comberan. D engan tangan menggigil ia mengangkat sembah untuk ke sekian kali, kemudian bersujud mencium kaki Sang Adipati sebagaimana di- ajarkan oleh tatakrama.

“Bawalah keharum an dari Tuban, semua kalian! Kau juga, Idayu, kekasih Tuban. Jangan mengecewakan. Tidurlah kalian pada waktu yang sudah ditentukan. Beberapa hari lagi kau dan kalian akan bertanding. D an kau, Idayu, kau bertekad jadi juara lagi tahun ini? Juara tiga kali berturut?”

“Inilah patik, G usti Adipati Tuban,” jawabnya gemetar. “Ru panya sudah cukup dewasa kau sekarang. Belum lagi

cukupkah jadi juara dua kali berturut?” “Ampun,

G usti Adipati Tuban. Patik sekedar menjalankan putusan rapat desa,” suaranya masih juga gemetar.

“Kalau sudah jadi putusan rapat desa, tak dapatlah orang menolaknya?”

“Ampun, G usti Adip ati Tuban, sesembahan patik. Patik takkan sanggup hidup di luar desa patik, G usti. Iagi pula apalah buruknya menjalankan keputusan rap at desa,

G usti?” Sang Adipati tertawa senang. “Kata-katam u sudah seperti orang kota. G adis. Bagus.

Bukankah Tuban Kota lebih baik daripada desamu ? Pasti lambat-laun kau akan lebih suka tinggal di sini.”

Menurut tatakram a yang diajarkan, apa pun yang telah dititahkan oleh Sang Adipati, orang tak boleh mem bantah. Orang hanya mengiyakan sambil mengangkat sembah. Mendapat teguran saja dari seorang raja sama halnya dengan menerima karunia dari para dewa.

Idayu bergulat dengan kata hatinya sendiri. Bumi yang ditundukinya menjadi pengap. Tak diketahuinya kaki penguasa sudah tak ada di hadapannya.

Sang Adip ati telah meninggalkan asram a dan mem asuki kegelapan malam.

0o-d w-o0

Melalui jalan belakang Sang Adip ati menuju ke sebuah tam an di belakang kadipaten yang terletak di tentang kandang gajah pribadi D udu k ia di sana seorang diri dalam kerum unan nyamu k.

Para pengawal bertugur di kejauhan

D an inilah waktu untuk menyendiri baginya. W aktu seperti ini dipergunakann ya untuk mengingat-

ingat Juga untuk merancang-ran cang. Juga sekarang ini. N am a saudagar Arab yang mem ohon m enghadap sendiri

itu tak juga dapat diingatnya. Ia mencoba dan mencoba. Tanpa hasil. N ama itu terlalu sulit, terlalu panjang. Di antara deretan nam a itu ia pun tak tahu, mana gelar mana tidak. Bahasa Melayunya lancar, indah dan paut. Alqur’anul Karim yang patik persembahkan, ya G usti, adalah dari Mu fti Besar Hayderabad, dengan harapan sudi apalah kiranya G usti Adipati Tuban daiam berpegangan pada kitab suci ini serta memikirkan umm at Islam di Atas Angin sana. Tuban dimasyhurkan di Atas Angin sebagai itu tak juga dapat diingatnya. Ia mencoba dan mencoba. Tanpa hasil. N ama itu terlalu sulit, terlalu panjang. Di antara deretan nam a itu ia pun tak tahu, mana gelar mana tidak. Bahasa Melayunya lancar, indah dan paut. Alqur’anul Karim yang patik persembahkan, ya G usti, adalah dari Mu fti Besar Hayderabad, dengan harapan sudi apalah kiranya G usti Adipati Tuban daiam berpegangan pada kitab suci ini serta memikirkan umm at Islam di Atas Angin sana. Tuban dimasyhurkan di Atas Angin sebagai

G usti Adipati Tuban melim pahkan kesudian yang tiada keringnya. Ya, G usti, arm ada Peranggi tak henti-hentinya berusaha mengu asai dan menaklukkan kerajaan-kerajaan sekepercayaan sepan- jang pantai. Bila kekuatan mereka tak dibendung bersama- sama, ya Allah, pastilah Allah jua yang akan mengh ukum semua kita, karena tak berbuat sesuatu terhadap angkara si kafir. Bila mereka tidak dibendung, ya G usti Adipati Tuban, entah kapan, jalan-jalan pelayaran akan dikuasai semua olehnya. Mereka takkan berhenti sekalipun sudah mengu asai semua bandar. Bila mereka samp ai ke Jawa, matilah sudah semua pelayaran, matilah perdagangan, matilah bandar-band ar. Yang tinggal hanya Peranggi dengan angkaranya. Seluruh ummat Islam bisa kehilangan perlindungan, kekafiran akan menang. Mereka akan menumpas ajaran Rasulullah s.a.w.

Sang Adipati masih ingat setiap kata dari persembahan itu. Juga baran g-barang persembahan yang berasal dari

empat orang raja Atas Angin, semu anya Islam.

D ari persembahan itu ia menarik dua hal, pertama Tuban diakui juga sebagai kerajaan terkuat di Jawa, dan kedua ia dianggap sebagai raja Islam. Ia tersenyum dalam kegelapan dan menganggu k-anggu k senang. Mereka tidak tahu , satu wilayah Tuban telah diramp as oleh kerajaan Islam, D emak. D an aku tidak mengerti, bagaimana banyak aturan aku titahkan untuk mem buat penyesuaian dengan

D emak. Ia semakin tenggelam dalam pikiran nya. Jauh,

jauh di sana, mereka sudah mengakui keislamanku.

Dan karenanya mereka menuntut, berdasarkan keislamanku, agar aku ikut memikirkan dan bersumbang tangan. Ya-ya, Islam telah banyak mengu n- tungkan kami selam a ini. Tapi apakah itu sudah cukup Dan karenanya mereka menuntut, berdasarkan keislamanku, agar aku ikut memikirkan dan bersumbang tangan. Ya-ya, Islam telah banyak mengu n- tungkan kami selam a ini. Tapi apakah itu sudah cukup

Ia m engggeleng lemah. Perang tidak mengu ntungkan. Tidak mengu ntungkan!

D emak masih haru s diemong untuk tidak jadi binal. Jepara jatuh, tapi dalam hidupku, aku bersump ah, bukan saja Jepara akan kembali di tangan, juga seluruh D emak. Tidak dengan perang. Rempah-rempah dari Tuban takkan mem asuki Jepara dan Semarang! D an apa yang terjadi di Atas Angin sana, bukan urusan Tuban untuk mencam puri.

Kemu dian ia mulai pikirkan untuk kesekian kalinya keadaan baru yang menggelom bang di Atas Angin.

Keadaan baru harus dihadapi dengan persiapan baru. Bandar tetap jadi inti persoalan. Peranggi dan Ispanya pasti akan datang. Syahbandar harus seorang yang pandai melayaninya. Ishak Indrajit alias Rangga Iskak tak pandai berbahasa Peranggi dan Ispanya. D ia haru s diganti. Bangsa dan kapal unggul yang digentari harus dilayani oleh seorang yang bijaksana dan tahu segala. Jelas itu bukan Rangga Iskak.

D alam kegelapan itu terdengar ia mendengus tertawa, teringat pada persembahan Sang Patih, ‘Bergabung dengan negeri-negeri lain, G usti, dengan semua kerajaan Islam, bersama-sam a mengh ancurkan Peranggi dan Ispanya. Menurut patik, ampunilah patik, ya G usti Adipati sesem- bahan patik, itulah satu-satu nya jalan menyelamatkan Tuban. D an Sang Adipati bertanya, ‘Juga dengan D emak?’ Sang Patih m enjawab, ‘Sementara D emak harus dilupakan,

G usti, Peranggi dan Ispanya lebih berbahaya, lebih mem atikan’

Sang Adipati senang mendengarkan setiap pikiran, menganggu k dan tersenyum seakan-akan menyatakan Sang Adipati senang mendengarkan setiap pikiran, menganggu k dan tersenyum seakan-akan menyatakan

Sebaliknya setiap laporan ia dengarkan sungguh-sungguh tanp a senyum tanpa tawa, tanpa terimakasih. D ari semuanya paling banyak ia am bil separoh sebagai kebenaran . Tak ada punggawa yang tulus sepenuhnya, ia berpendirian. Sebagian dari ketulusan mereka hanya bea untuk keselam atan diri dan kepunggawaannya. Malahan laporan dari para punggawa yang berasal dari rakyat kebanyakan ham pir tak pernah ia gubris. Menurut pendapatnya, orang menjadi berbangsa karena justru punya kehorm atan, dan rakyat kebanyakan itu bukan saja tidak punya, juga tak tahu kebenaran.

Syahbandar haru s diganti, apa pun biayanya. D an itulah keputusannya m alam ini.

0o-d w-o0

Pada waktu Sang Adipati sedang mengu kuhkan kebijaksanaann ya dalam kegelapan tam an, lain lagi yang

terjadi pada diri Syahbandar Tuban, Ishak Indrajit alias Rangga Iskak

Ia sedang gelisah di kesyahbandaran. Hari ini ia telah dijengkelkan oleh tam u yang seorang itu.

Saud agar Arab! Kecuali yang berhubungan dengan agama ia seorang pembend Arab. Setiap orang Arab mengingatkannya pada abangnya yang telah jatuh sebagai Syahbandar Malaka, terpaksa merantau dan mati dalam perantauan. Kejatuhannya disebabkan oleh kelicikan seorang Arab.

D an sekarang Abud, saudagar Arab itu, harus ia layani kebutuhann ya selam a tinggal di Tuban. Baru saja datang, dan ia sudah menimbulkan kecurigaan: mohon menghadap sendiri tanpa penterjemah, tanpa saksi. Ternyata ia bukan tidak bisa berbahasa Melayu!

Tadi ia telah panggil Yakub agar datang mengh adap padanya. D an sekarang ia sudah berdiri di pintu, mem bungkuk dan beruluk salam: “Assalamu alaikum, ya Tuan Syahbandar!”

Ia bergum am menjawabi dan melambaikan tangan menyuruh masuk. Ia tak pernah menyilakannya dud uk.

Kursi adalah benda kebesaran, juga di Tuban Kota, terutam a di kesyahbandaran. Ia mengangguk memerin- tahkan Yakub mendekat. Kemu dian: “Apa yang bisa kau katakan, Yakub?” tanyanya tajam dalam M elayu.

Yakub berperawakan kecil, berum ur sekira dua puluh delapan menurut perhitungan bulan, tak berkumis, tak berjenggo t, licin seperti mu ka belut. Ia tertawa. D an tawanya selalu mengesani mengentengkan segala perkara, dan : kurangajar.

“Tuan Syahbandar sendiri semestinya sudah tahu .” jawabnya dalam Melayu juga. “Sang Adipati sudah mem erintahkan penyingkiran peninggalan Hindu. Mem ang orang bilang, putranya sendiri memesan itu, Tuan, Raden Said, sekarang sudah mengenakan gelar aneh Ki Aji Kalijaga. Orang Jawa memang sulit Tuan Syahbandar, maksud menggunakan gelar berbahasa Arab, tapi lidah Jawanya mem ang lidah kafir terkutuk: Bukankah kali itu yang dimaksudkannya Kholik?” ‘

Rangga Iskak bertanya tajam: “Bukankah kau tahu bukan itu yang kutanyakan?”

“Yang tadi itulah, Tuan. Ada keanehan dalam pesanan itu: Klenteng dan Pecinan tidak boleh diganggu!”

Sekarang Syahbandar yang tertawa. D engan kedua belah tangan ia menepuk-nepuk dadan ya sendiri, berputar mem balikkan badan dan meneruskan tawanya.

Terkena sinar tiga batang lilin yang m enyala pada kandil kelihatan Yakub terheran-h eran.

“Tuan m engetawakan Yakub?” tanyanya menuduh . “Apa yang lucu padamu ?” Rangga Iskak tertawa di antara tawanya. “Tak pernah

kau nam pak setolol sekarang. ” “Laporan Yakub salah?”

‘Tidak. Tak pernah aku menyalahkan keteran ganmu. Apa lagi yang dapat kau katakan sekarang?”

Yakub mem perbaiki sikapnya. Ditarik-tariknya ujung- ujung bajunya yang kom bor putih. Ujung hidungn ya yang mancung bercahaya bergemuk mem antulkan sinar lilin. N am paknya ia sedang mengu asai suasana dan bersikap resmi.

“Ada sesuatu yang lebih penting,” bisiknya sambil mendekatkan mulutnya pada kuping Rangga Iskak. Tapi sekalipun ia sudah bersitinjak dengan kaki dan mendongakkan mu ka, jarak antara mu lutnya dan kuping Syahbandar masih terpaut sejengkal.

Rangga Iskak menelengkan kepala ke atas, seperti seekor ayam sedan g m elirik pada elang di langit.

“Ada sesuatu yang lebih penting, Tuan Syahbandar. Sungguh mati. Keterangan penting patut dihargai satu dinar. Sedinar saja, Tuan Syahbandar,” ia menjauhkan kepala dari tuan rumah untuk dapat menatap nya dengan “Ada sesuatu yang lebih penting, Tuan Syahbandar. Sungguh mati. Keterangan penting patut dihargai satu dinar. Sedinar saja, Tuan Syahbandar,” ia menjauhkan kepala dari tuan rumah untuk dapat menatap nya dengan

“Sayang tidak, Tuan, tapi ini lebih penting dari segala- galanya.”

“Jangan coba-coba bohon gi aku, kau, penipu. Abud, saudagar Arab itu, sama sekali tidak mem bawa atau mengambil barang dagangan. Pasti dia bukan saudagar, dan karenanya lebih penting dari segala-galanya.”

“Tidak, Tuan Syahbandar. Yang belum kukatakan ini justru yang terpenting. Satu dinar.”

Syahbandar namp ak ragu: Pandangnya ditebarkannya ke seluruh ruangan. Selam a ini keterangan Yakub selalu benar.

D an biar bagaiman apun sedinar terlalu mahal. Ia tatap mata pewarung tuak dan ciu-arak itu, dan ia mu ak pada sikapnya yang kurang-ajar dan menantang. Ini sudah pemerasan, pikirnya bukan lagi minta upah. Kalau dibiarkan, dia akan menjadi-jadi.

“Satu dinar tidaklah banyak untuk keteran gan penting,” Yakub merajuk. “Bukankah aku tak perlu menunggu begini lama?”

Pertah anan Rangga Iskak patah. D engan berat hati ia keluarkan mata uang mas dari pundi-pundinya.

D ilemparkannya pada orang muda yang menjijikkan itu sambil menyumpah.

Yakub menan gkapnya, mengu jinya di bawah lampu, tersenyum, dan mem asukkannya dalam pundi-pundinya sendiri, mengikatnya dan mem asukkannya ke dalam ikat Yakub menan gkapnya, mengu jinya di bawah lampu, tersenyum, dan mem asukkannya dalam pundi-pundinya sendiri, mengikatnya dan mem asukkannya ke dalam ikat

“Kalau Tuan lebih sayang pada dinar yang satu ini, mu ngkin tahu -tahu Tuan sudah kehilangan jabatan Tuan.”

“Husy!” bentak R angga Iskak tersinggung. “Katakan” “Baik, Tuan, dengarkan sungguh-sungguh,” dengan

bisiknya Yakub mem inta perhatian sambil mencoba mencari kuping tuanrumah dengan mu lutnya. “Pada sore hari ini juga, Tuan, Sang Adipati telah mengirimkan utusan ke T ran tang. Aku sudah tahu sesungguhnya isi perintah itu: mu lai besok harus sudah dipersiapkan pembikinan delapan belas cetbang baru.”

“Itu beritamu yang terpenting?” “Betul, Tuan. Perang akan terjadi. Perwira-perwira telah

mendapat perintah untuk bersiap-siap. Pemeriksaan atas anak buah sudah dimulai sejak jatuhnya perintah.”

“D alam berapa lama cetbang harus selesai?” “Tidak jelas.” Syahbandar mengawasi bibir Yakub. Tapi bibir itu sudah

tak bergerak lagi, seakan setiap kata yang keluar daripadanya telah diperhitungkan harganya. Mengerti Yakub takkan bicara lagi ia mengalah. Bertanya: “Adakah Sang Adipati sudah berkunjung ke asrama wanita?”

“Ada, Tuan, baru sebentar tadi.” Ia sorong Yakub. Orang itu keluar dan hilang ke dalam

kegelapan . Rangga Iskak berkecap-kecap menyesali dinarnya yang berpindah tangan . D engan kecewa ia kunci pintu dari dalam, kemudian dudu k termenung di atas bangku bantal kulit onta dan tak henti-hentinya bergumam: “Penipu yang tertipu itu telah jual dagan gannya padaku.

Tuhan akan kutuki kau, Yakub! Apa yang kau dapatkan dari dinar itu jadilah tuba dalam tubuhm u.”

D engan lemas ia masih juga berkecap-kecap menyesal setelah mengetahui Sang Adipati berkunjung ke rumah asram a wanita. Ia punya pedoman: Apabila Sang Adipati masih mempunyai perhatian pada wanita baru, sesuatu yang bersungguh-sungguh tidak akan mu ngkin keluar dari pikiran nya.

Cetbang-cetbang itu pastilah bukan sesuatu yang dirahasiakan, pikirnya. Sengaja dibuat demikian rupa agar semua orang tahu, terutama saudagar Arab si Abud keparat itu diharapkannya terbawa ke Atas Angin….

Pikiran iblis! Laknat! Pikiran licik! Tapi aku tak bisa kau tipu. Rangga D emang! Yakub bisa, tapi aku tidak. Adipati Tuban, Ishak Indrajit ini tak bisa kau tipu! Kau boleh berlagak cerdik, tapi hanya Pribumi kawulamu yang bisa percaya! Ha, dengan cetbang-cetbangmu itu sekaligu s kau hendak menggertak D emak. Tapi siapa pun tahu kau lebih suka berdagang daripada berperang. Tua bangka tak tahu diri! Sekarang aku baru mengerti mengapa si Boris itu lari dari asrama. Siapa tak kenal Boris pernahat terkenal itu? Peninggalan Hindu harus disingkirkan. Si pernahat jadilah seperti Syahbandar kehilangan bandar. Ya-ya, dia lari sebagai protes. Tapi kau jangan anggap dapat m udah untuk kelabui aku, Rangga D emang! Pesan Raden Said alias Ki Aji Kalijaga itu pasti juga tidak ada. Kau hanya mengh endaki dibenarkan keislamanm u. Kau tetap kafir. Tapi kau mem ang cerdik seperti selam a ini. Ru ntuhnya Majapahit juga karena kecerdikanm u!

Tiba-tiba ia terdiam. D an mengapa kelenting dan Pecinan tak boleh dirusak? Tulisan cina itu juga sama dengan Hindu, m engapa tak boleh dirusak? Ia berdiri untuk Tiba-tiba ia terdiam. D an mengapa kelenting dan Pecinan tak boleh dirusak? Tulisan cina itu juga sama dengan Hindu, m engapa tak boleh dirusak? Ia berdiri untuk

Pecinan Tuban Kota bersetia pada Lao Sam, yang oleh penduduk; disebut Lasem. Lasem bersetia pada Samp o Toa- lang, yang oleh pendud uk disebut Semarang. D an Semarang yang m endirikan kerajaan D emak untuk menjadi bentengnya terhadap Tuban.

Kau benar-benar cerdik, Rangga D emang! Anak-an akmu pada mengabdi pada D emak. W aktu D emak merampas Jepara untuk berkokok pada dunia dia tidak takut pada Tuban, semua anakm u yang di D emak diam.

D an karena semua itu aku kehilangan satu dinar! Keparat si Yakub!

Malam itu Rangga Iskak lebih banyak menggiliri istri- istrinya di kamar-kamar belakang. Nam un setelah itu ia tetap sulit memicingkan mata. Dinar yang satu itu juga yang terbayang-bayang, menggelincir tanpa guna. Setelah sembahyang subuh baru ia mendapat ketenangan sedikit. Ia telah berdoa m emohon rezeki yang berlimp ahan

Ketenangan itu tiada lama um urnya. Beberapa bentar kemudian saudagar Abud m uncul untuk minta diri.

“Bagaiman sikap Tuan Syahbandar kalau mu suh Islam, Peranggi dan Ispanya, menyerang Tuban?” tanyan ya dalam Arab.

“Mana mungkin, ya Abud?” “Bagaimana tidak mungkin? G oa jatuh. D an Malabar.

Mereka terus mendesak ke timu r. Sedang kita bicara begini Singhala pun sudah jatuh,” Abud meneruskan dalam rem bang fajar di depan pintu gedung. ‘Tuban terlalu jauh, ya Abud, ” jawabnya tak acuh.

“Benggala pun jauh dari Peranggi.” “Aku hanya Syahbandar, bukan raja.” “Setiap Syahbandar yang cerdik bisa lebih dari raja,”

katanya menyaran i. “D emi Allah, Tuan Syahbandar mampu mempengaruhi Sang Adipati untuk sudi bergabung dengan kerajaan-kerajaan lain, kerajaan Islam, melawan mereka. Allah mem berkahi Tuan”

Pembicaraan pendek itu selesai dengan kepergian Abud ke jurusan pelabuhan .

“Arab, jih!” Rangga Iskak meludah ke tanah. “Setiap gerak, setiap omongan, setiap… semua menutupi

tangannya yang merogo pundi-pundi oran g.” Pand angn ya tertebar ke mana-m ana, menem busi

halim un tipis pagi hari. Matari pun mu lai terbit. Samar- samar nampak olehnya kedai tuak dan ciu-arak Yakub yang masih tutup.

“D ia sedang menikmati dinarku, iblis keparat itu. Terkutuk bapaknya, terkutuk Pribumi ibunya.”

Kemu dian ia berjalan menuju ke m enara pelabuhan dan naik. Dilihatnya penjaga-penjaga menara dua orang itu

sedang tidur nyenyak. Ditebarkan pandangnya pada kapal- kapal yang sedang berlabuh. D an ia lihat Yakub sedang turun dari kapal si Abud.

“Si keparat itu tentu sudah mendapat dinar lagi. Awas, kau, bedebah!”

Tak dapat ia menah an am arah nya. D ipunggunginya pelabuhan . Diangkatnya kaki kanann ya. Teromp ahnya yang tua itu mem bikin ia ragu-ragu. Cepat ia alahkan keraguan nya. Kaki itu turun cepat menumbuk perut penjaga m enara berganti-ganti.

“Kafir!” makinya dan turun lagi.

0o-d w-o0