Idayu dan G aleng

5. Idayu dan G aleng

Pagihari. Semua orang datang ke alun-alun mem bawa bekal

makan.

senyap. Semua berkepentingan menyaksikan dan mendengarkan sendiri keputusan Sang Adipati di hadapan para petanding.

Pelabuhan sunyi.

Jalan-jalan

Alun-alun lebih ram ai daripada kemarin atau kemarin dulu. Bangsal-bangsal pertunjukan telah terbongkar. D an orang dudu k berbanjar-banjar di atas tanah, tak peduli rakyat biasa saudagar ataupun orang asing.

Pendud uk Tuban punya kepercayaan: meriah-tidaknya penutupan pesta akan jadi petunjuk makmu r-tidaknya Tuban pada tahun mendatang. Orang berkepentingan hadir. Sakit ringan dilupakan. Yang sakit berat digotong dengan tand u beratap kain batik. Seseorang mencarikan bunga- bungaan yang telah luruh dari tubuh para penari dan diobatkan padanya sebagai param atau minuman. Tarian adalah keindah an gerak yang diajarkan oleh dewa kepada manusia. D an bunga yang terhias pada tubuh penari adalah wadah tempat para dewa menurunkan berkahnya.

Barisan kuda telah tiga kali mengedari alun-alun. Para peserta pertandingan telah dud uk di dalam pendopo

kadipaten. Canang bertalu satu-satu. Keadaan menjadi sunyi-senyap. Hanya kadang-kadan g, di sana-sini, terdengar tangis bayi. D esau angin dan deburan laut tak digubris orang. Semua yang dud uk di atas rumputan mem usatkan pendengaran pada suara-suara yang akan datang nanti dari

dalam kadipaten. D an mata mereka antara sebentar mengawasi gerak-gerak para pejabat yang berdiri di mana- mana, berpakaian serba kuning, juga selendang dan destarnya. D ari kejauhan nampak seperti cuwilan kunyit sedang di jemur. Itulah para peseru yang akan m enyerukan percakapan yang terjadi di pendopo nanti.

D i dalam pendopo sendiri Sang Adip ati telah dud uk di atas tahta gandingann ya. Semua pembesar pribumi duduk

bersila di kanan dan kiri belakang tahta. Lain dari bersila di kanan dan kiri belakang tahta. Lain dari

Tidak salah lagi, pikir Syahbandar Tuban, semangkin had tangann ya semakin mendekati bandarku juga. D engan dia Sang Adipati takkan bakal melakukan perlawanan terhadap Peranggi dan Ispanya. Hanya segeram an dan kejengkelan berkiprah dalam hatinya sejak orang Arab itu mendarat di Tuban. Sekarang dia mendap atkan bangku pula! Alam at Sang Adipati telah jatuh ke dalam genggam annya. Keparat! Laknat!

D an para punggawa pun sudah yakin sekarang: Sayid itu akan segera jadi pejabat tinggi dan penting. Sebentar nanti mu ngkin akan diumumkan .

Seorang punggawa, yang mewakili dewan penilai, dengan lisan telah mem persembahkan nama para juara yang dibacanya dari lontar. D engan suara lantang para peseru meneruskan bacaan itu ke jurusan alun-alun. Para peseru di alun-alun meneruskan lagi ke tempat-tempat yang lebih jauh. Setiap sesuatu selesai dium umkan sorak-sorai berderaian mengegongi.

G aleng tersebut sebagai juara gulat untuk tahun ini, dengan peringntan, ia haru s bermain lebih patut. Sorak

yang mengikuti terdengar ragu-ragu. Seluruh penonton dari Awis Kram bil mem bisu. Seakan semua itu sebagai ucapan ikut berdukacita pada juara gulat dua kali berturut yang bakal kehilangan kekasihnya. Bahkan peringatan itu pun terdengar sebagai pendahu luan bencana atas dirinya.

N am a para juara telah selesai disebutkan. Orang masih juga tak dengar nam a Idayu. Seluruh hadirin sunyi N am a para juara telah selesai disebutkan. Orang masih juga tak dengar nam a Idayu. Seluruh hadirin sunyi

“Setelah dua puluh tahun ini, mu ncul, sekarang juara tiga kali berturut! D ua puluh tahun! Ingat-ingat. D an nam anya: Idayu. D esanya Awis Krambil! Tenang. Sang Adip ati Tuban berkenan bertitah….” Sunyi-senyap.

D i dalam pendopo, Syahbandar Tuban tak henti- hentinya m elirik pada T holib Sungkar Az-Zubaid. Orang itu sedang dud uk tenang menikmati kegembiraan yang berlangsung di depan matanya sambil mencicipi kehorm atan yang semakin meningkat juga: mendapat kursi kayu satu-satunya! N ampaknya ia tak peduli oran g senang atau tidak terhadap dirinya, asal Sang Adipati berkenan, dan semu a sudah be res. Apa peduli yang lain-lain?

”]uara tiga kali berturut” Sang Adipati mem ulai dengan suara pelahan, kata demi kata. “I-da-yu!” ia menyebut nam a itu dengan perasaan meresap seakan sedang mencicipi madu.

Kata-katanya, dengan gaya dan nada sama, berkumandang melalui para peseru ke seluruh alun-alun.

“Ketahu ilah, juara kesayangan seluruh Tuban. Tak pernah ada kecuali kau: satu perpaduan antara keindahan tubuh, kecantikan wajah, keagungan tari. Hanya kau! Seluruh Tuban berbahagia dapat menyaksikan dalam hidupnya seorang dewi tiada tandingan.”

D an kata-kata penguasa Tuban itu lebih mendekati rayuan dan pada am anat. Juga sampai sejauh itu Sang

Adip ati tak juga menyebut-nyebut kebesaran nama Tuhan, atau Allah, atau Maha D ewa atau Maha Budha atau Sang Hyang W idhi. la sengaja hendak m enenggang semua agama rakyatnya. Ia hadapi mereka semua sebagai kawula atau tam u, bukan sebagai pem eluk sesuatu agama.

“Sang Adipati Tuban,” ia meneruskan, “dan seluruh negeri Tuban. Idayu, memuja kau. Kami dapat mengerti mengapa m ereka semua m enghendaki agar kau selalu dapat dikagumi dan dipuja di ibukota ini”

Sang Adipati berhenti bicara, mem berikan kesempatan pada para peseru untuk melakukan kewajibannya. Orang

bersorak ragu, kemudian menggelimbang sejadi-jadinya, kemudian ragu-ragu lagi. Sorak itu panjang panjang sekali, sehingga canang kadipaten dipukul tiga-tiga untuk mem beri peringatan. Lambat-lam bat sorak itu mereda.

Sang Adipati tersenyum puas-puas dan mengerti: ia mendapat sokongan rakyatnya wajahnya berseri-seri. Ia pandangi Idayu di tempat duduknya dan sedang mengangkat sembah. G adis perbatasan itu selalu tunduk menekuri lantai.

“Kau dengar sendiri bagaiman a mereka menyetujui,” Sang Adipati meneruskan. “Pastilah kau sendiri juga setuju.”

Idayu tetap menekuri lantai. “Orang tua-tu a mengerti, Idayu, dan kami, Adipati

Tuban juga mengetah ui, ada aturan khusus bagi juara tiga kali berturut. Idayu! Mengapa kau m enggigil?”

Kata-kata Sang Adipati, juga turun-naiknya nada, berpendar-pendar ke alun-alun melalui para peseru. Sebentar sorak-sorai meledak, kemudian m endadak padam. Sunyi-senyap.

“D engarkan baik-baik. Usahakan jangan menggigil. Siapa pun mengerti kebahagiaanmu, Idayu. Kebahagiaan yang terlalu am at sangat, yang bisa kau dap atkan hanya di bum i Tuban ini. Berbahagialah orangtua yang pernah melahirkan kau. Berbahagialah anak-anak yang bakal jadi keturunanm u. D engarkan baik-baik, kau. Idayu, juara tiga kali berturut, kau m endapatkan….”

Juga G aleng menggigil. Ia rasai pedalaman dirinya menggeletar, karena cemburu, karena geram, karena ketiadaan daya mengh adapi penguasa m utlak negeri Tuban, karena tak sudi kehilangan amarah-sendiri. Ia rasai kata- kata manis Sang Adipati sebagai rayuan dan sebagai pemula kehancuran kebahagiaan dan impiannya. Itukah arti kekuasaan Sang Adipati yang diejek dan ditertawakan oleh Rama Cluring? D engan kekuatan batin luar biasa ia tindas semua perasaann ya. Dan setelah semua tertindas, dengan malu-m alu mu ncul ketakutan: ketakutan pada hukum an yang diancam kan oleh kepala desa. Apakah yang harus ditakuti oleh seorang yang akan kehilangan harapan? Ia tertawakan dirinya sendiri. Segala macam hukum an takkan berarti. Kalau soalnya hanya mati, berapa kali saja ia telah hadapi maut panggung gulat! Ketakutannya hilang. Yang mu ncul sekarang kekuatiran: jangan-jangan Idayu sendiri setuju dan dengan sukarela menerima tangan Sang Adip ati.

bermanik-manik pada tengkuknya.

Keringat dingin

mu lai

Sorak-sorai telah padam. Sang Adip ati meneruskan: “Pertam a, dengarkan baik-baik, Idayu dan semua kawula Tuban. Pertama, hak menerima dan mengenakan cindai penari yang tak pernah dikenakan penari siapa pun selam a dua puluh tahun ini….”

Sorak-sorai. G aleng mengangkat pandan g menetak wajah Sang Adipati.

“… D an perhiasan serta pakaian pribadi, perhiasan serta pakaian penari, seluruhnya dari emas dan kain pilihan… perm ata….” Sorak-sorai!

“Terimalah sendiri karunia Adipati Tuban ini, kau, pujaan Tuban! Maju, jangan ragu-ragu, jangan gentar… Ayoh!”

G aleng bukan hanya mengangkat pandang ia mengangkat kepala untuk m elihat kekasihnya di depan sana menerima karunia langsung dari penantangnya, penguasa Tuban. Ah, Tuban dan hati pujaan itu! Kembali. Cem buru menyam bar hati dan mem butakan pandang. Ia angkat kedua belah tangan dan ditutupkan pada matanya. Ia tak mau melihat itu. Idayu! Jangan sentuh tangan berkarunia itu. Jangan biarkan kulitmu terkena olehnya, Idayu. N afasnya pengap. Cepat tangan kanann ya menggerayang pada pinggangnya. Tak ada keris di situ. D an ia lihat Idayu merangkak maju dan beringsut sambil sebentar-sebentar mengangkat sembah.

D i alun-alun para hadirin tak lagi dapat tenang pada tempatnya. Mereka tak puas hanya mendengar. Sekiranya tak ada aturan tak boleh lebih tinggi dari kepala Sang Adip ati, mereka sudah berlarian mencari poho n dan naik ke atasnya.

“D engan kejuaraanm u, dengan kecantikan, dengan segala keluw esan dan daya tarik yang ada padamu, kami ada rencana untukm u.”

Sunyi-senyap. Tiba-tiba para peseru meneruskan ke alun-alun: “Yang

terhormat tamu G usti Adipati Tuban, bernam a Sayid

Habibullah Almasawa dari negeri Andalusia berkenan bersembah .”

“Ya, G usti jadikanlah bunga itu hiasan kadipaten!” Sunyi-senyap. Tak ada sorak. Tiba-tiba menyusul

dengun g yang tak dapat difahami dari seluruh alun-alun. “Biar dia tinggal jadi penari untuk seluruh Tuban!”

seseoran g m emekik.

D an suara pekikan itu dapat makian dari para peseru. “Titah G usti Adipati selanjum ya,” peseru meneruskan,

“hak kedua bagi juara tiga kali berturut, dengarkan, Idayu, hak bagi penari terbaik di seluruh negeri,” sunyi-senyap,

“hak kehorm atan yang tak dipcroleh oleh siapa pun: hak mengajukan permo honan apa saja yang sesuai dengan kepatuhan yang berlaku.”

Sorak-sorai bergu lung-gulung. Rangga Iskak tak mampu mengikuti seluruh jalannya

perishya. Mu ngkin inilah untuk pertam a kali dalam jabatann ya selam a sekian belas tahu n ia tidak dap at menyimak dengan baik. Melihat orang M oro itu m asih juga dud uk

bahkan berani-berani mem persembahkan saran yang sangat mem alukan sebagai orang yang mengaku keturunan N abi, saran terhadap seorang penguasa kafir, kukuh dan semakin kukuh pendapamya: dengan menyingkirkannya dari bum i yang

dengan

senangnya,

sedang diislamkan ini aku akan mendap at pahala besar. Untukm u, Moro, hanya kematian saja yang terbaik. Segala yang telah terhina di sini tak boleh susut, tak boleh berkurang, apa lagi rusak. Awas, kau, Moro!

D i tempat duduknya, di belakang Idayu. G aleng merasa seperti menduduki bara. Beberapa peserta dari Awis Kram bil beringsut mendekatinya.

“Aku ikut mem ohon untuk kebahagiaanmu, Kang

G aleng” teman di sampingnya berbisik dan dipegangnya lengan juara gulat itu.

G aleng mem balas hiburan dengan meletakkan tangan pada lengan oran g itu. Berbisik mem balas: “Hidup atau mati, takkan dapat aku lupakan kebaikanmu.”

D an Idayu masih juga belum kembali ke tempatnya. Ia masih dud uk menundu k di bawah kaki Sang Adipati. Semua m ata, kecuali R angga Iskak, tertuju padan ya.

D ari atas kursinya Tholib Sungkar Az-Zubaid mem andangi gadis itu dengan m ata m enyala-nyala menelan

seluruh kehadiran nya. Mata itu besar bulat, hitam-lekam diwibawai oleh alis dan bulu mata tebal serta rongga mata yang dalam dan gelap. D an mata yang menyala-nyala itu mem ancarkan kepongah an, gila hormat tanpa batas, rakus, bernafsu, tanpa kesabaran dan tidak menenggang, dan lebih daripada itu licik: yang ada hanya aku, semu a untuk aku.

Hening, tenang. Hanya nafas manusia terdengar. Kemu dian: “Mengapa kau menan gis, Idayu?” para peseru

meneruskan. “Betapa besar kebahagiaan yang sedang berbunga dalam hatimu. Adipati Tuban bersabar m enunggu perm ohonanmu . Kami bersabar. Keringkan airmatamu, puaskan tangismu, juara, karena kebahagiaan yang lebih besar lagi sedang menunggum u. Juga semua kawula Tuban

ikut bersabar. Juga mereka yang sedang diganggang terik matari di alun-alun sana, Idayu!”

G aleng mem usatkan pandan g pada Sang Adipati, penantan g tiada terlawan itu, dan melihat pada punggung Idayu yang tersengal-sengal. Kalau Idayu menyerahkan dirinya, ia akan lompat, mem atahkan lehernya, dan merangsan g Sang Adipati untuk menerima ujung-ujung tom bak yang menunggu. Idayu takkan menyerahkan G aleng mem usatkan pandan g pada Sang Adipati, penantan g tiada terlawan itu, dan melihat pada punggung Idayu yang tersengal-sengal. Kalau Idayu menyerahkan dirinya, ia akan lompat, mem atahkan lehernya, dan merangsan g Sang Adipati untuk menerima ujung-ujung tom bak yang menunggu. Idayu takkan menyerahkan

Para punggawa tersenyum -senyum dalam hati, juga para pembesar, mengetahui betapa ramah dan manis Sang Adip ati sekarang dan sekali I ini. Betapa pemurah dengan kata dan senyum orangtua yang sudah serba putih itu.

”Sudah siapkah kau, Idayu?” Sang Adipati bertanya lemah-lembut. “Mendekat sini, oran g cantik mengapa menjauh lagi? Apakah perlu Adip ati Tuban menyekakan airmatamu?!”

Peseru-peseru meneruskan. D an keheningan kembali menyusul. “Ayoh persembahkan perm ohon an.”

“Ampun! G usti Adipati Tuban sesembahan patik,” akhirnya keluar juga kata-kata Idayu yang menggigil

tersendat-sendat. Para peseru meneruskan dengan terbata- bata. “Apa yang patik akan persembahkan,… sebagai perm ohonan….”

G aleng mengepalkan tinjunya. Kembali tubuhnya menggigil. Otot-otot yang kukuh ternyata tak kuasa

menah an gelom bang perasaan yang mem ukul menggebu- gebu. Mengapa lama betul Idayu menyelesaikan kata- katanya?

“Harapan patik… semoga permohonan patik… yang tiada sepertinya takkan m enggusarkan G usti Adipati Tuban sesembahan patik.” Kata-kata Idayu tersekat m acat.

Rangga lskak sekali lagi m elirik pada m usuhnya. Ia telah serahkan cepuk tem bikar itu pada Yakub. Terserah pada dia bagaimana akan menggunakannya, apakah melalui kulit, mu lut atau usussi durhaka itu. Terserah. Racun campuran bisa ular, yang biasa dibawa ke m ana-mana oleh petualang- petualang Benggala dan selalu jadi kegentaran perantau- perantau lain, sekarang datang waktunya untuk dicoba keampuhan nya. Sayid Habibullah Almasawa akan hanya sebentar terkejut, kemu dian seluruh jaringan syarafnya akan lumpuh, tanpa sakit, dan … tiada lagi masalah Syahbandar lama atau baru, karena ia tetap dan akan tetap jadi Syahbandar Tuban. Tetapi di m ana Yakub? Mengapa ia tak juga nampak dan melapor? Bagaimana ia akan menjalankan tugasnya?

Ham pir pada banjar terakhir di alun-alun seseorang peseru meneruskan: “Ayoh, Idayu…!”

Sekarang Idayu berdatang sembah: “Ampunilah patik, ya

G usti sesembahan patik. Bukan maksud patik hendak menggusarkan G usti. Permohon an patik yang tidak

sepertinya adalah…” “Betapa susah berhadapan dengan G usti Adipati”

seseoran g m enyeletuk. “D iam!” bentak seorang peseru. “N ah, aku teruskan persembahan Idayu. D engarkan…

adalah… adalah… G usti Adipati Tuban sendiri.. adalah… Kakang G aleng… Juara gulat!”

Sekarang G usti Adip ati Tuban bertanya: “Kami tidak mengerti, Idayu. Apa maksudmu!?”

Tetapi para hadirin di seluruh alun-alun m engerti belaka. Sorak-sorai meledak sejadi-jadinya. Hadirin di alun-alun lupa daratan, lupa pada semua aturan. Mereka Tetapi para hadirin di seluruh alun-alun m engerti belaka. Sorak-sorai meledak sejadi-jadinya. Hadirin di alun-alun lupa daratan, lupa pada semua aturan. Mereka

D i dalam pendopo sendiri orang melihat wajah Sang Adip ati tiba-tiba merah padam. Suaranya agak sengit: “Apa

maksudm u? Katakan yang jelas!”

G aleng tak mampu lagi mendengarkan. Tanpa disadarainya airmata haru an telah meleleh jatuh setelah menyeberan gi pipinya, mem basahi lengan tern an yang mengh iburnya.

Teman itu melihat pada airmata itu dan dengan diam - diam mengecupnya dengan bibir sebagai berkah dari Hyang Kamajaya, untuk m endapatkan kekuatan cinta semacam itu juga. Kemu dian ia belai-belai punggung G aleng.

“Patik memo hon, ya G usti Adipati Tuban sesembahan patik,’ mendadak suara Idayu menjadi keras, kuat dan tabah setelah diberanikan oleh sorak-sorai, “semoga G usti Adip ati Tuban berkenan, G usti Adipati Tuban sendiri, merestui patik dan Kakang G aleng sebagai istri dan suami.”

Idayu telah mempersembahkan keinginannya sebagai hak yang telah dikaruniakan padanya. D an Sang Adipati semakin m emahami persembahan itu. Kedua belah kakinya yang tidak bergerak selam a ini dilemp angkan kejang. Matanya m embeliak. T angan kanannya berayun, kemudian mencengkam hulu keris. D adan ya terengah-engah.

Suasan a pendopo tegang. Para peseru bungkam .

Mati kau, Idayu! Mati kau di ujung keris, pikir orang.

D an para punggawa dan pembesar mengangkat kepala untuk mengagumi perawan desa yang gagah berani itu. Tholib Sungkar Az-Zibaid menjatuhkan tinju pada telapak tangan kiri, meringis.

D i alun-alun suasana kembali mem buncah riuh-rendah. Tangan Sang Adipati terhenti pada hulu keris itu.

N am pak ia sedang bergulat mengu asai diri. Cengkam an pada hulu senjata itu terurai dan tangannya jatuh lesu di samp ing badan . Ia mencoba tersenyum sambil mempeibaiki letak kaki.

G elom bang sorak-sorai: masih membeludag mem andangi gunu ng melerus. Canang peringatan yang makin bertalu tenggelam dalam lautan sorak-sorai: I-da-yu, I-d a-yu, I-da-yu-I-da-yu! Beberapa orang nampak seperti kesetanan, mengangkat naik pacamya tinggi-tinggi, lupa, tak ada orang lebih tinggi dari kepala Sang Adipati.

Banyak di antara wanita mengh apus airmata, tersedan- sedan terharu, menem ukan seseoran g yang mewakilinya

sebagai makhluk pilihan para dewa.

D i tengah-tengah keriuhan itu seorang nenek menutup mata, menundu k sampai-sampai ke tanah. Mem ohon: “Berbahagialah kau, wanita pilihan. Kahyangan terbukalah bagi cinta setia. Kau pilih petani desa daripada adipati berkuasa. Ya dewa batara: Betapa berbahagia ada jaman seindah ini.”

Mendadak keriuhan reda. Suasana baru mengu asai keadaan. Orang duduk kembali di tempat masing-masing dengan tertib. Pada suatu jarak seseoran g berdiri, tak peduli pada larangan, suaranya lantang menyanyikan nyanyi pujaan untuk kebesaran D ewa Kamajaya dan D ewa Kamaratih. Setiap oran g ikut menyanyi, tak peduli apa Mendadak keriuhan reda. Suasana baru mengu asai keadaan. Orang duduk kembali di tempat masing-masing dengan tertib. Pada suatu jarak seseoran g berdiri, tak peduli pada larangan, suaranya lantang menyanyikan nyanyi pujaan untuk kebesaran D ewa Kamajaya dan D ewa Kamaratih. Setiap oran g ikut menyanyi, tak peduli apa

D i pendopo Sang Adipati bermandi keringat. M endengar mazmur menggelora di alun-alun, dan mengikuti tradisi lama, ia pun berdiri, turun dari tahta dan berlutut di hadapan Idayu. D an waktu m azmu r selesai ia angkat kedua belah tangan ke atas sambil berdiri. Semua mata bertemu pada tangan berkuasa itu.

Orang telah bayangkan Idayu mati di ujung keris, menjelemp ah bermandi darah, karena demikian mem ang adat raja-raja Jawa. D alam bayangan orang, G aleng akan maju beringsut bersujud pada kaki Sang Adipati untuk juga menerima tikaman keris. Pada pinggangnya. Jantu ng orang berdebaran kencang.

Temyata lain lagi yang terjadi: “Restu untukmu , Idayu, wanita utama Awis Kram bil dan Tuban. Seluruh Tuban bangga padamu. D engarlah oran g melagukan nyanyian puja untukku…,

orang bersorak-sorai untukm u….” kata-kata Sang Adip ati tersekat pada

D engarkan

tenggorokan. Orang melihat penguasa itu menelan ludah, sekali, dua

kali – suatu pantangan bagi orang yang sedan g dihadap. Kembali nyanyi puja untuk cinta menggema menyarati

langit Tuban. D alam keadaan seperti itu Sang Adipati meneruskan, tanpa dud uk di atas tahta: “Idayu, kekasih

Tuban, hari ini akan kami kawinkan kau dengan G aleng.” Sorak-sorai gila di alun-alun. “G aleng! Maju kau, juara gulat yang berbahagia!”

G aleng maju dengan waspada, berjalan merangkak seperti katak, menyembah beberapa kail Kemu dian dud uk di samp ing kekasihnya.

“Benarkah ini yang bernam a G aleng, Idayu? Pria yang engkau cintai?”

“Benar, G usti Adipati Tuban sesembahan patik.” “Lihat dulu baik-baik, jangan keliru.” “Benar, G usti, tidak keliru.” “Tidakkah kau akan m enyesal, Idayu?” “D emi Hyang W idhi, tidak, G usti Adipati sesembahan

patik” “Katakan ‘demi Allah’”, Tholib Sungkar Az-Zubaid

berseru dari tempatnya. “D emi Allah, ya G usti.”

“Kau yang bemam a G aleng dari Awis Kram bil?” “Inilah patik, G usti Adipati Tuban sesembahan patik.” “Jadi kaukah kekasih Idayu?” “D emikian adan ya, G usti.” Kembali Sang Adip ati mengangkat lengan : “D engarkan

dan sakakan semua kawula Tuban. Pada hari ini, dengan kekuasaan kami, di kawinkan juara tari Idayu dengan juara gulat G aleng, dua-duanya dari desa Awis Kram bil.”

Sorak-sorai bersyukur mem bubung ke angkasa. “Kami restui perkawinan kalian. Anak-anak berbahagia

akan m enjadi keturunan kalian….” “Auzubillah!” terlomp at kata dari mu lut Rangga Iskak.

Kaget pada seruannya sendiri ia meneruskan dalam hati: ”D asar kafir turunan kafir. Masa semacam itu

mengawinkan oran g? Tidak syah! Mengaku Islam pula. Mu nafik. Kufur.”

‘Tidak syah!” gumam Tholib Sungkar Az-Zubaid dalam bahasa Arab. Sang Adip ati hendak bermain-main dengan hak dan hukum. Ya, ya, mem ang cerdik dia, Idayu dengan begitu takkan jadi hak bagi si pegulat itu. D ia akan tetap milik semua pendudu k Tuban. Mu ngkin kau sendiri yang akan meramp asnya kelak, Adipati. D an kau juara gulat yang sebodoh banteng. Hanya badanmu saja yang besar. Otakmu cuma sebesar biji korma kering.

“Kakang Patih, persembahkan sesuatu pada kami.”

D ari bawah kursi, Sang Patih Tuban mengangkat sembah. Kemu dian dengan suara pelahan : “Ampun, G usti

Adip ati sesembahan patik, ada pun segala yang telah G usti ganjarkan benar belaka adanya. Kawula Tuban sangat mem uja cinta yang mu rni, ya G usti. D an bukan tanpa bahaya Idayu m emilih suaminya.”

D ari alun-alun sorak-sorai menyerbu ke dalam pendopo, mem benarkan Sang Patih. Kemu dian hening.

“Juga bukan tanp a bahaya bagi G aleng. Ia pun telah menunjukkan kejantanan, G usti Adipati Tuban sesembah an

patik. Ia telah maju atas panggilan kekasihnya. Kalau bukan karena pemurah G usti, bukan kekasih ia dapatkan, tapi ujung keris.”

“Kau benar, Kakang Patih.” “Ampun, G usti, adapun akan gadis ini, tidak lain dari

penjelmaan Sang Hyang D ewi Kamaratih, dan perjaka ini penjelmaan

Sang Hyang Kamajaya. Berbahagialah pengantin baru yang agun g, direstui oleh semu a kebajikan. Terkutuklah siapa saja yang mengganggu percintaan mereka.”

Sebagian terbesar pengantar sumban gan, pria dan wanita, tua dan mu da, menolak disuruh pulang. Mereka Sebagian terbesar pengantar sumban gan, pria dan wanita, tua dan mu da, menolak disuruh pulang. Mereka

D i dalam rumah-rum ah Tuban Kota oran g tua-tua mem erlukan menyanyikan kembali mamur Kamaratih- Kamajaya, mengajak anak-anak gadis mereka ikut serta menyanyikan, seakan-akan syair itu adalah pe rasa an mereka sendiri.

“N ah, N ak. begitu seyogyan ya jadi wanita. Jadilah wanita utama seperti Idayu. Untuk cintanya dia berani

hadapi segala, term asuk orang yang paling berkuasa di bum i Tuban. Ketahu ilah, tanpa cinta hidup adalah sunyi, karena raga telah mati dan dunia tinggal jadi padan g pasir. Bukankah itu kata-kata dalam mamur sendiri.

Malam itu Idayu dan G aleng mendapat tempat sendiri- sendiri, dua-d uanya adalah tempat yang jauh lebih patut bagi dua oran g anak desa perbatasan.

Idayu dilingkari oleh wanita-wanita tua, mewejanginya dengan seribu satu nasihat, mem andikannya, dalam jamban g air bunga, mem otongi bagian-bagian runcing dari giginya, kemudian memaraminya untuk mendapatkan kulit yang lunak dan berseri pada keesokan harinya.

Ia ikuti segala harapan yang ditumpah kan pada dirinya. Ia berbahagia karena dap at m embahagian kekasihnya.

Selesai berparam, seorang nenek m enyanyikan untuknya lagu-lagu tua, yang ia sudah banyak tak tahu artinya, kemudian nenek itu menerangkan artinya dan mem berikan tafsiran. Ia m endengarkan lebih khidmat dari pada upacara- upacara yang pernah disaksikannya. Ia tahu segala macam upacara ini akan segera selesai, dan sebagai istri dari Selesai berparam, seorang nenek m enyanyikan untuknya lagu-lagu tua, yang ia sudah banyak tak tahu artinya, kemudian nenek itu menerangkan artinya dan mem berikan tafsiran. Ia m endengarkan lebih khidmat dari pada upacara- upacara yang pernah disaksikannya. Ia tahu segala macam upacara ini akan segera selesai, dan sebagai istri dari

Lain halnya dengan G aleng. Sekalipun ia dilingkari pria- pria tua, mewejanginya dengan seribu satu nasihat, memijiti seluruh tubuhnya agar otot-otomya kendor kembali, ingatannya tak juga mau lepas dari Ram a Cluring dan segala akibat yang mu ngkin timbul. Ancaman kepala desa itu m embuatnya terus-menerus tegang dalam kewaspadaan.

D an ia menduga, apa yang diperbuat oleh Sang Adipati sekarang ini hanya satu mu slihat untuk mem usnahkannya dari mu ka bumi.

Ia tak dengarkan wejangan-wejangan ; tu. Ia tak rasakan tangan yang mengendorkan oto t-ototnya. Tiga orang

melulurnya berbareng. Seorang pada bagian bahu, yang lain pada bagian pinggang. Yang ketiga pada bagian kaki. D an nasihat m ereka tak putus-putusnya bersahut-sahutan seperti burung berkicau.

G aleng berusaha keras m engingat-ingat kembali…. Orang tua bertubuh kecil, pedok, karus semua sudah

serba putih karena tuan ya dengan cepat mengutip N egara Kertagam a dan Pumn tmi. Menyebutkan kerajaan-kerajaan, negeri-negeri dan kota-kota seberang yang berlindung di bawah kekuasaan Majapahit. Bahwa di mana tentara laut Majapahit mendarat, di sana pula orang berkerumun

hendak mendengarkan berita dari Bumi Selatan, juga hendak mendengarkan centa-berangkai Panji dan Candrakirana.

“Selama kalian tak mampu melihat dun ia, selam a itu kalian telah diperlakukan oleh Tuban bukan sebagai kawula, tetapi sebagai mu suh yang telah dikalahkan dalam perang. Upeti! Upeti! Upeti saja yang diketahui Tuban dari kalian. Barang bakal dan barang jadi…!”

“Jangan ditahan kaki ini, G aleng biar aku tekuk,” salah seorang pemijit menegur.

D an G aleng mengendo rkan otot-oto t kakinya. ”Bagian ini sangat tegang, G aleng, terlalu lelah.” Kembali ia mengenan gkan mendiang Rama Cluring:

Orang setua itu, tak punya sesuatu pun keeuali diri, kebenaran dan kepercayaan, mengajarkan kebenaran di mana-mana, dan juga di mana-m ana menimbulkan kekagum an orang, pengikut, juga ketakutan bagi mereka yang tak membutuhkan kebenaran ….

“Telentang, kau, G aleng!” Juara gulat itu telentan g. Oto t-otot dan dada dan leher

sekarang m endapat giliran. “Tahu-tahu kau jadi pengantin kerajaan, Leng. D asar

nasib sabut dilempar ke kali tetap mengapung.” “Karunia Hyang W idhi mu ncul di mana-mana,” ia

menjawabi. Semua ototn ya telah jadi kendor. P aram itu m enusuk. Ia

merasa nyaman dan segar. Ia terlena, terlelap, berlayar di alam m impi…

Azan subuh dari menara mesjid Kota dan pelabuhan belum lagi lama padam. D ari mana-man a terdengar gam elan mu lai bertalu, mendesak deburan laut, mem bangun kan mereka yang masih tidur. Orang bergegas mandi dan mengenakan kembali pakaian terbaik. Bereepat- eepat orang selesaikan sarap an, mem bersihkan rumah dan mem buka semua pintu lebar-leban kemurahan Kamaratih dan Kamajaya yang sedang turun dari Tuban hendaknya juga mem asuki rumah dan hati mereka. Kemu dian mereka Azan subuh dari menara mesjid Kota dan pelabuhan belum lagi lama padam. D ari mana-man a terdengar gam elan mu lai bertalu, mendesak deburan laut, mem bangun kan mereka yang masih tidur. Orang bergegas mandi dan mengenakan kembali pakaian terbaik. Bereepat- eepat orang selesaikan sarap an, mem bersihkan rumah dan mem buka semua pintu lebar-leban kemurahan Kamaratih dan Kamajaya yang sedang turun dari Tuban hendaknya juga mem asuki rumah dan hati mereka. Kemu dian mereka

Matari dengan cepat meninggalkan permukaan laut. Kapal-kap al dan perahu mu ncul dalam hiasan berbagai wama um bai-umbai. Suasana petaruhan digantikan oleh pesta. Sela Baginda tahu-tahu telah dipagari dengan janur kuning dan ran gkaian bunga-bun gaan, Umpak tugu Airlangga itu hampir semua tertutup olehnya.

Pada pagi itu juga dari mu lut ke mu lut oran g di pelabuhan bercerita: subuh tadi Sang Adipati memerlukan datang ke kam ar pengantin yang sudah penuh-sesak dengan orang tua-tu a. Pada mereka ia berkata: “Hari ini Soma. Untuk mengenangkan hari pesta besar ini, Som a kami ubah jadi Senin.” Kata berita itu pula: Sang Adipati kelihatan pucat, mu ngkin malam-m alam tidak beradu. D engan tangan sendiri ia telah taburkan daun bunga pada kepala dua orang pengantin desa itu.

Bunyi gam elan semakin riuh – dari mana-mana. D alam rombongan orang bergerak menuju ke kadipaten. Paling

depan adalah gam elan mereka, dengan atau tanpa penari, untuk menyam but keluarnya pengantin dan juga untuk mengiringkann ya. D engan kadipaten telah penuh-sesak dengan manusia dan kegiatannya. Sebuah bonan g telah riang sekali karena terlalu tua dan terlalu bersemangat

orang mem ukulnya. Hidan gan melimpah -ruah datang. Mendadak gam e\ an

dan sorak-sorai yang mengh arap agar pengantin segera turun, berhenti. Suara suling terakhir melengkung kemudian padam. H idangan pagi yanghangat m enguap-uap itu mem bikin orang lupa bahwa besok masih ada hari lain. Semua yang terhidang tersantap. D an minum air gula- santan

pagi itu tercampur dengan pandan-wangi menyatakan, bahwa mereka sunggu h-sungguh sedang pagi itu tercampur dengan pandan-wangi menyatakan, bahwa mereka sunggu h-sungguh sedang

Tandu pengantin namp ak meninggalkan kadipaten, mem asuki pelataran depan. Sebentar semua tangan melambai-lambai menyam but. Seorang pendeta Buddha mem bunyikan giring-giring mas. Dan seorang bocah mem ercik-mercikkan air dari jamban g kuningan yang dipikul oleh empat oran g dewasa. Air itu m enitikan jalanan itu. Akan ditempuh pengantin.

Tiba-tiba hening sunyi. Terdengar gumam mantra- mantra dari pendeta itu. Begitu giring-giring berhenti berbunyi, seorang-orang tua, mem ekik mem ecah keheningan : “Sambutl” G iring-giring. Berbunyi lagi. Berhenti. “Sam but!” pekik oran g tua itu. G iring-giring. Pekikan. G iring-giring. Pekikan G umam Pendeta Buddh a. Pekikan. Susul-menyusul kemudian bergulung jadi nyanyi bersama dalam mazmu r cinta, semua membubung sy ahdu di langjt pagi. Juga kanak-kan ak pada menekur ikut menyanyi. Ah, sudah lama nyanyian puja itu tak pernah terdengar. Mendadak semua oran g kini teringat lagi. Kemu dian semua tangan terangkat ke langit seakan hendak menerima jabatan dari Kamajaya dan Kam aratih yang akan turun ke bum i. Juga pengantin di atas tandun ya, Juga para penandu. D an begitu nyanyi puja berhenti, tandu mu lai berjalan pelan menuju ke gapura.

Sang Adipati kelihatan berdiri di pendopo. Para pembesar dibelakangn ya. Ia mem ang kelihatan pucat. D an Sang Adipati kelihatan berdiri di pendopo. Para pembesar dibelakangn ya. Ia mem ang kelihatan pucat. D an

Begitu nyanyi puja terakhir selesai, gam elan mu lai riuh berbunyi. Oran g bersorak bersambut-sambutan. D ua orang penari berpakaian dewa Kamajaya dan dewi Kamaratih menjadi pembuka barisan. Bersama dengan penari-penari lain mereka mem ainkan riwayat G aleng dan Idayu di sepanjang jalan arak-arakan.

Sejoli pengantin itu dud uk dalam sikap resmi. Mereka tak tertawa tak tersenyum, seperti sepasang area batu. Sebentar jalan.

Idayu mengenakan kembang keemasan berkilat-kilat. Perhiasan dari mas dan permata mem ancar gemerlapan

pada kepala, kuping, leher, tangan, dada dan perut. G aleng bertelanjang dad a. D estar-wulungnya dijelujuri ran tai mas dan perak. Pada dad anya tergantung kalung mas. Pula dengan mainan bunga teratai perak dengan benang sari dari mas. Kerisnya bersarung dan berbulu kayu sawo

bertatahkan intan baiduri. Mem ang mereka tak ubahnya dengan pengantin

kerajaan. Begitu tand u telah meninggalkan alun-alun dan mu lai

mengh indari kota tata-tertib barisan tak dapat lagi dipertahankan.

pemuda-pemu da bersesakan untuk dap at mengh ampiri pengantin. Tandu nam pak antara sebentar terdorong ke kiri dan ke kanan,

G adis-gadis

dan dan

Kota telah dikelilingi. Kirit arak-arakan menuju ke Sela Bagin da di pelabuhan . G adis-gadis mu lai semakin mendesak untuk mengh ampiri Idayu. Mereka tak dap at menah an godaan untuk menjengah Sang Kamaratih untuk mendapatkan berkahnya. D ari samping lain para perjaka berebut dahulu untuk m enyentuh G aleng.

Para pengawal, serombongan kakek-kakek, tak mampu lagi menjaga. Mereka hanya dapat berteriak-teriak melaran g. Suaran ya lenyap dalam gelom bang gamelan dan deru angin darat. Yang dilarang pun tidak peduli.

Turunnya Kamajaya dan Kamaratih di atas bumi Tuban mu ngkin tak bakal terjadi lagi dalam dua ratus tahun mendatan g. Kesempatan sekali ini takkan mereka biarkan berlalu tanp a mendapatkan berkah dan kenangan. Kulit pengantin yang sedang diliputi kasih para dewa harus disintuh.

Mengerti akan keinginan mereka, Idayu dan G aleng mengalah. Diulurkan tangan mereka keluar tandu. Serbuan

para perawan dan perjaka semakin menjadi-jadi. Yang tak berhasil mendapat sentuhan mu lai menyerang bunga- bungaan penghias. D alam waktu sekejap bunga-bungaan lenyap dari penglihatan m ata.

Perawan dan perjaka terus mendesak. Makin padat dan makin padat. Para pengawal semakin jauh tersisih. Orang mu lai m enyerang dinding dan atap tandu.

D alam waktu pendek tand u sudah menjadi gundul dan pengantin pun terbuka seluruhnya terhadap surya dan angin.

Sorak-sorai makin gegap-gempita. D an gam elan terus juga bertalu. D an para penari terus juga berlenggang- lenggo k sepasang jalan.

Arak-arakan hampir mendekati Sela Bagtnda. Para perawan dan perjaka mulai menyerbu berusaha m engam bil- alih tugas mem ikul tandu. Mereka adalah yang tak dap at menyentuh dan tak mendapat bunga, tak mendap at serpihan sutra. Pergulatan terjadi. Tandu betayun-ayun di udara seperti biduk terkena terjang angin beliung.

D ari mana-mana terdengar orang mem ekik melaran g.

G emuruh suara manusia dan taluan gamelan, kegalauan antara getak dan bunyi dan debu yang mengepul ke udara,

menenggelam semua makna kata-kata. D an tand u semakin terguncang-guncang.

Idayu lupa pada sikap resminya. Tangannya berpegangan erat-erat pada tiang tand u. G aleng berusaha mem pertahankan keselmban gann ya dengan kedua belah tangan mencekam tempat duduk. Matan ya beipendaran heran bertanya-tanya.

Sebuah pekikan tinggi melengking keluar dari mu lut seorang nenek pengawal Idayu: “D ewa Batara! Jangan biarkan jatuh tandu itu’.”

D an justru pada waktu itu tandu mulai miring, kemudian hilang dari pemandan gan bersama dengan dua sejoli

pengantin di atasnya. Arak-arakan berhenti seketika.

G amelan bungkam. Tari-tarian mati. D eburan laut pun mem beku. Surya seakan hilang dari peredaran, kehilangan teriknya.

N enek pemekik terdengar menan gis tersedu-sedu, kemudian meraung: “Ampun, D ewa Batara, ampun!”

Pada wajah orang-orang nampak ketakutan dan kekuatiran. Mereka berpandang-pandangan bingung. Suara sedu-sedan dan mem ohon ampun pada Hyang W idhi mulai menggelom bang.

Satu lingkaran oran g kaget telah berdiri mengelilingi pengantin yang terjatuh dari atas tandu.

Ketegangan dan kekejangan.

D i hadap an mata batin orang mengawang kutukan para dewa, karena mem biarkan pengantin kekasih Kamajaya dan Kamaratih tergulin g dari kedudukan nya.

Suasan a pesta berubah jadi menakutkan. D ari mana- mana m embubung dengung m antra-man tra.

D alam kerum unan orang Idayu berdiri dari tanah,

G aleng melom pat bangun . Kedua-duanya diam tidak bicara. Bersam a-sam a mereka memandang langit dan menyembah. Selingkaran orang ketakutan itu tak menyam but tangan yang diulurkan dari kejauhan itu. Baru setelah ketahuan dua orang pengantin itu tak mengalami tidera, dan syukur ganti bergema. Seorang mu lai tahu apa harus dikerjakan: mem betulkan tand u agar pengantin naik lagi. G aleng dan Idayu menolak.

Pengantin itu bergandengan. Tanpa bicara mereka meneruskan perjalanan. Keram aian membuncah lagi. Tapi para pengiring tepat di belakang pengantin diam mem bisu. Pengantin menolak ditunjang.

D i Sela Baginda pengantin disambut dengan percikan air bunga pada kaki mereka. Serombongan orang tua-tua mem bawa mereka mengitari batu itu samp ai tiga kali, kemudian menyilakan mengambil bunga-bungaan penutup bekas prasasti Airlangga. Bunga-bungaan itu mereka bawa D i Sela Baginda pengantin disambut dengan percikan air bunga pada kaki mereka. Serombongan orang tua-tua mem bawa mereka mengitari batu itu samp ai tiga kali, kemudian menyilakan mengambil bunga-bungaan penutup bekas prasasti Airlangga. Bunga-bungaan itu mereka bawa

Keadaan sunyi-senyap. Barisan yang telah mem anjang pada tepian mengawasi setiap bunga yang jatuh ke laut, seperti sedan g m eneropong hari depan sendiri.

Bunga-bungaan itu mulai berapungan, naik-turun bersama om bak, bergerak pelahan, makin lama makin menjauhi pantai.

Masih tetap diam-diam semua mata mengikuti jalannya bunga-bungaan. D an yang m ereka awasi tak ada yang bakal kembali ke darat. Makin lama makin menjauh… jauh, melalui tubuh-tubuh perahu dan kapal… menjauh,… jauh … jauh….

0o-d w-o0