Pertemuan Kembali

26. Pertemuan Kembali

Regu kuda itu kecil saja jum lahnya, tak lebih dari dua puluh o-rang. Juga tidak dipimpin oleh Banteng W areng.

Oleh Maesa W ulung pun tidak. Wiran ggaleng sendiri yang mem bawanya. Mereka bergerak bukan untuk bertempur. Mereka sedang berusaha m encari Idayu dan anak-anaknya.

Seluruh Tuban gempar mendengar berita Idayu, penari pujaan itu, diculik oleh gerombolan Sunan Rajeg. Tak ada

orang bisa mem aafkan bila dia sampai terkena cedera. Bahkan desas-desus tentang perlakuan Syahbandar Tuban terhadapnya, bila tidak karena perlindun gan Sang Adipati, telah lama dap at mem bunuh Tholib Sungkar itu secara kejam . Apalagi kini: diculik oleh musuh Tuban. Takkan ada am pun.

agar penari itu diselam atkan. Para pemimpin pasukan telah mendesak

Semua berdoa dan

berharap

Senapati agar mengerahkan balatentara untuk mencarinya samp ai dapat, hidup atau mati. Lima puluh tahun lamanya, belum tentu ada penari seperti itu lagi.

Jadi tak lain dari Senapati Tuban sendiri yang berangkat dengan dua puluh oran g pasukan kuda. Sekiran ya tidak berangkat dengan diam-diam tak kurang-kuran gnya orang yang bersedia bergabung dalam barisan pencari.

D engan demikian pencarian dimulai. Tujuan langsung desa Rajeg, yang selam a ini memang belum lagi dijamah oleh balatentara.

Setiap memasuki desa pedalaman regu kuda itu berkendara pelan-pelan mem perhatikan kehidupan yang sedang mu lai hendak pulih kembali. Oran g telah mu lai menggarap sawah dan ladang. Kedam aian yang dulu kelihatan sedang m embiak kembali. D an bila malam datang gam elan pun mulai mendayu-dayu lagi. Perjaka dan perawan menari dan menyanyi lagi. Di tempat-temp at tertentu orang belajar mem baca Al-qufan tanp a gangguan.

D i tempat lain lagi orang mendengarkan guru pembicara yang semua saja mengumpat dan mengutuk Sunan Rajeg.

Perguruan-perguruan Buddh a semakin susut. D an dengan adanya pengajian-p engajian anak-an ak mendap at

dalih untuk tidak mengu njungi dua-duanya. Pengaruh Buddh a dan Syiwa semakin susut. Tak bisa lain, berabad- abad lamanya agama raja adalah agama kawula, dan Sang Adip ati dimasyhurkan oleh kawulanya telah mem eluk Islam.

D i satu dua desa regu kuda itu mengetah ui juga adanya beberapa orang lelaki melarikan diri melihat m ereka datang.

D an Sang Senapati mem erintahkan pada anakbuah untuk mem biarkan mereka lari. D an pada desa demikian ditinggalkannya pesan, pasukan kuda datang bukan untuk mengaduk desa. karena Senapati Tuban adalah juga anak desa, besok atau lusa toh akan kembali hidup di desa, menjadi petani seperti yang lain-lain.

Bila yang didatangi reda dari ketakutannya, regu kuda itu menam bahi: “Jangan takut Kami tak mem usuhi kalian. Mem ang ada yang kami cari: Sunan Rajeg. Katakan ke mana dia bersembunyi. D ia yang berdosa, bukan seorang pun di antara kalian.

Kata-kata semacam itu melenyapkan kegelisahan dan ketakutan. N amu n tak juga didapatkan keteran gan di mana Sunan R ajeg bersembunyi.

Sam pai di desa Rajeg, regu kuda itu hanya menem ui kesunyian. D esa itu sama sekali telah ditinggalkan. Tak ada tand a-tanda oran g tinggal. Hanya kucing kelaparan gentayangan mencari mangsa dan ayam-ayam beterbangan tinggi di pepohonan melihat kedatangan regu kuda.

Regu itu menyebar ke seluruh desa dengan masih menunggang kuda Senapati mem asuki pendopo rumah joglo Sunan Rajeg, berhenti di tengah-tengah, kemudian masuk ke dalam rumah dengan pedang telanjang di tangan.

Semua pintu tinggal terbuka. Perabot rum ah masih utuh, tetapi semu a baran g berharga tiada namp ak.

Melihat semua itu ia menarik kesimp ulan, bekas Syahbandar Tuban itu mempunyai cukup persiapan untuk melarikan diri, dan melarikan diri dengan semua harta bendanya. Maka in takkan dap at pergi jauh. juga di rumah itu Idayu tak ditemu kan.

W iranggaleng mem erintah kan mem eriksa setiap rumah.

D i setiap rumah yang dimasuki pintu didapatkan terbuka dan barang-barang kocar-kacir berantakan di lantai, pertanda ditinggalkan dengan terburu-buru.

Tak seorang pun ditemukan. Apalagi Idayu dan anak- anaknya. Ia perintahkan mem eriksa daerah sekitar. Kuburan orang Islam pun diperiksa. Bekas galian diselidiki.

D i dekat kuburan itu mereka mendapatkan mayat seorang wanita yang telah rusak dan sisa seorang bayi di dekatnya.

W iranggaleng memerlukan menelitinya, dan ia mengambil kesimpulan: bukan istri, juga bukan anaknya.

Mayat-mayat itu kemudian ditimbun dengan tanah dan ditinggalkan.

Regu itu bergerak terus ke desa-desa selanjurnya. D an Senapati menam bahi pesannya: “Penduduk desa Rajeg supaya kembali ke desanya, mengambil semua harta benda yang masih tertinggal, tetapi jangan lagi tinggal di situ. Tinggalkan Rajeg, m enetaplah di desa lain. Jangan lagi desa sial itu ditinggali, biar kembali menjadi hutan”.

Semakin meninggalkan Rajeg semakin bertetesan keteran gan yang bisa didapat tentang arah perginya Sunan Rajeg. Regu itu mu lai dapat m enjejak tempat R angga Iskak yang terakhir.

Pada suatu hari sampailah mereka dijalan setapak yang melebar itu, samp ai lebaran itu berakhir, dan di sanalah

G owong, persembunyian bekas Syahbandar T uban itu.

D ari kejauhan mereka telah dap at melihat bukit kecil tujuan. Persiapan untuk perkelahian telah diatur. Kuda dijalankan pelan-pelan sambil menajamkan mata pada atas pepohonan dan puncak bukit.

Juga di sini tak nampak ada kehidupan manusia. Yakin dekat dengan tujuan, bau bangkai semakin

merangsan g dan semakin memu akkan. D an sampai di depan pintu gua keadaan tetap sunyi. Tetapi bau bangkai menjadi-jadi.

Seorang anggota regu melemparkan batu ke dalam gua. Tak terjawab. Sebaliknya ribuan lalat m ubal beterbangan ke luar m asuk gua.

“Tak ada oran g di dalam. Masuk!” Mereka menyerbu masuk dengan kuda. Kegelapan, bau

busuk dan ribuan lalat itu juga yang menyambut mereka.

D an pada waktu itu juga tahu mereka sedang berada di hadapan bangkai-bangkai yang berkaparan. Sisa bau belerang menyebabkan binatan g buas tidak menyerbu ke mari.

Melihat bangkai-bangkai itu W iranggaleng melom pat turun dari kuda. Ia periksa mayat-m ayat yang sudah rusak

itu seorang demi seorang. D an lalat tak henti-hentinya mendengung di tempat itu. Tak ada tanda-tanda wanita di antara mereka.

Juga semua prajurit ikut mem eriksa. “D ayu! Idayu!” teriak W iranggaleng memanggil-

manggil. Hanya gema yang menjawabi kembali.

“Seorang mati ditikam keris, Senapatiku!” seorang melapo rkan.

Mereka memeriksa yang mati terkeris. “Periksa seluruh gua!” pekik Senapati. “Inilah si keparat

Rangga Iskak. Hem. Kaulah ini gerangan ? Hanya begini saja akhirmu?”

Ia perhatikan letak bangkai yang satu itu dan anggo ta badan serta luka-luka tikaman yang telah mengeluarkan belatun g itu.

Mati terbunuh atau bunuh diri?

Ia cabut pisau yang masih tertancap, diperiksanya, dan mengetah ui: pisau dapur.

Rangga Iskak dibunuh oleh perempuan, pikirnya, dan diperintahnya seorang untuk memeriksa apakah di dalam atau di luar gua terdapat sebuah dapur.

Mu ngkinkah Idayu yang mem bunuhnya? D an ia berteriak mem anggil-manggil lagi. Juga hanya gaung yang menjawabi.

Prajurit-prajurit yang memeriksa lebih ke dalam menem ukan empat bangkai peremp uan. Segera ia melapo rkan. Senapati bergegas masuk mem bawa obor dari ran ting-ranting

serangga beterbangan menubrukinya.

kayu

dan

la periksa bangkai-bangkai yang rusak itu seorang demi seorang, dan ia ragu tak dap at mem astikan. Hanya hatinya yang hilang: itu bukan orang yang kau cari.

“Perbanyak obor!” perintah nya. Tapi hatinya lebih keras meraung: Kau tak boleh aku temukan dalam keadaan begini, dan tak boleh di sini.

D an api dari batang-batang bambu tua lapuk menyinari seluruh rongga berlapis papan itu.

D alam bilik yang lain oran g m enemukan selembar popok bayi. Senapati itu sendiri masuk ke dalam dan mem eriksa popok itu, Satu rau ngan keluar dari m ulurnya, seperti suara orang gila: “Anakku, tak bisa lain, pasti anakku!”

“N yi G ede Idayu!” yang lain-lain mu lai berlarian keluar dan mem anggil-manggil ke sekitar.

Suara ramai dan keras itu bergema-gem a di dalam rongga, juga di dalam rimba.

Prajurit itu pergi untuk mendapatkan dapur.

Yang lain-lain terus mengelilingi sekitar bukit sambil berseru-seru dari atas kudan ya. Tetapi hanya gaung yang menjawabi. Mereka hanya mendap ati timbunan kotoran burung pada sebuah lekukan tanah. D alam pembongkaran tak didapatkan bekas kehidupan, tak ada mayat, tak ada tulang, tak ada pakaian. Kemu dian didapatkan galian baru, tertimbun tanah yang agak baru. W aktu dibongkar ternyata bekas-bekas dap ur. D alam waktu dekat didapatkan tanah terbakar bekas tempat tungku.

W iranggaleng itu menyelidiki sekitar bekas tungku, pada cabang-cabang kayu di dekat-d ekatnya untuk mendapatkan

bekas sesaji: kapur, sirih, beras kuning, pinang. Setidak- tidaknya kapur itu tidak akan tergan ggu oleh binatang atau pun cuaca. D an ia tidak mendapatkann ya. Bukan seorang perempuan yang masak di sini, ia memu tuskan, seorang lelaki. Bukan Idayu yang m embunuh Rangga Iskak, tapi seorang juru-masak lelaki.

Mereka menem ukan sum ber air yang m engalir jemih. Di sana m ereka membersih kan diri.

“Bakar gua itu!” perintahnya. Orang pun mengangkuti kayu dan ran ting, menjejalnya

di tempat mayat-mayat bergelimpangan. D aun-daun kering ditimbunkan dan kemu dian dibakar.

“Kembali!” perintah Senapati. Regu itu m eninggalkan bukit dan gua G owong. Hasilnya

dua: selembar popok dan kenyataan Rangga Iskak telah mati, ditikam dengan pisau dap ur dan tidak jelas siapa menikamn ya.

Api di dalam gua itu dengan cepat m embubung. Rongga itu tersekat oleh asap dan api, kini tinggal baran ya masih juga m enganga

D an popok itu mem beri firasat pada Senapati, bahwa anaknya belum m ati, juga istrinya.

G elar dudu k di atas bahu Pada alias Mohammad Firm an dan

tangannya berpegangan pada kepala. Idayu menggendon g bayi.

Mereka berjalan di antara pepohonan raksasa dalam rimba belantara itu. Idayu mem bawa tombak sebilah dan pada pinggangn ya tergantung pedang yang terlalu panjang untuknya. G elar mem bawa emp at bilah tombak. Juga pada pinggangn ya tergantu ng pedang.

“Betapa jadinya anak-an ak ini, Pada, kalau kau tak datang menolong?” bisik Idayu dalam usahanya untuk

menyatakan terimakasihnya. Rimba itu terlalu lebat. Sinar matari tak mampu

menem busi. D engan tom bak di tangan dua orang itu selalu waspada. Mata mereka antara sebentar melihat ke atas untuk dap at menghindari ular yang sedang menunggu mangsa. D an mem ang ular itu juga mu suh yang paling berbahaya. Baunya yang langau mem ang segera dap at dikenal, tetapi tanpa mata awas boleh jadi orang tak mem perhatikan baunya lagi.

Pand ang mata Pada bertebaran ke mana-mana, dengan tom bak setiap waktu siap untuk dilemparkan. N am un pendengarannya tetap tertuju pada apa saja yang diucapkan oleh wanita pujaan itu.

“D an betapa jadinya”, ia menjawab lambat-lam bat, “kalau Kang G aleng ja lankan apa yang diperintah kan padanya? Kau pun tak bakal menemui aku lagi, Mbokayu”.

“Betapa berliku-liku hidup ini”, desis Idayu.

“Ya, Mbokayu, berliku-liku mem ang, dan tak ada orang tahu bagaiman a bakal jadinya nanti. Yang jelas semua saja menuju ke arah kematian, mem asuki akhirat”.

“Apa gunanya bicara tentang kematian? Yang baru lewat pun sudah seperti itu. D an yang sekarang: rimba belantara seperti ini”.

“Bukankah ada Pada di sampingmu ? Adakah dia kurang jantan , Mbokayu?”

“Sunan Rajeg dalam keadaan sendirian seperti itu Pada, tak bisa keluar dari rimba ini?”

“Tidak akan terlalu lama. Menginap beberapa malam lagi, sebidang bulak rumput, kemudian desa pertama”.

“D ua m alam lagi?” “Insya Allah, dua m alam lagi”.

D an mereka terus berjalan dalam remban g rimba. Rasa- rasa takkan ada hari baru bakal tiba: kerembangan dan kegelapan abadi. Pohon-pohon raksasa berdesak-desakan mem perebutkan setiap ikat sinar matari dari langit, tak sudi berbagi dengan yang di bawahnya. D an di bawahnya itu justru melata dengan meranyahnya pepoho nan petaicina dan kayu baru, mlinjo dan pepohonan buas, juga berdesak- desakan, mem perebutkan sisa sinar matari yang mu ngkin jatuh tercecer dari langit.

Antara sebentar mereka mem apasi jalur-jalur bekas jalan babi hutan. Rotan, cacing dan manau, meliputi pepoho nan

dan cabang-cabangnya yang kering berbulu duri panjang, runcing dan tajam, m engancam di mana-mana. Segala jenis mo nyet tiada terdapat di bagian rimba ini, walau kaya akan buah-buahan hutan. Mu safir di dalamnya tiada kan mati kelaparan. Bila haus oran g tinggal menebang batang rotan mu da dan menamp ung kucuran dan tetesan airnya yang dan cabang-cabangnya yang kering berbulu duri panjang, runcing dan tajam, m engancam di mana-mana. Segala jenis mo nyet tiada terdapat di bagian rimba ini, walau kaya akan buah-buahan hutan. Mu safir di dalamnya tiada kan mati kelaparan. Bila haus oran g tinggal menebang batang rotan mu da dan menamp ung kucuran dan tetesan airnya yang

Hanya gangguan nyamu k dan lintah darah sunggu h tak tertahankan. Sedang udara hujan yang lembab dari kadar tinggi mem bikin kantung jadi gangguan tambahan.

“Berap a anakmu sekarang. Pada?” “Seorang pun belum ”. “Kau belum lagi kawin?” “N antilah kalau sudah temukan seorang seperti

Mbokayu”. “Ah, kau “. Kembali mereka terdiam dan berjalan terus sambil

mengu siri nyamuk dengan bahu atau gelengan atau gedru gan kaki. Kadang mereka mem biarkan sampai lama lintah jatuh sendiri dari tubuh setelah kenyang menghisap.

D an dengun g serangga di pepohonan terasa menumpulkan pancaindera.

“Apa menurut dugaanm u anakbuah Sunan Rajeg tak keluyuran di sini?”

“Tidak. Semua telah dikerahkan ke medan perang”

G elar telah t ertidur duduk di atas bahu Pada dan mem bungkuki kepala kendaraannya. Diturunkan ia dari

atas bahu dan digendongnya. Tangan Pada yang kanan tetap siaga dengan tombaknya.

“Ceritai aku sejak kau tinggalkan Tuban”.

“Begitulah”. Pada langsung mem ulai, “Kang G aleng mem bawa aku naik ke kapal dagang atas perintah Sang Adip ati. Itu kau sudah tahu, Mbokayu. Kang G aleng tidak bunuh aku. D iberikannya kembali nyawaku, diberinya aku kesempatan melompat ke laut. Aku m elompat dan berenang ke pesisir. Kujelajahi pesisir itu. Ternyata pelayaran itu belum lagi jauh dari Tuban. Aku tiba di Lao Sam, sebuah bandar Tionghoa yang tenang. Pendud uknya hanya sedikit dan hampir semua Tionghoa berkuncir. Seoran g telah mem ungu t aku jadi anak-angkatnya, Mbokayu, karena dilihatnya aku masih kanak-kanak dan tiada celanya”.

“D an kanak-kanak yang terlalu nakal”. “Ya, terlalu nakal. Mbokayu. Juga karena diketahuinya

aku banyak tahu tentang pedalaman gedung kadipaten Tuban. D i rumahnya itu aku belajar masak, karena dia tidak beristri, lagi pula jarang tinggal di rumah. Kau tak dengarkan aku, Mbokayu?”

“Aku sedang berpikir Pada, sekiranya dulu aku diselir oleh Sang Adipati… kau. Pada, tega juga kau….”

“Ah, Mbokayu… semua itu ceritera lama. D an siapa tidak mengimpikan seorang Idayu dalam hidupnya? Sekalipun dia m asih kanak-kanak?”

“Huh!” “Aku teruskan ceritaku?” mengetah ui Idayu tak

menjawab ia pun meneruskan untuk melupakan impian masalalu. D an melihat Idayu nampak tak acuh, ia mem berikan perhatian. “Kau sudah bosan mendengarkan ”.

“Teruskan saja ceritamu ”. “Kau sajalah yang bercerita”. “Sudah habis ceritaku, Pada”.

“Baiklah. Beberapa kali dia bawa aku ke jurusan barat: Juana, Jepara, D emak, dan juga Semarang. Semarang ham pir sama dengan Lao Sam. Pendudu knya Tionghoa berkucir melulu, tapi kotanya jauh lebih besar, lebih banyak penduduknya dan rumah-rum ahnya lebih besar dan bagus, walau pelabuhan nya tidak baik. Tuban jauh lebih bagus. Bapak-angkatnya menyuruh aku belajar di D emak.

D iberinya aku sangu dan selembar surat bertulisan Tionghoa yang harus aku antarkan pada seseorang di

D emak sana. Jadi tinggallah aku di rumah orang yang kuberi surat itu. Bersam a dengan banyak pemuda lain di

rumahnya aku belajar agam a Islam, macam-macam lah, kau tak kan mengerti, juga babad-babad yang tidak sama dengan yang biasa kita ketahui sejak kecil, riwayat para wali, babad D emak. Kemudian kami pindah belajar di mesjid agung Bintoro. Setelah itu kam i dikirimkan ke mana- mana dan aku ditunjuk untuk kembali ke Tuban, pedalaman Tuban maksudku. Pada mu lanya aku berpangkalan di Bonang. Pada Sunan Bonanglah aku

melapo rkan semua kegiatan Sunan Rajeg… sudah bosan, Mbokayu?”

“Tidak. Ayoh teruskan”. “Aku yakin kau bisa tertarik m endengar pekerjaan ku”. ‘Teruskan saja. Pada”.

D an mereka terus berjalan. Lelaki itu tahu Idayu tak tertarik pada ceritanya maka ia berhenti tak m eneruskan.

“Mengapa kau terdiam? Jangan bikin aku mengantuk”. “Baiklah. Sunan Bonang tidak setuju pada Sunan Rajeg.

Ia anggap dia terlalu gegabah, lebih banyak menghancurkan peradaban Jawa daripada m enyebarkan agam a Islam. Kata Sunan Bonang, orang tak bisa mem bikin peradaban yang sama sekali baru dalam sepuluh tahu n. Ia mengakui Sunan

Rajeg pandai bicara, pandai menarik hati, pandai meyakinkan, tapi ia terlalu gegabah dan tak punya kesabaran. Lebih dari itu: dia rakus kekuasaan . Bila tidak, dia akan diajak masuk menjadi anggota Majelis Kerajaan

D emak. Mbokayu, akulah sesungguhnya yang ditugaskan untuk mendekatkan dia dengan D emak”.

“Ternyata kau oran g penting D emak, Pada”. ‘Tidak, hanya m usafir. Apalah artinya seorang Pada?” “Mengapa kau ceritakan semua itu? Bukankah itu

pekerjaan rahasia?” “Ya, Mbokayu, rahasia. Sekarang tidak lagi. Sunan

Rajeg telah mati, dan tidak lain dari aku sendiri yang mem bunuhnya. Pengetahuannya terlalu banyak tentang kerajaan-kerajaan di Jawa dan seberang dan Atas Angin sana. Sayang cemburunya sangat besar terhadap D emak. Sebaliknya kerakusannya mem bikin semua kelebihannya menjadi rusak. Pelitnya luar biasa, berlawanan dengan semua ajaran. Pekerjaan gagal. Hanya berhasil jadi jurumasaknya. Iblis masih mau mem beri pada seseoran g

untuk maksud dan kepentingan sendiri. Sunan Rajeg tak mau kehilangan sesuatu pun dari miliknya. Sesuap nasi pun ia tak pernah berikan pada seseoran g. Semua petani mem bayar upeti tinggi padan ya, lebih tinggi daripada desa- desa lain kepada Tuban. Benih yang didapatkan dari dia

harus diganti dengan empat kali lipat sehabis panen. Sekali mem beri m akan enak, dia bermaksud m embunuh m ereka – orang-orang yang justru paling setia padanya”.

“Mengapa orang pada mengikutinya tahu dia begitu?” “Itulah kekeliruan ajaran lama baran gkali kerumu nilah

orang berilm u, ikuti dia, selam atkan dia dan jalani petunjuk dan ajarannya. Kau sendiri tahu ajaran itu, Mbokayu. Anak orang berilm u, ikuti dia, selam atkan dia dan jalani petunjuk dan ajarannya. Kau sendiri tahu ajaran itu, Mbokayu. Anak

“Lantas siapa yang harus diikuti menurut agamam u yang baru itu. Pada?”

“Allah yang punya langit dan bumi ini, punya seluruh alam semesta, dengan suruhan dan larangannya, yang diwahyukan pada para nabi dan N abi Besar M ohamm ad, di bawahnya lagi adalah Khalifah, yaitu Sultan Al-Fattah, raja

D emak. Khalifah mengatur semua orang Islam di tanah Jawa. Maka sekali dalam hidupnya seorang Islam di Jawa harus datang ke D emak, bersembah yang di mesjid agung dan mem besarkan nama Sultan”.

“Makin banyak kata-katamu yang aku tak m engerti”. “Lam a kelam aan kau akan m engerti juga, Mbokayu”. “Cerita saja tentang hal lain, jangan yang sulit seperti

itu”. “Celakalah orang Islam Jawa yang tak mem atuhi

Khalifah nya, dun ia dan akhirat”. “Yang lain, Pada”.

“Sunan R ajeg, biar pun Islam, karena menentangnya, dia celaka juga”.

“D an kau yang mem bunuhnya. Pada. Apakah itu juga perintah dan D emak?”

“Sudah lama semestinya aku kerjakan. D ia terlalu kuat dan terjaga. D ia terlalu merugikan D emak dan penyebaran

agam a Islam. Kalau cara-caranya itu diteruskan juga, raja- raja Jawa akan bangkit melawan Islam, apalagi yang jauh dari pesisir. G uruku bilang: oran g Jawa tidak mau kehilangan peradabannya, hanya muballigh bodo h seperti Rangga Iskak yang berani mengawur sejauh itu, agam a Islam. Kalau cara-caranya itu diteruskan juga, raja- raja Jawa akan bangkit melawan Islam, apalagi yang jauh dari pesisir. G uruku bilang: oran g Jawa tidak mau kehilangan peradabannya, hanya muballigh bodo h seperti Rangga Iskak yang berani mengawur sejauh itu,

“Betapa banyak kata-katamu yang sulit”. “Bukankah M bokayu juga sudah Islam?”

D an Idayu m endengus tertawa. “Kata orang, Mbokayu, Kang G aleng juga sudah masuk

Islam. Bukankah itu benar?” “Pantas kau mendapat kepercayaan dari Sultan D emak.

Kau pun pandai bicara, Pada. Tidak seperti Kang G aleng.

D ia hanya pintar gulat”. “D ia telah berhasil hancurkan kekuatan Rangga Iskak.

Aku harus mem bantu menyelesaikan sedikit. Mbokayu, tidak benarkah Kang G aleng sudah masuk Islam ?”

“Apakah artinya Islam-tidaknya kami berdua bagimu? Kami hanya oran g-orang biasa, hanya ingin jadi petani biasa. Kang G aleng tidak i-ngin jadi apa-apa seperti kau, maka tak perlu bagi kami masuk Islam

“Ah, M bokayu”. “D ia tak butuh kekuasaan , baik dari manusia, dari para

dewa atau pun dari Aliahm u, maka dia tidak ingin mem bunuh atau dibunuh oleh siapa pun”.

“Mbokayu!” Pada m enegah. “Mengapa? Jangan gusar. Itulah kami berdua, sikap dan

hidup kami. Kami hanya manusia biasa, dan hanya ingin jadi manusia biasa….”

“Mbokayu!” “Lihat, rakus kekuasaan menyebabkan Rangga Iskak

ingin menggantikan Sang Adipati. Kerakusan itu juga ingin menggantikan Sang Adipati. Kerakusan itu juga

“Mbokayu!” “… Takut kehilangan

kekuasaan menyebabkan balatentara Tuban mem erangi Rangga Iskak dan Kang

G aleng dipaksa jadi Senapati Tuban. Kerakusan menyebabkan matinya begitu banyak orang. Tidak, Pada, kami hanya mau dan ingin jadi manusia biasa”.

“Ah, Mbokayu, Mbokayu, kau belum mengerti dud uk- perkara,” Pada menyela.

“Itulah dudu k-perkaranya”. “Siapa yang m engajarinya begitu, Mbokayu?”

“Sejak kecil aku tinggal di kota, Pada, di dalam gedung kadipaten, maka tak pernah dengarkan ajaran begitu banyak dari para guru pengembara di desa-desa”.

“Masih banyakkah guru-pembicara mengem barai desa- desa?”

“Belakangan ini berkurang mem ang”. “G uruku bilang, mereka itu seperti hidup di jaman D aud

dan Mu sa… siapa di antaranya yang paling Mbokayu puja?”

“Rama Cluring. Suaran ya lantang penuh keberanian dan kebesaran”.

‘Tentu dia sudah mati”. “Ya. Sebelum kam i berdua berangkat ke Tuban”.

“Siapakah kiranya yang berhasil mem bunuhnya?” “D ia tidak mati terbunuh. Siapakah yang akan

mem bunuh orang sebijaksana itu, penuh kebenaran , tidak mem bunuh orang sebijaksana itu, penuh kebenaran , tidak

G elar bangun dari tidurnya. Mereka mem unguti buah jambu yang telah dirontokkan oleh kelelawar, dan mereka telah mem akannya sampai perut merasa agak isi kemudian berjalan lagi. Tanpa ada yang mengatakan, mereka tahu tak boleh makan buah sampai kenyang.

G elar berjalan kaki lagi. tetapi kelelahan kemarin yang belum juga habis menyebabkan ia segera juga minta duduk di atas bahu, dan di sana ia m enyanyi-nyan yi.

“Mengapa Rama Cu ring harus dibunuh?” mendadak Idayu bertanya. Melihat Pada tak menjawab ia bertanya lagi. “D emakkah yang mengh endaki? D an kau yang harus kerjakan?”

Pada tak m enengahi. “Setelah mendengarkan ceritam u, Pada, terpaksa aku

mem bayangkan D emak, di sana tentu takkan ada guru- pembicara. Semua sudah atau akan mati terbunuh”.

“Tidak, itu tidak benar. D i mana-mana ada, di kota, di desa. Bukankah aku sendiri juga seorang guru-pembicara? Cu ma di D emak namanya mu safir D emak”.

“Tentu, aku percaya. Rasa-rasanya akan tetap lain daripada di desa-desa di luar D emak. D ari ceritamu tadi

sekali lagi aku terpaksa mem bayangkan, Pada,, guru- pembicara alias mu safir D emak itu bicara untuk mendap at pengikut atau merebut pengikut orang lain. G uru-pembicara kami tidak mencari pengikut, maaf, mereka hanya menyatakan perasaan dan pikirannya. Mereka tak punya apa-apa kecuali pikiran dan pendapat dan perasaann ya. Mereka tidak menginginkan kekuasaan seperti kau.

Bukankah kau jadi mu safir D emak karena kebencianmu terhadap Sang Adipati? D an Sang Adipati hendak mem bunuhmu karena kau merugikannya lebih dah ulu?” Ia mem erlukan menengok ke belakang m elihat pada P ada, dan lelaki itu tak m embantah. “Kata orang, dahulu kala mereka itu adalah guru-guru Buddha. M akanya pun didapatkannya dari para pengagumn ya, juga pakaian dan pemondokan. Tak ada raja atau siapa pun menyuruh atau mem berinya perlindungan”.

“Ternyata kau pun pandai bicara, Mbokayu”. “Kau tak marah padaku setelah menolong kami?”

“Apa harus dimarahkan? “Karena ternyata kita berlainan?” “Bagaimana pun kebenaran akan menan g, Mbokayu.

Untuk sampai pada kebenaran itu ada jalan-jalan tertentu yang harus ditempuh. Lihatlah, kalau ada seribu guru pembicara di desa-desa seperti itu, m aka ada seribu macam pendapat, dan kebenaran itu sendiri akan semakin jauh, semakin jauh, samp ai takkan ada kebenaran sam a sekali”.

“D i desa-desa, Pada, kau pun tahu sendiri, orang sudah terbiasa mem ilih satu di antara kebenaran -kebenaran yang paling cocok untuk dirinya. Tak ada oran g yang marah karena itu, apalagi membunuhnya. Apakah kata-kataku keliru?”

“Ah, Mbokayu, selam a kebenaran berasal dari manusia, dia meragukan, karena hanya Allah pemilik kebenaran , yang M aha Besar”.

“Aku pernah dengar tentang Aliahmu. Aku belum mengenal. Oran g-tu a kami tak mengenalnya sama sekali, karena mendengarn ya pun belum . Betapa berdosanya kami “Aku pernah dengar tentang Aliahmu. Aku belum mengenal. Oran g-tu a kami tak mengenalnya sama sekali, karena mendengarn ya pun belum . Betapa berdosanya kami

Idayu merasa, ia sudah sampai pada titik di mana pertikaian akan bermula, maka ia tak meneruskan kata- katanya. Bila Pada menjadi marah, keadaan diri dan anak- anaknya mungkin akan sangat menyedihkan. Juga Pada sengaja tak meneruskan bicaran ya. Hanya G elar tertawa- tawa dan m enyanyi di atas bahu Pada.

0o-d w-o0

Malam itu mereka menginap di dalam rimba. Ranting- ran ting dan dedaunan kering m ereka kumpulkan untuk alas

tidur. Kayu bakar disediakan bertumpuk dan api unggun dinyalakan. Kelembaban pada ranting dan dedaunan itu mem bubungkan asap tebal dan kelabu.

“Kadang-kadang,” kata Pada, “datang macan atau ular atau babi hutan mengagumi api. Jangan kuatir. Mereka tak akan menerkam atau mengganggu. Matanya m emancarkan gemerlap terkena sinar api. Tak mengeluarkan suara apa pun. Bila sudah puas memandanginya mereka pergi lagi seperti habis menonton tarianmu, M bokayu.”

D ari balik-balik luruhan daun jati basah mereka mengu mpulkan sejum lah besar kepompong jati. Mereka mem bakari binatang kecil-kecil coklat itu dan mem akannya dengan senang.

Keesokan harinya mereka berjalan lagi, dan menginap lagi, dan berjalan lagi. D an kini rimba belantara telah dilalui.

Sebuah padang ilalang mem bentang di hadapan mereka.

D ari kejauhan telah nampak bagian-bagian yang telah terbakar. D an di suatu tempat bekas bakaran , di mana D ari kejauhan telah nampak bagian-bagian yang telah terbakar. D an di suatu tempat bekas bakaran , di mana

“Padang alang-alang”. Pada memu lai, “yang paling menakutkan. Apalagi kalau berselang-seling dengan semak- semak. Macan. Mbokayu, sarang macan. Matanya mengintip di mana-man a”.

“Sudah banyak bekas bakaran kulihat”. “Ya, syukur alham dulillah. N am paknya Mbokayu belum

juga lupa pada nyanyian tentang padang alang-alang itu. Maklumlah penari. ‘Bakarlah alang-alang, petani’ bukankah begitu?”

“Tum buhlah yang mu da,” Idayu meneruskan. “Ribuan rusa berdatan gan m erump ut….”

“Lupakan ladan g dan sawahm u”, Pada menyambung. “Macan menerkam nya sehari seekor. Selamatlah

perjalananm u” Mereka ingat sajak nyanyian itu. N am un mereka tetap kuatir dan masih juga berdiri ragu-ragu tak juga m eninggalkan hutan.

“Sebelum tentu si m acan berhasil menangkap seekor dan si petani sudah lewat m elintasi”, Pada berkata pelahan pada

padang alang-alang di depannya. “Apa guna cerita seperti itu? Pada, kau sudah pergi ke

mana-mana. Pernah kah kau dengar cerita tentang suatu bangsa yang suka makan oran g?”

“Pernah . Itulah bangsa jahil, bangsa bodoh, tak tahu ajaran”.

D engan mata ditebarkan ke mana-mana mereka mu lai menyeberan gi padang alang-alang tinggi, mengikuti jalan setapak yang hampir hilang.

“Mengh erankan,” Idayu meneruskan untuk melupakan kekuatiran nya. “Orang makan orang. Bagaimana bisa? Sewaktu mem akannya tidakkah terbayang oran gtua atau anaknya sendiri? Atau tidakkah dia berpikir, pada suatu kali akan dimakan juga oleh yang lain?”

“Bodoh, kataku, jahil. Pikiran nya tak panjang. Itu sebabnya kalau ajaran belum sampai pada mereka”.

Mereka berjalan terus sambil melupakan ketakutan sendiri.

“Barangkali itu lebih baik”. Sambung Idayu. “Apa baiknya kebodo han, kejahilan?” Pada m enolak.

“Mereka makan-m emakan karena lapar, kiraku. Ajaran datang, baran gkali melalui kau, mereka hanya bunuh- mem bunuh, tidak sampai makan-m emakan, dan bukan karena lapar. Mu ngkin salah karena ajaran yang kau bawa”.

Pada tak m enanggapi. Idayu tahu, ia tersinggung. “Kau marah, Pada? di desa-desa takkan ada orang marah

karena ucapan seperti itu. M aafkan kalau kau tak bersenang hati. Tak apa, Pada. ”

“Kau mem ancing-m ancing, Mbokayu”, Pada menuduh. “Tidak. Aku bertanya mengapa orang bisa makan

sesam anya. Kau lantas mem bawa soal ajaran. Jangan hubungkan”.

“Kita sedang menyeberan gi padang yang menggetarkan ini”.

“Maka kita bicara saja, Pada, biar tak gentar”. Sementara mereka berjalan tanp a bicara. G elar di atas

bahu nampaknya juga m erasai kegentaran mereka.

“Aku pikir, Pada, benarkah baran gkali menurut pendapatm u? Mereka itu ingin makan daging, tapi perburuan sulit didapat, sedang orang lebih mu dah ditangkap. Hanya dengan kata-kata manis, janji dan bujukan, atau gertakan, tanp a tenaga, daging bisa datang sendiri dengan jinaknya untuk disantap. Bagaimana pendapatm u. Pada?”

D an Pada tak menjawab. Mereka terus berjalan dengan pandang ditebarkan ke

mana-mana. G elar bersorak-sorak di atas bahu Pada melihat sekawanan rusa yang merump ut damai di

kejauhan. Anak-anak rusa berlompat-lompatan riang. W aktu angin bertiup dan menyamp aikan suara manusia dan

baunya, binatang-binatang itu terhenti dari kesibukannya.

Semua mem anjangkan leher dan menegangkan kuping. Mo ncong hitamn ya mereka angkat tinggi. Setelah mengetah ui, hanya serombongan manusia berjalan lewat, mereka merumput kembali dan anak- anaknya berlom pat-lompatan lagi.

“Kalau sudah dilewati padan g ini, kita akan sampai ke sebuah hutan m uda, kemudian padang rumput pendek, dan samp ailah di desa pertama. Lantas kau mau ke mana, Mbokayu? Ke kanan berarti ke Tuban, ke kiri ke Awis Kram bil”.

“Ke kiri. Pada, Awis Kram bil.” “D an Kang G aleng nanti?” “Kalau dia masih mem erlukan anak dan bininya, tentu

dia akan mencari kami di desa,” ia betulkan bayinya dan dalam gendongan dan menyusuinya “Tak dapat aku tinggal lebih lama di kota. Semua serba menyesakkan”.

“Kasihan Kang G aleng”.

“Biarlah dia kembali saja ke desa”. “Senapati Tuban kembali ke desa? Mau jadi apa? Jangan

main-m ain, Mbokayu. Apa kau suruh dia mencangkul dan mem bajak?”

Mereka berjalan dan berjalan. “D ia tidak menginginkan kekuasaan atas harta dan

manusia. D ia akan kembali ke desa.” “Kalau tidak? Kalau dia mem ang dengan semau sendiri

jadi Senapati untuk dapat berkuasa?” Idayu mempercepat jalannya. “Kalau dia tidak mau pulang ke desa? Tidak

mem butuhkan Mbokayu lagi?”

Idayu menyusui anaknya sam bil mempercepat jalannya. 0o-d w-o0