Ko ma

42. Ko ma

Malam itu tenang dan tenteram di pesanggrahan balatentara Tuban di sebelah barat kota. D ari gubuk-gubuk dan bedeng-bedeng dari dau n kelapa nampak sinar pelita suram. Angin laut tak henti-hentinya bertiup dan membawa serta dedaunan kering dari hutan-hutan keliling.

Sudah sejak senja hari udara terasa dingin. D an angin mem bikin udara semakin dingin. Tetapi tak ada seorang pun membikin pendiangan. Semua prajurit diperintah kan beristirahat dua minggu penuh tanpa boleh berdiang di malam hari.

Istirah at sepanjang itu mem bikin mereka jadi gelisah, menduga sendiri apa akan diperbuat oleh Senapati W iranggaleng dalam mengu sir Peranggi.

Pada malam itulah G elar datang ke pesanggrahan. Kudanya melangkah pelan mendekati gubuk peratusnya, kemudian ia turun.

“Sekarang kau boleh beristirahat, Sultan,” bisiknya. Ia berhenti, tak jadi masuk waktu mendengar seseorang

bicara hati-hati: “Tunggu nanti bila bulan mulai tua. Pada waktu itulah kita akan mu lai bergerak. Kemenan gan Senapatiku sejak dulu diperoleh dalam gerakan malam, berlindungkan kegelapan.”

G elar m endeham dan percakapan berhenti. Ia m asuk dan mendapatkan peratusnya sedang dudu k bersama peratus lain. Suaranya sekarang tinggal jadi bisikan, tak dap at ditangkapnya. Kemu dian peratus lain itu pun pergi.

Ia melapo rkan segala yang telah dilihatnya di Tuban, kecuali urusan pribadinya dengan Syahbandar dan N yi

G ede Kati. D an peratus itu merasa puas. Ia menyatakan pekerjaan nya baik.

‘Tetapi,” katanya lagi, “kalau keteran gan-keteranganmu ternyata isapan jempol, apalagi ternyata kau sam a sekali tak pernah masuk ke Tuban Kota… kau tahu sendiri ganjarannya.”

“Barang tentu, peratusku!” “Siapa saja yang pernah kau tem ui di sana?” “N yi G ede Kati bekas pengurus keputrian kadipaten, la

tinggal di gubuk daun kelapa di daerah pelabuhan.

“Maksudm u di gubuk-gu buk perempuan gelandangan?” “Benar, peratusku!”

“Tak pernah kau melihat… eh, eh. Syahbandar?” “Lebih dari melihat, peratusku.” “Mengapa tak kau sam paikan sejak tadi?”

D an G elar dengan rikuh menceritakan segala yang telah terjadi di dalam gubuk N yi G ede Kati.

“G elar!” serunya, “bukankah kau dididik dalam Buddh a?”

“Benar, peratusku.” “Bukankah kau sendiri tahu dia ayahmu ?” “Tahu, peratusku.” “Bagaimana bisa kau lakukan….” “Sudah terjadi, Peratusku, jalan lain tak ada.” Peratu s itu menatap prajuritnya dengan mata tajam.

Perasaan jijik terpancar pada wajahnya. Kemu dian ia pergi tanp a bicara lagi.

D alam salah sebuah gubuk di pesanggrah an balatantara Tuban beberapa oran g mengelilingi pelita minyak yang terbuat dari ruas bambu yang berdiri dengan kaki-kaki. Mereka nam pak bersungguh-sungguh. Bayang-bayan g yang bergerak-gerak pada wajah mereka disebabkan gerak api, mem bikin mereka nampak seram . Mereka: Braja, Kala Cu wil, Rangkum, Banteng W areng dan W iranggaleng.

Mereka menyimpulkan: Portugis jelas bisa diusir dari Tuban, tidak saja dengan penyerbuan dari laut, juga dan

terutam a dari darat. Mereka mengakui: pertempuran malam, yang untuk pertama kali dilancarkan oleh W iranggaleng dalam sejarah perang di Jawa, akan menjam in kemungkinan itu. D alam perang pengusiran terutam a dari darat. Mereka mengakui: pertempuran malam, yang untuk pertama kali dilancarkan oleh W iranggaleng dalam sejarah perang di Jawa, akan menjam in kemungkinan itu. D alam perang pengusiran

Masalah yang kemudian timbul: sampai berapa lama Peranggi dapat menah an serangan ? Benteng bawah-tanah mereka mem berikan perlindungan yang tak tertem busi oleh tom bak, panah ataupun pedang, sedangkan serangan harus kilat pada waktu mereka terlena atau berhasil dibikin lena. Serangan yang tersusul oleh terbitnya bulan atau matari akan menyebabkan meriam -meriamn ya menggagalkan semua usaha. Meriam ramp asan telah tenggelam di laut, tak bisa diharap kan.

Kesim pulan kedua: serangan harus merupakan sekali pukulan yang m ematikan.

Masalah yang kemudian timbul: balatentara D emak. W alau mu safir-m usafirnya tak sebanyak dan tak sefanatik dulu, setiap waktu Trenggono bisa tahu apa yang terjadi di mana-mana. Bila D emak tahu apa sedang direncanakan Tuban, Trenggon o tinggal menunggu terjadinya perang pengusiran, dan tanpa bersusah-payah ia akan mengambil- alih semua usaha Tuban, bahkan m enguasainya pula.

Keputusan terakhir: semua diserahkan pada satu tangan.

D an yang diserahi adalah Senapati Tuban W iranggaleng.

D engan demikian persidangan sambil berdiri mengelilingi pelita itu berakhir. Sebelum mereka bubar,

Senapati masih sempat bertanya: “Bagaimana berita telik terakhir?”

“Tidak berbeda dengan yang seminggu terdahulu, dengan tambah an, dia telah mem erlukan mengh abisi jiwa Syahbandar Tuban Sayid Ulasawa,” jawab Kala Cuwil.

W iranggaleng terdiam.

“D ia telah kerjakan lebih dari tugasnya,” Patih Tuban itu menam bahkan.

“Berikan pada dia tiga ratus orang dari pasukan kaki.” “Baik, Senapatiku.” ‘Tugaskan dia m encari minyak tanah. Terserah pada dia

di mana dan cara dia mendapatkan.”

G elar telah berusaha dengan berbagai cara dan jalan untuk dapat menem ui bapaknya. Selalu tak berhasil. Peratu snya pun menolak menyampaikan pada atasann ya.

Senapati sendiri tak pernah kelihatan pada um um. Orang-orang bilang: jiwanya harus diselam atkan dari

intaian D emak.

D i mana saja Senapati berada, oran g tak banyak tahu. Juga dan apalagi G elar.

Ia ingin menyampaikan sendiri apa yang telah diperbuatnya terhadap Syahbandar terkutuk itu. Ia merasa telah berjasa besar pada emak dan bapaknya. Ia berhak mendapatkan pengakuan sebagai anak yang baik dan tahu mengh apus aib oran gtua. Ia telah merasa sebagai pahlawan keluarga. Mu suh segala orang itu telah tump as, oleh tangannya sendiri. Bukankah ia seorang anak yang tahu mem balas budi? Tak kuran g suatu apa? Bahkan ia pun abang yang baik untuk adiknya dan prajurit yang baik untuk senapatinya? Untuk itu ia telah pertaruhkan jiwanya, sega- la-galanya? Mereka akan bangga pada dirinya. Tuban pun akan bangga punya seorang prajurit seperti dirinya. Siapa lagi bisa mem usnahkan Syahbandar Tuban yang selalu dalam kawalan Peranggi kalau bukan hanya G elar?

Ia sendiri merasa terbebas dari kerisauannya. Sekali waktu ia akan datang pada emaknya. D an ia akan mendapat pujian daripadan ya. ingin segera pulang untuk Ia sendiri merasa terbebas dari kerisauannya. Sekali waktu ia akan datang pada emaknya. D an ia akan mendapat pujian daripadan ya. ingin segera pulang untuk

Pada peratusnya ia menawarkan diri untuk tugas-tugas yang lebih berat. Ia tak tahan harus diam-diam tanpa kegiatan. Panggilan dari Senapati itu tak kunjung datan g. Ia harus dap at menarik perhatiannya dengan jasa-jasa yang lebih besar.

Ataukah Senapati sengaja tak mau melihatnya lagi? Tidak mu ngkin. Jasa yang lebih besar mengh aruskan ia mengenal G elar. D an peratus itu tak juga m emberinya tugas penting. Ia m enjadi gelisah resah. Pada puncak kerisauan ia telah siap untuk berbuat sesuatu – apa saja untuk menarik perhatian Senapati. D an perintah itu datang: memimpin tiga ratus prajurit kaki, cari minyak tanah di mana saja, dengan cara apa saja. D an peratus itu menyampaikan

padanya pribadi: perintah langsung dari Senapati sendiri. W aktu : tiga minggu.

Ia tak bertanya lebih lanjut. Ia anggap perintah itu sebagai ujian dari seorang bapak sendiri. D an setelah menerima jum lah yang tiga ratus segera ia berangkat. Semua bersenjata lengkap.

Mem bawa kekuatan tiga kesatuan adalah pengalaman baru bagi seorang prajurit muda. Dan hanya prajurit luarbiasa saja ada kemungkinan mendapat kehormatan seperti itu. Ia merasa lebih dipercaya daripada tiga orang peratus sekaligus. Pikiran itu mem besarkan hatinya.

Mereka semua sudah dan akan lebih bangga padaku, ia mem utuskan. Tanpa pikir panjang ia bawa pasukannya ke

Bojonegara. Senapati tak dapat ditemu i. Baik. Ia akan mem inta restu dari Ibunya. D an yang lebih penting lagi: mem bawa berita pada Idayu tentang kedatangan Senapati.

D i sana nanti baru ia akan pikirkan apa harus diperbuat. Begitu turun dari kuda ia langsung mendapatkan

emaknya dan berkata: “Mak, lihat, Mak, tiga ratus orang prajuritku sekarang.”

D an Idayu dan Kumbang mengagumi prajurit sebanyak itu, mengagumi G elar, semuda itu telah pimpin ratusan orang yang lebih tua daripada dirinya sendiri.

“Kau mendapat kepercayaan besar, G elar.” “Tentu, Mak. Tahu kau, Mak, siapa yang mem beri

kepercayaan ini?” “Mana aku tahu, N ak?” “N anti aku bilangi. Sekarang…,” ia berbisik pada Idayu

dan emaknya mendengarkan dengan mata terbeliak berpendaran berputar-putar kesana-sini.

Tiba-tiba emaknya mem ekik: “G elar!” sambil menyorongkan badan anaknya. “Tidak mu ngkin! Tidak

mu ngkin! Tidak mu ngkin! Jangan ulangi keboho ngan itu. Aku tak percaya.”

G ejolak dan rangsang girang dalam dada G elar berobah jadi beku, kaku dan mem batu. Untuk pertama kali dalam hidupnya ia lihat wanita itu berubah jadi oran g lain yang tak dikenalnya, seperti bukan orang yang pernah melahirkan, menyusui mem besarkan dan m endidiknya.

Idayu berdiri tegak seperti patung. Matanya masih mem belalak tidak bergerak dan tidak berkedip.

G elar kehilangan semangat dan kepribadiannya.

Lam bat-lam bat Idayu mem ejamkan mata, menunduk. Suara seorang ibu keluar dari dadanya yang sesak: “Mem uakkan! Tak ada seorang ibu pernah menyuruh atau menganjurkan perbuatan seperti itu. Aku tak percaya ada anakku bisa berbuat seperti itu!”

G elar tetap tak mengerti mengapa ibunya menan ggapi berita kejadian itu seperti orang kehilangan akal. Mengapa lenyapnya seorang yang selam a itu menyedihkan hatinya, merusak

ternyata tidak menggirangkan hatinya? Ia kehilangan pegangan. Seorang ibu yang benar-benar dicintainya telah menolak persembahan bakti….

ketenangan

batinnya,

“Jadi apa harus kukerjakan, Mak?” “Kau! Kau! Mengapa sekarang bertanya padaku? Kau

berangkat tanpa meninggalkan kata. Mengapa bertanya?” Katanya dengan suara pedih.

Kumbang memperhatikan ibu dan abang berganti-ganti tanp a mengerti dudu k-soalnya.

“Kau merestui keberangkatanku, Mak.” “Betul, tapi bukan untuk perbuatan seperti itu.

Mem uakkan, mem uakkan.” “D ia musuh, Mak, manusia terkutuk.” “Itu saja yang agak meringan kan kau. Hanya itu. Maha

Buddh a tidak. Memohon kan amp un pun aku takkan sanggu p – sekalipun kau bohong!”

Ada juga keringanann ya, pikir G elar. Dan Idayu sekaligu s telah demikian berobah, bukan emaknya yang dulu, dan pond ok pengungsian itu tak lagi terasa ramah dan menyam but seperti dulu. Bahkan Kumbang pun sudah nam pak lain. Ia dipaksa untuk juga mengambil sikap lain, Ada juga keringanann ya, pikir G elar. Dan Idayu sekaligu s telah demikian berobah, bukan emaknya yang dulu, dan pond ok pengungsian itu tak lagi terasa ramah dan menyam but seperti dulu. Bahkan Kumbang pun sudah nam pak lain. Ia dipaksa untuk juga mengambil sikap lain,

“Beran gkatlah,” kata Idayu seperti pada oran g asing. “Kau tak merestui aku, Mak?” “Aku tak tahu apa lagi akan kau perbuat. Sejak sekarang

restui dirimu sendiri dengan perbuatan baik. G elar, berangkatlah.”

“Mak, tega kau melepas aku tanpa restu, Mak?”

D an wanita yang dihadapinya itu mem ang sudah bukan emak yang dulu, menjadi wanita yang tidak dikenalnya.

“Baik, Mak,” katanya sambil berdiri. “Aku berangkat lagi. N amp aknya tak ada sesuatu yang bisa kuperbuat lagi di sini. Sebelum berangkat kusam paikan padamu. Senapatiku W iranggaleng sudah datang di Tuban.”

“Bapak!” seru Kumbang.

D an seruan itu terasa seperti halilintar di hati G elar. Ia tahu , ia tak berhak lagi berseru seperti adiknya.

Lam bat-lam bat wajah Idayu kembali seperti semula. Matanya lunak dan bibirnya kehilangan ketegangan.

“Aku tinggalkan tiga orang prajurit untuk mengantarkan Em ak dan Kumbang. Tolonglah, Mak, kalau kau sudi, Mak, sampaikan sembah-sujudku pada Senapatiku, sebagai prajuritnya.” Ia hendak mengatakan kalau toh tak mengakui aku sebagai anaknya, tetapi kata-kata itu tersekat beku di dalam jakun.

D engan hati bolong comp ang-camping ia tinggalkan gubuk dan manusia-manusia tercinta yang sudah jadi asing D engan hati bolong comp ang-camping ia tinggalkan gubuk dan manusia-manusia tercinta yang sudah jadi asing

D ari seorang prajurit yang berpengalaman dalam hal minyak-tanah ia mendapat keterangan, minyak bisa didapatkan di tengah-tengah pecahan bukit cadas yang patah atau belah. Mungkin jarak pecahan itu samp ai satu atau setengah hari perjalanan. Tengah-tengah jarak itu biasanya sum ber minyak.

Ia tak tahu-m enahu tentang itu. D iserahkannya pimpinan pencarian padanya.

“Pada mu lanya oran g pada bertanya-tanya apa perlunya minyak-tanah sebanyak yang bisa diangkut oleh tiga ratus

orang, kalau gunanya toh untuk melawan wabah bengkak yang m embunuh itu dan sakit perut muntah-buang-air? D an penyakit demikian tak ada sehabis perang melawan Kiai Benggala. Bila untuk penerangan , untuk apa pula penerangan berlebihan di waktu perang? Bukankah cukup dengan minyak kelapa?

Orang tak juga mengerti. D an orang pun tak mem persoalkannya lagi. Soal yang lebih gawat sekarang

adalah: kemungkinan terpergoki oleh pasukan D emak, dan itu berarti pertempuran . D an tiga minggu yang diberikan mu ngkin akan terlewati.

Kecom pang-campingan dan kebolongan hatinya segera terdesak oleh tugasnya sebagai prajurit. Kewaspadaan dan

kesiagaan, pengaturan pasukan dan pengiriman telik, semua jadi pekerjaan pokok untuk dapat menghindar sergapan mu suh.

Beberapa hari laman ya pasukan itu menjelajahi perbukitan Kendeng mencari sumber m inyak….

W iranggaleng bersama dengan para pemimpin pasukan sedang berdiri menghadap pada sebuah bukit kecil yang dirimbuni hutan. D i belakang mereka berdiri beberapa orang pengawal bersenjata tom bak, pedang dan perisai. Sekeliling mereka sunyi-senyap. D an di belakang mereka adalah perbukitan rendah yang setengah gundul.

W iranggaleng berdiri bertolak pinggan g dengan pandang merenungi kejauhan. Ia namp ak lebih kukuh dan lebih tegap daripada tujuh belas tahu n yang lalu. Hanya m atanya nam pak cekung masuk ke dalam rongga dan garis-garis kaki-ayam mu lai menggurati sudut luar matan ya. Kumisnya yang kurang lebat dan panjang jatuh lunglai di samp ing bibir, sedang jenggotn ya yang juga kurang lebat dipotong sepanjang tiga jari dan tergantu ng pada dagu seperti sekepal ijuk.

“Kalau mereka tak mampu datang dalam tiga minggu atau tanpa hasil, semua persiapan harus diperpanjang, bahkan diganti, sementara itu mu ngkin lebih banyak lagi Peranggi datang.”

“Senapatiku!” sela Rangkum , “telah kum asukkan dalam pasukan itu seorang yang dah ulu bekas pencari minyak- tanah. Mereka pasti berhasil. Hanya jumlahn ya kita tak tahu . Bila ada halangan, pasti karena menghindari tentara

D emak.” “Senapatiku, nampak ada oran g-orang datan g dari celah-

celah bukit,” pengawal datang m emperingatkan. Semua berbalik ke belakang mengikuti tudingan tangan

seorang pengawal. D an seoran g lain melompat ke atas kuda, menuju ke celah-celah bukit itu.

“N am pak seperti orang desa biasa,” Banteng W areng berkata, “nampaknya ada juga beberap a orang prajurit.”

“Prajurit Tuban,” kata Braja. “Seperti prajuritku,” kata Rangkum. “Seorang menuntun

anak. Perempuan nampaknya. D an jalan itu jarang ditempuh orang.”

Mereka menyingkir dari tempat terbuka, mengh indari di balik rum pun telekan, m eneruskan pem bicaraan.

Senapati menerangkan tentang keyakinann ya, bahwa sekali Peranggi dikalahkan di sesuatu tempat, mereka takkan kembali untuk mem buat perhitungan, mereka akan pergi untuk selam a-lam anya. Bahwa alat dan cara perang mereka mem ang amp uh tidak menyalahi kenyataan, mereka tidak lebih dari siapa pun di antara orang Tuban. Mereka tak kalis dari sakit dan nyeri, mereka tidak lebih mu lia, tapi mem ang lebih unggul karena cara kerjanya. Mereka juga punya kelemahan: takkan berdaya di malam kelam . Mereka manusia biasa. Alat-alat perangn ya pun bikinan manusia biasa, bukan anugerah dari para dewa.

Ia mem erintah kan pada para kepala pasukan agar semua prajurit Tuban m emahami itu, dan bahwa lelanangin jagad

adalah dongengan kanak-kanak semata. Mereka dengar rombongan pendatan g itu mendekati dan

ternyata mem ang ada beberapa orang prajurit Tuban di antaran ya.

D i dekat semak-semak telekan rom bongan itu berhenti, dan terdengar suara wanita mem anggil-manggil: “Kang

G aleng, Kang, aku datang.” W iranggaleng kurang mendengar. Seorang pengawal berkuda datang mengh adap dengan

masih memegan gi kendali dan melaporkan: “Senapatiku, N yi G ede Idayu datan g mengh adap.”

Seluruh pancaindra Senapati seakan berhenti bekerja. Mata-batin-nya berhadapan dengan pegunungan masalalu, sambung-menyambun g tiada habis-habisnya: alam dan manusia, kesakitan dan kebahagiaan, harapan dan kekecewaan, cinta dan benci. Semua itu diwakili oleh hanya satu nama: Idayu.

Ia berjalan cepat keluar dari balik semak-semak. Yang lain-lain mengikutinya. D an ia dapatkan anak dan istrinya berdiri menan ti. Ya, mereka adalah impian masalalu. D an ia jadi begitu kikuk.

“Kang G aleng,” panggil Idayu sekali lagi. “Bapak!” teriak Kumbang dan lari, menjatuhkan diri ke

tanah, menyembah kemu dian m emeluk kakinya. “Kau datang, Idayu.” “Ya, Kang, dan itu anakmu,” Idayu menuding pada

Kumbang dengan pandangnya. Senapati mengambil anak itu dari kakinya dan

mengangkatn ya

seperti hendak melemparkan nya ke langit.

tinggi-tinggi

“Sudah besar, kau N ak.” “Kau tak juga datang, Kang. Mu ngkin tak patut aku

datang kemari. Biar begitu aku paksakan datang untuk mengantarkan anakm u. D ia berhak melihat bapaknya dan bersembah sujud padanya. Turunkan anak itu, biar dap at mem uliakan kau dengan sembah yang sempurna.”

Senapati itu menurunkan anaknya. D an Kumbang berlutut: “Sembahlah bapakmu. N ak, dengan sembah yang tulus, biarpun sekiranya kau tak diteriman ya.”

“Ada apa Idayu? Mengapa kata-katamu begitu pahit?”

Idayu tak menjawab, dan Senapati mem belai ram but anaknya untuk merestui. Kembali anak itu diangkatnya di atas sam pai pasang-pasang mata anak dan ayah itu sejajar.

“Betul, sudah besar kau. D i mana kau tinggal sekarang? Ah-ya, siapa pula namamu?”

Semua yang m endengar tertawa. “Keterlaluan, kau, Kang anak sendiri lupa namanya,”

tegur Idayu. “Hhh, hhh, tinggal di mana kau, N andi?” “Huh-hu h, namaku bukan N andi, Bapak.” “N andi itu anakm u yang lain lagi, yang ada di Malaka

sana,” sela Idayu. “Kunam akan siapa kau dulu?” tanya Senapati. Kembali

orang pada tertawa dan Senapati menurunkan Kumbang ke tanah.

“Kumbang, Bapak,” si anak mem betulkan. “Kami tinggal jauh di desa sejak terjadi perang. Kang G elar yang menjaga kami. Sekarang dia pergi.”

“Kumbang. Benar, Kumbang,” bisik Senapati, “bapak sudah mu lai pikun rupanya, Ya-ya-ya, ke mana G elar

pergi?” “D engan pasukan, Bapak.” W iranggaleng terdiam. Keningnya berkerut. Matanya

ditujukan para pemimpin pasukan, pada para pengawal, akhirnya pada Idayu: “Pasukan m ana?”

“Pasukan Senapati Wiran ggaleng,” jawab istrinya. Mata Senapati cepat dialihkan pada para pemimpin

pasukan, bertanya: “Pasukan siapa berkeliaran di sana?” tanyan ya tajam.

“Pasukan dengan tugas khusus,” jawab Braja, “dengan perintahm u. Senapatiku, mencari minyak-tanah. ”

“D ialah yang bilang Bapak sudah kembali,” Kumbang menam bahkan. Idayu merasa perlu untuk menerangkan, agar suasana yang mu lai mengandun g ketegangan ketentaraan itu mengendur. Ia dekati suaminya dan berkata pelahan setengah bisik: “G elar m enggabungkan diri kembali pada

tentara Tuban

setelah

Peranggi masuk.

D itinggalkannya kami berdua di pedalaman. Kemudian dia datang lagi mem bawa pasukan sebanyak tiga ratus orang.”

“D ia yang mem bawa?” tanya Senapati mem belalak. “D ia yang memimpin pasukan?” kembali pandangnya

berpendar-pendar pada para pemimpin pasukan. “D ewa Batara!” sebutnya.

“Aku belum tahu tepat siapa nama pemimpin pasukan khusus itu,” sela Braja.

Senapati mem egangi kedua belah bahu istrinya: “Tidakkah dia berbohon g waktu mengatakan membawa pasukan?”

“Tak pernah aku ajari dia berbohong,” jawab Idayu. W iranggaleng m enoleh pada Braja, bertanya: “Bukankah

pemimpin pasukan itu orang yang baru pulang dari Tuban Kota, Braja?”

‘Tepat, Senapatiku.” “Ampun, D ewa Batara,” sebut W iranggaleng.

“Apakah Senapatiku ingin segera mengetah ui oran g itu

G elar atau bukan?” tanya Braja. Senapati tak menjawab. Ia melangkah pelahan diikuti

oleh semu a orang.

“G elar, Senapatiku, seorang prajurit yang gesit seperti elang, berani seperti harimau, patut jadi perwira sekiranya kelakuan cukup baik,” Braja menyarani.

“Maafkan kami,” Kala Cu wil menam bahkan, “bahwa tak ada di antara kami mengetah ui apakah kepala pasukan khusus itu G elar’

“Bagaimana keadaanmu, Idayu?” tanya Senapati. “Kumbang,” panggil Idayu. “Mintalah gendong pada

bapakmu. Belum cukup engkau digendon gnya dulu. N ak.”

0o-d w-o0

Kumbang dan Idayu belum pulang ke desa. Bersama dengan anak-an ak dan perempuan lain mereka ditemp atkan di sebuah desa pembikin grabah. Seluruh bocah dan wanita ditugaskan untuk mengem pleng tanah liat untuk dibikin jadi gendi-gendi kecil tak bercucuk berbentuk lonjong dan tak dapat berdiri.

Mereka harus mem bikin beberapa ribu buah dalam waktu tiga minggu.

G endi-gendi yang belum dibakar dijemur berderet di atas jeram i, sedang pembakaran bekerja tanpa henti-hentinya.

D an pada suatu hari dalam kesibukannya Idayu bertanya pada anaknya: “Ada bapakmu menengok hari ini?”

“Belum, Mak. D i sana orang lebih cepat mem bikin, Mak.”

“Apakah kau kira kita kurang cepat? Kecuali m alam saja kita bisa m engasoh, dan sudah lim a hari. Mengasohlah kau, N ak, biar aku balik sendiri jemuran itu nanti.”

Tetapi Kumbang menolak dan kembali ke tempat pekerjaan .

D ari kejauhan terdengar Kumbang berseru-seru: “D atang lagi, Mak. Mereka datang lagi.”

Semua oran g yang sedang bekerja menengok ke jurusan tudingan Kum bang, dan m ereka melihat serombongan kecil pengangkut lodong bambu mu ncul di jalanan hutan. Mereka adalah rom bongan ketiga dalam seminggu yang mengangkuti minyak-tanah dari pedalaman.

Idayu berdiri dan lari menyongsong. Tetapi ia tak dap atkan G elar di antara mereka. Uh, sudah berhari-hari ia

ingin bertemu. Ia ingin bicara bersungguh-sungguh dan tenang dan mendalam . D an ia sangat menyesal melayani anaknya seperti yang telah terjadi. Kurang layak. Ia harus tetap berlaku sebagai seorang ibu yang bijaksana, bukan seperti seorang penuduh.

“D i m ana yang lain-lain?” ia bertanya. “Belum bisa pulang, tentara D emak menyergap, kami

diungsikan lebih dahulu. Mereka m asih terus bertempur.” Idayu berlutut di pinggir jalan memu nggu ngi rombongan

yang lewat, la berdoa untuk keselam atan G elar. “Mengapa Kang G elar, Mak?” “Berlututlah,

berdoalah untuk keselam atan nya.” D an Kumbang pun berlutut, mem bikin

N ak,

dan

sembah dada dengan kepala m enunduk. “N yi G ede,” seseorang m endekati, “ada apa?” “Anakku. Pasukann ya disergap D emak. Anak semuda

itu.” Orang-orang pun berlutut dan bersama-sama mereka

berdoa.

“N yi G ede, tak usah kau ikut kerja. Jangan kuatir. N yi

G ede, semu a akan selesai pada waktunya.” “Mari bekerja lagi,” jawabnya.

D an ia bekerja lagi, sekarang lebih keras daripada yang sudah -sudah. Ia menyesal tak merestui keberangkatannya. Anak manja itu. D an bagaiman a ia berani merestui seorang yang telah… tak mu ngkin.

D ia patut menerima hukum annya pada umu r tuan ya. Tapi mengapa yang melakukan harus anakku? anaknya? Mengapa bukan orang lain? Mengapa bukan G aleng? Bahkan Kang G aleng pun nam pak terkejut dan tak senang. Bagaimana jadinya anak ini bila perang selesai? Tak ada seorang pun mau diajaknya bergaul. Anak-anak akan takut padanya dan orang-oran gtua akan menyingkirinya. G adis-gadis akan lari daripadan ya. Bagaimana akan jadinya? Haruskah dia m engembarai dun ia ini seorang diri sampai matinya? Bahkan emaknya sendiri, aku, telah kehilangan kepercayaan terhadap nya, tak m ampu hidup di bawah satu atap dengan nya. D an Kang G aleng, bagaimana sikapmu ? Betapa sulit bisa bertem u denganmu.

Ia sadar sedang duduk melamun tak kerja waktu Kumbang datang dan menegurnya: “Em ak tak bekerja?”

Ia terbangun, tetapi m atari sudah hampir tenggelam.

D i kejauhan nam pak beberapa dapur pembakaran mu lai mengepulkan asap tipis ke udara.

0o-d w-o0