Pertempuran dan Pertempuran

20. Pertempuran dan Pertempuran

Hujan jatuh tak semena-m ena di atas pesanggrahan balatentara Tuban. Malam gelap-pekat. Angin kencang antara sebentar menggeleparkan atap-atap dan dinding dau n kelapa setiap gubuk pesanggrah an. Bila kilat mengerjap, gubuk-gu buk itu namp ak seperti sekelom pok anak kucing yang mendekam putus asa kehilangan indu k.

D alam salah sebuah gubuk pesanggrahan ini sebuah pelita minyak kelapa m emancari wajah dan tubuh beberapa orang yang berdiri di sekelilingn ya. Setiap kali nyala pelita itu bergerak, wajah mereka yang mengelilinginya nampak berubah-ubah, seperti bukan wajah m anusia tetapi makhluk menyeram kan dari alam lain. Tak ada di antara mereka tersenyum atau tertawa. Semua mem usatkan pikiran dan kesungguhan mereka m enegangkan suasana.

“Yang telah kita hadapi dan hancurkan pada hari ini bukanlah dan belum lah seluruh kekuatan mereka,” kata Kala Cu wil. “Mu ngkin baru sebagian kecil. Malahan di mana disembunyikan meriam itu kita belum lagi tahu.”

“D ari bunyi ledakan nya jelas disembunyikan di arah tenggara,” seseorang memberikan pendapatnya.

“Jelas seperti siang. Tapi meriam bisa berpindah setiap waktu.”

“D ia tetap akan meninggalkan bekas.” “Orang bisa mem bikin supaya tidak berbekas.” “Mereka takkan mem punyai cukup waktu untuk itu.” “Mo ga-moga.” “Selama m ereka masih menem bakkan meriamn ya, induk

pasukan mereka belum lagi bergerak,” sambung Rangkum, kepala pasukan kaki.

“D an hanya sedikit-sedikit tembakannya,” Kala Cu wil meneruskan, “barangkali pelurunya sangat terbatas. Mereka takkan bisa bikin sendiri. Atau, mereka bertekad untuk melakukan perang lama seperti Paregreg. D an bila itu yang mereka kehendaki dan kita tidak bisa mengatasi, Tuban akan diterkam bahaya kelaparan. Sedang bandar akan hanya m enjadi beban.”

“Kita akan usahakan mereka tak punya kemampuan untuk

Banteng W areng mem perdengarkan suaranya, “pedalaman kita tidak begitu subur. D aerah Tuban Kota sendiri tandus. Selam a ini hanya kebesaran bandar yang diagung-agungkan. Kalau pedalaman kacau dan laut pamp at, hanya kelaparan yang ada.”

berperang

lama, ”

“Semua itu benar kecuali satu yang tidak dilihat: kita inilah kunci’ Wiran ggaleng menyarani. “Kalau mereka mengh endaki perang panjang, kitalah yang akan mem bikin pendek.”

Banteng W areng mengangkat mu ka. Suatu perasaan tak senang terpancar pada wajahnya. D engan tenang ia

mem perdengarkan suaranya: “D an mereka bisa juga mem egang kunci atas kita. Menyesal sekali M ahm ud Barjah dilepas murah.”

Kala Cu wil mendengus menah an kegusaran Banteng W areng. Ia m emang terkenal sebagai jurudam ai yang tidak

pernah berpihak, maka oran g mendengarkan setiap katanya: “Ikan besar ump an pun besar.”

“Ikan itu belum lagi kelihatan,” bantah Banteng W areng, “lagi pula kita tidak sedang mengail, kita sedang berperang.”

“D engarkan , kau, Rangkum, ” Senapati Tuban mem belokkan perhatian mereka, “aku minta separoh dari “D engarkan , kau, Rangkum, ” Senapati Tuban mem belokkan perhatian mereka, “aku minta separoh dari

“Tak pernah ada balatentara bergerak di waktu m alam,” bantah Banteng W areng.

“Apakah Senapati kalian kira keturunan raja? Aturan perang Senapati kalian bukan berasal dari para raja. Apa katam u, Kala Cuwil?”

“Biarlah kepala pasukan kaki sendiri yang m enjawab.” “Mereka sudah terlalu lelah, Senapatiku,” jawab

Rangkum. “Besok mereka masih mem butuhkan tenaganya sendiri. Mereka tak berkuda, tak bergajah. Biarlah mereka

mengasoh. Petani-petani pedalaman itu takkan dap at lari jauh. Mereka m asih ada di dekat-d ekat sini, Senapatiku.”

D an W iranggaleng tahu , hanya Senapati tidak bijaksana disangkal oleh bawahann ya. Semu a mengawasinya seakan mengu kuhkan ketidakbijak-sanaannya. D an jatuh hujan di atas atap daun kelapa itu kembali terdengar oleh m ereka.

“Senapatiku belum lagi selesaikan perbincangan ini,” Banteng W areng m emperingatkan.

“Aku tidak biasa bicara seperti kalian. Yang aku tahu, hari ini kita telah mendapatkan kemenangan gemilang.”

“Senapati baru sekali ini berperang,” bantahnya. “D alam seumur hidupku, balatentara Tuban hanya

sekali ini turun untuk berperang. P engalamanm u tidak lebih banyak dari aku,” jawab Senapati. D engan sendirinya tangannya terkepal jadi tinju. Bantahan ini dirasainya tidak layak setelah kemenangan gemilang hanya karena dirinya yang mem erintah kan dimu lainya gerakan, la telah pertaruhkan nasibnya dengan m engambil-alih kesenapatian.

Ia pandangi kepala pasukan itu seorang demi seorang.

D an ia tak mendapat sokongan. Juga Kala Cu wil tak menyokongn ya.

“Tak ada yang bilang mereka tak boleh mengasoh. Bukan raja pun harus tidur. Co balah fahami maksud Senapati,” katanya menyarani. “Kalian mem ang boleh menyanggah seorang Senapati anak desa, tapi perang adalah perang.”

“Kepala pasukan kaki tidak menyanggah, Senapatiku. Mereka lelah, hari hujan dan gelap. Harap Senapatiku bijaksana.”

“Kala Cu wil!” panggil Senapati. “Juga kau sendiri tahu, yang paling lelah adalah pasukan kuda. sekalipun tidak dengan kakinya sendiri. Lagi pula hanya sebagian dari pasukan kaki yang dikerahkan pada hari ini. Tak sampai separoh. Bagaimana jawaban ini?”

“Rangkum menolak, Senapatiku, sebagaimana pada sebaliknya Senapatiku melepaskan Mahm ud Barjah dari kepungan, demikian

juga Rangkum melepaskan anakbuah nya untuk beristirahat, ” jawab Rangkum tegas.

“Baik. beristirahatlah. Aku kenal daerah ini. Aku tahu pasukan kuda dan gajah tak bisa jalan pada malam seperti ini. N amu n sesuatu harus kita kerjakan pada malam ini. Sekalipun kalian menolak, aku masih mengh arap kan ada yang m au berangkat. Siapa siap beran gkat?”

Tak berjawab. Senapati masih m emerlukan m emandangi kepala-kepala pasukan sekali lagi untuk mendap at jawaban. Sia-sia.

“Baik,” katanya kemudian, “Banteng W areng, sediakan untukku seekor kuda yang segar.”

“Kemana Senapatiku akan pergi, seorang diri?”

“Mem utuskan mereka dari induk pasukannya.” Banteng W areng menatap Senapati dengan diam-diam.

Melihat Wiranggaleng tetap pada pendiriannya, lambat- lambat tapi pasti ia menjawab: “Baik. Kalau begitu seluruh pasukan kuda akan bergerak mengikuti Senapatiku, malam ini juga.”

“Tidak. Seekor saja aku perlukan. Biar aku berjalan sendiri, dan biar kalian tahu bagaimana orang yang tak tahu aturan perang para raja ini bertaru ng.”

Sejenak kepala-kepala pasukan itu terdiam. Banteng W areng menatap Rangkum, dan yang belakangan ini

menganggu k. “Senapatiku,” jawab Rangkum, “pasukan kaki akan

bergerak malam ini juga, mengikuti Senapatiku.” Malam itu juga, dalam kegelapan dan hujan, pasukan itu

bergerak bergandengan tangan dan lari maju bila kilat menerangi bumi barang sekejap.

Tanah berump ut di bawah kaki memu dah kan perjalanan. D an mereka berjalan dan berjalan. Hujan

berhenti dan curah kembali. M ereka terus berjalan m elintasi padang rumput berbatu-batu, kemudian mem asuki jalanan desa yang berbatu-batu pula. Hujan berhenti lagi dan bintang-bintang mulai mengintip dari sela-sela mendung. Beberapa kali ayam liar dan ayam hutan terdengar

berkeruyuk. Kemu dian unggas-unggasan yang lain mu lai menyanyi dari segala pelosok, dan matari pun mu lai mem ancarkan lembayung merah dari bawah bumi, jauh di timur sana.

Laskar-laskar Rajeg yang dicari ternyata tiada. “Apa katamu sekaran g. Rangkum?”

“Senapatiku benar. Mereka bergerak di malam hari.” “Apa artinya itu, Rangkum ?” “Artinya, kita sudah binasa, bila mereka menyerang

dengan sepenuh kekuatan, Senapatiku.”

D emikianlah maka berita, laskar-laskar musuh bergerak di malam hari diterima dengan terkejut di pasanggrahan. Pada waktu itu juga gubuk-gubuk dibongkar dan semua bergerak menyusul Senapati.

G erakan penjejakan diadakan. Bekas-bekas m ereka pada siang kemarin telah terhapus oleh hujan.

Berita, bahwa Tuban terpancing turun ke gelanggang tanp a persiapan dan tanpa m engerahkan pagardesa ataupun

penduduk, menerbitkan suka cita Ki Aji. Mereka akan m ati kelaparan, kehujanan dan kedinginan.

Setelah magrib, di depan pendopo, di hadapan para pengikut ia mem berikan wejangan pendek sebelum isya: “Anak-anakku, kawulaku, sudah berkali-kali aku ajarkan pada kalian, jangan percaya pada ningrat Jawa. Mereka bilang dewa-dewa yang telah pilih mereka jadi ningrat untuk mem erintah oran g desa.”

“Semua orang tua-tua kalian tahu tentang cerita pertentangan antara ningrat dan bukan ningrat semasa Majapahit. D i T uban aku pun sudah banyak dengar tentang itu, bahkan juga dari para nakhoda dan saudagar asing yang punya perhatian pada kejayaan Majapahit di masa silam. Juga punya perhatian, mengapa kemaharajaan yang besar itu bisa jatuh berkeping-keping dan tak m ampu berdiri lagi.”

“Tak perlu aku ulangi pada kalian tentang Perang Paregreg. Bukankah kalian juga m asih ingat soalnya karena tidak sukanya kaum ningrat pada kebijaksanaan Maharani Suhita yang masih juga mau meneruskan mem berikan “Tak perlu aku ulangi pada kalian tentang Perang Paregreg. Bukankah kalian juga m asih ingat soalnya karena tidak sukanya kaum ningrat pada kebijaksanaan Maharani Suhita yang masih juga mau meneruskan mem berikan

“Lebih sepuluh tahun aku telah mengabdi pada Adipati Tuban sebagai Syahbandar. Aku sudah jelajahi bandar- bandar di Jawa, dari Banten sampai Panarukan. Sama saja di mana-m ana: ningrat Jawa sudah lapuk, hidup hanya di bawah bayang-bayang nenek moyang yang besar.”

Lihat itu raja Ciri D ahanapura Blam bangan, yang menam akan diri pewaris tunggal Majapahit. Bukankah

sudah diketahui semu a orang dia m engemis-ngemis meriam pada Peranggi? Pada Kongso D albi di Malaka? Begitulah ningrat Jawa. Untuk mengam bil hati Peranggi, raja Blam bangan itu tak malu-malu mengaruniakan sebidang tanah dan tenaga kerja pada Peranggi-peranggi di Blam bangan untuk digarap dan untuk mendirikan rumah di Panarukan dan Pasuruan. D ibiarkan mereka mendirikan rumah-rumah besar. Tak tahu malu. Apakah Islam datang pada kalian karena meriam? D an disertai orang Arabnya sekali? Tidak! Tak ada orang Arab m enyampaikan ajaran di Jawa ini, di seluruh Jawa, di seluruh benua kepulauan N usantara ini. Oran g-orang Arab datang hanya untuk mem aneni jerih-payah oran g lain. Islam datang dari kandu ngan hati mereka yang bersih, dan disambut oleh hati mereka yang bersih pula, berkemban g damai seperti berkemban gnya bunga jambu. Lain dengan Peranggi dengan N asran inya. D ia datan g dengan tembakan meriam, dan dengan Perangginya sekali. Islam datang tanpa mem inta tanah. Mereka datang dan membutuhkan tanah.”

Ia terhenti bicara, terkejut, terbatuk-batuk, melirik pada Ro is dan Manan, Peranggi mu alaf, mem bersihkan Ia terhenti bicara, terkejut, terbatuk-batuk, melirik pada Ro is dan Manan, Peranggi mu alaf, mem bersihkan

D ari kejauhan telah terdengar guruh bergumam dan gerimis tipis mu lai turun. Kiai Benggala Sunan Rajeg tak juga berkisar dari tempat duduknya, meneruskan: “Kalau Tuban telah kita kuasai, kita akan bergerak ke selatan, mengu sir Hindu dan N asrani dan Peranggi dari Blam bangan . Tak ada alasan Tuban bisa m engalahkan kita. Adip ati Tuban sama dengan ningrat Jawa yang lain, lemah, tak berkemauan. Ingin am an dan senang terus sampai mati, tanp a berbuat apa-apa dengan merugikan semua oran g. Mu nafik! Lihat saja dia itu. Tak ada maharaja mem erintah dia. Pasukan gajahn ya kuat, lebih dua ratus tahun jadi perisai Majapahit. Mengaku Islam. Sekarang Majapahit tinggal segenggam tanah yang bernama Blam bangan, jangan harapkan dia mau dan berani bergerak ke selatan .

D ia malah mau meniru raja Blam bangan, G irindra Ward- hana, mau mengemis-ngemis persahabatan dari Peranggi,

sekalipun dengan caran ya sendiri. Malah anak-anaknya sendiri pada lari meninggalkannya.

Hujan mu lai melebat. D an untuk pertam a kali dalam kekuasaan nya di Rajeg ia mempersilakan para pengikut

masuk ke dalam pendopo yang tak berdinding itu.

D an ia terpaksa meneruskan wejangannya, karena mem ang belum lagi samp ai pada pokok kesukaan: D emak.

“N ah,” ia meneruskan setelah semua mendapat tempatnya, “kalian sudah tahu siapa yang menganggap dirinya Sultan Islam pertama-tama di Jawa. Kalian mem anggilnya Raden Patah, bukan? Tidak, tidak sesederhana itu nam anya. Lengkapnya: Sultan Sri Alam Akbar Al-Fattah. Sam a sekali bukan nam a Jawa. Mem ang “N ah,” ia meneruskan setelah semua mendapat tempatnya, “kalian sudah tahu siapa yang menganggap dirinya Sultan Islam pertama-tama di Jawa. Kalian mem anggilnya Raden Patah, bukan? Tidak, tidak sesederhana itu nam anya. Lengkapnya: Sultan Sri Alam Akbar Al-Fattah. Sam a sekali bukan nam a Jawa. Mem ang

D emak berkicau, dia ningrat Jawa, berdarah Majapahit. Bohon g! Semua pemasyhuran tentang D emak oleh mu safir- mu safir itu bohong belaka. N in grat Jawa sekarang ini takkan punya kemamp uan mem buat sesuatu yang baru, apalagi mendirikan kerajaan Islam pertama.

“Aku tahu ada di antara kalian di sini bekas mu safir

D emak, hei, kau bekas mu safir D emak, benarkah Sultan

D emak orang Jawa?” ia tertawa mengejek. “Yang kalian sebut Sultan D emak orang itu sama sekali tidak bisa baca dan tulis Jawa, tak bisa bicara Jawa. D ia hanya bisa bicara sedikit Melayu. Anak dusun yang bodoh itu bisa baca dan tulis. Masa seorang raja Jawa tidak bisa? Bukan itu saja, kulitnya bukan kulit Jawa dan matan ya bukan mata Jawa. Hei, kau bekas mu safir D emak, cobalah jawab: sipit atau tidakkah Sultan D emak?”

Seorang pemuda jangkung nampak mem anjangkan badan dan leher dan menjawab: “Sahaya belum pernah melihatnya, Ki Aji.”

“Bahkan mu safirnya sendiri tak pernah melihatnya. D ia mem ang tak pernah muncul di depan umum. D an jangan percaya kalian pada oran g selam a dia mengaku diri musafir

D emak. Mari aku ceritai kalian: “Sultan D emak mem ang tidak pernah m uncul di depan umu m. D ia takut dilihat oleh

kawulanya sendiri. Karena itu dia mem butuhkan musafir untuk menyebarkan kebohongannya ke seluruh Jawa.”

“Jadi siapa gerangan, Kanjeng Sunan?” Pertan yaan itu menyebabkan orang tergugah dari

kebosanan. Ada hal baru yang nampaknya bakal mereka ketahui: “Itu hanya dalam kitab seorang Syahbandar. Selama ada Syahbandar di pelabuhan-pelabuhan di Jawa, orang akan dapat mem peroleh keteran gan yang benar

tentang raja-raja Jawa sekarang ini. Itulah tam bo. Kalian harus tahu tambo untuk mengetah uinya dud uk perkara. W aktu kalian belum ada… “, ia memulai dengan ceritanya, “ada tersebut dalam kitab para Syahbandar, datanglah arm ada dari utara sana, memang bukan untuk menaklukkan negeri-negeri seperti Peranggi dan Ispanya, bukan untuk menaklukkan dan juga bukan untuk mem bajak. Mereka datang untuk mengu asai perdagan gan rem pah-rempah. Mereka datang dengan dalih telah terusir dari negerinya dan minta perlindun gan pada Majapahit. Tidak lain dari Sang Adipati Tuban yang lebih tahu bagaimana isi perjanjian itu, karena dialah waktu itu ditunjuk oleh Sri Baginda Bhre W ijaya Purnawisesa untuk melayani mereka. Mereka diperkenankan tinggal di Lao Sam sekarang dan Semaran g sekarang, tetapi mereka tidak boleh mem asuki perairan Maluku. Mereka boleh mendapatkan remp ah-rempah hanya dari bandar-bandar di Jawa. Laksamana armada ini kalian tahu namanya: D ampo Awang. Orang hanya mengenal gelarn ya: Ceng He. “Mem ang mereka tidak seperti Peranggi dan Ispanya. D an mereka berdagang biasa, tidak mampu mengu asai perdagangan remp ah-rempah seluruhnya. Mereka melalui jalan dagang dan jalan laut seperti halnya dengan kapal- kapal Jawa.”

“Armada itu sangat besar, walau mun gkin takkan sebesar arm ada Majapahit di masa jayanya. D an karena waktu itu di Jawa tak ada arm ada besar lagi, armada itu nampaknya mem ang sangat besar. Oran gtua kalian tahu betul tentang itu, tetapi ada banyak hal yang m ereka tidak pernah tahu.”

“Mereka tidak menyerang, juga tidak diserang. Mereka datang dengan dalih sama di mana-mana: dagang.Mereka datang untuk menguasai perdagangan dengan jalan dagang, “Mereka tidak menyerang, juga tidak diserang. Mereka datang dengan dalih sama di mana-mana: dagang.Mereka datang untuk menguasai perdagangan dengan jalan dagang,

“D i mana armada itu sekarang, Kanjeng Sunan, karena menurut cerita kapal D ampo Awang sendiri tenggelam di pantai Rembang.”

“Armada itu sendiri sudah banyak buyar di banyak bandar!”

Orang berdesakan mendekat untuk tidak terganggu oleh tam pias dan bunyi jatuh air di perlimbah an.

“Mereka mem ang tidak kembali ke negeri sendiri. Mereka tersekat di sini karena di negerinya sendiri terjadi

pergantian kaisar. Berdasarkan persetujuan dengan Majapahit, dengan

Tum enggung Wilwatikta, mereka membuka daerah-daerah rawa-rawa Semarang sekarang, mereka bikin jadi bandar perdagangan dengan nam a Sampo Toa-lang.

“D ulu orang segan singgah di sana, tidak sehat, banyak penyakit. Lam a-lam a ada juga yang datang dan mendap at pelayanan . Tentu tidak sebaik pelayanan Tuban sewaktu aku m asih jadi Syahbandar.

“D engan jatuhnya Majapahit kelompok besar armada mu safir kuatir akan terjadinya perang antara para gubernur untuk berebut jadi raja di antara mereka. Mereka kuatir perjanjian dan Tum enggung W ilwatikta itu kehilangan kekuatannya. Mereka tahu gubernur yang paling kuat adalah Arya Teja Tumenggung W ilwatikta, maka dari timurlah mereka menduga akan datangnya bahaya. Begitulah mereka bentengi pangkalann ya dengan melantik sebuah kerajaan baru dekat sebelah timurnya. Kerajaan benteng Sam po Toa-lang itulah D emak.”

“Bukan Kanjeng Sunan, bukan begitu babad berdirinya

G lagah W an gi D emak,” seseoran g mem bantah berapi-api sambil berjongkok meninggikan badan.

“Bukankah kau bekas mu safir D emak, Firman?” “Betul, Kanjeng Sunan, bukan begitu. Sungguh bukan

begitu.” “Mem ang bukan begitu yang diajarkan padamu untuk

jadi musafir D emak. Co ba, adakah pernah seoran g raja Jawa menyebarkan mu safir? Itu bukan adat raja-raja Jawa. Raja-raja Jawa biasanya hanya menyuruh pujangganya untuk mem bual tentang kebesarannya, tentang kemuliaan asal-usulnya. Bohon g kalau dia keturunan M ajapahit, anak Retna Su-banci, cucu Babah Bantong dari G resik.

D engarkan baik-baik. Babah Ban-tong mem ang orang Tionghoa Islam. N am a sebenarnya Tan G o Hwat. Bapakku mengenal dia, karena beberapa kali dia memang pernah berlayar ke Malaka. Benar anaknya telah diselir oleh Sri Bagin da Bhre Wijaya, tetapi tidak benar anaknya itu dihadiahkan pada Arya D amar, Adipati Palemban g dan melahirkan Al-Fattah. Uh, kalian, oran g Jawa. D alam lontar kalian hanya yang itu-itu juga yang disalin. Tak ada yang baru. Bahkan tak ada orang Jawa jadi Syahbandar!

“Tidak, Firman, anak ganteng. Retna Subanci tidak pernah berlayar ke Palembang. Dia pernah dibawa oleh

ayahnya ke M alaka semasa masih gadis kecil. Mem ang dia mengandu ng dan mendapat anak dari raja Majapahit, tapi anak itu kemudian mati. Dia sangat menderita di dalam keputrian, hampir-hampir tak bisa dikendalikan, selalu merengek minta menjenguk orangtu anya. Sri Baginda dalam pada itu tidak terlalu suka padan ya. Tanyalah pada Sang Adipati Tuban, ke mana itu R etna Subanci. Boleh jadi hanya dialah yang tahu. Anak Babah Banton g itu

dikaruniakan oleh Sri Baginda kepada Adipati Tuban. Anak dikaruniakan oleh Sri Baginda kepada Adipati Tuban. Anak

“Seluruh Majelis Kerajaan D emak tidak bakal bisa bantah aku, Sultan D emak itu tak lain dari peranakan awak arm ada Ceng He. Itu ada dalam kitab para Syahbandar, boleh jadi juga dalam klenting-klenting di Tuban dan Lao Sam , boleh jadi juga di Semarang sendiri.”

Sebentar terjadi kegaduhan dan Mohamm ad Firman menjawab pertanyaan dari beberap a orang di dekatnya.

“Apa?” sambar Sunan Rajeg yang menan gkap kegaduhan itu. “Betul Jaka Seca itu kemudian jadi Raden Said, sekarang Sunan Kalijaga, tahu betul bahasa Cina, maka juga ikut m engelom pok di D emak. D emak dan Islam dibikin jadi satu – dengarkan itu, karena kekuatan di Jawa sepenuhnya dipegang oleh pedagang-pedagang orang Islam. Apakah Sultan D emak sesungguhnya sudah setingkat keislamannya dengan Sunan Rajeg ini? Hei, kau, bekas

mu safir D emak, pernahkah kau mendengar Sultan D emak menyebutkan baran g satu ayat dari kitab suci? Atau orang pernah bercerita tentang itu? Mengapa kau diam saja? Tak ada urusan. Urusannya hanya keselam atan Semaran g.”

Sikap Sunan Rajeg yang memu suhi D emak itu sudah sangat diketahui oleh um um. Mohammad Firman yang

dikirimkan ke pedalaman Tuban sama sekali tidak bisa menan dinginya, apalagi meyakinkannya. Ia malah tertelan oleh pengaru h Sunan Rajeg. Biar pun begitu pernyataan bahwa Sultan D emak bukan berdarah Majapahit dan peranakan

D am po Awang sunggu h menggoncan gkan:

awak kapal

D an melihat terjadinya kegaduhan Kiai Benggala Sunan Rajeg buru-buru melambaikan tangan untuk menenangkan: “Bukan soal ini sebenarnya aku ingin samp aikan. Ialah bahwa ningrat Jawa sudah begitu lemahnya, bukan saja arm ada yang tersekat itu sampai dapat mem buka bandar dan perkamp ungan besar, tapi juga tidak berdaya sesuatu melihat ada seorang bukan Jawa telah naik tahta jadi raja Islam pertama-tam a. Mungkin kalian tidak tahu, Semaranglah-band ar D emak. Apakah kalian tidak malu adalah orang yang tak tahu basa dan tulisan Jawa, tak bisa bicara Jawa m enjadi raja dari orang-oran g Jawa?”

Sam pai pada puncak semangatnya kembali ia terserang oleh batuk, dan sekali ia mencoba sekuat daya untuk bertahan.

“Aku pun bukan orang Jawa, orang Benggala, orang Keling. Apakah aku tak bisa bicara dan mem baca Jawa? Bawa sini semua lontarmu, dan aku bisa bacakan mu ngkin lebih baik daripada guru-gu ru kalian. D an semua isinya om ong koson g belaka tanp a bisa dibuktikan. Maka aku tidak datang pada ningrat Jawa, tapi pada kaum pedagang dan petani seperti kalian, oran g-orang biasa, orang desa… lain halnya dengan Sultan D emak, mendirikan kerajaan untuk jadi benteng Sem aran g. Islam dipergunakan dalih.”

“D an lihat di ujung Barat Pulau Jawa sana. Aku kira belum ada di antara kalian pernah ke sana. Aku pernah. Di

sana ada sebuah kerajaan Hindu seperti Giri D ahan apura Blam bangan , Pejajaran nam anya. Rajanya juga lemah seperti G irindra W ardhan a. Penghasilannya melimpah- lim pah, tanahnya subur dan kawulanya rajin dan patuh. Karena rajan ya lemah, kekayaan tidak jadi berkah bagi orang yang lemah, malah menjadi semakin lemah karena kekayaann ya. D ia pun berusaha m endapatkan persahabatan dengan Peranggi. D ia mencari persahabatan dari singa yang sana ada sebuah kerajaan Hindu seperti Giri D ahan apura Blam bangan , Pejajaran nam anya. Rajanya juga lemah seperti G irindra W ardhan a. Penghasilannya melimpah- lim pah, tanahnya subur dan kawulanya rajin dan patuh. Karena rajan ya lemah, kekayaan tidak jadi berkah bagi orang yang lemah, malah menjadi semakin lemah karena kekayaann ya. D ia pun berusaha m endapatkan persahabatan dengan Peranggi. D ia mencari persahabatan dari singa yang

“Begitulah raja-raja di Jawa, maka semua bakal dikuasai oleh Peranggi,” Sunan Rajeg meneruskan, “dan itu tidak boleh. Tidak boleh. D emi Allah!” dan ia memberi tekanan pada kata-katanya: “Maka aku, orang Benggala, mengajukan diri untuk melindun gi Jawa dari tangan najis kafir Peranggi, aku, Sunan Rajeg.”

“Maka itu kita harus melawan Tuban. Sekarang balatentara Tuban sedang terpancing turun ke gelanggang. Pasukan gajahn ya akan punah oleh meriam kita, akan terkubur dalam perangkap, insya Allah, kita pasti menang.”

0o-d w-o0

Mahm ud Barjah dengan m embawa dendamnya terhadap Manan dan Rois menarik pasukannya pada malam itu juga. Kalau tidak, bila seluruh tentara Tuban yang dikerahkan, dengan kuda dan gajahn ya sebelum ia mempunyai persiapan kedua, pasti dan terjadi penump asan yang tak dap at dielakkan.

Hujan deras yang turun pada malam itu telah diperhitungkann ya akan m enjadi pelindun gnya. Balatentara Tuban tidak akan menyusul. Bila toh dilakukan juga takkan dap at menem ukan.

D engan diam-diam ia perintahkan melaksanakan rencana Manan dan Rois untuk memban gunkan parit-parit penjebakan terhadap kuda dan gajah musuh. Mereka harus masuk ke dalam penjebakan untuk tump as.

Sementara itu ia perintah kan untuk membikin jejak-jejak ke arah yang berlawanan dari jebakan yang sedang Sementara itu ia perintah kan untuk membikin jejak-jejak ke arah yang berlawanan dari jebakan yang sedang

Ham pir-hampir ia tak percaya pada telik-teliknya yang melapo rkan, tentara Tuban telah melakukan gerakan di malam hari. Ia sebarkan telik-telik baru untuk mengu ji laporan pertama. D an dua-dua laporan itu tidak berbeda. Mem ang balatentara Tuban bergerak juga di malam hari.

Pembikinan jebakan terpaksa dilakukan siang-malam, tak mengindah kan cuaca, dan dengan hasil yang tidak mem uaskan. Hujan dan air mengh alangi penggalian. N am un petani-petani yang terbiasa bergaul dengan tanah dan lumpur menggali terus tanpa mengeluh. Bahkan hujan itu mengh emat

tenagan ya dibandingkan dengan pemborosan di waktu panas. Tapi air curah itu tetap mengh alangi kemajuan.

Sebagaimana halnya dengan Manan dan Rois, ia tidak menyetujui perang yang belum waktunya ini. Tapi perang telah dimu lai. Kekalahan pada hari pertam a ia anggap sebagai kewajaran yang harus diterima. N amun ia masih juga belum dap at berdam ai dengan kekalahann ya yang pertam a. Ia pun belum dapat berdamai dengan nafsu segera perang dengan gampang dari Sunan Rajeg. D an ia pun menyesali diri sendiri tak dapat mencegah semua itu, bahkan dengan diam -diam mengakui, diri sendiri ingin segera masuk ke Tuban kota sebagai pemenang, megah dikagumi oleh semua penduduk, tak ada seorang pun yang bakal mem erintah, malah m emerintah semua oran g. Betapa lama ia sudah mengimpikan datangnya hari, semua atasan nya dulu datang padanya, berlutut di bawah kakinya dan menyembah m engakui keunggulannya.

Kekalahan pertam a ini menjauhkan dari impiannya sendiri. Ia harus bekerja lebih keras. Sedang Manan dan

Ro is itu mereka menam bahi segalanya pula, karena harus berbagi pendapat dengan m ereka.

Ia takkan datang melapor pada Sunan Rajeg karena kekalahan ini. Ia akan bergerak terus. D an sekarang melakukan gerakan semu untuk mengelabui musuh untuk melindun gi pembikinan jebakan. Sebelum mendapat kemenangan ia tidak akan mu ncul untuk melapo r.

Anak buah yang membikin bekas-bekas kaki pun bekerja siang dan malam tanpa henti. Tak bisa lain: ia mem butuhkan paling tidak tiga hari untuk dapat membuka pertempuran baru.

Jebakan yang dibuat menurut rencana Manan dan Rois adalah sebuah parit berbentuk tapal kuda yang bermulut luas. Pasukan kuda dan gajah mu suh harus masuk ke dalam kantong tapal kuda ini. D i belakangn ya akan dipasang pasukan pemanah yang akan m elemparkan anak panah api dan biasa Bila kuda dan gajah telah menjadi kacau ketakutan karena api, meriam akan beraksi sehingga mu suh kehilangan keseim bangan. Serangan selanjurnya tinggal

pembabatan penyelesaian, dan akan dilakukan oleh bekas tentara Tuban sendiri.

Ia telah kirimkan penghubung untuk menem patkan meriam. Manan dan Rois mengikuti perintahnya. Mereka mengarah kan regu-regu pelayan dan pengawalnya. Pasukan pemanah pun telah siap di belakang tapal kuda. Tinggal gerakan pemancingan terhadap mu suh yang berhari-hari mencari dengan sia-sia, masih harus dirancan g dengan seksama.

D an semua kegiatan itu melupakannya kepada pertentangan dengan Esteban dan Rodriguez, juga pada penyesalannya terhadap Sunan Rajeg dan diri sendiri.

0o-d w-o0

Pada suatu hari pasukan kaki Rangkum melihat serom bongan prajurit putih melintasi jalanan negeri. D ari kejauhan nam pak jum lah mereka begitu sedikit.

Pasukan kaki Tuban segera bersorak dan mengejar. D an sorakan itu memanggil pasukan-pasukan lain untuk bergabung. Arus balatentara Tuban mengalir dari segala penjuru m enuju ke tempat Mahmud Barjah telah m enunggu dengan diam-diam.

Laskar Rajeg yang berjumlah kecil itu seakan lari ketakutan langsung masuk ke dalam tapal kuda, melompati

tirnbunan-timbunan tanah, men-ceburi tanah, menceburi parit, menyeberan ginya dan keluar dari jebakan, hilang di balik semak-semak.

Sebagian dari pasukan kaki Rangkum telah mem asuki jebakan waktu di kejauhan Wiranggaleng dari atas gajah mengirimkan penghubung berkuda untuk mengh entikan pasukan kaki. D ari ketinggian itu dilihatnya Rangkum sedang mem asuki jebakan raksasa. Penghubung itu mencapai kepala pasukan kaki waktu ia sudah berada di tengah-tengah jebakan.

D engan terbata-bata Rangkum mem berikan perintah berhenti dan menyebar pada garis henti untuk menunggu serangan .

Banteng W areng menyebarkan pasukannya di luar daerah jebakan untuk m elakukan gerakan penyisiran.

Mahm ud Barjah melihat tentara Tuban berhenti di tengah-tengah jebakan mengerti, musuh telah menyadari masuk perangkap dan tidak bisa kembali, juga tidak mu ngkin maju terus. D engan hati berat ia jatuhkan perintah untuk menghujaninya dengan api dan anak-p anah.

Ia lihat prajurit-prajurit Tuban mengangkat perisai sebagai payung.

Anak panah dan api berjatuhan seperti hujan, bersemburan dari balik-balik semak tanpa kelihatan pemanahnya, dan

mereka sambil bersorak-sorak menggugupkan lawannya.

Banteng W areng mengalami kesulitan dalam melakukan penyisiran. D aerah luar jebakan itu ditum buhi dengan semak-semak telakan yang rap at dengan batangnya yang liat. Ia tak maju. D alam semak-semak sendiri gelap kegelapan yang mem untahkan anak panah dan api. Ia tak dap at m enanggu langi serangan. Ia perintahkan pasukannya mu ndur dengan meninggalkan banyak korban.

Melihat kegagalan ini dari atas gajahnya Wiranggaleng mem erintahkan pasukan gajah menggantikan pasukan kuda.

G ajah-gajah T uban itu tak lam a kemudian lari mem asuki semak-semak yang ditinggalkan oleh Banteng W areng.

D ari atas gajahn ya Senapati melihat pasukan Rangkum di dalam jebakan ini berusaha hendak mundur berpayung

perisai tanp a bisa mem balas. D an dari belakang jebakan sorak-sorai tentara Rajeg semakin lama semakin bersemangat.

Kerusakan pada pasukan kaki itu cukup besar, tanpa bisa mem balas, namun berhasil keluar dari tungku maut.

Rangkum sendiri menderita luka pada bahunya waktu kudan ya melarikan diri dari api yang sedang menan datangani, tetapi terjungkal dengan kepala pecah kena peluru meriam. Ia digotong keluar gelanggang oleh anakbuah nya.

Semak-semak yang diterjang pasukan gajah itu menjadi rata. Prajurit-prajurit Rajeg yang berada di dalamn ya tak dap at m elukai dan mengenai binatang-binatang itu ataupun penunggangnya,

oleh semak-semak persembunyian sendiri, sorak-sorai pengundu ran diri mereka terdengar riang penuh kemenangan.

terhalang

Meriam tiba-tiba berhenti menembaki. Pasukan gajah terus melakukan gerakan penyisiran.

Mereka tinggal berhadapan dengan semak-semak. Senapati mengerti berhentinya penembakan meriam

disebabkan karena senjata-senjata itu juga terpaksa diundurkan.

Mahm ud Barjah dengan senyum puas mem erintah kan seluruh tentaranya mu ndur. Ia telah terhibur karena telah dap at menebus kekalahann ya yang pertam a. Tak ada seorang pun di antara anakbuah nya tewas atau hilang. Beberapa orang saja terkena cedera karena kecelakaan. Sekarang ia mendapatkan keseim bangan nya lagi. Ia akan tidak malu lagi mengh adap pada Sunan Rajeg. Kalau perlu Manan dan Rois akan dihalaunya ke tempat yang tidak berarti di mata Sunan.

D alam perjalanan mengundurkan diri ia mu lai merencanakan pembikinan parit yang tidak lengkung tapal kuda tapi lurus mengh adang perjalanan mu suh. Pos-pos pengintaian akan ditemp atkan pada puncak pepoho nan tertinggi untuk dapat melihat gerak-gerik mu suhnya. Ia menyadari, ketinggian gajahlah yang menyebabkan jebakannya kelihatan dari kejauhan. Jebakan baru harus tidak kelihatan dari ketinggian. Dan terutam a sekali pasukan gajah dan kuda yang haru s dihancurkan.

W iranggaleng, setelah melihat kerusakan pada pasukan kaki, segera turun dari kendaraannya dan mendatangi Rangkum.

Kepala pasukan itu sedang dudu k di atas tand u waktu ia datang.

“Pasukanku rusak, Senapatiku.” “Benar. Tapi kau tidak kalah. Juga tidak hancur.” “Tidak, tidak kalah, juga tidak hancur. Masih sanggup

bergerak terus.” Rangkum ternyata tidak bersedia untuk diganti. Ia hanya

menginginkan kuda baru.

D an Senapati merasa bersyukur. Ia mengerti maksud Rangkum, dia mengh endaki tugas pendesakan dan penggiringan mu suh diserahkan pada dirinya. Rangkum mem aklumi tugasnya mendesak dan menggiring mu suh samp ai pada suatu titik di mana mereka tak bisa lagi menyerang, melawan, bertahan ataup un bergerak.

Ia nilai pertemp uran kedua sebagai kemenangan , karena tentara Rajeg toh terdesak dan tergiring lebih ke pedalam an.

Pertem uan itu terjadi di pendopo antara Sunan Rajeg, Mahm ud Barjah, Esteban dan Ro driguez.

Panglim a Rajeg dengan bersemangat melaporkan tentang jalannya pertempuran

bagaiman a kemenangan diperoleh. Bahwa pasukan kaki Tuban rusak, dan tak ada

dan

sesuatu kerugian pada pihak Rajeg. Manan dan Rois diam-diam mendengarkan dan tidak

mem berikan sesuatu pendap at. Mahm ud Barjah kemudian menjanjikan kemenangan

gemilang dalam pertempuran ketiga. Ia telah mem punyai rencana yang m asak.

Sunan Rajeg tak dapat bicara suatu apa, terbenam oleh semangat kemenangan.

“Kapan pertempuran ke tiga sebaiknya diadakan, Pam an Sunan?” tanyanya kemudian.

“Tentu kau yang lebih mengetah ui daripada aku. Berperang dengan jalan penjebakan rupanya sangat baik. Teruskan saja,” ia berpaling pada Esteban dan Rodriguez, “bagaimana pendapat kalian, Manan dan Rois?”

“Pengalam an kedua ini sunggu h mem uaskan,” Manan mem uji-mu ji rencanan ya sendiri, “jebakan, anak panah dan api. Bila ada ledakan-ledakan lebih banyak lebih baik, gajah takkan berani mendekat. D ia takut pada api dan ledakan.”

“Sayang tak cukup obat peledak dalam persediaan,” susul Ro is. Tidakkah Kanjeng Sunan punya tenaga yang bisa m embikinnya? Barang sepuluh orang?”

Sunan R ajeg menjanjikan akan mem berikan tenaga itu. Sementara bahan peledak belum tersedia, perbincangan

berkisar pada pencarian jalan untuk menumpas pasukan gajah. D an Sunan Rajeg mengh arap pada M anan dan Rois

yang punya pengalaman perang di Afrika dan Asia untuk menyatakan pendapatnya.

“Mem ang ada jalan yang mu dah,” Rois alias Ro driguez mem ulai. “Kelemahan gajah ada pada tumitnya. Binatang yang kaku itu, dengan pandang selalu ke depan, karena kupingnya yang terlalu besar, sangat mu dah diserang dengan cepat dari belakang. Sambil lari di belakangn ya orang dapat mengapak tumitnya, dan dia takkan berdaya lagi untuk selam a-lam anya. Ia akan menggelosot sampai mati.”

“Betul, Kanjeng Sunan, itu memang bukan rah asia. Semua prajurit yang berpengalaman di benua hitam tahu akan rahasia itu. Bisa dijalankan dengan mu dah.”

“Anak kecil pun tahu kalau hanya begitu,” ejek Mahm ud Barjah, “untuk itu tak perlu berpengalaman perang di mana-mana. Sebarkan penunggang kuda yang mahir, dan sambar tumit itu dengan kapak atau tom bak… beres. Lihat, tak ada pasukan kuda pada kita. Lagi pula bukan percuma bila setiap ekor gajah Tuban diiringkan oleh paling sedikit lim apu-luh prajurit kaki. Mereka bukan hanya menyerang ke depan. Mereka juga m engawal tum it gajahnya.”

“Tetapi Rois betul,” Manan membenarkan temannya. “Jawabannya memang pasukan kuda. Kalau itu ada pada kita mem ang mudah. Karena tiada, haru s diadakan penggantinya: penyergapan mendadak dan cepat terhadap pasukan kaki pengiring sambil mengh ancurkan tumit binatan g itu.”

“D i mana pengalaman perang kalian?” Mahmud mengejek. “Apakah kalian tak tahu setiap gajah perang dan

di waktu perang semua tumitnya dilindu ngi dengan zirah baja? D engarkan, gajah perang Tuban bila berjalan, zirahnya bergerincing nyaring pada setiap langkah, seperti kopyak ki dalang. Ah-ya, mu ngkin di negeri-negeri lain tak demikian. Kasihan, betapa sengsaranya gajah perang di

negeri orang itu.” Sunan R ajeg tertawa mendamaikan. “Kalian semua betul,” katanya. “Serangan cepat

mendadak mem bongkar zirah. Tumit itu pun hancurlah.” “Tidak semua oran g-orang bisa m embongkarnya, apalagi

dengan cepat dalam serangan mendad ak,” Mahmud mem bantah.

“Setiap bikinan manusia dap at dihancurkan oleh manusia. Soalnya adalah penggunaan waktu sependek- pendeknya. Lihatlah, Paman Sunan, pembongkaran zirah itu sendiri mem akan waktu lama di tangan bukan ahli daripada pendadakannya. Sebelum pembongkaran selesai, serangan sudah selesai. Maka serangan seperti itu bukan saja tidak akan mendapat tumit, tidak akan mendapat zirahnya, sebaliknya belalai gajah mem bantingnya ke bum i”.

“Soalnya hanya pada cara menghancurkan tumit itu,” Manan berkukuh.

D an untuk ke sekian kalinya Mahm ud tak berhasil menyudutkan dua orang saingann ya itu.

Pembicaraan itu terputus karena datangnya seorang penghubung: mem beritakan: ada beberapa orang penunggang kuda yang diduga sedang menuju ke jurusan jebakan baru.

“Halangi dan belokkan perhatiannya,” perintah Mahm ud Barjah. Dan setelah penghubung itu pergi, ia

meneruskan, “Kita haru s berpanen, bukan mengasak. Lupakah zirah dan tumit gajah untuk sementara ini, Pam an Sunan. Pertempuran ke tiga sedang di amban g pintu. Kita bersiap-siap.”

Sunan Rajeg berpaling pada Manan, berkata: “Manan, aku ikut bersama dengan m eriammu.”

D an m ereka pun berangkat ke medan pertempuran. 0o-d w-o0

Meriam-meriam Portugis itu telah ditempatkan pada sebuah bukit yang dirimbuni pepoho nan. Tempat itu sejuk.

Peti-peti obat tertumpuk jauh dari senjata-senjata itu. Peluru-p eluru besi bergeletakan seperti buah jeruk di bawah roda-roda meriam. Para pelayan pada berdiri dengan tam pang angker di belakang senjatanya. Pand ang mereka tertuju pada suatu titik di kejauhan di rendahan sana. D an titik itu sebentar lagi akan jadi sasaran. Para pengawal meriam bersiaga di kaki bukit berdiri berkeliling, seperti bulu di selingkaran mata.

Manan dan Rois sedang sibuk mem eriksa sepucuk di antara yang dua.

D alam beberapa hari ini mereka tidak melaporkan yang sepucuk sudah tak diperlukan lagi, dinding kamar ledaknya

telah cuwil, tebalnya tidak rata lagi. Bila dipergunakan salah-salah kam ar ledak itu yang sendiri meledak.

Melihat adan ya kejanggalan itu segera Sunan Rajeg menegur, mengapa hanya sepucuk saja dipersiapkan?

“Mu suh terlalu kecil untuk dilayani dengan dua,” jawab Manan mantap.

D ari atas bukit kecil nam pak pasukan kuda Tuban bergerak pelahan m engapit pasukan gajah.

Sunan R ajeg menuding ke jurusan m ereka. “Mereka nam pak sudah lelah mencari-cari,” katanya

mem beri perhatian. “Hajarlah dengan meriammu , biar segera tum pas!”

“Tidak boleh ada serangan. Kanjeng Sunan, sebelum mereka berada dalam jarak tembak. Perintah pun belum diberikan oleh Panglima Mahmu d.”

“Aku lebih tinggi daripada Mahmu d.” Ro is tertawa.

D an Sunan Rajeg tersinggung mendengar tawa itu, berpaling padanya dan m embentak: “Tertawa.”

“Kita sudah menguasai medan Kanjeng Sunan,” Manan cepat-cepat menengahi. “Tak perlu terburu-buru bertindak. Mereka belum lagi samp ai di tempat yang telah kita tentukan. Lagi pula mereka sama sekali belum tampak lelah. Kalau dalam keadaan begitu meriam ditembakkan, pasukan kuda mereka akan temukan tempat ini.”

“Jadi kalian tak percaya pada kekuatan balatentara Sunan Rajeg, kalian, Manan dan Rois?” tetak Sunan. Ia menuding Rois dengan tongkatnya.

Beberapa orang dari pengawal meriam datang berlarian, langsung m engepung M anan dan R ois mengacukan tombak mereka.

“Aku tahu apa aku kehendaki,” Sunan Rajeg meneruskan bentakannya. “Tidakkah kalian mengerti Sunan Rajeg harus saksikan mereka, kafir-kafir itu bergelimp angan karena meriamnya? Manan! mengapa kau diam saja?”

“Kanjeng Sunan,” Manan datan g mendekati Sunan. “Seorang prajurit penembak meriam Peranggi bersump ah sehidup semati dengan meriamnya. Dia tidak boleh menem bak tanp a perhitungan. Meriam adalah dirinya sendiri yang kedua. D ia haru s selam atkan meriamnya bila

dalam keadaan bahaya dan dia….” “D iam!” bentak Sunan Rajeg, “kalian bukan lagi

penembak meriam P eranggi. Kalian penembak meriamku.” Sunan Rajeg terpaksa mengh entikan curah katanya.

G elom bang batuk tiba-tiba menyerangnya. Keadaan itu dipergunakan oleh Manan

untuk menyelamatkan keadaann ya menolong Sunan Rajeg untuk menyelamatkan keadaann ya menolong Sunan Rajeg

Sunan Rajeg mengebaskan diri dari tangan Manan. Berkata sengit dan menggigit: “Bukan kau yang menentukan. Hanya Allah.”

Ro is hendak mem bantu temannya tetapi telah kena bentak terlebih dah ulu. Ia berjalan mu ndur-mu ndur karena ditarik ke belakang oleh para pengawal meriam.

“Semua Allah yang menentukan, Kanjeng Sunan,” Manan masih juga mem buka mu lut. “Semua Kanjeng

Sunan, tetapi yang tahu bertanggung jawab hanyalah manusia.”

D ari mana datangnya ajaran tanggungjawab itu? N asrani? Tak ada aku ajarkan pada kalian. Kalian pelayan meriam. Atau Sunan Rajeg sendirikah kau ini?”

“Ajaran kafir.

“Sudahlah, mari kita menem bak,” R ois bersuara lagi dari tempatnya, dan ia mulai bersiap-siap.

Atas isyarat Sunan para pengawal meriam lari menuruni bukit dan melakukan tugasnya.

Sunan Rajeg mu ndur menjauh sambil menutupi dua belah kuping dengan telapak tangan. Pertikaian selesai dan

tenang kembali kerindangan di bawah pepoho nan itu. Ro is telah mem asukkan obat ke dalam kamar ledak.

Manan mem asukkan peluru dari moncong meriam. Kemu dian laras itu dibetulkan kedudukannya, terarah pada mu suh yang bergajah dan berkuda jauh di bawah sana. D an roda-roda meriam itu meninggalkan bekas dalam setelah Manan mem asukkan peluru dari moncong meriam. Kemu dian laras itu dibetulkan kedudukannya, terarah pada mu suh yang bergajah dan berkuda jauh di bawah sana. D an roda-roda meriam itu meninggalkan bekas dalam setelah

Kiai Benggala Sunan Rajeg mu ndur lima langkah lagi dan semakin merapatkan tangan pada telinga. Kemudian semua orang menutup telinganya sendiri, bukan telinga orang lain. Sunan Rajeg mengh adap ke arah mu suh untuk melihat bagaimana mereka menerima maut dari meriamn ya.

Api sum bu menjalar cepat masuk ke dalam bilik ledak. Ledakan yang menggemparkan udara dan hati manusia. Meriam itu seakan hendak melom pat mu ncul dari bum i ke angkasa. Api menyemburat dari moncong meriam melemparkan peluru.

D an dari atas bukit kecil itu namp ak peluru terlontar itu terbang cepat mem belah udara menuju ke arah balatentara mu suh yang sedang bergerak

Mereka berada di luar jarak tembak…. Mendengar ledakan meriam dan melihat peluru jatuh di

hadapan pasukan gajah itu berhenti seketika. Sebaliknya pasukan kuda lari ke depan meninggalkan gajah

mem bentuk barisan corong dan berpacu maju ke jurusan saran g m eriam untuk mengepung dan mem binasakannya.

“Mereka sedang menuju ke mari, Kanjeng Sunan!” Manan mem peringatkannya.

“Tembaki terus!” ‘Tidak m ungkin, terlalu tipis untuk ditembak.” “Mereka akan terhalang oleh parit’ jawab Sunan Rajeg

pelahan . “Ayoh tembaki, tembaki terus.”

“Pengawal” raung Rois, “selam atkan Sunan Rajeg!”

Mahm ud Barjah datang dengan kudan ya. Mu kanya merah-padam karena marah. Tangan kirinya mem egang kendali. Tangan kanan mengayunkan cambuk kuda.

“Bangsat!” Pekiknya mu rka sambil mencam buk Manan. Yang dicambuk m elom pat menghindar. “Siapa perintah kan menem bak?”

“Kanjeng Sunan,” jawab Rois. “Apakah kalian sudah buta? Mahm ud Barjah Panglima,”

dengan cambuknya Mahmu d m enyambar kepala Rois yang juga m elom pat mengelak.

“Mereka datang kemari!” teriak Manan. Panglim a Rajeg itu mencambuk penggul kudanya dan

berpacu turun untuk memimpin pertempuran. D erap kudan ya makin terdengar pelan kemudian hilang sama sekali, ditelan oleh semak.

D engan dipap ah Sunan Rajeg menuruni bukit sambil berkom at-kamit. Para pengawal menaikkannya ke atas tand u, dan beran gkat mereka kembali ke desa.

0o-d w-o0

Setelah diurut dengan cermat dan dap at menggunakan tangannya kembali, walaupun masih lemah, Rangkum menolak tand u. D engan tangan kanan lemah mem egangi kendali dan tangan kiri mem bawa cambuk perang ia mem impin kembali pasukan kakinya.

Pasukann ya berbaris dalam form asi supit udang melewati pasukan gajah dan m aju ke depan m engikuti jejak pasukan kuda.

Terhenti karena parit terjal, pasukan kuda yang tipis itu melambai pada pasukan kaki di belakangn ya untuk Terhenti karena parit terjal, pasukan kuda yang tipis itu melambai pada pasukan kaki di belakangn ya untuk

Mahm ud Barjah tak mengh endaki mereka menem ukan ujung-ujung itu. Perintah penyeran gan dijatuhkan. Tetapi mu suhnya tak memperdulikan serangan itu dan terus bergerak meninggalkan jebakan.

D ari balik-balik semak di seberang parit terjal bersemburan anak panah dan api dan tom bak. Oran g mu lai bergelimp angan terluka atau mati, terinjak oleh teman- teman sendiri.

Prajurit-prajurit Tuban yang telah berhasil mencapai ujung-ujung parit segera menyerang mu suhnya di seberang

parit. Pertempuran terjadi. Meriam Manan dan Rois berdentum an. Pelurunya berjatuhan tepat pada tempat yang telah ditentukan, di depan parit. Mereka tak berani menem baki mu suh yang telah menyusup dalam semak- semak di belakang jebakan.

D engan semangat hendak menebus kerusakan dalam pertempuran kedua, pasukan kaki Tuban sama sekali tak

mengindahkan bahaya mengancam. Melalui ujung-ujung parit kiri dan kanan mereka mencurah i belakang jebakan, mendesak maju terus. Semak-semak itu bosah-basih terinjak dan tertebang. Panah tak bisa dipergunakan. Tombak mengambil alih.

Pasukan kuda mu ndur mengikuti pasukan kaki yang mengamu k.

Api anak panah dan tombak tak lagi beterbangan di depan parit jebakan. Di belakang pasukan kuda mengikuti pasukan gajah. D an balatentara Tuban mendesak terus. Semak-semak yang terinjak pun ludes rata dengan tanah.

Melihat tentara Rajeg terdesak Manan segera mem erintahkan mengungsikan meriam

dan segala perlengkapan, obat dan peluru. Regu-regu pengangkut lari naik ke atas dan mengu ngsikan perlengkapan. Mereka lari ke bawah, melintasi dataran, lari sambil membawa bebannya seperti serom bongan kucing menggondol anaknya sendiri. D an pucuk meriam itu menuruni bukit dengan gampang. Manan dan Rois pun lari, sepanjang jalan sambil memaki-maki dalam bahasanya sendiri.

Tentara Rajeg yang terdesak tak mampu lagi menyusun barisan. Mereka mu ndur atau melarikan diri ke dalam

rumpunan semak yang lebih dalam. Mahmu d Barjah tak mampu lagi mengirimkan penghubung. Laskar-laskarnya terpaksa mengambil kebijaksanaan sendiri-sendiri.

Berpegangan pada pengalaman sebelum nya kini W iranggaleng tak mau lagi kehilangan jejak mu suhnya. Ia mem erintahkan terus mendesak, siang dan malam. Ia tak mau tentaranya m enderita lelah hanya untuk mencari-cari.

Sorak-sorai tentara Tuban yang mengguruh dari dalam semak-semak menjadi pertanda Rajeg telah terdesak dan

didesak. Sorak-sorai tentara Tuban itu terdengar semakin

mendekat. Manan mem erintah kan agar regu pengangkut meninggalkan medan terbuka dan m asuk ke dalam hutan.

W aktu pasukan Banteng W areng datan g, mereka sudah tidak nampak kecuali bekas-bekas yang tertinggal.

Pecahan-pecahan tentara Rajeg yang bersebaran di medan terbuka segera pula melarikan diri masuk ke dalam hutan. Mereka mem buangi pakaian putihnya dan segera hilang di antara kehijauan dan kecoklatan .

Tandu Kiai Benggala Sunan Rajeg tergoncan g-go ncang dibawa lari oleh para pemikulnya. Antara sebentar terdengar Sunan berseru-seru mem peringatkan dari atas tand unya.

D ari bawah para pemikul juga memperingatkan ke atas: “Ampun, Kanjeng Sunan, mereka sudah dekat’ dan terus lari tak peduli tand u semakin berguncangan.

W aktu derap kuda mu lai terdengar, para pemikul mem erlukan berhenti untuk mengambil nafas dan menengok ke belakang. Mereka tidak keliru dengar pasukan Tuban sedang berpacu mendatangi sambil menggeletarkan cambuk perang ke udara.

D engan serta m erta mereka turunkan tandu. “Lari, Kanjeng Sunan, lari, lari dengan kaki sendiri.”

D an larilah mereka, yang menandu dan yang ditandu, dengan kaki sendiri, masuk ke dalam hutan….

0o-d w-o0

Matahari belum lagi tenggelam. Banteng W areng dan pasukannya menyisiri setiap

jengkal tanah yang terbuka. Bukan lagi tentara Rajeg untuk menan dingi kelajuan dan kesigapan mereka.

Pasukan kaki di bawah Rangkum kemudian datang menyusul dan mem buru m usuhnya m asuk ke dalam hutan.

Baru kemudian namp ak pasukan gajah sebagai bukit- bukit daging yang menggetarkan, berlenggang dengan hidun gnya.

Hutan itu sendiri terlampau lebat untuk m empertemukan dua tentara yang bermusuhan. D i bawahnya ditumbuhi Hutan itu sendiri terlampau lebat untuk m empertemukan dua tentara yang bermusuhan. D i bawahnya ditumbuhi

Yang terdengar di dalam hutan hanya gemerasak kaki menerjang semak. Sorak-sorai telah padam. Unggas hutan telah dari tadi terbang m elarikan diri, lupa pada kicauannya sendiri…

O0-d w-oO

21, Keributan di Bandar Tuban

Hari ini warung Yakub namp ak terbuka. Langgan annya hanya seorang: Tholib Sungkar Az-Z ubaid Syahbandar

Tuban. Ia dud uk di pojokan mencangkungi cawan arak. Yakub sendiri di seberang meja dengan mata tak tenang, berdiri dengan diam-diam, bukan karena menunggu langgan an yang tak kunjung datang.

“Yakinkah tuan kita masih selam at dan tetap akan selam at?” tanyan ya dengan nada keluh tanp a kepercayaan diri.

“Pertan yaan bodoh. Bukankah semua orang tahu, Syahbandar Tuban ini selalu berada di kadipaten?”

“Syukurlah, Tuan. Jadi sepulang sahaya keadaan masih tetap am an buat si Yakub ini?”

“Lebih am an daripada di pangkuan ibumu sendiri.” “Sahaya lebih suka berlayar lagi, Tuan. Bagaimanapun

sahaya tak merasa am an lagi. Sekiranya sudah, tuan siapkan surat balasan itu…”

‘Tak ada surat balasan Yakub”. Yakub dud uk sambil mengh embuskan nafas keluh. D an

Tholib Sungkar tak mempedulikannya. Mereka duduk diam-diam mengikuti pikiran masing-masing.

“Ya, memang terlalu sepi,” Syahbandar mem benarkan keluhan nya. ‘Tapi kau hidup dari air dan dari darat, dari tuak, arak dan penipuan.”

“Ah, Tuan Syahbandar Tuban, hanya untuk jasa-jasa tuan si Yakub celaka ini beberapa kali harus meloloskan diri dari maut dengan pertolongan Allah saja.”

“Cu kup baik. Tuban takkan m elupakan jasa-jasamu.” “Bagaimana jadinya bandar ini. Tuan?”

“Seperti kau tak tahu saja. Sebentar lagi akan ramai kembali.”

“Seperti kuburan begini sepinya, Tuan. Tak mungkin hanya T uan dengan Yakub menghabiskan arak ini.”

“Kau belum lagi bercerita, Yakub.” “Hanya satu yang sahaya dengar di Blam bangan sana.

Katanya Peranggi sudah menaklukkan sebuah pulau di N usa Tenggara sana”.

“D ia bisa lakukan apa saja yang dia kehendaki. Kira-kira karena kapal-kapal G resik terlalu berani menerobos ke Maluku – pedagan g-pedagang rakus yang bodoh itu. Kalau Peranggi mem buka pangkalan baru di N usa Tenggara, tentu untuk mengh adapi mereka yang gegabah itu. D an aku kira bukan hanya satu, tapi sudah banyak pulau yang didudukinya”.

“O, itu m ulai kelihatan orang berdatangan,” seru Yakub pelahan , tapi dari nada suaranya tetap terdengar kegelisahan hatinya.

Tholib Sungkar menengok ke arah jalan raya. Dilihatnya orang-orang itu berjalan m enuju ke bandar tanpa m enengok ke arah warung.

“Tak ada yang singgah ke mari nampaknya.” “Kelihatan makin banyak saja yang datang, Tuan. Ada

apa gerangan?” Tetapi Tholib Sungkar Az-Z ubaid sudah mencangkungi

cawannya lagi, berkata: “Ada apa? Takkan ada apa-apa. Orang-orang bodoh itu. Tak tahu apa bakal terjadi.”

“Ham pir sama dengan hewan,” Yakub mem benarkan. “Perbedaann ya sudah nampak sebagai cetbang dengan

meriam. Kau sudah lihat sendiri meriam itu, kan? Ya begitulah cetbang, dan begitulah meriam, ” Syahbandar Tuban menggeserkan tongkat dari tangan untuk bertepuk senang. “Rajanya dungu rakyatnya pandir. Satu kitab pun tak pernah ditulis. Kerajaan kecil dun gu begini tidak berhak hidup di jaman meriam ini, Yakub.”

“Mem ang m eriam saja yang m enentukan dunia sekaran g ini, Tuan. D an bangsa-ban gsa dari utara sana akan selalu

berada di atas mereka kelak, Tuan. Minum, Tuan araknya.” Syahbandar

Tuban meneguk. Yakub kembali mem perhatikan oran g-orang yang makin banyak juga menuju ke bandar.

“D an biadab!” Syahbandar m enambahi. “Arakmu cocok sekali hari ini”.

“Untuk Syahbandar Tuban terbaik, arak terbaik. Mem ang biadab. Tuan 1 Sang Patih, Tuan, oran g ke dua, dibunuh begitu saja. Mayatnya dibiarkan menggeletak busuk di alun-alun, dirubung lalat, burung, dan dirobek- “Untuk Syahbandar Tuban terbaik, arak terbaik. Mem ang biadab. Tuan 1 Sang Patih, Tuan, oran g ke dua, dibunuh begitu saja. Mayatnya dibiarkan menggeletak busuk di alun-alun, dirubung lalat, burung, dan dirobek-

D an m ereka mengaku Islam pula, Tuan.” “Sudah selayaknya… orang-orang jahil, bodoh itu.” “Tahukah Tuan, cetbang-cetbang dipasang di sekeliling

bandar, di balik semak-semak?” tiba-tiba Yakub mengalihkan percakapan.

“Siapa yang tidak tah u? Uh, apa artinya cetbang?” “Sahaya kuatir, Tuan. Keadaan begini sunyi. Sahaya

lihat sendiri kapal-kapal perang Tuban pada berlabuh di

G resik pada bernafsu untuk menyewanya ke Maluku.”

G resik. Oran g-orang

“Tentu tak ada yang m enyewakan.” “Mem ang tak ada, Tuan.” ‘Tuban hanya menunggu giliran saja. Yakub. Apa lagi

yang kau kua-tirkan?” “Boleh jadi D emak sana m embantu.” Mu la-m ula Yakub hendak menuntut upah untuk

keteran gann ya. Tak jadi. Kegelisahan sendiri dan keamanan yang tergan tung pada jaminan Tholib Sungkar

Az-Z ubaid menyebabkan ia m engendalikan diri. Kemudian mem ulai dengan ragu-ragu.

“D i Jepara sedan g terjadi sesuatu, tuan.” Syahbandar Tuban itu pura-pura tidak berminat, tetapi

matanya yang bulat itu m elirik sekejab di bawah keningnya. ‘Tentu saja,” sambutnya tak peduli untuk mencegah

keluarnya upah. “Masa seorang Syahbandar bisa tidak tahu ? Lagi pula kau sudah terlalu banyak mendap at uang dari pundi-pundiku,” katanya lagi pura-pura tidak tertarik.

“Biar pun sahaya sudah banyak menerima dari Tuan. Biar pun Tuan sudah tahu, rasa-rasanya…,” akhirnya Yakub tak dap at menahan nafsu untuk mendapat upah juga, “rasa-rasanya Tuan perlu juga mengeluarkan barang sereal. Tidak. Tidak rugi Tuan. Yakub tak pernah merugikan orang.”

“Jangan terlalu rakus, Yakub,” Syahbandar menasihati, “katakan saja apa yang kau ketahui. Barangkali tidak cocok dengan yang kuketahui dengan sebenar-benarnya.”

Suatu keributan mengh entikan pembicaraan. Yakub berdiri dan gugup. Tholib Sungkar meneguk arak.

“Apa itu. Tuan Syahbandar?” mata Yakub menjadi liar. “Lihat, Tuan,” ia menuding ke jalanan. Berdua mereka keluar dari warung dan melihat kuncir Liem Mo Han di balik punggu ng, juga berjalan ke arah bandar.

“Masyaallaaaaah!” teriak Syahbandar waktu dilihatnya sebuah kapal Peranggi telah berlabuh dan mengikatkan tali pada patok dermaga. “Sudah gila penunggu menara itu!” teriaknya dan lari tertatih-tatih seperti orang gila menuju ke pelabuhan .

Berpuluh-p uluh orang tak dikenal telah padat mem enuhi derm aga. D an Syahbandar Tuban tak dapat melihat apa yang sedang terjadi di antara padatan orang itu dengan kapal. Ia hanya dapat berteriak-teriak di belakang padatan untuk minta jalan. D i depannya orang berteriak-teriak lebih keras lagi. Ia mencoba menguak dan menerobos. Sia-sia.

D an ia sudah dapat bayangkan nakhoda dan anakbuah kapal itu sedan g turun tapi dihalang-halangi oleh mereka.

Padatan orang itu kemudian diketahuinya bersenjatakan ton gkat kayu.

Ia m elihat L iem M o Han m enelisip di antara m ereka dan menjadi bagian dari mereka. Kemu dian bukan hanya punggung dan kuncirnya, juga seluruh badan nya hilang di dalam kepadatan m anusia itu.

“Minggir! Minggir!” sayup-sayup ia dengar teriak seorang Portugis dalam Melayu. “Panggilkan Syahbandar. Fran cisco de Sa perlu dilayani.”

“Syahbandar tak ada!” teriak yang lain m enjawab. “Syahbandar sudah mampus!” teriak yang lain. Mendengar itu Tholib Sungkar Az-Zubaid naik pitam.

D engan tenaga lemahnya ia menguak-nguak lagi di sana dan di sini, juga tanpa hasil. Ia angkat tinggi-tinggi

ton gkatnya dan m enegakkan bongkok berjalan kian ke mari penasaran, berteriak: “Ada di sini Tuan Syahbandar! Ada di sini!”

Seruan-seruan dari padatan manusia itu seperti disengaja menenggelamkan teriakannya. Ia mu lai menarik dan mendorong, menyerudug dan m enerobos. Kekuatan nya tak mencukupi.

“Sini Syahbandar, Tuan Syahbandar!” pekiknya. Sekarang ia melonjak-lon jak seperti burung gereja. D an

tangannya melambai-lam bai. Tongkatnya pun berkibar- kibar. D an tetap sia-sia.

“Beri jalan!” pekik Fran cisco de Sa. “Portugis akan temui Sang Adipati.”

“G usti Adipati tak menerima siapa pun!” orang berteriak berbareng dengan berbagai cara dan nada.

“Kembali kalian, Peranggi!” “Ayoh, kembali!”

“Bukan cara Po rtugis diperlakukan begini!” pekik de Sa. “Tuan Syahbandar ada di siniiiiiiii!” Tholib Sungkar

meraung. Ia kembali mengu ak dan menyibak, menyerudug dan mendorong. Tetap tanpa hasil. “Buka jalan untuk Tuan Syahbandar!”

Pagar manusia di depannya tidak menggubris, bahkan menengok ke belakang dan menertawakannya beram ai- ram ai.

Sekarang Syahbandar itu berseru-seru dalam Portugis: “Tuan-tuan, Tuan Syahbandar ada di sini,” sambil mengangkat tongkat dan melonjak-lon jak lagi seperti burung gereja.

Fran cisco de Sa di depan sana naik pitam. Kulitnya yang kemerahan nampak jadi coklat. Cuping hidun gnya kembang-kempis.

“Yesus! Bunyikan m eriam!” perintahnya dalam Melayu. “Beri jalan!” rau ng Jesus Laslo, pengiringnya. “Kalau

tidak kami akan buka dengan cara kami sendiri,” dalam Melayu.

Orang bersorak-sorai menertawakan dan mengejek. “Jangan ragu-ragu,” perintah de Sa dalam Portugis,

“kembali dan bu nyikan.” “Kalian Peranggi!” tuding Liem Mo Han dalam

Portugis, “yang letak kan kekuatan pada meriam semata. Lepaskan semua pelurumu. Habiskan semu a obatmu!”

“Siapa bicara Portugis itu?” tanya Fran cisco de Sa melotot. “Katakan pada anjing-anjing ini, Portugis akan menem bak!”

“Kami bisa menem bak kalian lebih dulu. Pergi! Tinggalkan Tuban!” jawab Liem M o Han.

Kembali orang bersorak-sorai malahan berjingkrak. Melihat pembesarnya berada dalam bahaya, awak kapal

Portugis mu lai mengalir turun dari kapal mem bawa segala macam alat yang dapat diambil. Mereka tak membawa mu sket.

Melihat awak kapal turun hendak menyerang padatan manusia itu mu lai memainkan tongkat mereka dan mengu sir, mem aksa dan menyorong mereka kembali ke kapal.

Orang pun meraung-rau ng senang sambil memainkan ton gkat.

Awak kapal yang belum mendapatkan daratan di bawah kaki bercepat masuk ke dalam kapal di bawah hujan ton gkat. Juga Fran cisco de Sa dan Jesus L aslo tidak urung terpaksa masuk ke kapal juga.

Seseorang di antara padatan manusia itu melepaskan tali kapal. Orang makin ramai bersorak berjingkrak melambai- lambaikan tongkat dan tangan, berteriak-teriak.

“Pergi! Ayoh pergi! Kembali ke Malaka! Kembali ke Peranggi! Tinggalkan Tuban!”

“Kapal celaka! Pergi!” Kapal Portugis itu mem asang layar. Tak ada seorang pun

di antara mereka mencoba m enyerbu masuk ke dalam. D an kapal itu mulai bergerak menjauhi derm aga. Di derm aga

sendiri orang terus juga m eledak dan mengejek. “Fran cisco de Sa akan datang lagi!” teriak Portugis itu.

“Awas!” Setelah kapal bergerak ke tengah, seperti diperintah kan

oleh tenaga gaib orang-orang di dermaga itu mu lai berlarian meninggalkan pelabuhan, menubruki para pedagang yang oleh tenaga gaib orang-orang di dermaga itu mu lai berlarian meninggalkan pelabuhan, menubruki para pedagang yang

W aktu orang-orang bertongkat sudah lenyap dari pelabuhan , para pedagan g mengumpulkan barang dagangannya yang berantakan. Tak banyak jumlah mereka.

D an selain menemukan semua baran g sendiri mereka menem ukan juga tuan Syahbandar Sayid Habibullah Almasa-wa tertelungkup di lebuan sehabis terinjak-injak oleh orang banyak.

Seseorang menolongnya berdiri dan membersihkan lebu yang m elekat pada kulit dan pakaiannya.

“Tongkatku!” perintahnya. Orang menemukan ton gkat itu tanpa kerusakan dan

menyerahkan ke padanya. Ia menerimanya dengan mem berengut.

“Tarbusku!” perintahn ya lagi. Orang tak mengerti maksudnya, dan Syahbandar naik

pitam. “Tarbus!

G oblok,” waktu dilihatnya tarbus itu menggeletak penyok di pinggir jalan, hilang warna merahnya berganti dengan coklat mu da lebu, ia berjalan terseok-seok mendekatinya, berjongkok sambil memijit! punggung dan mengam bilnya, mem bersihkannya dari lebu, kemudian menciumn ya.

Pedagang-pedagang pada mengu tuk dan mem aki meninggalkan daerah bandar.

Tinggallah dia: Syahbandar Tuban Tholib Sungkar Az- Zubaid alias Sayid Mahmud Al-Badaiwi alias Sayid

Habibuliah Almasawa. Ia berdiri mengenakan tarbusnya kembali berjalan terpincang-pincang bertun-jan gan pada ton gkatnya.

D ibalik semak-semak di luar pelabuhan cetbang-cetbang bikinan pandai besi Trantan g yang bergelang-gelang itu telah ditujukan pada kapal Portugis. D an lambat-lam bat tapi pasti kapal itu mu lai semakin jauh m eninggalkan jarak tembak. D ari kejauhan nampak tinggi, besar, dengan ornam en haluan yang indah lagi gagah.

D an kalau orang mengalihkan pandan g dari kapal itu pada pelabuhan akan nampak olehnya seorang jangkung

agak bongkok, setengah baya, bertarbus merah, berdiri seorang diri di derm aga mengh adap ke laut, dan kapal Peranggi yang sedang menjauh. D engan tangan kanan ia melambai-lambaikan tangan mem anggil kembali kapal tersebut dan dengan tangan kiri bertelekan pada tongkatnya.

Kapal itu tak memperhatikannya. Dan ia menyumpah- nyum pah dalam semua bahasa yang dikenalnya, dari yang paling enteng sampai yang paling mesum. Kapal itu tetap tak peduli dan semakin m enjauh.

“D i sini Syahbandar! Di sini Tuan Syahbandar!” suaranya parau menghiba-hiba.

Sekarang imbauan Syahbandar dijawab oleh kapal. Meriam melemparkan

peluru-pelurunya ke bandar. Bondo ngan tembakan pertama menyebabkan Tholib

Sungkar Az-Zubaid terjerembab ke labuhan. Peluru-peluru mendesis ke atas kepalanya dan suara gemerasak mengh ancurkan atap-atap bangun an pasar. Bondongan tembakan kedua mem aksa Syahbandar merangkak-rangkak sambil menyeret ton gkat. Peluru-peluru itu memporak- porandakan gudan g-gu dang pelabuhan. Ia rebahkan kembali kepalanya ke tanah, menengok ke kiri dan Sungkar Az-Zubaid terjerembab ke labuhan. Peluru-peluru mendesis ke atas kepalanya dan suara gemerasak mengh ancurkan atap-atap bangun an pasar. Bondongan tembakan kedua mem aksa Syahbandar merangkak-rangkak sambil menyeret ton gkat. Peluru-peluru itu memporak- porandakan gudan g-gu dang pelabuhan. Ia rebahkan kembali kepalanya ke tanah, menengok ke kiri dan

Pewarung itu tidak kelihatan. Bondo ngan peluru yang ke tiga mem bikin Tholib

terpelosok pada tangannya dan terguling ia dari ran gkakannya.

Sebuah di antara peluru-peluru itu masuk ke dalam warung tidak melalui pintu, melalui dinding, gemerasak menerjang papan dan gemerincing menerjang cawan-cawan arak dan barang-barang dagangan.

Bondo ngan tembakan ke empat mem bikin Syahbandar itu berhenti dari rangkakan nya. Sebuah peluru jatuh di

depan kam ar kerja kesyahbandaran. Kemu dian Portugis menghentikan tembakannya.

D ari daerah pinggiran pelabuhan cetbang-cetbang mu lai menyam but kedentaman. Peluru-p eluru beterbangan seperti bintang-bintang beralih berbuntut api dan berkepala ledakan , berletusan di udara atau jatuh ke laut. Tak sebutir pun m encapai sasaran.

Syahbandar Tuban namp ak tak bergerak lagi. Ia diam tertelungkup di atas lebuan. Ia mengu capkan syukur Alham dulillah, karena yakin tak ada sepasang dan sebelah mata pun jadi saksi atas kemudaratannya. Bibirnya tak henti-hentinya berkom at-kamit.

D i daerah pinggiran pelabuhan , Braja bertolak pinggang mengawasi peluru-pelurunya yang berterbangan sia-sia.

D engan sekali gerak ia mengu ngguli pemandangan itu. Ia kepalkan tangan jadi tinju, membalik lagi dan mengacukan tinjunya pada kapal Portugis yang makin menjauh.

D ari belakangn ya ia dengar beberapa oran g mu lai menyum pahi pandai-pandai Trantang. Kemu dian ia dengar juga yang lain m engutuki pandai-pandai peluru.

W aktu ia menengok ke belakang dilihatnya dua orang sedang tenggelam dalam bisik-bisik. D an mereka nampak kaget terpandangi oleh pemimpinnya.

“Jangan punya pikiran buruk terhadap Senapatiku,” tegurnya. “Mem ang dia orang desa nam un dia lebih daripada hanya kalian. Tutup mu lut kalian.”

W alau demikian ia sendiri merasa berkecil hati melihat cetbang tak mampu menandin gi meriam. D an dengan

perasaan itu pula ia berjalan ke bawah sebatang poho n.

di atas lontar, mengh apuskannya dengan jelaga yang tersimpan dalam dau n pisang kering dalam ikat pinggangnya.

D ituliskannya sepucuk

surat

“Cari Senapati sampai dapat,” perintahnya pada dua orang yang tadi berbisik-bisik. “Samp aikan lontar ini. Braja menunggu di tempat. Pergi.”

Setelah menerima lontar, dua orang melom pat ke atas kudan ya, mem asuki kota, kemudian ke pedalaman.

0o-d w-o0