Idayu Jadi Sandera

23. Idayu Jadi Sandera

Bayi itu belum lagi bernama. Ayahnya belum lagi melihat dan menjenguknya. Ia pun belum lagi bisa menelungkup. Baru belajar miring.

Setelah melahirkannya Idayu merasa sangat berbahagia. Bayi ini tidak seperti G elar. W ajah nya cerah seperti

ayahnya dan hidun gnya seperti ibunya. Setiap han pendudu k desa ada saja yang mem erlukan

datang untuk menjenguk dan untuk ikut merawat. Semua di antara mereka tahu belaka: ayah si bayi itulah sekarang

Patih Senapati Tuban. Maka kebesaran pun sudah mu lai dipersembahkan kepada sang bayi.

Tidak lain dari kepala desa itu juga yang paling gopoh- gop oh mengurus kesejahteraan dan kebutuhan si ibu dan anaknya. D an semua itu disambut dengan kewaspadaan oleh Idayu.

D an tidak lain dari kepala desa itu juga yang sering menebah di hadapan orang-orang lain, kalau bukanlah

karena kebijaksanaann ya mengirimkan Idayu dan G aleng ke kota, tak bakal mereka menaiki kemuliaan setinggi itu.

Kebahagiaan meliputi hati Idayu. Bayi itu adalah segalanya.

D an datanglah satu regu prajurit, yang dengan sopannya mem beritahukan: atas perintah Sang Patih Senapati Tuban, Idayu dan anaknya dan N yi G ede Kati haru s diboyong dari Awis Kram bil ke Tuban Kota; anakbuah Sunan R ajeg telah bersebaran

di mana-m ana; mereka bertiga harus diselam atkan.

D i bawah kesaksian seluruh desa dan orang tuan ya mereka berangkat meninggalkan Awis Kram bil: Idayu dengan menggendong si bayi, N yi G ede Kati yang mem bawa popok bayi dan menggandeng G elar. Barang- baran g lain diangkat oleh prajurit-prajurit. Mereka berjalan pelan-pelan.

Baik Idayu maupun N yi G ede Kati merasa was-was terhadap panggilan ini. Semestinya Sang Patih Senapati Tuban mengirim tand u untuk seorang wanita yang baru melahirkan. Tapi mereka tak bertanya.

Tiga buah desa telah dilewati. Kepala regu penjemput, yang tak pernah menawarkan jasanya itu menyuruh N yi

G ede Kati m elangsun gkan perjalanan ke Tuban. “Sendirian?” “Tidak, dengan segala bungkusan yang kau bawa itu,

tapi tanpa anak yang kau tuntun itu”. “Bagaimana dengan N yi G ede Idayu nanti?”

“Begitulah perintah Senapati”. “Biar aku bawa G elar”. “Tidak, jalan kau sendiri”. Ia tak meneruskan jalan, berhenti mengawasi Idayu dan

G elar dan si bayi mem belok ke kanan dalam iringan regu G elar dan si bayi mem belok ke kanan dalam iringan regu

W an ita yang baru melahirkan menggendong bayi, mem bawa bungkusan dan menggandeng G elar itu tidak diperkenankan beristirahat.

Idayu mulai curiga. Bayi itu pun tak boleh disusuinya.

G elar sudah mu lai lelah, tidak boleh beristirah at, dan antara sebentar minta digendong. D an tak ada seorang pun di antara regu penjemput itu mengu lurkan tangan penolongn ya.

Tahulah ia sekarang, ia telah jatuh ke tangan mu suh suam inya. G a-leng takkan mungkin memperlakukan keluarganya seperti ini.

Ya, D ewa Batara, pintanya dalam hati, selam atkan aku dari pendarahan, kuatkan aku, selamatkan anak-anak ini.

D an makin lama G elar makin sering minta digendong.

D engan dua gendongan dan satu bungkusan ia berjalan pelan-pelan ke tempat yang ia tidak tahu.

“Ke mana kami akan dibawa?” sekali ia memberanikan diri bertanya.

“Ke mana? Ke suatu tem pat di mana W iranggaleng akan datang dan menemui matinya,” jawaban yang cukup

menyakitkan dan kurangajar sekaligu s. Setelah itu ia tak bertanya lagi.

Menjelang tengah malam setelah melalui banyak desa, barulah perjalanan sampai ke tujuan. Ia dan anak-anaknya dimasukkan ke dalam sebuah rumah, tanpa pelita, dan pintu dipasak dari luar.

D engan menggerayang-gerayang ditemukannya am bin tak bertikar, di situ ia letakkan anak-an aknya dan mu lai menyusui anaknya sambil memijiti kaki G elar. Ia sudah tak dengar mereka menangis lagi seperti di perjalanan. Kakinya sendiri terasa sesak dan tangannya lebih-lebih lagi.

Bangun pada keesokannya ia lihat anak-anaknya masih tidur. Ia duduk dan mem andangi mereka. Lubang-lubang pada dinding bambu itu cukup terang. Ia rasai tangan dan kakinya masih juga sesak dan pegal.

Sinar pagi yang mendadak jatuh dari lubang pintu mem buat ia menggerayap mengh adapi pintu dan bersiaga.

D i lubang pintu itu berdiri Sunan Rajeg alias Kiai Benggala alias R angga Iskak alias Iskak Indrajit.

Seakan melihat maut yang datang mengancam secepat kilat ia am bil bayinya dan didekapkannya pada dada.

D engan punggung melindungi G elar yang masih nyenyak dalam tidurnya ia hadapi pendatang itu. Tak dirasainya lagi bajunya telah basah diomp oli bayinya.

“Ah, ah, si Upik!” tegur Sunan Rajeg dengan senyum menggigit, “lama nian sudah aku tunggu kau. Jangan

gugu p. Jangan takut. Mengapa bangkit berdiri dan siaga? Kau dan kalian masih lelah. Tidurkan bayimu. Apa kau kira aku hendak terkam bayi itu atau dirimu ? Cu kup kiranya bila kau tahu siapa aku. Siapa aku, hai perempuan?”

Kata-kata itu agak melunakkan kecurigaan Idayu: “Tidak tahu, ” jawabnya pendek.

“Astagafirullah. tidak tahu! Tak pernah kau melihat tuan Syahbandar Tuban?”

‘Tuan Syahbandar Sayid….”

“Sayid Sayid!” lelaki itu melecehkan. “D ari mana sayidnya si iblis itu? Ya, tentu dari iblis dan setan laknat juga. Jangan sebutkan dia seperti itu lagi di hadapanku, Idayu.”

Suaranya m embangunkan G elar. Anak itu berdiri di atas am bin, berteriak ketakutan.

Idayu menengok ke belakang sejenak untuk menenteramkan

dengan mem berikan punggungnya.

anak

itu

G elar mengerti, menempel pada punggun g itu, mem eluk leher ibunya dan m engintip Sunan Rajeg dari samping leher

ibunya. D an ia tetap berdiri di atas ambin. “Mengapa pada takut padaku? Apakah aku kelihatan

menakutkan?” oran g itu bertanya. “Kau sendiri juga takut, Idayu. Hei, apakah kau tak pernah dengar nama Sunan Rajeg di desamu Awis Kram bil? Inilah aku, Idayu”.

Idayu tak menan ggapi kata-katanya. Mengetahui itu ia justru menajam kan kewaspadaan dan m engikuti gerak-gerik tangannya..

D an bayi itu mu lai menan gis lapar, tapi ia tak menggubrisnya, juga tak mendiam kannya. Matanya tetap tertuju pada tangan Sunan Rajeg.

“Kau, Upik, siapa tidak tahu kau? Juara tari tiga kali berturut pujaan Tuban. D i sini, Idayu, kau bukan pujaan

siapa pun. Kau, isteri satu-satunya Wiran ggaleng”. Ia m enunggu sambutan. Idayu tetap mem bisu. “Mengapa diam saja? Masih takut?” melihat wanita itu

tak juga menjawab sekilas wajahnya dijalari oleh darah kemerahan karena tersinggun g. “Tahu kau mengapa di tak juga menjawab sekilas wajahnya dijalari oleh darah kemerahan karena tersinggun g. “Tahu kau mengapa di

Jenggot itu tebal dan keriting dengan sulaman uban yang mu lai m emban yak.

Mengetah ui Idayu tak juga bicara ia m eneruskan dengan gaya pemain panggung: “Bukan salahku, kau didatangkan ke mari. Suamimulah yang memaksakan keadaan ini. Suam imu Wiranggaleng, si anak desa tak tahu di untung itu, mengangkatkan diri jadi Patih dan Senapati Tuban. Bukan karena pengangkatan nya itu ia sendiri menyusahkan aku Idayu, tapi asalnya! Asalnya! Karena bukan ningrat, hanya anak desa, tak pernah belajar keprajuritan, mendadak jadi Senapati, tak tahu aturan dan cara-cara perang, maka perangn ya ngawur seramp angan, tak dapat ditebak apa maunya. Mengerti kau?”

G elar mengendorkan pelukannya pada leher ibunya. Si bayi m enggerayangkan tangan pada dad a Idayu.

Sunan Rajeg tetap mengawasi wanita itu dan meneruskan dengan nada menurun seakan mengh arap kan

sim pati yang ikhlas. “Maafkan aku. Bukan maksudku menyusahkan kau.

Percaya sajalah. Kau anak desa, istri tunggal, suamimu akan datang menjemput, dan kau dan anak-anakmu akan kulepaskan, akan diantarkan secara baik-baik kembali ke Tuban. Sekiran ya kau dulu mem ilih jadi selir, mem ang semua tidak akan begini jadinya, Idayu”.

G elar mengintip Sunan R ajeg dari balik tengkuk ibunya. Baru sekarang geraknya menarik dan ia mengalihkan perhatian pada anak itu.

Suaranya menaik lagi dengan telunjuk pada G elar: “Mengapa anak itu tak ada kesam aannya dengan G aleng?

Ah, Kau. Idayu pujaan Tuban. Lepas dari Sang Adipati jatuh ke dalam terkam an si H abibullah keparat itu”.

Ia diam memperhatikan G elar yang sekarang mencoba menyembunyikan diri lagi di balik tubuh ibunya. Sunan Rajeg tertawa menggigit dan mengejek: “Kau layani dua lelaki, Idayu! Tak salah lagi. Hidungn ya sama bengkuknya, matanya, ram butnya yang agak keriting. Hah! Mu kanya sama tipisnya. Kulit kehitam an. Sama sekali tak dap at dikatakan coklat. Kehitaman! Tepat. Ai, si Habib cilik: Kau mem ang layani dua pria! Yang satu begundal Peranggi, yang lain anak dun gu begundal mu nafik” Tak tahan lagi

Idayu mendengar tusukan kata-katanya. Ia hanya menundu k, m akin m enunduk. Kedua orang anaknya harus selam at. Maka penghinaan sekeji-kejinya pun akan diterimanya dengan menunduk.

“Malu? Pura-pura malu?”

D engan menah an kesakitan hati pelan-pelan ia angkat kepalanya. Ia pandangi Sunan Rajeg, berkata lembut, seakan tiada terjadi sesuatu dalam hatinya: “Suamiku sendiri. Sunan, tak pernah mengejek dan m enggugat seperti itu”.

“Karena dia dungu. Sedikit saja cerdik… takkan lama kau menghirup udara. Cu kup lama aku tinggal di Tuban. Aku tahu gelagak darah pria Tuban. Dan si dungu itu, kalau bukan karena dun gunya, dia takkan mu ngkin berani mengangkat diri jadi Senapati. Sekarang dia jadi peng- halangku yang satu-satunya tak ada duanya di atas bumi selatan ini”.

“Ya, Sunan. Si dungu itu suamiku. Senapati Tuban,” Idayu berkata lambat-lam bat dan hati-hati untuk tidak menakutkan G elar, dan bangga ia istri Wiran ggaleng.

“D an kau perempuan tidak setia. Betapa banyak ragam nya.”

“Hanya suamiku yang m enilai diriku”. “Suam inya dungu, istrinya tidak setia. Serasi. Istri tidak

setia patut bangga pada suaminya yang dun gu”. “Kalau yang menilai itu Wiranggaleng, Sunan,” Idayu

berkata lebih lunak lagi. “Wiranggaleng Senapati Tuban, tentu akan lain artinya. Selama orang lain yang menilainya, terserah. Setiap oran g m emang m enilai setiap orang”.

“Kau mem ang bijaksana, perempuan!” Sunan Rajeg tertawa mengejek, “menyerahkan penilaian pada suami

dun gu. Kau bijaksana,” ia berkecap-kecap senang, “seperti dalam dongeng, Idayu. Tapi biarlah, justru karena suamimu mem uja kau, seperti orang-oran g gila lainnya itu, pasti dia akan datan g kemari. D ia mu suhku”.

“Ya, Sunan.” “Tak ada yang menyebut aku Sunan – Kanjeng Sunan.” “Ya, Kanjeng Sunan”. “Kau masih seperti anak desa yang tak tahu bahasa

kadipaten. Baiklah. Kau sendiri mem ang bukan mu suhku. Apalagi anak-an akmu . Jangan buang airmata di hadapanku. Iba hatiku melihat istri seorang Senapati menan gisi suaminya. Sia-sia saja sebanyak apa pun airmata itu, penari agun g. Sayang di sini tarianmu tiada harga.

Hanya tubuh yang harus bergeol-geol di hadap an bukan mu hrim ”.

Idayu dap at mengerti mengapa ia dihina seperti itu sebagai istri Senapati Tuban. Itu sudah sewajarn ya. Tapi hatinya sakit karena hal yang lain: penghinaan terhadap tariannya. G uru-gurunya telah mem bikin ia jadi seorang Idayu dap at mengerti mengapa ia dihina seperti itu sebagai istri Senapati Tuban. Itu sudah sewajarn ya. Tapi hatinya sakit karena hal yang lain: penghinaan terhadap tariannya. G uru-gurunya telah mem bikin ia jadi seorang

D an kedua belah tangannya sudah pegal dari menggendon g kemarin dan sekarang ia masih juga tahankan sekuat daya agar bayi itu tak jatuh dari dekapan.

“Apa aku bilang? Tak ada airmata berharga di hadapanku. Istri seorang mu suh bukanlah mu suh, apalagi bayi dan bocahnya. Aku tahu aturan, Idayu, bukan kafir jahiliah”.

Ia panggil beberapa oran g yang datang berdiri di belakangn ya. “Lihat, ini Idayu, istri W iranggaleng, istri

tunggal si anak desa dungu dan celaka itu. Ingat-ingat, karena dia hanya anak desa dan tetap anak desa, maka istri cuma satu. Berulangkah kukatakan pada kalian: ningrat Jawa tak pernah punya kesetiaan pada istri dan anak- anaknya, tapi istri dan istri-istrinya harus selalu setia m utlak padanya. N ingrat Jawa tak mengenal kesetiaan dan kecintaan pada apa dan siapa pun, juga tidak pada anak- anak sendiri. Mereka tak lain daripada merak jantan, kesibukannya hanya mengigal mengagumi dirinya sendiri. Mengerti?”

“Sahaya, Kanjeng Sunan.” “Barang siapa tak kenal kesetiaan dan kecintaan,

dikodratkan untuk menjadi budak dari kehawanafsuan, dari orang-orang yang lebih kuat daripada yang punya hawa nafsu yang lebih besar lagi. Begitu ningrat Jawa, begitu pula nasib Jawa. Masih ingat kalian pada kata-kataku itu? Kita sudah bertekat untuk mengu bah nasib Jawa agar tak jadi seperti itu, tapi sesuai dengan ajaran, laran gan dan petunjuk”.

Kemu dian kata-katanya dialihkan lagi pada Idayu: “Bukankah sudah aku katakan padamu? Jangan menangis. Suam imu akan terpanggil kemari karena kesetiaannya padamu. Apa keberatan nya sekarang, Idayu?”

“Apakah yang akan kukatakan? Sudah sejak semula aku hanya ditipu untuk datang kemari”.

“Tidak. Kau bukan ditipu untuk datang kemari. Jangan salah. Ini hanya m uslihat perang.”

“Kalau itu hanya urusan perang, apa gunanya aku ditanyai?”

“D iam!” bentak Sunan Rajeg. “Kau tak juga mau mengerti siapa yang kau hadapi”.

Idayu menunduk, m engetahui tak ada gunanya bicara. “Mengapa diam? Siapa yang kau hadapi” Idayu tetap

mem bisu. “Siapa?!” bentaknya lagi.

D an Idayu tak juga mem buka mulut. Suaranya kemudian merendah jadi gerutu. “Betapa banyak orang yang kutolak permohonannya untuk menghadap? Semestinya kau bangga aku ajak bicara”. D an suaranya menaik lagi. “Siapa sedang kau hadapi sekaran g?”

“Sunan R ajeg.” “Kanjeng Sunan Rajeg,” Rangga Iskak membetulkan. “Kanjeng Sunan Rajeg.” “Betul. Siapa lagi?” “Mu suh suamiku seperti kata-katamu sendiri”. “D iam kau, perempuan perbegu! Tak ada gunanya

keangkuhan itu di hadap anku”. “Ampunilah aku bila itu suatu keangkuhan.”

“Ya, itulah keangkuhan.” “G uru-gu ru mengajarkan pada kami sikap tahu harga

diri dan kehormatan diri”. “D i mana harga dan kehormatanmu ? Terlalu banyak

disanjung orang, ya? Maka di hadapan Sunan Rajeg juga minta disanjung? Apa modalmu untuk angkuh di hadapanku? Tarianmu tak ada harganya di sini. Juga tidak untukku. G amelan tak punya bunyi di sini, bisu, hanya baran g-barang kafir tiada harga. Tak pernah tersebut dalam ajaran. Sombong, akui, ya? bicara tentang kehormatan dan harga diri. Apa artinya anak Habibullah keparat itu? Semua sudah terjadi dan terbukti. Semestinya aku suruh bunuh anak haram itu di wilayah kekuasaan ku. Bahkan perkawinanmu pun tidak sah. Tapi tidak aku anggap kalian anak-be-ranak sebagai tamuku. Tak layak kau bersikap angkuh seperti itu. Kalian anak-beranak berhak makan garam ku. Semua oran g di sini tahu aturan , tahu suruhan dan larangan . Penjaga-penjaga di sini akan menjaga keselam atan dan keamananm u sampai suamim u datang menjemput. Apa kurangnya aku sebagai tuan rumah maka kau seangkuh itu? Di sini takkan ada seorang pun dihukum tanp a dosa atau tanpa pemeriksaan yang betul dan pengadilan yang adil”.

“Kalau harga diri dan kehormatan diri di hadap an Kanjeng Sunan Rajeg berarti keangkuhan, mem ang tak

perlu lagi aku bicara”. “Jih ! D asar kafir turunan kafir!” Ia tinggalkan rum ah itu bersama pengiring-pengiringnya

dan pintu kembali dipasak dari luar. Setelah mereka pergi Idayu baru sadar, di atas ambin

telah tersedia nasi dan lauk pauk secukupnya dan gendi minum dan pasu kayu berisi air.

“Tidak ada apa-ap a, N ak,” katanya pada G elar dan disusuinya anaknya yang kecil. ”Makanlah. Apakah emak harus layani?” ia melayani G elar sam bil menyusui.

Ia m empunyai alasan untu k takut. D an ia tak perlihatkan kepada anaknya. Ia tak ingin kepercayaan anaknya pada dirinya sebagai pelindun g tergoncang. Mereka justru mem erlukan perlindun gannya pada saat seperti ini.

Tidak lebih dari seminggu kemudian terdengar bunyi kentongan dan bedug bertalu-talu menerobos celah dinding- dinding bambu masuk ke dalam rum ah itu.

Idayu duduk di atas am bin mendengarkan. Si bayi berkicau di tengah-tengah ambin dengan G elar sedang

mencium-cium kakinya yang kecil. Ia sedang m engucapkan syukur pada para dewa telah terlindu ngi dari pendarahan.

“Apa yang ramai itu, Mak?” Gelar bertanya. Idayu mulai memperhatikan keriuhan itu. Tak lama kemudian terdengar langkah orang berlarian di

depan rumah, makin lama makin banyak. “Siapa pada lari itu, Mak?”

Suara oran g berlarian itu berhenti. “Tak ada apa-apa, G elar. Mainlah lagi dengan adikmu”. Sekarang terdengar lagi bondongan orang berjalan

bergegas, juga terdengar suara kanak-kanak, juga bayi yang menan gis dibawa lari. D ari suara mereka terdiri dari

berbagai kelam in dan umur. Suara-suara itu kemudian berkurang. Kemu dian terdengar suara seorang nenek yang tak dapat lari, hanya melangkah lambat-lam bat: “Cepat, Yung, jangan terlam bat.”

“Ya, lebih cepat, kalau tidak, binasa kau,” suara seorang lelaki dewasa yang m elewatinya.

Tertarik oleh suara-suara itu Idayu m eninggalkan am bin, mendekati dinding depan dan mencoba mengintip.D ari lubang dilihatnya orang berduyun-duyun mem bawa harta bendanya yang terbungkus dalam kain tenun atau kain batik coklat atau biru berbunga-bunga, dan bayi-bayi pada digendong dan bocah-bocah pada ditarik-tarik dalam gand engan.

Seorang wanita muda dilihatn ya menyisih dari rombongan dan berhenti di depan pintu. Terdengar olehnya ia bertanya pada udara kosong di hadapannya: “Mengapa mesti berlari-lari begini? G usti Adipati raja kita, tak mu ngkin kawulanya dibunuh tanpa do sa”.

N am paknya ia tak mendapat jawaban atas pertanyaannya sendiri, kemudian menggabungkan diri dengan yang lain-lain, juga lari.

Kentongan dan bedug telah berhenti bertalu. Sekarang nampaknya olehnya seorang tua berjalan

terengah-engah melalui depan rumah, mengeluh seorang diri: “Mengapa mesti ikut lari? Apa dosaku?” ia berhenti

lagi untuk mendapatkan nafasnya kembali, kemudian meneruskan jalan dengan pelan-pelan.

Seorang bocah menjerit-jerit memanggil ibunya tanpa mendapat jawaban. D an bocah itu lari terus.

Seorang ibu yang nampaknya habis melahirkan berjalan terlalu lambat seperti keong. Bayinya ia gendong pada

dad anya tanpa dengan selendang. Matanya tidak melihat pada jalanan, hanya pada anak dalam gendongan, dan dari mu lutnya keluar keluh dan um patan , kemu dian: “N asibm u, N ak, nasibmu. Bapakm u tewas entah di mana. Lahirmu tak ditungguinya. Terkutuk mereka yang bikin gara-gara ini. Terkutuk sekarang dan kemudian”.

Ia tak kuat meneruskan jalannya, berbelok ke kiri dan berhenti di depan pintu, lambat-lam bat dud uk bersandar pada daun pintu.

Idayu tak dapat m elihatnya lagi. “Ada apa, Mak?” tiba-tiba G elar bertanya dari belakang.

Ibu mu da yang namp aknya baru melahirkan itu kini mem perdengarkan suaran ya lagi: “Ada orangkah di situ? Mengapa pintu dipasak dari luar?”

Idayu menutup mu lut G elar dengan tangannya. D an terdengar lagi suara ibu mu da itu: “Ijinkan aku masuk. Tolonglah aku!”

Idayu tak menjawab, malah mem beri isyarat pada anaknya agar tak bersuara.

“Ah, keterlaluan!” sebut ibu mu da itu dari luar. “Jam an sekarang orang sudah tak mampu menolong yang lain. Siapakah di dalam situ? Tolonglah aku. Aku sakit. Belum seminggu aku melahirkan”. Terdengar oran g itu mengerang.

“Ah, dipasak mati dari luar begini”. Kemudian kata- katanya jadi singkat-singkat, terkejut. “Ya Allah, ya D ewa

Batara, pendarah an! Mati aku, N ak, kalau begini. Siapa mesti rawat kau nanti?” ia menan gis ter-hisak-hisak. Idayu menarik G elar, dibawanya naik lagi ke am bin. Tak disadarinya airmatanya menetes untuk ibu muda yang kapiran itu. D engan diam-diam ditariknya bayinya dan disusuinya. Tidakkah nasib ibu mu da itu akan menimpa diri dan anak-anaknya ini? Tangannya yang lain kini m enggapai

G elar dan merangkulnya, kemudian menciumn ya. “Emak menan gis, Mak,” bisik G elar, dan ia seka airm ata ibunya. Masih juga dapat didengar perempuan di luar itu mencoba mem buka pasak. Tersusul kemudian oleh suara seorang G elar dan merangkulnya, kemudian menciumn ya. “Emak menan gis, Mak,” bisik G elar, dan ia seka airm ata ibunya. Masih juga dapat didengar perempuan di luar itu mencoba mem buka pasak. Tersusul kemudian oleh suara seorang

Keributan makin lama makin susut. Juga tak terdengar ibu muda itu mencoba mem buka pasak. Mu ngkin telah pergi menyingkir dari depan pintu itu. D an waktu si bayi dan G elar telah tertidur, ia turun lagi dari am bin dan mengintip. Keadaan telah lengan g. Tak seorang pun nam pak. Balik lagi ke ambin ia ciumi G elar, satu-satunya orang selam a hari-h ari belakang ini dapat diajaknya bicara. Anak itu terbangun, kemu dian juga adiknya.

“Ada apa, Mak?” ‘Tak ada apa-ap a. G elar. Barangkali saja bapakmu akan

datang”. “Bapak, Mak?” “Bapakm u, ya. Barangkali mem bawa balatentara yang

sangat banyak”.

G elar turun dari ambin dan lari ke dinding untuk mengintip. Bayi itu m enangis, dan Idayu m enyusuinya lagi. “Kembali, G elar, sini saja dengan emak”.

Terdengar suara beberapa orang lelaki. G elar lari dari dinding dan mendekati emaknya. Suara mereka semakin mendekati pintu.

“Siapa itu, Mak?” “Stt,” Idayu menarik mu kanya dari pintu. “Ya D ewa

Batara”, bisiknya berdoa, “datanglah kau, Kang, selam atkan anak-anak ini”.

Pasak pintu terdengar diangkat orang dari luar. D an pintu itu terbuka.

Idayu tetap tak melihat ke arah pintu. Hanya G elar mengawasi pendatang-pendatang baru berpakaian serba putih, bertombak dan berpedang.

“Mari,” kata salah seorang di antaranya, “mari kami antarkan Mbok-ayu ke tempat lain”.

Idayu turun dari am bin. Bayi itu digendon gnya, dan

G elar digand engnya. “Mari, Mak, kita pergi,” dan tak diteruskannya

mengatakan: pergi untuk selama-lamanya. Sekilas ia melihat lelaki yang bicara itu muda, tinggi

semam pai, berkumis tanpa jenggot, dan ganteng, kulitnya berminyak. Ia menunduk dan melangkah meninggalkan

rumah. Inilah hari terakhir, pikirnya, dan berkata pada G elar:

“Lihatah semuanya, Nak, lihat baik-baik, pepohonan, rumah-rumah, langit di atas, sana orang-orang, dan jangan lupa lihat dulu ibum u ini,” ia berjongkok untuk dap at dilihat oleh anaknya.

“Mengapa haru s dilihat semu a, Mak”. “Biar kau akan selalu ingat di kemudian hari, G elar”.

“Ke sebelah sini, Mbokayu”, orang mu da itu berkata lagi.

D engan G elar dalam gendongan dan si bayi dalam gendongan ia mem belok. Orang-orang lelaki berpedang dan

bertom bak di belakangnya mengikuti dengan diam-diam. Suara pemuda itu mem bangkitkan kenang-kenangan

yang indah , jauh, samar, dalam ingatan Idayu. Siapakah yang pernah mem anggilnya Mbokayu dengan suara seperti itu? Seindah dan mengandu ng perasaan seperti itu? Jantu ngnya berdentaman. D an tetap ia tak dap at yang indah , jauh, samar, dalam ingatan Idayu. Siapakah yang pernah mem anggilnya Mbokayu dengan suara seperti itu? Seindah dan mengandu ng perasaan seperti itu? Jantu ngnya berdentaman. D an tetap ia tak dap at

0o-d w-o0