A dipati Tuban Arya Tumenggung Wilw atikta

6. A dipati Tuban Arya Tumenggung Wilw atikta

Orang bilang: Sang Adipati Tuban bukan keturunan orang kebanyakan. Semua orang percaya: ia langsung berasal dari darah wangsa Majapahit. D an tak ada orang yang meragukan . Sang Adip ati sendiri bangga pada darah yang mengalir di dalam tubuhnya. Juga ia merasa am an karena darah itu sendiri telah menyebabkan ia tak punya penantan g sebagai penguasa atas negeri T uban.

Pada 1292 Raden Wijaya berhasil mendirikan Majapahit. Kawan-kawan seperjuangannya, hampir semua berasal dari rakyat kebanyakan, diangkatn ya jadi gubernur yang berkuasa di kabupaten-kabupaten penting di Jawa Timur. Ia marak jadi raja pertama Majapahit dengan nama Kartarajasa.

Sang Adipati tahu, Sri Baginda Kartarajasa lebih banyak mem berikan kekuasaan pada sahabat-sah abat seperjuangan yang telah sangat berjasa padanya. Kaum ningrat keluarga Sri Baginda justru sangat dibatasi kekuasaan nya. Bagin da menganggap orang-orang ningrat telah menjadi lemah karena kemewahan dan penghorm atan dan sanjungan yang berlebihan.

Tetapi, pejabat-pejabat dari oran g kebanyakan ini, demikian pendapat Sri Baginda pendiri wangsa Majapahit biarpun sudah diangkat jadi gubernur, tetaplah tak punya jangkauan pandan g yang jauh. Kemana pun mereka tebarkan pandangnya, yang namp ak hanya dusunnya semula. Kesetiaan mem ang bisa diharapkan dari mereka, tetapi kebesaran hanya bisa datang dari seorang raja yang bijaksana.

Juga Sang Adipati Tuban tahu dari guru praja: sejak masih bernama Raden W ijaya pun Sri Baginda Kartarajasa telah dijiwai oleh cita-cita besar Sri Baginda Kartan egara dari Singasari untuk mempersatukan seluruh N usantara. Ia sendiri pernah bertugas memimpin ekspedisi militer ke negara-negara Melayu. Juga pernah ikut memimpin gerakan mem persatukan Madura, Bali, Sunda, Sukadan a, Pahang dan ikut mem bangun kan persekutuan militer dengan Campa. Setelah menjadi raja Majapahit pertama, Sri Bagin da bercita-cita hendak mem bangun kan kekaisaran dengan bantuan gubernur-gubernurnya yang setia.

D ari guru praja Adipati Tuban tahu: Sri Baginda Kartarajasa mem punyai dua jalan untuk memp ersatukan N usantara. Pertama jalan kecil karena keciilah kemungkinannya, yakni melalui jalan laut ke Tiongkok – dan kekaisaran Tiongkok terlalu kukuh dan terlalu kuat untuk dipengaruhi dan ditembus oleh Majapahit. Yang kedua adaiah jalan besar, karena besarlah kemu ngkinannya, D ari guru praja Adipati Tuban tahu: Sri Baginda Kartarajasa mem punyai dua jalan untuk memp ersatukan N usantara. Pertama jalan kecil karena keciilah kemungkinannya, yakni melalui jalan laut ke Tiongkok – dan kekaisaran Tiongkok terlalu kukuh dan terlalu kuat untuk dipengaruhi dan ditembus oleh Majapahit. Yang kedua adaiah jalan besar, karena besarlah kemu ngkinannya,

D an untuk kepentingan itu pula Sri Baginda Kartarajasa mengawini putri M elayu bergelar D ara Petak artinya G adis Putih. Seorang putra yang lahir dari perkawinan ini, Kala

G emit, diangkat jadi putra mahkota untuk menjam in kesetiaan Melayu pada Majapahit dan dengan demikian menyelamatkan Selat Sem enanjung.

Para gubernur bekas teman -tem an seperjuangan Sri Bagin da tidak mau mengerti tentang kebijaksanaan ini.

Biarpun perm aisuri G ayatri tidak m elahirkan seorang putra, hanya putri, tidak ada satahn ya ia diangkat jadi putri mahkota. Bukankah putri itu, D ewi Tribuwana, cucu Sri Bagin da Sri Kertanegara, yang lebih berhak? Bukankah Tribuwana sendiri sudah melamban gkan bersatunya tiga benua: N usantara, Atas Angin dan W ulungga? Mereka tidak rela kalau Majapahit, hasil jerih-payah mereka, harus jatuh ke tangan keturunan Melayu, hanya untuk dap at mem pertahankan Selat Sem enanjung.

Percekeokan dan pertengkaran terjadi. T idak makin reda, tapi semangat m enjadi-jadi.

G ubernur-gu bernur berasal dari orang kebanyakan itu, kata guru praja pada Sang Adipati semasa masih kanak-

kanak, tidak mengerti sesuatu yang besar, yang dipertaruhkan dalam pengangkatan Kala G emit jadi putra mahkota. Mem ang pandan gan mereka hanya seluas desanya sendiri. G ubernur Tuban, Ranggalawe, yang paling keras menentang, ditindak dengan ekspedisi m iliter oleh Sri Bagin da. Ia m elawan dengan gagah-berani, tetapi sia-sia.

Penggan ti Ranggalawe itulah m oyang Sang Adipati.

Sang Adipati Tuban Arya Teja, karena kebijaksanaan dan kecerdikannya, dalam usia sangat muda telah diangkat jadi Patih Majapahit, waktu itu Majapahit telah lemah sehabis perang-saudara Peregreg, dan Sri Bagin da Brawijaya lebih lama lagi, raga dan jiwanya, Sang Patih Majapahit Arya Teja tak melihat adanya jalan terbuka untuk mem bangun kan kembali Majapahit Raya. Ia patah semangat, perhatiannya kemudian ia tump ahkan pada wilayahnya sendiri berdasarkan darm araja, yakni negeri Tuban. Tetapi Tuban tak bisa menjadi besar dan berdikari selam a M ajapahit yang sakit-sakitan itu m asih ada. Ia m ulai bersekongkol dengan pedagan g-pedagang Islam. Ialah yang mem berikan ijin pada Syekh Maulana Malik Ibrahim untuk mem berikan perkampungan dan pengajaran Islam di pelabuhan utara M ajapahit, G resik. Ialah yang m embentuk persekutuan dengan gubernur-gu bernur pelabuhan untuk semakin mengeratkan hubungan dengan saudara-saudara Islam sam bil sedikit demi sedikit menunggangi Majapahit.

Majapahit telah lama runtuh. Tetapi Adipati Tuban tak mampu m elepaskan diri dari bentuk tatap raja M ajapahit. Ia

pun bagi-bagikan jabatan-jabatan penting pada oran g-orang kebanyakan yang telah berjasa, sangat berjasa. Hanya Sang Patih, saudara sepupu anak seorang paman tuan ya, yang berasal dari darah raja-raja. Semua kepala pasukan Tuban adalah orang-orang kebanyakan. Tak seorang pun di antara mere ka punya gelar, kecuali gelar ketentaraan.

D an sekarang, bahwa ia mengangkat Idayu dan G aleng pada kehormatan sedemikian tinggi, adalah juga karena tradisi Majapahit. Ia merasa bangga dan puas telah dap at lakukan itu, sekali pun ia tak sepenuhnya rela di dalam hati.

Sebagaimana halnya dengan leluhurnya, ia tak pernah- menggunakan tahyul sebagai pegangan. Ia dasarkan

tindakan-tindakannya praja pada perhitungan tentang tindakan-tindakannya praja pada perhitungan tentang

D an ia tahu, peristiwa Idayu-G aleng tak boleh berhenti samp ai di situ saja. Mereka dapat dipergunakan untuk mem elihara kesetiaan kawula Tuban kepadanya. Maka

G aleng harus juga m endapat jabatan yang patut. Setelah upacara perkawinan agun g selesai sering ia

dud uk termenung seorang diri di taman kesayangan di tempat gajah pribadi. D alam kesibukan resmi ia dap at kehebatan berahinya pada tubuh Idayu. Tetapi setelah kembali hidup sebagai pribadi, berahi itu tetap menyala, menyam bar dan

mem bakar dalam dad a tuan ya. Kekuasaann ya yang tanpa batas ternyata tak dap at mem bantunya.

Seorang diri di taman seperti ini jiwanya penuh-sesak dengan bayangan penari jelita itu. G erak-gerak yang begitu

mengikat, pandang mata yang sayup-sayup mengundang… betapa… betapa… tidak, ia meyakinkan diri setelah teringat pada ajaran keprajaan dari nenek sendiri dan juga nenek Sang Patih: tak ada raja kehilangan kerajaan selama ia tidak kehilangan kehormatan. Maka untuk ke sekian kali ia kebaskan berahinya.

Selama Idayu, seorang wanita, apakah bedanya dengan wanita lain? Tapi pribadi seperti itu! D i sana bisa didapatkan lagi?

D an dialahkan pikirannya sekarang pada G aleng. D i mana harus ditempatkan juara gulat keparat yang hanya tahu gulat dan berani itu? Stt, stt, jangan remehkan D an dialahkan pikirannya sekarang pada G aleng. D i mana harus ditempatkan juara gulat keparat yang hanya tahu gulat dan berani itu? Stt, stt, jangan remehkan

G ajah Mada sebagai seseoran g? N am un wajah dunia telah berubah karena mereka berdua, anak-anak desa itu: Semenanjung jatuh ke tangan Majapahit. Selat dikuasai, Jalan besar terbuka, Majapahit jaya.

Sekarang Malaka jatuh ke tangan Peranggi. Selat dengan sendirinya, sebentar lagi mu ngkin Pasai runtuh pula dan Selat akan jadi milik mutlak Peranggi. D ia bukan hanya hendak mengu asai dunia, juga N usantara. Tak ada yang mampu melawan dia. Tuban pun tidak. Tetapi selam a Tuban di dalam tanganku, kita akan mem iliki harga apa pun juga.

0o-d w-o0

Sang Adipati terbangun dari pemenungannya melihat sesosok tubuh merangkak mendekati sambil menyembah: “Ya, G aleng, pengantin baru yang berbahagia, adakah sesuatu hendak kau persembahkan?”

Ia tertawa melihat pegulat itu dengan susah-payah mencoba m enyusun kata.

“A, persembahan saja dengan caramu sendiri, nak desa!” “Ampun, G usti Adip ati Tuban sesembahan patik.

Adapun patik mengh adap tidak sepertinya ini ialah mem ohon perkenan dari G usti Adipati Tuban…”

Keringat dingin sudah mem basahi seluruh tubuh pegulat itu. Setelah perkawinannya dan diharuskan tinggal di dalam kadipaten, ia kehilangan niat untuk berbuat sesuatu terhadap Sang Adipati. Sebagian dari kecurigaan nya telah hilang. Idayu telah jadi istrinya. Kegelisahann ya sekarang adalah kegelisahan seoran g kawula yang menunggu datangn ya hukuman. Pasti Sang Adipati telah mengetah ui Keringat dingin sudah mem basahi seluruh tubuh pegulat itu. Setelah perkawinannya dan diharuskan tinggal di dalam kadipaten, ia kehilangan niat untuk berbuat sesuatu terhadap Sang Adipati. Sebagian dari kecurigaan nya telah hilang. Idayu telah jadi istrinya. Kegelisahann ya sekarang adalah kegelisahan seoran g kawula yang menunggu datangn ya hukuman. Pasti Sang Adipati telah mengetah ui

kerja menyebabkan kegelisahan nya semakin m enjadi-jadi.

melakukan

sesuatu

“Kurang cukupkah yang telah lewat dan yang sudah ada…?”

“Lebih dari cukup, G usti, patik hanyalah petani biasa. Patik dan istri sudah rindu pada desa patik, G usti.”

“Bukankah kami Adipati Tuban dan kau kawulanya? Bukankah kau m engabdi pada adipatimu ?”

Juara gulat itu tak mampu meneruskan kata-katanya. Badann ya sudah kuyup.

“Kau, G aleng, kembali ke tempatm u. Jangan tinggalkan pengantinm u. Kau tidak kembali ke desamu.”

Juara itu telah menggelesot di tanah. Beberapa kali ia mengangkat sembah. Ia belum lagi mampu mengangkat badan untuk pergi. Otot-o totn ya seperti lumpuh.

D an Sang Adipati memperhatikan bahu bidan g di bawahnya itu – bahu pegulat yang kukuh seperti baja.

D unia pun akan bisa dipikulnya, bidiknya puas dalam hati.

D ia tak tahu apa sedang menunggu nya. Anak desa. Prajurit-prajurit yang telah diperintahkan mem bersihkan

gedung bekas asram a telah menyelesaikan tugasnya. Sang Adip ati sendiri yang telah mem erintah mereka. D an setelah itu mereka harus memindah kan semua barang pribadi Rangga Iskak ke bekas asram a tersebut. Sang Adipati menganggap semua pekerjaan itu sudah selesai dengan sepatutnya. “Ya, G aleng, pergi, kau!” perintah Sang Adip ati.

Anak desa itu menyembah, mengesot jauh dan menyembah lagi, kemudian hilang dari penglihatan Sang Adip ati.

Ia tahu Syahbandar Tuban sedang mencoba mengh adap untuk mem protes. Ia sengaja takkan melayani. Ia bangkit, berjalan lambat-lambat menikmati cuaca, menuju ke kandang gajah. Sebelum sampai ia lihat pemelihara binatan g itu sedang menggunakan cis untuk memerintah si gajah agar dudu k pada kaki belakang. D an ia lihat pemelihara itu kemudian duduk di samping binatangn ya, menyembah pada Sang Adipati. G ajah itu sendiri mengangkat belalai.

Sang Adipati tertawa terhibur.

0o-d w-o0

Tidak lebih dari lima hari kemudian, di taman di tentang kandang gajah ini juga datang mengh adap seorang utusan rah asia dari Sultan Mahmu d Syah yang sedang menyingkir ke pembuangan. Ia mempersembahkan sepucuk berbahasa dan bertulisan Jawa.

Sultan mengabarkan, Malaka telah jatuh ke tangan Peranggi sebagai akibat pengkhianatan Syahbandar M alaka berkebangsaan Arab bernam a Sayid Mahm ud Al-Badaiwi.

D iterangkan orang itu berbadan kurus tiggi agak bongkok, setengah um ur, berkumis, berjenggo t dan bercabang-bauk

yang telah bersulam uban dan berhidung bengkok rajawali. Sultan Malaka mengakui, ia telah keliru mengangkat

orang tersebut, hanya karena terbujuk oleh kefasihan tersebut dan kepandaiannya mengambil hati oran g. Menjelang jatuhnya Malaka ia malah mendap at orang tersebut, hanya karena terbujuk oleh kefasihan tersebut dan kepandaiannya mengambil hati oran g. Menjelang jatuhnya Malaka ia malah mendap at

Sultan berseru pada Sang Adipati sebagai sedarah - sedaging, seasal-keturunan Majapahit, supaya berhati-hati terhadap oran g tersebut sekiran ya ia berada di Tuban, karena orang itu telah meninggalkan Malaka di bawah perlindungan P eranggi.

Sang Adipati mengerti maksud surat itu. Orang yang dimaksudkan tidak lain dari Sayid Habibullah Almasawa. Ia tak terkejut. Berubah pun airmu kanya tidak.

Penguasa Tuban itu duduk di atas bangku batu yang lebih tinggi daripada duta rahasia Sultan Mahmu d Syah.

D an setelah mem bacanya surat kertas itu dilipatnya baik- baik dan dengan tangan itu juga menuding pada sang duta berkata dalam Melayu: “Kami telah baca baik-baik surat ini, Tuan D uta. Terimakasih ke hadapan Sri Sultan Mahm ud Syah. D i Tuban tak ada seorang Arab bernama Sayid Mahmu d Al-Badaiwi. Kelahiran mana dia, Tuan

D uta?” “D ia selalu berbangga sebagai orang Moro kelahiran

Ispanya, negerinya Andalusia, G usti.” “Kelahiran Ispanya? Tentu dia pandai Ispanya?” “Barangtentu, G usti.” “Apa dia barangkali juga berbahasa Peranggi?” “Jelas seperti matari, G usti, karena dia dapat juga

melayani kapai Peranggi sebelum mereka m enyerbu.” “Mengapa Tuan D uta m engandaikan dia di sini?” “W ara-wara G usti Adipati Tuban di atas Malaka telah

didengar oleh setiap pelaut. Pekerjaan Syahbandar Tuban didengar oleh setiap pelaut. Pekerjaan Syahbandar Tuban

G usti. D ia akan datang kemari.” “Apakah menurut perkiraan Tuan D uta dia akan

mengu bah namanya sekiran ya mem asuki Tuban?” “Apakah Tuan D uta di samping tugas khusus ini juga

bertugas menjejak bekas Syahbandar M alaka?” “Barang tentu, G usti. Patik telah singgah di Pasai,

Jam bi, Riauw, Banten, Cirebon, Jepara sambil menuju Tuban. Memang ada petunjuk-petunjuk ke mana pengkhianat itu pergi. Semenanjung telah berubah sangar bagi nyawanya. D an ternyata, G usti, benar belaka, Sayid Mahm ud Al-Badaiwi sudah ada di Tuban sini, jadi abdi

G usti Adip ati Tuban, bahkan telah G usti angkat jadi Syahbandar Tuban.”

“Maksud Tuan D uta, Sayid Mahmu d Al-Badaiwi itu tidak lain dari Syahbandar Tuban sekarang? Sayid Habibullah Almasawa?”

“Betul, G usti, Syahbandar T uban yang baru itulah bekas Syahbandar Malaka.”

“D an setelah Tuan D uta mengetah ui dia ada di sini, adakah sesuatu yang Sri Sultan kehendaki dari kami?”

“Kalau sekiran ya berkenan di hati G usti Adipati Tuban… ampun, G usti, bukan buatan terkejut patik melihatnya di bandar G usti… dia tak mengenal patik tapi patik mengenal dia… dalam hati patik mem bersitlah satu doa yang tulus-ikhlas, dijauhkan oleh Allah kiranya Sang Adip ati Tuban dan negerinya dari pengkhianat ini. D an betapa bersyukur patik apabila nyawanya diserahkan kepada patik,” D uta rahasia itu terdiam.

N am pak jelas ia sedang berdoa untuk terkabulnya harapan.

Sang Adipati mem buang pandang ke arah kandang gajah. Persoalan Malaka adalah persoalan masa silam walau baru kemarin dulu bencana itu terjadi. Semua yang sudah lewat telah beibaris masuk ke alam lampau. Yang kemarin dulu Sultan, sekaran g buangan. Yang sekarang Ad- ipati masih tetap Adipati. Ia pandan gi duta itu tajam-tajam. Ada dilihatnya rangsan g dendam bergolak dalam dada orang di hadapannya itu.

Matari hampir tenggelam . Percakapan rah asia itu terhenti. Sebagai pengisi kemacatan duta rahasia itu mem persembahkan sebilah keris bersarung mas bertulisan Arab

bertatahkan zamrud. ”Perkenankanlah patik mempersembahkan keris pusaka kerajaan Malaka ini, G usti, sebagai harap an dap at terjadinya persekutuan antara Tuban dengan Sri Sultan, untuk tidak menyinggahi Malaka selam a dikuasai Peranggi.”

dan berbulu

mas

“Telah kami terima tanda persekutuan ini. D an jadilah pengetahuan Tuan D uta, bahwa nya wa Syahbandar Tuban

Sayid Habibullah Almasawa ada di tangan kami, dan sunggu h sayang kami belum bisa menyerahkan pada Tuan

D uta. Belum ada tanda-tanda, apalagi bukti, dia m elakukan pengkhianatan terhadap kami. Samp ai di mana persekutuan-persekutuan telah Tuan D uta usahakan?”

“Ampun, G usti, Adipati, tentang itu pastikah bukan patik yang haru s memp ersembahkan.”

D uta itu mengundurkan diri tepat pada waktu matari tenggelam sam a sekali.

N yamu k mulai berkeliaran di tam an. Nam un Sang Adip ati masih juga belum bangkit dari bangku batu.

Betapa bodo h mengu rusi yang telah masuk masa silam, pikirnya.

Ia lambaikan tangan pada seorang pengawal dan menitahkan agar G aleng datang menghadap. D an waktu pegulat itu telah duduk bersembah di hadapannya segera ia mem ulai: “G aleng, apa yang kau ketahui dari kebesaran masa silam ?”

Ia telah menduga anak desa itu akan sangat terkejut. D an ia dengar juara gulat itu meraung dengan suara tertekan: “Ampun, gusti Adipati Tuban sesembah an patik.”

G aleng tak dap at meneruskan kata-katanya. D alam menundu k ia mengh erani dirinya sendiri, dan mengapa daya-perlawanannya menjadi layu setelah mem peristri Idayu, dan mengapa dirinya begitu takut pada hukuman. “Ayoh, persembahkan. Mu kamu terlindungi kegelapan malam, dan kami pun tak perlu tahu,” kata Sang Adipati, sekalipun ia punya dugaan, anak desa itu sedang kacau- balau. Mengetah ui G aleng tak juga berdatang sembah, ia mendesak: “Cepat, G aleng. Kami tahu, kau telah banyak mendengar tentang kebesaran masa silam. Kau! Tidak lain dari kau dan Idayu yang telah mengu rus Rama Cluring samp ai matinya beberapa waktu yang lalu. Kakek-kakek gila kebesaran m asa silam itu. Persembahkan!”

“Ampun, G usti Adipati Tuban sesembahan patik.” suara juara gulat itu gemetar.

“Kau takut, G aleng. Juara gulat yang takut bersembah !” Tak ada jawaban dari sesosok tubuh di hadapann ya.

Suaranya menjadi agak lunak. “D ulu guru-guru pembicara seperti Rama Cluring banyak berkeliaran dan mem bual di kota-kota. Cluring itu mu ngkin sisa dari gerom bolan mereka yang terakhir. Banyak di antara mereka dibunuh oleh bupati-bupati pesisir yang bodo h itu. Sekarang secara berani bicara hanya di desa-desa yang jauh, terpencil. Adip ati Tuban tidak gentar pada buatan seribu guru- pembicara seperti itu. Maka kau tak perlu takut.”

“Ampun, G usti, kata Rama Cluring, hendaknya orang mem anggil kembali kejauhan dan kebesaran masa silam pada guagarba hari depan?”

“D ari seluruh bualan Cluring hanya itu saja yang teringat olehmu?”

Juara gulat itu tak dapat mengingat. Sebongkah batu seakan bersarang dalam kepalanya.

“Baik, hanya itu yang teringat olehmu. Ketahu ilah, bagaimana pun kau m emanggil-manggil pada guagarba hari depan, tanpa restu seorang raja, tak ada sesuatu bisa terjadi. Kau percaya pada kata-kata Rama Cluring?”

Kepala G aleng semakin m endekati tanah. “Kami tahu, kau percaya. Kalau tidak, mana mungkin

kau… Sering kau datan g ke balai-desa mendengarkan pembicara-pembicara mem bual?”

“Ampun, G usti, mem ang demikian halnya.” “Tentu saja. Kalau tidak, mana mu ngkin kau selalu

datang? Sekarang dengarkan perintahku, hai kau, juara gulat?”

“Patik ada di sini, G usti!” “Kami mengh endaki tenagamu . Kau oran g kuat,

badan mu dilipuri otot-oto t kukuh. Kami mengh endaki pikiran mu, karena kau anak terpelajar, ingin banyak mengetah ui, karena itu sering mendengarkan guru berbicara. Kami mengh endaki kesetiaanmu , karena kau tak dap at berbuat sesuatu tanpa restu seorang raja. Kami mengh endaki jiwamu , karena tak ada kebesaran datang tanp a petaruh jiwa. G aleng, kembalikan kejayaan dan kebesaran Majapahit untuk Tuban, untuk negerimu, ini untuk Adipati sesembahmu. Beran gkat kau sekarang juga, badan mu dilipuri otot-oto t kukuh. Kami mengh endaki pikiran mu, karena kau anak terpelajar, ingin banyak mengetah ui, karena itu sering mendengarkan guru berbicara. Kami mengh endaki kesetiaanmu , karena kau tak dap at berbuat sesuatu tanpa restu seorang raja. Kami mengh endaki jiwamu , karena tak ada kebesaran datang tanp a petaruh jiwa. G aleng, kembalikan kejayaan dan kebesaran Majapahit untuk Tuban, untuk negerimu, ini untuk Adipati sesembahmu. Beran gkat kau sekarang juga,

Setelah juara gulat itu pergi Sang Adipati bangkit dan berjaian tenang-tenang m asuk ke kadipaten.

Seminggu kemudian di taman itu juga Sang Adipati menerima seoran g duta dari Jepara. Sore juga waktu itu.

Berbeda hainya dengan duta dari Malaka, duta yang sekarang ini ia ajak berjalan-jalan ke kandang kuda. Ia belai-belai suri kuda kesayangannya, sedang sang duta berdiri di belakangnya.

“Ya, G usti, patik adalah utusan pribadi G usti Kanjeng Adip ati Unus dari Jepara. N am a patik Aji Usup, G usti.”

‘Teruskan, Aji Usup yang terhormat.” “Salam bahagia dari G usti Kanjeng Jepara, dan

pesan….” Sang Adipati berbalik. W ajah nya merah padam menah an kemarah an. Matanya mem belalak: “Pesan? Pesan untuk Adipati Tuban? Ataukah maksud Tuan ancaman?”

“Ampun, G usti Adip ati Tuban. Peristiwa Jepara itu mem ang jadi duri dalam daging Tuban. Untuk itu patik

datang menghadap untuk mempersembahkan alasan dari tindakan D emak, G usti.”

“Alasan? Apakah masih perlu ada alasan? Mem asuki dan merampas tand a pemyataan perang, tanp a membuka gelanggang perkelahian? Hanya karena ingin punya bandar sendiri! Alasan dari seorang yang tidak tahu batas. Apakah

Tuban pernah menjam ah D emak dengan kuda atau gajahn ya? Atau dengan kakinya? Atau itukah alasannya, mem anggil kaki dan kuda dan gajah Tuban?”

“Ampun, G usti, D emak tahu benar akan kekuatan perkasa dari Tuban.”

Sang Adipati mu lai berjaian agak cepat dan Aji Usup mengikuti dari belakang.

“Kami dapat injakkan kaki gajah kami sampai seluruh

D emak rata dengan tanah.” “D emak sesungguhnya tahu benar akan itu, G usti

Adip ati Tuban, amp uni patik.” “Mengapa perbuatan tidak satria, tanpa pernyataan

perang, dilakukan seperti bukan seoran g raja yang mem erintah D emak?” Sang Adipati memilin-milin kumis putihnya. “Bukankah kami bisa perintah kan tum pas tuan

D uta, sebagai duta seorang raja yang berlaku bukan sebagai raja?”

“Inilah nyawa patik, G usti, bila G usti perlukan untuk ditump as, patik persembahkan dengan rela.”

“Sungguh berani m ati, kau, Tuan D uta.” “Karena mem ang ada yang lebih penting daripada hati

mati, G usti, m engangkut seluruh nasib Jawa D wipa.” “Apakah karena mem ikirkan nasib seluruh Jawa, maka

D emak m erasa dibenarkan mem asuki Jepara?” “Sesungguhnya tiada jauh dari sangkaan G usti Adipati

Tuban. Ampun, G usti.” “Allah D ewa Bathara! Apakah rajamu mengira dia

sendiri tahu tentang nasib Jawa?”

“Jauh dari itu, ya G usti Adipati Tuban yang mulia,” susul D uta Jepara itu dengan cepat-cepat. “Utusan-u tusan

D emak ke seberang dan Atas Angin, G usti….” “Siapa utusan-utusan itu? Bukankah utusan juga dari

Sam po Toalang?” Sang Adipati mem oton g. “Adakah Sam po Toa-lang mengh endaki agar Loa Sam kami hancurkan dalam sepuluh bentar? D engarkah, kau Aji Usup, Duta Jepara. Semua orang prajawan tahu, Sampo Toa-lang atau Semaran g dibangun oleh orang-orang Tiongkok itu untuk menan dingi Jepara. Jepara tidak jatuh karenanya. Bandamya tetap jaya. Kemu dian Lao Sam atau Lasem didirikannya untuk menyaingi bandar Tuban. Apakah Adip ati Tuban berbuat sesuatu terhadap Lao Sam? Bandar asing kecil itu kami biarkan berdiri, bahkan kami ijinkan. Tuban takkan jadi pudar karenanya. Bukankah kerajaan D emak didirikan untuk mem bentengi Semarang dari Tuban? Sekarang D emak sebagai kerajaan benteng sudah mu lai menyerang. Sang Adipati Tuban masih dap at mengendalikan diri, hai kau, Aji Usup D uta Jepara.”

“Patik, G usti.” “Sekarang utusan Semarang-D emak ke seberang dan

Atas Angin kau jadikan dalih penyerbuan tak tahu kesopanan itu.”

“Patik, G usti.” “Jepara dan Semarang takkan dapat rempah-remp ah

lagi. Setiap kapal Semarang dan Jepara yang belayar ke sebelah timu r pasti kami hancurkan.”

“Yang demikian telah terjadi, G usti.” “D an akan terjadi seterusnya selam a kami masih hidup.” “Patik, G usti.”

“Sam pai Semaran g-D emak mengem balikan Jepara pada kami dengan hormat dan patut.”

“Patik, G usti.” Sang Adipati berjalan menuju ke tam an di tentang

kandang kuda dan Aji Usup mengikuti. Ia duduk pada bangku batu dan duta itu berjongkok di tanah. Ia tuding kandang gajah dan menetak tajam: “Sudah kami pertimbangkan, percuma gajah-gajah itu dikerahkan. Semarang-D emak akan punah tanpa rempah-rempah kami.”

“Pasti, G usti.” Agak lam a Sang Adipati tidak bicara. Ia telah semburkan

segala kemarahan nya dan kini menjadi agak tenang. Kemu dian: “Apa Tuan D uta hendak persembahkan?”

“Bahwa utusan D emak ke seberan g dan Atas Angin telah mem bawa keteran gan-keteran gan penting Peranggi akan mengu asai Jawa, G usti Adipati Tuban yang mu lia. Itulah yang menyebabkan D emak secara terburu-buru mem asuki Jepara. Peranggi tidak boleh mem asuki tengah- tengah pulau Jawa ini, G usti. Sekali masuk, seluruh Jawa akan dikuasainya. Itulah sebabnya D emak mem asuki Jepara dengan sangat terburu-buru.”

“Jauh manakah Tuban daripada negeri Peranggi, maka tak ada utusan datang padaku? D an kau, D uta Jepara,

datang jauh setelah adipatimu mem asuki wilayah kami? Betapa lama waktu sudah berlalu, tak ada yang datang mem ohon am pun. D an sekarang kau datang, bukankah untuk itu?”

“Patik datang mengh adap memang untuk urusan yang agak lain, G usti, amp unilah patik.”

“Tepat sebagaiman a kami duga. Persembahkan!”

“Ampun, G usti, utusan D emak, dari seberang dan Atas Angin

G usti, mem persembahkan pada G usti Kanjeng Sultan D emak, sesungguhnya Tuban telah mengadakan persiapan persenjataan untuk mengh adapi Peranggi, dan bahwa jatuhnya Malaka ke tangan Peranggi telah menjadi pikiran

yang datang dalam bulan ini,

G usti Adip ati yang mendalam . Setidak-tidaknya karena Tuban sebuah bandar yang paling banyak bersangkutan dengan Malaka.”

“Betul, Aji Usup. D uta Jepara yang terhormat.” “G usti Kanjeng Sultan D emak telah yakin adanya

persiapan ini, dan bahwa persiapan itu tidak ditujukan pada Jepara.”

Sang Adipati tersenyum puas. “Juga tidak akan ditujukan pada Jepara.” “Untuk Jepara, D emak dan Semarang akan waktu lain,

Aji Usup. Lihatlah betapa pongah Sultanmu . Mengirimkan seorang duta yang berkedud ukan hanya sebagai duta putra mahkota, bukan dutan ya sendiri! Apakah yang seperti itu pernah dilakukan oleh Adipati Tuban?”

“Tidak, G usti Adipati Tuban.” “Apakah Tuban pernah mengh alangi pemban gunan

G lagah W an gi? Atau pernah mengambil salah sebuah dusun D emak?”

“Tidak, G usti Adipati Tuban.” “Apakah kurang berharga Adipati Tuban dibandingkan

dengan Sultan D emak maka hanya duta Adipati Jepara yang dikinm kan pada Kami?”

”Tidak, G usti. Soalnya hanya karena G usti Kanjeng Adip ati Unus yang mengu rusi soal-soal manca-praja, maka patik dikirimkan dari Jepara kemari.”

“Pikiran D emak sungguh berbelit-belit biar pun mu dah dap at dimengerti. Sebagai kerajaan pun sudah berbelit. Co ba, kerajaan benteng yang didirikan oleh Sampo Toa- lang untuk mengh adapi Tuban, sebuah kerajaan bayang- bayang yang didirikan oleh pendatang Tionghoa. Sungguh berbelit.”

“Ampun, G usti, D emak adalah kerajaan Islam, itulah keteran gan satu-satunya dan tiada lain, G usti.”

“Ya, keteran gan satu-satu nya sebagai negara, tapi bukan sebagai praja. Sebagai praja sangat berbelit karena dia mengabdi pada Semarang, dia tidak mengabdi pada Islam. N egeri Syiwa-Buddha juga tidak mengabdi pada Syiwa- Buddh a.”

“Patik, gusti.” “D an bagaimanakah rupanya negeri yang mengabdi

pada sesuatu agama? Kami tidak pernah tahu. Majapahit yang jaya sepanjang sejarahnya juga tidak.”

“Ampun, G usti, patik tidak ada wewenang untuk berselisih. Barang tentu G usti Adipati benar.”

“Ya, dan D emak seluruhnya keliru.” “Ampun, G usti Adipati benar.”

“Baik, apa hendak kau persembahkan lagi, Tuan D uta?” “Masih tetap soal Peranggi, G usti. Sekiranya G usti

Adip ati ada kecenderungan untuk melupakan perselisihan- perselisihan kecil dengan D emak… sekiran ya G usti Adipati ada terniat untuk melancarkan perang pengusiran terhadap Peranggi dari Malaka… Itulah G usti, yang dipikulkan di Adip ati ada kecenderungan untuk melupakan perselisihan- perselisihan kecil dengan D emak… sekiran ya G usti Adipati ada terniat untuk melancarkan perang pengusiran terhadap Peranggi dari Malaka… Itulah G usti, yang dipikulkan di

“Persembahkan, Tuan duta.” “Maka Tuban dan Jepara-D emak bisa bergabung dalam

satu armada besar, G usti.” “Kau tak pernah bicara tentang Semaran g. apakah kau

mem ang pura-pura bukan kawula Semarang?” “Ampun, G usti, patik memikul pada bahu patik untuk

jangan sampai menggusarkan hati G usti Adipati Tuban.” “Tanpa kau pun D emak telah m enggusarkan kami.” “Ampun, G usti, patik hanya memikul perintah soal

Peranggi.” “Persembahkan!” “Semua kekuatan laut dari Tuban dan Jepara dan

Banten, dan Jamto’ dan Riauw dan Aceh akan sanggup mengu sir Peranggi, G usti, kalau or laksanakan. Sekiranya

G usti Adipati berkenan m enyertai.” Sang Adipati terdiam dan sang D uta tidak m emulai lagi,

menunggu jawaban. Matari semakin condong mendekati tepi bumi waktu

penguasa Tuban itu berkata: “D atang kau sebulan lagi, baran gkali kami ada jawaban.”

“D ilimpahi oleh Allah hendaknya G usti Adip ati Tuban dengan ram ah dan kebijaksanaan sedalam-dalamn ya dan

usia panjang sehat dan sejahtera….” Begitu duta Jepara pergi, Sang Adipati tak dapat

mengendalikan kemuakann ya atas lawan-lawannya di barat sana. Ia takkan mem biarkan siapa pun berjingkrak di atas kepalanya dan melecehkan Tuban. Tetapi perang ia tidak mengendalikan kemuakann ya atas lawan-lawannya di barat sana. Ia takkan mem biarkan siapa pun berjingkrak di atas kepalanya dan melecehkan Tuban. Tetapi perang ia tidak

Sang Adipati mencoba mem bayangkan Adipati Jepara yang muda dan bersemangat itu. Angan-angann ya, pikirnya, lebih besar dari akalnya. M emang semua nampak indah bagi oran g yang masih mu da dan menganggap diri kuat tak terkalahkan. Barangkali dia sendiri yang hendak naik ke Malaka. Baik, datan gilah Malaka, Unus! Hanya dia yang berusaha mendekati hasil. Kalau kau dap at takkan lebih baik dari Peranggi sendiri. Semu a boleh gagahi Malaka. Tuban takkan binasa karenanya!

Ia melangkah pelan-pelan mengaji pikirannya sendiri.

D alam kegelapan para pengawal pun bergerak mengikutinya dari kejauhan. Ia mem asuki daerah D alam kegelapan para pengawal pun bergerak mengikutinya dari kejauhan. Ia mem asuki daerah

Pintu itu terbuat dari papan jati berat berukir dalam, menggam barkan

wanita sedang bercengkeram a di bawah sebatan g pohon jeruk macam di sebuah tam an larangan.

beberapa

orang

G ubernur Tuban itu menarik seutas tali yang m enjulur di atas dau n pintu dan berujung jum bai berwarna-warni. Segera kemudian pintu berkerait terbuka. Sebidang pelataran dalam yang di sana-sini disinari lampu bersumbu satu terpamp ang di hadapann ya.

Seorang wanita setengah baya bertubuh kekar bersimp uh di tanah menyambut dengan sembah. Kepalanya m enekur.

Inilah keputrian atau harem Sang Adipati. “Bagaimana kalian, N yi G ede Kati?” “Karunia dan kemurah an G usti Adipati kuminta tanpa

henti, G usti,” sembah wanita itu. Sang Adipati langsung berjaian ke seram bi, kemudian

masuk ke dalam salah sebuah bilik selir kesayangan: N yi Ayu Sekar Pinjung.

Selir-selir lain yang waktu itu kebetulan berada di pelataran atau seram bi masih tetap bersimpuh di tanah pada tempat masing-masing. Setelah penguasa itu hilang dalam bilik selir kesayangan mereka bergegas masuk ke bilik masing-m asing. Yang tertinggal di luar hanya N yi G ede Kati.

Perempuan itu berdiri berjaga dengan sebilah ton gkat panjang karena itulah tugasnya sebagai pengurus harem dan sebagai penjaga sekaligu s. Ia berum ur lebih-kurang empat Perempuan itu berdiri berjaga dengan sebilah ton gkat panjang karena itulah tugasnya sebagai pengurus harem dan sebagai penjaga sekaligu s. Ia berum ur lebih-kurang empat

G ede Kati sendiri baran gkali tahu berapa banyak biji jahawe yang telah ia habiskan untuk kepentingan itu.

Tenang suasana harem itu. D eburan laut hampir-hampir tak kedengaran dari sini. D an bunyi gam elan di pendopo pun hanya sayup-sayup.

D i dalam bilik Sang Adipati dud uk di atas sampai tertiduran sedang pandangan nya diarahkan ke bawah pada

N yi Ayu Sekar Pinjung yang sedang menyeka kaki penguasa itu dengan selembar kain basah.

Tangan Sang Adipati melambai, menarik dagu selir kesayangan untuk mem andangi wajahnya. D an wanita itu

berkata dengan kenesnya, “Aduh, G usti sesembahan patik, betapa lama patik

menunggu selama ini.” Sang Adipati menganggu k dan tersenyum. Di bagian

bum i yang sepotong ini saja ia dapat melepas senyum dan tawa sebanyak ia kehendaki. N amu n di sini juga ia paling waspada. Setiap kata yang tertangkap oleh pendengarannya ia timbang-timban g sindir dan siratnya. D ari keturunan ke bum i yang sepotong ini saja ia dapat melepas senyum dan tawa sebanyak ia kehendaki. N amu n di sini juga ia paling waspada. Setiap kata yang tertangkap oleh pendengarannya ia timbang-timban g sindir dan siratnya. D ari keturunan ke

“Mengapa kau merasa lama menunggu, N yi Ayu?” ia mem ancing. “Ah, ya, baran g tentu ada tersimpan sesuatu dalam hatimu. Adakah kiranya cincin kau inginkan? Atau kalung? Ataukah dinar emas? Atau dirham ?”

“Ampun, G usti, bukan mas dan bukan perang, ya G usti sesembahan , kalau patik diperkenankan bersembah….”

Sang Adipati menarik selir kesayangan ke atas dan didudukkan di sampingnya. D an selir itu mengikuti tarikan sambil meliak-liu k genit.

“Persembahan, N yi Ayu Sekar Pinjung, baran g tentu sangat penting.”

G usti, adapun yang hendak patik persembahkan, ya G usti, G usti sesembahan, bukanlah sepertinya, hanya perasaan takut dan was-was, G usti.”

“Ampun,

Sam bil mem belai-belai ram but selirnya Sang Adipati bertanya setengah tawa tapi dengan kewaspadaan semakin

tinggi: “Apakah kiranya yang kau takutkan dan was- waskan?”

“Ampun, G usti, orang bilang, ya sesembahan patik, ada bangsa berkulit putih bernam a Peranggi. Kata orang, tiada tand ingan di seantara jagad raya ini.”

“Kata orang, N yi Ayu, teruskan.”

“Maka kata orang itu pula, G usti, seluruh dunia mem berinya julukan lelananging jagad, jantannya dunia, ya

G usti. N egeri didatangi takluk. Benua dipan ggilnya datang. Kapal ditudingnya tenggelam, ya G usti.”

Sang Adipati tertawa senang dan didekapnya kepala wanita itu. Bertanya: “Mengapa takut pada dongengan?”

“Kami semua takut dan was-was,” selir itu menyembunyikan mu ka dengan manja pada dad a Sang Adip ati. Kemudian meneruskan dengan sura yang tidak keluar dari hati-kecilnya: “Kata orang, ya G usti, sebentar lagi P eranggi itu akan m enaklukkan juga Tuban.”

Sang Adipati terlompat seperti tersengat kalajengking. Ia tolak N yi Ayu Sekar Pinjung sehingga jatuh tertelentan g di atas am bin. Kemu dian ia berdiri tegak lurus, bertolak pinggang. W ajah nya merah dan berkilauan terkena sinar lampu. Matanya tajam mengawasi selir kesayangan.

Mengetah ui perobahan sikap mendadak itu. N yi Ayu Sekar Pinjung tergagap-gagap bangun m emerosotkan diri ke lantai. D engan manjanya ia rangkul kedua belah kaki lelaki itu dan mem perdengarkan sedu-sedunya: “Ampunilah patik, ya G usti.”

“D ari siapa cerita itu, Pinjung?” tanya Adipati itu pelahan tapi tajam. Kedua belah tangannya masih juga bertolak pinggang.

Hanya sedu-sedan yang menjawab. “Jadi kau tak bermaksud mem persembahkan siapa

orangn ya?” Hanya sedu-sedan. D an tubuh wanita itu gemetar. Sang Adip ati mem bongkok, meraba-raba mu ka selir

kesayangan. Tangan itu kemudian berhenti pada kuping.

D alam waktu pendek subang-subang selir itu telah berpindah di atas tangannya. D an wanita itu seperti dengan sendirinya hendak m empertahankan subangnya. Terlam bat. Kemu dian ia cegah sendiri usahanya.

N am pak Sang Adipati sedang berusaha menindas kemarahan nya. Sekaligus ia mengerti ada kekuatan yang sedang bekerja untuk menyebarkan ketakutan. Benarkah tangan-tangan Peranggi sudah mulai memasuki sudut kadipaten? Ini? pikirnya. Sudah mu lai menyebarkan kegentaran pada seluruh isi kadipaten?

D engan gerakan yang menterjemahkan kemarahan ia cabut cepuk-cepuk subang itu. D ugaannya tidak keliru. D ari

dalam keluar segulungan kertas, bertulisan dan berbahasa Jawa. Ia mendekati lampu dan mem bacanya. Isinya hanya sebaris, menyatakan telah mengirimkan selembar sutra delapan depa, tanpa m enyebut nama seseoran g.

Isi tulisan itu tak banyak menarik perhatiannya. Tetapi kertas? Surat di atas kertas! Hanya orang asing menulis di atas kertas. Kembali ia periksa surat itu… dengan tinta, sedang Pribumi dengan jelaga.

Ada tangan asing bergerayangan di dalam harem ku, ia mem utuskan dalam hatinya. Sejenak ia duduk berpikir. Tak mendapat jawaban. Sekarang bertanya: “Dari siapa surat ini?”

“Ampun, G usti Adipati Tuban sesembahan patik,” suara N yi Sekar Pinjung gemetar. “Bukan patik hendak menyembunyikan

G usti sesembahan , mem anglah patik tidak tahu

siapa pengirimn ya. Ampun, beribu ampun, G usti.”

“D ari mana kau terima surat dan sutra?” “N yi G ede Kati, G usti.”

Sang Adipati bergegas meninggalkan bilik harem. Beberapa hari setelah itu ia dudu k di seram bi belakang

kadipaten sambil menonton adu jago yang dilaksanakan oleh para kawula. Perhatiann ya tak dap at dipusatkannya pada peragaan itu. Pikirannya masih juga sibuk dengan isi lontar yang sepagi dipersembahkan oleh Sang Patih kepadanya. Lontar itu ditemukan oleh G aleng dalam penggerayangannya di dalam kam ar Syahbandar baru Sayid Habibullah Almasawa, mengabarkan telah menerima dari Tuan, gelang, kalung, cincin mas bermatakan zamrud dan mu tiara, dan bersedia lakukan pada yang tuan perintahkan.

Menurut Sang Patih. G aleng telah periksa seluruh kamar Syahbandar dan ia telah melihat banyak botol dan benda- benda yang ia tak tahu nama dan gunanya: kitab-kitab dengan tulisan yang ia tak kenal dan tak bisa baca, logam- logam kecil, lontar-lontar halus dan lebar dan lunak dengan gam bar garis-garis bengkok, yang ia pun tak tahu artinya, setumpuk kertas, dan lain-lain yang ia pun tak tahu nama dan gunanya.

D asar anak desa! Tetapi itu hanya permulaan, gumam Sang Adipati.

Kemu dian diambilnya selembar daun sirih dari namp an kuningan, mengo lesinya dengan kapur, menaruh sepotong kecil gam bir di atasnya. Menggulung dan mem amahnya. Kelak akan dia ketahui semu anya, pikirnya lagi.

Ia berusaha mengh indari kemungkinan Sang Patih mencam puri urusan rumahtangga kadipaten. Ia tak mengh endaki berkurangnya kewibawaannya sebagai Adip ati. Ia akan selesaikan sendiri urusan dalam kadipaten. Bahkan mantri-dalam Patireja pun tak dititahkan nya untuk melakukan pekerjaan itu.

D an surat itu jelas dari seorang wanita. Ya, dari seorang wanita kepada Syahbandar Sayid Habibullah Almasawa. Tetapi tiada disebutkan tentangsutra. Mu ngkinkah barang perhiasan itu diterima oleh N yi G ede Kati? D an apa jasa N yi G ede pada Syahbandar? Siapa pula pengantar dan penghubung surat? Ha, baran gkali N yi G ede bertindak sebagai penghubung dengan para selir. Tangan-tangan sudah mu lai bergerayangan di dalam kadipaten. Kami sendiri haru s dapat temukan penghubung itu.

“Panggil N yi G ede Kati, ” ia berseru, kemudian mem perhatikan pertarungan ayam di depannya. Wanita

pengurus harem itu bersimpuh di bawah serambi dan mengangkat sembah.

D an Sang Adipati sengaja meneruskan perhatiannya pada peragaan binatang-binatang itu. Baru setelah salah seekor mati tertem busi taji baja Pada tengkuknya ia mengh ela nafas dan menghembuskannya keras-keras,

“Mendekat!” perintahnya keras-keras. N yi G ede Kati beringsut mendaki anak-an ak tangga

seram bi belakang mengangkat sembah lagi. Atas lambai tangan Sang Adipati ia beringsut maju terus lebih mendekat. Sang Adipati melambaikan tangan lagi sehingga ia sudah hampir pada kakinya.

“N yi G ede’ ia berbisik, siapa yang pernah m enyurati kau dari luar?”

Tiba-tiba tubuh wanita di bawahnya itu m enggigil. “Ampun G usti Adipati Tuban sesembahan patik,”

sebentar suaranya juga menggigil, kemudian merata kembali, “mem ang benar patik pernah…. ”

“Tidakkah kau dengar kami tiada berkeras-keras bersabar?”

“Ampun, G usti,” N yi G ede menurunkan suaranya sehingga mendekati bisikan, “mem ang benar patik pernah menerima surat dari luar, tetapi patik tak tahu dari siapa. Surat tersebut sudah ada saja dalam kamar patik, tanpa patik ketahui siapa pembawanya.”

“Kami tahu kau seorang yang jujur, N yi G ede. Bagaimana mu ngkin, kau yang bertugas mengu rusi keputrian justru tidak tahu apa yang terjadi di bilikmu sendiri?”

“Ampun, G usti Adip ati Tuban sesembahan patik. Hukum lah, patik, karena itulah kebenaran

yang sesungguhnya. Hidup-mati patik adalah milik G usti

Adip ati!” “Mana surat itu?” “Ampun, G usti Adipati, patik takut m aka patik bakar.” “Surat apa, N yi G ede, lontar ataukah kertas?” “Lon… lon… lon… kertas barangkali, G usti, patik tak

tahu namanya. Bukan lontar. ” “Bukankah bukan hanya surat saja telah kau terima?

Adakah real Peranggi pernah kau terima juga?” “Ada, G usti real mas, Patik moho n ampun, karena tiada

mengetah ui adakah itu real Peranggi atau bukan.” “Real Peranggi, dua,” Sang Adip ati mendengus

mengh inakan, “dan gelang, bukan?” “D emikianlah, G usti, dan gelang.”

“D an kalung, dan cincin mas, semua bermata zamrud dan mutiara. Bukan?”

“Ampun, G usti, semua benar. Perkenankanlah patik mem persembahkan semua itu ke bawah duli G usti sesembahan .”

“Ambillah semua untukmu sendiri. Barang-barang itu dikirimkan untukmu . Kami tahu kau pengurus keputrian yang jujur. Pergi!”

Ia perhatikan wanita pengurus harem itu beringsut-ingsut mu ndur, menyembah dan menyembah, kemudian berjalan menuju ke tempat pekerjaan nya semula. Ia percaya perempuan itu benar-benar tak tahu siapa pengirimnya, tak tahu siapa penyampainya.

W aktu ia menoleh nampak olehnya Pada sedang berjalan di kejauhan memikul kotak sampah m enuju keluar daerah perum ahan. D arahnya tersirap. Sesuatu m enyambar pada pusat perasaannya: cemburu. D ia! Ya, dia, Pada itu, yang dapat bergerak leluasa di dalam kadipaten. Dia rupa- rupanya kutu busuk keputrian. Dia!

Ia ikuti Pada dengan pandangnya. Ia kaji tingkah-laku bocah yang bebas gaya dan gerak-geriknya itu. Sekali-dua ia

pernah melihat ia bercakap-cakap dengan wanita dewasa dengan begitu bebasnya, seakan sudah lama berpengalaman dengan mereka. Ya. Si bocah itu!

Jantu ngnya berdebaran. Adakah dugaanku benar? D an bocah itu menjam ah hak-hakku yang paling tersembunyi?

Mu ngkin! D an dia dap at bergaul bebas dengan siapa saja. Tak pernah punya perasaan gentar. Bahkan hampir dap at dikatakan kurang ajar. Dia berbahasa Melayu dengan lancar dan baik. Dia bertugas melayani Sayid Habibullah Almasawa. Tidak salah: dialah penghubung Syahbandar dengan keputrian. D ia semestinya kutu busuk harem.

Perasaan cemburu telah menariknya dengan kasar dari tempat dud uknya. Seorang diri tanpa pengawal ia berjalan Perasaan cemburu telah menariknya dengan kasar dari tempat dud uknya. Seorang diri tanpa pengawal ia berjalan

Tak ditemuinya bekas itu pada kayu yang berwama coklat yang selalu dibersihkan itu. Tentu ia menggunakan alat-alat yang sekarang ini belum dapat diketahui.

Ia tak teruskan penyelidikannya dan kembali duduk di seram bi belakang. Ia cegah dirinya untuk berbuat sesuatu pembalasan dendam yang bisa diketahui oleh seluruh kawula. D an ia harus tahu dud uk perkara sebenarnya.

Pada nampak lagi mem ikul kotak samp ah yang sudah kosong. Sang Adipati mem perhatikan si bocah yang gelisah

dengan mata berpendaran ke m ana-m ana itu. Ia lambaikan tangan padanya. D an bocah itu pura-pura tidak tahu.

Manakah ada kucing dengan senang hati mengh adap pada si macan? Pikirnya jengkel dan mem biarkan Pada mengh ilang.

Cem buru tak dapat ia atasi hanya dengan berpikir dan berpikir. Bocah-bocah

semuda itu telah gerayangi keputrianku!

Kebakaran terjadi di dalam dadanya. Tangannya melambai menyam bar nampan kuningan tempat peracikan sirih dan dibantingnya m enggelintan g di lantai.

O0-d w-0O