Tuban dalam Suasana Baru

28. Tuban dalam Suasana Baru

Seluruh Tuban kembali dalam ketenangan dan kedamaian – kota dan pedalaman. Sang Patih Tuban

mendiang telah digantikan oleh Kala Cu wil, pemimpin pasukan gajah. N ama barunya: Wirabumi. Panggilannya yang lengkap: G usti Patih Tuban Kala Cu wil Sang W irabumi. D an sebagai patih ia masih tetap memimpin pasukan gajah, maka Kala Cu wil tak juga terhapus dalam sebutan .

Pasar kota dan pasar bandar ramai kembali seperti sediakala. Lalu lintas laut, kecuali dengan Atas Angin, pulih kembali.

Sang Adipati telah m enjatuhkan titah: kapal-kapal Tuban mendapat perkenan untuk berlabuh dan berdagang di Malaka ataupun Pasai.

Tapi penghasilan bandar tetap saja tak dap at lagi menutup kemerosotan besar.

Semua pengaturan praja dilalukan oleh Kala Cuwil. Sang Adip ati sendiri telah kehilangan perhatiannya terhadap segala-galanya. Ia tak pernah lagi memeriksa bandar atau berburu, bahkan tak pernah lagi keluar dari kadipaten. Bercengkeram a di tam an kesayangan di tentang kandang gajah pribadi pun tak lagi. Beberapa kali pesta tahunan seni dan olah raga dan pesta laut berlalu tanpa perhatiannya.

D an di kadipaten sendiri Idayu tak pernah muncul lagi dari tariannya.

Sejak padamn ya pemberontakan Rangga Iskak Sang Adip ati tak pernah sehat, telah kehilangan semua kegesitan

dan kesegaran nya. Ia namp ak sudah sangat tua. Seman gat dan dayan ya hilang. Jalannya telah tertatih-tatih dan sudah tidak bisa tegak lagi.

Rangga Iskak telah nyata tewas, kekuatannya telah tum pas. Semestinya sudah tak ada lagi sesuatu yang merusuhi pikirannya. Tapi tidak, pikiran lain selalu datang mengganggunya: penyesalan karena saudara sepupunya yang muda itu Patih Tuban yang terbunuh secara tidak layak tanp a perlawanan oleh seorang anak desa bernam a W iranggaleng. Juga penyesalannya telah mem bohongi Adip ati Unus mendiang tak pernah dapat dibohonginya dengan alasan, bahwa Unus ini juga yang telah merampas Jepara dari tangan nya. Penyesalan lain yang juga m erusuhi pikiran nya: ia tak dap at mengam bil sesuatu tindakan sebagaimana ia sendiri kehendaki terhadap W iranggaleng. Semestinya anak itu tidak dikaruniai dengan sesuatu jabatan, tak perlu ditampilkan hanya untuk menaikkan nam a Idayu. Semestinya dia segera ditumpas setelah adanya persembahan tentang “persekongkolannya” dengan Rama Cluring mendiang. D an cemburunya masih juga dap at dirasainya karena anak itu ternyata dihorm ati, dicintai dan didengarkan oleh kawula Tuban. Malah Rangga Iskak telah nyata tewas, kekuatannya telah tum pas. Semestinya sudah tak ada lagi sesuatu yang merusuhi pikirannya. Tapi tidak, pikiran lain selalu datang mengganggunya: penyesalan karena saudara sepupunya yang muda itu Patih Tuban yang terbunuh secara tidak layak tanp a perlawanan oleh seorang anak desa bernam a W iranggaleng. Juga penyesalannya telah mem bohongi Adip ati Unus mendiang tak pernah dapat dibohonginya dengan alasan, bahwa Unus ini juga yang telah merampas Jepara dari tangan nya. Penyesalan lain yang juga m erusuhi pikiran nya: ia tak dap at mengam bil sesuatu tindakan sebagaimana ia sendiri kehendaki terhadap W iranggaleng. Semestinya anak itu tidak dikaruniai dengan sesuatu jabatan, tak perlu ditampilkan hanya untuk menaikkan nam a Idayu. Semestinya dia segera ditumpas setelah adanya persembahan tentang “persekongkolannya” dengan Rama Cluring mendiang. D an cemburunya masih juga dap at dirasainya karena anak itu ternyata dihorm ati, dicintai dan didengarkan oleh kawula Tuban. Malah

Sebagai seorang penguasa mu tlak tanpa seorang pun dap at mengh alangi kehendaknya, ia sungguh merasa malu tak dapat berbuat sebagaimana ia inginkan terhadap anak desa keparat yang mengangkat diri jadi Patih Senapati Tuban itu. Masih sering terbayang-bayang dalam ingatannya peristiwa yang satu itu. W aktu itu hari penghadapan pertam a setelah padamnya kerusuhan Rangga Iskak. Balairung itu pun sudah lama kosong tanpa penghadap. Kadipaten sunyi bahkan mu lai terancam bahaya kelaparan. Balatentara Tuban telah ditarik kembali ke Tuban Kota oleh W iranggaleng. N amu n pendopo itu tetap tiada berpenghadap.

Pada hari itu, ya pada hari itu, tiba-tiba semua berubah. Pasukan pengawal mu lai menduduki tempat-temp atnya yang semula. G apura kadipaten telah berdiri kembali dan rupa-rupanya telah ditukangi orang pada malam hari. Bahan makanan masuk lagi ke dalam gudang perbekalan kadipaten. D an: Punggawa-punggawa praja, para pembesar dan kepala-kepala pasukan, juga W iranggaleng, datang bersim puh m enghadap.

Seorang punggawa telah datang menghadap padan ya, mem persembahkan datangnya para penghadap.

Jantu ng tuan ya berdebar-debar. Pada punggawa itu bertanya adakah anak desa itu datang menghadap juga.

D an punggawa itu mempersembahkan ada. Ia rasai kekuatan baru bergo lak di dalam tubuhnya. Ia harus tumpas anak desa yang lancang itu. Harus! Tak boleh ada selembar rumput pun di dalam praja kadipaten Tuban, yang bisa mengh alangi keturunann ya sendiri untuk menggantikan dirinya sebagai adipati.

Ia perintah kan jururias melakukan pekerjaan nya, dan kembalilah ia jadi Sang Adipati yang du lu juga, hanya telah berubah jadi kakek dengan ram but seluruhnya telah putih dan jalan tak tegak lagi.

Seseorang harus mem bantunya naik ke atas singgasana gading itu. ia sudah tak kuat mengangkat kakinya setinggi itu.

Tanpa melihat pun ia tahu para penghadap terkejut melihat perubahan pada dirinya itu. Bahkan jari-jarinya pun kini terus menggeletar tanpa semaunya sendiri. Matanya redup kehilangan sinar hidup. Pipi cekung kempot dan tergan tung.

Begitu dud uk di atas singgasana, ia tak menan yai patihnya, karena dia sudah tiada. Juga ia tidak menan yai seorang tertentu. Langsung ia bertanya pada siapa saja. pada siapa saja, pada semua.

“Bagaimana kerusakan yang diderita oleh kawula kami di pedalaman?”

D an semua penghadap melihat pada W iranggaleng, Sang Patih Senapati Tuban.

D engan hati berat W iranggaleng, Patih Senapati tanpa pengangkatan itu, mempersembahkan, kerusakan tidaklah sebesar yang diharapkan oleh Sunan Rajeg, kemudian meneruskan dengan sangat hati-hati: “Sunan Rajeg telah kedapatan tewas dalam gua G owong beserta pengikut- pengikutnya terakhir. G usti Adipati Tuban sembahan patik.”

“Siapa mempersembahkan itu?” “Patik, G usti, Syahbandar-muda, kepala pasukan laut, si

W iranggaleng”.

“Adakah kau sudah jadi patih maka jadi orang pertama yang m empersembahkan?”

“Telah ham ba bunuh Patih Tuban karena keragu- raguann ya.”

“Maka itu kau anggap dirimu Patih Tuban?” “Ampun. G usti Adipati Tuban sesembahan patik,” Kala

Cu wil menengahi. “Adapun Sang Patih Senapati Tuban W iranggaleng telah tumpas kerusuhan besar itu, G usti. Ampunilah dia karena tiada tahunya tentang adat praja maka telah menyebutkan nam a kotor si perusuh itu di hadapan duli G usti Adipati. Ampun, G usti, mem ang besar keragu-raguanlah yang telah menewaskan G usti Patih almarhum.

D an itulah sesungguhnya bea untuk kemenangan Tuban. M aka itu sudah sepatutnya Sang Patih Senapati Tuban Wiranggaleng dikukuhkan oleh G usti Adip ati akan jabatannya itu”.

“Ampun. G usti Adipati Tuban sesembahan patik, tidak lain dari Senapati W iranggaleng yang merajang-rajang balatentara perusuh yang terlamp au kuat itu sampai berkeping-keping, G usti, tak berdaya dan binasa, musnah”. Banteng W areng m enambah kan.

“Adakah kalian mengira. Adipati Tuban bersinggasana pada hari ini untuk mendengarkan puji-pujian untuk si pelancang”, suaran ya lambat dan pelahan . gemetar nam un tegap.

Suasan a penghadapan untuk ke sekian kalinya menjadi tegang. Seoran g yang telah memimpin mereka ke arah kemenangan sedang mengh adapi keruntuhan di hadap an penguasa mutlak yang tak pernah dapat ditawar keputusannya itu. Semua mata tertuju pada anak desa, yang masih juga dud uk menekur tak tahu apa harus diperbuatnya.

“Siapakah oran gnya yang menempatkan dia di temp at terhormat itu?”

W iranggaleng menyembah, kemudian beringsut-ingsut dud uk dengan para kepala pasukan.

D an semua menjadi gelisah memperhatikan Sang Senapati tanptt pengangkatan itu duduk menundu k di samp ing rangkum.

“Siapakah oran gnya yang m endapatkan dia pada barisan kepala pasukan?” Sang Adip ati menetak lagi dengan suara lambat, perlahan gem etar namun tegap dan dingin.

“Ampun, G usti Adipati Tuban sesembahan patik”, kata Kala Cu will “adapun W iranggaleng telah menem pati

tempatnya sendiri sebagai kepala pasukan laut”. “Adakah patut seorang pelancang mendapat kehormatan

semacam itu?” Sekali lagi anak desa itu mengangkat sembah dan

beringsut ke barisan di belakangn ya lagi, barisan pembesar praja. Tak ada di antara kepala pasukan berani bersembah.

Suasan a yang tegang dan menggelisahkan terasa begitu lama dan tak bakal habis.

Tiba-tiba terdengar seseoran g bicara dalam Melayu, dan semua m ata terarah kepadanya.

“Tiada patut di mana pun dalam kadipaten ini, ya G usti Adip ati Tuban yang bijaksana. Yang berdosa tidak mu ngkin

berjasa, yang berjasa tidak mu ngkin berdosa, kata pantun nasihat”.

“Kau benar, Tuan Syahbandar T uban”.

D an W iranggaleng mengangkat sembah lagi, beringsut ingsut jauh dan lama meninggalkan pendopo, duduk di pelataran.

“Majulah kau. Kala Cu wil, di hadapan kami, karena kaulah Patih Tuban Kala Cu wil Sang W irabumi. D an perhatikan semua titah kami lakukan semua urusan Tuban dan prajan ya. Jangan sampai ada pelancang mendap at kesempatan bagaikan durjana temukan mangsa. D engan kau tiada kan ada ancaman terhadap Tuban”.

Kala Cuwil beringsut maju sam bil menyembah. “Sengaja kami biarkan jenasah Sang Patih melekang di

alun-alun sebagai hukum an bagi si pembangkang. Beruntunglah dia karena keluarganya tiada ikut tertumpas.

D an apakah hukuman yang patut bagi si pelancang?” Sang Adipati menunggu sokongan dari semua

penghadap. Berkali-kali ia tebarkan pandan g ke seluruh penghadapan. D an ia lihat setiap kepala menundu k. Tak ada sembah terangkat, la tahu tak mendap atkan sokongan. Kemu dian ia berpaling pada Kala Cu wil Sang W irabumi dan minta pendap atnya.

“Ampun, G usti, tak ada pelancang di antara kawula Sang Adipati sembah Kala Cuwil.

”Tiadakah kau sendiri dengar titah kami: apa hukum an yang patut bagi pelancang? D engarkan semua: bagaimana pembangkan g haru s jalani hukum annya?”

“Ampun, G usti Adip ati Tuban sesembahan patik. Sang Patih Tuban almarhum ”, Kala Cu wil bersembah dengan

gugu p, “telah

hukum annya sebagai pembangkan g, tewas di ujung keris. Patik sebagai Patih Tuban Sang W irabumi tidak akan sanggup melaksanakan dan menjatuhkan hukum an yang dititahkan terhadap senapatinya, kecuali bila Senapati menentukah sendiri hukum annya dengan sukarela”.

menjalani

“Apa hukum an yang patut untuknya?”

Kala Cu wil berpaling ke belakang dan berseru: “Patih Tuban Kala Cu wil Sang W irabumi bertanya padamu. Senapatiku, W iranggaleng, apakah hukuman yang patut untukm u?”

D ari tempatnya di pelataran pendopo Wiranggaleng menjawab dengan suara lantang: “Tidak ada yang patut. Hanya, bila Wiran ggaleng ini akan dihukum juga”, serunya, “perkenankan dia menan am mayat Sang Patih almarhum dengan sebaik-baiknya dulu”.

“Usir dia dari Tuban!” bisik Sang Adipati gemetar. “D irejam sampai mati, G usti Adip ati yang bijaksana”,

Tholib Sungkar Az-Zubaid bersembah, “seorang pelancang adalah juga pengkhianat”.

Sang Adipati melambaikan tangan pada Kala Cu wil Sang W irabumi, dan mem erintahkan padanya untuk menolong turun dari singgasana. D an orang pun terheran- heran melihat Syahbandar Tuban meninggalkan tempatnya dan ikut masuk ke dalam kadipaten.

Kala Cu wil kembali ke pendopo, mengh adapi pada penghadap dan mem erintah kan mereka bubar. Mereka

mem bubarkan diri dan mengerum uni Wiranggaleng. Semua menawarkan tenaga untuk mem bantu merawat sisa-sisa jenasah Sang Patih Tuban.

Ia m enolak. “Biar aku kerjakan sendiri. Tak lain dari aku yang lebih

mengetah ui betapa aku mengh orm atinya sampai ke dasar hatiku. Kata-katanya yang terakhir jadilah perintahnya terakhir untukku: anak desa akan kembali ke desa. Aku akan kembali”.

“Kami akan antarkan”.

“Apakah yang dapat kami sum bangkan?” “Senapatiku! Senapatiku!” “Terimakasih, semua. Beri aku seekor kuda yang baik

dengan abah-abahnya yang baik pula”.

0o-d w-o0

Setelah melaksanakan pembakaran sisa-sisa jenasah dengan saksi para pembesar praja, para kepala pasukan dan semua yang mencintainya, ia dekati Patih Tuban Kala Cu wil Sang Wirabumi, yang sedang mem egangi kendali kuda.

“Sepeninggalku, Kala Cu wil”, ia berpesan pada sahabatn ya “awaslah pada D emak. G uruku, R ama Cluring, sudah lebih dahulu memp eringatkan”.

“Panglim aku!” Kala Cuwil tak mampu m eneruskan. W iranggaleng m elompat ke atas kudanya. “Senapatiku, mari kami antar”. “Jangan”. “Senapatiku tak mem bawa sesuatu pun, pedang tidak,

tom bakpun tidak.” Orang

mengu lurkan cambuk perang. Ia tak menerimanya.

“Anak desa pulang ke desa. D ia tak mem erlukan senjata”.

Kala Cu wil merangkul kaki Senapati, dan berbisik: “Tak mu ngkin Tuban tanpa Senapatiku”.

W iranggaleng mencam buk kudan ya dan hilang di balik debu jalanan di kejauhan.

0o-d w-o0

Peristiwa pengusiran itu selalu merusuhkan hati Sang Adip ati. Betapa ingin ia m enumpas sama sekali orang itu – seorang anak desa yang langsung menghabisi jiwa seorang ningrat keturunan m aha M ajapahit. Dia berani mengangkat diri jadi Sang Patih Senapati Tuban. Bila dibiarikan semua aturan akan rusak binasa. D an pengusiran adalah hukum an terkeras yang ia bisa lakukan. Tak bisa lebih. Semua kepala pasukan berontak terhadap dirinya.

Beban lain yang mem berati hati Sang Adipati adalah hilangnya pafit putra yang mengabdi pada D emak.

Menengok ke Tuban mereka tiadak lagi, apalagi mengh adap. Beritanya pun tiada pernah sam pai lagi. D an ia sendiri sudah merasa tua. Siapakah Adipati Tuban setelah dirinya? Siapakah dia, yang berhak mendapatkan gelar

Adip ati? Ia tak mampu bayangkan. Kemenakan- kemenakannya ditimbangn ya terlalu lemah, bukan pribadi yang bakal mampu jadi penguasa Tuban yang berat dipikul berat pula dijinjing. D an ia tak rela Tuban jatuh ke tangan salah seorang dari kepala-kepala pasukan yang semua bukan berdarah ningrat. Apalagi W iranggaleng, si lancang.

D an justru yang akhir ini oran g yang paling akhir dap at menggenggam Tuban. Tidak, ia tak rela.

Hari-harinya yang sunyi ia lewatkan di dalam harem. Atau ia rebahkan diri di peradu an dan memanggil Tholib Sungkar Az-Zubaid untuk mendongengkan kisah seribu satu malam atau berita berangkai dari cerita Amir Hamzah, yang langsung dilisankannya ke dalam Melayu. Atau ia minta diceritai tentang negeri-negeri jauh di atas Atas Angin .

D an Syahbandar Tuban seorang yang pandai bercerita.

G erak tangannya yang memp esonakan dan turun naik bongkoknya mem beri hidup pada ceritanya. Pada bagian- bagian tegang ia melambai-lam baikan tangan dan bertepuk- tepuk dan menyebut-nyebut, seakan ia sendirilah saksi hidup atas ceritanya. D an bila cerita itu sampai pada bagian asyik-masuk, ia berkecap-kecap dan meremas-remas tangan, dan bila sampai pada antiklimaks, seakan-akan ia m elolong meratapi.

Ia sendiri memang suka bercerita, dan mu ngkin terlalu lama hidup di alam troubadour dusun-dusun di Ispanya,

Zanggi dan bukan Zanggi. Sekali ia pernah bercerita tentang negeri kelahirannya,

Ispanya, tentang bangsanya yang periang dan penari dan tentang sejarah negeri itu, dan tentang penyerbuan pasukan Arab dan tentang Al Tarik yang m enyerbu dengan kudan ya, dengan kudan ya pula mem asuki rumah-rumah dan istana.

D an ia bercerita tentang pembangunan mesjid dan istana- istana di Ispanya, terindah yang pernah dilihatn ya dalam

hidupnya. Ia takkan melewatkan cerita tentang gadis-gadis Zanggi perbegu yang m enari seperti kesetanan, dan tentang peram al-peramal Zanggi, dan tentang jatuhnya kekuasaan Mu awiyah di Iberia.

Sekali ia pernah bercerita tentang bangunnya armada Peranggi dan Ispanya. D an ia tetap tak pernah bercerita

tentang dirinya sendiri. Apabila ia minta diri, ia tiada mendapat sesuatu jawaban

dari Sang Adipati, karena pendengar-tunggalnya telah berkeruh dalam tidurnya.

Sekali peristiwa waktu ia minta diri terdengar olehnya Sang Adipati merintih dan mengeluh. Ia mendekat dan menan yakan apa yang dideritanya.

“Ah, Tuan Sayid”, jawabnya, “sekiranya diri masih mu da… dengan kekuatan utuh dan badan penuh….”

“G usti Adipati masih mu da, belum tua”. “Mem bawa diri sendiri pun sudah tak mampu, Tuan

Sayid. Betapa indah nya hidup muda….”

D an dengan demikian Syahbandar Tuban jadi penghadap tetap dalam kadipaten.

Orang menduga, oran g Moro itu akan mendapatkan kekuasaan yang lebih besar lagi dari Sang Adipati. T ernyata dugaan itu keliru. Penguasa Tuban itu tetap mem batasi wewenang T holib Sungkar Az-Zubaid. Apalagi setelah Kala Cu wil W irabumi tampil menjadi patih.

D ari sehari ke sehari, dari tahu n ke tahun keadaan Sang Adip ati tidak menjadi lebih baik, juga tidak lebih buruk. Ia tak

pernah melalaikan ramu an-ramu an yang dipersembahkan kepadanya. D an Tholib Sungkar Az- Zubaid terus juga mengh adap untuk bercerita. D an setelah cerita yang diketahuinya habis, mu lailah ia mendongeng tentang khayal yang tum buh sendiri dalam kepalanya. D an waktu daya khayalnya akhirnya kering juga, sebagai air bah mengalirlah segala keboho ngannya.

Syahbandar itu sudah tak tahu lagi mana yang benar. Sang Adipati yang mem butuhkan ceritanya atau dirinya sendiri yang ta. Ia membutuhkan waktu sampai Portugis celaka yang tak juga mu ncul dengan armadanya datang ke Tuban, dan barulah ia m erasa aman.

D i pembaringan juga Sang Adip ati menerima utusan atau duta-duta kabupaten atau kerajaan lain, dengan atau tidak disertai oieh sang Patih. Penghadapan hanya sebentar saja dihadirinya sebagai syarat, kemu dian Sang Patih Tuban

Kala Cu wil Sang W irabumi dititahkan meneruskan segala urusan.

Sang waktu dirasainya terlalu lama beredar. Hari-hari menunggu

datan gnya Sang Maut, dan ia akan menyam butnya dengan senang hati dan perasaan terimakasih. Yang ditunggu tak kunjung tiba. Dan yang datong justru yang lain lagi: seorang utusan dari Jepara.

Orang itu adalah Aji Usup yang dahulu pernah diterimanya di tam an kesayangan di tentang kandang gajah pribadi.

“G usti Adip ati Tuban yang mu lia”, ia bersembah. “D emak dan Jepara ikut berprihatin dengan gering G usti.

Itulah sebabnya patik datang: mengh adap, menyampaikan salam dan hormat dan doa segera sehat kembali dengan karunia Allah dari G usti Ratu Aisah, serta dibenarkan oleh

G usti Kanjeng sultan T renggono ”. Sang Adipati melambaikan tangan menitahkan semua

orang keluar dari bilik peradu an kecuali Sang D uta. Juga Kala Cuwil pergi setelah mengangkat sembah.

Aji Usup mem persembahkan beribu terimakasih dan syukur dengan hati dan bibirnya memperoleh kesempatan untuk menghadap tanpa disertai oleh siapa pun.

“Tuan Duta, persembahan apa yang Tuan bawa di dalam hati. D ekat dekatlah sini, agar kami dap at

mendengarkan Tuan dengan terang” Aji Usup mendekat sambil mem bawa tempolong ludah,

mem persembahkan dan Sang Adipati mem buang ludah sirih ke dalamnya kemudian berbaring lagi.

“D alam keadaan G usti gering begini, patik merasa tidak patut menyam paikan sesuatu yang penting, G usti”.

“G ering begini kami tetap masih Adipati Tuban, Tuan

D uta. Kesempitan kesemp itan dari hati Tuan”. “Ampun, G usti Adipati, sebagai duta, patik ingin

mendapat am anat dari G usti, adalah kiranya G usti Adipati Tuban berkenan sudi sekali lagi melayangkan minat pada suatu persekutuan mem bentuk arm ada gabungan untuk menggempur M alaka, menghalau Peranggi?”

Mendengar itu Adip ati Tuban mencoba dud uk di pembaringan dan Aji Usup mem bantunya.

“Ulangi lagi persembahan Tuan D uta”.

D an Aji Usup mengu langi kata-katanya: Sang Adipati kini menggantungkan kaki keluar dari pembaringan,

menganggu k-angguk dan pada mata tuan ya yang mem buram itu mem ancar sinar hidup.

Aji Usup buru-buru menyorongkan bangku kaki dengan bantal kaki di atasnya. N ampaknya Sang Adipati sangat berkenan m elihat pada kebaikan duta itu.

Lam a Adipati Tuban tidak menjawab. Ia kerahkan pikiran tuanya untuk kembali bekerja mengu rus praja.

D engan pandang tertuju ke arah pintu tanpa sesuatu pun dilihatnya, ia kenangkan kembali keberangkatan gugu san Tuban ke Malaka untuk menenggang laksamana Adipati Unus dan sekaligu s untuk mem balaskan dendamnya dengan keboho ngan melanggar janji. Kemu dian ia

menyesal untuk selam a-lam anya. Sesal kemudian mem ang tak berguna. Sekarang duta ini pula menawarkan persekutuan mem bentuk armada gabungan lagi. Ia menawarkan jalan untuk dapat mem bebaskan dari sesalan di haritua. Hari-h arinya telah dapat dihitung, dan kesempatan ini mu ngkin takkan datang lagi sampai matinya. D an ia tak begitu rela mati dengan banyak sesalan. Kini ia akan mendapat kesempatan bagaiman a sesalannya menyesal untuk selam a-lam anya. Sesal kemudian mem ang tak berguna. Sekarang duta ini pula menawarkan persekutuan mem bentuk armada gabungan lagi. Ia menawarkan jalan untuk dapat mem bebaskan dari sesalan di haritua. Hari-h arinya telah dapat dihitung, dan kesempatan ini mu ngkin takkan datang lagi sampai matinya. D an ia tak begitu rela mati dengan banyak sesalan. Kini ia akan mendapat kesempatan bagaiman a sesalannya

D an namanya takkan jatuh di mata kawula Tuban. D engan cepat ia dapat tem ukan cara mem berangkatkan gugu san itu sehingga tidak akan merusakkan namanya di mata Ispanya atau pun Peranggi. Ia mengakui masih mengimpikan datangn ya persahabatan dari dua bangsa itu. Hanya sekarang, sekarang ini, dengan kesempatan ini, ia tidak akan m enom er-satukan lagi. Ia m ulai m enom or-duakann ya. Ispanya dan Peranggi toh tak juga datang membawa persahabatan.

“Ketahu ilah, Tuan D uta Aji Usup yang terhormat”, katanya lunak, “telah lama kami pikirkan kemungkinan itu”.

mem persembahkan terimakasihnya.

D an Aji Usup

segera

‘Tuban, Tuan D uta, sudah lama bersedia untuk menggunakan kesempatan itu”.

“Ya, G usti Adipati Tuban yang mu lia, kesertaan gugu san Tuban insya Allah akan menjam in kemenangan,

G usti, semoga Allah s.w.t. merah-mati G usti dengan kesehatan, kenikmatan dan panjang usia”.

“Hanya kam i tak mampu menyediakan kapal”. Aji Usup menyembunyikan kekecewaannya. Tapi Sang

Adip ati dapat m enangkap perubahan pada airmu kanya. “Berdasarkan pengalaman yang lalu, Tuan D uta yang

terhormat, kamu merasa malu mengirimkan kapal-kapal kami yang takdapat tiba waktunya, tak mampu mengejar keterlam batan. D apatkah Tuan memahami kelemahan kami?”

“Besarlah sudah kemurahan G usti Adipati Tuban. Berap akah kiranya besarn ya pasukan yang G usti relakan untuk armada gabtungan itu, G usti?”

“Lima ratus, tidak kurang seorang pun, Tuan D uta, tepat seperti dah ulu. Hanya kami mem ang merasa malu menggunakan kapal-kapal kami sendiri yang sudah tua, jauh tertinggal dari kapal-kapal bikinan Jepara”. D an Aji Usup masih juga belum dapat bayangkan bagaiman a harus mendapatkan kapal untuk mengangkut lima ratus orang dengan persenjataan dan perbekalan. Ia term angu-mangu.

“Kapal perang Tuban cukup baik, G usti Adipati, sebagaimana pernah patik saksikan, malahan patik pernah

mem bawa sendiri gugu asan dari Banten sampai di atas Tum asik”,

“Tidak, Tuan D uta, kami sudah cukup mendapat malu dengan kapal-kapal itu, sedang yang baru kami belum lagi bikin. Keadaan laut tidak begitu mem beranikan kami mem bikin yang baru. Janganlah berkecil hati karena prajurit laut Tuban adalah sesungguh-sungguh prajurit”.

“Besarlah kemurahan G usti Adipati. Tuban akan melim pahi G usti dengan berkah, yang insya Allah tiada kan putus-putusnya. Ampun G usti, apabila G usti berkenan bolehkah patik mengetah ui siapa gerangan calon Panglima gugu san Tuban?”

“Tentu, dengan panglim anya sekali, panglim a tanpa tand ingan tuan D uta – Wi-rang-ga-leng, Senapati Tuban”.

Aji Usup mengangkat sembah tiga kali untuk menyatakan terimakasihnya. Hilang semua keragu- raguann ya. Wiran ggaleng jadi lebih berharga daripada lima buah kapal perang Tuban. “Dia pun kepala pasukan laut Tuban, Tuan D uta”. Hampir-hampir duta itu tak dengar

kata-kata Sang Adipati yang terakhir. Ia sedang kata-kata Sang Adipati yang terakhir. Ia sedang

0odwo0