Tuban Jadi Kancah Perang

39. Tuban Jadi Kancah Perang

Kali ini untuk pertama terjadi Tholib Sungkar Az-Zubaid tidak

mengawasi barang-barangnya. Oran g-orang mengangkutinya ke gedun g kesayahband aran dari dermaga, dan ia berjalan seorang diri mendahului.

Begitu naik ke dermaga Tuban ia bersujud, mencakup tanah berpasir hancuran batu karan g, mencium nya. Tak pernah ia mencintai Tuban sebagaimana halnya dengan sekarang.

Selama dalam pelayaran ia tak henti-hentinya mengu capkan syukur karena tidak terbawa oleh kapal

Portugis ke Malaka. Tempat yang indah dulu itu kini bisa menjadi kuburannya setelah penganiayaan berat akan mendahului. Setiap Moro akan mengalami itu di tangan Portugis bila terbukti pernah mem bunuh seorang N asrani baik Ispanya ataupun Portugis, sekalipun yang dibunuhnya hanya seorang petualang tanpa arti. Ia telah menyedari haridepannya di Andalusia telah mu snah. Semenanjung Iberia bukan lagi tempat yang menyenangkan untuk haritua-n ya. Bahkan semua negeri dalam kekuasaan Portugis dan Ispanya kini tak lain dari sebuah penggorengan besar bagi dirinya.

Pasir karang itu ia salutkan pada pipi dan seluruh mu kanya. Kalau mungkin ia hendak menelannya pula.

Akhir-akhirnya jabatan Syahbandar Tuban sudah cukup baik baginya, biarpun kurang pekerjaan dan kurang penghasilan. D i Tuban sini ia akan hidup tenang dan senang sampai mati. Ia bersumpah di dalam hati untuk mem perbaiki kelakuann ya dan bertekad hendak mem balas budi pada semua orang yang telah berbuat kebajikan padanya. Ia akan minta amp un pada N yi G ede Kati, dan akan menempatkannya sebagai wanita yang semulia- mu lianya. Ia akan minta amp un pada istrinya dan akan

mem bantunya dalam segala kesulitannya. D an ia akan am bil G elar sebagai anaknya sejati. Ia akan menyerahkan dirinya pada W iranggaleng bila ia sudah balik dari Malaka.

D an ia akan urus bandar Tuban sebaik-baiknya. Ia akan panggil anak-istrinya yang ada di G oa untuk menem ani di harituanya dan kematiannya kelak. Ia bertekad untuk dikuburkan di Bumi Tuban.

Barang-barangnya berbaris dalam pengangkutan di belakangn ya, ton gkatnya masih tetap setia di tangann ya.

Juga tarbusnya yang sudah kehilangan banyak warna merahnya. Pakaian Portugis telah ditanggalkannya di perahu, dan kini ia pergunakan pakaian Syahbandar yang lama. Kakinya pun kembali berterompah.

Mendekati kesyahbandaran ia berhenti, mem biarkan para pengangkut berjalan mendahului. Ia bersihkan mu ka, leher dan lengan dengan setangan, kemudian menjentik- jentik baju yang terkena pasir. Ia hendak temui N yi G ede Kati dalam keadaan sebersih-bersihnya: lahir dan batin. Ia tak am bil peduli terhadap bedeng dan galangan dan pasar yang telah runtuh jadi tump ukan arang hitam. Aku tak ikut merusakkan Tuban, pikirnya. Tak ada tanggungan dalam

nuraniku. Ia pun tak perhatikan jalan-jalan yang sudah nuraniku. Ia pun tak perhatikan jalan-jalan yang sudah

Keindahann ya yang dulu. Juga itu akan ia bangun kembali.

D an gedung ini nampak rusak dan mesum. Pintu-pintu depannya sudah tiada ber-daun lagi. Itu pun ia akan perbaiki.

“Ia terbangun dari semua pikiran dan rencanan ya melihat Kesyahbandaran dijaga oleh prajurit-prajurit pengawal, Seoran g prajurit berlarian datang padanya dan mem beri tahu kan dengan cepat-cepat: ‘Tuan Syahbandar Tuban? Segera tinggalkan tempat ini”

“Inilah Syahbandar Tuban baru tiba.” “Segera tinggalkan tempat ini.” “Jantu ngnya berdebar-debar. Barang-barang itu masih

tertumpuk di tepi jalanan tam an di depan rumah. Para pengangkut masih pada berdiri menunggu perintah. Sudah

ada Syahbandar lainkah karena aku pergi tanpa minta diri tanp a ijin? Semua yang direncanakan goyah.

D alam waktu pendek ia mengambil sikap yang biasa: waspada terhadap segala yang jelek. Otaknya kembali bekerja keras. Ia balik kanan jalan keluar dari pelataran kesyahbandaran dan para pengangkut mu lai mengangkati baran g-barangnya. D ari belakangn ya ia dengar seseoran g berlari-larian. Ia berpaling dan melihat seorang prajurit D alam waktu pendek ia mengambil sikap yang biasa: waspada terhadap segala yang jelek. Otaknya kembali bekerja keras. Ia balik kanan jalan keluar dari pelataran kesyahbandaran dan para pengangkut mu lai mengangkati baran g-barangnya. D ari belakangn ya ia dengar seseoran g berlari-larian. Ia berpaling dan melihat seorang prajurit

Ia masuki ruang depan. Kosong! Hanya sebuah bangku kayu kasar berdiri di pojokan. Di atas duduk: ya, siapakah orang yang berkumis dan berjenggo t itu?

Orang itu diapit oleh dua orang pengawal bertom bak, melambaikan tangan memanggilnya agar mendekat Ia tak berikat kepala. Rambut panjangnya yang ikal jatuh bergulung-gulung di atas bahu, punggung dan sebagian malah menutupi mu kanya.

ramah tanpa mengh ormatinya, bahkan tetap dudu k di atas bangku.

‘Tuan Syahbandar,”

tegurnya

Tholib Sungkar Az-Zubaid mendekat, kemudian berhenti dan berdiri empat depa di depannya. Siapakah oran g ini? Ia tak mengenalnya lagi Orang D emakkah gerangan? D emak? Keringat dingin mu lai mengu cur pada punggungnya. Ia hanya dapat m embungkuk menghorm at dan dengan tangan kanan bertekuk di depan dad a.

D an orang yang duduk di depannya itu bicara tanpa menggerakkan badan atau kepala ataupun tangan. Kepalanya masih juga menunduk. Hanya mata sebelahnya tertutup ram but mem andan g tajam padan ya.

“Jadi Tuan Sayid Habibullah Almasawa datang lagi.” Barulah Tholib Sungkar tahu ia sedang berhadap an

dengan Patih Tuban Kala Cuwil Sang Wirabumi. “Tugas sahaya sebagai Syahbandar Tuban mem anggil,

G usti Patih,” jawabnya.

Ia lihat tangan Kala Cuwil bergerak. Telunjuknya menuding ke arah mu ka Syahbandar, dan suaranya terdengar pelahan dan parau: “Lihatlah dia, hei kalian, terpanggil kembali oleh tugasnya.”

“D emikianlah yang ditugaskan oleh G usti Adipati Tuban pada sahaya.”

Kala Cu wil menjatuhkan tangan pada pangkuann ya. Ia kelihatan sangat lelah. Kepalanya tetap tak bergerak. D an Syahbandar itu sudah sangat ingin mengetah ui mengapa Sang Patih berada di gedung kesyahbandaran nya.

“Pengawal!” kata Sang Patih. Suaran ya lelah. “Masukkan dia ke dalam krangkeng.”

“Krangkeng?” pekik Tholib Sungkar. “Ya, krangkeng orang-orang Peranggi dulu:” D an dua

orang pengawal itu menan gkapnya. “Apa dosa sahaya. G usti?” “Letakkan di dermaga. Tabuhkan canang untuknya.

Peranggi biar tahu, Tuban tetap pada sikapnya.” “Sahaya Moro, G usti, bukan Peranggi.”

D engan suara dan tenaga tuanya Tholib Sungkar meronta dan mem bangkang. Sia-sia. Ia diseret ke belakang kesyahbandaran dan dimasukkan ke dalam krangkeng besi, dikunci dari luar.

Ia pegangi jeriji krangkeng dan digon cang-goncangkan. Besi itu tak sudi takluk pada kemauann ya. Matanya liar

berpendaran ke mana-m ana. Dan tak ada dilihatnya N yi

G ede Kati. Pam an Marta pun tidak. Yang ada hanya prajurit-prajurit pengawal.

Orang mulai menyorong krangkeng beroda itu ke derm aga. Ia berseru-seru gila, mem anggil-manggil Sang Adip ati, N yi G ede Kati, Paman Merta, bahkan juga W iranggaleng. Suaran ya gemetar seiram a dengan geletaran krangkeng yang disorong.

Seorang pengawal berlari-larian menyusul dan menyerahkan tarbus dan tongkatnya yang jatuh.

“Sudah, jangan ribut-ribut,” nasihat pengawal itu.”N yi

G ede Kati nanti akan datan g kalau dia tahu kau ada di sini.”

“G usti Adipati—,” ia meraung. “Apa yang kau raungkan? D ia sudah lam a mati.”

Syahbandar itu berhenti meraung. Ia m enggigil. Tak ada lagi kekuatan yang sekarang akan melindunginya. Sang Adip ati telah lama mati, katanya. Seorang prajurit takkan berkata sekasar itu pada rajanya. Tentu Sang Adipati mem ang sudah mangkat. Ah-ah, maut ternyata lebih dekat daripada yang diduga. Ia terdud uk di pojokan dan tulang- tulang-nya terasa sakit terkena ruji-ruji. Sekiranya ia berlayar ke Malaka, pastilah tiada akan begini jadinya.

D an krangkeng itu berhenti di dermaga. Pengawal- pengawal itu telah pergi. Ia pandangi laut dengan perahu- perahu kecil yang bertebaran. D an tak sebuah pun kapal pasukan laut T uban yang namp ak.

Apalah arti hidup semacam ini? Laut itu pun sudah kehilangan arti. Langit di atas hanya menyiksanya dengan panasnya sengangar. Semua manusia hanya m emusuhinya. Semua kata hanya menyakitkan hatinya. D ari alun-alun terdengar canang dipukul bertalu-talu mem anggil orang untuk mendengarkan pengum uman. Orang pun mu lai berduyun-duyun berlarian, berebut dulu untuk dap at Apalah arti hidup semacam ini? Laut itu pun sudah kehilangan arti. Langit di atas hanya menyiksanya dengan panasnya sengangar. Semua manusia hanya m emusuhinya. Semua kata hanya menyakitkan hatinya. D ari alun-alun terdengar canang dipukul bertalu-talu mem anggil orang untuk mendengarkan pengum uman. Orang pun mu lai berduyun-duyun berlarian, berebut dulu untuk dap at

Syahbandar itu membuang muka terhadap bondongan orang yang bakal menontonnya. Ia tak tahu betapa orang sebanyak itu sudah lama terlalu jengkel terhadap nya, dan tak dapat berbuat sesuatu pun karena perlindun gan Sang Adip ati. Ya, Allah apa lagikah yang akan menimpa diriku ini? Belum cukupkah ketakutanku selam a ini, yang telah Kau berikan jalan keluar? Tidakkah aku Kau selam atkan dari orang sebanyak itu?

la telah dengar langkah kaki berlarian m enghampiri. D an ia tahu tak dapat mem bela diri. Tak ada penolong dalam

bentuk manusia akan datang padanya, sekalipun suaranya samp ai pada tepian langit, dan sekalipun kerongkongannya samp ai pecah karena itu.

Matanya mengem bara dari ruji ke ruji, kemudian dilepaskannya ke laut, jauh, jauh, ke tempat tanpa m anusia. Tetapi ingatan, bahwa dalam krangkeng ini pula ia telah mem bunuh Esteban dan Rodriguez, mem bikin bulu badan nya m enggermang. Ia m elihat jeruji atas di mana dulu salah seorang di antara korbannya menggelantu ng mengelakkan diri dari tikaman. D an ia tikam dia waktu kilat mengerjap, dan ia rasai ujung pisau tongkat bertarung oleh tulang, dan tubuh itu jatuh bergede-buk di tempat ia dud uk sekarang. Tidak, tidak ada seorang saksi waktu itu. Ia pandangi kelilingn ya; mu lut-mu lut yang meludahi, lobang-lobang hidung yang menganga menyemburkan nafas pengap, mata yang menyala-n yala penuh dendam. Akhirnya ke laut juga pandangnya lebih aman, pada kaki langit, pada perahu-perahu yang semakin kecil juga. Tidak, tidak ada saksi! Tapi apa pula artinya saksi dalam pengurusan hukum Pribumi di Tuban? Mati. Mati juga yang akan dihadapinya.

D an ia belum rela mati. D engan pengalaman sebanyak itu, dengan kelincahan dan kefasihan sebanyak dan sebaik itu… mu ngkinkah seorang manusia harus mati dalam keadaan sehina ini? Tidak! Tidak layak! Hanya orang dun gu tak berpengalaman, tak berilm u, mati hina.

Orang makin banyak juga datang berduyun. D alam waktu pendek ia telah mandi air ludah dan keringat sendiri, basah-kuyup. Seluruh badan nya berbau am is. Ia tak tahu tulisan apa yang terpasang di luar krangkeng.

Karena tak tahan terhadap perlakuan itu ia mencoba mengu sir mereka dengan ton gkatnya. D an mereka sama

sekali tidak takut pada tongkat itu. Terpikir olehnya untuk menggunakan pisau tongkat dan mengamuk. Tapi ia m asih mengh arapkan pengampunan dan hidup. Dan ia tidak berani.

Ia tak dap at mem bela diri apa lagi melawan orang sebanyak itu, sekalipun mereka hanya meludah dan menyum pah. Dicarinya temp at paling tengah, menjauhi tangan-tangan jahil yang menarik-narik rambut, tarbus dan bahunya, tepat seperti dialami Esteban dan Rodrigeuz dulu.

D an di situlah ia dud uk tak mempedulikan kata oran g, dud uk mem bungkuk memeluk lutut, menenggelamkan mu ka, dengan pantat sakit terkena ruji besi.

Ia mencoba berpikir dan berpikir. Jalan harus ditemukan untuk dapat lolos dari krangkeng ini. Yah, Yakub harus

datang menolong. Atau,.... terkejut ia. Mungkin dia takkan datang untuk menolong, dia hanya akan menolong dirinya sendiri dan takkan ragu-ragu menuding aku, bahkan mem bunuh aku, presis seperti aku sendiri telah lakukan terhadap Rodriguez dan Esteban. Dia punya alasan, Yakub terkutuk itu. D ia sudah jual keteran gan pada Co rtez dan Martinique, pada siapa saja yang mau mendengarkan dan mau m embayarnya dengan uang – uang apa saja, asal emas datang menolong. Atau,.... terkejut ia. Mungkin dia takkan datang untuk menolong, dia hanya akan menolong dirinya sendiri dan takkan ragu-ragu menuding aku, bahkan mem bunuh aku, presis seperti aku sendiri telah lakukan terhadap Rodriguez dan Esteban. Dia punya alasan, Yakub terkutuk itu. D ia sudah jual keteran gan pada Co rtez dan Martinique, pada siapa saja yang mau mendengarkan dan mau m embayarnya dengan uang – uang apa saja, asal emas

Hujan ludah terus berlangsung. Suara bising melamp iaskan dendam dan kejengkelan t erhadap dirinya bergulung tak bisa ditangkap kata-katanya.

Ia menekun ruji-ruji besi di bawahnya dan pasir derm aga yang sebentar tadi telah diciumnya dengan penuh pengharapan. W ajah-wajah di sekelilingnya m engernyit dan mengancam, meringis dan merongos, mem belalak dim mengedip-ngedip, mentertawakan dan meledek, meraung dan mengikik, menyengjr dan menyeringai, memo nyong dan menjebik.

Orang-orang semua ini akan tetap jadi iblis yang menari- nari di sekitarku. Harus ada kekuatan yang melepaskan diri dari semua ini. Hati-hati, kalian, sekali krangkeng ini jebol, dan kekuasaan ada padaku kembali… kalian akan remuk di dalam tanganku. Aku bukanlah bagian gerombolan dun gu seperti kalian, hewan yang tak berpikiran sendiri! Kalian hanya lalat perubung bangkai! Tidak lebih. Sekali pukul semua kalian akan binasa.

Ia diam saja dalam dudu knya. Badan dan pakaiannya semakin basah. Ludah itu bukan lagi menempel pada pakaian dan badan, malahan sudah mulai mengalir dan menetes. D an udara pengap dan bau am is itu -betapa bedanya dari udara segar di atas sana. D an angin yang tak henti-hentinya meniup tak samp ai padanya, terhalang oleh ratusan, ribuan orang yang m engepungn ya.

Para penonton mu lai lelah dengan tingkahnya. Mereka mu lai menipis. D engan lirikan ia ikuti di antara ketipisan penonton itu kanak-kanak pada pulang sambil berjingkrak mem bawa berita gempar untuk di rumah. Ia tak tahu lagi berapa orang yang masih tinggal. Percakapan antar-mereka Para penonton mu lai lelah dengan tingkahnya. Mereka mu lai menipis. D engan lirikan ia ikuti di antara ketipisan penonton itu kanak-kanak pada pulang sambil berjingkrak mem bawa berita gempar untuk di rumah. Ia tak tahu lagi berapa orang yang masih tinggal. Percakapan antar-mereka

Matari tenggelam dan keadaan mulai sepi D eburan laut kini menjadi jelas mencapai pendengaran nya.

Tidak, Yakub, kau tak perlu datang, apa lagi malam- malam begini.

Barulah ia mengangkat kepala. D an segera ia m enunduk lagi melihat masih ada seorang berdiri dengan dua tangan berpegangan pada jeruji. Ia perhatikan kakinya. Hanya seorang, dan tak bergerak-gerak. Mengapa dia tak pulang seperti yang lain-lain? Anjing yang seekor ini?

Jantu ngnya yang selam a ini meriut kecil sekarang berdebaran. Ia dengan tarikan nafas orang itu. Siapakah kiranya dia yang berjual simp ati pada oran g di dalam krangkeng maut ini?

‘Tuan Syahbandar!” ia dengar pan ggilan pelahan. Tholib Sungkar berdiri bangun dan menubruk penonton

yang terakhir itu. Ia tak rasakan kakinya kelu karena semutan.

“Kati, Kati! N yi G ede!” desaunya, “istriku yang setia. Aku tahu kau akan datang.”

“Bagaimana, Tuan Syahbandar, m engapa jadi begini?” “Bagaimana? Bagaimana aku tahu ? Hanya kaulah yang

bisa tolong aku. Kati, istriku yang setia, hanya kau!” “Ah, Tuan, bagaiman a Tuan bisa tak tahu G usti telah

mangkat?” Syahbandar itu terbatuk-batuk. Jadi benar juga kata

orang. Melalui jeruji besi ia pengangi lengan N yi G ede, berbisik: “M enghadaplah pada Sang Patih.”

“Sahaya akan m enghadap. Tuan. ” “Ya-ya, mengh adaplah kau, istriku yang setia, yang

berani, yang mu lia. Kati, N yi G ede Kati….” “Mengapakah-T uan kembali ke Tuban?” Seman gat Tholib mu lai bangkit lagi. D engan istrinya ini

ia merasa m enjadi kuat. D engan suara berkeyakinan dalam kegugupan ia menjawab: “Allah mengirimkan aku kemari dan Allahlah yang akan m enghukum orang-orang zalim itu. Allah telah mem bisikkan padaku untuk mengambil dan mem elihara istrinya sebaik-baiknya…”

“Sahaya bawakan makan sekedarn ya, Tuan. Makanlah. Juga air minum. Siapa pun tahu Tuan takkan suka makan

dalam keadaan seperti ini. Tapi Tuan harus makan, dan minumlah banyak-banyak, karena hari besok akan punya kemungkinan lain.”

Ia sorongkan lodong bambu berisi air. Syahbandar itu merasa agak terhibur. Ia makan sedikit,

dan N yi G ede pergilah tanpa meninggalkan sepatah kata. Mengetah ui suaminya hanya mau makan dari

kirimannya N yi G ede Kati mengusahakan datang ke krangkeng pada setiap hari bila para penon ton sudah tiada.

Pada hari ke tiga percakapan di antara jeruji besi terjadi seperti ini: “Orang datang padaku hanya untuk mengejek, mencemooh dan meludahi aku, Kati,” Tholib mengadu. “Mereka menghina, mencibir, mentertawakan. Kalau tiada larangan mu ngkin mereka telah bunuh aku. Hanya kau, istriku yang setia, yang mem eliharakan aku. Allah akan mem balas semua kebajikanm u. Ampunilah segala perbuatanku yang pernah menyakitkan hatimu. D emi Allah, bila umur panjang akan aku mu liakan kau, Kati.”

“Terimakasih, Tuan. Suka atau tidak, sahaya adalah istri Tuan. Bagaimana bisa membiarkan Tuan begini? Sahaya sudah menghadap Sang P atih.”

“Ya-ya, bagaiman a hasilnya?” Tholib menyam bar dengan rakus.

“N anti, nanti! kata G usti Patih, dan cuma itu. Tuan.” Syahbandar Tuban m elengos dan menghembuskan nafas

panjang kemudian dud uk tanpa daya. “Ya Allah,” keluhnya, “siang panas dan malam dingin,

terus-menerus terkena angin. Siksa dan aniaya macam apa ini – sampai kapankah berakhir?”

“Sabarlah, Tuan, baru tiga hari. Semu a bakal ada akhirnya juga.” Lama suami-istri itu berdiam diri. Tholib menundu k dan istrinya m engawasinya dengan dukacita.

“Ampunilah sahaya tak dapat berusaha lebih baik.” Syahbandar mengangkat mu ka dengan harapan am at sangat pada kemurahan dan kesudian istrinya: “Cobalah mengh adap kepala-kepala pasukan, Kati.”

“Semua telah sahaya usahakan. Tuan.” Syahbandar menundu k lagi. Sekarang terpikir olehnya

akan kesulitan N yi G ede dan bertanya: “Bagaimana hidupmu. Kati, istriku?”

“Seperti yang lain-lain. Tuan-” “Tiadakah kau m endapatkan kesulitan dari mereka?”,

“Apakah salahnya bersulit-sulit untuk suam i yang sedang menderita?”

“Betapa mu lia hatimu. N yi G ede. Mengapa baru aku ketahui sekaran g? Betapa bodohnya aku ini.”

“Syukur kepada Allah, Tuan, bahwa akhirnya Tuan mengenal juga adanya kemuliaan dalam hati manusia. Sahaya berbahagia mengetahui itu, Tuan.”

D an pergilah wanita itu pulang setelah menyorongkan beberapa lodong bam bu air untuk mandi suaminya.

Ia menuju ke gubuknya di daerah bandar, sebuah pondok kecil tak berjendela, berpintu satu, dan semua terbuat dari dau n kelapa, bekas tempat tinggal wanita gelandangan.

Kemarin ia mengetahui seorang-dua anak m engikutinya. Sekarang lebih banyak lagi. Mereka bersorak-sorak di

belakangn ya, seperti sedang mengiringkan orang gila. Ia anggap ini juga bagian dari kesulitannya untuk mengurus suam inya. Maka ia haru s menghadapinya dengan tabah dan sabar.

“Sudahlah, anak-anak, jangan ganggu juga nenek tua ini,” ia berhenti di depan pintu dan menengok pada mereka.

Anak-anak berseru-seru riang setiap ia mem perdengarkan suaran ya.

“Mengapa cuma kau yang mau m engurusi Almasawa?” “Hanya oran g gila mau melayani dia!” yang lain

menam bahi. “Kau gila, N ek?” “Ya, ya, gila dia. D ulu di gedung bagus, sekarang di

gubuk. Bagaimana takkan gila.” N yi G ede Kati mem buka pintu, disambut oleh kegelapan

di dalam dan m enyilakan anak-anak itu masuk. Mereka hanya bersorak-sorak senang. Salah seorang

yang mem bawa sebilah ran ting mencoba menggelitikinya. Ia tangkap ran ting itu dan menariknya. Sejenak anak itu yang mem bawa sebilah ran ting mencoba menggelitikinya. Ia tangkap ran ting itu dan menariknya. Sejenak anak itu

Kalau aku punya anak, pikir N yi G ede, m ungkin ada dia di antara mereka. Ia tersenyum .

“Masuklah kalau kalian suka. Biar kita bersenang-senang di dalam gubuk. Mari aku nyalakan lampu. Mari masuk.”

Ia percikkan batu api dan menyalakannya pada kawul. Kemu dian pada batang kayu berbeleran g. W aktu api telah jadi ia nyalakan pelita, menyilakan: “Ayoh masuk, di dalam sini masih ada sedikit makanan.”

D an anak-anak itu mu lai jadi ragu-ragu. Seorang yang paling kecil dilambainya. D an anak itu bergerak mu ndur-

mu ndur dengan pandang m emancarkan ketakutan. “N ah, pulanglah kalau kalian tak suka masuk.” “Mengapa kau urus si Almasawa?” seorang yang

terbesar mem beranikan diri bertanya. “Mengapa? Dia suamiku.” “D ia pengkhianat! Kalau tak jahat tak mu ngkin di

krangkeng.” “Sekiranya dia bapakmu, kau pun harus mengurusnya,

bukan? W alau dia penjahat?” “Tidak bisa!” pekik anak paling besar itu. ‘Tidak

mu ngkin bapakku seperti dia!” “Ah, N ak, siapa tahu bolak-baliknya nasib?”

Tapi anak itu tak dapat menenggang kata-kata seperti itu. la ambil batu dan m elemparkan nya pada N yi G ede. W anita itu cepat-cepat menutup pintu, anak-anak yang lain mu lai mengh ujani pondo k daun kelapa itu dengan kerikil dan kerakal.

Seminggu Tholib Sungkar Az-Zubaid alias Sayid Mahm ud Al-Badawi alias Sayid Habibullah Almasawa dikurung di dalam krangkeng, kembali terjadi keram aian. Tontonan baru telah terjadi untuk penduduk Tuban Kota: Yakub, terikat tangann ya, berjalan menundu k dalam pengawalan prajurit-prajurit.

“Semua begundal Peranggi tertangkap!” seorang prajurit berteriak mengumum kan.

“D ulu dibiarkan merajalela.” Pengum uman itu seperti sambaran petir dalam dada

Syahbandar. Kini ia mengerti perkaranya. Dan ia harus bersiap-siap mengh adapi persoalan itu.

Orang berbondong-bon dong turun ke derm aga, tak menggubrisnya lagi. Ia lihat semua orang berjalan cepat- cepat atau lari ke jurusan kesyahbandaran. Larangan masuk ke pelataran rum ahnya sudah tidak berlaku lagi.

D ari kejauhan ia melihat Yakub terikat dalam giringan. Jantu ngnya semakin berdebaran: pengadilannya akan segera dibuka. Ia telah dapat mengambil sikap: ia akan lemp arkan segala kesalahan pada si pewamng jahanam. Hanya kefasihan sekarang yang akan bisa selam atkan aku, ia memutuskan dalam hati. Hanya kefasihan. Yakub tak kurang fasihnya. Dia harus mengakui keunggulanku sekali ini.

D an ia lihat Yakub dibawa masuk ke kesyahbandaran. Ia menunggu samp ai sore hari.

Seorang prajurit pengawal datang padanya. Tholib menenang-n enangkan hatinya. Sekarangkah pengadilan dimu lai? Apa? Prajurit itu tidak mem bukakan pintu krangkeng. Senyum ram ahnya untuk minta keteran gan Seorang prajurit pengawal datang padanya. Tholib menenang-n enangkan hatinya. Sekarangkah pengadilan dimu lai? Apa? Prajurit itu tidak mem bukakan pintu krangkeng. Senyum ram ahnya untuk minta keteran gan

Prajurit-prajurit lain pada berdatangan. Kemu dian bondongan orang pun berdatangan. Salah seorang yang baru datang m enudingnya dengan m uka merah oleh m urka: “Bedebah! Jadi kau sudah sekongkol jadi raja-muda Peranggi di Tuban? Bedebah!”

“Tidak benar,” bantah Tholib. “D an Yakub akan jadi patihmu!” ”Bohon g!” pekik Syahbandar, menduga begitulah

pengadilan atas perkaranya m ulai disidangkan. “Kau kirim kan meriam pada si brandal Kiai Benggala

buat tum bangkan Tuban. Semua kawula Tuban, dengarkan jawabannya.”

Kepercayaan diri Syahbandar mu lai goncan g. Kefasihann ya yang dipersiapkan macet. Inikah macamn ya? Bagaimana Tuban atas diri dan perkaraku? Inikah macamn ya? Bagaimana aku mesti mem bela diri di depan pengadilan semacam ini? Siapa sesungguhnya penuduh dan siapa pula hakimnya?

“Kau suruh orang m engambil meriam-meriam dari kapal Peranggi sambil mengantarkan dua oran g Peranggi itu dalam keadaan terbelenggu dan terbius.”

“Bohon g! Tidak benar! Fitnah!” rau ng Tholib Sungkar dalam kegugu pannya.

“Yakub dan gerom bolannya yang kau suruh.” “Yakub keparat!” pekik tahanan itu. Ia tetap kehilangan

keseim bangan nya. Ia berdiri tegang di tengah-tengah krangkeng dengan mem egangi ton gkat. Semua yang telah dipersiapkan dalam pikiran bubar. Ia merasa tak ada keseim bangan nya. Ia berdiri tegang di tengah-tengah krangkeng dengan mem egangi ton gkat. Semua yang telah dipersiapkan dalam pikiran bubar. Ia merasa tak ada

“Yakub keparat! Yakub keparat!” “Raja-muda Tuban!” oran g-orang mulai bersorak

menuduh. “Syahbandar! Syahbandar! Syahbandar! Syahbandar!” ia

mem ekik sejadi-jadinya, terus-menerus dalam gelora sorak- sorai menuduh.

Matanya m embeliak tanpa melihat keluar, tapi ke dalam batin sendiri. D an batin itu kehilangan kemampuan untuk mem bela nyawa sendiri.

“Kiai Benggala berkirim surat padamu melalui W iranggaleng.”

“Tidak! Tidak benar. W iranggaleng keliru!” pekiknya, kemudian mendesau-desau, “W iranggaleng keliru!” pekiknya, “sungguh-sungguh sesat, keliru.”

“Kau bunuh E steban.” “Tidak, tidak, bukan aku mem bunuhnya. Bukan.

Bukan.” Krangkeng itu telah dilingkari oleh padatan manusia.

Semua mata tertuju padanya. D an setiap pandang mengancam nya.

“Siapa yang m embunuh dia?” “Bukan aku. Yakub!” “Pemboh ong!” pekik oran g itu.

D an orang-orang pun berseru-seru menyumpahinya, mengancam, mencemooh dan mengh inanya. Suara-suara itu bergalau menjadi satu. Syahbandar tak dengar kata-kata mereka. Hanya hatinya dapat menan gkap ancaman yang terkandung di dalamn ya.

“Kau bunuh R odriguez!” “Tidak. Tidak. Bukan aku. Yakub yang mem bunuhnya.” “Pemboh ong.” “Betul. Betul bukan aku. Bukan.” “Kau khianati Sultan Mahm ud Syah Malaka.” “Bukan. Bukan aku. Sungguh bukan aku. Yakub yang

mengkhianati.” “Kau racuni gajah-gajah Sultan M ahmu d Syah.” “Tidak. Bukan. Tidak kuracuni gajah-gajah itu.” Panas matari tak tertahankan oleh semua orang. Baik

para prajurit maupun rombongan penonton telah menipis meninggalkan dermaga. Angin mendesau pada telingan ya, dan terdengar olehnya seakan melanjutkan tuduhan: “Kau bius Idayu!”

‘Tidak benar!” ia meraung melolong. ‘Tak pernah aku bius Idayu atau siapa pun. D an G elar bukan anakku. Benar, tidak, tidak, tidaaaaaak!”

“Kau nasihati Kiai Benggala untuk menculik Idayu an ak- beranak,” desau angin m eneruskan tuduh annya.

“Bohon g! Semua bohon g! Kiai Benggala yang menculik N yi G ede Idayu. Bukan aku.”

“Kau tipu G usti Adipati dengan cerita-cerita bohong.” “Aku orang suci!” rau ng Tholib putus-akal.

Tiba-tiba ia merasa sangat haus. Ia cari-cari lodong air dari bambu dan meneguknya puas-puas. Ia tebarkan pandangnya ke keliling. Tak ada seorang pun di dekatnya, la mengeluh dan m enangisi ketidakmamp uannya sendiri.

Aku sudah patah, ia menyedari. Ya, Allah, Kau hukum aku sampai begini macam. Tak Kau biarkan aku mem bela diri. Kau telah tutup kefasihan dan kecerdasanku. Kau telah ram pas keseim banganku. Kau telah bikin aku jadi gila dan hina begini. Tak pernah pikiran sebebal ini. Bahkan angin pun kukira menuduh pula. Sudah hilang ingatan kah aku ini?

la gigit jarinya dan ia masih rasai nyeri. Mereka datang lagi, ia memperingatkan dirinya, Kembali bondongan orang datang. Mereka tetap bersorak-sorai dengan m akian, hinaan dan

ludahnya. Beram ai-ramai mereka mendorong krangkeng beroda itu m eninggalkan dermaga. Badan T holib menggeletar karena geletaran krangkeng dan berayun-ayun mem pertahankan keseim bangan.

“Besok krangkeng dan isinya akan diceburkan ke laut!” seseoran g berseru.

“Besok, Ulasawa, R aja-mu da P eranggi, besok!” yang lain menam bahi dengan gemasnya.

D an besok selesailah apa yang dinam ai hidup ini. Kiam at pun boleh jadi tidak akan sampai sehebat ini.

Keparat! Ia sudah tak peduli akan dibawa ke mana krangkeng itu, dan mengapa dengan isinya sekali.

Mendadak perhatiannya beralih pada rom bongan lain yang menyoraki Yakub, menuju ke arah krangkengnya yang telah berhenti di tengah-tengah lapangan bandar.

Ia lihat Yakub berhenti di dekatnya, kemudian orang mengikatnya pada sebatan g patok barang tiga depa dari Ia lihat Yakub berhenti di dekatnya, kemudian orang mengikatnya pada sebatan g patok barang tiga depa dari

“N ah, katakan semua tadi, Yakub!” “D ia itulah,” Yakub mem ulai dengan menuding

Syahbandar Tuban dengan dagunya, “dia itulah biangkeladi segala-segalanya. Sahaya sekedar menjalankan perintahnya sebagai bawahan.”

Tholib Sungkar Az-Z ubaid sengaja berdiam diri. Ia berusaha mem ulihkan kemampuan

dan nilai-nilai pribadinya. Tetapi tuduh an Yakub lebih kuat daripada usahan ya. Separah dari semua tuduhan Yakub tertangkap olehnya dan seperempat dari usahan ya mendapatkan hasil. Setelah orang mendesak dan mem aksa-m aksa untuk menjawab, keluar juga kata-katanya: “D emi Allah. Orang itu hanya penipu. Telah kujelajahi bandar-band ar di dun ia ini, dan semua, semua pewarung arak adalah penipu Tak pernah ada seoran g pewarung arak dipercayai om ongannya. Siapakah yang lebih dipercaya oleh G usti Adip ati Tuban yang bijaksana itu? Aku atau kah dia?” ia tertawa menghinakan.

“Siapa yang jadi Syahbandar T uban? Aku atau kah dia?” Ia tertawa menghinakan. “Siapa yang jadi Syahbandar Tuban? Aku atau kah dia? Katakan, kau, Yakub, kau bukan penipu. Ayoh, buktikan.”

Sekarang Yakublah yang tak mau bicara, Ia hanya menundu k, seseoran g telah mengambilkan kopiahnya dan mengenakan nya pada kepala Yakub.

“Bicara, kau, Yakub!” bentak seseoran g. “Semua telah sahaya persembahkan pada G usti Patih

Sang Wirabumi,” jawabnya. “Tak ada guna mengu langi lagi. ”

“Apa telah kau persembahkan, penipu?” “Katakan, Yakub,” seoran g wanita mem ohon. D an

orang itu adalah N yi G ede Kati yang berpakaian compang- camp ing.

Yakub tetap pada sikapnya. Mendengar suara istrinya Tholib merasa mendapat

sokongan kekuatan batin. “Ayoh katakan,

penipu, penghasut, pemfitnah, pembunuh! Katakan di depan semua orang ini bagaimana kau m enipu dan mem bunuh!” bentaknya.

“Sudah tua! menghadapi maut pun kau masih juga tak punya kehormatan dan harga diri!” seorang prajurit

mem bentak Syahbandar. Orang pun bersorak dan menyerang Moro itu dengan

ludah. Kemu dian lingkaran orang itu pecah. Beberapa orang

terikat didatan gkan lagi dan berdiri bejajar diikatkan pada ton ggak-tonggak yang telah tersedia. Orang mu lai mengerum uni mereka kecuali seorang: N yi G ede Kati.

Kesempatan untuk membela diri hilang punah. Bentakan terakhir dari prajurit itu betul-betul menyakitkan. Hatinya kembali meriut. D isekanya hidungnya dengan lengan baju yang telah dekil.

“Hanya kau tidak percaya aku bersalah, bukan, Kati? Mengapa diam saja? D emi Allah, aku tak bersalah sedikit

pun. Mem ang aku pernah bermaksud menganiaya kau, dulu, tapi kaulah justru yang menganiaya aku, dan aku telah memaafkan. Bukan, Kati? Istriku?”

Kati memandangin ya dengan iba sambil menyodorkan bungkusan daun pisang dengan sepoto ng kelapa mengintip dari celah-celah sobekan.

D ari alun-alun terdengar canang bertalu-talu. Oran g- orang pun berlari-lari dalam bondongan, pergi ke arah datangn ya panggilan. D alam waktu pendek daerah pelabuhan menjadi sunyi kembali.

Beberapa depa dari krangkeng Yakub dan teman - teman nya berdiri tanpa daya mem unggungi ton ggak pengikatnya masing-masing. Tak ada di antaranya bicara.

“Tuan, biarlah sahaya pergi dulu mendengarkan pengum uman di alun-alun,” N yi G ede Kati minta diri.

Ia pergi tanpa menunggu jawaban. Syahbandar Tuban hanya bisa mengiringkan dengan pandan gnya. Sobekan pada kain istrinya itu memp erlihatkan sedikit dari betisnya.

D an ia berpaling untuk tak melihatnya. “Ya, beginilah macam pengadilanku,” ia meyakinkan

dirinya sendiri, “Sokrot pun lebih baik, ribuan kali lebih baik dari yang bisa diperbuat oleh orang-orang kafir jahil

ini.” Ia melirik pada mereka yang terikat pada tonggak. Tak

ada seorang pun di antaran ya mencoba bicara…. Pengum uman dari panggung alun-alun itu tak kurang

menggemparkan.

menyamp aikan: gerom bolan Yakub telah dapat ditangkap, dipersalahkan

Seorang

peseru

mem bantu Sayid Habib Almasa wa dalam menggerakkan pemberontakan Kiai Benggala, mengangkut dua pucuk meriam

ke pantai dan mengantarkannya ke Rajeg. Bersam a dengan itu dikirim kan pula dua orang pelayan meriam Peranggi bersama dengan meriam itu. G erombolan ini akan menjalani hukuman m ati

dari kapal

Peranggi Peranggi

Pengum uman kedua lebih menggemparkan lagi, menyangkut semua orang: terkecuali desa-desa dua lapis dari kota, termasuk Tuban Kota sendiri, besok harus menyiapkan pasukan pagardesa dan langsung berhimpun di tanah lapang sebelah barat kota sebelum matari terbit.

Habislah segala ria, habis segala sorak-sorai. Sekaligus orang mengerti: perang baru akan kembali berkecamu k.

D an sekarang Tuban tidak lagi bertahan, tapi menyerang. Orang

kembali ke rumah masing-masing, tak mengindahkan lagi pada mereka yang dijatuhi hukum an mati. Perang yang akan datang mu ngkin mem bunuh setiap orang. Apa pula beda mati pada hari ini atau lusa? Perang! Sekali lagi perang! kapan akan selesai semu a ini?

Seminggu setelah pengumuman, perang besar telah terjadi di sebelah barat luar kota.

D emak sedang mem usatkan kekuatannya. Trenggono telah bertekad bulat menggunakan pukulan terkuat untuk dihantamkan pada T uban. D an Tuban tetap jadi impiannya untuk jadi pangkalan meneruskan penyeran gannya ke

G resik dan Blam bangan …. Pasukan gajah Tuban yang selam a ini diundurkan ke

pedalaman sekarang dikerahkan. Seluruh balatentara dipanglimai oleh Banteng Wareng. Kala Cu wil tinggal berkedud ukan sebagai Patih Tuban merangkap kepala pasukan gajah.

Balatentara D emak selam a ini meremehkan pasukan gajah untuk mem besarkan hati tentaranya. Setelah melihat sembilan puluh ekor gajah berbaris dalam satu saf dengan Balatentara D emak selam a ini meremehkan pasukan gajah untuk mem besarkan hati tentaranya. Setelah melihat sembilan puluh ekor gajah berbaris dalam satu saf dengan

Pasukan gajah itu berjalan maju, menggiling dan menerjang baran g apa yang ada di hadapannya. Baju kubt- kerbaunya berjala-jala seperti jubah orang-orang Arab, tak mem pan dipedang, di panah ataupun ditom bak. Barisan

D emak telah gon cang dan turun semangat, bimbang untuk terus maju, mundur pun ragu-ragu, takut tak terlindungi dari anak panah. Pasukan gajah itu maju terus seperti matari dari timur menyusupi mega-mega lawan terus ke barat. Semua lari dengan belalai naik dan bersuling berbareng.

Kuda-kuda D emak, melihat bukit-bukit pada berjalan mendatan gi, lari belingsatan menerjang-neijang barisan

sendiri, tiada terkendalikan. Maka dari sela-sela gajah-gajah itu keluarlah pasukan

kuda Banteng W areng seperti air curah. Medan pertempuran menjadi kuning karena kepulan

debu dan pasir. Pekikan maut tenggelam dalam sorak-sorai dan canang.

Trenggo no pun gugup melihat balatentaranya rusak dan tetap dalam pengejaran. D engan murkanya ia perintah kan seluruh tentaranya mundur ke barat, ke daerah Rem bang.

D an di sinilah ia mesanggrah dan menyusun kembali kekuatannya. D i sini pula ia mengambil putusan untuk mengh entikan gerakan militer ke timur buat sementara.

Balatentara Tuban sendiri berhenti di perbatasan dan mendirikan pesanggrahan di lapangan terbuka.

0odwo0