Tuban D ibebaskan

43. Tuban D ibebaskan

Keterangan tentang Peranggi di Tuban Kota telah lengkap di tangan pimpinan balatentara Tuban. Sudah jelas benteng bawah tanah mu suh berpintu hanya sebuah, Keterangan tentang Peranggi di Tuban Kota telah lengkap di tangan pimpinan balatentara Tuban. Sudah jelas benteng bawah tanah mu suh berpintu hanya sebuah,

Patroli-patroli tak jaran g mem asuki luar kota dan merampasi ternak dan harta-benda. Tak ada perlawanan, dan mereka dapat berbuat sesukanya.

Kekuatan Peranggi seluruhnya ditaksir 450 orang, prajurit berpengalaman perang di mana-mana. Obat

ledaknya yang berkadar tinggi tak dapat dianggap enteng. Tapi yang lebih m enggentarkan adalah semangat tinggi dan berkobar mereka dari suatu bangsa mu da yang sedang gairah menaklukkan dunia.

D engan diam-diam Senapati menilai mesiu dan daya- ledak tinggi yang jadi sumber keampuhan Peranggi itu harus tetap berdaya-ledak tinggi untuk mengh ancurkan Peranggi sendiri. Semua rencanan ya berkisar pada menggunakan kekuatan yang ada pada lawannya sendiri.

Sekarang datang waktunya ia hendak mem buktikan, bahwa juga lelananging jagad dapat dimusnahkan. Balatentara Tuban akan dicoba keunggulannya.

Seribu lodong bambu minyak-tanah telah dituang ke dalam beribu botol tanah buatan wanita dan anak-an ak.

Setiap prajurit yang akan maju ke medan perang adalah juga pembakar. Pada pinggang mereka bergelantu ngan botol-botol. Laskar pembakar yang khusus dibentuk untuk keperluan itu digelantu ngi dengan delapan , sedang laskar penyeran g tiga di samping perlengkapan yang biasa.

Menjelang senja balatentara Tuban yang beribu-ribu jum lahnya mu lai bergerak. D an mereka berangkat diam- diam tanpa sorak-sorai.

Barisan paling depan yang bergendi delapan sama sekali tidak berperisai. Mereka hanya mem bawa tombak. Beregu- regu di antaranya tidak bersenjata sama sekali. Mereka hanya mengangkuti peluru-peluru cetbang. D an laskar itu berjalan jauh di selatan Kota menuju ke timur. Mereka mem asuki hutan. W aktu keluar lagi mereka telah memikuli kayu kering. Keluar dari hutan malam gelap telah turun, dan dalam lindungan nya mereka terus berjalan samp ai melewati selatan pinggiran tertimur Kota, mem belok ke kiri, ke kiri lagi mem asuki Kota. Mereka menggunakan waktu sebaik-baiknya di kala patroli Peranggi sedang kembali untuk berganti di gedung kadipaten.

D engan gerak cepat mereka tumpuk kayu kering bawaan mereka lim a ratus depa di sebelah timur kadipaten, menyelang-nyelingi bagian atas dengan peluru cetbang dan mem basahinya dengan minyak-tanah. Tump ukan kayu itu menjadi bukit kecil.

Laskar kedua hanya bersenjatakan panah. Pada pinggang mereka juga bergelantu ngan delapan gendi. Mereka berangkat setelah yang pertama. Pada waktu barisan pertam a melakukan penumpukan kayu mereka menyebar ke sekitar tum pukan dan di dekat sebelah timu r kadipaten.

Laskar ketiga, yang m erupakan laskar terbesar, beran gkat beberapa waktu kemudian, dari barat langsung ke kota melalui darat dan laut. Mereka bersenjata tom bak dan pedang dan perisai. Pinggan g mereka digelantu ngi hanya dengan tiga botol. Laskar keemp at berjalan menyusuri pantai, diperhitungkan akan tiba terakhir.

Pada waktu yang telah ditentukan tumpukan kayu mu lai terbakar. Api cepat menaik dan menjilat-jilat langit. Tak lama kemudian peluru-peluru cetbang berledakan , melesit, beterbangan ke udara, mem untahkan bunga api dan menerangi bumi.

Prajurit-prajurit Portugis di dalam gedung kadipaten keluar. Patroli pengganti berlari-larian ke arah api dan ledakan . Mereka disambut dengan hujan anak panah yang beterbangan dari atas pepohonan. Sam a sekali tak m enduga adanya pencegatan. Mereka berjatuhan seperti jerami di babat. Tak ada satu oran g pun yang tidak kena. Racun telah merembes ke dalam jantung m ereka.

Lebih banyak lagi serdad u keluar dari kadipaten. Pencegatan diajukan lebih dekat lagi ke gedung. Panah bersemburan lagi dari atas pepohonan. Sekali lagi serdad u- serdadu Peranggi bergelimpangan. Yang selam at melarikan diri masuk lagi dalam pengejaran anak-panah. Sebagian yang dapat melarikan diri menggelimpang pula sebelum mendapat perlindun gan.

Ledakan peluru cetbang masih riuh. Lonceng menara benteng bawah-tanah dan kadipaten bertalu tak putus- putusnya. Serdadu dari benteng mu lai keluar dan berlarian dengan bedil dan pedang, bersiap untuk mendatangi keributan. Aba-aba mereka terdengar bersahut-sahu tan

Semua serdadu di bandar telah ditarik pula ke benteng. D an tak lama kemudian mereka berpecahan dalam regu-regu dan menempuh berbagai jalan, bersebaran, berlarian.

Hujan anak panah bersemburan lagi. Portugis kemudian mengetah ui adanya pencegatan. Mereka tembaki semua tajuk pepohonan. Prajurit Tuban mu lai bergedebukan jatuh seperti buah nangka, binasa pada m alam itu juga.

D ari belakang serdad u Portugis bermunculan pasukan tom bak Tuban. Mereka mu lai menyerang tanpa pekikan tanp a seruan seakan sepasukan tentara gagu. Tom bak- tom bak lempar berlayangan, bertancapan tepat pada sasaran oleh lemparan tangan-tangan yang ahli dan terlatih. Pekik-jerit kesakitan mem enuhi udara dan merangsang pendengaran. Segelom bang pasukan Tuban dengan pedang terhunus m enyapu lapangan.

D ari atas benteng peluru mu sket berhamburan seperti hujan, sedang dan dalam benteng sendiri tembakan- tembakan tiada putus-putusnya. D an sekarang ganti prajurit Tuban yang berjatuhan atau menjatuhkan diri.

0o-d w-o0

G elar mendapat tugas paling berbahaya dari semua laskar. Petunjuk dan perintah diterimanya langsung dari Banteng W areng sebagai penyelaras seluruh balatentara. Tugasnya ialah melakukan penyeran gan dan penghancuran benteng bawah-tanah dengan jalan menyusun pantai dan menyerang dari belakang.

la merasa, bahwa ia dikirimkan ke medan pertempuran bagian terberat ini untuk tidak dilihat oran g lagi dalam keadaan hidup. Ia merasa telah terjadi persekutuan di antara para pemimpin pasukan untuk mengh alaunya dari mu ka bumi, sebagai hukuman terhadap peristiwa anak-ayah di Tuban Kota. Ia telah merasa tak ada seorang pun yang akan mengampuninya. Tak seorang pun mem berikan sokongan batin pada perbuatannya, termasuk Senapati dan emaknya sendiri. D an ia mencoba berdamai dengan hukum an yang diberikan padan ya. Ia harus belajar rela menerimanya. Sebagai anak Senapati ia masih akan tunjukkan dan buktikan pada seluruh Tuban, pada

W iranggaleng dan Idayu, pada bumi dan langit, ia masih mem ilih mati sebagai pahlawan, la akan mati. Orangtu- anya harus ada kebanggaan padan ya.

Mati! Mati! suara itu mem anggil-manggil mengatasi tindasan hukuman batin yang tak mengenal ampun itu, yang tak pernah diucapkan kepadanya, hanya disiratkan pada pandang m ata dan sikap orang.

la bawa pasukan dari tiga ratus oran g, mengendap-endap dalam bayang-bayang api di balik pepohonan. Tanpa suara sebagaimana telah diperintah kan.

D id apatin ya daerah pelabuhan sudah hampir tiada berpenjagaan, menara pelabuhan telah kosong. Prajurit

Tuban telah menjolok penjaganya dengan semburan anak panah. Tetapi menara benteng masih terus menggigil dengan taluan lonceng. Beberapa orang serdadu peninjau sedang melihat ke arah api unggun di kejauhan. Semprotan anak panah mengenai dua oran g. Yang seorang tetap mem ukul lonceng.

Laskar G elar datang ke benteng waktu serdadu-serdadu di dalamn ya telah ditarik keluar untuk menad ahi serangan

um um Tuban di sekitar kadipaten. Penjagaan yang tak seberapa besar telah kena runduk. Beberapa serdadu yang tidak menduga akan datang gelom bang mu suh dari pesisir tak sempat lagi menem bak melarikan diri dan mem buang senjata yang tak dap at dipergunakan. D an sebelum mereka sempat menggunakan pedang tombak lemp ar telah berlayangan.

D i kejauhan api semakin menjilat-jilat langit Ledakan peluru cetbang makin lama makin berkurang. Tembakan Portugis juga semakin kendor, semakin jauh dan bersebaran . Orang dapat menduga lelanin ging jagad sudah mu lai terhalau.

G elar terheran-h eran: tugasnya ternyata tidak seberat yang ia duga. Benteng bawah-tanah itu hampir tak dipertahankan lagi. Pada waktu itu ia baru memahami: Peranggi telah terjebak, tertarik keluar dari benteng dan telah diatur sedemikian rupa sehingga tak dapat kembali berlindung ke benteng – jalan-jalan telah digunting dengan pencegatan.

Ia masuki benteng dengan pedang terhunus, diikuti oleh laskarnya. Beberapa belas orang sedang bersiap-siap untuk juga turun ke medan pertempuran. G endi-gendi minyak dilemp arkan pada mereka. Dihujani gendi mereka gugup dalam mem bela diri, tak sempat menyiapkan mu sket dan mengh unus pedang. Baja beradu baja. G erak tangan dan kaki telah menyempitkan ruangan. Orang-orang Portugis yang sedikit itu terdesak terus oleh tom bak dan pedang dari mu suhnya yang berpuluh kali lebih banyak. Mereka disorong ke ujung penghabisan benteng dan berlom patan ke atas peti-peti mesiu. Hujan gendi mem bikin mereka jadi basah kuyup.

Minyak mem basahi semua yang ada, bahkan telah mu lai mengalir di lantai.

“Keluar!” pekik G elar. Orang berlarian keluar dan gendi-gendi terus juga

dilemp arkan ke dalam . Tombak berapi melayang m emasuki benteng. Benda-benda dari kayu mulai dirambati api, makin

lama makin lebar, makin tinggi, seluruh lantai mu lai menyala.

G elar mem bawa pasukannya lari dari daerah benteng, mem asuki sebuah bangunan baru. Ia lihat seorang berjubah putih sedang berlutut di depan sebuah patung kayu. Sebelum ia dapat memastikan rumahyang dimasukinya dan patun g apa yang dilututinya, ia menduga oran g itu tentu

Syahbandar Tuban angkatan Peranggi, botol-botol minyak telah berlayangan mem basahi jubah putihnya. Oran g itu tetap tidak bergerak dari sikapnya. Seseorang telah lari mengh ampiri, menyam barkan pedang pada tubuhnya.

G elar mem erintah kan keluar. Bangunan baru pun menjadi unggun an api, tinggi menjilat-jilat langit.

D i tengah-tengah kota balatentara Tuban mengu asai seluruh medan. Kadipaten mu lai diserbu oleh gelom bang besar prajurit. G endi-gendi beterbangan dan mem basahi segala yang dikenalnya.

Orang-orang Portugis yang berhasil meloloskan diri lari tanp a menoleh lagi, masuk ke dalam kegelapan, ke mana

saja asal selamat.

D i atas setump uk tanah yang ketinggian berdiri wanita dan kanak-kan ak memandan gi api yang menjilat-jilat di kejauhan, di Tuban Kota. Mereka melihat unggun yang hanya sebuah, kemudian m enjadi dua, tiga, empat. Letusan dan ledakan diikuti semburat bunga-api ke udara menyebabkan mereka mem bisu terpukau. Tak seorang pun di antara mereka mem buka suara. Mereka tahu maut sedang berjingkrak berpanen nyawa di Tuban Kota. Setiap di antara mereka tak menghendaki orang-orang tercinta dan tersayang tumpas terpaneni oleh sang maut.

D i antara mereka terdapat Idayu. Ia berdiri mem egangi bahu Kumbang. Langit menjadi merah dan warnanya

melembayung pada wajah. Letusan dan ledakan makin lama m akin berkurang.

Idayu menekan bahu anaknya, menyuruhnya berlutut. “Mem ohon, N ak, pada Hyang W idhi, selam atlah hendaknya bapak dan abangm u,” bisiknya.

“Mak, aku sudah memohon sejak mereka berangkat,” bisik kembali Kumbang.

Ia cium anaknya dan berbisik lebih ditujukan pada diri sendiri: “Kau m asih m embutuhkan bapak dan abang. N ak.”

“Tak lama lagi aku pun akan besar, Mak.” ‘Tentu, tak lama lagi. Tapi besar saja belum cukup. Kau

mem butuhkan bapak seperti bapakmu. Aku sendiri tak tahu dun ia, N ak.”

Kemu dian terdengar ledakan paling dah syat di Tuban Kota sana. D i atas ledakan itu segala macam berwarna merah menyala terangkat naik ke udara, mengem bangkan bunga-api. Hujan percikan ke bawah seperti berasal dari letusan gunung berapi. Setelah itu sunyi-senyap.

Kebakaran di kejauhan makin lama makin surut, kemudian tak kelihatan lagi, tertutup oleh puncak hutan.

Tak ada di antara mereka melihat, bahwa dengan pelan- pelan, tanp a bunyi, di samping mereka, jauh di atas tajuk pepohonan hutan, bulan tua sedang m emperlihatkan diri.

Semua orang berlutut dan menekur dengan mata tertutup.

“Mem ohon, N ak, mem ohon, untuk bapak dan abangm u.”

Tetapi, bila doanya dipanjatkannya untuk keselam atan G elar, dia macat. Ada

Idayu memohon

lagi.

suatu perasaan melintang di dalam hati dan pikirannya. Ia hentikan usahan ya. Pikirannya bergum ul kacau, mengapa hati tak rela berdoa untuk anak sendiri. D an mengu nci kegagalannya ia berkata pada Kumbang: “Ledakan terakhir berarti perang selesai, N ak. H anya kepunyaan Peranggi bisa suatu perasaan melintang di dalam hati dan pikirannya. Ia hentikan usahan ya. Pikirannya bergum ul kacau, mengapa hati tak rela berdoa untuk anak sendiri. D an mengu nci kegagalannya ia berkata pada Kumbang: “Ledakan terakhir berarti perang selesai, N ak. H anya kepunyaan Peranggi bisa

Tetapi Kumbang telah tersedat ke alam mimpi. Kepalanya telah rebah pada pangkuan emaknya.

Ia berdiri sambil mengangkat bangun Kumbang. D an orang-orang lain mengikuti conto hnya – berdiri juga. Bersam a-sam a mereka berjalan pulang ke bedeng perum ahan.

“D ia belum lagi bertemu dengan bapaknya,” gumam Idayu.

“Abangmu .” “Sekarang ke mana, Mak?”

“Pulang. Mengasoh. Menunggu bapakmu.” “Tinggal di kota lagi, Mak?” “Tidak. Mak tak pernah suka di sana. Kau suka?” Kumbang sudah tak dengar. D alam berjalan ia

melayang-layang dalam alam impian. Ia telah berusaha untuk tetap jaga, tapi kelelahan dan kantuk sudah tak dapat ditawarnya. D alam sekejap dari usahanya ia masih sempat bertanya: “Bapak akan tinggal di desa lagi, Mak?”

“Mana emak tahu? Tanyalah nanti padanya sendiri.” Kumbang tersedot sepenuhnya dalam alam mimpi. D an

kakinya tetap bergerak terpimpin oleh tangan emaknya. Seakan Idayu mendengar suara anaknya masih bertanya

dengan suara sangat, sangat pelan: “Mengapa tak suka tinggal di kota?”

“Mengapa?” jawab Idayu. “Emak lebih suka jadi orang biasa, orang desa biasa, tak mengh endaki sesuatu yang berlebih-lebihan dari apa pun dan siapa pun, bekerja seperti “Mengapa?” jawab Idayu. “Emak lebih suka jadi orang biasa, orang desa biasa, tak mengh endaki sesuatu yang berlebih-lebihan dari apa pun dan siapa pun, bekerja seperti

Sudah tak keluar bisikan kata dari m ulut Idayu. Suara itu bergema-gema hanya dalam hati sendiri: “Perang,

kekuasaan , kekayaan, seperti api unggun dalam kegelapan dan orang beterbangan untuk mati tumpas di dalam nya.”

W an ita dan kanak-kan ak itu masuk ke dalam bedeng pembikin gerabah.

Pembakaran baru sudah tiada. Beberapa hari yang lalu apinya sudah padam.

Idayu menaikkan Kumbang ke am bin. D itutupnya pintu. Ia pun rebahkan diri di samping anaknya, di samping

wanita dan kanak-kanak yang lain. “Menan gkah kita?” wanita di sampingnya bertanya. “Menan g,” jawab Idayu. “Bagaimana N yi G ede bisa tahu?” “Kalau orang kalah di negerinya sendiri, apa lagikah

yang bisa diharapkan?” Sunyi-senyap di perum ahan pembikin gerabah itu. Matari baru saja terbit. Pasukan kuda di bawah pimpinan

Banteng W areng telah mem enuhi jalanan kota. Mayat- mayat bergelimpangan di mana-mana, Portugis dan T uban.

D an mereka sama sekali tak menem ukan mu suh yang masih hidup.

Meriam-meriam tak sempat ditembakkan berjajar-jajar di lapan gan kadipaten seperti mainan kanak-kanak tanpa dosa. Barang-barang itu berdiri mati di atas roda masing- masing, moncong sedikit m endongak.

Orang mem erlukan turun dari kuda untuk melihat-lih at dan merabanya. Dingin, tak berdaya, mati. Lebih dingin daripada mayat yang bergelimpangan di dekat-d ekatnya.

D an jari-jari peraba meninggalkan bekas pada embun. Peluru besi, bulat-bulat sebesar kepalan, bertebaran seperti

batu hitam di tepi kali. Sungguh tak masuk di akal benda- benda seperti itu sudah banyak menenggelamkan kapal, mengh ancurkan dan merobohkan rumah, dan menjadi sendi kekuasaan dan kekuatan Peranggi.

Seorang penunggang kuda berkendara tenang-tenang di antara reruntuhan rumah diiringkan oleh satu regu prajurit berkuda yang bersiaga dengan tom bak. Antara sebentar ia berhenti, menebarkan pandang ke m ana-mana, bicara pada pengawalnya yang terdekat sambil menuding-nuding. Ia berdaster dengan ikatan longgar. Rambutnya jatuh berurai di atas punggung. Mukanya mesum oleh kumis dan jenggot yang tak terpelihara. Selembar kain batik melingkari leher dan kedua ujungnya jatuh di punggung pula. Bila berpacu baik ujung-ujung batik mau pun ram butnya berkibar-kibar seperti bendera.

Sebagaimana halnya dengan para pengiringnya ia pun menyandan g pedang pada pinggang. Berbeda dari yang lain-lain, sebilah keris terselit melintang di bawah dada. Hulu keris itu dari mas berukiran gambar kupu-tarung. Juga sarung kerisnya terbuat daripada mas. Itulah Senapati Tuban W iranggaleng.

Kemu dian Senapati berpacu berpacu ke pelabuhan . Ia periksa bekas benteng bawah-tanah , kini jadi lubang besar panjang, dengan kepulan asap di sana-sini. D i sekitarnya bergelimp angan mayat prajurit Tuban di antara sejum lah Portugis.

Bandar telah jadi tump ukan aran g, dengan asap yang masih berkepulan.

“D engar semua kalian!” katanya pada para pengiring. “Mereka takkan mencoba datang kemari lagi. Untuk sepanjang masa Tuban akan bebas dari Peranggi. Itulah berkah semua temanmu yang tewas pada malam tadi. Pada hari ini aku nyatakan m usuh telah kalah dan kita menan g.”

Satu -dua tembakan masih terdengar sayup-sayup di kejauhan.

‘Tembakan itu sebentar lagi akan padam sama sekali. Kalian lihat: Tak ada kapal mereka nampak berlabuh. Masih ada di antara mereka yang sempat lari meninggalkan yang lain-lain dalam cengkeraman maut. Ingat-ingat ini: juga lelananging jagad ini kenal takut dan dap at digebah punah dalam semalam.”

“Kami akan selalu mengingat-ingat. Senapatiku,” seorang pengiring berjanji.

“D an sampaikan pada anak-anakmu, pada teman - teman mu, bahkan juga pada mu suh-musuhmu .”

“Kami akan lakukan. Senapatiku.” “Tapi kalian jangan sampai lupa, kemenangan di Tuban

sangat kecil, belum berarti.” “Kita sudah menang. Senapatiku, kemenangan gilang-

gemilang tiada tara. ”

“Kau keliru. Kalian belum berhak bergirang-girang, dengarkan aku baik-baik: selam a Peranggi belum terusir dari Selat dan Semenanjung, belum terusir dari M alaka dan Pasai, urat-n adi kehidupan Tuban, Jawa dan seluruh N usantara, tetap berada dalam kekuasaan mereka.”

“Kami akan selalu mengingat-ingat. Senapatiku.” “D an selam a mereka masih menguasai Maluku,

kemakm uran takkan lagi menyinggahi Tuban.” “Senapatiku.” ‘Terserah pada kalian. Adakah Tuban akan bangkit

kembali atau tidak. Bila ya, perang masih panjang, pengusiran atas Peranggi dari seluruh N usantara dan

Semenanjung. “D emak tetap mengancam. Senapatiku.’* “Melawan D emak lain lagi. Itu perang melawan

kebodohan.” “Kami belum m engerti. Senapatiku.” “Mu suh D emak sesungguhnya Peranggi. Trenggono

mencari kebesaran dengan mencari mu suh yang dianggapnya tidak kuat. D engan begitu ia bisa bebas lari

dari mu suhnya yang utama: Peranggi.” “Bukankah D emak telah mengu sir mereka dari Sunda

Kelapa, Senapatiku?” pengawal terdekat bertanya. “Siapa saja dap at mengu sir Peranggi kalau jum lahnya

hanya beberapa gelintir, habis ditimpa bencana laut pula. Ayoh, jalan!”

Mereka bergerak melalui jalan raya negeri, kemudian mem belok ke timu r dan berpacu mendekati arah datang suara tembakan satu-satu. Samp ai di suatu tempat bunyi tembakan itu padam sama sekali. Di jalanan mereka Mereka bergerak melalui jalan raya negeri, kemudian mem belok ke timu r dan berpacu mendekati arah datang suara tembakan satu-satu. Samp ai di suatu tempat bunyi tembakan itu padam sama sekali. Di jalanan mereka

Mereka meneruskan perjalanan masing-masing. Prajurit- prajurit yang pulang itu sudah tak nampak lagi. Hanya sorak-sorai kemenan gannya m asih saja terdengar.

W iranggaleng berhenti melihat ke suatu jurusan. Di kejauhan ia melihat seorang prajurit Peranggi sedang berlutut mengh adap pada sebatan g pohon kayu, baran gkali sedang bersembah yang. D ua belah tangannya terangkat di tentang dada.

la jalankan kudanya dan m endekatinya peiahan-lahan. Mengetah ui ada seoran g m usuh, para pengiring mem acu

kuda, mengepung serdad u itu. Tombak-tombak pun teracu siap untuk dijojohkan .

“jangan ganggu dia!” pekik Senapati menegah. Orang pun menarik tom baknya kembali tetapi tetap

mengepungn ya. D an Wiranggaleng berpacu m enghampiri. “jangan

baik-baik. Dia lagi bersembah yang pada dewanya. Tarik kembali semua tom bak. Ingat-ingat kalian, prajurit Tuban, jangan sampai kalian m eletakkan mata senjata pada seseorang yang takkan bisa m elawan dan tak mamp u melawan-Barangsiapa sedang bersembah yang, dia

ganggu.

Lihat

tidak mengh adapi manusia. Menyingkir kalian dari dia.”

Orang pun menyingkir. D ari belakangn ya seseoran g mem bantah: dan Senapati menoleh, berkata: “Dia mu suh sewaktu mem usuhi kau. Sewaktu dia tiada berdaya dan Orang pun menyingkir. D ari belakangn ya seseoran g mem bantah: dan Senapati menoleh, berkata: “Dia mu suh sewaktu mem usuhi kau. Sewaktu dia tiada berdaya dan

“Kalau kemudian dia m emusuhi lagi, Senapatiku?” “Kembali kau harus mem eranginya.” “Lebih baik

dibunuh sekalian, Senapatiku.” “Kalau begitu kau bukan prajurit, tapi pembunuh,” ia

menengok ke kiri dan kanan. “Itu tak boleh terjadi. Maka kalian harus tetap waspada. Artinya kalian harus selalu tegak dan tetap perwira.”

Orang P eranggi itu telah selesai bersembah yang. D engan kudan ya Wiranggaleng makin mendekati. Orang itu pucat.

Mu kanya penuh dengan jenggot, kumis dan camban g. Ia tidak berdiri dan tak nampak bermaksud untuk beranjak dari tempatnya. Ditengadahkan wajahnya yang pucat itu pada Senapati.

“Mengerti Melayu?” tanya W iranggaleng. Sekarang orang Portugis itu mencoba bangun, tapi jatuh

berlutut kembali. D an orang melihat darah pada kaki dan pahan ya. “Sedikit, ya. Tuan.”

“Mengapa kau tak selamatkan jiwamu?” “Kaki tak bisa dibawa lari. Maut tak dapat dihindari.

Telah kuserahkan semua pada Tuhan,” jawabnya sambil mem buat salib.

“Bawa dia. Peliharakan dia samp ai baik,” Senapati mem erintahkan. “Tak ada orang boleh ganggu atau sakiti

dia. Bila sudah sembuh, sediakan perahu layar, persediaan makan untuk tiga minggu, dan bebaskan dia.”

Orang Portugis itu sekali lagi mencoba bangun dan gagal untuk kedua kalinya. Pakaiannya yang compang-camping melambai-lambai tertiup angin. Ia angkat kedua belah Orang Portugis itu sekali lagi mencoba bangun dan gagal untuk kedua kalinya. Pakaiannya yang compang-camping melambai-lambai tertiup angin. Ia angkat kedua belah

“Semoga D ewa Batara melindungi kau, Peranggi. Siapa nam amu selengkapnya?”

“Sylyester da C osta, Tuan. ” “Kosta!” Senapati mengu langi dan Portugis itu

menganggu k. Setelah mengangkat tangan mem beri restu Senapati menarik kendali. Binatang itu menengok dan berjalan berputar kemudian meninggalkan D a Co sta yang terluka. Sebagian pengiring tertinggal untuk menjalankan perintahnya.

Sylyester da Co sta ditolong naik ke atas kuda. Seseorang menuntun binatang itu. Yang lain-lain tetap di atas kuda masing-m asing. D an mereka berjalan diam-diam penuh pikiran, m encoba memahami maksud dan ucapan Senapati.

W aktu iring-iringan itu samp ai di jalan raya negeri, baru terdengar seseoran g bicara: “Mu ngkinkah kiranya Sang Senapati marak jadi raja?”

“D engan dia kita selalu menang. Co ba, menang melawan Peranggi!”

“Bisakah seorang anak desa jadi raja?” “Mengapa tidak? Raja-raja besar pun keturunan orang

desa semata.” “Sedang pada musuh yang tak berdaya dia begitu

pengasih dan penyayang, apa pun pada kawula sendiri bila marak.”

“Mu ngkin ada rencana baru terhadap D emak.” “Uh, apakah kita masih akan berperang terus-menerus

begini? Bisa habis kita ini bakalnya.”

“Bukankah kita haru s mengingat-ingat selalu? Semenanjung, Selat, Pasai, Malaka dan Maluku, seluruh N usantara? Selama Peranggi masih berkuasa….”

“D an D emak tetap m engintai.” “Hei, Kosta, mengapa kalian tak mau pergi dari

Semenanjung?” seseoran g bertanya dalam M elayu. “Apakah aku ini? Hanya oran g kecil tak menentu,”

jawab Sylyester da Costa dalam M elayu pula. “Semua oran g kecil. Hanya satu-d ua orang besar. Tapi

yang besar kecil juga dulu-dulunya.”

“Kalau aku yang orang besar,” D a Casta meneruskan. “Kau caplok semua pulau Jawa ini.”

“D an jadi kedodoran sepanjang jaman,” oran g lain menam bahi.

Iring-iringan berjalan terus dan kembali tenggelam dalam kediaman.

D i kejauhan, di pusat Kota, kedengaran orang bersorak- sorai, berderai-derai, dan mengguruh seakan hendak meruntuhkan langit. W aktu iring-iringan mu lai menginjak daerah Kota, mereka dapati mayat-mayat telah tersingkirkan. Seluruh balatentara Tuban berkumpul di alun-alun, di depan puing kadipaten dan bersorak-sorak gembira.

Mereka menyam but pernyataan Senapati: Portugis telah ditump as dari bumi Tuban; balatentara Tuban keluar

sebagai pemenang. W alau demikian kesulitan masih tetap banyak: Selat, Semenanjung, Pasai, Malaka dan Maluku, dan … D emak.

Sorak-sorai padam seketika dalam renungan um um. Ya, dalam renungan um um semata-m ata….

0o-d w-o0