Yang Lo la di Semenanjung

38. Yang Lo la di Semenanjung

Hari itu Hang W ira berkunjung ke kamp ung-kampung penduduk. Kemu dian juga mem asuki kamp ung-kamp ung para prajurit Tuban dan Bugis, yang kini telah menjadi petani atau nelayan sepenuhnya. Mereka telah belajar melupakan negeri kelahiran m asing-masing.

D an dengan menjadi petani atau nelayan sepenuhnya, dengan wanita setemp at yang kini jadi istrinya, pergulatan untuk mem enuhi kehidupan sehari-hari telah menggantikan perjuangan bersenjata. Perdagan gan dan pertukaran barang telah mendesak jiwa prajunt dan kebiasaan prajurit.

Bila setiap hari seorang suami-istri berhasil dapat menan am lima belas poho n pisang, setelah mem babat

semak dan menebang hutan, berarti mereka telah menyimpan lima belas hari bahan makanan untuk tahun yang akan datang. D an bila mereka berhasil menan am jagung selebar dua puluh depa persegi setiap hari, mereka telah menyim pan sepuluh hari makanan sehari untuk empat bulan mendatan g, justru pada waktu pengantin baru m ereka harus bekerja keras. Tahun depan seorang bayi akan lahir atas nam a mereka, dan tenaga bakal tinggal sang suami saja.

W iranggaleng tahu, ia tak mampu mengatasi kemerosotan prajurit-prajurit. D an dalam bicara dengan mereka ia berusaha baik-baik menutupi kekecewaannya, apalagi bila menghadapi istri-istri mereka.

D an di mana-mana suara mereka sama saja: “Apakah yang bisa diharapkan lagi di Jawa? Kami dapat mati sia-sia untuk mengabdi tidak menentu. Amp uni kami, Senapatiku.”

Ya, mereka lebih berhak atas diri masing-masing, lebih berhak daripada Trenggono ataupun Sang Adipati. Setelah Sultan D emak meneruskan usahan ya untuk mengu asai

Jawa, kepercayaan orang padanya jatuh, dan pembebasan Malaka bukan saja tinggal jadi impian di langit biru, malah telah jadi lelucon yang m engibakan.

W iranggaleng mengh argai perasaan mereka. Ia tak mem punyai kekuatan atau hak apa pun untuk mencegah kemerosotan.

Kegiatan ketentaraan tinggal hanya kesibukan pertahanan. Menyerang mereka sudah tidak lagi. Lagi pula Portugis tidak lagi meronda keluar perbatasan kota Malaka. Suatu gencatan senjata berjalan dengan diam-diam tanpa persetujuan tanpa perjanjian.

D an semua itu mem bikin hati W iranggaleng menjadi lengan g, la tak melihat adanya hari depan yang lebih baik daripada masakini, baik untuk negerinya sendiri mau pun untuk diri sendiri. Tak ada tanda-tanda kebesaran dan kejayaan yang bisa dipanggil dari guagarba haridepan. Haridepan itu sendiri tidak ada. Yang ada hanya kekoson gan yang m enganga, bolong dan melom pong.

D alam salah satu pertemuan malah ia pernah dengar kata-kata ini: “Senapatiku, apa sesungguhnya yang kita

kehendaki? Toh bukan kematian yang percuma?”

D emikianlah ia berjalan dari gubuk ke gubuk, dari kamp ung ke kamp ung. Di mana-man a pisang dalam pertum buhan, dan pohon-pohon buah, dan pohon-pohon turi sepanjang jalan baru, kecil sempit dan belum lurus.

Luas daerah pertanian itu kini menjadi berlipat ganda, dan setiap bekas prajurit memiliki jauh lebih luas daripada penduduk asli. Beberapa orang malah mu lai membuka kebun kelapa, cengkeh dan barus.

Kelengan gan di dalam hati itu mencop oti kekuatannya untuk berprakarsa. Jiwanya lunglai menggapai-gapai. Setiap Kelengan gan di dalam hati itu mencop oti kekuatannya untuk berprakarsa. Jiwanya lunglai menggapai-gapai. Setiap

D engan seorang istri orang sudah bertekad menetap di Semenanjung ini, pikirnya. Mereka telah mendapatkan segala-galanya dalam hidupnya: Istri, rum ah, ladang, anak, kedamaian, penghidupan, tanpa gangguan seorang raja atau sultan. Tanah di sini lebih subur daripada Tuban, D emak atau pun Jepara. Air m encukupi. Dan raja-raja di Jawa sana hanya sibuk cari kebesaran dan kekayaan dan melepas nafsu sendiri. Ya, mereka berhak berpihak pada hidup dan dirinya sendiri.

Ia berjalan terus ke daerah yang jalan-jalannya belum lagi teratur, mem asuki kamp ung-kampu ng yang lebih baru.

D an setiap keluarga me nyam butnya dengan ramah. Itulah satu-satunya penghibur dirinya. Dari seoran g Senapati dan

Panglim a pasukan gabungan ia berubah jadi seorang tetua bagi mereka. D an apa lagi yang ia bisa perbuat kalau sudah ada tam bahan bayi sebagai tambah an warganya? Bayi kelahiran Semenanjung? Tak mengenal Tuban dan Jawa?

Mem ang tak ada yang diperbuatnya. Kemerosotan keprajuritan m e luncur terus menuju ke titik terdalam.

Pada suatu sore ia memasuki kampung penduduk asli. Seorang wanita berlutut di hadapannya, menyembah dan

menan gis: “Hang Wira, ampunilah sahaya, tolonglah sahaya.”

Kemu dian datang juga suaminya, berdiri angkuh mem egangi hulu parang dan menatapnya dengan pandangan mengancam. Tak lama kemudian seluruh Kemu dian datang juga suaminya, berdiri angkuh mem egangi hulu parang dan menatapnya dengan pandangan mengancam. Tak lama kemudian seluruh

“Apa aku bisa tolongkan. Perempuan?” “Anak sahaya, Hang W ira, seorang Tuban telah

menculiknya, anak perawan sahaya. Kembalikan dia pada sahaya.”

“Kalian datang ke mari memang hanya mau bikin rusuh!” terdengar suara parau suaminya yang masih juga mem egangi hulu parang. “Kembalikan anakku!”

“Anakmu akan dikawini dengan baik-baik, perempuan. Bukankah semua pernah dengar sudah tiga orang prajurit

Tuban dijatuhi hukum an m ati karena perkosaan?” “Kembalikan anakku!” suara parau suaminya semakin

mengancam. “Tak bisa kami diperlakukan begini lebih lama. ”

“Hai, Perempuan, anak itu anakm u atau kah anak lelaki ini?”

“Anak sahaya sendiri.” “Maksudm u orang ini bapak-tirinya?”

“Betul, Hang W ira.” “Baik. Anakmu akan dikawini baik-baik. Kau akan

mendapatkan menan tu yang baik. Apakah lamarannya pernah kau tolak?”

“Suam i sahaya yang menolaknya, Hang wira.” “Anak itu kubesarkan sejak kecil,” gum am sang suami

sambil mengh ampiri Wiranggaleng, “patutkah menerima pinangan seorang petualang? Kembalikan dia, atau kami akan perangi semu a petualang T uban di sini.”

Ru bungan orang itu bubar melihat perkelahian akan terjadi.

“Jangan, Bang, jangan,” tegah perempuan itu pada suam inya sambil mem egangi tangan nya. Tetapi lelaki itu mengenaskannya sehingga ia jatuh terpelanting dan masih tetap menegah: “Jangan, jangan!” melihat suaminya mu lai menarik parang.

W iranggaleng melangkah ke samping dan menegah: “Jangan. Lagi pula anak itu bukan anakm u. Mengapa kau yang m arah; sedang berhak tidak?”

D an lelaki itu menjawab dengan ayunan parang, mem ekik: “Rasakan paran g Semenanjung!”

W iranggaleng melompat dan melom pat. D an lelaki itu menyerang dan menyerang. Para perubung bubar. Pada suatu kesempatan Senapati dap at menyam bar poton gan bambu untuk penangkis. D an bunyi parang beradu dengan bambu itu mendebarkan oran g yang menyaksikan.

“Jangan, Bang, jangaaaan,” teriak istrinya. “Sudah, sudah cukup!” tegah Hang W ira.

Lelaki itu sudah menjadi kalap. Sinar keputihan telah mem ancar dan pandan gannya, sehingga bola-bola matanya nam pak seperti terbalik

Melihat itu W iranggaleng mu lai mem ekik menyerang dengan bambunya. Pada suatu kesempatan ia seramp ang

kaki lawannya sehingga terpekik dan terpincang-pincang mengendorkan serangan. N amu n ia m asih juga m enyeran g.

D engan hantaman luarbiasa keras Hang W ira menyeram pang kakinya yang lain. Sekali lagi orang itu terpekik dan jatuh terduduk kemudian mengerang-ngerang. Matanya melotot gusar.

“Bukan maksudku hendak menganiaya,” kata Hang W ira. Ia tinggal berdiri menunggui lelaki itu kalau-kalau masih hendak menyerang juga.

Lelaki itu telah kehilangan gairah. D an ia tetap juga dud uk meraba-raba tulang-keringnya. Mu lurnya berkom at- kamit dan meringis. Tiba-tiba dengan gerak cepat ia lemp arkan paran g pada W iranggaleng, menyerempet pada betis, jatuh m enancap ke tanah.

Hang Wira melihat pada betisnya. Serempetan itu tidak melukai, karena bukan mata parang yang telah m engenai.

Kembali orang datan g merubung. Istrinya mencabut parang itu dari tanah dan menyerahkan pada orang lain.

Kemu dian ia m enolong suaminya berdiri dan memapahnya masuk ke rum ah.

Juga W iranggaleng ikut m asuk. Ia duduk diam-diam. “Tidak. Kaki itu tidak aku patah kan. Perempuan, biarlah

aku pergi mencari menan tum u itu. D an kalian, penduduk kamp ung, jangan lah mencari-cari sengketa. Kami tak pernah bikin percederaan dengan kalian. Kalau ada anakbuah ku yang tidak senonoh, dan di antara kalian pun ada yang demikian, janganlah dijadikan sengketa. Biar kita urus bersama semua dengan baik. Anak-buahku bukan hanya sekedar teman dan tetangga; mereka telah mu lai jadi saudara dan kerabat kalian sendiri. Assalam u….”

Ia keluar dari rumah, berjalan m urung pulang ke markas, la sangat menyesal. Bukan jadi keinginannya untuk berkelahi dengan penduduk. Ia datang untuk mengu sir Peranggi. Yang diusir tetap berdiri di tempatnya. D an perm usuhan dari pendud uk adalah satu kutukan. Ia harus dap at mengelakkan. Kalau sekali mereka bersekutu dengan Peranggi…

D an ia mengakui, persoalan wanita mem ang jadi masalah gawat sekalipun wajar. Beberapa orang anakbuah nya ada yang telah mem bikin perahu dan hanya untuk mem bajak wanita di kamp ung-kamp ung nelayan untuk diperistri dan untuk bisa menetap di Semenan jung. Lebih enam ratus lelaki! D an lelaki m emang dilahirkan oleh wanita. Ia pun diperuntukkan wanita! Tak perlu ia menduga akan mengh adapi masalah ini la datang untuk berperang. D an kini semua telah berkisar menjurus ke arah yang sam a sekali berlainan.

Ia berhenti waktu m endengar jerit seorang bayi. “Kelahiran baru,” ia mem belok ke sebuah pond ok,

menjenguk ke dalam. “Lelaki!” seseorang terdengar berseru girang. W iranggaleng berjalan terus. Kelahiran baru. Anak itu

tidak tahu negeri nenek-moyangnya. Bila sudah besar, mu ngkin Portugis bukan mu suh dan bukan persoalannya. Bukankah orangtuanya sendiri sudah mem unggungi persoalan itu karena kekecewaan pada raja-rajanya sendiri?

Ia menarik nafas panjang, mem enuhi paru-paru nya dengan udara malam yang segar.

Ya, aku telah dibebaskan dari tugasku. Keadaan yang telah membebaskan aku….

Sesampainya di markas ia dapatkan Pada sedang duduk bersama seorang wanita mu da cantik, berm ata bulat dengan

bulu mata panjang. D ua-duanya sudah nampak lelah dan mengantuk, tetapi bertekad m enunggu sam pai ia datang.

W aktu ia mendekat mereka tak menyedari sedang tertarik ke alam mimpi, la mendeham dan mereka mem buka mata.

“Kau datang, Pada,” tegur H ang W ira. Pada melompat berdiri dan merangkulnya. Ia menan gis

gembira, ter-hisak-hisak seperti anak kecil. Sabarini mengangkat sembah dari tempatnya dan mem perhatikan dua orang lelaki yang berangkulan seperti bocah itu.

“Ampuni aku bila terlalu lama.” “Sudah tak ada bedanya lam a atau tidak. Pada. Kau baik

dan selamat. Itu sudah cukup.” “Banyak yang hendak kusampaikan. Kang. Antaranya

seorang ipar untukmu. Sini, Sabarini, inilah Kang G aleng, abangku. ”

Hang W ira tertawa senang melihat Sabarini yang menundu k dan mengangkat sembah: “Anak dari m ana kau, Upik?” tanyanya dalam jawa.

“Bukan jawa, Kang. ” “Aceh? Jambi, Minang?” “Sunda, ” jawab Sabarini dengan suaranya yang

menyanyi. W iranggaleng mengangkat tangan mem berikan restu.

Pada dan Sabarini berlutut. Panglima dari pasukan gabungan lola itu meletakkan tangan sabelah pada tiap kepala: “Syukur pada Hyang Widhi, restu untuk kalian, semoga kekallah perkawinan ini dan dikaruniai kebahagiaan lumintu dan anak-anak yang sehat, dilimpahi

hendaknya dengan kehidupan yang terang dan gilang- gemilang. Berdirilah kalian.”

Mereka berdua berdiri dan masih menyembah dad a dan menundu k.

“Pada, bawalah istrimu beristirahat. ”

Mereka berdua bergerak meninggalkannya. D ari sinar lampu Senapati itu melihat kilau airmata bahagia mereka berdua.

“Ya, berbahagialah kalian.” la

kenangan pada perkawinannya yang gilang-gemilang dulu. Ia tersenyum sunyi. Tak ada duanya perkawinan besar semacam itu, penuh keagungan dan kejayaan. Seluruh kota ikut merayakan. Ia dianggap sebagai Kamajaya dan Idayu sebagai Kamaratih. Kemu dian tand unya jatuh. Sebagai pengantin ia dan

segera tenggelam

dalam

istrinya terjerembab di tanah. Terjerembab! Mu ngkin perlambang kejatuh annya selam a

irii. Tahyul! pekiknya menolak gagasan tentang perlambang itu. Tahyul! Kegagalan hanya buah usaha yang mem ang gagal. Barangsiapa tak pernah berusaha dia pun takkan pernah gagal.

Kegagalan yang berisikan penyesalan – banyak penyesalan. Sang Patih Tuban telah tewas karena tangan dan kerisnya. Orang sebaik itu, sebijaksana ini! seorang majikan dan seorang guru sekaligu s! D an kiai di G resik itu – banyak nam anya pun ia tak tahu. D an D anu – santri terpandai itu. Tiga orang yang telah tewas karena tangannya – dan tidak karena perang!

Ia tinggalkan markas dan memasuki malam. Selama pelayarannya dari Panjang ke Semenanjung

mem antai pesisir timur Sum atra Pada telah berpikir keras untuk dapat memahami perkembangan di Jawa. D an ternyata tak semudah itu ia dap at mengikuti kejadian- kejadian yang simp ang siur seperti benang kacau itu.

Ratu Aisah – mengapa wanita tua itu berkunci diri di dalam rumah? Mengapa ia menyerahkan bingkisan bekas Adip ati Unus? Liem Mo Han mengapa pula dibunuh oleh Ratu Aisah – mengapa wanita tua itu berkunci diri di dalam rumah? Mengapa ia menyerahkan bingkisan bekas Adip ati Unus? Liem Mo Han mengapa pula dibunuh oleh

Ia tak dapat m enjawab.

G erakan Trenggon o ke jurusan timur dan barat D emak, penaklukan atas kabupaten tetangga, penaklukan atas Banten, Sunda Kelapa dan Cimanuk – semua pelabuhan penting. Sekarang Cirebon diancam pula. Apakah Trenggo no sudah bertekad menguasai semua bandar di Jawa sebagai kerajaan yang pada mu lanya tak punya bandar? Adakah hanya Tuban mendapatkan bandar Jepara maka Trenggono bernafsu m enggagahi banyak bandar lain?

D an mengapa lawan-lawan Sultan D emak tak ada yang mampu menah an gelom bang balatentaranya? Mengapa pula Tuban yang beratus tahu n jadi andal-an dal Majapahit dap at ditangannya, bahkan telah terjam ah ibukotanya? L agi pula apa sebabnya balatentara Tuban mencoba terus mengh alau mu suhnya sekalipun Sang Adipati telah mangkat. D an mengapa pula Peranggi langsung masuk ke Tuban setelah kegagalannya di Sunda Kelapa? Seakan-akan semua itu berputar untuk keuntungan Peranggi?

D an di Jayakarta dan Banten untuk kedua kalinya Fathillah menyatakan dua bandar itu jadi bandar bebas.

D an mengapa armada Jepara-D emak mengakhiri blokadenya? D an mengapa balatentara arm ada itu tak meneruskan penusukannya lebih jauh ke pedalaman? D an mengapa bukan Banten dan Jayakarta sebagai bandar bebas dengan sekali pukul telah m ematikan bandar Panjang?

Benang yang kacau itu semakin kacau. Yang paling memu singkannya adalah: Mengapa

Trenggo no menyia-n yiakan kekhalifahan ayahand anya Trenggo no menyia-n yiakan kekhalifahan ayahand anya

Mengapa justru Wiran ggaleng yang harus mengu sahakan pembebasan Malaka dengan sekutu-sekutu yang ditarik kembali dan yang tidak ada? Mengapa ia mendapatkan armada yang bukan kapal negeri, hanya jung? Mengapa tidak boleh diperlengkapi dengan meriam Peranggi? Bahkan tak boleh dengan cetbang? D an bukankah W iranggaleng itu sendiri yang telah merampas senjata am puh itu. D an m engapa Senapati yang paling berjasa pada Tuban itu justru diusir dari Tuban? D an mengapa ia sekarang harus mendudu ki jabatan sebagai panglima pula?

D alam pelayaran kembali ke Malaka ia menjadi kurus dan nampak lebih jangkung daripada sesungguhnya.

Ia tak mamp u keluar dari teka-teki pulau Jawa. Lebih mem usingkan baginya adalah masalah Tuban. Untuk siapa balatentara Tuban berkelahi mati-matian melawan D emak?

D an m engapa Tuban begitu mudah dimasuki Portugis? Benar-benar ia tak mampu menyusun sangkut-paut

peristiwa yang susul-m enyusul begitu cepat. Ia merasa diri semakin jadi bodoh. Mu ngkin, pikirnya mem aafkan diri sendiri, karena sedang dalam suasana pengantin baru maka diri menjadi bebal.

W aktu mem asuki Pati ternyata tak ada gangguan dari pihak Portugis. Mereka mem ang nampak kasar dan tidak tahu adat, tetapi tak selembar pun baran g-barangnya mereka rampas, apalagi perahu layarnya.

Juga perahu-p erahu lain tiada mengalami sesuatu kesulitan. Beberapa keranjang lada yang dibongkarnya segera dibeli oleh Peranggi dengan uang perak. D an ia tak melihat adanya permusuhan tertuju padanya.

Ia pun dapat meninggalkan bandar tanpa dicurigai. Semua itu menambahi masalah dalam pikirannya.

Mengapa Peranggi-Peranggi itu namp ak begitu damai? D an jaran g di antara mereka mem bawa senjata? D an mengapa di Tuban justru sebaliknya?

W aktu berjalan memikul beban menuju ke markas W iranggaleng sedang istrinya menggendong pada punggung, sampailah ia pada puncak kegugupannya. Ia takan mampu menyusun laporan untuk panglim anya. D an ia merasa akan menderita aib sekiran ya Wiranggaleng menuduh nya hanya mengurusi soal bini semata dan tidak melakukan tugasnya. Maka sambutan Hang Wira yang ram ah dan

tidak menuding, bahkan merestui perkawinannya, melenyapkan seluruh kerisauannya.

G aleng yang lama itu tampil lagi dalam hatinya sebagai seorang abang yang pemurah dan bijaksana.

berniat hendak menyam paikan berita-berita sebagaimana adan ya. T ernyata ia tidak mampu menyusunnya.

Keesokan harinya

ia

telah

Ia temui Hang Wira sedang duduk bertopang dagu di sebuah bangku kebun di belakang markas. N ampaknya Panglim a sedang berpikir keras. Matanya suram.

Pelahan -pelahan ia duduk di dekatnya. D an di luar dugaann ya ternyata ia ditegur lebih dah ulu dengan suara

lunak: “Coba ceritakan bagaimana kau mendapatkan istrimu,” ia tersenyum.

Ketegangan Pada hilang sam a sekali Mereka berdua tertawa-tawa dan berseri dan menyebut-

nyebut dan bertepuk-tepuk kegiran gan seperti dua orang bocah yang belum mengenal dun ia di sebuah dusun terpencil, aman dan dam ai.

“Jadi kau sudah tahu rasanya jadi pangeran.” “Mu ngkin begitu juga rasan ya anak-an ak dewa di atas

dun ia ini, Kang.” “D i mana kau peroleh peralatan badut itu. Dan Pada tak

menduga dengan begitu m udah ia m endapatkan jalan untuk menyam paikan segala yang telah dilihat dan didengarnya sendiri di Tuban, Lao Sam, Jepara, Pajajaran, Sunda Kelapa dan Panjan g, malah juga di Pasai. Pengalam annya dengan Coa Mie An dan cucu Ratu Aisah. D an: “Seminggu tepat aku dud uk di depan pendopo dalam terik matan dengan kekuatiran amat sangat kalau-kalau tentara D emak menyergap aku. Satu minggu penuh, Kang. Hanya seorang gadis kecil menyam paikan sebuah bungkusan. Aku tahu bungkusan itu untuk Kang G aleng. Ampunilah aku karena telah kukenakan untuk mendapatkan sedikit kesenangan sebagai pangeran. Nanti sore akan kuserahkan bungkusan itu. Hanya saja kasut n ya tertinggal di rumah kepala desa Baleugbag, desa Sabarini, istriku.”

“Semua ketakutan dan kelelahan mu telah ditebus. Kau telah mendapatkan seorang istri yang tiada duanya. Belum

pernah aku dengar suara yang begitu bening dan indah dan menarik seakan hanya keluar dari mu lut bidadari, bukan manusia.”

“Kau melebih-lebihkan, Kang.” “Tidak melebih-lebihkan. Kau saja yang pura-pura

dun gu. Ayoh, teruskan ceritamu.” Pada m eneruskan ceritanya tentang jatuhnya Banten dan

Sunda Kelapa ke tangan D emak. Bahwa Sunda Kelapa telah diubah jadi Jayakarta. Bahwa Cimanuk kemudian juga diseibu oleh arm ada Jepara-D emak. D an setelah itu arm ada bergerak dengan bantuan tenaga setemp at mendudu ki Cirebon.

W iranggaleng diam term enung mendengar bagaimana Fathillah mengh alau Portugis dan kapal-kapalnya. D an arm ada itu meninggalkan Sunda Kelapa tanpa melepaskan sebutir pun peluru meriam. “Apakah kau tidak keliru. Pada?”

‘Tidak. Portugis tidak menem bak. Mereka terus berlayar ke timu r, terus ke timur.”

“D an m emasuki Tuban.” “Ya, dan mem asuki Tuban.” “Mu ngkin mereka hendak selam atkan pelurunya untuk

Tuban.” Hang Wira menerangkan. “Mu ngkin karena itu mereka dap at m enusuk Tuban dengan mudah. Jadi kau tak

dap at menem ui Kala Cuwil?” ‘Tidak, Kang. Semua usaha gagal. Satu yang belum aku

ceritakan: Sang Adipati mangkat waktu D emak masuk.” W iranggaleng

seperti

tersengat kalajengking.

D ip andan ginya tajam-tajam akan Pada tanpa bertanya. Melihat airmu ka Pada tidak berubah, ia berbalik dan berjalan tanpa m enoleh.

Pada yang m asih juga dudu k menunggu akhirnya berdiri juga dan mencarinya. D idap atinya Senapati sedang berdiri merenungi saluran yang berair bening. Tangan kanannya bertahan pada sebatang kayu. “Kau telah terbebas dari sum pah. Kang.”

“Apakah hanya itu saja yang penting?” “Mem ang tidak. Ada yang lebih penting: balatentara

Tuban berperang tanpa raja. Untuk siapa mereka berperang?”

“Itulah, Pada… itulah satu masa di mana raja lama m ati, raja baru tidak ada. D an tak ada anak desa tampil marak “Itulah, Pada… itulah satu masa di mana raja lama m ati, raja baru tidak ada. D an tak ada anak desa tampil marak

“Kau sudah terlalu sering menceritakann ya: Ken Arok Rajasanagara.”

“Betul, Pada. D an jaman itu takkan berulang. Tuban tidak m elahirkan Ken Arok. Kala Cu wil sesungguhnya bisa marak, atau Banteng W areng. Mereka takkan bakal ada keberanian untuk itu Mereka mem ang lain dari Ken Arok.

D ia muncul berlandaskan perjuangan untuk keadilan. Kepala-kepala pasukan Tuban tidak. Mereka berlandaskan

gengsi ketentaraan semata.” Mereka berdua terdiam,

masing-masing sedang mengerahkan otak untuk membuat penilaian. D an m emang mereka yakin Kala Cu wil dan Banteng W areng tak ada keberanian untuk itu. Sekiranya ada boleh jadi wajah tanah Jawa akan berubah.

“Kang,” tiba-tiba Pada mengganggu, “kau sendiri sebenarnya bisa, Kang’

“Husy. Kau masih juga tidak m engerti G aleng ini” “Kau sudah begitu berpengalaman, semua orang

mengenal dan m engasihi kau, Kang. Kau bisa, Kang.” “Kau keliru.” “Aku tidak keliru, Kang. Kau begitu senang bercerita

tentang memanggil kejayaan dan kebesaran pada guagarba haridepan….”

“Bukan untukku, Pada. Bodohn ya kau jadi petani tanpa tidak lebih dari Idayu, hanya menginginkan jadi petani tanp a gangguan siapa pun. Tanpa gangguan siapa pun… itulah yang justru mem bikin aku menyasar-nyasar begini, “Bukan untukku, Pada. Bodohn ya kau jadi petani tanpa tidak lebih dari Idayu, hanya menginginkan jadi petani tanp a gangguan siapa pun. Tanpa gangguan siapa pun… itulah yang justru mem bikin aku menyasar-nyasar begini,

“Aah, adikku Sabarini,” tegur Senapati dalam bahasa Melayu. “Aku senang mendapatkan seorang saudari seperti engkau. Jangan kau menyesal datang ke tempat ini: hutan semata, tanpa sawah, tanpa ladang yang bagus dan tanpa kebun yang indah seperti di negerimu.”

“Sahaya akan tetap senang selam a tidak ditinggalkan oleh suam i sahaya,” jawab Sabarini dengan suaran ya yang menyanyi.

“N ah, kau dengar sendiri itu, Pada.” “Ya, Kang G aleng. Selama aku tak mengabdi pada

seorang raja takkan dia bakal kutinggalkan.” “Kau benar, Pada. Kau benar. Lihat Sabarini, suamimu

ini. D ia sudah jenuh jadi abdi raja, apalagi raja itu begitu besar kuasanya sehingga tak perlu berpikir lagi, dun gu seperti kerbau dan bebal seperti bebek. Hanya celaka sajalah yang menimpa diri. Kau dengar sendiri, Sabarini, selam a dia tak mengabdi pada seorang raja, kau akan selalu dap at mengikutinya, dan dia takkan meninggalkan kau, baran gkali juga dialah yang mengikuti kau.”

Sabarini malu kemerah-merahan dan mencibirkan bibir. W iranggaleng tersenyum senang melihatnya dan berseru:

“Lihat Pada, istrimu itu. Pantas kau tergila-gila padan ya. Aku tak salahkan kau.”

‘Tidak bisa, Kang,” bantah Pada, “dialah yang tergila- gila padaku.”

“Benar, Sabarini?”

D an Sabarini lari tersipu m eninggalkan mereka.

“Jangan kau sia-siakan dia, Pada, kau! Kau bekas kutu harem! Anak itu sangat baik untukmu . D ia adalah laksana bunga yang kembang pada waktunya. Selama kau rukun dengan dia, kau akan tetap berbahagia. Begitu kau bertingkah dan balik jadi kutu seperti dulu, selesailah riwayatmu.”‘

“Mengapa begitu, Kang?” “Ah, yang kau ketahui tentang selir saja. Itulah salahmu.

Perhatikan dia baik-baik, resapkan dan nilai setepatnya tingkah-lakunya dan kecantikannya. D engan mata tertutup aku akan dap at m engetahui dari suaranya saja, dia seorang wanita pilihan, khusus disediakan untukmu.”

“Kang.” “Apalagi kau bertaubat.” “Sudah lam a aku bertaubat. ” “Mari makan.”

D alam berjalan kembali Wiran ggaleng tenggelam dalam pikiran nya. Bagin ya pun Tuban merupakan teka-teki. Atau baran gkali datangnya waktu inilah yang dimaksudkan oleh Rama Cluring? D atangnya mem anggil kejayaan dan kebesaran itu?

Rama Cluring keliru. Dua-duanya tak dapat dipan ggil datang ke Tuban. Kuncinya tetap: Semenanjung. Apalah arti Tuban tanpa Malaka? Tuban adalah negeri kelahiran nya yang tertinggalkan oleh jalan laut dan perdagangan rempah-rempah. Rama Cluring keliru. Untuk mengu asai kembali jalan laut dan perdagangan Malaka harus dibebaskan. D an Malaka tak dapat dibebaskan karena kurangnya persatuan antara raja-raja bandar. Atau harus timbul Majapahit kedua yang sama sekali mengu asai Malaka. D an itu tidak mu ngkin. Untuk menguasai seluruh

Jawa pun sampai seumur hidupnya orang takkan berhasil. Harus ada senjata baru yang lebih ampuh dari cetbang, baru orang berhasil. D an cetbang pun sekarang telah dikalahkan oleh meriam. Senjata itu harus lebih am puh dari meriam.

“Bagaimana, Kang?” ”Ayoh makan.”

D an malam itu Senapati Tuban berjalan ke ladang untuk bicara-bicara dengan para penjaga babi hutan. Ia mu lai menyalakan api unggun, tetapi para penjaga belum juga datang. Yang datang justru Pada mem bawa bungkusan.

“Mengapa kau tinggalkan istrim u?” “Sudah

Bukankah aku boleh meninggalkannya?”

tidur.

Kang.

“Kau meninggalkan seorang pengantin seorang diri. Itu tidak patut Apa kau bawa itu?”

“Sengaja aku tahan para penjaga babi di sana, biar dapat kusam paikan padam u bingkisan ini: dari G usti Ratu Aisah.”

”Hm m. Pakaian pangeran itukah, yang menyebabkan kau m endapatkan Sabarini?”

“Benar. Hanya saja kasutnya hilang sebagaimana pernah aku ceritakan,” ia mulai mem bongkarnya.

Yang pertama keluar adalah kain batik bergam bar kupu- tarung. Seperti kena kejang W iranggaleng mencengkam

kain itu kemudian meletakkan pada dadanya: “Aku pernah melihat bendera dengan lambang ini. Adipati Unus Jepara. Pulang m embawa luka dan kekalahan dan M alaka. Seorang aulia!” Ia tutupkan kain itu pada wajahnya. Ia tenang untuk mengu asai perasaannya sendiri, kemudian, “D ahulu aku mencurigainya, tidak mem percayainya. Hampir lima belas kain itu kemudian meletakkan pada dadanya: “Aku pernah melihat bendera dengan lambang ini. Adipati Unus Jepara. Pulang m embawa luka dan kekalahan dan M alaka. Seorang aulia!” Ia tutupkan kain itu pada wajahnya. Ia tenang untuk mengu asai perasaannya sendiri, kemudian, “D ahulu aku mencurigainya, tidak mem percayainya. Hampir lima belas

“Semua itu sudah lewat sekarang, kang.” “Lewat saja tiada mengapa, Pada, tetapi lewat dengan

segala ketidakberesan begini.” “Kang G aleng, Raden Ajeng cilik yang menyerahkan

bingkisan padaku itu menyampaikan pesan G usti Ratu Aisah, bingkisan ini untuk siapa saja yang mampu mengenakan nya, Kang. Kaulah itu yang mampu. Tak ada orang lain. Kala Cuwil tidak, Banteng W areng pun tidak. Hanya kau. Kaulah Ken Arok kedua. Kang.”

W iranggaleng masih tenggelam dalam emosinya, pada masa lalu dan pada cita-cita Adipati Unus.

“Bungkus kembali!” katanya pelahan dan parau. la berjalan dan hilang di dalam kegelapan . Mohamm ad

Firm an mencoba mengikutinya dari belakang dan menem ukannya sedang berdiri di bawah sebatan g pohon dengan dua belah tangan dan kening pada batang itu.

“Aku tahu kau sedang berdukacita, Kang.” ‘Temani istrimu. Pada.” “Bagaimanakah aku dap at meringankan dukaritamu.

Kang.” “Pergilah kau, jangan ganggu aku.” “Aku akan tetap di belakang. Kang.”

“Pergilah kau. Pada, ” ia diam sebentar. “Aku katakan sudah untuk kedua katinya.”

“Untuk kedua kalinya aku bilang, aku tetap di belakangm u, Kang. Katakan semua padaku. Aku tahu kau kalah untuk kedua katinya untuk merebut Malaka. Semua orang tahu. Katakanlah, curahkan semua dukacitamu, Kang.”

Lam a W iranggaleng tak bicara. Kemudian mu lai ia bicara, lambat; berat, sepatah-sepatah: “Hampir-hampir aku tak dapat menah an perasaanku, Pada. Aku hanya si anak desa yang tersasar ke tempat Yang bukan tujuannya. Ham pir lim a belas tahu n yang lalu semestinya Peranggi telah terusir dari sini. Sekarang mereka lebih kuat. Kita lebih lemah, Pada. Tak ada nama yang begitu terbenci dalam hidupku kecuali yang satu itu: Trenggono, Sultan

D emak. Ia telah jerum uskan Jawa dalam peperangan melawan yang bukan mu suh, dan mem biarkan mu suh semakin kuat begini. Ia telah perham ba oran g-orang serum ah sendiri sedang di luarnya orang telah merampas dan menguasai sumber kehidup an.”

“Ya, Kang, kemenangan di Sunda Kelapa mem ang tanp a makna, kecuali untuk Fathillah pribadi.”

“Semua kemenangan atas Peranggi tanpa mereka terusir dari Malaka hanya omo ng koson g, Pada.”

“Betul, Kang, hanya omon g kosong.” “D an bagiku Jayakartanya Fathillah adalah nam a untuk

jaman kemerosotan ini.” “Ya, Kang untu k jaman kemerosotan ini.” “Rasanya tidaklah akan begitu sakit sekiranya pasukan

gabungan kita tidak menjadi lola. Lola pun tidak seberapa kalau D emak tak mem ukul semangat kita. D itariknya gabungan kita tidak menjadi lola. Lola pun tidak seberapa kalau D emak tak mem ukul semangat kita. D itariknya

“Ya, Kang, keadaan sudah jadi begini.” “Pasukan gabungan ini tak bisa digerakkan lagi untuk

menyerang. D an menyerang apa? Untuk apa? Mengabdi pada apa aku ini? Pada diriku sendiri pun tidak. Padahal tak banyak yang kupinta dalam hidup ini. Barangkali sama dengan kau: pengabdian pada haridepan barangkali. Haridepan tidak terbina, yang didapat musuh, mu suh di mana-mana. Kehidupan macam apa ini?”

“Ya, Kang, manusia hanya bisa mengu sahakan. Allah juga yang menentukan. Terserahlah semua kepadaN ya.”

“Hiburan semacam itu aku tak butuhkan. Pada. Mu rid- mu ridm u mu ngkin mem erlukan lebih dari dirimu sendiri. Bagiku lain. Bagimu aku seorang kafir, dan aku senang dalam kekafiran ku. Aku tak mem butuhkan kata-kata hiburan,” suaranya menjadi bersungguh-sungguh disarati oleh pergulatan batin, “biarlah hati ini patah karena sarat dengan beban, dan biarlah dia m eledak karena ketegangan. Pada akhirnya perbuatan manusia menentukan, yang mengawali dan mengakhiri. Bagiku kata-kata hiburan hanya sekedar mem basuh kaki, sebagaimana Sabarini mem basuh kakimu . Mem ang menyegarkan, tapi tiada arti. Jangan kau marah, Pada. Ambillah kata-kata hiburan untukm u sendiri. Aku tidak memerlukan. Barangkali pada titik inilah kita berpisah.”

Ia berjalan lagi m emasuki kegelapan dan hilang. Pada sangat kecewa dengan jawaban yang tak diduga-

duganya Ia tahu sahabatn ya dihembalang oleh kekecewaan dan dukacita. Ia menginginkan sesuatu yang berada di luar kekuasaan nya, di luar kekuatannya. D an itulah kekecewaan dan dukacita itu sendiri.

Tak ada yang dapat diperbuat Pada kecuali berdoa pada Tuhan nya, mem ohonkan ampun dan taufik-hidayat untuk si kafir sahabatn ya yang keras kepala itu. Kemu dian ia pulang ke markas membawa bungkusan.

0o-d w-o0

Panglim a itu sedang menem ui pemimpin kesatuan Bugis- Makasar di pondo knya.

Pembicaraan adalah sekitar kemerosotan semangat yang terus-menerus dan tiada terkendalikan. juga pemimpin itu merasa tak dapat berbuat sesuatu. Semua dikembalikannya pada Wiranggaleng.

Berdasarkan kenyataan itu mereka berdua mem utuskan untuk mem buat pertemu an bersama: pada minggu mendatan g.

Pada siang hari ia pulang ke markas dalam keadaan tenang seperti dah ulu. Tapi Pada dapat melihat bagaimana hatinya menggeletar, karena si kafir itu enggan menyerahkan kesulitannya pada Yang M aha Kuasa. D an ia telah jarang berkhotbah di hadapannya.

“Kau suka tinggal di Seman anjung sini, Sabarini?” tiba- tiba ia bertanya.

“Kalau Kang Pada suka, sahaya pun demikian.” “Jangan dengan sahay a-sahayaan,” ia melirik pada

Pada, “nampaknya suamimu suka tinggal di sini. Itu baik, baik, selam a orang sudah mulai berdamai dengan tempat tinggalnya yang baru,” ia tak bicara lagi dan pergi.

D alam pertemuan seminggu kemudian ia menyatakan, pasukan gabungan Tuban-Bugis-Makasar dalam keadaan lola tanp a batas-Barang-siapa akan pulang kembali ke D alam pertemuan seminggu kemudian ia menyatakan, pasukan gabungan Tuban-Bugis-Makasar dalam keadaan lola tanp a batas-Barang-siapa akan pulang kembali ke

”N egeriku, Tuban, sekarang diduduki oleh Peranggi. Jadilah Itu bagiku panggilan untuk kembali mengh adapi

mereka di sana, karena Tuban negeriku. Aku tak mem aksa kalian ikut. Hanya mereka yang ikut serta kembali dengan ku untuk mengu sir Peranggi akan kuterima dengan segala senang bati.”

Hanya dua puluh lim a oran g yang menyatakan hendak kembali. “Aku meninggalkan Tuban mem bawa lim a ratus orang dan akan kembali dengan hanya dua puluh lim a. Adip ati Unus telah gagal. Beberapa belas tahu n kemudian juga W iran ggaleng gagal. Karena kegagalan ini disebabkan oleh Trenggo no, kalau kalian menyetujui, sebelum keberangkatanku, nam ailah daerah tinggal kalian ini dengan nama itu pula: Trenggono.”

Pada hari yang telah ditentukan, Wiranggaleng bersama dengan dua puluh lima orang pengikutnya diiringkan beram ai-ramai ke pantai.

“Janganlah gusar kalau aku mem ilih tinggal di sini. Kang

G aleng.” “Kau berhak, Pada.” “Bagiku Jawa hanya tum pukan kekacauan yang tiada

habis-habisnya.”

“Selama Malaka, Selat ini, berada di tangan mereka. Pada, selama itu Jawa akan tetap kacau.”

“N am paknya mereka akan tetap mengu asainya, Kang ” “Kita tidak tahu apa bakal jadinya. Jangan kau

kecewakan Sabarini D an kau, Sabarini, aku masih ingin melihat anakmu lagalah kesehatanm u. Kirim kan anakmu kelak ke Jawa. Bagaimanapun dia masih punya leluhur.”

0odwo0