Setitik Busa di Samudera Kehidupan

41. Setitik Busa di Samudera Kehidupan

Kuda itu berpacu keluar dari hutan, memasuki padang alang-alang, memasuki hutan lagi, berpacu dan berpacu. Pada suatu padan g rumput barulah berhenti. G elar turun dan membiarkan Sultan merumput Ia sendiri duduk di tepian padang, makan rebus jagung muda.

Selama enam belas tahu n benih jagung yang dibawa Syahbandar Tuban ke Jawa telah menyebar ke seluruh

pulau Jawa tanpa diceritakan lagi siapa pembawan ya. Juga

G elar tidak tahu. Tak ada yang pernah bercerita. Setelah kuda dianggapnya cukup kenyang ia berangkat

pelahan -la-h an mencari sungai yang biasa dilewatinya.

D ibiarkan kuda itu minum secukupnya. Kemu dian ia melanjutkan perjalanan kembali.

“Puh, puh, puh! lari, cepat Sultan, cepat. Lebih cepat! Awas, jangan kau lemp arkan aku dari punggungmu.”

Padang rumput itu telah terlalui dan kini ia mem asuki jalanan desa.

“Stt. Kau lari ini hendak ke mana? Tahu kau ke mana kau harus bawa aku?”

Sawah dan beberapa rum ah mu lai dilewati dan dipapasinya wanita-wanita yang sedang pergi mengirimkan

makan suaminya di sawah atau ladang. Ia pelankan kudan ya. Anak-anak kecil bersorak melihatnya sambil makan suaminya di sawah atau ladang. Ia pelankan kudan ya. Anak-anak kecil bersorak melihatnya sambil

“Ah-ah, kau mem ang cerdik, Sultan, tahu ke mana aku hendak pergi.”

Kuda telah meninggalkan desa dan kembali mem asuki persawahan.

“Awas, jangan samp ai kau pergokkan aku pada Peranggi,” ia memperingatkan. “Sekiranya, Sultan, sekiran ya aku tak bisa kembali, kau haru s bisa pulang sendiri. Cari Emak, dan, katakan padanya, aku tak bisa kembali. Mengerti? Apa? Kau sudah lelah lagi? Matari pun belum lagi bergeser sejengkal. Jangan m anja.”

Kuda itu berlari tenang tidak terburu-buru melalui jalanan desa dengan hutan muda di kiri-kanan nya. D erap kuda dan desau angin pada kuping menyebabkan ia tak banyak mendengar sesuatu di seling-kungannya. Hanya matanya tajam melihat ke segala jurusan di depan. D an ia pun tak mendengar seseoran g berseru-seru dari atas pohon tinggi, menyuruhnya berhenti.

Sayup-sayup mulai terdengar olehnya suara kentongan bambu dari atas poho n. Ia anggap itu suara burung.

Sam pai di tikungan kudanya berhenti, meringkik. G elar menebarkan pandan g ke keliling. Macan: Kuda itu tetap

menolak maju dan terus juga m eringkik. “Turun!” terdengar suara dari balik semak hutan.

G elar menolak turun dan kuda menolak jalan. Ia mencabut tom bak.

“Orang siapa? D emak?” “Bukan.” .

“Peranggi?” ‘Tidak.” “Tuban?” “Tiga-tiganya tidak!” “Turun! Kalau tidak, kau akan berbulu anak panah.

Siapa kau?” “Keluar kau dari semak, lelaki, inilah G elar.” Tiba-tiba terdengar orang tertawa-tawa dan beberapa

belas orang keluar melingkarinya. G elar sendiri dud uk di atas kuda menyiap tombak dan

meruncingkan kewaspadaan.

“Kau, G elar!” mereka berseru senang. “Ayoh, turun.” G elar curiga. Tapi suara tawa mereka

ram ah. Pandan gnya berpendaran pada wajah-wajah yang melingkarinya, dan ada salah seorang ia kenal: seorang prajurit pengawal Tuban.

“Ayoh, G elar, turun! Tak ada o rang punya gaya berkuda seperti kau.”

“Siapa kalian,” G elar bertanya curiga. “D emak atau Tuban?” ia bertanya kembali.

“Tuban. Sudah butakah matamu ? Ayoh, minum tuak dulu! Semu a ini teman-temanm u sendiri sepasukan. Tidak, tak ada yang bakal tangkap kau. Turun! Kau toh akan menggabung dengan kami dengan perlengkapan perang seperti itu?”

G elar mengem balikan tom bak pada tempatnya, tertawa waspada dan turun.

“Awas kalau kalian coba-coba bikin pertengkaran …’ ia awasi prajurit-prajurit pengawal itu.

“Pertengkaran apa? Terlalu banyak musuh untuk boleh bertengkar D emak, Peranggi. Kau toh akan bergabung dengan kami?”

D engan tetap mem egangi hulu pedang ia hamp iri bekas tetangga tidurnya dan berkata bersungguh-sungguh: “Aku mau bergabung hanya kalau ditugaskan masuk ke Tuban.

D engar?” “Beres. Bergabung dulu. Minum, am bil tuak itu.

Tuaaaak.” Mereka masuk ke dalam hutan, merubung ladang tuak.dan minum dari cangkir bambu. D an sebentar kemudian mereka telah riuh-rendah dalam kegembiraan.

“Kau sudah perjaka gagah berani. G elar!” seorang mem ulai. ‘Tahukah, kau. G elar, ” seseoran g menyambung, “Syahbandar itu ternyata terlepas dari tangan Sang Patih?”

G elar tak jadi meneguk tuaknya. Matanya tajam menem busi m ata si penanya, kemudian m eletakkan cangkir di tanah.

“Jangan kau gusar,” segera orang m eredakan. “Peranggi telah mem bebaskannya. Sekarang dia jadi biangkeladi

segala m acam kecelakaan. ”

G elar menah an diri. Ia mencoba mem ahami adakah ucapan itu dimaksudkan untuk mengejek dan mengh ina atau kah sekedar mem beritahukan, Belum lagi ia dap at mem utuskan terdengar derap kuda datang mendekati.

“Siapa itu?” G elar bertanya curiga. “Orang sendiri. Jangan kuatir. Hei, G elar, kau mau ke

mana dengan kelengkapan perang selengkap ini?”

G elar tak bermaksud menjawab. Orang lain telah bicara: “Ingin kami lihat tamp angm u kalau sudah berhadap an G elar tak bermaksud menjawab. Orang lain telah bicara: “Ingin kami lihat tamp angm u kalau sudah berhadap an

“Ya-ya, betul. Kami ingin lihat bangaimana kau mendengar mu sket dan meriam. Pucat, kau. G elar, mu ngkin pingsan sewindu”.

D ari jalanan terdengar penunggang kuda itu berseru-seru dan derap kudan ya padam: “Kembali kalian! Semua! Senapatiku telah datang, Senapatiku yang lama. Ayoh kembali!”

Orang pun berlarian keluar dari balik semak-semak ke jalanan. Seoran g pengawal yang masih duduk di atas kuda

menyam paikan perintah: ‘Tanpa kecuali, semua kembali. Senapatiku telah datang.”

“Banteng W areng?” “Bodoh. W iranggaleng! Bersoraklah untuk Senapatiku.” Orang pun bersorak-sorai. G elar m enyembunyikan m uka

pada bulu suri kudan ya. Ia menan gis. Ia tahu orang itu bukan bapaknya lagi. Semua oran g berbangga pada Sang Senapati Tuban. Ia merasa seumu r hidupnya telah jadi duri dalam dagingnya. Apakah lagi arti dirinya bagi Sang Senapati?

“Sultan!” sebutnya pada kudan ya mem inta simp ati. Kuda itu m enengok padanya. Sorak-sorai itu telah berhenti.

“Kau tidak ikut bersorak. G elar!” seseorang menegur. “Seum ur hidupku aku telah bersorak untuknya,”

jawabnya cepat-cepat dan menyekakan mu ka pada punggung Sultan.

“Ayoh, semu a berangkat sekaran g juga.”

Orang pun mengem asi bawaannya masing-masing dan naik ke atas kuda. Juga G elar bergabung dengan sendirinya dan ikut beran gkat

Ia berkendara pelan-pelan dibuntut barisan. Ujung depan telah hilang di balik tabir debu. la mem butuhkan waktu untuk memantapkan kembali hatinya. Senapatiku! Senapatiku, masihkah diri ini anakmu ? Akan kau terima diri ini bila ikut datang menjemputmu ? Mengabdi padamu ? Aku bangga berbapak kau. Ah, Senapatiku. Ia pacu kudan ya. Semoga kau tak merasa hina beranakkan aku. Bapak! Bapak, aku, G elar datang.

G elar diterima kembali oleh pasukannya.

D an Senapati Tuban, W iranggaleng, ternyata tak pernah dap at ditemuinya. Belum ada oran g yang dap at bercerita bertemu, apalagi bicara dengan nya. N amun demikian kewibawaannya dapat dirasakan oleh setiap prajurit. Perselisihan antara pemimpin-pemimpin pasukan lenyap seperti dihembus angin. Setiap saat oran g menunggu dengan taat akan datangnya perintahn ya. D an dalam waktu pendek ketidak-acuhan para petani di pedalaman dap at dilawannya.

Prajurit-prajurit yang selam a ini dibiayai oleh praja Tuban, dan praja dari upeti, dan upeti dari keringat petani, telah menjadi pengetahuan umum setiap orang. Tanpa praja prajurit yang sepangkat-pangkatn ya hanya akan hidup dari perampokan langsung atas petani. Senapati telah tindas kecenderungan jahat ini, dan mem erintahkan setiap prajurit menjadi petani dan setiap petani menjadi prajurit. D an ternyata setiap prajurit bisa m enjadi petani dan setiap petani bisa m enjadi prajurit.

D an Senapati Tuban masih juga tidak dilihat oleh orang.

G elar harus tahan kerinduann ya untuk bertemu, untuk mendapat restu, untuk mendapat ijin istimewa mem asuki Tuban, menem ui Syahbandar Sayid Habibullah AlMasawa. Idayu telah mengatakan melalui jalan kelok, Syahbandar itulah bapaknya yang sebenarnya, la haru s menem uinya dan menyembahnya sebagai seorang ayah. Biar semua orang mem benci dan mengejeknya, dia adalah bapaknya, orang yang suka mem bius itu. Ia ingin tahu dengan mata dan kuping sendin bagaiman a macamn ya.

D an keinginan itu tak juga terpenuhi. Kembali menjadi anggota pasukan pengawal ia menjadi

pendiam lagi seperti dahulu. Setiap hari ia berlatih mem ainkan senjata. D an betapa ia berlatih diri begitu fanatik. Ia akan melewatkan masa perang ini dengan selam at. D an semua berita tentang bapaknya yang sejati ia dengarkan dengan hati-hati, tanpa perasaan pribadi. D an betapa ia mulai mengerti dengan sikap semua orang yang mem benci oran g Moro itu. Mereka berhak mem bencinya dan ia merasa ia pun berhak menjadi pemenang dalam

perang terakhir nanti. Kadang ia berpikir, mengapakah kelakuan satu orang

saja bisa mem bikin diri dan emak dan Senapati menelan kegetiran begitu panjang. Mengapa tidak Syahbandar itu sendiri yang harus menan ggungkannya? Tidak adil! ia meraung sunyi.

D an bukanlah suatu kebetulan, waktu diadakan pengiriman seorang telik untuk mem asuki kota, ialah yang terpilih. Ia telah mendapat nilai sebagai pemuda yang berani dan cakap. Ia terima tugas itu dengan perasaan syukur pada Hyang Widhi. D engan menyandang semua senjatanya ia naik ke atas punggung Sultan dan berpacu ke utara.

Sam pai di sebuah kamp ung nelayan ia berhenti. Ia nikmati pemandangan laut yang namp ak tanpa batas, bersambung langsung dengan langit, sama-sama biru. Tak ada kapal, besar atau pun kecil kelihatan. Perahu nelayan pun tidak. Semua yang biasanya dicancang di pantai, kini diangkat naik ke darat, di bawah lindungan pohon bakau- bakau.

Ru mah-rumah itu namp ak sangat miskin, suram, tak ada kegembiraan,

pondoknya dalam pengungsian. Semua atap terbuat dari ilalang yang telah lusuh dan hancur-hancur lekang dan dipatahkan oleh angin.

beda

daripada

Ia masuki sebuah rumah, telah doyon g, dan dua orang anak kecil sedang bermain-main di dalam. Ternyata orangtuanya pergi ke daerah selatan , mencari tanah pertanian. Juga di rumah-rum ah lain, yang ada hanya bocah-bocah. Semua nelayan telah meninggalkan laut untuk bertani.

D i malam hari waktu m ereka pulang ia mendapat cerita, penangkapan ikan tidak lagi mengh idupi. Tak ada lagi

orang datang untuk bertukar dengan beras dari pedalaman. Mereka pun telah berhenti mem bikin ikan asin dan trasi. Hanya garam masih terus dibikin bila hari tidak hujan. Tetapi G elar melihat, sawah-sawah garam mereka sudah tidak terpelihara. Mereka dalam kesulitan penghidupan

yang am at sangat. W alau begitu ia tak ragu-ragu mem erintahkan seorang

laki-laki dewasa agar tinggal di kampung untuk memelihara kuda dan barang-barang titipannya.

D engan berlindung kegelapan malam ia mendayung ke jurusan timur – pengalaman pertama dalam hidupnya sebagai orang pedalaman.

Ia telah mendapat tugas untuk menem ukan pemu satan- pemusatan kekuatan Peranggi, mencatat adat-kebiasaannya di siang atau malam hari, dan sampai di mana saja daerah geraknya.

D alam mendayung di kegelapan ia mengandalkan diri pada ketajaman matanya. D an ia bangga hidup di tubir maut begini – suatu kehorm atan untuknya. Ia akan tunjukkan pada emaknya, pada Senapati, pada semua yang mengenal dan tidak m engenalnya, ia mampu lakukan tugas berbahaya tanp a teman , bahwa ia layak jadi anak Senapati Tuban. D an Senapati akan bangga punya anak seperti dirinya. Ia takkan m emalukan orangtuanya.

D engan mo dal kebanggaan dan hati besar ia tak menem ukan sesuatu kesulitan. Ia dapat mendarat dengan selam at di barat bandar kota, dan bandar itupun terbentang di hadapann ya seperti sebuah cobek tua yang tinggal pecahnya. D engan melumu ri badan yang hampir-hampir telanjang itu dengan kotoran, rambut kacau dirubung lalat, berjalan dengan kaki X, berpura-pura gila, ia menyanyi dan tertawa tiada berkeputusan, bicara seorang diri, dengan mata menatap hanya pada satu titik. Ram but kacaunya jatuh pada mukanya dan menutup sebagian dari wajahnya, terutam a hidung-bengkungnya.

Tanpa ragu-ragu ia mendekati prajurit-prajurit Portugis dan mengajak bicara. D an mereka mengh alaunya dengan

cacian , dengan lemp aran batu. Ia merasa puas dengan perm unculannya. la tak takut pada kesialan. Sudah sejak kecil diajarkan padanya, tak ada kesialan dalam hidup manusia, yang ada hanya akibat kekeliruan dan kesalahan .

Kepalanya terlindun gi oleh sisa destar yang merupakan tali sempit. D engan demikian ia dapat kukuhkan letak ram but yang harus dapat menutup hidungn ya. Kesulitan satu-satunya adalah pangan, tapi justru itu yang Kepalanya terlindun gi oleh sisa destar yang merupakan tali sempit. D engan demikian ia dapat kukuhkan letak ram but yang harus dapat menutup hidungn ya. Kesulitan satu-satunya adalah pangan, tapi justru itu yang

Untuk mendapatkan pemusatan -pemusatan kekuatan baginya tak merupakan kesulitan. Meriam-meriam ia dapat mengetah ui ditujukan ke arah selatan sedan g yang di sekitar benteng terarah ke barat. Semua berdiri di atas roda kayu. Benteng dan kadipaten merupakan pusat kehidup an Peranggi. Sedang bandar sendiri nampaknya tak begitu terjaga. Menara pelabuhan dan menara benteng mem ang merupakan bahaya awal bagi belatentara Tuban, tetapi di malam gulita menara-menara itu tidak akan berdaya. Juga

mata tentara Peranggi itu tidur di malam hari. Ia lihat serdadu-serdadu berkeliaran di kampung-

kamp ung dan menggauli wanita yang tak mampu meninggalkan kota. Tapi lebih banyak lagi adalah yang berkeliaran di gubuk-gubuk bandar. D an di sini pula ia sekali melihat Syahbandar Tuban keluar dari sebuah gubuk, tua, berjalan terbongkok-bongkok, bertongkat dan bertarbus tua. Kemudian ia lihat juga gubuk itu ditinggali oleh N yi

G ede Kati, yang juga sudah tua, dan badannya tak terpelihara lagi seperti dulu.

Beberapa hari lamanya ia mem ata-m atai Syahbandar, la selalu melihat orang itu berada dalam kawalan serdadu dan setiap sore berkunjung ke gubuk N yi G ede Kati, seorang diri, dan pulang di waktu malam. Bila ta memasuki gubuk itu pengawal-pengawalnya kemudian pergi dan masuk ke tempat-temp at lain.

Sekali waktu ia tidur bergolak-go lak di pasiran pinggir jalan ia lihat Syahbandar lewat dalam pengawalan. Ia berhenti, mengawasinya sejenak kemudian bicara sesuatu dalam bahasa yang ia tak mengerti. Sebelum berangkat Syahbandar itu memerlukan untuk m eludahinya, dan G elar tertawa berbahagia mendapat ludah itu dan menyekanya Sekali waktu ia tidur bergolak-go lak di pasiran pinggir jalan ia lihat Syahbandar lewat dalam pengawalan. Ia berhenti, mengawasinya sejenak kemudian bicara sesuatu dalam bahasa yang ia tak mengerti. Sebelum berangkat Syahbandar itu memerlukan untuk m eludahinya, dan G elar tertawa berbahagia mendapat ludah itu dan menyekanya

Itulah bapakmu yang sesungguhnya. G elar, buruk sebagaimana hatinya, busuk sebagaimana hatinya dan jahat sebagaimana hatinya. Mengapalah kau berbapakkan dia? Orang yang tak pernah terdengar berbuat sesuatu kebajikan? Tak pernah terdengar sesuatu yang mu lia tentangnya? Tapi itulah bapakmu . Semua orang tahu. Emakmu sendiri mengatakan dengan jalan dan cara lain.

Betapa emakku menderita karena kau, menan ggung malu seumur hidup. Sekali waktu kau akan jatuh ke

tanganku iblis tua! Inilah G elar, anakm u, dia akan datang padamu. Hati-hatilah. D ua puluh hari kemudian, pada suatu sore ia melihat N yi G ede Kati menggendong bakul entah dari mana pulang ke gubuknya di daerah pelacuran, la nampak kurus. Matanya cekung dan jalannya telah goyah , tiada mantap seperti biasanya.

Ia kumpulkan ketabahannya melihat wanita itu mem asuki gubuk dan sebentar kemudian juga Syahbandar

dalam iringan tiga oran g pengawal, la perhatikan pengawal- pengawal itu menjauh dan mem asuki gubuk lain.

Ia dekati gubuk itu dengan tongkat kayu di tangan dan debaran deras di dalam jantung. Langkah masih menyeret dengan kaki X. Ia makin mendekat sampai terdengar suara tawa Syahbandar dan N yi G ede.

“Kau semakin kelihatan kurus, Kati.” “Tidak, Tuan, sahaya hanya lelah.” Seorang pelacur yang lewat telah mengganggunya

dengan ludah dan mentertawakannya. Ia pun ikut tertawa, mendekatinya, dan orang itu lari. Pelacur-pelacur lain mu ncul, dan ia dekati mereka, dan mereka pun lari dengan ludah dan mentertawakannya. Ia pun ikut tertawa, mendekatinya, dan orang itu lari. Pelacur-pelacur lain mu ncul, dan ia dekati mereka, dan mereka pun lari

Pintu dau n kelapa itu terbuka. Ia melom pat masuk sambil tertawa bahak seperti gandarwa di atas panggung. Tongkatnya tergenggam, matanya melotot dan mu lurnya ternganga.

Sekilas ia dapat melihat dua orang itu terperanjat. N yi

G ede berdiri di samping tungku, bersiaga terhadap setiap serangan . Tholib Sungkar Az-Zubaid naik ke atas am bin kedudukannya, bersiaga dengan ton gkatnya.

Perempuan itu segera mengenalnya dan berseru dari tempatnya: “G elar!”

“N yi G ede!” tiba-tiba saja G elar lupa pada kegilaannya. “G elar! anakku, mengapa kau jadi begini?” ia melangkah

mendekat.

D an G elar merasa agak berkecilhati karena wanita itu segera

mengenalnya. Ia melengos mem andan gi Syahbandar.

“Beginilah nasib anakmu , N yi G ede.” “G elar?” Syahbandar bengong dan turun dari am bin.

“Ya, inilah G elar. ” “Sudah kucari N yi G ede ke mana-m ana. Beri aku

makan,” perintah G elar. Kasar. “G elar? Kau sudah bisa sekasar itu? Ya, tunggulah aku

masakkan. N amp aknya kau sudah lapar.” “Makan?” G elar tertawa sinting. “Siapa yang cukup

makan sekarang? Siapa cukup pakaian?” ia melotot pada Tholib.

“Co mpang-camping begitu,” gumam Syahbandar, “mu ngkin memang sudah gila.” Ia mengendurkan kesiagaannya. “Kulihat m emang G elar seperti celeng keluar dari jaring ikan. Hampir telanjang bulat. Tunggu di luar, biar N yi G ede selesaikan m asaknya.”

“D i m ana emakmu?” tanya N yi G ede. “Lari. Tak tahu aku ke mana.” “Seperti gila, tapi bisa menjawab,” Syahbandar

meneruskan bicara pada diri sendiri. “Busuk benar baunya, dan lalat mengikuti begitu rupa.” D an sekarang ditujukan pada G elar, “Baumu busuk, tak pernah mandi. Kau kan prajurit Tuban?”

“Minum, N yi G ede!” G elar m eminta kasar, mem belalak.

D an wanita itu mengeluarkan gendi, berkata meminta maaf dan m enghampiri: ‘Tuak aku tak punya, G elar.”

“Air tawar?” gumam G elar, kemudian meneguk dan meletakkan gendi di atas lantai tanah. “Aku kotor, lapar, tapi masih tetap G elar, N yi G ede,” ia tersenyum di buat- buat. Tiba-tiba dengan suara meledek menuding pada Syahbandar, “Siapa oran g ini, N yi G ede?”

Perempuan itu mengambil gendi dari tanah dan menaruhnya kembali di dalam gantungan: “Masa kau lupa siapa dia?”

“Apa guna kau mengenal aku?” Syahbandar menolak untuk disebut namanya. Ia bergerak hendak keluar dari

pintu.

G elar m encegahn ya melangkah lebih jauh. “Siapa!” tanyanya pendek dengan suara m enggeram.

“Tingkahmu menakut-nakuti orang G elar. D ulu kau tidak begitu, tertib dan sopan. Jangan dekati dia, G elar. Kau begitu kotor dan busuk.”

D an kembali Syahbandar bersiaga dan mundur menjauh beberapa langkah.

“Jangan m undur!” tegah G elar. “Biar kuingat-ingat siapa kau;” ia raba-raba hidungn ya sendiri. “Hidun gku seperti hidun gmu.” gum amn ya. “Aku lupa seakan pernah kulihat kau dalam hidupku.”

“Kau pura-pura tak tahu siapa dia. Jangan dekat-dekat,” tegah N yi G ede sambil meneruskan m asak.

“Bukankah itu T uan Syahbandar Tuban?” “D ia sudah begini tua sekarang, kau. Tuan Syahbandar,”

G elar meneruskan gum am nya. “Kalau aku sudah menjadi tua, semestinya akan seperti dia juga. Siapa kau?”

Tholib Sungkar berusaha hendak keluar dan gubuk, dan kembali gelar m enghalangi.

“Kupukul kau kalau merintangi jalanku,” ancam Syahbandar.

“Syahbandar, Tuan Syahbandar,” bisik G elar. “Tuan Syahbandar Tuban. Tapi siapakah nam anya? Sudah lama kurindukan waktu untuk bertemu dengan nya. Tapi siapakah nam anya?”

“G elar! Kau mengganggu aku mem asak. Jangan ganggu pula Tuan Sayid Habibullah Al-Masawa itu.”

G elar mendengus. “Benar, ingat aku sekarang.”

“Benar, Sayid Habibullah Al-M asawa!”

“Mengapa kau nampak begitu menakutkan?” tegur N yi

G ede yang kembali mendekatinya. “Hormati dia sebagaimana kau mengh orm ati orangtua.”

G elar mencibir. D an Syahbandar tetap siaga dengan ton gkatnya.

“G elar! Kau atau aku yang pergi dan situ!” bentak Syahbandar. “Kau ini oran g D emak atau Tuban, atau hanya m ain pura-pura gila?”

“Kau mengh adapi Tuan Syahbandar sebagai mengh adapi…,” N yi G ede memperingatkan.

“N yi G ede, ingatkah N yi G ede semasa aku m asih kecil?” tiba-tiba G elar bertanya kekanak-kanakan. “Ini dia Tuan Syahbandar Sayid Habibullah Al-M asawa. Kata orang. N yi

G ede, dia bapakku.” “Penipu! Tak ada aku beranakkan kau!” bentak Tholib

Sungkar Az-Zubaid, tak jadi pergi. “Benarkah itu, N yi G ede?” W an ita itu meneliti wajah G elar, memarahi: “Kau

datang seperti petir di siang cerah, membawa pertanyaan tidak pada waktun ya.”

G elar tertawa pendek. Tongkat dikepitnya pada ketiak: “Mengapa begitu pucat. Tuan Syahbandar? Jangan, jangan

pergi. Anakmu ingin bicara,” “Tak ada aku punya anak seperti kau.” “Jadi kau bukan bapakku? Kaukah yang m enipu ataukah

emakku Idayu?” “Jelas Idayu penipu!” Syahbandar memu tuskan.

N yi G ede mem egangi bahu anak mu da itu, bertanya lunak: “Pernahkah Idayu bilang begitu?”

“Tak pernah Idayu mengasuh anaknya jadi penipu, N yi

G ede, kau yang pernah mem bidani emak waktu aku lahir. Apa katamu ?”

N yi G ede menarik G elar agar duduk di am bin, tapi ia menolak. Ia sendiri sekarang yang duduk, mentelantarkan masakannya.

“Jangan menakut-nakuti begitu, kau, G elar, ” ia mem peringatkan, “kalau kulihat kau berdiri di depan Tuan Syahbandar, nampaknya memang seperti dua orang kembar. Hanya kau tegak, muda belia, tinggi semampai. Tuan Syahbandar….”

“Apa saja semua ini…,” protes Syahbandar. “… Jangkun g, tapi tua dan bongkok. Mem ang

sepantasnya anak dan bapak. Kulitnya, hidung, mata, ram but….”

“D iam, kau, Kati,” bentak Tholib Sungkar. “G ila kalian berdua ini. Aku pergi.”

D an G elar m enghadang. “Apa salahnya Tuan dengarkan sedikit kata dari kami?

N yi

G ede, ceritakan penderitaan emakku setelah melahirkan.”

“Betul. D ia sangat menderita. Dia merasa pasti akan dituduh oleh suam inya, W iranggaleng. Si periang itu, jadi

pendiam untuk selama-laman ya setelah itu, jadi pem enung.

D ia tak tahan terhadap perasaannya dan duga-dugaan sendiri. D ia telah serahkan diri pada suaminya untuk dicundrik mati.”

“Kau dengar itu, Tuan Sayid, bapakku?” “Jangan berani pergi sebelum kau dengar penderitaan

emakku karena tingkahmu. Kau! Teruskan, N yi G ede.” “W iranggaleng tidak mencundrik emakmu . D ia tetap

mencintainya. Betapa agun g cinta lelaki itu. Tetapi wanita mencintainya. Betapa agun g cinta lelaki itu. Tetapi wanita

“D an semua dimu lai dengan obat bius,” G elar menam bahi.

“Kemu dian, baru kemudian itu diketahui,” N yi G ede Kati m embetulkan.

“Tak perlu aku membius seorang pun!” bantah Syahbandar.

“Aku pun pernah kau bius, Tuan,” N yi G ede menuduh. “Kau, Kati, kau juga m enuduh aku?” “D an penjaga-penjaga menara, dan dua orang Peranggi

pelarian,” G elar m eneruskan, “korban obat bius.” “Apalah artinya korban-korban itu dibandingkan dengan

penderitaan Idayu?” Syahbandar seperti kehilangan kepribadiannya. Ia

menoleh-n oleh pada setiap pembicara, la tak dap at mem utuskan sesuatu untuk diperbuatnya. Ia ingat pada sum pahnya untuk mengakui G elar sebagai anaknya. D an anak itu kini begitu menjijikkan, setengah gila dan tak tahu aturan.

“Setiap dia melihat kau. G elar, ” Kati meneruskan, dia akan ingat pada kelahiranmu, pada gangguan perasaan yang mengguncangkan itu, karena dia sangat, sangat mencintai bapakmu. Dia rela mati untuk bapakmu, rela apa saja. Karena besarn ya cintanya itu sebelum nya dia telah hadapi maut, menolak jadi selir Sang Adipati, menolak segala bujukan. Tiba-tiba Tuan, Tuan Syahbandar mem biusnya. Tangan Tuan yang kotor dan berlumuran dosa telah meraba tubuhnya, dan kau, G elar, kau pun “Setiap dia melihat kau. G elar, ” Kati meneruskan, dia akan ingat pada kelahiranmu, pada gangguan perasaan yang mengguncangkan itu, karena dia sangat, sangat mencintai bapakmu. Dia rela mati untuk bapakmu, rela apa saja. Karena besarn ya cintanya itu sebelum nya dia telah hadapi maut, menolak jadi selir Sang Adipati, menolak segala bujukan. Tiba-tiba Tuan, Tuan Syahbandar mem biusnya. Tangan Tuan yang kotor dan berlumuran dosa telah meraba tubuhnya, dan kau, G elar, kau pun

Tholib Sungkar berdiri tersiksa tak dapat meninggalkan tempatnya. Ia meringis-ringis berusaha tak mendengarkan, tapi justru mendengarkan.

“Marilah duduk sini di sampingku. Tuan,” tapi Syahbandar tak menggubris seolah tak dengar. “G elar! Akulah yang pertam a-tama menyambut kedatanganmu di dun ia ini. Aku juga yang pertama-tama melihat: kau tak lain dari anak Tuan Sayid ini Akulah juga oran g yang pertam a-tama kaget. Setelah kau kumandikan dan kutidurkan di samping emakmu , emakmu dengan diam- diam menan gis. Ia tak bicara apa-apa. N ah, Tuan Sayid, Tuanlah sekarang yang bicara.”

“D ia tak pernah mengatakan aku anaknya,” G elar menuduh.

“Mengapa diam saja, Tuan. Malukah Tuan punya anak dia?”

‘Tak ada guna dengarkan cericau dua oran g gila.”

G elar makin mengh adan g dengan tongkat pada ketiak. Syahbandar berusaha mencabut pisau-tongkatnya dengan suatu gerakan semu. G elar meliriki tangannya, tertawa, kemudian: “Sia-sia Tuan keluarkan pisau-tongkat itu. Kalau aku mau, sudah sejak tadi kuremukkan kepalamu . Uh,

siapa belum pernah dengar tentang ton gkat ajaib itu? Orang-orang tak berdaya telah kau bunuhi, seakan hanya babi hutan. Sekali pisau itu nampak terhunus di hadapanku, tangan yang menghunusnya akan kuremukkan. Kalau tidak percaya, ayoh coba.”

Tholib Sungkar tak meneruskan usahanya.

“Telah kau aniaya perasaan emakku sejak kelahiran ku. Telah kau hinakan Senapatiku. Diam! Jangan bicara. Telah kau aniaya dan kau khianati penduduk Tuban. D engarkan kalau G elar bicara. Jangan gerakkan bibirmu itu. Telah kau bikin aku jadi ejekan dan tertawaan di mana-m ana dan kapan saja. Tebus semua airmata dan kesakitan emakku! Tebus semua kesakitanku. Bicara kau sekarang!”

Untuk sekian kali Tholib Sungkar berusaha mengu asai diri. Tapi syarafnya sudah tak bisa dikendalikann ya. Kefasihan dan kecerdasan nya pun sudah tak sanggup mem bantunya melawan anak kemarin yang tak berpengetahuan ini. Terdengar “Kau sudah bikin bahaya untuk dirimu sendiri.”

“Urusanku. Aku tahu kau sangat berkuasa.” ‘Tak relakah Tuan mengakuinya sebagai anak?” “Setiap saat serdadu Peranggi bisa datang dan bunuh

kau, anak gila.” “Biarlah bapak dan anak mati bersama. Apalah

bedanya?” “Tidakkah pernah kau dengar? Sedikit saja tanganku

melambai, dan serdadu Peranggi akan tergopoh berdatangan?”

‘Tangan itu akan remuk sebelum melambai.” “Bila jariku menuding, tewaslah dia yang tertuding,

dengan atau tanpa nama.” “Jari itu akan patah sebelum menuding.” “Itu benar, G elar,” N yi G ede menggarami. “Aku telah datang padamu untuk dijawab. Sekali lagi:

adakah kau bapakku?”

‘Tak pernah aku punya anak seperti kau.” “Bagus. Maha Buddha takkan mengu tuk aku. Lebih

mu dah rasan ya berhadapan denganm u sebagai bukan bapak,” ia menuding. “Kau sum ber sengsara. Kau bukan bapakku, aku bukan anakmu.”

“Kau mem ang terlalu. Tuan, G elar sudah m arah begitu.” “D ia kira mu dah mem bunuh Sayid Habbibullah Al-

Masawa,” ejek Syahbandar. ”Kau hadapi seribu Peranggi. Kau takkan lepas!”

“Apakah hinanya mengakui anak itu sebagai anak sendiri? Dia darah dan daging Tuan sendiri!”

“D iam!” bentak Syahbandar pada istrinya. D an pada

G elar, “Setan m ana yang mem bawa kau padaku?” Syahbandar tak dapat mengendalikan diri lagi. Cepat

ton gkatnya naik di tentang dada, pisaunya yang panjang hitam telah terhunus dan dengan cepat maju-mundur mem bikin gerak penikaman yang mem atikan.

G elar berkelit ke sam ping dan m emutar tongkat kayunya sambil mendesis cepat: “N yi G ede, jangan sesali aku kalau

kuperlakukan suamim u seperti ini.” N yi G ede mengh indarkan diri dari dua lelaki, ayah dan

anak, yang sedang bertaru ng. Ia berteriak m encoba melerai: “Tuan, jangan bunuh anak itu, anakmu sendiri. Terkutuk kau!” tapi suara yang berseru-seru itu tak keluar dari m ulut.

Tongkat G elar berputar-putar. D an tusukan-tusukan pisau panjang itu bertubi-tubi cepat seperti serangan seribu kobra. Baru pada waktu itu oran g m enyaksikan Syahbandar dengan pisau-tongkatn ya adalah laksana seekor ular berbisa. Ia dapat menyerang cepat dan mengelak dan Tongkat G elar berputar-putar. D an tusukan-tusukan pisau panjang itu bertubi-tubi cepat seperti serangan seribu kobra. Baru pada waktu itu oran g m enyaksikan Syahbandar dengan pisau-tongkatn ya adalah laksana seekor ular berbisa. Ia dapat menyerang cepat dan mengelak dan

Ru angan yang sempit itu terasa sesak dengan dua manusia.

N yi G ede melompat ke atas am bin. Sekarang suaranya dap at keluar nyaring.

‘Tuan, jangan bunuh anakmu sendiri!” “Kau mem bela dan mem beranikan dia!” jawab

Syahbandar sambil terus menyerang. ‘Terkutuk si pembunuh anak!” Pisau-tongkat Syahbandar terlontar dari tangan, melesit

ke atas, menem ui atap daun kelapa, tersangsang dan tak turun lagi.

“Menjijikkan,” dengus N yi G ede melihat Syahbandar berdiri tanp a bongkok di hadapan G elar tanp a bergerak, “mencoba membunuh anak sendiri. Memang patut mendapat ganjaran setimpal. Oran g tua tak tah u diri.”

“Kau tidak m embela aku. Kati.”

G elar berdiri diam-diam dengan ton gkat di tangan di hadapan Syahbandar. N yi G ede Kati turun dari ambin dan

mendekati suaminya, menudingnya: “D alam penderitaan kau kubela. D alam kebinatangan kau kulawan, terkutuk kau!”

G elar m embiarkan dua-duanya sebagai suami-istri. “Sebagai istri kau tak patut mem usuhi aku.”

“Tutup mu lutmu. Makin banyak bicara kau makin menjijikkan. Panggil semua serdadumu. Tak ada seorang pun di antara m ereka bisa dan m au menolongnya.”

“Kau pun akan binasa, Kati.”

“Aku tahu , tapi tidak tanpa kehormatan seperti kau,” bentak G elar dan melayangkan ton gkatnya pada kepala Syahbandar.

N yi G ede menutup mata dengan tangan, mem ekik: ‘Terkutuk, kau G elar, pem bunuh ayah sendiri!”

Kepala Syahbandar tua itu pecah, tongkat itu patah, dan tubuh tua itu terguling jatuh. Dari mata dan hidun gnya dan mu lutnya dan kupingnya keluar darah.

G elar m enarik tangan N yi G ede ke arah pintu. “Jangan sentuh aku, terkutuk, pembunuh ayah sendiri!” “Peranggi akan aniaya kau!” “Binatang! Pergi!”

G elar keluar dari gubuk, dan matahari telah tenggelam. Ia lari entah ke mana.

N yi G ede Kati mendekati pintu, menengok ke kiri dan ke kanan, kemu dian pun lari entah ke mana….

0odwo0