Kekacauan di Jaw a
34. Kekacauan di Jaw a
Pada sadar. Keadaan telah sunyi dan malam telah larut.
G alangan dan bangun an lainn ya di pelabuhan telah runtuh menjadi bara.
D i sana-sini api masih menyala rendah. Sekali lagi ia mem bersihkan diri.
D ijepitnya pakaian kotor itu dengan jari, disangkutkan bawaannya yang lain pada lengan , dan ia turun ke bawah.
D i sana ia bersihkan dari kotorannya sendiri. Ia merasa kurang patut meninggalkan tempat itu begitu saja. la naik
lagi. Belum lagi separoh tangga ia teringat pada keselam atan nya sendiri. T ak jadi. T urun lagi.
D i bawah ia merasa resah karena belum merasa bersih. Ia paksakan diri berpikir sejenak di mana kiranya bisa mendapatkan air. Satu pikiran menegahn ya: Tuban telah jatuh, mereka sedang nyenyak dalam kemenangan dan kepuasan sehabis mengh alau musuhnya dan menjarah- menjarah. Cepat-cepat kau pegi sekarang juga! Jangan pikirkan kebersihan.
Ia berjalan liar, mata tak tenang. Tak diperhatikannya lagi bau yang mengikuti dirinya baran g ke mana ia melangkah. Tenaganya mu lai pulih sebagai semula. D an ia merasa sungguh malu pada ketakutannya sendiri seakan ia tidak percaya pada kekuasaan Tuhan nya. Kalau peristiwa itu terjadi sekali lagi, aku takkan setakut itu, ia berjanji pada dirinya sendiri.
Sesampainya di luar kota ia mem asuki pekarangan rumah yang telah ditinggalkan, langsung mencari sum ur dan
mem bersihkan diri, mencuci pakaian yang dikenakannya. Mandi sekali lagi dan sekali lagi, hati-hati, tanp a mem bangkitkan bunyi.
D engan mengenakan pakaian basah ia mengambil wudhu dan bersembah yang di beranda rumah kosong yang telah dilanda para penjarah.
Selesai itu ia meneruskan perjalanannya dalam pakaian basah. D an malam itu dingin, perutnya lapar. Angin
menjadi siksaan yang tak terlawankan. Untuk menah an diri dari gigilan sengaja ia mem percepat jalan, tubuh lari sampai terengah-engah.
Ia mengerti takkan mu ngkin dapat menem ui Sang Patih dalam keadan perang ini. la pun tak tahu ada di mana dia. Seperti dengan sendirinya kakmya bergerak ke sebuah titik: Awis Kram bil – Idayu. Ah, benar ia mengakui. Idayulah yang meniupkan keberanian menerobos! Tuban. Kota Ia mengerti takkan mu ngkin dapat menem ui Sang Patih dalam keadan perang ini. la pun tak tahu ada di mana dia. Seperti dengan sendirinya kakmya bergerak ke sebuah titik: Awis Kram bil – Idayu. Ah, benar ia mengakui. Idayulah yang meniupkan keberanian menerobos! Tuban. Kota
W aktu matari pagi datang lagi ia menyelinap masuk ke dalam hutan, mencari persembunyian sambil menunggu datangn ya malam, dan sambil mencari buah-buahan ia mem akannya. Segala yang dap at dimakannya peda mu son kering itu dilahapnya: dedaunan mu da, buah, dalam serangan nyamuk. di atas timbunan semak yang sebelum nya telah di-injak-injaknya m enjadi kasur.
la bermimpi ditubruk macan dan terbangun. D arahnya masih berdeburan kencang. Ia hendak segera lari. Suatu
benda berat dan hangat terah menah annya, la dengar nafas hangat mem uputi mu kanya. D an ia meronta. Kemu dian ia dengar suara: “Bangun! Ya-ya, bangun,” suara wanita.
D engan tangan ia menggapai-gapai. Ia berada dalam pelukan seseorang.
“Tidak salah lagi. Pada Uh ini,” suara seorang wanita lainn ya.
Pada merontak bangun. “Mati, matilah aku sekarang,” pikirnya, “mereka sudah tangkap aku.”
“Tidak salah lagi” terdengar wanita lain berseru lega, “mem ang P ada ini”
“Benar,” seru wanita lain menggarami dengan suara hati-hati. ‘Tahi lalat di puncak kuping kirinya tak dap at
dicuri. Mem ang dia.” “Sudah jantan dia sekarang, ” suara wanita pertam a-tama
menam bahi dan pelukannya dilepaskan. Pada berhasil mengebaskan diri dan melarikan diri.
Ternyata tangan berbelas orang wanita itu tak dap at Ternyata tangan berbelas orang wanita itu tak dap at
“Jangan lari Pada!” mereka m enegah. “Kau haru s tolong kami” Mendengar kata tolong barulah Pada mencoba mengetah ui siapa o-rang-orang itu. Sekarang ia dikepung rap at oleh lebih dari dua puluh orang: Semua wanita. Ya. wanita. Mengapa wanita? Tak ada seorang pun di antaran ya bersenjata. D an tangan-tangan mereka tak ada yang kasar. Semua halus. D an wajah mereka nampak tak pernah kena sinar matari, kemerah-merahan, kulitnya mem ancarkan kesehatan. D an semua can-tik-rupawan. Tak
seorang pun di antara mereka bergigi hitam, adalah tanda mereka semua tak bersuam i. Tetapi mengapa tidak hitam? Adakah semua penari? Hanya seorang di antara mereka nam pak lebih tua, dan seorang sangat muda, bermata sipit, jelas seorang gadis Tionghoa.
“Lupakah kau padaku, Pada? Pada kami? Jantanku?” seseoran g bertanya. “Mengapa namp ak takut pada kami?”
Lam bat-lam bat tapi pasti ingatan Pada mulai bekerja dan mencakup kenangan lama: para selir Sang Adipati! Ia
tersenyum. Sekilas saja. Tiba-tiba ia bergidik. “Lepaskan aku.” pintanya sopan. “Mengapa N yi Ayu
sekalian ada di sini?” “Kau belagak bodo h. Pada. D ari mana saja kau, sampai
tak tahu ada perang? D an G usti Adipati sudah mangkat?” “Mengapa kau tersenyum goblok begitu, Pada?”
seseoran g bertanya, kemu dian menggelendot padanya. Pada sedang teringat pada sumpah Wiranggaleng. D an
sekarang Hang W ira telah terbebas dari sum pahnya: Sang Adip ati telah m angkat. Ia bisa pulang ke Tuban.
“Senang kau melihat kami terlantar seperti ini?”
“Mari aku antarkan ke perbatasan. Semua dari perbatasan, bukan?”
“Tidak semua,” salah seorang m enyangkal. “Aku pun tidak!” yang paling tua di antara mereka
mem benarkan. Suaranya tegas dan mantap. “D an sahaya dari Lao Sam,” gadis Tionghoa itu
mem perdengarkan suaran ya. Pada menatap yang tertua dan term uda itu berganti-
ganti. Ia belum pernah mengenal m ereka. Yang tua tentulah pengurus keputrian, yang mu da tentu selir terbaru.
“N yi G ede?” ia bertanya pada yang tertua, dan orang itu menjawab dengan sembah dada.
Pada merasa agak berbesar hati. Setidak-tidaknya ada di antara wanita-wanita cantik tak berdaya ini seorang juara bela diri. Ia melihat ketabahan pada matan ya, namu n tak tahu apa haru s diperbuat dalam keadaan seperti itu.
“Mari berjalan,” Pada menyilakan. “Kakiku, Pada,” seseoran g menyatakan protes sambil
mem ijit-mijit kakinya. “Kalau suka. Kalau tidak, terserah. Aku akan berjalan
terus dan ber-cepat-cepat. Barangsiapa ikut, mari. Jangan harapkan aku m au menggendong.”
“Jantanku! Jantanku! Begitu kejam nya kau sekarang. Lupa kau pada N yi Ayu Sekar Pinjung?”
Pada tertegun dan m enengok padanya. “Barangkali karena aku sudah jadi tua begini, Pada?”
D an Pada merasa iba. Tapi cepat-cepat dibuangn ya perasaan.
Ia mu lai berjalan bergegas mencari jalan setapak, menyasak semak dan belukar. Selir-selir itu berlarian mengikutinya seperti anak-anak ayam mem buntuti indu knya. D an semua mem bawa bungkusan, di-sunggi di atas kepala, dibopong atau digendong. D ari ujung paling belakang wanita-wanita harem itu namp ak seperti cendawan yang sedan g bergerak berpindah tempat.
D an jantan yang seorang itu tak mau menengok barang sekali, seakan ia sedang mem perlihatkan diri sudah mem unggungi masa lalunya untuk selam a-lam anya. Antara sebentar ia dengar suara mem anggil-manggil minta ditunggu. Ia tak peduli. Bahkan untuk mau diikuti saja baginya sudah pahala yang mencukupi.
Seorang yang tercucuk duri berjalan berjingkat-jingkat, terus lari mengejar, takut ketinggalan. D an kecuali N yi
G ede semua berebutan untuk berada di dekat Pada.
D an Pada merasa seorang yang paling berani di atas bum i ini.
N am paknya N yi G ede D aludarmi telah banyak mendengar tentang pada. D ari buntut barisan ia berseru-
seru: “Pada, Pada, berhenti dulu!” katanya seperti mem erintah.
D an Pada berhenti, berpaling ke belakang. W an ita- wanita itu mu lai melaluinya, dan ia berhadapan dengan
pengurus harem itu. “G usti Adipati sudah mangkat,” katanya bersunggu h-
sunggu h, “tapi aku masih membawa tugasnya, mengem ong wanita-wanita ini. Aku tak peduli apa hubungan mu dengan mereka di masa-m asa yang lalu. Aku pun tak peduli apa perasaanmu sekarang ini terhadap mereka. Aku minta, pandanglah mereka sebagai wanita tak berdaya, yang mem butuhkan perlindungan.”
Sejenak Pada mem berontak terhadap kata-kata itu. W an ita seorang yang ada di hadap annya itu nampak teguh pada tugasnya.
“Aku ada kepentingan sendiri’ Pada m enerangkan. “Bila pasukan D emak memburu, kau pun tak bakal
selam at sendiri, kita tump as bersama. Untuk apa mem buru kepentingan sendiri? Kepentingan kita semua sama: selam at’
D an mereka yang telah melewatinya kini pada berbalik melingkunginya. Tanpa bicara semua orang setuju: mu suh paling ganas adalah pasukan yang sedang menang, bukan binatan g buas hutan. Tapi hutan itu makin lama makin rap at juga.
Pada mu lai berjalan pelan-pelan dan D aludarmi tetap berada di belakang barisan, melakukan tugasnya sebagai penjaga dan pengemo ng. D i depan barisan Pada dap at merasakan, ia menaruh hormat padanya, tapi ia takkan mengu capkan nya.
Beberapa orang telah mengeluh kelaparan . Ia tak menggubris, la sendiri lapar D an wanita-wanita itu tak
mengerti dan tak menan yakan lagi kapan si jantan itu akan berhenti untuk beristirahat Ia dengar seorang-dua mu lai menan gis manja. Akhirnya ia tak tahan, berhenti.
Senja telah mem bikin hutan rapat itu jadi gelap. Perjalanan m emang sudah tak mu ngkin dapat diteruskan. Ia
mem erintahkan m enyiapkan tempat tidur masing-masing di atas semak-semak yang diinjak-injak. Beberapa oran g mu lai menggelar apa saja yang patut dipergunakan jadi tilam.
Api unggun disiapkan. Ia kemudian menyiapkan obor dari ranting-ranting dan
pelepah kering. D engan itu ia memimpin mereka mencari pelepah kering. D engan itu ia memimpin mereka mencari
D engan diam-diam pula orang mem bakar dan mem ahami pendapatan m ereka.
W aktu mereka bersiap-siap hendak tidur, tilam mereka telah diram bati oleh semut dan segala macam serangga, juga ulat berbagai macam. Oran g menjadi sibuk membersih- bersihkan.
Pada mem isahkan diri di tempat yang jauh, pura-pura tak mengetah ui sesuatu . Melihat itu peremp uan-p eremp uan
itu berebutan menyusul dan memilih tempat sedekat- dekatnya dengan nya. D an dalam malam menjelang tidur demikian ketakutan lebih banyak pada binatang buas daripada manusia buas.
D aludarmi mengawasi semua itu dengan prihatin. Melihat Pada risi terhadap momongannya ia pun merasa risi. Seorang diri ia pergi ke api unggu n dan menjaganya agar tak padam samp ai tengah malam.
D alam desakan wanita yang terbaring di samping- menyam pingnya Pada mem ikirkan soal lain: sekiranya Sang Adipati masih hidup, apakah yang akan diperbuatnya terhadap tubuh-tubuh pilihan yang sekarang ini mengepungn ya? Adakah dia akan melindungi mereka dari
balatentara D emak? Ataukah dia akan melarikan diri sendiri? D alam keadaan bahaya yang tak dapat ditawar- tawar ini? D an dengan puas hati ia menjawab pertanyaannya sendiri: dia akan hanya selam atkan diri sendiri. D an ia merasa puas, bahwa seorang Pada yang telah lolos dari hukum an matinya, justru yang melindungi orang-orang penghiburnya selam a itu. Pada! tidak lain dari Pada!
D i tengah-tengah hutan, di tengah-tengah para selir ini, ia merasa sebagai manusia yang lebih agung daripada seorang Adipati yang pernah berkuasa atas hidup dan matinya. D an telah mati terlebih dahulu, dan wanita-wanita penghiburnya ini kini jatuh dalam kesediaann ya.
Ia jadi iba hati. Bukan hanya Sang Adipati, ia berani mem astikan,
sebagian besar di antara mereka ini pernah ia gauli semasa ia masih kanak-kan ak, dan mu ngkin masih ada juga jantan lain. Tuhan, amp unilah orang-o rang ywg tak punya kemauan sendiri ini. Ampunilah aku, hambaMu ini, yang karena kedaifan, tanpa ajaranMu, telah melanggar laranganMu.
Selir-selir yang jauh daripadan ya, dan tak yakin akan keselam atan dirinya, terus juga berebutan dekat dengannya, berebutan
memegan ginya untuk mendapatkan perasaan terlindung dari binatang buas.
mem eluk
atau
D an Pada meronta bangun juga akhirnya. “Lepaskan aku!” pintan ya lembut ‘Takut, Pada, kami semu a takut.”
“Kalian tidur yang tertib, biar aku yang menjaga. Ayoh, tidur, api itu pun harus kujaga.” D ari kejauhan terdengar aum an harimau. Semua terdiam, juga Pada.
“Macan,” akhirnya seseoran g berbisik memperingatkan. “Karena itu jangan gelisah begini. Tidur, biar Pada bisa
menjaga kalian. Kalau tak mau tidur dengan tertib, biar aku pergi seorang diri malam ini juga.”
D an pergilah ia ke api unggun. Di sana didapatinya N yi
tempatnya wanita itu mem peringatkan para selir. “Kalau tak mau diatur, uruslah sendiri diri kalian. Biar macan pada berdatangan.”
G ede
D aludarmi.
D ari
D an Pada berjalan mondar-man dir seperti seorang kaisar yang paling berkuasa, seorang pahlawan yang paling berani, seorang panglim a yang kehabisan m usuh.
W an ita-wanita itu tak dapat berbuat lain daripada mengikuti perintah. Tiada antara lama kemudian mereka mu lai
D aludarmi mengh embuskan nafas keluh. Boleh jadi ia sedang menyesalkan haridepannya yang gelap tanpa ada Sang Adip ati dan tanpa ada harem. Tanpa bicara ia berdiri, menggabungkan diri dengan yang lain-lain, kemudian mem baringkan badannya yang berisi itu di atas tilam semak-semak yang hitam kemerahan oleh malam dan oleh api. la pun segera jatuh tertidur.
Pada mengh ampiri mereka, mengam ati seoran g demi seorang. Semua telah tertidur dalam kelelahan. D an tak ada seorang pun yang tidak rupawan, bahkan juga dalam tidur dengan mu lut dan mata setengah terbuka. Ia masih dap at mengenali sebagian terbesar dari mereka, la masih dap at mengingat mana-m ana yang pernah digaulinya semasa kanak-kan ak dulu, dan semua beberapa tahu n lebih tua daripadanya, kecuali N yi Ayu Campa itu. Ya, kecuali yang seorang itu semua lebih tua daripada N yi G ede Idayu. Kecuali yang seorang itu, mereka sudah lebih sepuluh tahun jadi betina kurungan hidup dalam pemantian kasih dan kesudian Sang Adipati. D an Sang Adipati tidak jarang hanya terdengar melangkah di depan pintu bilik. D alam sepuluh tahu n, gadis-gadis tani yang paling cerdas dan paling gesit pun akan berubah jadi boneka, jadi kepompong yang hanya pandai bergeol-geol. Uh, dan sekarang mereka dilepaskan alam terbuka begini, di tengah-tengah segala macam bahaya.
D engan berbantalkan bungkusan masing-m asing mereka tidur, lupa akan keadaan. Uh! milik-milik hidup Sang
Adip ati. Kemarin dulu orang bisa kehilangan kepala bila kedapatan bicara dengan mereka, hanya bicara saja! Sekarang mereka bergeletakan tanp a harga. Berap a ratus perjaka saja pernah mengimpikan kasih sayang dan tubuh dan hati mereka dulunya? Berap a saja di antaranya telah putus-asa, tak mampu melawan kekuasaan mu tlak Sang Adip ati, dan lari meninggalkan desa dan harapan masing- masing?
D an Pada melihat pada mu lut-mu lut yang setengah menganga itu gigi yang putih nampak, biasa tergosok dengan tepung arang setiap hari, dan liur yang pada menetes dan berleleran seperti rangkaian mutiara dan prastika.
Sekali lagi ia um pani api dengan kayu bakar baru.
D engan tanah mentah yang habis digaruknya ia bertayam um,
kemudian bersembah yang, bertakbir, bertahm id dan beristigfar. D an ia mem ohon mendapatkan kekuatan untuk tetap teguh dalam iman dan di dalam takwa. D an ampunilah mereka, ya Tuhan, sebagaimana Engkau ampuni orang-oran g yang terdahulu.
Api mu lai menjolak-jolak tinggi. Ia baringkan dirinya di bawah kaki m ereka dan tertidur.
Pada keesokan hari sikapnya terhadap mereka tiada keras lagi.
D alam rem bang rimba itu ia menduga-duga matahari sudah lama terbit. D an para selir yang terbiasa bangun terlambat itu masih tidur di tempatnya. Ia bangun kan mereka, tanpa mem beri peluang untuk bisa bermanja atau mengganggunya. Ia suruh mereka mencari makan. D an bersama-sam a mereka mengitari tempat sekeliling. Ia poto ngkan mereka rotan muda untuk minum. Ia panjatkan buah m linjo, dan pungutkan mereka m adu lebah.
Kemu dian mereka meneruskan perjalanan lagi. Sekarang tidak secepat kemarin. Ia pun m au mem bantu memikulkan beberapa bungkusan.
Sam pai di depan G owong Pada sengaja berhenti untuk mengenan gkan kebahagiaan lama dapat menyelamatkan Idayu dan anak-anaknya. Ia tahu, itulah detik kebahagiaann ya yang tertinggi: menyelamatkan oran g yang dipujanya. Mem ang hanya ada satu tubuh dan satu jiwa yang bersama Idayu. Tak ada tubuh dan jiwa lain di dalam nya, apa lagi jiwa selir. D an Idayu: ibu dari dua orang anak dan istri sahabatnya.
D id ekatinya wanita-wanita rupawan, nyata, dapat digenggamn ya setiap detik dia suka. Mengapa ia justru mencintai wanita bayangan, hak suami dan anak-anaknya?
“Mengapa berhenti di sini?” D aludarmi bertanya. Burung-burung keluar dari gua seperti dahulu kala, dan rumput telah menutup sebagian mu lut gua. Pada merasai suatu dorongan untuk menyatakan dukac-itanya dalam bercinta, agar orang lain tahu tentang kesakitannya.
“D ahulu ada seorang dewi tinggal di dalam nya’ ia mendongeng, “dalam tawanan drubiksa. Ya, dalam gua itu…. kemudian datan g seorang satria… dan ia merasa diri satria yang disebutnya sendiri, dan sekarang ia pun merasa sebagai satria gagah, didapatinya kepala drubiksa telah
bunuhi bawahann ya karena ia ingin memiliki Sang D ewi untuk dirinya sendiri. Tetapi Sang D ewi menolaknya.”
Para selir mu lai merubungnya dengan khidmat, tapi tak berani tebarkan pandang pada m ulut gua.
“Tulang-belulang drubiksa masih berantakan di dalam sana. Mari kita masuk,” dan kala dilihatn ya tak seorang pun mau, ia heran pada dirinya sendiri. D an lebih heran mengapa tak ada seorang yang bertanya siapa satria itu dan “Tulang-belulang drubiksa masih berantakan di dalam sana. Mari kita masuk,” dan kala dilihatn ya tak seorang pun mau, ia heran pada dirinya sendiri. D an lebih heran mengapa tak ada seorang yang bertanya siapa satria itu dan
“Mari berjalan terus,” seseoran g yang kengerian mem ohon.
“Ya, mari berjalan terus. Satria itu mem bunuh kepala drubiksa itu dengan kerisnya, jauh kemudian hari ia merasa menyesal mengapa drubiksa itu ia habisi dengan keris… oh, tidak, ia m enghabisinya dengan pisau dap ur.”
‘Tentu satria itu semacam orang linglung.” D aludarmi menyela, “Tak ada seorang satria mem bawa pisau dapur ke mana-mana.”
“Ya, barangkali semacam satria linglung, ” Pada menjawab.
D an oran g mu lai berdiri. Beberapa sudah mulai berjalan Pada heran mengapa tak ada oran g menan ggapi
dongengnya. D an ia pun mu lai berjalan melupakan G ua
G owong. D engan nada mem aksa sekarang ia bertanya: “Mengapa Sang D ewi m enolaknya?”
“Mu ngkin Sang Satria sudah linglung.” “Mu ngkin Sang Satria sudah tua,” seseoran g
mem aksakan diri menjawab. “Sang Adipati adalah satria tua, kalian masih juga mau
menerimanya. Itu bukan alasan.” “Kalau begitu Sang Satria masih terlalu muda.”
“Pada waktu itu masih sangat muda, malahan bukan satria, dan kalian pernah juga m au menerimanya.”
Mereka semua tertawa terkikik-kikik.
“Karena Sang D ewi bukan manusia maka ia berpikir tidak sebagai manusia, la hanya hendak kembali ke kayangan , berkumpul lagi dengan para D ewa.”
Pada merasa bosan sendiri dengan teka-tekinya. Lagi pula apakah gunanya oran g lain harus melihat kegagalannya, kesakitannya, dan hatinya yang rongkah? Ia kembali berdiam diri.
Perjalanan diteruskan. Menginap lagi dan menginap lagi dalam
hutan Mem asuki daerah alang-alang yang menakutkan. Tak ada bekas bakar-bakaran. Tak ada nam pak seekor rusa pun. Ia ragu-ragu untuk melintasi. D an wanita-wanita itu melihat keragu-raguannya. Semua mengerti belaka bahaya yang sedang mereka hadapi.
Kini semua termangu-m angu di tepi hutan. Pada masuk lagi ke dalam hutan, bertayamum, dan bersembah yang mem ohon keselam atan untuk seluruh rombongan. Ia berdoa dengan dua belah tangan tertengadah tinggi ke langit, lebih tinggi dari biasanya. Berilah pada kami semua keselam atan , ya Tuhan, penguasa bumi dan langit.
Senjata yang ada padanya hanya sebilah pisau, dan padang alang-alang begitu luasnya. Ia tetapkan hati dan teguhkan iman, Tuhan-lah semu a yang m enentukan.
“Mari berangkat!” Tak ada seorang pun menginginkan tempat terdepan
atau terbelakang. Maka sekarang D aludarmi berjalan paling depan daripada paling belakang. Tak ada seorang pun berbicara. Kaki seakan-akan tak menginjak tanah lagi. Setiap langkah terasa berat dan tak juga maju. Perm ukaan alang-alang tak juga m au tenang, mengimbak-imbak seperti om bak laut setiap angin datang m eniup, m enyesatkan orang dari gerakan yang mencurigakan itu.
Tak terdengar orang mengeluh atau mengaduh, kuatir akan mem bangun kan raja maut yang sedang mengintip entah dimana. Ketakutan pada mati telah menindas perasaan-perasaan yang lebih kecil.
“Akhir-akhirnya setiap ketakutan adalah ketakutan pada maut,” gum am Pada setelah selam at melalui padang alang- alang dan mem asuki hutan mu da. “Alham dulillah, ya Allah, ya Ro bbi,” ia dud uk tersandar pada sebatan g pohon kluwih dan para selir duduk mengelilingi. “Mereka yang kalah perang pun mungkin tak mengalami ketakutan semacam itu,” bisiknya kemudian pada dirinya sendiri. Suaranya dikeraskan: “Kalau sudah terlewati hutan mu da ini, kita sudah mendekati desa, kita akan berpisahan di sana.”
‘Tidak, aku ikut sampai ke desaku sendiri,” seseorang mem bantah.
“Siapa tahu perang masih berkecamu k di jalanan kita nanti? Kami akan tetap mengikuti,” seorang lain mem bantah juga.
“Baik, mari berjalan lagi. Sampai di desa pertama matahari sedang tenggelam dan kita m enginap di sana.”
Ternyata desa pertama itu sunyi tak terkirakan. Malam telah jatuh. Tak ada suara gam elan. Tak ada lampu menyala.
Ru mah yang terjauh dari pusat desa mereka masuki. Masih ada orang tinggal di dalam nya: suami-istri dengan dua oran g anaknya yang masih kecil. D engan segala kerelaan mereka berikan penginapan dan hidangan dingin dalam kegelapan itu. D an hidan gan itu sama sekali tidak mencukupi untuk orang sebanyak itu.
D an tuan maupun istrinya sama sekali tak bertanya, dari mana mereka datang dan ke mana mereka hendak pergi. Bahkan siapa mereka, mereka tak bertanya. Semua berjalan seperti rombongan semut yang satu bertemu dengan rombongan yang lain.
“Hanya inilah yang ada. Hanya beginilah tempatnya.” Orang-orang yang menan ggung kelaparan dan kelelahan
dalam tindisan ketakutan yang amat sangat itu sekaligu s merasa am an di dalam lingkungan manusia yang belum diubah perangainya oleh perang.
Belum lagi lama mereka tidur, dan matari telah menyembul di timur.
D erap kuda mem aksa semua orang melompat dari ketiduran masing-masing. Suami-istri dan anak-anaknya telah lebih dah ulu lari, dan nampak sedang menyeberan gi padang rumput menuju ke hutan.
Bagi Pada tak ada jalan lain daripada naik ke atas pohon nangka di samping rum ah: Poho n itu sangat rimbun tetapi tiada berbuah.
Prajurit-prajurit berkuda itu mem asuki rumah dengan masih berkendara. Seoran g prajurit, yang melihat beberapa orang wanita lari ke padan g rumput di belakang rumah, segera mengejar dan menyambar salah seorang serta mengangkatn ya ke atas kudan ya. Yang lain-lain terpaksa
berhenti dan kembali ke rumah m engikuti perintah.
D ari tempat persembunyiannya Pada tak melihat cambuk-perang pada pinggang prajurit itu. Bukan tentara Tuban, ia memu tuskan. Apakah bedanya di masa perang, apakah dia tentara D emak atau Tuban? Ia mendekam mengawasi. D an ia tahu, ia tidak setakut di menara pelabuhan dulu.
Selir di atas kuda itu menjerit dan meronta-ronta ketakutan. Prajurit itu mem eluknya sam bil tertawa-tawa. Di dalam rumah selir-selir lain mem ekik-m ekik pula. D an prajurit itu mem acu kudan ya, menghilang entah ke mana.
Pekik-pekik semakin meriuh dalam rum ah. Pada hanya bisa mendengarkan. Kemu dian tak terdengar lagi perlawanan. Keadaan kembali sunyi. Kesunyian yang menyesatkan.
Tiada antara lama kemudian mendadak serombongan prajurit kaki datang bersorak-sorak. Mereka telah melihat beberapa ekor kuda tercancang di depan rumah itu.
D ari pintu belakang rumah nampak prajurit-prajurit berkuda dalam keadaan telanjang bulat atau setengah bulat lari mem bawa pedang masing-masing menuju ke hutan, melintasi padang rumput.
Pasukan kaki itu mengejarnya, sebagian besar mengepung dan mem asuki rum ah. D an Pada dapat melihat di antara dedau nan nangka itu tombak-tom bak beterbangan mengejar. Yang dikejar menggunakan pedangnya menan gkisi maut yang mendatangi. Tak peduli pada ketelanjangan nya di bawah surya. Mereka terus lari ke arah hutan. Yang mengejar pun memp ercepat larinya. Beberapa orang prajurit kaki Tuban melompat ke atas kuda-kuda yang tercancang, mengejar dengan mengamangkan tombak masing-m asing. D alam waktu pendek yang terkejar tersusul. Perkelahian tak dap at dihindari G emerincing pedang beradu pedang dan tom bak terdengar nyaring dari tempat Pada.
D an dalam dekamannya di atas pohon dapat ia lihat seorang pengejar jatuh dari atas kudanya dan dua orang yang dikejar jatuh ke atas tanah untuk tidak akan bangun lagi buat selam a-lam anya, la dap at saksikan dari balik D an dalam dekamannya di atas pohon dapat ia lihat seorang pengejar jatuh dari atas kudanya dan dua orang yang dikejar jatuh ke atas tanah untuk tidak akan bangun lagi buat selam a-lam anya, la dap at saksikan dari balik
D ari temp atnya pula ia melihat selir-selir itu keluar dari pintu depan, digiring dalam pakaian kacau meninggalkan rumah petani itu, hilang dari pemandangan.
Em pat orang berkuda dengan pedang atau tombak berlumuran darah itu lewat pelahan-lahan di bawah persembunyian Pada.
“Mem ang selir-selir G usti Adipati,” seseorang berkata. “Bagaimana bisa sampai ke mari?” “Mengikuti orang bernam a Pada, hendak kembali ke
desa.” “D i m ana Pada sekarang?” “Katanya lari waktu oran g-orang D emak datang.” “D ia tidak melindungi selir-selir itu?” “Melindun gi bagaiman a? D ia tak bersenjata, bukan
prajurit. Katanya juga G usti Adipati telah m angkat” Pasukan Tuban telah pergi. Ia belum juga turun dari
tempatnya. Kemu dian nampak seekor gajah perang berjalan diiringkan oleh pasukan kaki di belakangn ya. Seorang
perwira berdiri dalam bentengan kayu, menyanyi. Ia masih harus menunggu sampai matari tenggelam,
baru ia turun. D an suami-istri petani itu sudah pula kembali.
“Begitu sehari-hari,” tuan rumah memulai. D ikeluarkan ubi dan gembili kemudian dibakarnya. “Sudahlah, tak perlu kita bicarakan. Mari makan. Mana yang lain-lain?”
“Sudah dibawa tentara Tuban.”
“O,” ia tak meneruskan. Juga istrinya tak bicara apa-apa. Anak-an ak mereka
tanp a bicara merangkak ke tempat tidur masing-m asing, kemudian tak terdengar lagi suaranya.
D an malam itu juga ia minta diri dan mengu capkan beribu tenm a-kasih.
Pada subuh hari sampailah ia di rumah Idayu. Pon dok dipinggir hutan itu koson g. Pintu rum ahnya
telah dipalang silang dengan dua poton g bambu belah sebagai pertanda: penghuninya sedang pergi untuk waktu yang tak dapat ditentukan, orang tak diperkenankan masuk ke dalam .
Ham pir saja ia terlelap begitu m enyandarkan badan pada dau n pintu. Ingat pada fajar yang mendatang dan bahaya yang segera akan tiba, ia pun berdiri lagi, menuruni tangga, berjalan masuk ke dalam hutan. Tak sulit baginya untuk menebak di mana Idayu berada. D ulu ia dan Wiranggaleng dan G elar telah mem buka hum a di dalam hutan untuk tempat pengungsian bila perang terjadi.
Jalan setapak itu hampir tak namp ak lagi karena telah kejatuh an luruhan daun selam a ini. D an ia berjalan dengan susah payah. Beberapa kali ia tersesat di jalanan babi, terperosok dan tersasar.
Pada tengah hari setelah berputar-putar dalam hutan samp ailah ia di tempat yang dituju. D ari suatu jarak ia
sudah dapat melihat huma di depannya terawat baik dan baru saja berpanen padi. Ia taksir sudah lebih lima bulan hum a itu digarap. Sebuah gubuk yang sangat sederhana berdiri di tengah-tengah. D an tentu G elar ada di dalam situ.
Ia melangkah hendak keluar dari hutan. Pandan gann ya terpusat pada pintu gubuk yang terbuka, mengh arap wajah
Idayu segera akan nam pak. Tak dilihatnya lagi akar-jalar melintang di bawah kaki. Ia terjatuh dibarengi bunyi tom bak menyam bar di atas kepalanya. D an tangkai tombak itu menggeletar dengan mata tertancap pada batang pohon tempat ia tadi berhenti.
“G elar! Aku di sini, aku, Pada,” ia mem ekik. “Pam ankah itu?” terdengar suara G elar, dan pem uda itu
mu ncul dari balik semak-semak. “Beribu ampun, Paman, tiada terduga. Pam an dari Malaka? Mengapa kelihatan lebih tinggi dan kurus? Mari, mari.”
Ia dap atkan Idayu tiada kuran g suatu apa. N ampak ia terawat baik. W ajah nya segar dan tetap dalam keadaan
bersolek seperti biasa. Matanya berseri-seri menyam butnya. “Kau kelihatan lebih tua. Pada. ” “D an Mbokayu kelihatan lebih muda lagi’ jawabnya
menegang. Kemu dian ia langsung bercerita tentang W iranggaleng dan pasukan gabungan yang tertinggal lola di Semenanjung.
Idayu mendengarkan dengan diam-diam. D an G elar mendengarkan dengan gelisah; berita dari Semenanjung itu
mem bikin ia terbakar oleh perasaan tidak puas terhadap orang-orang besar yang m emperm ain mainkan Senapati.
“D an kau, G elar, kau kelihatan lebih kukuh,” Pada langsung mem asuki persoalan pribadi setelah ceritanya
selesai. “Lem paran tombakm u seperti prajurit sungguh.”
D an G elar hanya tersenyum senang mendengar pujian itu. Ia m alu bercerita telah lari dari pasukan pengawal.
Pada meneruskan ceritanya tentang perjalanannya dari Semenanjung samp ai ke Tuban dengan suara semakin lama semakin pelahan.
“Kau lelah. Pada.” tegur Idayu. “D an matam u merah seperti itu. Sudah lah, kau tidur dulu.”
Setelah beberapa hari beristirahat ia bermaksud kembali ke Malaka. M asih banyak yang harus dikerjakan D an Idayu seakan menggenggamn ya tanpa ingin melepaskannya Ia semakin mencintai isteri sahabatn ya ini. D an justru karena itu ia harus segera pergi. Sebelum berangkat ia bertanya pada Idayu dan dua oran g anaknya, pesan apa yang harus disampaikannya pada Senapati. Dan dari tiga orang ibu- beranak itu ia hanya mendapatkan satu pesan untuk yang tercinta di Malaka sana: pulanglah, karena Sang Adipati
telah mangkat, dan tak ada orang yang menyokong pembebasan atas M alaka
Hatinya sendu sayu menghadapi perpisahan dan seorang wanita yang dicintainya dan tidak pernah mem balas cintanya. Tapi juga gem bira karena akan dapat m elepaskan dirii dari genggamannya Memang ia ingin lebih lama berada di dekat wanita pujaan, mendengarkan suaranya, mem andangi gerak-geriknya, mengagumi senyum dan ketabahannya. Tetapi bila karena sesuatu hal pandangnya bertatapan dengan pandangann ya, ia rasai seribu panah menerjang dad anya, dan darahnya mem beludag seakan hendak mem bikin jantungnya meledak. Beberapa kali saja ia m emohon ampun pada Tu hannya karena telah m encintai wanita yang bukan haknya. Ampun, ampun, am pun., tetapi hatinya punya kemauan dan hukum sendiri
W aktu ia minta diri Idayu hanya menatapnya, kemu dian menganggu k tanpa bicara, seakan hendak mengatakan, bahwa sudah seharusnya ia pergi lebih dahulu. Buru-buru ia menam bahi:
“Ampuni aku telah menyusahkan M bokayu selam a ini.” Ia mengh arap kan sesuatu yang manis diucapkan oleh
wanita tercinta itu.
G elar pergi untuk mengurus kuda. Ia akan m engantarkan tam unya sampai ke luar hutan. D an Kumban g sedang sibuk mem belah kayu bakar.
“Ya, pergilah kau dengan selam at. D an kalau aku boleh berpesan padamu pribadi. Pada, jangan lah kau pandan gi aku dengan mata seperti itu. Kawinlah kau dengan perempuan yang pertama-tama kau setujui, dan kau akan terbebas dari sikap yang m engganggu hidupmu selama ini’
Pada m embuang m uka. Ia berdiri dan keluar dari gubuk, ia hampiri Kumbang dan minta diri padan ya, kemudian bersama G elar m enerobos hutan berkendara dua ekor kuda.
“Mengapa kau tak di medan perang. G elar?” tanya Pada untuk melupakan kata-kata Idayu.
“D i pihak siapa. Paman?” “D i pihak Tuban tentu.” “Tuban? Apakah yang sudah diperbuat Adip ati Tuban
terhadap emak, terhadap bapak, dan terhadap diriku sendiri? Kau lihat sendiri Paman, bapakku. Senapati, telah dibuangn ya di negeri orang untuk berperang. ”
Ia dapat temukan kata-kata berontak dari Idayu, dari Senapati dan dari Rama Cluring. Keluarga ini nampaknya benar-benar anak-rohani Rama during. Dan sekilas ia teringat pada ajaran salah seorang gurunya dulu bagaimana seorang mu safir D emak harus bersikap dan berbuat
terhadap guru-pembicara kafir tumpas! Ternyata pengaruh Rama Cluring sangat besar terhadap keluarga seorang yang dicintainya. Tim bul dorongan dalam hatinya untuk mengetah ui lebih banyak tentang guru-guru itu. Tapi ia tak jadi bertanya. Apa pula gunanya sekarang ini? Sudah bukan tugasnya lagi.
“G elar, kalau orang melihat gerak-gerik emakmu yang luwes, setiap orang akan dapat mengetahui dia seorang penari ulung. Kalau orang melihat ketrampilanmu naik kuda dan melemparkan tom bak, segera aku dap at mengetah ui kau pernah jadi prajurit.”
“Betul, Pam an. Aku pernah jadi calon prajurit pengawal Tuban,” G elar m engakui. “Kemu dian sebentar jadi Prajurit
D emak.” “D emak?” “Betul.” “Kau mondar-mandir tidak karuan.”
G elar tertawa, kemu dian m eneruskan: “Aku rasa, tinggal bersama emak lebih tepat. Setidak-tidaknya berguna untuk emak dan Kumban g Apalah artinya pengabdian pada Tuban dan D emak? Sampai sekaran g aku tak tahu.”
Co ba kau ceritakan, bagaimana kau bisa m ondar-m andir pada dua daerah yang saling berm usuhan. ”
‘Aku kira tadinya yang satu akan lebih baik dari yang lain. ”
“Bagaimana kau anggap dua-duanya buruk? D emak Islam, Tuban setengah W arn.”
“D ua-duanya tidak berbuat sesuatu pun untuk pembebasan Malaka, apalagi setelah ternyata Senapatiku dibuang tidak menentu di sana. Oran g bilang berangkat hanya dengan jung!”
Sekali Pada melihat semangat si Wiranggaleng di dalam kata-katanya. D an ia mem biarkan G elar meneruskan kata- katanya.
Begitu, pam an, hanya di rumah aku merasa damai. Di Tuban orang selalu mengejek dan mengganggu dan mengh ina. Benarkah aku bukan anak Senapatiku?”
Kuda itu berjalan beriringan, dan Pada berada di belakang G elar sehingga ia tak dapat melihat wajah bocah itu. la pun tak menyangka percakapan itu berbelok begitu tajam ke jurusan lain.
“Kau diam saja, Paman. N ampaknya juga Paman tak mau m enerangkan.”
“Tahu apa aku tentang itu? Yang kuketahui selam a mi kau anak Senapati dengan
Idayu. Mengapa justru bertanya padaku “Em ak selalu mengelak-ngeiak, dan bilang ‘tidak cukup
baikkah Wiran ggaleng dan Idayu jadi orang tuam u?’ Aku tak samp ai hati mendesak. Apalagi bila nampak olehku matanya mulai merah berkaca-kaca.. Tidak, Paman, aku tak bea. Pernah emak mengutip kata-kata seoran g guru- pembicara, ia lupa nam anya… ia mengu langi kutipan itu hanya untuk mengelakkan pertanyaan. Aku justru semakin bim bang”
“Apa katanya?” “Tak ada seorang manusia pun,” katanya, “pernah
mem inta pada para dewa untuk dilahirkan di dunia mi. Setiap orang dilahirkan tanpa semau-nya sendiri Orang
dipaksa lahir, dan ibunya dipaksa melahirkan.” “Itulah guru-pembicara dun gu.” Pada terangsang.
“Hidup adalah karunia tak terhingga, tak peduli siapa bapak atau ibunya.”
“Ya, tak terhingga, untuk jadi permainan para raja’
Pada terkejut, tetapi pura-pura tak mem perhatikan. Tak pernah ada oran g bicara semacam itu. Sendiri seorang guru- pembicara, bekas mu safir
D emak, dilatih untuk mem atah kan pengaru h guru-pembicara bukan golon gan sendiri, kafir, secara naluriah ia bangkit untuk mengo brak- abrik pengaruh itu.
“G elar, mu ngkin kau tak begitu benar. Setiap kelahiran bukan saja mem bawa rahmat, juga mem bawa pesan pada dun ia, agar manusia tidak menjadi permainan para raja. Pesan itu juga diberikan kepadam u, padaku, juga untuk kita teruskan D ari negeri Melayu sana datang bidai ‘Raja adil raja disembah, raja lalim raja disanggah’”.
“Belum pernah emak bercerita tentang adanya raja yang kecuali oleh raja lain yang sama lalimnya baran gkali. D an perang pun terjadi, barangkali. Maka kita terjepit seperti pelanduk di tengah dua gajah. Barangkali itulah rahmat dan karunia?”
Betapa bocah ini sudah menolak kepahitan hidup, pikir Pada. D an cepat-cepat ia mem belokkan: “G elar, cobalah
singkirkan dulu soal raja-raja itu. Sekiran ya kau tidak lahir, bukankah kau tak bisa berbakti pada emakmu seperti halnya sekarang? Bukankah itu karunia?”
Suatu perdebatan dari dua sikap yang berlain-lainan itu tak mengh asilkan kelegaan pada kedua belah pihak. D an
Pada mengakui tak dap at mR matahkan pengaru h para guru-pembicara yang telah berakar di dalam keluarga W iranggaleng.
Akhirnya m ereka terdiam kebosanan. Tapi G elar tak urung mengu langi pertanyaannya:
‘Pam an belum juga menjawab, benarkah aku bukan anak Senapatiku?”
“Sudah datang waktu bagiku untuk meneruskan perjalanan seorang diri, G elar. Tentang itu, datanglah pada emakm u. Tanyakan baik-baik. Sekarang kau sudah cukup dewasa untuk mengetah ui segala yang patut kau ketahui. Aku tak tahu apa-apa, dan tidak punya hak apa-apa. N ah, terimalah kembali kudamu ini, dan pulanglah kau pada emakm u, dan berbaktilah lebih baik.”
Ia ulurkan tangan untuk dicium G elar, tetapi bocah itu tak m engenal adat itu. G elar m engangkat sembah dada.
Kekafiran masih berkuasa atas mereka, keluhnya, kemudian ia berjalan kaki keluar dari hutan.
Begitu lepas dari cengkeram an hutan ia berhadap an dengan rumah di pinggir hutan itu. Ia mem erlukan naik ke atasnya, meninjau gubuk yang selam a ini ditinggali oleh wanita yang dicintainya. Dilihatnya palang bambu telah tergeletak jauh di beranda, dan pintunya telah terbuka. Ia masuk ke dalam .
Semua perkakas telah berantakan di lantai: oran g-orang
D emak telah memasuki rumah ini. Cepat-cepat ia turun, lari, balik mem asuki hutan.
0odwo0