D an Po rtugis pun Memasuki Tuban

40. D an Po rtugis pun Memasuki Tuban

Kehidup an di Tuban agak pulih. Kala Cu wil telah mem erintahkan para pagardesa untuk pulang ke tempatnya

ma-sing-masin g dan kembali melakukan pekerjaan sehari- hari.

Bandar Tuban Kota m ulai berisi lagi dengan manusia. Selama pertempuran di barat kota N yi G ede Kati tetap

mengirimkan makanan ke krangkeng, sekali dalam sehari.

D an sampai sebegitu jauh suaminya tak pernah bertanya bagaimana ia mendapatkan makannya.

D an terjadilah hari itu. N yi G ede Kati datang pada waktu sore dengan mem bawa bungkusan dan lodong air.

D an bungkusan itu bukan lagi dau n pisang, tapi kain batik yang telah usang. Ia menyorongkannya dari sela-sela jeruji besi, berkata: “Kain buruk itu, Tuan, barangkali berguna untuk selimu t di waktu malam dan berteduh di waktu siang.”

Tepat pada waktu Tholib Sungkar menerimanya canang pelabuhan bertalu-talu.

“Ada kapal asing datang!” gum am Syahbandar sambil meninjau ke menara pelabuhan . “D an Syahbandar masih di sini,” gum amn ya lagi, sekaran g meninjau ke ufuk.

“Kau lihat kapalnya, Kati?” “Lihat, Tuan. ”

“D emi Allah, aku bebas, Kati, karena hanya akulah Syahbandar. Kapal manakah gerangan? Aku tak lihat. ”

“N am paknya kapal Peranggi, Tuan.” “Peranggi? Masyaallah,” matanya bersinar-sinar penuh

harapan. “Lihat baik-baik, Kati.” “Peranggi, Tuan, tiga kapal.” “Tiga kapal! D ia datang bukan untuk berdagang, Kati,” Ia mencoba melihat, tapi tak dapat. Kelemahan badan

selam a ini mem bikin m atan ya menjadi rabun. D an m ata itu berhenti pada tonggak-ton ggak yang selam a ini ditakutinya.

D i sana Yakub dan teman-temannya telah menjalani hukum an mati, seorang demi seoran g, diperas darah nya, tetes demi tetes. Ia tak berani melihat lebih lama. Kuping batinnya masih dapat mendengar raungan mereka dan hatinya m enggeletar ciut oleh seribu satu macam gambaran dan perasaan. Sekarang: Portugis! Portugis datang! Mereka takkan lebih berbahaya dari Kala Cu wil si pongah Tuban itu!

“Alham dulillah,” sebutnya berkali-kali. “Peranggiiiiiii!” Pekik penjaga menara. Baik N yi G ede Kati maupun Tholib melihat penjaga

menara itu lari menuruni tangga. Lari lagi ke kesyahbandaran.

Beberapa bentar kemudian tiga orang penunggang kuda berpacu hilang di tikungan. Canan g alun-alun sekarang bertahi tiada henti-hentinya, titir tand a bahaya. Canan g- canang desa kemudian pun bertalu-talu, mem beritakan akan datan gnya bahaya dari laut.

D an balatentara Tuban masih mesanggrah di perbatasan barat. Canang kemudian berubah irama, mem berikan isyarat agar semua perempuan dan anak-anak meninggalkan kota dan pergi ke pedalaman.

“Mereka datang!” bisik Syahbandar, “tak salah lagi.” N yi G ede Kati mem andangi suaminya, mencibirkan

bibir. Tangan suaminya yang mem egangi lengan nya ia lepaskan. “Aku akan selamat. Tumpaslah kau Kala Cuwil!”

D ari kejauhan mulai terdengar ledakan meriam m elepaskan peluru. Tak lama kemudian pelurunya beterbangan di atas krangkeng. Riuh-rendah atap dan rumah yang bongkar- bangkir kena terjang.

Sebutir peluru meriam yang jatuh di jalanan pasir mem bikin segitiga debu yang menyemprot ke atas, melebar.

D itiup angin debu itu pun mengem bang dan buyar bersama dengan angin sore.

N yi G ede Kati meludah. Kemudian lari melintasi daerah tembak m eriam ke sebelah timu r.

Tholib Sungkar Az-Z ubaid mendekam sambil berdoa tiada berkepu-tusan. ia tahu peluru-peluru itu tidak

mengenal Syahbandar Tuban. Ia hanya mengenal sasaran.

D an ia tahu, ia tidak semestinya jadi sasaran . Ia adalah Tholib Sungkar Az-Z ubaid, tidak lebih dan tidak kurang.

D an Portugis belum lagi mem bayar penuh untuk segala jasanya. Kalau ada peluru mengenai dirinya ia akan rugi,

dan Portugis tak perlu melunasi hutangn ya. Tak patut ia tewas meninggalkan piutang. Tapi peluru-peluru itu buta, tak mengenal hutang atau pun piutang. Orang lari berserabutan dari bandar. Merekalah yang lebih berhak mendapat peluru, bukan Syahbandar Tuban. Peremp uan yang menggendong anak sambil menarik anak yang lebih besar. Lelaki yang mem anggul bungkusan. Kakek atau dan Portugis tak perlu melunasi hutangn ya. Tak patut ia tewas meninggalkan piutang. Tapi peluru-peluru itu buta, tak mengenal hutang atau pun piutang. Orang lari berserabutan dari bandar. Merekalah yang lebih berhak mendapat peluru, bukan Syahbandar Tuban. Peremp uan yang menggendong anak sambil menarik anak yang lebih besar. Lelaki yang mem anggul bungkusan. Kakek atau

Tholib Sungkar mengintip dari sela-sela jari untuk menyaksikan pertempuran laut itu. Ia tak melihat kapal- kapal Tuban, hanya silang-siur dari peluru di udara, dan hanya tiga kapal Portugis itu juga yang semakin mendekat ke bandar.

menerjang bangunan. Mem benarm kan suara manusia dan hewan. N ampaknya kapal-kapal Tuban dianggap tidak penting oleh Peranggi. Peluru makin m endesak ke arah Kota. D an tak ada seorang pun dapat m enangkis. G edung kesyahbandaran telah roboh atap nya. D alam hanya seperempat jam telah banyak bangun an kota berubah bentuk, berlutut, berjongkok, sujud, atau atapnya compang-camping. Kebakaran mu lai mu ncul di sana-sini. D an asap hitam mengepul ke langit senja yang biru itu.

Riuh-rendah

peluru

Bandar telah m ulai koson g. Sisa armada Francisco de Sa setelah lari dari Sunda

Kelapa terus berlayar ke timur. Di luar perintah Malaka ia bermaksud melaksanakan rencana kedua, mendud uki bandar Tuban. Sunda Kelapa lepas, Tuban harus kena. Ia harus tinggalkan Sunda Kelapa karena tak mengetah ui benar perobahan yang telah terjadi. D an kini, di luar pengetahuan Malaka sisa arm adan ya telah siap untuk berlabuh.

Tetapi gangguan kepal-kapal Tuban, di antaranya ada yang melepaskan tembakan meriam telah menyendatkan rencanan ya dengan beberapa puluh bentar. Cetbang- cetbang itu mem ang tidak digubrisnya, tetapi meriamnya harus mendapat pelayanan yang layak. D engan salvo meriam selam a lim a bentar, empat buah kapal Tuban telah menyerosok ke dasar laut. Awak kapal yang berapungan menjadi isarat salvonya harus di arah kan ke sasaran semula. Ia perintahkan berlabuh dan mem buang sauh di luar jarak tembak cetbang. Dan sekod-sckoci mu lai diturunkan Menyusul kemudian serdad u-serdadunya bersenjata lengkap. Meriam terus memu ntah kan peluru untuk melindun gi pendaratan.

D endam nya akan dilampiaskannya pada Tuban. Ia tak dap at memaafkan diri dengan kegagalannya di Sunda Kelapa. D ari nelayan dan kapal-kapal yang dibajaknya baru ia m engetahui, Sunda Kelapa telah jatuh ke tangan D emak. Ia takkan kembali ke sana. D ari tangkapan-tangkapan di laut itu pula ia mengetahui, Tuban sedang kosong dari balatentara yang sedang berperang melawan D emak.

D engan jatuhnya Tuban ke tangannya D emak akan putus hubungann ya dengan Maluku. Pucuk dicinta ulam tiba.

D engan mendudu ki bandar Tuban ia harus dap at selam atkan m uka dan nam anya.

Adalah mem alukan bagi seorang pembesar Portugis dikalahkan oleh Pribumi, karena kalahnya juga kekalahan ras, kekalahan agam a, kekalahan keyakinan. D an itu tidak boleh terjadi atas diri Fran cisco de Sa.

Ia lihat dari geladaknya sekod-sekoci sudah harus mendarat. D ayung ke arah bandar. Tak ada sebuah pun tertinggal. D alam lim a belas bentar prajurit-prajuritnya sudah harus mendarat. D an dari teropongnya ia melihat Ia lihat dari geladaknya sekod-sekoci sudah harus mendarat. D ayung ke arah bandar. Tak ada sebuah pun tertinggal. D alam lim a belas bentar prajurit-prajuritnya sudah harus mendarat. D an dari teropongnya ia melihat

Ia perintah kan menurunkan sekoci pimpinan, dan ia sendiri tunin bersama dengan ajudan dan beberapa orang pengawal.

Pagar desa Tuban telah dikerahkan dengan kilat. Bersenjatakan tom bak, panah dan perisai mereka menyerbu ke bandar. Hanya ada beberapa oran g prajurit beserta mereka untuk m emimpin perlawanan.

Seperti semu t m ereka menyerbu ke bandar, bersebaran di setiap temp at dan bersorak-sorak untuk mem beranikan diri

sendiri. Meriam dari kapal telah berhenti menem bak. Mereka diterima oleh semprotan peluru musket, mu ndur. Pertem puran tidak sempat terjadi. Sorak-sorai padam dengan sendirinya. Tom bak peluru musket itu tak dap at ditembus, sebaliknya mem binasakan, menyusupi daging dan menumpahkan darah. Pasukan pagardesa mundur dan mu ndur terus.

D id erm aga Portugis tak henti-hentinya mendaratkan balatentara.

Pagar desa segera berlarian meninggalkan bandar dan menarik diri ke kota yang juga telah kacau-balau dengan rumah-rumah yang binasa dan terbakar. Mu sket Portugis terus mengu sir dan membinasakan siapa saja yang ada di depannya, manusia dan hewan.

Begitu serdadu Portugis mendarat, mereka terus lari maju dan mendud uki tempat di depan pasukan sebelum nya.

D an demikian terus menerus. Suara ledakan riuh-rendah seperti sedang berpesta. Yang terakhir mendarat adalah Fran cisco de Sa.

Tholib Sungkar tidur menelungkup di atas ruji-ruji krangkengnya. W aktu tembakan m eriam telah berhenti dan tembakan mu sket makin lama makin meninggalkan bandar mem asuki kota, ia angkat kepalanya dan berhenti berdoa.

Ia lihat sudah tak ada pendaratan baru. Sekoci-sekoci telah beran gkat lagi ke kapal dan m engangkuti peralatan. Di derm aga ia lihat beberapa orang Portugis. D an ia dap at melihat m ereka adalah para pembesar.

Ia mengu capkan syukur untuk keselam atan nya, dilupakan oleh peluru m eriam dan m usket.

Pembesar-pembesar itu masih juga berdiri di derm aga menunggu pengangkutan peralatan. Sekarang peti-peti dan

meriam dan rodanya “Bekas Syahbandar M alaka?” “Tepat. Alias Sayid Habibullah Al-Masawa.” “Cu kup!” Bertiga mereka lari menggabungkan diri dengan

rombongan Fran cisco de Sa yang sudah hampir meninggalkan wilayah bandar.

Fran cisco berhenti, menengok ke arah krangkeng, kemudian berjalan mengh ampiri, dan mengawasi Tholib yang berdiri seperti burung kutilang di dalam sangkar.

Syahbandar itu mem bungkuk dan melambaikan tangan, mengh ormat: “Selamat datang. Tuan, Tholib Sungkar Az-

Zubaid, Tuan. ” Fran cisco de Sa tidak menan ggapi. Matanya tajam

mengawasinya. Sekaligus Tholib melihat pada mata itu perasaan dendam

atas terbunuhnya Esteban dan Rodriguez. Mata itu mengancam dan jijik melihatnya. Buru-buru keluar dari atas terbunuhnya Esteban dan Rodriguez. Mata itu mengancam dan jijik melihatnya. Buru-buru keluar dari

“D i mana kau, waktu aku mendarat di sini beberapa tahu n yang lalu dan oran g-orang T uban menghina aku?”

“Syahbandar Tuban sedang mereka injak-injak. Di tempat ini juga. Tak bisa berbuat apa-apa. Tuan.”

“D i m ana orang-orang itu sekarang?” “Lari semua. Tuan. Jangan kuatir, akulah yang akan

menunjukkan di mana mereka bersembunyi.” Fran cisco de Sa mendeham. la perhatikan konstruksi

krangkeng besi itu. “Pembesar siapakah yang dihadapi oleh Syahbandar

Tuban sekarang ini?” tanyan ya dengan kata Syahbandar ditekankan.

Fran cisco de Sa tak menjawab. Kemu dian ia berpaling dan berjalan menuju ke gedung kesyahbandaran dalam pengawalan.

“Ya Allah, ya Allah!” sebut T holib “Akhirnya tanganmu juga yang terulur.”

Ia menan gis tersedu-sedu dalam ucapan bersyukur.

D icakup nya pasir dari bawah jeruji besi dan ditaburkannya pada tarbusnya. Belum juga puas, dilepasnya topi itu dan dituangkan pasir pada ram butnya dan dikacaunya. Ingu snya meleleh dan ditiupnya dengan sum batan sebelah jari. Ia tahu, pembebasan telah tiba. Mungkin hanya untuk beberapa bulan saja ia bakal dibebaskan. Itupun tiada mengapa. D alam sementara itu kemungkinan baru akan terpampang lagi di depan mata. Tinggal memilih yang terbaik di antaranya.

“Allah Maha Besar. Allah Maha Besar. ”

Fran cisco de Sa berjalan terus dan masuk ke kesyahbandaran yang atapnya telah kempes. D an matari sudah tenggelam.

Seorang pengiring nampak lari ke derm aga, kemudian datang bersama teman nya ke krangkeng mem bawa martil besi besar dan linggis. Tanpa bicara mereka mengayunkan palunya pada lidah -lidah pasak sampai bengkok, melipat- lipatnya dengan pukulan, kemudian patah. Linggis tak terpakai Pintu besi itu pun terbuka.

Tholib Sungkar Az-Z ubaid keluar dari krangkeng, mengh irup udara sepenuh paru-paru nya menjatuhkan diri

di pasiran dan bersujud. Ia teruskan tangisnya. Pasukan pagardesa berham buran melarikan diri dari

bandar. Di Tuban Kota pun mereka tidak am an. D i antara kebakaran yang menjadi-jadi mereka tetap diburu oleh serdadu-serdadu Portugis yang terus maju. Mereka menginsafi tak dap at menah an tembok semprotan peluru mu suhnya, mem asuki kamp ung-kampu ng pinggiran kota, terlepas dari ikatan apa pun kecuali dengan hidup masing- masing.

Para pengungsi mem enuhi jalanan, gro bak dan pem ikul, penggendong dan penuntun.

D an peristiwa penyerbuan Portugis segera disusul oleh berita tentang terjadinya perselisihan di antara kepala-

kepala pasukan. Kala Cu wil menyalahkan Banteng W aieng yang sebagai

Senapati atas seluruh pasukan Tuban telah membiarkan bandar tidak terjaga. Banteng Wareng menyalahkan Kala Cu wil karena sebagai Patih kurang betul dalam mem berikan keterangan tentang keadaan bandar. Perselisihan semakin hari semakin meruncing. Kepala- kepala pasukan yang lain ikut mencampuri bukan tanpa Senapati atas seluruh pasukan Tuban telah membiarkan bandar tidak terjaga. Banteng Wareng menyalahkan Kala Cu wil karena sebagai Patih kurang betul dalam mem berikan keterangan tentang keadaan bandar. Perselisihan semakin hari semakin meruncing. Kepala- kepala pasukan yang lain ikut mencampuri bukan tanpa

Serangan pembalasan terhadap Peranggi di Tuban Kota tak juga dilancarkan. Pengungsi yang menumpangkan hidup dan keselam atan di luar kota ternyata tak dapat hidup dengan tenteram. Para petani yang telah bosan pada perang dan selalu menjadi korban tak menan ggapi kegentingan negerinya. Mereka sudah masa bodoh. Siapa pun yang menan g nasib mereka akan tinggal jadi pembayar upeti dan jasa semata. Mereka tak suka lagi mem bantu seperti dulu. Toh kalau paceklik menyerang mereka pun tak bakal

mendapat bantuan dari siapa pun.

D i Tuban Kota keadaan lebih tidak tertahankan bagi mereka yang tidak mengungsi. Syahbandar Tuban dengan giatnya menjadi petunjuk jalan serdadu-serdadu Portugis mengepungi kamp ung-kamp ung dan

menakut-nakuti dengan tembakan. Semua lelaki ditangkap dan digiring masuk ke bandar, diperintahkan m endirikan bedeng-bedeng baru.

Pasukan-pasukan kecil pagardesa yang mencoba menyusup dan melawan selalu terhalau kembali oleh mu sket.

Lam a kelam aan patroli Portugis juga berani mem asuki daerah luar kota dan menan gkapi lelaki siapa saja yang

dap at ditangkapnya. Bedeng-bedeng di bandar dalam waktu cepat telah

bangun kembali, biarpun tidak sebaik dan sekuat dah ulu.

D an semua tangkapan yang dipekerjakan kemudian di sekap di dalam nya. Penjagaan

yang ketat tidak mem ungkinkan mereka menjenguk ke luar. Beberapa orang yang mencoba melarikan din telah rebah mencium tanah, baik karena peluru ataupun karena pisau ton gkat Tholib. Ia yang ketat tidak mem ungkinkan mereka menjenguk ke luar. Beberapa orang yang mencoba melarikan din telah rebah mencium tanah, baik karena peluru ataupun karena pisau ton gkat Tholib. Ia

Berita tentang perselisihan antar kepala pasukan sama hebatnya dengan ton gkat samber nyawa Syahbandar Ulasawa.

Orang berani mengancam kepala-kapala pasukan yang pada naik pitam. Tetapi Syahbandar dengan ton gkatnya mendapat banyak julukan karena setiap hari paling tidak ia mencabut satu nyawa. Dan apa pun julukan yang diberikan kepadanya, Moro yang seorang ini adalah sum ber bencana yang tak lagi bisa diampuni. Ia tak segan-segan menikamkan senjatanya pada kanak-kan ak ataup un kakek- kakek, perempuan ataupun bayi. Ia juga mem asuki kamp ung-kampun g m erampasi segala apa yang berupa m as dan perak. Untuk itu ia selalu mem bawa serdadu.

D alam menikamkan senjatanya ia selalu tersenyum sambil memekik senang: “Kafir!”

Ia pun menjadi petunjuk ke arah pemerkosaan, di mana ia sendiri tak jarang juga ikut m elakukannya sendiri.

Kampung nelayan telah menjadi senyap tanpa penduduk. D engan perahu dan keluarganya mereka beram ai-ramai pindah ke tempat lain di malam hari. Semuanya menuju ke sebelah timu r. Pasar Tuban tiada didatangi oran g lagi. Jalan-jalan lengan g. Yang mo ndar- mandir hanya serdadu Portugis. Mereka tak bertekad tidak mengu ngsi terjepit antara berbagai macam ancaman maut. Yang mati sakit atau tua tertinggal menggeletak tanp a perawat. D an bila Portugis mengetah ui ini segera mereka mem bakar rumahnya sekaligus.

Setelah seminggu menduduki Tuban dan balatentara Pribumi tak juga melakukan serangan pembalasan, Portugis Setelah seminggu menduduki Tuban dan balatentara Pribumi tak juga melakukan serangan pembalasan, Portugis

Orang-orang yang dikurung dalam bedeng-bedeng bandar dikerahkan di bawah pengawasan dan perintahnya langsung. Mu lailah mereka yang lesu kelaparan dan ketakutan itu bekerja keras sejak matari terbit sampai tenggelam. Harga manusia Tuban dalam pendudukan sudah tak ada, merosot jadi serump unan hewan yang tak boleh punya kemauan sendiri atau bersama, tak boleh punya harga diri dan kehormatan, sebagai pribadi ataupun sebagai manusia. Kegentaran dan ketakutan setiap hari ditanamkan pada hati mereka melalui ancam an dan pengaiayaan untuk mem bikin mereka jadi kecil di hadap an Tholib Sungkar dan Portugis.

Seperti penduduk Sunda Kelapa mereka harus bekerja menggotongi balok-balok dari luar kota. Mereka menggali tanah dan menimbunnya tinggi berdepa-depa di atas perm ukaan. Mereka menimbun, menukang, mencangkul, mem adatkan tanah. Alat-alat pertukangan baru mu lai mereka kenal, alat-alat Eropa mulai m ereka pegang: gergaji lemp ang, serut dan paku.

Hanya dalam dua minggu dan benteng bawah-tanah berdiri. Lantai terlapisi batu karang. Pada dinding bagian

atas tanah bagian luar dilapisi batu dan kembali ditutup dengan tanah. Di situ juga dibikin lubang-lubang angin dan sekaligu s lubang penembak. D i atas benteng berdiri sebuah menara kayu, diperlengkapi dengan lonceng kuningan. Seorang peninjau selalu nampak menyandang mu sket Meriam-meriam dipasan g di bandar dan di sekitar benteng. Semua m enghadap ke pedalaman.

G edung kadipaten telah dijadikan tangsi pula setelah bongkar-bangkir dan ditemukan jalan dan rongga semasa G edung kadipaten telah dijadikan tangsi pula setelah bongkar-bangkir dan ditemukan jalan dan rongga semasa

Pecinan , tak terlindungi oleh hukum Pribumi, kosong menjadi rayah an Portugis. Pendudu knya mengu ngsi lewat laut dan darat ke Lao Sam.

Kehidup an Pribumi di laut ataupun darat serasa telah berhenti.

Setelah benteng jadi orang-orang yang ditahan dan melakukan kerja-paksa diusir, dilarang mem asuki wilayah pelabuhan . Sebaliknya perempuan gelandangan mu lai berkampung lagi dalam gubuk-gubuk daun kelapa dan menam pung penyakit baru yang mu lai dikenal waktu itu rajasinga.

D i daerah bandar sendiri orang pun mu lai berkenalan dengan binatang baru: tikus.

Setelah meninggalkan suaminya dengan mem bawa kemuakan terhadap lelaki yang diurusnya dalam kesulitan selam a ini, ia lari ke gubuknya. Tak tahu lagi ia apa harus diperbuatnya. Di gubuk itu pun ia merasa tidak senang. Peluru itu bisa jatuh mengenainya. Ia lari terus ke timu r mem asuki semak-semak yang dipayungi barisan nyiur pantai.

menyebabkan ia menerobos semak-se-mak untuk meninjau pantai. Di sana

Tembakan-tembakan

cetbang

ia melihat bagaimana empat buah kapal Tuban tenggelam dihajar oleh meriam Portugis. Ia jatuh berlutut, mencium tanah, tahu bahwa bangsanya tak mampu melawan – di darat kalah, dilaut pun kalah.

Bakal jadi apakah semua ini nantinya? D an badan seorang diri di dunia ini? Sang Adipati mengusir. Suami dikrangkeng karena perbuatannya yang hina dan Bakal jadi apakah semua ini nantinya? D an badan seorang diri di dunia ini? Sang Adipati mengusir. Suami dikrangkeng karena perbuatannya yang hina dan

Tiga hari ia berputar-putar tak menentu di daerah semak- semak di timur bandar itu. Ia tak betah lagi dan kembali ia ke pond oknya. Seorang

perempuan lain telah menem patinya, dan dengan kekerasan ia mengu sirnya.

D engan ketangkasan berkelahi ia usir orang lain lagi yang hendak m emasuki.

D an m akin lama makin banyak perempuan berkam pung.

G ubuk-gubuk penuh, dan sepanjang malam ramai dengan tawa kikik dan kekak. Perempuan dan hanya perempuan.

D i depan gubuknya itu juga pada suatu pagi ia bertemu dengan suam inya yang diiringkan oleh beberapa orang serdadu Portugis. Ia lihat suaminya bicara dengan serdadu- serdadu itu yang kemudian menyebar memasuki gubuk- gubuk yang lain.

Tholib Sungkar Az-Zubaid masuk ke dalam: “Begini tempatmu sekarang, Kati. Tidak patut untuk sembarang

perempuan semulia kau. Bawalah semua baran gm u. Aku telah mendapat temp at di bekas warung Yakub.”

“Terimakasih, Tuan, tempat sahaya ada di sini.” Mereka dud uk di ambin bambu dan lelaki itu membujuk

dan mem bujuk. Akhirnya: ‘Tahukah kau, Kati, aku telah bersumpah hendak mem eliharam u baik-baik, menempatkan

kau di tempat yang mu lia….” “Itulah sum pah Tuan sendiri, bukan sahaya.” “Jangan celakakan aku. Kati, beri aku kesempatan

mem enuhi sump ahku.”

“Sahaya tak perlu dipelihara. Tuan, dapat mem elihara diri sahaya sendiri.”

‘Tapi sini begini hina, Kati. Ada tempat yang lebih mu lia, lebih patut untukmu.”

‘Terimakasih, Tuan terimakasih atas kebaikan Tuan. Sahaya akan tinggal di sini.”

‘Tapi kau istriku. Kati.” “Kalau Tuan mem erlukan sahaya, datanglah Tuan ke

sini. Sahaya akan tinggal di sini.” “Kau tak ada sanak-keluarga, Kati?” “Tidak, Tuan. Mengapalah Tuan baru tanyakan

sekarang?”

“Maafkan aku. Kati. Bukankah kau kelahiran Tuban?” ‘Tidak, Tuan, G resik. W aktu perawan sahaya diculik

oleh seorang perompak dan dijual ke Tuban pada seorang Tionghoa.”

“Apakah kau tak ingin pulang lagi ke G resik?” “Begini sudah baik, Tuan, sahaya telah mati untuk

keluarga sahaya. Pada hari tua sahaya begini, sahaya ingin seorang diri, m elupakan semua dan dilupakan oleh semu a.”

“Juga olehku. Kati?” “Kesudian Tuan datang ke mari sudah kebaikan untuk

sahaya, begini sudah baik. T uan.” “Makanm u bagaiman a. Kati?”

“Mengapalah Tuan tanyakan itu? Burung-burung pun bisa mencan makannya sendiri, masakan sahaya tiada bisa?”

Serdadu -serdad u itu menjemput Syahbandar, dan mereka pun pergi meninggalkan daerah pondok dau n nyiur.

Tak lama kemudian datang gelomban g demi gelom bang orang-orang Portugis. Bila mem asuki pondok N yi G ede Kati mereka segera pergi lagi, karena perempuan yang seorang ini sudah cukup tua untuk dihindari. D an waktu matari tenggelam, gelomban g yang pergi dan datang tak kunjung berhenti.

Sekali terjadi seorang Portugis setengah mabok mem asuki gubuknya dan tiga hari kemu dian ia rasai saluran seninya hangat dan tegang. Ia tahu, seperti beberapa orang wanita lainnya ia telah terkena penyakit Peranggi...

Berita tentang masuknya Portugis di Tuban telah tersiar luas di pedalaman, melewati perbatasan, samp ai ke tempat pengungsian Idayu sekeluarga di daerah Bojonegara. Berita tentang mengganasnya Syahbandar Ulasawa menerbitkan sesalan orang pada mendiang Adipati Tuban, yang terlalu mem percayainya. Juga di tempat-temp at yang jauh orang menjadi gemas karena kelakuann ya.

W aktu itu tengah malam di pondok pengungsian Idayu.

G elar baru saja pulang dari desa tetangga dan mendengar berita itu. Setelah mem asukkan kuda ke kandan g ia sorong pintu gubuk. D alam rem bang sinar pelita ia lihat ibu dan adiknya, Kumbang, telah tidur. Ia raba kaki ibunya, dan Idayu terperanjat bangun.

“Ada apa G elar?”

D an G elar mem andanginya seperti orang bingung. “Tak pernah kau bangunkan aku seperti ini,” Idayu duduk dan ia lihat sinar kegelisahan pada mata anaknya. “Adakah kau habis berkelahi?”

G elar menggeleng lemah-lemah , dan dengan kasihnya ia pimpin ibunya menjauh dari Kumban g yang tidur nyenyak. “Ada apa kau ini? Kau begini aneh?”

D an G elar bercerita tentang masuknya Peranggi di Tuban dan mendirikan benteng, dan mem bunuhi banyak orang, dan mem bakari rumah, dan mem ang punya banyak meriam. Kemu dian matanya meredup waktu samp ai pada titik ia harus bercerita tentang tingkah-laku Syahbandar Tuban. Keberaniannya hilang.

Semua ejekan, sindiran, cemooh terhadap dirinya mem berinya dugaan, bahwa maksud mereka hanya hendak

mem beritahukan dengan cara dan jalannya sendiri, ia mem ang bukan anak W iran ggaleng, tapi Syahbandar celaka itu. Ia sendiri sudah lama berpikir: ’kesam aan rupa antara dirinya dengan orang terbenci itu bukanlah suatu kebetulan.

D an kekecewaan bukan anak Senapati malahan hanya anak orang terkutuk itu makin lama makin jadi bisul dalam jiwanya. Kalau benar Syahbandar Tuban bapakku, seorang bapak yang tak kukenal dan tak mengenal aku, sia-siakah sembah dan sujud dan ketakzimanku pada Senapati? D an betapa tak ada harganya diri ini jadinya. Tidakkah aku jadi semacam kotoran bagi Senapatiku?

Berita itu juga yang datang, orang yang disindirkan sebagai bapaknya, tampil sebagai oran g hina, kejam

terhadap orang-orang tak berdaya, menjadi buah mulut yang mengganggu pendengaran dan mengo tori hati. Jangan, ya dewa, jangan bikin diriku jadi anaknya. D ewa! Bahkan sampai-sampai ton gkatnya pun diberitakan oran g, dan tarbusnya, dan bongkoknya, dan hidung bengkungnya yang seperti hidun gku, dan gerak bibirnya bila ia sedang menan am kan mata pisau-to ngkatnya pada tubuh seseorang. Kalau benar Syahbandar itu bapakku, mengapa emak tak

pernah samp aikan padaku? Malukah emakku pada pernah samp aikan padaku? Malukah emakku pada

Jantu ngnya meriut kecil. Tapi justru sekaranglah waktu itu datang untuk menan yakan. Ia menjadi ragu-ragu melihat pancaran mata ibunya yang menduga dan meraba- raba hatinya.

D an ran gsang ingin-tahu -nya sudah mem uncak samp ai pada titik letus. Ia masih juga tak berani bertanya. Haruskah emak melengos dan menyembunyikan mu ka seperti beberapa kali pernah terjadi? Ah, emak, emakku, betapa kau menderita, hanya karena pertanyaan. Pertan yaan belaka, mak!

“Ya, N ak, aku sudah dengar Peranggi memasuki Tuban. Kalau hanya itu, bukankah bisa kau cerita besok? Mengapa pula pandang matamu begitu aneh dan menakutkan? Sakitkah kau?”

“Mak,” G elar terhenti lagi. “Lam a sudah aku ingin tahu .” dan ia terhenti.

D an betul saja sebagaimana ia duga, Idayu sudah mu lai melengos mem buang muka.

“Mak, apakah Em ak berkeberatan punya G elar ini sebagai anakm u, Mak?”

Cepat-cepat Idayu menarik mu ka dan menatapnya. “Menyesalkah E mak punya anak aku?”

“G elar!” Ia cengkam bahu anaknya. “Kurang baikkah aku mengu rus kau, mengasihi, mengasuh dan mem besarkan ?”

“Hyang W idhi lebih tahu, Mak, engkaulah ibu yang terbaik yang pernah aku temui di antara semua perempuan.”

“Mengapa kau sampai hati menganiaya aku dengan pertanyaan semacam itu?”

“Ampunilah aku, Mak ampuni aku.”

D i luar dugaan G elar emaknya tiba-tiba merangkulnya, suaranya mendesis seperti angin menerobosi lobang dinding: “Apa saja kata orang tentang emakmu. N ak, samp ai kau mentala bicara semacam itu? Apakah kau tidak suka punya emak semacam ini?”

G elar merasai airmata emaknya jatuh ke lengan nya. Ia beranikan diri: “Jangan m enangis begini, M ak,” ia terhenti, “lama sudah aku ingin tahu sebenarnya dari Em ak sendiri,” ia diam untuk mendapat keberanian. “Kau selalu tak mau menjawab. Entah sudah berapa kali.”

dan melengos mem unggungi anaknya: “Ya, N ak. Aku mengerti maksudm u. Karena itu aku ulangi lagi pertanyaan lama itu: apakah seorang lelaki yang bernam a G aleng itu kurang baik sebagai bapakmu?”

Idayu melepaskan

ran gkulan

“D emi para dewa, Mak, tak ada yang lebih baik, apalagi lebih berharga.”

Ia pandangi anaknya dan bertanya: “Apakah itu tidak cukup, anakku?”

“Tidak cukup, Mak, amp uni aku,” ia berbisik pelan dan hati-hati. “Benarkah sindiran dan ejekan dan cemooh tak

tertanggu ngkan itu, Mak, aku bukan anak Wiranggaleng?” dan tiba-tiba keberaniannya m enjadi utuh.

Idayu mendekatkan bibir pada kupingnya suaranya sendat-sendat: “Kau sedang menggugat aku, G elar.”

“Em ak!” ia mem erosotkan diri dari duduknya dan menyembah dan mencium pangkuan ibunya. “Para dewa “Em ak!” ia mem erosotkan diri dari duduknya dan menyembah dan mencium pangkuan ibunya. “Para dewa

“Mengapa kau ulangi juga pertanyaan semacam itu?”

G elar berdiri, kemudian duduk di samping Idayu, tak berani menatap wajah ibunya. D alam hatinya ia mengetah ui emaknya sudah basah karena airmata kesedihan.

“Kau sudah dewasa. N ak. Kau sudah jadi tulang- punggungku selam a ini. Kau sudah jadi anak yang baik untuk emakm u, bapakmu dan abang yang sangat baik untuk adikmu . Apa lagikah yang masih kurang?”

“Mak, pada suatu kali bukankah aku juga akan turun ke medan perang? D an kalau aku tewas, Mak, tegakah kau melihat aku mati tanpa mengetah ui sesungguhnya siapa bapakku? Siapa akan aku cari di alam sana nanti?”

“Kau masih merasa kurang, anakku.” “Benar, Mak, masih ada yang kurang. Kebenaran itu,

Mak, beri aku kebenaran itu.” “Apa gunanya kebenaran itu kalau semua sudah cukup

padamu?” “Hanya kebenaran itu yang kuran g, Mak. Apalah arti

harga diri dan kehorm atan yang selalu Emak ajarkan dan tunjukkan contoh-contohn ya kalau kebenaran itu kurang

mencukupi?” “Aku mengerti kau. Perlu benarkah diungkap kebenaran

itu kalau dia akan melenyapkan semua kebahagiaanmu, dan apalah gunan ya bila demikian?” ia menghela nafas dalam , kemudian menghem buskan ke luar seperti puputan.

“Jadi benar bapak bukan bapakku,” G elar m endah ului.

Idayu melengos lagi. Ia hendak bicara tapi tak jadi. “Kalau begitu siapa sesungguhnya dia, bapakku itu,

Mak?” melihat ibunya tak juga menjawab ia mendesak lembut, “orang bilang, emak sendiri yang harus menjawab, bukan orang lain, dan tak ada orang lain yang akan menjawabkan untukku.”

Setelah untuk ke sekian kali m enghembuskan nafas besar Idayu berkata sepatah-sepatah, hati-hati, dan pelahan: “Benar, G elar. Kau sudah dewasa. Aku tahu, pada suatu kali aku haru s juga samp aikan. Memang aku takut menyam paikan. Bukan karena takut pada kebenaran . Aku takut pandanganmu terhadap emakmu akan berubah. Keantaanm u pada bapakmu akan menjadi rusak, tak utuh lag? seperti sediakala. Apalah gunanya kalau semua itu yang terjadi? Kau mem ang berhak, dan kau menuntut hakm u. Aku takkan ingkari hakmu. Besoklah, N ak, bila matari telah terbit, jangan dalam malam suram semacam ini. Tidurlah kau.”

“Mak!” “Tidurlah. Tidaklah semudah kau duga untuk dapat

mem berikan hakmu dengan sebaik-baiknya. Aku masih mem butuhkan keberanian untuk mengatakan. Kalau keliru bisa rusak semua-muan ya. Soalnya mem ang tidak sederhana. Tidurlah. Besok masih ada hari lagi.”

Tanpa mem andang anaknya Idayu kembali ke am bin dan membetulkan letak selimu t Kumban g, kemudian ia, tidur miring m enghadap ke dinding.

G elar masih tetap berdiri mengawasi adik dan ibunya. Ia sedang mengatasi perasaan iba. Ibunya nampak begitu menderita dan bersusah-payah. Hanya untuk dap at mem berikan kebenaran yang jadi haknya.

Keruyuk pertam a ayam jantan sudah mulai terdengar. Baru ia bangkit dan duduknya. Ia tak ingin tidur dan tidak dap at tidur. Pikiran, bahwa ia anak Syahbandar Tuban, mem bikin semua yang dipandangnya berobah nilai dan isi, dan semua serba tidak menyenangkan, menggelisahkan. Seluruh pengabdian, kasih-sayang dan kebanggaan pada orangtuanya tergoncang keagungannya – hanya oleh yang seorang itu, satu nama yang mem busukkan segalanya.

Keruyuk ke dua telah berhenti. Ia keluar dari gubuk, mengh isap udara pagi segar, kemudian pergi ke dapur. Ia bawa pelita, dan mulai ia menyalakan api. Inilah untuk pertam a kali ia m elakukannya. Biasanya Idayu sendiri yang mengerjakan sekalipun sedang dalam keadaan sakit atau tak enak badan.

Ia tunggui air samp ai mendidih. Em aknya belum juga turun. Jagung mu da yang ditebusnya telah masak. Idayu belum juga m uncul.

Ia pergi ke anak sungai dan mandi. Matari sudah mem ancarkan lembayung merah di ufuk timur. W aktu

hendak masuk ke gubuk ditemuinya ibunya di pintu. Ia lihat mata wanita tercinta itu bengkak.

G elar menggeletar. Hatinya terasa disayat-sayat. Betapa tersayat-sayat dada ibu yang sebaik itu olehnya. T api hanya hati yang kuat saja akan dapatkan kebenaran . Maka ia singkirkan perasaannya.

“Mak!” ia menegur lebih dahulu. “Ya, G elar, mari pergi ke ladang.”

D an di ladanglah Idayu mu lai bercerita tentang impian- impiannya setiap habis menari di kadipaten waktu W iranggaleng tak ada di Tuban. Siapakah dap at mengatakan impian mengandung kebenaran?

“D an kau mem butuhkan kebenaran itu, dan kebenaran itu belum pasti. Hanya bukti-bukti yang tertinggal menjadi petunjuk arah ke kebenaran itu, anakku.”

Idayu menerangkan pada G elar tentang kehidupan seksuil. Kemu dian: “D an bukti yang paling menentukan adalah kau sendiri. Sejak kau kulahirkan, sejak itu pula aku tahu kau bukan anak Wiranggaleng. Telah aku serahkan diriku pada bapakmu, N ak, aku serahkan diriku dengan sebilah cundrik, tapi bapakmu tidak menan capkan senjata itu pada tubuhku. Ia biarkan aku hidup, la mengampuni emakm u ini.”

“Ah, Em akku, betapa kau menderita karena kelahiran ku.”

“Hanya Hyang W idhi juga mengetah ui, N ak, betapa perasaanku waktu itu. N yi G ede Kati telah siap melihat aku bermandi darah. Bapakmu tak juga mem bunuh aku. Betapa menderita dia, baran gkali dia pun telah lama jadi olok- olokan orang sebagai lelaki Tuban yang tak ada harganya sebagai lelaki….”

“Cu kuplah itu, Mak, jadi siapa dia, bapakku itu, Mak? “Setelah kau lahir, dia m asih mencoba lagi. Tidak dalam

impian, dalam kenyataan. Hanya cundrik yang dap at mem bela diriku. Bila suamiku bukan W iranggaleng, sudah lama emakmu ini tump as dibunuhnya, juga kau, juga orang itu. D an justru karena percobaan nya dalam keadaan aku sadar dan dapat membela diri, G elar, aku dap at mem astikan, apa yang dahulu itu hanya impian belaka bagiku, ternyata sesungguh-sungguh kejadian. Kemu dian orang ramai mem bicarakan dia suka mem bius orang untuk mencapai maksudnya, antaranya istrinya sendiri: N yi G ede Kati. ”

“Mak, jadi benar Syahbandar Tuban Sayid Ulasawa!” pekik G elar.

“Kemu dian dibiusnya juga penjaga-penjaga menara pelabuhan . Kabarnya kemudian juga dua orang pelarian Peranggi. Jadi aku tidak bermimpi. Kau bukan anak impian, anakku, aku telah kena bius. Obat biuslah senjatanya untuk melaksanakan kejahatan. Aku tak tahu bagaimana caranya aku terkena biusnya.”

“Cu kup, Mak cukup, terimakasih, Mak.” “Itulah ceritanya. G elar. Aku takkan menuntut padamu

untuk percaya. Terserahlah bagaimana kau m enim bang dan menilai, emakmu pembohong atau bukan, emakmu tak

punya arti atau tidak. Setidak-tidaknya kau sudah dengar dari emakm u sendiri, bukan dari orang lain. Kalau kau anggap emakmu tidak setia pada Wiran ggaleng, sudahlah jadi nasibku, terserah padam u. Kalau kau menjadi murka padaku, terserahlah pula padamu….”

“Terimakasih, Mak, anakmu yang bernam a G elar ini lebih percaya pada emaknya daripada siapa pun. Sekarang,

Mak apakah orang itu, yang suka m embius itu—” “Apalah gunanya kau tanyakan lagi? Aku tak sudi kau

menyebutkan nam anya.” “Baiklah, Mak, kau tak sudi mendengar namanya,” dan

ia lihat duka-cita telah mem benam wajah ibunya. Buru- buru ia bersujud dan kata-ka-tanya keluar dengan gugu p,

“hanya kaulah, Mak, yang aku percaya.” Kemu dian ia berdiri. Keningnya berkerut dan matanya

menyala-n yala pada satu titik. Ia berjalan cepat-cepat menuju ke suatu tempat, meninggalkan ibunya seorang diri.

“G elar!” pekik ibunya. “G elar! G elaaaar!” ia lari mem burunya. D i dekatnya ia berkata m enghiba-hiba, “Aku telah kecewakan kau. Maafkan aku. G elar.”

G elar berjalan menuju ke kandang kuda, mem buka palang-palang dan menuntun Sultan keluar.

“Kau mau ke mana, anakku? pagi-pagi begini?” tanya ibunya kuatir.

“Mari ke gubuk dulu, Mak.” Mereka berjalan bertiga, ibu, anak dan seekor kuda,

menuju ke gubuk. G elar masuk ke dalam dan mem anggil adiknya.

“Kau, Kumbang, tinggal di rumah bersama emak. Jangan pergi meninggalkan gubuk ini sebelum aku pulang.

G antikanlah pekerjaan ku selama aku tak ada. ” “Kau mau ke mana. G elar?” Idayu bertanya. “Mak, ambilkan pedangku.” Tanpa mem bantah Idayu pergi mengambilkan apa yang

dipinta oleh anaknya. D an waktu ia datang G elar segera berkata: ‘T anganmu, Mak, pasangkan itu dengan tanganmu

sendiri.” “Kau mau ke mana. G elar? Aku tak mau kehilangan

kau. Bapakmu tak ada. Adikmu masih kecil,” pohonnya selam a mem asangkan ikat pinggang pedang pada tubuh

G elar. “Kumbang, ambilkan tombak dan cambuk-perang.”

“Apa kataku kalau bapakmu datang?” “Mak, pasangkan destarku.”

Idayu pergi lagi dan datang mem bawa destar terbaik.

G elar berlutut di hadap an ibunya untuk dibenahi ram butnya sebelum didestari.

“Aneh benar tingkahm u. N ak?” “Keris bapak, Mak.” “Kau seperti hendak berangkat perang,” kata ibunya

sambil menyelitkan keris yang telah mem bunuh Sang Patih Tuban.

G elar berdiri tegak di depan ibunya, tersenyum, bertanya: “Lihatlah anakm u sebelum berangkat, Mak, gagahkah dia?”

“Tak ada yang lebih gagah.” “G agah manakah dengan orang itu sewaktu mu da,

Mak?” “Jangan sakiti hati emakm u. G elar.” “Ampun, Mak, amp un. Pandan gi anakm u baik-baik,

Mak. Bila dia tak mampu pulang dengan kaki sendiri, biar kau bisa kenangkan dia dengan baik.”

“G elar! Mau ke mana kau?” untuk ke sekian kalinya Idayu mem ohon. “Kau takkan tinggalkan kami berdua,

bukan?” Sekarang G elar berlutut lagi dan menyembah ibunya.

“Restui aku, Mak, anakmu akan berangkat,” dan Idayu terpaksa merestuinya. Kemu dian ia berjalan keluar dan

mem anggil kudan ya: “Sultan! Sultan!” Kuda itu datang mengh ampiri. Ia m elompat ke atasnya.

“Kumbang! Mana tombak dan cambuk-perang?” Ia selitkan cambuk-perang yang selam a ini dipergunakannya berlatih pada pinggang dan ia tancapkan gagang-gagang tom bak pada jangang kulit sehingga berdiri tegak di “Kumbang! Mana tombak dan cambuk-perang?” Ia selitkan cambuk-perang yang selam a ini dipergunakannya berlatih pada pinggang dan ia tancapkan gagang-gagang tom bak pada jangang kulit sehingga berdiri tegak di

Ia lambaikan tangan pada yang ditinggalkan, kemudian hilang di dalam hutan ….

0odwo0