Menyerang Malaka

11. Menyerang Malaka

D uta Tuban yang mengh adap Sultan D emak telah kembali dengan mem bawa serta Raden Kusnan, salah

seorang putra Sang Adipati. Beberapa minggu setelah itu pasukan laut Tuban naik ke

atas kapal-kapal perang yang telah berlabuh berjajar pada atas kapal-kapal perang yang telah berlabuh berjajar pada

D an genderang ramai bertalu ditingkah oleh bunyi kenong. Prajurit-prajurit itu telah menjalani latih an ulangan

selam a tiga bulan.

D ari seluruh negeri orang datang untuk mengu ntapkan para prajurit yang hendak berangkat berlayar. Juga untuk mengagumi kapal-kapal baru yang habis diturunkan dari galangan. D an memang tak pernah selam a kekuasaan Adip ati Tuban Arya Teja Tumenggung Wilwatikta terjadi pemberangkatan pasukan laut sebanyak sekaran g.

Tahun 1513 Masehi.

G ugusan pasukan laut Tuban akan dipimpin oleh Raden Kusnan. Wiranggaleng dengan resmi telah diangkat jadi pembantu-utamanya. Sang Adip ati sendiri yang melantik beberapa hari yang lalu. D an tujuan gugusan ini: Jepara. Tujuan yang banyak menimbulkan teka-teki, karena nam paknya Sang Adipati mengirimkan mereka tidak dengan tujuan merebut kembali bandar terbarat milik Tuban itu.

Sebelum layar-layar dikembangkan Sang Adipati menjatuhkan titah kepada putranya: “Kau, Raden Kusnan, kami percayakan gugu san pasukan laut Tuban ini. Beran gkat kau samp ai ke Jepara. Jangan tidak, bergabung kau dengan armada Jepara. Kau sendiri lebih tahu tentang apa yang harus kau perbuat. Setelah bergabung kau berada di bawah perintah G usti Adipati Unus Jepara, yang akan bertindak sebagai laksamana. Kerjakan kewajibanmu dengan baik. Semoga sejahtera selalu kau, kapal-kapalmu dan anak-buahm u.”

Layar-layar pun menggelembung dan lima buah kapalperan g itu berangkat. Semu a dipersenjatai dengan Layar-layar pun menggelembung dan lima buah kapalperan g itu berangkat. Semu a dipersenjatai dengan

D ari kapal dan dari darat sorak-sorai bcrgema bersambut-sam butan. Makin jauh kapal-kapal dari darat sorak-sorai berganti dengan lambaian umbul-um bul dan selendang dan tangan.

Makin jauh lagi, um bul-um bul dan selendang digantikan oleh doa. Makin jauh dan makin jauh. D an gugu san itu berpisahan dengan alam dan manusia Tuban.

Para prajurit dan awak kapal berseri-seri. Sekaranglah baru mereka menem puh jarak jauh. Pendongeng mu lai

mem buka cerita dan membentuk lingkaran pendengar di atas geladak D alam lingkaran yang lebih kecil oran g mu lai merentangkan pendapatnya ten tang sesuatu hal tertentu.

Pada hari pertam a itu Wiranggaleng lebih ban yak berjalan mo ndar-mandir di geladak untuk menyesuaikan diri dengan kehidup annya yang baru. Juga ia sedang menimbang-nimban g diri apakah bakal mabuk laut atau tidak. Sudah dua kali ia naik kapal, dan selalu merasa tidak enak badan . Sebagai pembantu utama kepala gugusan ia akan jatuh harga bila sampai mabuk laut. D an dengan terus berjalan mo ndar-mandir begini ia harap akan mendapatkan daya-tahan yang mencukupi

Tetapi penghormatan yang berlebihan itu mem bikin ia menjadi kikuk. Ia merasa risi mendapat perhatian oran g.

D an ia tahu ia lebih diperhatikan daripada Raden Kusnan. Mem ang sudah menjadi kebiasaan penduduk Tuban lebih mem perhatikan pejabat yang berasal dari orang kebanyakan. Anak ningrat, apalagi putra Sang Adipati, bukanlah suatu keluarbiasaan bila mendudu ki jabatan pen D an ia tahu ia lebih diperhatikan daripada Raden Kusnan. Mem ang sudah menjadi kebiasaan penduduk Tuban lebih mem perhatikan pejabat yang berasal dari orang kebanyakan. Anak ningrat, apalagi putra Sang Adipati, bukanlah suatu keluarbiasaan bila mendudu ki jabatan pen

Ya, la merasa canggu ng. N amu n ia tahu, ia hams beiusaha meninggalkan kesan, tak ada maksud padanya untuk meniru-niru tingkah pembesar ningrat. Ia jawab pandang mata bawahann ya dengan senyum ram ah. Ia dekati mereka dan dengarkan kata-kata m ereka dengan per- hatian. Ia tanyai mereka yang nampak mu rung. Ia ajak bicara

mereka yang nampak term enung-m enung mengenan gkan yang tertinggal di rum ah. Ia berusaha menjadi sahabat untuk semua mereka, seorang sahabat yang m emperhatikan.

Pand ang kagum yang tertuju padanya menyehabkan ia merasa malu pada dirinya sendiri. Ia m enyadari, diri belum layak mem ikul tugas setinggi itu. Sudah sejak menjabat jadi Syahbandar-m uda selalu saja orang menyuguhkan pandang kagum seperti itu. D an sebagai Syahbandar-muda ia pun masih belum mengerti benar apa ia harus kerjakan. D an sebagai pengawas galangan kapal di G londong ia lebih banyak mo ndar-mandir daripada melakukan pengawasan. Apa pula yang harus ia awasi? Ia tak tahu sesuatu tentang pembikinan kapal! D an sekarang ia jadi pemimpin-muda gugu san pasukan laut! Berenang pun ia tak bisa.

D ari penungguan pada jatuhnya hukuman jadi pengimpi kebesaran untuk Tuban m erupakan riwayat pergolakan jiwa

yang panjang dalam waktu yang sangat pendek. D ua- duanya terns juga jalin-menjalin, pilin-berpilin dalam hatinya. Ia selalu berada dalam keadaan was-was dan waspada.

Ia m ulai m endapat ketenteram annya waktu m atari sudah tenggelam dan malam mu lai datang mem eluk alam. Ufuk barat di kaki langit Sana tinggal sembirat merah dan perm ukaan laut mengantarkan pantulannya pada layar- Ia m ulai m endapat ketenteram annya waktu m atari sudah tenggelam dan malam mu lai datang mem eluk alam. Ufuk barat di kaki langit Sana tinggal sembirat merah dan perm ukaan laut mengantarkan pantulannya pada layar-

Ia berjalan lambat-lambat ke haluan. Seoran g prajurit yang sedang mencangkung pada lambung kapal terdengar olehnya berkata pada temannya: “Sekiranya G usti Adipati tidak berputra, pastilah Syahbandarmu da Wiranggaleng yang m emimpin gugusan kita ini.”

Uh, sanjungan, sanjungan belaka, pikir juara gulat itu. Semua pejabat berasal dari desa rupanya selalu disanjung-

sanjung. D an setiap sanjungan I dirasainya melekat-liat menganggap perasaann ya dan kebebasannya bergerak. Setiap sanjungan selalu diikuti pertanyaan pada diri sendiri: Tidakkah langkahku selanjutnya takkan menimbulkan kekecewaan dalam hati mereka? Mau-tak-mau ia terpaksa lebih berhati-hati menjaga setiap langkahnya. Karena: pejabat dari desa setiap waktu bisa terbanting ke tanah.

Pada malam pertam a itu ia mendap at tugas melakukan pengawasan keliling, di geladak atas dan tengah dan bawah,

di lambung, haluan dan buritan. Sengaja ia lepas tanda pangkat dan jabatan dan berpakaian sebagai prajurit biasa.

D i buritan ia dap atkan beberapa orang sedang duduk merenung dan ia m endekat. Mereka tak m engenalnya.

D i antara desauan angin dan gelepar layar didengam ya salah seorang di antaranya menyebut-nyebut nam anya. Ia menundu k menyembunyikan mu ka dan mendengarkan dengan diam-diam.

“Ingat kalian pada pesta perkawinannya dulu? Orang bilang, aku tidak lihat sendiri, kedua oran g mempelai itu terjatuh dari tandu pengantin. Coba, mempelai terjatuh dari tand unya! Mana pernah ada?”

“Ya, oran g-orang pada terkejut kehilangan semangat, takut pada murka para dewa. Aku juga. Tak ada yang mem bantu mereka. W iranggaleng dan Idayu merangkak bangun dari tanah. Mereka berdiri sendiri, berjalan dengan prihatin ke arah Sela Baginda.”

“Ru pa-rupanya itulah alamat buruk yang sedang menimpa diri mereka berdua. Kasihan . Betapa menderita W iranggaleng. Siapa pun tahu di balik senyum dan keram ahan nya: batin yang teraniaya di bawah timbunan batu.”

“Betul, siapa pun tahu,” yang lain meneruskan. “Orang bilang tak mu ngkin Idayu mau dengan sukarela. Bahkan

Sang Adipati pun ditolaknya dengan menentang maut. D ia sunggu h-sungguh menrintai juara gulat itu. Maka, mana mu ngkin Idayu bisa menerima burung aneh dari Espanya itu?”

“Siapa tahu G uti Adipati sendiri yang mem aksanya untuk menerima dia, gandarwa Ulasawa itu?”

“Mem ang Syahbandar keparat itu terlalu dimanjakan oleh Sang Adipati,” seorang lain menggaram i. “Manusia

terkutuk!” “Kalau N yi G ede Idayu berani menan tang maut

menolak G ush Adip ati, tak mungkin dia mau menerima Sayid Ulasawa, sekalipun atas paksaan G usti Adipati. D ia

akan tetap mem ilih maut. Lagi pula apa sesungguhnya kepentingan G usti Adipati? Ia sendiri mem berahikannya.”

“Lagi pula mengapa G usti Adipati tak juga mangkat? Sudah setua itu. Makin lama makin habislah gadis-gadis cantik kita.”

Orang-orang itu terdiam. Masing-m asing mem antulkan perasaann ya masing-masing, iba pada Wiranggaleng dan Orang-orang itu terdiam. Masing-m asing mem antulkan perasaann ya masing-masing, iba pada Wiranggaleng dan

“Kabamya Syahbandar-m uda itu jaran g pulang,” seseoran g m emulai lagi.

“D apat dipahami. Coba, bagaimana perasaan hatinya – lelah, pulang ke rum ah, dan lagi-lagi melihat bayi yang itu- itu juga. Jelas-jelas seperti Sayid Ulasawa.”

“Mengapa tak dibunuhnya saja Syahbandar keparat itu?” “Tak perlu dia sendiri. Siapa pun beisedia melakukan itu.

Celakanya dia dilindu ngi oleh Sang Adipati. Kalau tidak, sudah lama dia lumat di bawah pedang anak-anak Tuban.

Orang semacam itu tidak patut terkena keris. Pedang pun mu ngkin terlalu mulia. Sebaiknya hanya parang dapur.”

“W iranggaleng sendiri yang sepatutnya melakukannya.” “Justru dia yang melaran g anak-anak Tuban

melakukannya kalau ia sendiri tidak mu ngkin. Dia bilang, ‘jangan’. Anak-anak Tuban bertanya, ‘m engapa jangan ? itu bertentangan dengan adat Tuban’. Aku sendiri ikut waktu itu, jadi tahu sesungguhnya duduk perkaranya. Ia bilang, ‘Sang Adipati menitahkan, jiwa Syahbandar Tuban harus dijaga, dia dibutuhkan oleh Tuban’”.

“Jadi cerita itu bukan om ong kosong?” “Tidak, aku sendiri menyaksikan.” “Ah.” “Co ba, Kamaratih Tuban diperlakukan seperti itu. Siapa

tidak meluap? Orang asing pula. D engan cara yang kurangajar pula.”

“Kata orang begini ceritanya. Cerita itu berasal dari kesyahbandaran. katanya berasal dari N yi G ede Kati. Idayu tidak dipaksa oleh G usti Adipati untuk melayani Say id

Ulasa wa. Katanya Syahbandar keparat itu menggunakan obat bius setiap Idayu habis menari dari kadipaten.”

W iranggaleng berdiri dari duduknya, pergi mengh indar bercepat-cepat. Ia masih sempat dengar orang berseru pelan: “Celaka! Bukankah itu W iranggaleng sendiri?”

D an sekarang pemimpin-muda gugu san itu berdiri seorang diri di haluan. Berdiam diri ia mencangkung melihat lunas kapal menyibak ombak dan jutaan pasir cahaya menyemburat di sekitar lunas. Sekian ia teringat pada cerita Rama Cluring tentang lunas kapal-kapal Majapahit.

D an kapalnya terus melindas dan menerjang om bak dan kembali jutaan pasir cahaya bersemburan. Ia m erasa seolah setiap deburan om bak yang mengh antam lambung kanan sebagai degupan jantungnya sendiri. Lama kelam aan perhatiannya pada tingkah sang ombak semakin tump ul. Angannya mengem bara melintasi malam mengunjungi masa yang baru silam. Berap a lama sudah silam? Tidak lebih dari setengah tahun yang lampau….

0o-d w-o0

Ia rasakan betapa lama Idayu pergi tetirah ke Awis Kram bil dengan N yi G ede Kati. Sang Adipati telah meluluskan permohonan agar istrinya melahirkan di desa. Juga Sang Adipati sendiri yang menitahkan serombongan orang untuk menandu pujaan T uban yang akan m elahirkan itu. Tak boleh ada satu cedera pun menimpa diri penari ulung ini titahnya. Tak boleh kulim ya lecet baran g seujung jari pun. Hukum an berat akan menimpa kepala si pelanggar.’

D an berangkat iring-iringan itu meninggalkan Tuban.

Lam a benar rasanya, dan mereka belum juga kembali. Ia sendiri tak mungkin berkunjung ke desa.

Kemu dian datanglah sore itu. Ia sedang dud uk seorang diri di dalam kamar. Ia lihat Idayu berjalan mengendap- endap mendekati seram bi. Perutnya telah kempes. Jelas ia sudah melahirkan. Tubuhnya ramping kurus, dan dad anya gembung bcrisi. Ia melom pat untuk mengelu-elukan.

D an ia terkejut melihat istrinya berkalung melati tiga lingkar: tanda seorang istri yang menyerahkan nyawa pada suam i untuk dibunuh.

Idayu namp ak ragu-ragu mem asuki kamar. la pura-pura tak m elihat kalung melati itu.

“Mengapa kau, Idayu? Kau begitu pucat!” Ia lihat Idayu memandangnya begitu sayu. W aktu

ditolongnya wanita itu naik ke rumah, dirasainya gigilan pada badan istrinya.

Begitu sampai di amban g pintu ia tarik putus kalung melati itu dan ia lemp arkan ke pelataran.

“Kau sakit.” “Tidakl” jawab Idayu tegas tetapi menggigil.

“Mana anakku?” Idayu menatap mata suaminya, tapi ia tak menjawab. W iranggaleng merasa mau mem ekikkan tanya: matikah

anakku? Ia digilakan oleh kekuatiran. “Anakmu belum lahir, Kang.”

“Kau sudah melahirkan, Idayu. ”

“Ya, Kang. Yang lahir bukan anakmu , hanya anakku,” jawab Idayu dengan suara ditabah-tabahkan, namun masih juga terdengar gigilan di dalamn ya.

“Jangan aneh-anah,” dan ditolongnya istrinya masuk ke dalam kamar. “Kau lelah dari perjalanan sejauh itu, pucat Mana anakmu ?”

“Anakku, Kang, bukan anakm u, masih di belakang digendong N yi G ede Kati.”

“Beristirah atlah kau, tidurlah,” perintahnya dan siap lari untuk menjemput anaknya.

Idayu mencegah, mem egangi tangan dan berkata terbata- bata: “Jangan, jangan jemput anak yang bukan anakmu

itu,” tegahnya, “dengarkan dulu kata-kataku.” Ia dud uk dan dengan isyarat mem aksa istrinya duduk

pula. W ajah Idayu yang pucat itu kelihatan mem ohon am at

sangat dan bersungguh-sungguh. “Ingatkah kau dulu, Kang, waktu kuceritakan padamu

tentang impianku… dan angan ku, dan cundrikku yang tiada berdaya? D alam impian. D ia datan g dalam impian… Tuan

Syahbandar Sayid Habibullah At masawa, Kang.” Ia mengangkat pandang menatap suaminya yang masih

juga terheran-heran. “Kau diam saja, Kang. Kepala anakku itu sama dengan

kepala Tuan Syahbandar, tipis gepeng, hidung juga bengkung. Tak ada kesam aan denganmu, Kang. Ampuni aku, Kang, Kang, Kang—”

Ia terdiam dan terengah-engah. D iam bilnya cundrik dari balik kemban. Ia pegang tangkai senjata itu. D engan sekali kebas sarongnya terlompat entah ke m ana. Cepat ia alihkan Ia terdiam dan terengah-engah. D iam bilnya cundrik dari balik kemban. Ia pegang tangkai senjata itu. D engan sekali kebas sarongnya terlompat entah ke m ana. Cepat ia alihkan

“D ayu!” pekik W iranggaleng. “… hanya pesanku, Kang, jangan bunuh bayi itu.

Serahknn dia pada bapaknya, Tuan Sayid. Aku sudah bilang begitu juga pada N yi G ede Kali. Sudah, Kang… am punilah aku… istrimu yang tidak setia…”

“Mengapa kau ini, D ayu?” Tangan Idayu yang gemetar itu masih mem egangi mata

cundrik dan tangkainya masih juga diulurkan pada suam inya.

“Habis sudah kata-kataku, Kang. Ah, Kang G aleng….” Mengerti bahwa istrinya mengh endaki agar ia

mem bunuhnya, dengan cepat ia kisarkan ujung cundrik waktu Idayu menubrukkan senjata itu pada dirinya sendiri.

Ia lemparkan keris kecil itu dan dirangkulnya istrinya. “Idayu, Idayu, adik si Kakang.” “Apa guna kau tangguhkan, Kang? Kalau kau mengerti

betul dud uk-perkaran ya, yang ini juga yang akan terjadi,” suara Idayu tak lagi menggigil. “Telah kukumpulkan

seluruh keberanianku dan ketabahanku untuk mengh adapi saat ini. Kau menan gguh kan, Kang, kau, Kang?” suaranya merendah dan kata-katanya semakin cepat dan tidak jelas.

“Tidur. Tidur. Kau lelah, Idayu.” ‘Tidak!”

“Betapa menderita kau karena impian itu,” ia angkat istrinya dan ditidurkan di atas am bin. Tariklah nafas panjang-panjang sebagaimana diajarkan dulu di desa kalau hati sedan g tidak tenang.”

Kelibat bayang-bayang menyebabkan W iranggaleng menengok ke arah pintu. D ilihatnya di seram bi N yi G ede Kati mengendap-endap mendekati pintu kamar. Pada tangannya tergendong bayi dalam bungkusan.

“Itukah anaknya? Bawa masuk sini, Ibu.” “Jangan, W ira, jangan bunuh anak ini.” “Mengapa mesti kubunuh? Masuklah,” ia berjalan

keluar. N yi G ede Kati nam pak waspada. “Jangan, W ira, bayi ini sekarang anakku. Aku datang

untuk mengantarkan nya untuk m elihat ibunya.” “Mengapa hanya m elihat?” “… melihat ibunya untuk penghabisan kali.” “Mengapa hanya untuk penghabisan kali?” “Barangkali susunya m asih sempat diisapnya.”

0o-d w-o0

“W iral” seseoran g berteriak. W iranggaleng terbangun dari kenangann ya. Ia berjalan

melintasi geladak ke jurusan datangnya suara. Raden Kusnan telah berdiri di hadap annya dengan bertolak-

pinggang. “Tahukah oran g-orang ini ke mana tujuan kita?”

“Malaka, G usti,” jawabnya sam bil menyembah . “Bedebah! D ari mana mereka tahu?” “Seluruh Jawa rasa-rasanya sudah tahu semua, G usti.” “Seluruh Jawa! Jadi seluruh Jawa sedang menyaksikan

bagaimana kita akan berperang. Kau tahu apa artinya itu, W ira?”

“Patik, G usti.” “Pernah kau berperang, Wira?” “Belum, G usti.” “Apalagi perang laut.” “Apalagi perang laut, G usti.” “Kita akan sama-sama mengalami, Wira, kami dan

kau.”

D ari kata-katanya itu W iranggaleng tahu, Raden Kusnan pun belum pernah berpengalaman perang, apa lagi perang laut. Tetapi ia tak m enanggapi.

G ugusan T uban terus berlayar tanpa sesuatu halangan. Pada suatu senja sampailah gugu san itu di bandar

Jepara. Semua prajurit berderet di atas geladak kapal masing-m asing untuk melihat Jepara yang beberapa tahu n

belakangan ini tak pernah mereka singgahi lagi. Orang terdiam terlongo k-longok. Semestinya mereka datang ke man untuk menyerbu dan mengambil kembali untuk jadi milik Tuban.

Tetapi pelabuhan itu kosong. Hanya perahu-perahu nelayan sedang meninggalkan pantai yang dan gkal itu dan beberapa kapal dagang berlabuh di muara kali W iso.

D engan diantarkan oleh pembantu-utamanya Raden Kusnan mendarat dan berjalan tergesa-gesa ke kadipaten Jepara. Di sana tak ada mereka jum pai Adipati Unus Jepara. Yang ada justru abang Raden Kusnan sendiri: Ki Aji Kalijaga.

W iranggaleng melihat bagaiman a Ki Aji mengeluarkan tangan kanan dari balik kain batik penutup dad a. D an terdengar suaranya, tenang, terang, kata demi kata: “Buyung! Mengapa Tuban lim a hari terlambat datang?”

D alam simpuhnya Raden Kusnan menjawab:”Ampun, Kakanda Aji,

pun yang menentukan keberangkatan bukanlah patik Tidak lain dari ayahanda sendiri G usti Adipati Tuban.”

Ki Aji m emasukkan kembali tangannya ke balik kainnya. “Itu tidak patut,” katanya pelahan . “Biarpun seorang

ayah, seorang adipati, orang tak patut mem bikin malu anaknya. ”

“Apakah yang patik harus perbuat sekarang, Kakanda?” “Susul Laksamana Adipati Unus Jepara. Ayahmu telah

mem alukan kita semua. Kau jangan bikin malu kakandamu.”

Ki Aji Kalijaga mem balikkan badan dan berjalan tenang masuk ke dalam kadipaten.

Raden Kusnan dan W iranggaleng kembali bergegas ke kapal. D engan mu ka pucat ia perintahkan mem beri isyarat

pada semua kapal untuk mengangkat sauh dan mengem bangkan layar. Ia perintahkan mengerahkan semua dayun g.

“W ira!” teriaknya memanggil pembantu-utamanya dengan nada berang.

D alam kamamya yang sempit juara gulat itu melihat wajah Raden Kusnan telah kehilangan kepucatannya, kini merah-hitam dibakar oleh kemarahan.

“Aku percayakan padamu, tak boleh ada orang tahu tentang keterlam batan Tuban yang disengaja ini. Lim a hari! Terlambat lima hari!”

“Mereka semua sudah tahu, G usti.” “Bedebah! Bagaimana mereka bisa tahu?” “Mereka tak melihat armada Jepara.” “Mereka harus percaya, armada Jepara ada dekat di

depan kita. Mengerti?” “Mereka pelaut-pelaut yang mengerti tentang laut dan

kapal, G usti.” “Aku tak percaya m ereka tahu.” “Ya, G usti, mengapa G usti berkata dem ikian? Bukankah

semua mereka kawula G usti sendiri? Bukankah mereka bukan gerombolan kambing bodoh yang tidak tahu apa-apa,

G usti, tapi kawula G usti sendiri? Raden Kusnan berjalan berputar-putar di dalam ruangan

kamamya yang sempit. Berkali-kali tinju kanannya dipukulkannya pada telapak tan gan kirinya.

“D i mana harus kusembunyikan m ukaku ini?”

“Mem alukan,”

gumamnya.

“Perang akan m enghapuskannya, G usti.” “Ya-ya, perang, ” ia berhenti berputar-putar.

W iranggaleng pergi ke geladak dan mencoba beramah- tam ah dengan para prajurit dan awak kapal. Mereka semua bertanya mengapa Tuban terlambat. D an mereka semua W iranggaleng pergi ke geladak dan mencoba beramah- tam ah dengan para prajurit dan awak kapal. Mereka semua bertanya mengapa Tuban terlambat. D an mereka semua

Ia hanya dap at menjawab: “Hanya ada satu jalan dapat ditempuh. Laju, lebih laju.”

Seseorang menyeletuk: “Kita belum lagi membikin perhitungan dengan Jepara, Wira. Belum. Mestinya kita mendarat, dan.,..”

“Husy!” Ia buru-buru lari meninggalkan geladak, turun ke bawah

dan melihat pelaksanaan pendayungan. Prajurit-prajurit itu mendayung setengah mati bergantian dalam ruangan

bawah yang panas dan lembab, berbau keringat dari badan mereka sendiri. Laju, lebih laju adalah perintah. Tetapi pelayaran mem antai itu bukan pekerjaan mudah untuk kapal-perang yang berbadan berat dan kaku itu. Apa lagi angin kebetulan reda. D an dayung dua sap itu berkayuh seperti gila untuk m engejar ketinggalan.

W aktu angin bertiup dengan baik, pendayun g-pendayung tetap dikerahkan. Permu kaan laut terasa berat diluncuri.

Angin tetap terasa kuran g, sangat kuran g.

D alam beberapa hari mengejar armada Jepara tak juga nam pak di hadapan mereka. Keleluasaan laut itu sepi, sepi samp ai jauh-jauh di ufuk barat sana.

G ugusan Tuban terus belayar, tak ada petunjuk, tak tahu di bandar mana harus singgah. Bahan makanan dan air

mu lai susut, dan mereka tak tahu di bandar mana boleh mendapatkan. G ugusan itu berlayar siang dan malam dan terus mengejar yang tiada terkejar. Sekali waktu terpaksa singgah di sebuah bandar kecil temyata tak ada ditinggalkan petunjuk untuk mereka, dan gugusan terpaksa meneruskan mu lai susut, dan mereka tak tahu di bandar mana boleh mendapatkan. G ugusan itu berlayar siang dan malam dan terus mengejar yang tiada terkejar. Sekali waktu terpaksa singgah di sebuah bandar kecil temyata tak ada ditinggalkan petunjuk untuk mereka, dan gugusan terpaksa meneruskan

D alam keadaan terpaksa gugu san Tuban mem asuki bandar Banten. Seluruh prajurit dan awak kapal lelah dan cepat menjadi bengkeng. Perkelahian sering terjadi karena soal-soal kecil. D an Raden Kusnan berkurung diri terus dalam biliknya.

Syahbandar Banten, seorang Koja, mem bawa Raden Kusnan dan pembantu-utam anya pergi ke kesyahbandaran yang terbuat juga dari batu, tetapi tidak sebesar dan seindah kesyahbandaran Tuban. Mereka dijamu dan mendap at keteran gan, Laksamana Adipati Unus Jepara telah meninggalkan pesan untuk gugu san Tuban. D an pesan itu akan disamp aikan sendiri oleh seorang perwira armada yang untuk keperluan itu m emang ditinggalkan di Banten.

Syahbandar Banten menyilakan mereka beristirahat. Ia sendiri akan menjemput perwira arm ada Jepara. D an tengah m alam ia datang lagi beserta oran g yang dicarinya.

“Anak sangat terlambat, ” tegur Aji Usup. “Sahaya telah kerahkan pendayun g, Pam anda,” jawab

Raden Kusnan. “Armada seperti itu tak dapat kau susul dengan

pendayung.” “Ampun, Pamanda, mem ang sahaya yang terlambat

sejak semu la.” Aji Usup mem erintahkan pada Syahbandar Banten

untuk mem unggah perbekalan ke atas kapal-kapal Tuban.

D an begitu tuan rumah itu pergi pembicaraan diteruskan. W iranggaleng dud uk di suatu jarak mendengarkan

dengan diamdiam.

Pembicaraan itu berlangsung cukup lama. Pendayun gan dari Jepara ke Banten dinilai oleh Aji Usup sebagai keliru, merugikan persiapan perang. G ugusan Tuban berlayar bukan untuk mem buru bajak atau meronda pantai. Juga ia menyalahkan kebijaksanaan Raden Kusnan, yang menyebabkan gugu san harus berlabuh di Banten untuk beberapa hari: prajurit dan awak kapal harus mem ulihkan kekuatannya.

“Sahaya memang tidak punya pengalaman laut, Pam anda,” Raden Kusnan m eminta maaf.

“Barangkali kau pernah dengar pendayungan terus- menerus kapal-kapal Majapahit. Kau keliru. Kapal-kapal

Majapahit ringan, biarpun lebih besar. Pendayun gnya bukan prajurit atau awak kapal, tapi bajak laut yang menjalani hukuman sampai mati.”

“Kami dari gugusan Tuban akan semakin tertinggal tanp a mencoba menyusul. D engan penangguhan lagi di Banten….”

“Kami mendapat titah dari G usti Kanjeng Laksamana untuk menjadi tetua gugu san Tuban. Jangan hendaknya

jadi kekecewaarunu, Raden Kusnan.” Raden Kusnan pucat tak dap at mengatakan sesuatu.

W iranggaleng mendeham,

Aji Usup tak menggubrisnya. Sekarang ia baru menyedari dud uk-

tapi

perkara: Sang Adipati Tuban telah dengan sengaja mem perlambat keberangkatan untuk tidak menyertai perang di Malaka. Sebaliknya Jepara kini telah merampas gugu san Tuban, kapal dan anakbuah nya dan prajuritnya, term asuk dirinya. Ia harus selamatkan gugusan Tuban.

0o-d w-o0

Keesokan harinya pembicaraan diteruskan di kapal. Raden Kusnan dan Wiran ggaleng untuk kedua kalinya

harus menelan kemarahan Adipati Unus Jepara melalui mu lut Aji Usup.

“Insya Allah,” kata Aji Usup kemudian, “kita masih akan dapat menyusul Kanjeng G usti Laksamana di Riau atau Tumasik.”

Setelah itu ia menerangkan, armada Jepara telah dipecah jadi dua. G ugusan-I menyusuri pantai barat Sum atra, mem utari Aceh untuk ke-mudian bergabung dengan gugu san pasukan laut Aceh, yang akan melakukan pendaratan dan penyeran gan langsung dari sebelah utara Malaka. G ugusan-I telah berangkat dan hanya singgah sehari di Banten. G ugusan-II, yang lebih kecil, dipimpin sendiri oleh Laksamana Unus, bertugas menyusuri pantai sebelah timu r Sum atra dan bergabung dengan gugu san pasukan laut Jam bi-Riau.

D i Riau G ugusan-II akan beristirahat sambil menunggu gugu san Tuban dan Banten yang terdiri atas pelarian dari

Malaka yang menggunakan kapal-kapal dagang yang telah dirubah untuk keperluan perang, dan akan melakukan pendaratan dan penyeran gan dari selatan Malaka.

Aji Usup kemudian melakukan pemeriksaan di semua kapal Tuban. Para prajurit dan awak kapal nampak sudah

sangat lelah. Banyak di antaranya telah jatuh sakit dan ditunmkan di Banten.

Pembicaraan yang kemudian diteruskan mem buat W iranggaleng mengerti, bahwa armada Jepara menunggu Tuban di Banten selam a delapan hari. Tetapi semua itu tak menarik perhatiannya lagL D alam hati kecilnya ia merasa,

D emak-Jepara dengan sengaja hendak menyedot kekuatan Tuban dengan berbagai cara. Tidak-bisa-tidak pada suatu D emak-Jepara dengan sengaja hendak menyedot kekuatan Tuban dengan berbagai cara. Tidak-bisa-tidak pada suatu

D emak dengan jalan lain dan cara lain la pernah mendengar. Sang Adip ati tidak menyukai perang Maka boleh jadi ia menggabungkan diri dengan armada D emak- Jepara hanya suatu dalih untuk m enjerumu skan mu suhnya dalam pengham buran kekuatan di Jepara, dan dengan demikian takkan dapat menyaingi bandar Tuban sebagai bandar rempah-rempah. Bandar Jepara harus tetap pudar.

D an waktu prajurit dan awak kapal bersorak-sorai menyam but pengumuman, bahwa G ugusan Tuban akan

meneruskan pelayaran untuk bergabung dengan armada Jepara, ia tidak ikut bersorak. Ia terdiam. Ia m enjadi curiga dan semakin waspada. Ia ingin mengikuti gerak-gerik Aji Usup selanjutnya. Sedang kepercayaannya pada Raden Kusnan menjadi hilang. Pemimpin G ugusan Tuban itu tidak semestinya mengjakan saja perintah Aji Usup.

la catat semua yang dianggap kelicikan D emak-Jepara dan juga Tuban sendiri dalam hatinya. Ia berjanji akan

dap at mem ecahkan teka-teki yang ruwet ini

G ugusan Tuban berangkat ke baratlaut beberapa hari kemudian. Kapal-kapal dagang para pelarian Malaka yang dirubah jadi kapalperang itu berjumlah tiga. Semua dari ukuran kecil. Ia mendapat keteran gan, G u-gusan-II akan menam pung juga kapal-kapal kecil semacam ini, milik para pelarian dari Tumasik, yang merasa tak ada keamanan lagi setelah Malaka jatuh.

D i Riau ternyata G ugusan-II telah berangkat lebih ke utara. D i sini mereka menerima kemarah an lagi dari Laksamana karena keterlam batann ya. Raden Kusnan telah kehilangan semangat haru s menelan D i Riau ternyata G ugusan-II telah berangkat lebih ke utara. D i sini mereka menerima kemarah an lagi dari Laksamana karena keterlam batann ya. Raden Kusnan telah kehilangan semangat haru s menelan

Kenaikannya mem berikan suatu kekuasaan untuk melakukan tindakan yang mem utuskan, bila D emak-Jepara bermaksud untuk merugikan Tuban. Ia akan lemparkan Aji Usup dan R aden Kusnan ke laut bila ia melihat kecurangan akan dilakukan atas Tuban. D an ia akan melakukannya tanp a ragu-ragu. Ia tahu bagaiman a Patragading telah naik ke tiang gantungan di belakang kadipaten, maka putranya yang seorang lagi mu ngkin juga akan direlakan oleh ayahnya.

Ia perintahkan agar dayung sama sekali tidak dipergunakan. Prajurit dan awak kapalnya haru s tetap dalam keadaan segar mengh adapi segala kemungkinan.

G ugusan Tuban berlayar hanya dengan kekuatan angin.

D an jauh di belakang sana, seperti titik-titik menyusul gugu san pelarian M alaka di Banten.

Bukannya empat hari, tetapi lima setengah hari Adipati Unus telah menunggu gugu san Tuban di Riau sambil mem beri kesempatan pada G ugusan-I untuk menerima penggabungan gugusan Aceh. Setelah ternyata Tuban tak juga nam pak, dianggapnya sekutu itu telah melanggar janji dan ia hapus dari perhitungan perang.

Semen tara itu gugusan Aceh dengan kapal-kapalnya telah bergabung dengan G ugusan-I, dipimpin oleh seorang perwira Aceh, Kantommana. Mereka langsung berangkat sebagaimana diperhitungkan oleh Unus. Antara prajurit- prajurit Jepara-D emak dan Aceh terdapat kelainan pakaian yang menyolok. Jepara-D emak menggunakan celana dan Semen tara itu gugusan Aceh dengan kapal-kapalnya telah bergabung dengan G ugusan-I, dipimpin oleh seorang perwira Aceh, Kantommana. Mereka langsung berangkat sebagaimana diperhitungkan oleh Unus. Antara prajurit- prajurit Jepara-D emak dan Aceh terdapat kelainan pakaian yang menyolok. Jepara-D emak menggunakan celana dan

G ugusan-II berlayar lambat-lambat menuju ke sasaran . Layar tak dikembangkan penuh sambil menunggu tanda-

tand a yang diberikan oleh G ugusan-I. Portugis takkan diberi kesempatan untuk meninggalkan Malaka dari laut. Mereka harus dibinasakan di darat sebagai hukum an, atau dipaksa lari ke pedalaman dan mati di hutan-h utan sebelah timur.

Laksamana Adipati Unus telah mem perhitungkan: waktu penyeran gan akan dilakukan tepat pada saat M alaka kosong dari armada Portugis. Maka bila musuh telah ditump as di daratan, dan laut dijaga dari armada mu suh yang mu ngkin datang, semua akan dap at mendarat di Malaka. Setelah itu mu suh boleh melakukan serangan balasan dan mendaratkan pasukan. Perang darat harus mem utuskan kemenan gan.

Bandar Malaka telah nampak sayup-sayup di hadap an

G ugusan-II. Tak nampak ada satu kapal Portugis pun. N am paknya G ugusan-I terlambat mem berikan isyarat. Tapi tidak,

daripadan ya mu lai beterbangan di udara dan meledak merupakan bungaapi dan gumpalan asap. W ama merah mem belah langit: juga di sebelah utara sana tak ada namp ak kapal Portugis.

peluru-peluru

cetbang

G ugusan-D menjawab dengan tembakan ke udara pula: juga di sebelah selatan tak ada nampak kapal Portugis.

Sayup-sayup oleh G ugusan-II kelihatan prajurit-prajurit Aceh-D emakJepara, hitam dan putih mu lai mendarat, kemudian kapal-kapalnya bergerak menyusuri pantai utara Malaka dan mem basminya dengan tembakan-tem bakan cetbang. D entum annya menggelora disambut oleh sorak- sorai G ugusan-II.

Serangan darat sudah dimulai. Prajurit-prajurit dari

G ugusan-II ber-lompatan dan berjingkrak di geladak D an tak lama kemudian mereka melihat api dan asap mu lai mem bubung ke udara.

Tetapi Portugis bukanlah penakut. D ari pengalaman perangn ya di berbagai benua mereka mengerti benar

bagaimana harus mengh adapi serangan pasukan Pribumi, sehingga sejumlah kecil orang harus bisa m enghalau m ereka semua, mem bendung, mem bubarkan dan mengh ancurkan. Mereka menghindari perang lapangan menghadapi lawan yang lebih besar jum lahnya, sebaliknya menggunakan penggertakan -penggertakan dengan peluru dan gelegar menam serta penyergapan, dan melumpuhkan lawannya dengan tembakan-tem bakan mu sket. D ari pengalamannya di Asia Bawah mereka mendapatkan. temyata mu suhnya lebih takut pada ledakan dari pada peluru ataupun maut.

D an meriam-meriam mereka mu lai terdengar beigelegaran, dengan atau tanpa bola-bola besi. Barang

setengah jam kemudian tembakan-tembakan mu sket mu lai terdengar. Tetapi kebakaran di Malaka itu menjalar-jalar juga, terus dan terus ke selatan , menuju ke pusat kota.

G ugusan-II makin mengh ampiri bandar.

G ugusan-I telah berhenti menghamburkan peluru cetbang dari kapal dan mu lai menurunkan prajurit yang tersisa. N amp aknya tak ada seorang prajurit pun sudi G ugusan-I telah berhenti menghamburkan peluru cetbang dari kapal dan mu lai menurunkan prajurit yang tersisa. N amp aknya tak ada seorang prajurit pun sudi

Laksamana Adipati Unus mem erintah mem berikan tembakan peringatan terhadap G ugusan-I, tetapi tidak digubris. Kapal-kapal mereka tetap tertinggal kosong tercancang pada jangkar masing-m asing.

G ugusan-II makin mendekati Malaka. Cetbang- cetbangnya mu lai diarah kan ke bandar. Peluru-peluru api itu meledak menyambari bangun an-ban gunan dan pepohonan dan rumah-rumah. Kebakaran sekarang terjadi di sebelah selatan kota Malaka. Angin dari selatan meniup api itu ke utara dan kebakaran semakin menjadi-jadi.

D ari kapal-kapalnya G ugusan-II dapat melihat meriam - meriam Portugis mulai ramai diarah kan pada kapal- kapalnya. Tetapi cetbang menyapu saran g-saran g mereka. Mu suh di darat itu nampak berlarian, berlindun g di balik- balik pepohonan yang masih utuh.

Sekarang peluru-peluru besi Portugis mu lai beterbangan mencari sasaran. Tetapi hujan petir cetbang mengh alangi

mereka menembak dengan baik. Makin dekat dengan bandar makin nyata terdengar

sorak-sorai prajurit gabungan dari G ugusan-I, yang dengan kecepatan luar biasa m endesak ke selatan .

Karena kebingun gan melayani serangan dari darat dan laut meriam-meriam Portugis mu lai berjatuhan sepucuk

demi sepucuk. Sebuah peluru Portugis masih sempat melayang dengan

garis langsung yang indah menubruk dinding sebuah kapal Jepara. Peluru itu hilang ke dalam perut kapal. Sebuah lubang persegi panjang bergerigi menganga pada dinding garis langsung yang indah menubruk dinding sebuah kapal Jepara. Peluru itu hilang ke dalam perut kapal. Sebuah lubang persegi panjang bergerigi menganga pada dinding

D an sorak-riuh mengikuti. Sebutir peluru besi lainn ya telah mem agas mancung

haluan kapal bendera yang ditumpangi oleh Laksamana. Ia sendiri sedang berdiri di haluan di antara dua pucuk cetbang bikinan Bareng. D ua-duanya sedang menem bak satu-satu.

“D engarkan !” katanya sambil mengangkat tangan tinggi- tinggi. “Tembakan mereka semakin tipis. G encarkan tembakan kalian!”

Perintah itu disampaikan melalui isyarat pada kapal- kapal lain.

“Perhatikan laras, jangan samp ai terlambat m engganti!” Baru saja perintah selesai diberikan, dari sebuah kapal di

sayap kanan disampaikan laporan, dua pucuk laras telah pecah ambyar.

Unus meneruskan perintahnya: “Hari ini si kafir harus angkat kaki dari bumi Malaka. Hari ini! Insya Allah. Kalau Peranggi telah terusir, mu lai sekarang seluruh laut bagian selatan , seluruh perairan Nusantara, akan kembali jadi milik kita bersama lagi.”

Ia menengok pada perwira pembantu yang berdiri di belakangn ya: “Lihat peluru Peranggi itu. D ipaprasnya mancung kapal kita, sehingga layar kemudi kita lumpuh. Tapi insya Allah, m ereka akan menerima

paprasan seratus kali dari kita. Habiskan pelurumu, Peranggi! Habiskan!” ia tertawa senang.

“Tembakannya semakin berkurang juga, G usti.” “Ya, dan kalau Peranggi tidak terusir pada kesempatan

ini, boleh jadi lain lagi yang akan terjadi.”

“Tak ada namp ak arm ada P eranggi, G usti.” “Alham dulillah.” “Betapa indahnya hari ini, G usti.” “Syukur kepada Allah s.w.t. Kalau mereka tinggal

berkuasa di Malaka, tidak lama lagi, dan pelabuhan- pelabuhan kita akan jadi perkamp ungan nelayan belaka. Laut kita akan jadi rawa. Sawah akan jadi sarang nyamu k dan ladang kita jadi timbunan batu. Mengerti?”

“Patik, G usti.” Seorang perwira yang agak jauh memu ji- mu ji: “Perhitungan Kanjeng G usti Adipati tepat. Malaka jatuh dalam sehari,” ia mengunci kata-katanya dengan sembah.

“Ada kalian dengar? Mereka sudah berhenti menem bak. Malaka telah jatuh di tangan G ugusan-I. Alham dulillah. Ya Allah, ya Ro bbi, apa yang belum Kau ridloi di utara sana telah terjadi di selatan sini: Peranggi kalah. Biar begitu, lepaskan tand a-tanda peringatan kapal-kapal itu tidak tertinggai kosong.”

Tembakan-tembakan peringatan segera dilepaskan. Tetapi G ugusan I sudah lupa daratan dengan kemenan gan.

“Mendaratkah kita, G usti?” “Tidak mu ngkin! Keteledoran G ugusan-I menyebabkan

kita harus tetap berjaga di sini. Turunkan perahu. Hubungi Kantom mana – kapal-kapalnya harus segera diisi, sekarang

juga.” Sebuah samp an diturunkan dan orang bercepat-cepat

mengayuh ke arah bandar. “Sebelum penjagaan laut di utara sana dapat bertugas,

sayap kanan G ugusan-II supaya maju sampai melewati kapal-kapal G ugusan-I. W aspada ke sebelah utara!”

Isyarat-isyarat dikeluarkan dari kapal bendera dan sayap kanan G ugusan-II m ulai bergerak maju.

“Malam ini kita menjaga laut, lebih waspada, di semua kapal seyogianya diadakan sembahyang syukur.”

“Patik, G usti. Sebentar lagi magrib. Besok, insya Allah, akan terbit hari baru tanpa ada halangan atau rintangan.”

“Insya Allah, kelam batan dan keteledoran dalam sehari ini semoga tertebus oleh kegemilangan hari esok: pendaratan, perkubuan, pem buruan terhadap Peranggi….”

Malam pun jatuh. Langit di atas M alaka merah-hitam oleh api dan asap.

D ari atas kapal-kapal G ugusan-II nampak prajurit- prajurit gabungan Aceh-D emak-Jepara mo ndar-m andir menjalankan perintah. Antara sebentar sorak-sorai dari daratan masih terdengar. D an dalam malam itu juga tukang-tukang kayu sibuk mem betulkan kerusakan pada tubuh kapal.

Sam pan utusan tiba dan mem bawa surat dari perwira Kantom mana, bahwa tugas sudah selesai, dan sedang

menyiapkan untuk pendaratan Sang Laksamana untuk besok hari. Samp an dikirim kan kembali, mem erintah kan agar kapal-kapal G ugusan-II tetap diperlengkapi dengan kekuatan.

D i atas geladak semua kapal G ugusan-II sembahyang magrib dilanjutkan dengan sembahyang syukur, diimani

dan dikhotibi oleh Adipati Unus sendiri. Kemudian dilanjutkan dengan sembahyang isya!

Sam pan utusan datang kembali, mem bawa berita bahwa prajurit-prajurit yang melakukan pengejaran belum lagi Sam pan utusan datang kembali, mem bawa berita bahwa prajurit-prajurit yang melakukan pengejaran belum lagi

Surya mem ancar cerah di pagi hari. Langit biru mu da dan bening. Kapal-kapal dari G ugusan-II tetap menjaga perairan Malaka. G ugusan-I tetap kosong dari penjagaan. Tembakan Portugis di daratan sudah tak terdengar lagi. Mereka telah terbenam dalam aru s prajurit gabungan. Pengejaran dilakukan atas sisa-sisa mu suh yang terbesar di mana-mana. G ugusan-II tetap tak dapat m endarat.

D an bila G ugusan-II mendarat, dan puluh ribu prajurit gabungan akan berpesta di atas kekalahan Portugis, tanpa

gugu san Tuban dan Banten. Sebuah perahu layar kecil mengh ampiri kapal bendera

dan mem persembahkan pada Laksamana Unus, bahwa Malaka sudah siap untuk didarati.

Unus menjadi berang mendengar persembahan itu. Ia mendapat keyakinan, G ugusan-I memang tidak mematuhi rencana semula. Ia perintah kan perahu itu kembali tanpa jawaban.

Tepat pada waktu perahu itu samp ai ke bandar, dari sebelah utara sayap kanan G ugusan-II melepaskan tembakan peringatan: dari sebelah utara nampak sayup- sayup iring-iringan armada Portugis. Layar-layarnya yang tinggi bergam bar salib itu kembung sepenuhnya. Kapal-

kapal itu meluncur cepat ke selatan. “Peranggi!” orang m emekik dari atas tiang utama. Seperti dengan sendirinya cetbang-cetbang G ugusan-II

bergerak laras-larasnya, semua tertuju ke arah datangnya arm ada m usuh.

Pada sayap kanan G ugusan-II yang telah ada di sebelah atas M alaka Pada sayap kanan G ugusan-II yang telah ada di sebelah atas M alaka

Unus mem erintahkan

agar

cetbang hanya dipergunakan di atas laut dan sekali-sekali tidak diperkenankan di darat. Kapalperan g dan cetbang merupakan kesatuan. D engan kapal-kapal dari G ugusan-I yang kosong cetbang-cetbangnya pun m enjadi bungkam.

Mengikuti tradisi

Majapahit,

Suasan a kemenangan yang riang-gembira berubah jadi kewaspadaan dan

kesiagaan yang tegang. Orang mendudu ki tempatnya masing-m asing mengh adapi perang laut.

Armada Portugis ternyata lebih maju daripada yang diperkirakan. Baru saja prajurit-prajurit dari G ugusan-I turun ke biduk-biduk untuk menuju kapalnya masing- masing, guruh meriam Portugis sudah mu lai kedengaran. Kemu dian disusul oleh tembakan balasan dari cetbang- cetbang sayap kanan G ugusan-II yang m engawal G ugusan-

I. Armada Portugis itu maju terus sambil menem bak – lima buah kapal, yang dari kejauhan seakan terbuat dari baja putih. Peluru-peluru besinya beterbangan namp ak dari

G ugusan-II. Orang dapat melihat dari setiap kapal Portugis dap at dilepaskan sepuluh peluru sekaligu s dari beberapa

tempat. Pertem puran laut antara armada Portugis dengan sayap

kanan

G ugusan-II namp ak dari kejauhan seperti perkelahian antara dua rombongan ka tak raksasa dengan lidah-lidah api yang panjang menyambar-nyam bar. D an kapal-kapal G ugusan-I masih tertidur dalam kedamaian diayun-ayunkan oleh ombak pagi, seakan tidak peduli pada kehancuran yang m endatan gi.

Orang melihat bagaiman a kapal-kapal sayap kanan

G ugusan-II direjam oleh peluru logam dan hanya dap at mem balas dengan ledakan peluru cetbang. D an kapal-kapal Portugis maju terus, terlalu yakin pada kekuatan meriamn ya, pada kekukuhan kulit kapalnya, pada kelajuan dan pada keperkasaan layarnya.

Sebuah kapal Portugis namp ak terbakar layar-layam ya terkena semburat api ledakan cetbang. Orang juga melihat sebuah kapal sayap kanan tumban g tiang layarnya dan dindingnya terbongkar, kemudian dengan ragu-ragu menyelam ke dasar laut. KapaJ-kapal lainn ya mengerahkan dayun g menghindari derasnya hujan peluru. Tetapi peluru logam itu lebih cepat dari kelajuan angin, apalagi kelajuan kapal. Sukun-sukun besi itu mengh unjam buritan, haluan, lambung, dinding kiri dan kanan. Semua yang terkena terjang dadal tak dapat bertahan.

Laksamana m emerintahkan menghadang mu suh dengan tembok tembakan cetbang. Ia telah saksikan kehebatan meriam P ortugis dengan mata kepala sendiri, dan m engakui keunggulannya. Ia lihat sendiri juga bagaimana sayap kanann ya tumpas di depan sana tanpa bisa mem bela diri.

D an Portugis maju terus seperti tak terjadi apa-apa atas dirinya.

Sayap kanan G ugu san-II tenggelam sebuah demi sebuah, hilang ke dasar laut.

Portugis mu lai menem baki kapal-kapal G ugusan-I yang kosong dari prajurit, koson g dari pengawalan. Sampan- samp an prajurit bubar tak berani meneruskan mem asuki kapalnya. G elegar meriam Portugis dan ledakan cetbang

G ugusan-II sam bar-menyambar tak putus-putusnya. Sebuah demi sebuah dari G ugusan-I menyusul menyelam ke dasar laut dengan gaya dan caran ya sendiri-sendiri.

D an arm ada Portugis terus saja maju. Sebuah kapalnya yang terbakar layamya tertinggal di belakang.

Unus mem erintahkan semua dayung dipersiapkan. Keningnya berkerut melihat G ugusan-I tak sempat melepaskan satu tembakan cetbang pun, biasa tanpa pernah melawan.

D an arm ada Portugis semakin mendekat, semakin jelas dan semakin besar. Kapal-kapalnya anggu n dan agung. W alau pun kelajuann ya tinggi namp ak tidak terburu-buru.

D an kapal-kapal itu ternyata mem ang tidak lebih besar daripada kapal bendera D emak-Jepara.

Tak ada terdengar sorak. Hati orang telah menjadi kecil melihat tumpasnya sayap kanan G ugu san-II.

Cetbang G ugusan-II mu lai menyemburkan tembok api dan ledakan , tembok penghadan g. Tetapi dalam pada itu setiap kapal datan g melaporkan, bahwa semakin banyak lagi cetbang yang meledak di tempat, melukai dan mem bunuh penembak-penembaknya. Sedang kapal-kapal Portugis tetap tak dap at dicapai oleh cetbang.

Laksamana Adipati Unus sebentar menunduk, mengerti ia telah terkecoh oleh pandai-pandai Hindu dari Blam bangan . Sesal tiada berguna. Meriam-meriam Portugis tak mem berikan padan ya kesempatan berpikir lebih lama. Peluru-p elurunya tak mengindahkan tembok api dan

ledakan cetbang.

G ugusan-II kini mu lai terkena hajar. Beberapa bagian dalam sebentar saja, dan setiap gem a gelegar di kejauhan sana disusul oleh datangnya bola-bola besi lawan yang menem busi dinding kapal tanpa bisa ditahan.

“Ya Allah, bantulah ummat-Mu ini,” Adipati Unus mengangkat tangan ke atas.

Ia berdiri di belakang dua pucuk cetbang yang tak henti- hentinya menem bak. Barangkali ia menyesal juga telah menan gguh kan pendaratan yang kemarin.

“Perintah G usti Kanjeng Adipati ditunggu,” seorang perwira menyedarkannya.

Ia menengok ke samp ing kiri dan kanan. Ia melihat beberapa buah kapalnya telah pada mu lai miring, hancur pada lambung, menungging karena pecah haluan.

D an cetbang-cetbang tetap tak dapat mencapai mereka….

“Ya Allah, bencana tak dap at dielakkan. Perintah kan pada semu a kapal untuk m eninggalkan perairan Malaka!”

Kapal-kap al mulai bergerak dengan tenaga pendayung. “Cetbang tak m amp u, G usti.” “Kami sudah lihat sendiri. Mereka mem ang lebih

unggul. Apa pun yang terjadi, kita sudah menan tang mereka, sudah melawan dan m endatan gi.”

Juga kapal bendera mu lai berputar dengan tenaga pendayung.

“Bagaimana rah asia cetbang-cetbang kita kalah terhadap meriam? Apa obat dan bagaimana ram uannya kiram u?”

“W arta-warta itu ternyata tidak bohon g, G usti. Senjata mereka lebih unggul.”

“Ya, persiapan kita kurang sempurna.” Pada waktu kapal-kapal dari G ugusan-II memu tar

haluan, armada Portugis semakin m enggencarkan serangan karena mendapatkan titik tembak lebih besar. Beberapa kapal lagi telah buyar dindingnya dan miring kemudian tenggelam pelahan -lahan. Sebuah kapal meledak pada haluan, armada Portugis semakin m enggencarkan serangan karena mendapatkan titik tembak lebih besar. Beberapa kapal lagi telah buyar dindingnya dan miring kemudian tenggelam pelahan -lahan. Sebuah kapal meledak pada

Armada Portugis semakin mendekat juga. Kapal bendera itu terasa menggetar. Satu di antara tiang-

tiangn ya roboh ke samping dengan suara seperti ledakan petir. Layarnya jatuh ke atas air seperti sayap dayung patah.

D ua orang bermandi darah tertindih di bawahnya, pipih seperti lontar. Sebuah peluru lagi menyam bar siku haluan, dan mancung yang semalam dibetulkan kini terbongkar lagi. Sebutir peluru logam lagi menghantam ulang m ancung itu, menem bus dan dengan lengkungan masuk ke dalam laras cetbang, mengh antam bilik ledak, meletus, dan serpihan besi beterbangan.

Laksamana Adipati Unus menggeletak di geladak bermandi darah. Serpihan besi telah m enghujani tubuhnya.

D an dengan demikian armada gabungan Aceh-Jam bi- Riau-D emak-Jepara dengan kekuatan dua puluh ribu orang itu binasa dengan kekalahan….

0o-d w-o0

Tum asik telah di depan m ata. “Semenanjung!” seseorang berteriak dari tiang utam a. Aji Usup keluar dari bilik bersama Raden Kusnan. Di

belakangn ya mengikuti W iranggaleng. Semenanjung nam pak semakin nyata.

D an armada yang dikejar itu belum juga nampak. Tum asik, bekas pangkalan Majapahit di masa-masa yang

lalu, sepi. Oran g sudah pada m engungsi dari situ. ‘Tidak singgah, langsung ke Malaka.”

G ugusan Tuban-Banten berlayar dengan semua layar kembang.

Setelah setengah hari berlayar nampak oleh gugu san itu dua buah kapal menuju mereka. D i belakangn ya mengiringkan tiga buah kapal kecil. Semua bergerak lambat, dan hampir sepenuhnya menggunakan tenaga pendayung.

W iranggaleng naik ke atas tiang utam a, mengh ampiri juru-tinjau.

“Barangkali kapal bendera Jepara, ” kata juru-tinjau. W iranggaleng tak menanggapi. Mem ang kapal bendera

Jepara. Ia turun cepat-cepat dan menyampaikannya pada Aji Usup.

“G ustiku! G ustiku!” sebut Aji Usup kesakitan. Ia lari ke haluan, berteriak pada laut, pada angin, pada kaki langit, dan kapal bendera yang som plak: “G ustiku, G ustiku! Ya Allah, G ustiku! Hanya kau yang mengerti bagaimana mem persatukan arm ada, hanya kau tahu cara mengu sir Peranggi. G ustiku! G ustiku!”

Raden Kusnan berlutut di geladak dan menyembah ke jurusan kapal semplak itu, meratap menghiba-hiba: “G ustiku! hukumlah patik. Patiklah yang bersalah tak dapat mem enuhi janji.”

Kapal bendera yang besar lagi putih dilepas dengan ado nan kapur dan minyak kelapa tujuh lapis itu dari jauh

nam pak seperti merpati compang-camping dalam keputihannya. D i beberapa tempat lapisan ado nan telah gom pal dan buyar dengan dinding tubuh menganga. Bendera Jepara, putih dengan gam bar kupu-tarung, tidak nam pak – telah terbabat oleh peluru Portugis.

Aji Usup mem erintah kan agar disiapkan sebuah biduk.

Semua prajurit Tuban dan Banten di atas kapal masing- masing berlutut dan menyembah kapal bendera. dan mereka semua menyaksikan Aji Usup, Raden Kusnan dan W iranggaleng turun ke biduk menuju ke kapal bendera, naik ke atasnya, dan diiringkan oleh beberapa orang mengh ilang ke dalamnya.

Mereka memasuki kamar Laksamana. Suasan a berkabung itu mem pengaru hi setiap orang.

Semua kepala menunduk. Juga pendatang yang tiga orang itu.

D i dalam kamar Laksam ana beberapa orang dud uk di atas geladak mengh adap pada ambin kayu. Di atas am bin

nam pak seonggokan tubuh, seluruhnya dibalut. Dan di sana-sini balut itu ditembusi darah.

Hanya mata, lubang hidung dan mu lutnya saja yang nam pak.

“G usti, G usti!” ratap Aji Usup. Bibir seonggokan tubuh di atas am bin itu bergerak

lambat dan matanya tertuju pada Aji Usup: “Masih juga terlambat kau, Aji Usup?”

“Inilah patik, G usti, hukum lah patik!” “Terlambat, Aji Usup, semua sudah tanpa guna. ” “Raden Kusnan dari gugusan Tuban datang m enghadap,

G usti,” sembah Raden Kusnan, “hukumlah patik, bunuhlah patik, G usti. Tak patut lagi patik mengabdi pada G usti.

G usti! G usti!” “Kembali ke kapalmu, Kusnan, Belajarlah menepati

janji.” “Ampun, G usti Kanjeng,” Kusnan hendak bicara lagi,

tetapi seseorang telah mendorongnya keluar.

W iranggaleng mengantarkan Kusnan kembali ke biduk Aji Usup tinggal di kapal bendera yang somp lak. Sepanjang pengayuhan ke kapal sendiri Raden Kusnan tak henti- hentinya menan gis. D an juara gulat itu telah mem utuskan dalam hatinya takkan menyerahkan kembali gugu sannya pada Raden Kusnan. Penyerahan berarti kekuatan Tuban ini jatuh ke tangan D emak-Jepara. Ia akan pertahankan kepemimpinannya. Dan ia takkan ragu-ragu mengambil tindakan terhadap bekas pimpinannya itu.

Begitu mereka samp ai di kapal sendiri, mereka mengangkat sembah lagi pada kapal bendera. Raden

Kusnan langsung masuk ke biliknya dan tak keluar lagi. W iranggaleng mem erintahkan pada seluruh gugu san untuk mengiringkan G ugusan-II, juga memerintahkan melakukan upacara berkabung.

“Sam paikan juga pada kapal-kapal Banten supaya kembali!” penntahnya. ‘Tak ada di antara mereka boleh meneruskan pelayaran.”

D i Riau, kapal-kapal Riau-Jam bi yang masih selam at mem isahkan diri dan mengu capkan selam at jalan pada

kapal bendera dengan kibaran bendera-bendera alamat: selam at jalan pada arm ada yang pulang membawa kekalahan. D an kapal bendera itu tidak singgah D engan sangat pelan keberatan tubuh sendiri ia maju membawa luka-lukanya. D i belakang mengiringkan semua kapal.

D i Banten baru iring-iringan itu singgah untuk mem unggah perbekalan, kemudian meneruskan pelayaran ke Jepara. Kapal-kapal Banten yang kecil itu terus mengiringkan.

W iranggaleng sempat melihat bagaimana orang berduyun-duyun di bandar Banten untuk melihat sisa arm ada yang somplak comp ang-camping itu. Semua W iranggaleng sempat melihat bagaimana orang berduyun-duyun di bandar Banten untuk melihat sisa arm ada yang somplak comp ang-camping itu. Semua

Tidak bisa lain, ia sendiri pun mengagumi kegagahan Peranggi, juga tidak terkalahkan oleh Jepara. Ia mencoba mencari sebab kekalahan ar mada gabungan. D i bandar Banten ia banyak mendengar percakapan dari perwira- perwira D emak-Jepara. Ada yang mengu tuk pandai-pandai Blam bangan . Ada yang menyalahkan Kantom mana yang tak melaksanakan perintah. Ada yang mengatakan, Aceh punya maksud sendiri hendak menggagahi Malaka buat dirinya sendiri. Ada yang menyalahkan Tuban yang jelas- jelas telah mengkhianati janji. D alam pelayaran menuju Jepara ia kaji semua alasan yang didengarnya dan mem benarkan semua. Tetapi juga membenarkan: Adipati Unus satu-satunya orang yang berani berusaha mem persatukan kekuatan pelawan Portugis, dan berani melaksanakan penyeran gan. Kekalahan yang terjadi bukan kekalahan perang, tetapi kegagalan dalam mengatur kekuatan sendiri. Kemudian ia menyimpulkan: armada gabungarf itu semestinya tidak kalah. Ia menganggu k- angguk mengerti.

Bandar Jepara penuh sesak dengan orang-orang yang datang menyam but. Semua pekerja galangan kapal

berkerumu n untuk melihat kesudahan dari kapal-kapal bikinann ya sendiri. Melihat lambung dan haluan kapal bendera som plak dan tiang-tiangnya yang terpangkas mereka sendiri, juga kapal bendera itu tidak tahan terhadap peluru Portugis. Panser dari adonan kapur dan minyak kelapa tidak memp unyai makna terhadap sukun besi, bahkan semakin m emberati kapal.

Juga di sini kehebatan Portugis lebih terbayang daripada kekalahan sendiri.

Ibunda Sang Adipati Jepara, Ratu Aisah, permaisuri Sultan D em ak, juga datang mengelu-elukan.

Raden Kusnan dengan terburu-buru diiringkan oleh W iranggaleng turun ke biduk untuk menyertai Laksamana mendarat.

D ari kapal bendera yang somplak compang-camping diturunkan sebuah tandu dengan Sang Adipati Unus terikat di atasnya. Raden Kusnan dan W iranggaleng mendekati tand u untuk mendapat kesempatan memikulnya sampai ke darat. Tapi mereka tersisihkan oleh para pembesar negeri.

Tandu itu diletakkan di tanah di hadapan Ratu Aisah. Semua orang bersimpuh dan m enyembah.

“Pulang, kau, putraku, Adipati Unus?” tanya Ratu. “Inilah putra Ibunda, datang mem bawa luka dan kekalahan. Ampuni putra Ibunda ini – menyembah dan mencium kaki Ibunda pun putranda tak mampu.”

putranya dan menem buskan pandan g pada mata yang tersembul dari balik balutan.

W an ita tua

itu mengh ampiri

“Kau terluka, putraku, tapi tidak kalah. Kafir-kafir itu sekarang tahu.

Putraku kesayangan. Adipati Unus Jepara, telah pernah mendatan gi mereka, dan akan mendatangi lagi kelak.”

Tanpa diduga-duga oleh siapa pun wanita tua itu mengangkat tangan dan melambaikan selendang. Semua

mata tertuju padan ya. Terdengar suara lantangnya yang bereampur dengan desau angin dan deburan laut: “Perhatikan, semua kawula! Jepara sudah pernah mendatan gi Peranggi di Malaka. Kapal-kap al Jepara sudah pernah menyerang mereka, sedang negeri-negeri lain mata tertuju padan ya. Terdengar suara lantangnya yang bereampur dengan desau angin dan deburan laut: “Perhatikan, semua kawula! Jepara sudah pernah mendatan gi Peranggi di Malaka. Kapal-kap al Jepara sudah pernah menyerang mereka, sedang negeri-negeri lain

“Perhatikan semua itu, seluruh kawula!” Adipati Unus mem perkuat dengan suara lemah. Kemu dian keluar kata- katanya yang takkan dilupakan oleh sejarah: “Adipati Unus Jepara terluka, pulang tidak mem bawa kemenangan, tapi tidak mem bawa kekalahan. Jepara sudah bertempur melawan lelananging jagad. Kapal bendera telah dilukai oleh meriam Peranggi. Pasang kapal ini di laut sana, tam batkan pada sauh jauh dari Pulau Panjang, biar seluruh dun ia tahu: dia telah pernah berhadapan dengan Peranggi

dalam perang laut di perairan Malaka. Sauhkan di sana samp ai um ur tua menenggelamkannya sendiri. Lain kali kita akan datangi Malaka lagi. L ain kali!”

Tandu diangkat lagi. Raden Kusnan dan Wiranggaleng telah tak dapat merebut kesempatan untuk mem ikul. Mereka berdua berjalan di belakangn ya. Iring-iringan bergerak menuju ke kadipaten. D an di pelatarannya, di atas tanah, orang menundu k menyatakan bela sungkawa.

Tiga hari W iranggaleng tinggal di Jepara sebagai Punggawa Tuban. Bekas teman -temannya sekerja dulu tak habis-habis mengaguminya. Hanya Hayatullah selalu mengh indarinya. Pada suatu kesempatan ia dap at menan gkap bahunya. O rang itu mencoba mengebaskan diri

sambil bersungut-sungut: “Kafir! Pengkhianat dari Tuban! Kafir!”

Ia terpaksa melepaskannya dan m embiarkan pergi sambil meludah jijik ke tanah. Mengertilah ia, um um di Jepara telah menganggapnya sebagai pengkhianat. D an ia harus terima semua itu tanpa bisa membela diri. Ia tanggung semua pengkhianatan itu sebagai wakil Tuban.

Ia mencoba menem ui Raden Kusnan untuk minta diri. Hanya dengan susah-payah ia dapat menem ukannya, untuk mendapatkan penghinaan baru pula: “N yahlah semua tentang Tuban dan dari Tuban!”

Hatinya terluka. Pada hari ke empat ia berhasil dapat mengh adap Ratu

Aisah. Wanita tua itu menerimanya di taman kadipaten: “Kau, Wiran ggaleng dari Tuban, kembali kau pada G usti Adip ati Tuban dengan salam kami. Jangan kau patah hati. Kegagalan di Malaka bukan akhir, hanya suatu perm ulaan yang belum selesai. Pulanglah, N ak, dengan damai. Allah mem berkahimu.”

Kata-kata wanita tua itu menghibur hatinya. D engan langkah tegap ia turun ke pelabuhan dan hendak segera mem erintahkan mancal.

gugusan Banten, mengh adangnya di dermaga: “Tuanku W iranggaleng, kepala gugu san Tuban,” katanya sambil menyembah dad a, “raja Pajajaran tidak mem berikan ijin pada kami untuk mendarat di Banten untuk selam a-lam anya. Kami hendak menyatakan bergabung dengan Jepara, tetapi tak ada punggawa yang dap at diajak bicara. Semua sibuk dengan Tuanku Laksam ana. Tuanku, perkenankanlah kami menggabung pada Tuanku.”

Jam al Konon g,

pemimpin

“D ua ratus anak buahmu, apakah masih lengkap?” “Utuh, Tuanku.” “Baik. Mari mancal.”

0o-d w-o0

G ugusan gabungan Tuban-Banten meninggalkan Jepara menuju ke Tuban.

Sang Adipati menyambut kedatangan pasukan lautnya di bandar, la tersenyum dan mengangguk-angguk melihat semua dalam keadan utuh dan selam at.

W aktu W iranggaleng mempersembahkan akan kapal- kapal pelarian Malaka di Banten yang menggabung ia tertawa pelahan. Anggukannya semakin kuat.

Ia sam a sekali tak pernah menan yakan Raden Kusnan. 0o-d w-o0