Balatentara Tuban Turun Tangan

17. Balatentara Tuban Turun Tangan

Tak ada tawa dalam penghadapan terakhir itu. Semua punggawa yang desanya bersangkutan dengan kekuasaan Rangga Iskak telah mem persembahkan pagard esa mereka tak sanggu p lagi mengh adapi perusuh-perusuh Ki Aji Benggala. Penjarah an terhadap desa-desa semakin banyak terjadi. Hilangnya ternak besar menyulitkan orang menggarap tanah, dan dengan demikian jatah upeti terancam takkan terpenuhi pada panen mendatan g.

W aktu selam a sebulan yang diberikannya oleh Sang Patih telah terlampau sia-sia.

Lebih dari itu dari beberapa tempat orang mu lai menyebut Rangga Iskak bukan lagi Ki Aji Benggala, tetapi

sudah jadi Kiai Benggala, dan terakhir malah berubah lagi jadi Sunan Rajeg.

“Ya,” Sang Patih memu tuskan. “Kalian telah menyatakan tidak sanggup. Kami terima kenyataan ini. Tak ada jalan lain daripada mengirimkan balatentara ke pedalaman. D an semua itu jadilah tanggungan desa-desa kalian sebagaimana telah jadi aturan. Jangan kalian mengeluh karena harus makan lebih sedikit dan bekerja lebih banyak.”

Regu-regu prajurit dari sepuluh orang, masing-m asing di bawah seorang perpuluh, mulai diberangkatkan ke sembilan desa terancam dengan perintah untuk mendesak para perusuh samp ai mereka masuk kembali ke desa Rangga Iskak dan m emukul mereka di kandang sendiri.

Mereka berangkat setelah mendapat restu Sang Patih, berangkat menjelang fajar bersama dengan kepala desa, wedana dan kuwu bersangkutan. Tak banyak orang yang menyaksikan keberangkatan ini. G ong, canang dan gendan g sam a sekali tidak berbunyi.

Setelah hilangnya kesatuan kecil pasukan kuda, ia mengetah ui betapa gentingnya pedalaman. Agar kawula

tidak menjadi lebih gelisah, ia harus selesaikan pergolakan ini dengan diam-diam. Setiap keributan akan menarik bupati-bupati tetangga dan Peranggi di laut sana untuk ikut serta berpesta pora.

Maka juga tak banyak orang yang tahu: sembilan regu yang dikirimkan ke sembilan desa itu ternyata takkan pernah lagi ke pangkalan. Semua hilang tanpa bekas.

D an berita tump asnya regu-regu itu tidak datang dalam bentuk persembahan resmi. Ia datang dari pusat Tuban Kota.

Seorang penjual bertanya pada langgan an mengapa belanjanya begitu sedikit sekarang. Jawabannya: tiga orang

anaknya belum juga kembali selam a ini, tak ketahuan ke mana perginya. Mereka adalah prajurit kaki Tuban. Seorang penjual lain m enambahi, kira-kira m ereka tertawan atau tertumpas oleh anah buah Kiai Benggala. Seorang pedagan g dari pedalaman menam bahi, bahwa orang sudah mu lai m eninggalkan desanya untuk mengungsi. Percakapan itu menjalar, semakin lama semakin lengkap dengan bahan baru, kenyataan baru, dan sampailah pada Sang P atih.

Sang Patih telah mem erintah kan satu kesatuan berkuda untuk mengh ubungi regu-regu tersebut. Mereka pun tak berhasil. Mereka tak pernah kembali. Bahkan punggawa bersangkutan pun telah tumpas atau melarikan diri.

Setelah penghadapan terakhir dengan terburu-buru ia mengh adap Sang Adipati. Ini terjadi di seram bi belakang.

“Ambil tindakan seperlunya saja,” kata Sang Adipati acuh tak acuh.

Sang Patih mencoba meyakinkan gustinya, betapa telah menjalar Kiai Benggala.

“Jangan gegabah,” Sang Adipati menjawab. “Tidak kami benarkan seluruh negeri Tuban menjadi keruh. Di mana

kekeruhan berkuasa dan orang tak dapat melihat lagi, mata tertutup lump ur, takkan ada yang tahu bakal datang di hadapan.”

Ia m asih mencoba m eyakinkan gustinya. “Orang itu bukan turunan satria, tidak pernah beroleh

keprajuritan. Jangan membesar-besarkan .” “Tetapi bawahannya, G usti Adipati sesembahan patik,

baran g tentu terdiri dari prajurit-prajurit tangguh. Kalau tidak, tidak mu ngkin…”, ia tak berani mem persembahkan hilangnya satu kesatuan kecil pasukan kuda dan sembilan regu prajurit kaki. “Ular berbisa itu, G usti Adipati Tuban sesembahan patik, biar pun kecil, mu ngkin masih telor,

pada suatu kali akan jadi besar juga bila tidak segera ditump as.”

“Apa yang kakang Patih inginkan?”

D an Sang Patih mem ohon agar diperkenankan mengirimkan kesatuan yang kuat, tidak terlalu besar, D an Sang Patih mem ohon agar diperkenankan mengirimkan kesatuan yang kuat, tidak terlalu besar,

“Kerusuhan seyogianya ditump as dengan cepat, G usti, cepat, yang dapat bergerak segera dan setiap waktu.”

D an Sang Adipati mu rka. D engan suara pelahan tertindih am arah , dengan mata menyala, ia berkata cepat: “Jangan terjadi sesuatu yang menarik perhatian oran g. Ambil tindakan sekedarn ya, biar pun hasilnya hanya sekedar mengh alangi pertum buhan mereka. Tindakan yang seolah tidak terjadi sesuatu . Bisa apa petani-petani itu? Pergi!”

Sang Patih pulang membawa kejengkelan – kejengkelan semata. D an bukan sekali ini saja ia jengkel terhadap gustinya, kejengkelan yang selalu mengenan gkannya pada cerita orang tua-tua: tidak lain dari Sang Adipati juga yang karena sikapnya itu yang mengambrukkan Majapahit samp ai ke dasarnya.

Tanpa sepengetahuan Sang Adipati ia mengambil kebijaksanaan sendiri. Ia panggil seorang perwira pengawal

yang terkenal cakap dan patuh, Mahmud Barjah, seorang Islam, muda, gesit dan cerdas. Ia perintahkan perwira itu untuk mem impin dua ratus orang prajurit kaki untuk mem impin penump asan terhadap perusuh Rangga Iskak alias Iskak Indrajit alias Kiai Benggala, alias Sunan R ajeg.

“Sahaya akan segera berangkat, G usti,” sembah Mahm ud

ijinkan sahaya mem persembahkan sedikit pikiran, karena sahaya orang Islam sedang Sunan Rajeg pun Islam.”

Barjah.

“Hanya

Ia mempersembahkan untuk diperkenankan memilih sendiri peratus dan prajurit yang akan dibawanya. D an ia diperkenankan. Ia bekerja sendiri memilih orang-orangnya.

D engan demikian pada suatu subuh berangkatlah Mahm ud Barjah, juga tanpa gon g, canang atau gendan g, untuk menumpas para perusuh di pedalaman.

Ia naik seekor kuda, cambuk paran g terselit di pinggang, cambuk kuda di tangan, tanp a pedang dan tanpa tom bak.

D i belakangn ya mengikuti dua ratus orang prajurit pilihan….

0o-d w-o0

Belum lagi Mahm ud Barjah dan pasukannya meninggalkan batas kota, Sang Patih telah dud uk

bersim puh di depan pintu keputrian menunggu keluarnya Sang Adipati.

Begitu pintu terbuka ia menjatuhkan mu ka ke tanah sambil menyembah, mempersembahkan, keadaan semakin gawat. Kalau tidak ada tindakan tegas, kepercayaan orang pada bandar Tuban akan terancam oleh kemerosotan dan perdagangan yang sepi akan m enjadi mati sama sekali. D an untuk ke sekian kalinya ia mempersembahkan, bahwa kerusuhan di pedalaman memp unyai persangkutan erat dengan bandar. Bila Rangga Iskak dikembalikan pada kedudukan semula sebagai Syahbandar dan Sayid Habibullah bilam ana dipindah kan ke Rajeg, kerusuhan dap at dipad amkan tanpa campur tangan balatentara.

Sang Patih yang sudah sampai pada puncak kegugupan itu dalam tunduknya ke tanah tidak dapat melihat Sang Adip ati yang sedang menggandeng selir baru dan di belakangn ya mengikuti N yi G ede D aludarmi.

Sang Adip ati berpaling pada sang selir, mendenguskan tawa pendek dan berkata: “Tak diketahuinya hari masih sepagi ini, tak diketahuinya ada tempat yang lebih baik Sang Adip ati berpaling pada sang selir, mendenguskan tawa pendek dan berkata: “Tak diketahuinya hari masih sepagi ini, tak diketahuinya ada tempat yang lebih baik

Sang Patih mengangkat pandang. Tak pernah gustinya segusar sekarang ini. Juga tak pernah ia merasa terhina seperti sekarang, terhina sebagai pribadi dan sebagai patih di hadap an seorang selir dan seorang pengurus keputrian. Suatu kesakitan mencekik hatinya. Ia mengangkat sembah dan

memperhatikan gustinya lewat sambil terus menggandeng selir baru dalam iringan N yi G ede

D aludarmi. W aktu kaki itu sudah tak nampak lagi olehnya, ia

mengangkat sembah lagi, kemudian berjalan terburu-buru pulang ke kepatihan mem bawa kesakitan dalam hatinya.

Betapa mu ngkin gustiku berbuat demikian terhadapku? Terhadap seoarang patih dan saudara sepupu sendiri?

Mem ang ia mem ahami alasan Sang Adipati: bila balatentara Tuban bergerak ke pedalaman, bukan hanya para bupati tetangga, terutam a D emak bisa menyerbu dengan leluasa. Mem ang sudah lama bandar Tuban yang indah itu jadi sum ber cemburu mereka. D an hanya karena kuatnya pasukan gajah dan kuda cemburu mereka samp ai sekarang tidak tercetuskan dalam penyerbuan. Mem ang bupati-bupati tetangga adalah penguasa loba tanpa kekuasaan persekutuan. Tetapi D emak adalah kekuatan yang lebih berbahaya, dia adalah kerajaan baru dengan darah baru, dengan cara baru dan dengan pandangan baru.

D an mem ang Sang Adipati punya hak mencemburui dirinya sebagai patih.

Barangkali gustiku punya pikiran, aku mempunyai persekutuan dengan mereka untuk merampas Tuban buat diriku sendiri. Mem ang, mem ang. Tetapi menyakiti hati Barangkali gustiku punya pikiran, aku mempunyai persekutuan dengan mereka untuk merampas Tuban buat diriku sendiri. Mem ang, mem ang. Tetapi menyakiti hati

Ia tak dapat m enerima. Sudah berapa kali saja ia mempersembahkan,

Syahbandar Tuban Sayid Habibullah Almasawa tak lain dari mataran tai kekuasaan Peranggi di lautan, maka harus disingkirkan. Selam a itu Sang Adipati hanya mendengarkan tanp a tanggapan. Sekarang ledakan itu telah terjadi, pertanda tak sesuatu dalih untuk m enyingkirkannya.

Ia tahu, bagi Sang Adipati yang terpenting adalah bandar-bandar adalah kebesaran. Ia tak begitu

mem entingkan kawula tani yang jadi sandaran negeri Tuban. Ia terlalu mem percayakan segala pada pasukan gajah sebagai kekuatan Tuban. Boleh jadi Sang Adipati menyangka, dengan satu dua hari gerakan pasukan gajah, para perusuh akan dapat ditumpas. G ustinya tak pernah mau mendengarkan, perusuh ini bukan sekedar kegiatan Rangga Iskak yang melepaskan dendamn ya pada Sang Adip ati, tapi sudah merupakan pemberontakan dari

perubahan sikap. D an bila mereka dibiarkan dengan kegiatannya, bukan hanya petani sebagai sandaran negeri Tuban sudah terjam ah, juga kekuatan Tuban pasukan gajah itu – akan kewalahan, kebesaran Tuban -bandar itu – akan jatuh tanpa daya, dan seluruh negeri Tuban akan lenyap

dari peredaran, berubah jadi ladang dan semak belukar. Ia menyesali Sang Adipati yang selalu berkukuh: hanya

dengan jasa-jasanya Syahbandar itu saja Peranggi dan Ispanya akan datan g sebagai sahabat – seperti dilakukan oleh G iri D ahan apura Blam bangan ? Terlalu banyak yang dipertaruhkan untuk keselam atan Sayid Habibullah. Bahkan persembahan tentang permintaan meriam Kiai Benggala pada Syahbandar dianggapnya ringan.

‘Apakah yang bisa diperbuat oleh perusuh itu dengan meriam?’ katanya. ‘Omong kosong saja. Satu kerajaan yang kuat di N usantara ini tak ada yang mem punyai, apa pula hanya perusuh dari pedalaman, jauh dari laut, jauh dari Peranggi dan Ispanya. Apakah Kakang Patih tak mampu berpikir sejauh itu? Memang kapal-kapal Islam pada kabur berlarian terhadapnya, negeri-negeri jatuh ke dalam tangannya Peranggi dan Ispanya mem ang tidak bisa ditahan – mereka sedan g naik pada jaman jayanya.’

D an ia tahu gustinya telah kena terkam ajaran Syahbandar: dekatilah yang jaya, maka orang pun akan ikut

jaya.

D an itulah pandangan gustinya sekarang, seakan orang di luar yang jaya, orang tak dapat mem bangun kan kejayaan sendiri.

ia mengu langi pandangann ya yang lama yang mem bikin Sang Adipati cemburu: Aku dapat am bil seluruh kekuasaan atas negeri Tuban. Aku dapat perintah kan seluruh balatentara Tuban. Kau bisa celaka Arya Teja, sebagaimana kau mencelakakan Majapahit. Tapi lihat, sampai sekarang pun tak ada terniat dalam hatiku untuk mem bikin kau menungging di bawah kakiku.

Pada puncak

kejengkelannya

Berkali-kali ia tergoda untuk mengerahkan seluruh pasukan gajah, kuda dan kaki dan pengawal untuk

melakukan gerakan pembasmian cepat gaya garu da menyam bar elang. Tapi selalu ia dicegah oleh pikiran, bahwa hukum an pastilah yang sedang digalangn ya bila perhitungan meleset. D an hukum an mati itu bisa dicegah hanya dengan melalui satu jalan: meneruskan gerakan garuda menyam bar elang juga terhadap gustinya sendiri, dan diri sendiri menggantikan. D an ia bersumpah untuk mengabdi pada gustinya samp ai mati.

Maka yang tertinggal dalam hatinya adalah sakit hati yang itu juga.

Sejak peristiwa di depan pintu keputrian ia kehilangan gairah. Yang berkuasa atas dirinya adalah kejengkelan dan ketidakpedulian.

0o-d w-o0

Pukulan pertam a itu belum lagi sembuh. Pukulan kedua datang menyusul, dan tidak terduga-duga.

D ari persembahan para penghubung didapat keterangan: Pasukan Mahmu d Barjah ternyata juga hilang tanpa bekas.

D ua ratus prajurit, dua peratus dan seorang perwira pengawal.

Pukulan kedua itu hanya mem bikin semakin parah kelum puhan batinnya. Ia terbenam dalam ketakacuhan. Ia merasa sudah terbebas dari tanggungjawab sebagai patih, sebagai saudara sepupu dan sebagai kawula. Ia tak punya sesuatu tanggungjawab lagi. Ia tak mau m emikirkannya.

Ham pir seminggu lamanya oran g-orang itu berkampung di tepi laut di sebelah timu r Tuban. D ari daratan mereka

terlindun g oleh hutan belantara. D ari laut oleh hutan bakau-bakau . Tipis sekali kemungkinan bisa diketahui oleh kapal-kapal perond a pantai.

Esteban dan Rodriguez hampir mati kebosanan dikerubut nyam uk dan tungau tanpa dap at sedikitpun

kesempatan mem bela diri. Tangan mereka tetap terikat ke belakang.

D an perondaan itu terjadi pada subuh hari waktu datang rombongan perahu-perahu dayung dari sebelah barat. Tak kurang dari delapan puluh oran g telah mendarat. Oran g- D an perondaan itu terjadi pada subuh hari waktu datang rombongan perahu-perahu dayung dari sebelah barat. Tak kurang dari delapan puluh oran g telah mendarat. Oran g-

W aktu biduk-biduk mereka nampak dari balik hutan - hutan bakau, Esteban mu lai menyumpah dan Ro driguez meraung seperti orang gila: “Tak sepatah kata pun mereka tinggalkan untuk kita, serigala-serigala itu. Anak-anak maut makanan hiu.”

Belum lagi Esteban sempat mem uaskan kejengkelannya, Yakub telah datang dan mem erintahkan dengan kasar, semua orang dan semua baran g haru s segera berangkat. Ia tak bilang berangkat ke m ana. Semua oran g terkecuali dua orang Portugis itu mu lai sibuk.

Esteban dan Rodriguez menduga, semua akan berangkat ke Blam bangan . Mereka tak dapat bayangkan di mana tempat itu. Orang pun tak bakal mem beritahu kan.

D engan petunjuk Esteban orang mu lai mem bongkari meriam dari roda-rodanya, kemudian semua dipikul. Juga peti-peti obat dan peluru besi.

Iring-iringan panjang lebih dari seratus dua puluh orang itu ter-bungkuk-bungkuk menerobosi hutan belantara, makin masuk ke pedalaman. Tiga oran g berjalan di depan dengan parang terhunus sebagai pem buka jalan.

Setelah tiga hari perjalanan mereka baru sampai di sebuah jalan setapak di dalam hutan. Dan mereka berjalan

terus m enghindari jalan negeri dan jalan desa. Tiga hari lagi berjalan, dan sampailah mereka di sebuah desa yang dikuasai oleh Sunan Rajeg.

Pendud uk desa itu bersorak-sorai menyam but mereka, menggabungkan diri dan mengganti memikul beram ai- ram ai sampai ke desa selanjutnya. D an mereka mengherani Pendud uk desa itu bersorak-sorai menyam but mereka, menggabungkan diri dan mengganti memikul beram ai- ram ai sampai ke desa selanjutnya. D an mereka mengherani

D i desa-desa lain sama saja yang terjadi. Iring-iringan penggabung semakin lama semakin besar, tua-muda, laki perempuan. N amp aknya tak ada seorang pun ingin melewatkan keanehan sekali ini.

Pada hari pengangkutan terakhir mereka sampai di depan rumah joglo Sunan Rajeg.

Rangga Iskak dan Khaid ar, istrinya dari Malabar itu, berdiri di bendul pendopo menyambut mereka. Ia

mengenakan pakaian kebesaran jubah putih tenunan Atas Angin yang selam a ini tak pernah dikenakannya, sorban putih bersulam benang kuning. Khaidar mengenakan sari dari sutra biru. W ajah mereka berseri-seri, senyum lebar tersungging pada bibir dan mata berkilau-kilau.

Orang-orang pun pada duduk bersila di tanah. Di samp ing-menyam -ping mereka regu-regu bertombak duduk

dengan senjatanya menuding ke langit. Pendatan g- pendatang itu mengangkat sembah. Juga Yakub, yang dud uk di kepala barisan pengangkut. D an dengan pandang mencuri-curi mereka menyuruh Esteban dan Ro driguez dud uk di tanah pula dan menyembah.

Tapi dua orang Portugis itu tetap berdiri dengan tangan terikat ke belakang.

D an Rangga Iskak Sunan Rajeg, yang m elihat dua orang kulit putih itu tetap berdiri, sama sekali tak nampak tersinggu ng. Ia m alah m engangguk-an gguk pada m ereka. Ia turun dari pendopo untuk dap at menjamah laras meriam. Khaid ar mengikuti dan juga menjam ah, malah mengintip pada mu lut meriam, kemudian mem bersihkan tangan D an Rangga Iskak Sunan Rajeg, yang m elihat dua orang kulit putih itu tetap berdiri, sama sekali tak nampak tersinggu ng. Ia m alah m engangguk-an gguk pada m ereka. Ia turun dari pendopo untuk dap at menjamah laras meriam. Khaid ar mengikuti dan juga menjam ah, malah mengintip pada mu lut meriam, kemudian mem bersihkan tangan

“Keselamatan untuk Tuan Sunan Rajeg,” seru Yakub mengacarai serah terima m eriam dan penembaknya.

“Keselamatan untuk kalian semua.” “Sahaja datang mengantarkan kiriman: dua pucuk

meriam, obat dan pelurunya, dan dua orang Peranggi penembaknya,” katanya dalam Melayu. “Hei, kalian, Esteban dan Rodriguez, hormatilah Tuan Sunan Rajeg.”

“Meriam dan perlengkapannya. Alhamdulillah,” sambut Sunan R ajeg sambil mengangguk-an gguk puas.

“Alham dulillah!” dengung semua pengikutnya, suaranya berkumandang ke seluruh Rajeg.

D ua orang bertombak telah menyorong-n yorong ke hadapan Kiai Benggala. D an m ereka maju dan tetap berdiri di hadapan bekas Syahbandar Tuban, enggan mem beri hormat. Mata mereka menyala dengan kejijikan dari kemuakan.

“Kasih hormat, kasih tabik, kafir-kafir keparat!” teriak Yakub di tempatnya dalatri Melayu.

Melihat dua orang itu tak mendengarkan perintah nya ia berdiri sambil menyembah Sunan Rajeg, mendekati dua orang itu dan mem bagikan spdokan tinju pada pinggang mereka.

“Hormat! Horm ati kanjeng Sunan Rajeg,” oran g-orang berseru-seru m emperingatkan dalam Jawa.

“Tiada kalian dengar itu?” Sunan Rajeg memp erkuat perintah m ereka dalam Melayu.

Tak sabar melihat tingkat Esteban dan Ro driguez beberapa orang lagi bangun dari duduknya sambil Tak sabar melihat tingkat Esteban dan Ro driguez beberapa orang lagi bangun dari duduknya sambil

“Betapa angkuh nya kafir-kafir Peranggi ini,” kata Sunan Rajeg. “Angkuh dan sungguh berani mati. Hei, kafir! Bertahun -tahun kalian telah tembaki kapal-kapal dan bandar-bandar Islam. Atau kalian kira di sini pun kalian jaya tanp a perlindu nganku? Hei, hati-hati, jangan kalian samp ai tak dengar kata-kataku. Setiap patah dari Sunan Rajeg adalah hukum. Mu lai hari ini, Insya Allah, hidup atau mati kalian berada dalam tanganku.”

Mendengar itu Ro driguez dan Esteban berdiri mem protes. “Tak pernah kami kenal siapa Tuan,” kata Esteban, “kami berdua maka tak mu ngkin bersalah pada Tuan, ” dalam Melayu yang cukup jelas. “Mengapa kami diperlakukan begini?”

“D ari apa Tuan kehendaki dan kami, orang-oran g yang Tuan tak pernah kenal ini?” tam bah Ro driguez.

“Kesalahan kalian?” Sunan Rajeg kini menarik airmu ka bersungguh-sungguh. ”Bukan hanya padaku,” ia menuding

dirinya sendiri, kemu - dian tangan itu berkembang m enunjuk pada semu a orang

di hadap annya, “pada seluruh umm at Islam. D ungu! Tak mengerti kalian apa kataku?” ia mem bentak. “Mengapa

diam saja?” Suaranya kini mendekati gerutu: “N yawa semut pun lebih berharga daripada kalian! Hei, semua pengikutku, jagalah jangan sam pai dua kafir laknat ini lepas tanp a seijinku.”

Satu suara bersama bergalau mem bubung dari para hadirin di depannya.

“Masih hendak ingin tanyakan apa kesalahan kalian? Siapa tidak tahu dosa-dosa kafir Peranggi? Peromp ak, bajak, pembunuh, peram pas harta, nyawa dan negeri!”

Orang memaksa mereka berdua untuk kembali duduk dan menekurkan kepala mereka ke tanah.

Sunan Rajeg kembali mendapatkan keramahannya. Ia menganggu k-angguk membenarkan.

“Kiriman paling mem berkahi,” tiba-tiba ia tertawa pelahan dan menengok pada Khaidar, dan wanita itu menganggu k-angguk menyetujui.

“Alham dulillah!” orang-orang mengu langi dengan suara menggelora.

“Allah telah kirimkan meriam, perlengkapan dan penembaknya kepadaku untuk kupergunakan sebagaimana kehendaknya,” katanya dalam Jawa. Kemu dian dalam Melayu. “Hei, kafir-kafir tak tahu diuntung. D ulu, bertahun-tahun kalian tujukan meriam kalian pada kami, um mat Islam. D emi Allah, demi kekuasaan yang ada pada tanganku, mu lai saat ini kalian harus tujukan meriam- meriam itu pada kafir, kafir Jawa, kafir Peranggi, kafir apa saja. Jawab kalau kalian bersedia.”

“Tidak m ungkin menem bak dengan dua tangan terikat,” bantah Rodriguez bengkeng.

“Hanya pembangkang bisa bicara seperti itu. Hei, om pong, pernahkah aku katakan pada kalian harus

menem bak dengan tangan terbelenggu ?” “Lepaskan ikatan ini, biar kami bisa menjawab sebagai

manusia yang punya juga kehorm atan sebagai manusia.” seru Esteban lantang.

Sunan Rajeg tertawa senang samp ai bahunya terguncang.

“Bukan di dun ia ini oran g bisa percaya ada kafir Peranggi punya kehormatan, tapi hanya karena kalian bersedia mengakui kekuasaan ku, mengakui kemurahanku, dan bersedia m enjalankan perintahku. D emi Allah!”

“D emi Allah!” para pengikat m endengung mengulangi. “Aku dapat m elihat pada mata kalian, hai kafir Peranggi,

kalian tidak rela takluk, tidak rela menerima dan mengakui kekuasaan yang diberitakan oleh Allah padaku. ”

“Kami bukan kafir!” bantah Ro driguez, mukanya m erah- padam karena m arah.

“Bukan kafir?” pekik Sunan Rajeg. “Baik, kurung mereka selam a seminggu dengan tangan tetap terikat dan makan sekali sehari, pisang setengah matang. Belum lagi selesai kuningan nya mereka akan sudah ter-kaing-kaing minta ampun. Kurung!”

D an dikurunglah m ereka.

0o-d w-o0

Penembak-penembak meriam yang berbadan kukuh itu kini sudah kurus kering kelelahan , kejengkelan dan kelaparan.

Belum lagi selesai yang seminggu , mereka telah mem ohon agar diperkenankan mengh adap Sunan Rajeg.

Jadi dibawalah mereka m enghadap ke depan pendopo. Mereka telah melihat meriam-meriam itu masih berdiri

di tempat semula, juga peluru, juga kelengkapan, juga peti- peti obat. Hanya tak ada penonton, tak ada oran g-orang bertom bak, tak ada para pengikut.

“Sudah patah kah kebanggaan diri kalian?” Sunan Rajeg mendahului dari bendul pendopo.

“Kami bersedia melayani meriam itu, Tuan,” kata Esteban.

“Mengapa baru sekaran g m enjawab?” “Kami berdua harus memikirkan terlebih dah ulu. Tuan

boleh gusar sebelum nya, jangan kemudian. Maka kami pikirkan masak-m asak untuk dapat m emutuskan.”

“Tak ada alasan padaku untuk percaya. Biar pun begitu teruskan persembahanmu.”

“Mem ang kami tak ada niat meminta kepercayaan dari Tuan. Tapi lihatlah, Tuan, kami diharapkan melayani

meriam-meriam itu. Baiklah, kami terima. Tapi tahukah, Tuan, kalau baran g-barang itu sudah rusak dan disingkirkan, tak digunakan lagi selama ini?”

mem ekik. Kemudian menggerutu. “Bedebah itu hendak menipu aku. Si bedebah!”

“Ru sak?” Sunan

Rajeg

“Kalau terjadi kemacetan…,” Ro driguez menam bahi. Kiai Benggala alias Sunan Rajeg menebarkan pandang

pada meriam -meriam yang berdiri telanjang bulat di tempat semula. Ia nampak ragu-ragu. Mendadak airmu kanya berseri kembali.

“Tidak apa,” katanya, “meriam adalah meriam. Yang penting adalah kalian, orang-orang yang melayani. Barang-

baran g itu, huh, semua bikinan manusia, bisa dibetulkan atau dihancurkan oleh manusia pula. Pandai-pandai besi Tuban yang ikut dengan ku bisa m emperbaiki segala barang apa dari logam.”

“D an obat yang dibiarkan saja di udara terbuka, dan sudah sekian lama, boleh jadi kurang kuat lagi ledakannya.”

“Bagaimana dengan belenggu kami?” Ro driguez mendesak.

“Kalian kafir, selalu menuntut tanpa pikir. Kalian kuterima dalam keadaan terbelenggu. Padaku kalian menuntut bebas.”

Tiba-tiba dari beberapa penjuru terdengar orang berseru- seru ram ai. Kemu dian disusul dengan suara orang berlarian.

Sunan Rajeg mem anggil seorang pengantar tangkapan itu dan menyuruh pergi mencari keteran gan. Sebelum

suruhan itu datang mu ncul beberapa orang bertom bak, berlutut di bawah kaki Rangga Iskak dan minta ampun. Kemu dian: “Ampun Kanjeng Sunan, Yakub meloloskan diri. Semua sekarang dikerahkan untuk menangkapnya.”

“Pergi! Bawa kemari ular kepala dua itu, hidup atau mati!” D an tertuju pada dua orang Portugis itu, “Juga kalian akan mengalami nasib yang sama bila berani-berani meloloskan diri dari kekuasaan ku. Beruntung dia bila kembali sebagai bangkai. Kembali hidup di hadapanku – kalian akan lihat bagaimana ular kepala dua akan kehilangan sisiknya selembar demi selembar sebelum kehilangan kepalanya yang dua.”

Esteban dan Rodriguez terdiam menunggu Sunan Rajeg terlepas dari kemarahan nya terhadap Yakub.

“Ya, bagaimana persembahan kalian?” “Kami menyanggupi, Tuan, untuk menjalankan perintah

Tuan. ” jawab Rodriguez cepat-cepat, melihat Sunan Rajeg sudah mulai agak ramah.

“Jadi kalian sudah bersedia melayani meriam ?” “Ya, tuan.” Esteban m emperkuat. “Baik. Itu baik sekali. Setuju menem baki mu suh-

mu suhku, semua kafir, termasuk kafir Peranggi.” Esteban terdiam dan Ro driguez menyam bar: “Kami

sanggu p, Tuan.” “Mengapa kau diam saja?” tanya pada E steban. “Semua yang dia ucapkan, kami menyetujui, kami

berdua,” jawabnya. “Baik. Apa lagi?” “Kami berdua bersedia juga melatih tentara Tuan

berperang cara Eropa, secara P eranggi.” Sunan R ejeg alias Kiai Benggala alias R angga Iskak alias

Iskak Indrajit menganggu k lambat, bertanya sambil mem perlihatkan senyum: “Mengapa tidak kemarin-kemarin kalian persembahkan? Aku senang mendengar itu. Tapi kalian tahu diri, orang tak boleh percaya begitu saja pada kafir, apalagi kafir Peranggi seperti kalian – sudah bergelimang dengan banyak dosa.”

“Kami mem ang Peranggi, tapi bukan kafir.” Ro driguez mem bantah. “Kami Kristen.”

Sekali lagi Sunan Rajeg tertawa m enang, dan tertawanya terdengar tajam menyiksa kedua orang Peranggi tangkapan itu.

“Mem ang tidak suka dinamai kafir? Bukankah kalian menam ai kami juga kafir?”

Esteban dan Ro driguez seakan sudah setuju dalam batin untuk tidak menjawab.

“Mengapa diam ? Bukankah kami kafir untuk kalian dan kalian kafir untuk kami?”

D an dua oran g itu mem bisu. Mereka tahu pertanyaan itu mengandu ng ancam an m aut.

“Baik. apa lagi yang kalian sedia lakukan?” Sunan Rajeg mendesak terus.

Setelah agak lama berdiam diri Esteban berkata ragu: “Semua yang T uan inginkan.”

“Itulah jawaban yang kutunggu. Itu mendengarkan kekuasaan yang dibenarkan oleh Allah. Karena tiada sesuatu bakal menjadi tanpa kerelaann ya’ ia turun dari bendul pendopo dan berdiri di atas tanah. “Sebaiknya, dengan mendengarkan kekuasaan yang dibenarkan ini, kalian pun berhak mendapatkan apa yang kalian butuhkan. Tapi ingat, aku tak mem punyai kafir.”

Sekali ini Ro driguez dan Esteban lama terdiam, merenung, berpikir, berunding antara mereka dengan batinnya, dan mengertilah mereka apa yang dikehendaki oleh Sunan Rajeg.

“Apakah Tuan mengh endaki kami masuk Islam?” Esteban bertanya ragu-ragu.

Sunan Rajeg tak menjawab. Hanya sinar matanya berkilau-kilau semakin ram ah. Ia pandangi tenang-tenang dua orang tangkapan itu, tersenyum m anis, dan keluar kata- kata dari mulutnya yang tak kurang manisnya: “Mana bisa aku mengh endaki kalian bertaubat masuk Islam? Kalian sendiri yang m enentukan, bukan aku dan bukan siapa pun. Jangan terburu-buru, pikirkan masak-masak, karena kalian sendiri yang bakal menjalani kewajibannya, bukan orang lain. ”

“Kami bersedia,” Rodriguez m enyambar.

“Orang tidak mengatakan bersedia masuk Islam,” Sunan Rajeg memotong, “orang bertaubat dengan suka sendiri, kerelaan sendiri dan suka sendiri.”

“Kami akan bertaubat, Kanjeng Sunan,” Ro driguez mem betulkan kata-katanya, dan ia m engangkat sembah.

Sunan Rajeg meninjau ke kejauhan, bertepuk-tepuk mem anggil. D alam waktu pendek depan pendopo telah penuh dengan orang. Semua mereka duduk di atas tanah dalam terik matari menunggu kata-katanya: “D engarkan kalian, bahwa pada hari ini,” ia mem ulai dalam Jawa. “Orang Peranggi yang omp ong ini…” tiba-tiba dalam Melayu, “siapa nam amu, ompong?”

“Ro driguez, Kanjeng Sunan.” “… Bahwa pada hari ini Ro is akan bertaubat masuk

Islam. Syukur Alhamdulillah.” “Syukur Alham dulillah,” orang-oran g mengu langi

dengan suara menggelora. “D an kau, siapa pula nam amu ?” “Esteban, Kanjeng Sunan.” “Ya, Manan. D an kau, Manan, bagaimana denganm u?” “Sam a saja. Kanjeng Sunan.” Sunan R ajeg lupa sudah, bahwa Yakub benar-benar telah

lolos dan tak dapat ditemukan lagi…. Rasanya belum lagi selesai penduduk Rajeg menyam but

peng-Islam an Esteban dan Rodriguez, dan siang itu juga terdengar sorak-sorai riuh dari kejauhan. Sorak-sorai itu semakin lama semakin dekat, kemudian nampak serom bongan

oran g desa mengantarkan seorang penunggang kuda yang masih mu da, gagah, tampan, berkulit kehitaman, tapi tidak lebih hitam daripada Sunan

Rajeg. Orang itu berpakaian perwira balatentara Tuban, perwira pengawal.

Sunan Rajeg dan Khaidar menjemput di bendul pendopo. W ajah mereka berseri penuh sukacita dan syukur.

“Assalamu alaikum !” perwira itu memulai sambil turun dari kudanya. Ia berjalan mengh ampiri Sunan Rajeg. “Pam an!” dan diulurkan tangannya setelah mem buat sembah dada.

Sunan Rajeg menerima tangan itu, dan itulah untuk pertam a kali penduduk m elihat orang bersalaman.

“Bibi!” tegurnya pada Khaidar, dan mem berikan sembah dad a pula.

Khaid ar mem balas dengan sembah dada pula. “N aik, naik, N ak, mari, sudah lama kutunggu-tunggu ,”

kata Sunan Rajeg dan berjalan ia ke dalam diiringkan oleh istri dan tamu nya.

Khaid ar tak ikut menem ui tamu . Ia berjalan langsung masuk ke dalam rumah dan hilang di balik pintu.

Tuan rumah dan tamunya duduk di atas permadani tua di tengah-tengah pendopo. D engan tangan nya Sunan Rajeg

mengh alau orang-orang yang masih menggerom bol di depan pendopo. Mereka bubar setelah m enyembah.

“Akhirnya kau bisa lolos juga,” kembali Sunan Rajeg mem buka persoalan. Matanya bersinar-sinar mengagumi

tam unya. “Betapa lama sudah kami menunggu di sini,” ia mem ulai dengan m enggunakan M elayu.

“Ya, Paman, sungguh-sungguh kemurahan Allah telah mengaruniai sahaya dengan kesemp atan seindah ini.”

“Ceritakan, ceritakan,” desak tuan rum ah berkobar- kobar.

Perwira itu tertawa terbahak-bahak dengan menutup mu lutnya.

Bahunya terguncang begitu tinggi. D adan ya yang telanjang dihiasi dengan bulu lebat dan hitam itu mem bungkuk dan lengannya yang berhiaskan gelang baja itu tertarik jadi siku-siku.

“Tak baik tertawa berlebih-lebihan, N ak,” Sunan Rajeg mem peringatkan.

D an peringatan itu membuat perwira itu reda dari tawanya.

“Ceritanya begini, Paman, Sang Patih telah perintah kan sahaya untuk menindas Pam an,” ia tak dapat menah an

tawanya lagi. D an gaya tawanya menggoda Sunan Rajeg untuk ikut tawa.

“Teruskan, teruskan.” “Karena bernafsu untuk menindas Pam an dengan

terburu-buru dia kirim kan pasukan yang lebih besar daripada yang diperkenankan oleh G usti Adipati. D ua ratus prajurit!”

“D ua ratus!” seru Sunan Rajeg. “T eruskan, N ak.” “Sahaya persembahkan yang dua ratus ini pada Paman,

di samping diri sahaya sendiri.” Sunan Rajeg merangkulnya: “N ak, Nak, kemenakan

yang setia. Tidak percuma ibum u melahirkan kau.

D ilimpahilah kiran ya kau ini dengan karunia.” “D ua ratus prajurit yang sahaya pilih sendiri, Pam an.” “Kau pilih sendiri!” “Semua prajurit Tuban asli, gagah berani. Anak-anak

laut pelawan ombak penakluk pulau!”

“Tuhan mem berkahi, N ak. Di mana mereka sekarang?” “Masih di perbatasan, Paman. Menunggu ijin masuk

dari Kanjeng Sunan R ajeg.” “Betapa tahu adat, kau ini, N ak.” “Sahaya adalah seorang perwira, Pam an.” “Betul juga, tak percuma kau jadi perwira. Bawa mereka

masuk, Mahm ud. Tiada kafir di antara mereka, bukan?” “Pilihan terperinci, Paman. N ah, biar sahaya pergi

menjemput mereka. D ua ratus, Pam an. Tidak sedikit. Sediakan tempat dan m akannya?”

“Mu dah, Mahmu d. Ah-ah, panglim aku datang, panglimaku! Jemput mereka segera biar kulihat wajah

mereka seorang demi seorang,” ia bangkit untuk mem beri isyarat pada Mahm ud Barjah agar segera pergi.

Mahm ud Barjah pergi, melompat ke atas kudanya dan perpacu hilang di balik debu mengepul.

Kentongan dan beduk ditabuh bertalu-talu mem anggil orang untuk mendengarkan perintah Sunan Rajeg. D an orang pun meninggalkan sawah dan ladan g, rum ah dan pekarangan, mem enuhi pelataran depan pendopo Sunan Rajeg. D an orang bersorak-sorak m endengar dari mu lutnya: dua ratus prajurit Tuban pilihan telah bergabung dengan mereka.

“Mereka akan hidup bersama dan dengan kalian, beban sama dipikul, suka sama-sama dikenyam, duka sama-sama

dideritakan. Sam butlah m ereka dengan pesta dan syukur!” Menjelang subuh pasukan Mahmu d Baijah baru tiba.

Mereka sempat menikmati hidan gan dan bersuka. Kelelahan yang am at sangat mem aksa mereka mencari Mereka sempat menikmati hidan gan dan bersuka. Kelelahan yang am at sangat mem aksa mereka mencari

Pesta terpaksa ditunda samp ai mereka bangun. Mahm ud Barjah sendiri mendapat tempat di dalam

rumah Sunan Rajeg.

Lain lagi yang terjadi di gedung utam a kesyahbandaran .

D alam beberapa hari belakangan ini Syahbandar Tuban sangat gembira. Segala apa yang diusahakann ya nampak berhasil. D an menurut ilmu angka, hasil yang lebih besar nam paknya sedang menunggu di hadapannya. Tinggal beberapa langkah lagi, dan seluruh T uban akan menari-nari menurut tarikan tangannya. Balatentara Tuban akan tersobek-sobek d ari dalam . Kekacauan dan kebalauan akan mem bikin orang lebih sibuk dengan ususnya sendiri.

Pasukan gajah yang ditakuti itu akan buyar tanpa daya. Apalah artinya pasukan gajah tanpa lindungan pasukan kaki? D an apalah artinya pasukan kaki tanpa petani mem bayar jatah upeti? Pasukan kuda? Apalah artinya pasukan kuda tanpa ada petani mem persembahkan upeti rumput? Pasukan laut? Apalah artinya pasukan laut bila daratnya kocar-kacir?

Ya, balatentara Tuban akan tersobek-sobek dari dalam.

D an bila kekuatan dan kewibawaan Tuban ringsek, para pembesar akan berebutan merayah kekayaan negeri

sebelum negeri itu sendiri, negeri yang diurusnya, am bruk berkeping-keping.

Tuban harus jadi bangkai yang mem busuk dari dalam.

D ia harus mati dengan kekuatan sendiri. Maka bandar Tuban, bandarn ya, akan menjadi pangkalan Peranggi. D an dari sini Peranggi akan dapat mengawasi perairan bumi selatan . Jasa-jasan ya akan dibayar berganda di Malaka atau

Lisboa. Atau dikirim kan kepadanya di rumahnya di Andalusia, Ispanya.

Tinggal beberapa langkah lagi. Mu ngkin tinggal tiga tahu n lagi. Itu pun paling lama. D an satu kehidup an senang, tenang dan aman akan dinikmati untuk sisa hidup selanjutnya.

Betapa senang melihat segala apa yang dipegang jadi.

D iri akan tinggal duduk-duduk m embacai cerita-cerita Arab semasa kekuasaan Mu awiah di semenanjung Iberia, mengagumi orang-oran g besar dalam berbagai bidang keilmuan: perbintangan, pengobatan, kedokteran, kimia, filsafat, tauhid, matematika. D an ia akan mengu langi tafsir atas Platon dari Al Kindi, Al Farabi, Ibn Sina…

Jatuh nya Tuban nampaknya jauh lebih mu dah daripada Malaka, tanpa pukulan perang berarti dari luar. Tak bisa lain, Malaka bandar yang sedang kembang-kembangnya, Tuban sedang dalam keadaan runtuh.

Pagi itu cangkir tembikar sudah berisi dengan air kahwa mengepul. Antara sebentar ia mencicip, dan setiap cicipan

dihembuskannya nafas berat, ditujukan di gandok sana. Uh, manusia-m anusia tanpa harga itu. Congkaknya seperti merak, kau Idayu! Apalah artinya kau! Ia tindas kegagalannya. Lim a puluh orang sebagus kau, lebih bagus daripada kau, bisa kudapatkan sekaligu s di Ispanya sana.

Huh! D an kalau Tuban runtuh seperti pedati masuk juran g, kaulah yang paling dulu akan merayap pada kakiku minta penghidupan. Maka kembali pikirannya ia susun untuk dap at menggerayangkan tangan buat ke sekian kalinya ke dalam keputrian. Ia sudah dengar Sang Adipati mendap at selir kesayangan baru, seorang gadis Tionghoa persembahan pendud uk Lao Sam, N yi Ayu Campa nam a- haremnya.

D ari percakapan dengan Pam an Marta ia mengetah ui, orang Tua-tua Tuban sudah mu lai membicarakan tand a- tand a kejatuh an Tuban, sama dengan tanda-tanda kejatuh an Majapahit, yakni apabila seorang raja mu lai menyelir gadis Tionghoa.

Bukankah Bre W ijaya Purnawisesa jatuh setelah menyelir Ratna Subanci anak saudagar G resik, Tan G o Hwat, yang lebih terkenal dengan sebutan Babah Ba tong itu?

Melihat N yi G ede Kati sedang datang mem bawa nam pan berisi penganan segera ia menegur: “Ai, N yi G ede’

W an ita itu meletakkan nampan di atas meja dan bersiap- siap hendak pergi lagi. Suaminya mencegahnya, maka ia

tinggal berdiri di hadapannya.

“Ada kau dengar tentang N yi Ayu Campa, N yi G ede?” “Tidak, Tuan, tiada pernah sahaya dengar nam a itu.” “Orang-orang sudah mem bicarakannya, N yi G ede.

Orang bilang dia adalah titisan Ratna Subanci. Siapa dia, Kati?”

“Ratna Subanci semua orang tahu, Tuan, N yi Ayu Campa sahaya tidak tahu.”

“Ah, kau, Kati, Kati, apakah kau sudah mu lai menyembunyikan sesuatu daripadaku?”

“Tidak, Tuan, demi Allah.” “Baik, demi Allah. Sekarang sudah seminggu berlalu,

Kati. Bagaimana jawabanm u sekarang?” “Bukankah sahaya telah m enjawab, Tuan Sayid?” “Belum, belum kau jawab sebagaimana aku kehendaki.”

“Sahaya telah menjawab, Tuan, sahaya tiada lagi akan mengh ubungi keputrian. Sekali salah sahaya ini bersalah. Tidak untuk kedua kalinya.”

“Itu salah benar, Kati, N yi G ede. Hubungan lama jangan dilupakan. Hubungan harus dipelihara. Apa beratnya tidak melupakan hubungan lama? Tidak ada beratnya. Hanya berusaha datang dan bicara-bicara. Kalau tak bisa banyak, sedikit pun jadi. Bukankah begitu?”

“Betul, Tuan Sayid, sahaya tidak bersedia.” “Kau lupa, Kati, apa yang kukatakan ini bukan

perm intaan, tapi perintah.” “Betul, Tuan, perintah. ”

“Kau kuperistri atas perintah Sang Adipati. Seoran g istri tidak patut menolak perintah suami. Orang harus melakukannya. Bukan, Kati?”

“Benar, Tuan, tapi mengh ubungi keputrian sahaya tidak sedia.”

“Kau mem bangkang, Kati,” kata Syahbandar itu tak bersenanghati dan nadanya tinggi memaksa.

“Sahaya telah berjanji untuk tidak bersalah untuk kedua kalinya pada G usti Adipati. Sahaya akan tetap di Tuban, Tuan, sampai mati. Tuan setiap waktu dapat m eninggalkan tempat ini entah ke mana-mana.”

“Akan kubawa ke m ana pun aku pergi kau, Kati. Jangan kuatir,” Tholib Sungkar menghibur istrinya dan dirinya

sendiri. “Tidak, Tuan, ini adalah negeri sahaya.” “Tapi kau istriku!” Syahbandar m enekan. “Sahaya istri Tuan Sayid.”

“Lakukan perintah suamimu,” perintahnya keras. “Hubungi keputrian, kataku,” matanya melotot.

“Sahaya telah dan akan lakukan perintah Tuan, suami sahaya, kecuali khianat untuk kedua kalinya.”

“Apakah aku bilang kau harus berkhianat? Kau hanya berusaha ke keputrian dan bertemu dengan kenalan-kenalan lama, ” Tholib Sungkar menurunkan kembali nada suaranya.

“Itulah sudah semua jawaban sahaya. Di samping itu besok sahaya akan pergi ke desa Awis Kram bil, mengantarkan Idayu untuk m elahirkan.”

“Binatang,” desis Syahbandar Tuban dan berdiri dari tempat duduknya. Ia berdiri di hadap an istrinya.

“Mo ga-moga Tuan, anaknya yang kedua ini,” katanya tenang, “tidak lagi seperti Tuan.”

“Kurangajar kau!” makinya dan dicengkamnya ram but N yi G ede Kati dengan tangan kiri, digulungnya sampai ham pir lepas kulit kepala dari tengkorak. D engan telunjuk kanan ia menuding-n uding wanita yang meringis kesakitan itu seperti hendak m enotok biji matanya.

“Lepaskan sahaya, Tuan,” poho n N yi G ede. Tamparan bertubi datang pada pipi wanita itu dan

cengkaman pada ram but tak juga dilepaskannya. “Ampun, Tuan, lepaskan sahaya.”

Syahbandar itu mengh entakkan cengkaman nya ke belakang. W an ita itu jatuh terbalik ke lantai. Suaminya nam pak sudah kalap dalam menundukkan istrinya. Sekarang ditariknya tongkat dari atas meja, diayunkan ke atas untuk dilandaskan pada tubuh N yi G ede.

Melihat ayunan ton gkat yang mengancam, bekas pengurus harem itu mengisarkan badan sambil mengait sebelah kaki Tholib Sungkar. Kemu dian ia berguling berputar.

Syahbandar yang jangkung itu kehilangan keseim bangan dan

terjerembab ke lantai. Tongkatnya berdetak terpelanting. Tarbusnya berguling-gu ling dengan segala kehorm atan, kemudian berhenti mendarat pada kaki meja.

D an belum ia mendapatkan keseim bangann ya dan kesedaran apa yang sesungguhnya terjadi atas dirinya, istrinya telah melom pat dan

mem bikinnya jadi tertelungkup. Ke dua belah tangannya terpulir ke balakang

dan wanita itu telah duduk di atas tengkuknya. “Akan sahaya patah kan tangan lancang ini, Tuan.”

D an Tholib Sungkar Az-Zubaid mengerang kesakitan. Tak ada kesempatan lagi baginya untuk mem perhatikan tarbusnya yang terhorm at. Tak diingatnya lagi sang ton gkat yang angker, yang telah sempat menohok iganya sendiri sebelum terpental.

“Jangan, N yi G ede, jangan.” “D an kalau tangan ini sudah patah, Tuan, kepala Tuan

yang m ulia ini akan sahaya remukkan dengan tongkat Tuan sendiri.”

Kaki Tholib Sungkar meronta-ronta, tapi tak berdaya menyelamatkan seluruh tubuhnya. Kepalanya meneleng ke

samp ing, pipih pada lantai dan mu lutnya terbuka mengu curkan liur. D i bawah tindihan tubuh mo ntok N yi

G ede kepala yang pipih itu namp ak jadi lebih tipis, seperti terbuat dari ketan hitam.

“Lepaskan aku,” rintihnya. “Mintalah ampun, Tuan.”

D an lelaki itu pantang meminta ampun. N yi G ede Kati menam bahi pulirannya pada tangan suaminya. D an lelaki itu m engaduh, m engerang dan merintih.

“Ya-ya, amp un, N yi G ede.” W an ita itu melepaskan puliran nya, dan tangan lelaki itu

jatuh terkulai di samping. Ia tinggalkan juga tengkuk suam inya, berdiri, kemudian dengan tangan sendiri menolong mengangkat kepala Syahbandar Tuban, menyosor-nyosorkan pada lantai, seperti biasa dilakukan orang terhadap anak-anak anjing yang nakal.

“Ampun, ampun, amp un, N yi G ede!” rintih Syahbandar dengan kata-kata yang tak terdengar jelas.

“N ah, Tuan, inilah amp un’ ia berdiri lagi dan menolong suam inya berdiri.

Bibir lelaki itu berdarah-darah. D an wanita itu menyekanya dengan ujung kemban yang dicopotnya dari lipatan. Tholib Sungkar mengebas-ngebaskan debu dari pakaiannya, meraba-raba pipi dan mu ka, ram but, dan: “Mana tarbusku? Tarbus mulia buat kepala mulia?”

N yi G ede Kati mengait topi itu dengan kaki, mengambilnya dengan tangan kiri dan menenggelamkan kepala suam inya di dalamn ya.

“Apa saja kau lakukan ini, Kati?” tanya lelaki jangkung itu sam bil memperbaiki letak tarbusnya.

“Hanya satu pelajaran, Tuan, bahwa perbuatan Tuan sunggu h tidak patut.”

“Tak ada istri berbuat begitu pada suaminya,” protesnya. “Mem ang tak ada, Tuan. D i sini pun, di negeri ini, juga

tidak ada. Sungguh luarbiasa, kecuali, Tuan, kecuali kalau suam i itu sudah begitu kurangajarnya….”

“Aku…. ?” “Siapa lagi, Tuan,” N yi G ede berjalan beberapa langkah

dan mengam bil tongkat yang terpental. “Maukah Tuan mendengarkan sahaya?” m elihat lelaki itu mengangguk lesu ia meneruskan: “Di sini, Tuan, petani yang sebodoh- bodo hnya tidaklah akan menganiaya bininya kecuali kalau dia mem ang sudah gila. Jangan bicara dulu. D i sini, Tuan, seorang istri bukan hanya dianggap istri, juga sebagai ibunya sendiri, dihormati dan didudukkan di tempat yang dimu liakan. Hanya orang gila menganiayan ya. Sebaliknya seorang istri Tuan, menganggap suaminya bukan hanya

sebagai suam i saja, juga sebagai gurunya dan sebagai dewanya sekaligu s. Tuan orang asing di sini. Sahaya samp aikan ini agar Tuan mengerti, karena semua itu mu ngkin tak ada dalam ajaran Tuan.”

Tholib Sungkar dudu k lagi di kursinya untuk melupakan ceramah yang bodoh itu.

“Kau wajib m inta ampun pada suamimu.” “Tentu, Tuan,” jawab wanita itu dan mengem balikan

ton gkat pada pemiliknya. “Sahaya minta ampun. Sekiranya terulang kembali penganiayaan terhadap sahaya, janganlah tuan ragu-ragu untuk tertelungkup lagi.”

“Perempuan haibat! Tak pernah aku temui,” ia menggeleng-geleng pusing.

N yi G ede Kati pergi ke belakang tanpa bicara lagi dan tanp a mengh ormatinya.

Syahbandar mem benahi kitab-kitabnya, beberapa kali menyapu mu ka dan bibir yang masih juga mengeluarkan rasa asin, menarik-narik hidun gnya yang pipih dan bengkung merajawali, kemudian mengenan gkan dengan tenang-tenang peristiwa tak menyenangkan yang baru lalu.

Ia masih juga heran betapa mudah ia bisa ditum bangkan seorang wanita yang selalu penurut itu. D an berjanji ia dalam hati untuk selalu berhati-hati terhadapnya.

Sekali ini tidak berhasil, malah aku yang celaka, pikirnya, besok atau lusa toh akan berhasil. Seribu betina seperti dia, tantan gnya, dan seribu kali seribu jantan seperti dia, tak bakal bisa gagalkan usahaku. Semua akan lengkung dan lelah di dalam tanganku. Pribumi bodoh ini takkan sanggu p mem bendung kekuatan Portugis, kekuatan yang sedang jaya.

Tiba-tiba ia merasa sangat malu tersipu teringat pada kekalahann ya terhadap Idayu.

Di mana harus kusangkutkan mu kaku kalau dia m enyaksikan peristiwa itu tadi? Tidakkah N yi G ede akan menyampaikan gempa bumi ini padan ya? Kurangajar! Tak pernah aku semalu ini. Biar, bagaimanapun mereka takkan sanggup mem bendung kekuatan Portugis. D ua perempuan Pribumi ini sudah mem bikin aku bongkar-bangkir. Tapi tunggu!

0o-d w-o0

Selesai sembahyang asar waktu itu. Sunan Rajeg mem perkenalkan Mahmu d Barjah pada Manan , dulu Esteban, dan Ro is, dulu Rodriguez.

“Teman-temanmu ini,” katanya lagi “Adalah penembak- penembak meriam. N anti akan kau lihat senjata-senjata kita

itu.” “Meriam? seru Mahmud Barjah. “Meriam betul?

Meriam P eranggi?”

Sunan R ajeg hanya mengangguk-an gguk mem benarkan.

“D an kau akan lihat sendiri bagaimana mereka melatih anak-anak berperang cara Eropa, cara Peranggi.”

Mahm ud Barjah mengernyitkan kening. Mengetah ui sinar cemburu memancar pada mata

Mahm ud, Sunan Rajeg buru-buru menam bahkan: “D an perwira Tuban ini, Mahm ud Barjah, adalah panglimaku. Mem ang M anan dan Rois mualaf, mereka berada di bawah perintahm u, Mahmu d. D an kau harus mengerti, Mahmu d, perang secara Pribumi takkan mu ngkin dap at mengh adapi Peranggi. Cara baru harus dipergunakan, biarpun asalnya dari Peranggi.

“Bagaimanakah kiran ya berperang cara Peranggi?” Barjah mengangkat dagu meremehkan. “Belum pernah aku dengar atau lihat. ”

“Kau harus lihat mereka berlatih. Hari ini kita tidak bicara tentang perang. Hari ini kita berpesta. Ayoh, bersalam-salam an kalian.”

Mereka bersalam-salam an. D an segera setelah itu Mahm ud Barjah pergi dengan alasan hendak melihat

anakbuah nya. Sunan R ajeg menggeleng-geleng tak m emahami cemburu

hati panglim anya. Panglima Rajeg itu muncul lagi menjelang magrib untuk berjemaah di mesjid. Ia bergabung dengan semua makmu m samp ai isya. Kemudian semua orang turun dari mesjid untuk mengikuti Sunan Rajeg menyam paikan wejangannya pada seluruh penduduk yang sudah duduk berjajar-jajar di pelataran pendopo membawa tikar masing-masing.

Malam itu langit bermendung tapi tidak hujan. Orang duduk diam-diam dengan mata gelisah dan

pandang ke mana-man a seperti biasa. D amarsewu pandang ke mana-man a seperti biasa. D amarsewu

D emak. Katanya saja kerajaan Islam. Yang Islam hanyalah

D ewan atau Majelis kerajaan, beberapa Kiai yang dianggap wali Islam, digelari Sunan, dan para pembesarnya. Kawulanya tidak tahu sesuatu tentang Islam, kafir-kufur jahil. D an rajan ya? Tidak beda, sama dengan yang selebihnya. Betapa tidak malunya mereka menamainya kerajaan Islam yang pertam a-tam a.”

Ia m emperdengarkan tawa yang pahit menggigit. “Siapa yang m enamakan itu? Pasti bukan Sunan Rajeg,”

ia meneruskan. “Juga bukan kalian. Tapi: Majelis kerajaan dan musafir D emak yang gentayangan ke mana-mana itu.”

Mahm ud Barjah terlongok-lon gok tidak mengerti. D an karena itu Sunan Rajeg mengu langi wejangannya yang

penduduk sudah hafal di luar kepala: “Kalian tahu benar siapa mu safir-musafsir D emak itu – ratusan oran g yang dikirimkan oleh D emak ke semua mata-angin untuk bercerita sebaik dan seindah-indah nya tentang D emak, rajan ya, pembesar-pembesarnya. Majelis kerajaan dan anggota-anggotanya,” ia menengok pada Mahmud Barjah.

“Sunan Rajeg dan kalian, pengikut-pengikutnya,” ia meneruskan, “tidak bisa ditipu begitu mu dah. Kerajaan Islam pertama-tam a di Jawa tidak di D emak, tapi di sini!” dan ditudingnya lantai pendopo sedang matan ya menyala- nyala pada para hadirin di depannya.

Hadirin diam tiada bersuara sebagai biasa bila tidak ditanyai. Para tetua dan Mahmu d Barjah, yang dudu k di belakang Sunan Rajeg, tiada mengangkat kepala, seakan patun g-patung tembaga pada sebuah candi.

“Pekerjaan mu safir-m usafir celaka itu hanya mem bedaki dan merias mu ka Sultan Al-Fatah dan mem ajang-m ajang

D emak, karena m uka Sultan itu bopeng dan karena D emak itu busuk. Ingat-

ingat kalian, anak-anakku, Islam tidak boleh disekutukan dengan keboho ngan dan dusta m acam apa pun. Maka juga tidak ada hak D emak menam akan kerajaan Islam pertam a- tam a di Jawa’

D engan pandang menan tang seakan D emak ada di depannya ia angkat telunjuk yang mengancam. Kata- katanya curah dari mu lut diberani-kan oleh kedatangan panglimanya.

“Hei, kau, Sultan D emak. D ari manakah hakmu mengangkat diri jadi khalifah? Kau orang ayan? Siapa gurum u? Bagaimana Majelismu sampai begitu gegabah dengan pengangkatan begitu? Beran i kau dan kalian menyam akan Al-Fattah dengan Ali dan Um ar? Apa dasarmu dan dasar kalian?”

W aktu perasaann ya meluap, penyakit laman ya menyerang. Ia terbatuk-batuk, badan nya mem bungkuk dan

kedua belah bahunya tersengal-sengal tanpa daya. Mahm ud Baijah dan para tetua gelisah ingin memijati

bahu dan punggun g pemimpinnya, tetapi tak berani. Para hadirin mem anjangkan leher untuk dapat melihat bagaimana Sunan R ajeg bertahan terhadap serangan batuk, apakah dia punya kekuatan gaib untuk menundukkan sang gatal yang meruyaki tenggorokan dan pedalamannya. D an bahu dan punggun g pemimpinnya, tetapi tak berani. Para hadirin mem anjangkan leher untuk dapat melihat bagaimana Sunan R ajeg bertahan terhadap serangan batuk, apakah dia punya kekuatan gaib untuk menundukkan sang gatal yang meruyaki tenggorokan dan pedalamannya. D an

Sunan Rajeg menggapai-gapaikan tangan meminta bantuan. Mahmu d Barjah mendekat dan menan gkap tangan itu. Ia mem bantunya berdiri dan mem bawa tubuh pemimpin yang terbongkok-bongkok karena batuknya masuk ke dalam .

D an hadirin menarik nafas lagi. Mereka tak juga bubar karena sebelum ada tengara untuk itu. W aktu dilihatnya Mahm ud Barjah mu ncul kembali, ternyata bukanlah untuk mem berikan perintah bubar.

Perwira m uda yang tampan itu dudu k di atas perm adani bekas Sunan Rajeg. Ia berdiri mem belakangi para tetua. Ia dengar hadirin mu lai bergumam menyatakan keheran an dan kecurigaan dan tak senang hatinya. Tapi ia tidak mem aklumi.

Setelah m engucapkan salam, yang disambut m enggelora, ia mulai berpidato tentang dirinya sendiri, tentang pengalamannya, tentang ketidaksenangannya terhadap Sang Adipati, tentang maksiat pembesar-pembesar Tuban, tentang harem Sang Adipati yang penuh dengan wanita bukan m uhrim, namu n tanpa m alu adipati itu m enamai diri Islam, tak pernah bersembah yang pula. Ia sama sekali tidak pernah menyebut D emak.

D an pidaton ya makin lama makin m elaru t mem beberkan perasaan pribadinya. Ia bicara dan bicara, bersemangat berapi-api, kaya dengan ungkapan, pribahasa, keboho ngan dan khayalan, bertele, m eliuk ke sana dan ke mari.

Pelita damarsewu dipad amkan satu per satu. Ia masih terus bicara. Dan tengara bubar tak kunjung datang juga.

D am arsewu padam sama sekali. Ia masih juga bicara. Para tetua di belakangn ya sudah pada loyo terbatuk-batuk. Ia D am arsewu padam sama sekali. Ia masih juga bicara. Para tetua di belakangn ya sudah pada loyo terbatuk-batuk. Ia

Pendopo itu sudah penuh-sesak dengan para pembesar negeri. Sang Adipati telah duduk di atas singgasana- gadingya. Tholib Sungkar Az-Zubaid berdiri seoran g diri di pinggiran, sejajar dengan barisan penghadap yang kedua, para pemimpin pasukan: Braja, kepala pasukan pengawal kadipaten, Banteng W areng, kepala pasukan kuda, Kala Cu wil, kepala pasukan gajah, Rangkum, kepala pasukan kaki.

W ajah baru dalam barisan pemimpin pasukan adalah W iranggaleng. Ia telah mengenakan gelang baja tiga susun. Ia dudu k sebagai kepala pasukan laut.

Tempat Sang Patih masih juga kosong. Sang Adipati namp ai gelisah tak bersenanghati. Berkali-

kali dipandangn ya tempat yang kosong itu. D an tetap kosong. Karena tak dap at menahan kesabarannya, keluar suara tuan ya yang meledak seperti gerutu macan betina: “D i m anakah kakang Patih?”

Tiada berjawab. Sem ua menundu k. “Tulikah kalian maka tiada yang bersembah?” Tiada berjawab. Kegelisahan mulai mengu asai seluruh

penghadap. “Tiadakah diketahui keadaan gawat? Kalian para kuwu

dan demang, benarkah pagardesa kewalahan mengh adap perusuh?”

“Ampun, G usti Adipati T uban sesembahan patik,” salah seorang yang tertua di antara mereka bersembah, “demikianlah adanya.”

“D an kesatuan kecil pasukan kuda hilang?” “Ampun,

Banteng Wareng, “demikianlah adanya.”

G usti,”

sembah

“D an sembilan puluh prajurit kaki Tuban hilang tanpa bekas?”

“Ampun, G usti, sesembahan, demikianlah adan ya,” sembah Rangkum.

“D an dua ratus pasukan kaki Tuban dengan dua orang peratus, di bawah pimpinan perwira pengawal Mahmud Barjah juga lenyap tanpa bangkai?”

“D emikianlah adan ya,” sembah Rangkum. “D an perusuh itu mendesak terus ke arah Tuban seakan

Tuban hanya segumpal daging tanpa tulang di hadap an sekawanan anjing. Apakah orang sudah lupa, dua ratus tahu n laman ya Tuban tak pernah diganggu mu suh karena balatentaranya? Apakah Kakang Patih lupa, pasukan- pasukan Tuban tiada mungkin terkalahkan? D alam dua ratus tahun balatentara Tuban telah ikut menegakkan Majapahit di banyak daratan dan di banyak pulau, di laut maupun di hutan? Braja! Katakan sesuatu biar oran g tahu, apa dan siapa G ustimu!

“Ampun, G usti Adip ati Tuban sesembahan patik. Patik, kepala pasukan pengawal G usti Adip ati tiada rela Tuban dijamah oleh mu suh dari mana pun datangnya, siapa pun orangn ya, apa pun dalih dan kapan pun m akarn ya. Seluruh pasukan pengawal adalah kulit G usti Adipati. Barang siapa menyentuh kulit itu, dia akan robek di bawah injakan pasukan pengawal, karena Braja yang akan menjawab.”

“Kesetiaanm u adalah kesetiaan lama dari perwira Majapahit. Kau, Banteng W areng, bersembah.”

“Ampun, G usti Adipati sesembahan patik, ada pun pasukan kuda Tuban setiap saat siap untuk menyerang segala yang bergerak menuju ke T uban dengan kejahatan di dalam hatinya. Malam bisa dijadikan siang, siang bisa dijadikan malam, sebagaimana G usti Adip ati titahkan. Telapak kudan ya akan capai semua jarak dan cambuk- cambuknya akan menggeletari udara dan hati mu suh durjana. Tombaknya akan beterbangan seperti camar menepis puncak-puncak om bak. Mu suh akan diporak- porandakan sebelum mencapai luar kota Tuban, Banteng W areng adalah dad a G usti Adipati.”

“Kau sunggu h melegakan dad a hati kami, Banteng W areng. Darah tersirap mendengar persembahanmu , darah Majapahit, bukan darah kecoak. Ah, Kala Cu wil, kaulah yang bersembah.”

“Ampun, G usti Adipati. Pasukan gajah selam anya jantung hati Tuban dan G usti Adipati. Tanpa kesudian

G usti, tiadalah pasukan gajah. Pasukan gajah mendegupkan darah pertahan an Tuban. G ajah-gajah yang lincah dan

berat, tanpa dipotong gadingn ya, gajah tentara sejati, adalah bukit-bukit otot di tangan pawang tentara yang ulung. Punahlah mu suh Tuban terlindas oleh kakinya, terburai terbanting oleh belalai dan ludas tertikam gadingnya. Bila musuh ingin m encoba, pasukan gajah G usti

Adip ati akan mem berikan pada mereka apa yang mereka kehendaki. G usti Adipati sesembahan patik, kesetiaan pasukan gajah sepenuhnya berada di dalam tangan G usti,”

“Kami tak meragukan, Kala Cuwil. Kau tetap perwiraku andalan Tuban. Kau Rangkum. Betapa kau kelihatan gelisah. Sudah berapa prajuritmu yang hilang?”

“Ampun, G usti Adipati Tuban sesembahan patik. Ada dua ratus sembilan puluh tidak termasuk perwira Mahmud

Barjah.”

“Bagaimana bisa maka kau samp ai kehilangan orang sebanyak itu? D an mengapa kau sendiri tidak pernah persembahkan?”

“Ampun, G usti, patik persembahkan jumlah yang hilang tersebut kepada G usti P atih berdasarkan titah.”

“Apakah kau sudah bikin pasukan kaki Tuban jadi tape yang bisa dikeping-keping dan ditelan? D ua ratus sembilan puluh tanp a bekas tanp a dibangkai. Hadapkan sini Kakang Patih, hidup atau mati, sakit atau sehat. Jalan kau, Rangkum, dan segera. ”

tergopoh-gopoh mengu ndurkan diri.

Setelah menyembah

Rangkum

Penghad apan itu dikuasai oleh suasana ketegangan luarbiasa. Jangankan senyum, keramahan sedikit pun tak nam pak pada airmuka Sang Adipati. Bibir yang biasa tersenyum itu keunguan karena murka. Keriput pada wajahnya nampak semakin dalam.

Mendadak Sang Adipati menengok pada Syahbandar Tuban: “Tuan Syahbandar Tuban Sayid Habibullah Al-

Masawa,” katanya dalam Melayu. “D alam bulan ini hanya ada tiga kapal Atas Angin masuk. Sebelum Tuan menjabat, jauh lebih banyak. Selama Tuan, merosot dan merosot. Sekarang tinggal tiga.”

“Ampun, G usti Adip ati Tuban, Allah s.w.t. telah mem bikin lautan dan daratan untuk manusia. Manusia

mem bikin kapal untuk melayari lautan dan menyinggahi daratan. Itulah usaha manusia, G usti. Tetapi semua ditentukan oleh hukum, adakah kapal berlayar atau tidak, singgah atau tidak. D an hukum itu hanya berasal dan milik Tuhan.”

Sang Adipati mengisyaratkan biti-biti perwara di bawahnya, dan wanita-wanita itu mem persembahkan nam pan sirih. D engan cepat Sang Adipati mengambil dan bercepat-cepat pula mengu nyahnya. Seorang biti lain dengan gopoh-gapah mem persembahkan tempolong ludah, dan lelaki itu m eludah ke dalamnya.

Tak pernah oran g melihat penguasa Tuban itu makan sirih secepat itu, tanpa menikmatinya.

“Tuhan lah yang telah menentukan bandar-besar dan makmur dan sejahtera; yang tidak disinggahi merana. Lenyap dalam kemerosotan. Allahlah yang mem bagi-bagi rejeki di antara ummatN ya!”

Sekali lagi Sang Adipati meludah cepat-cepat. “Sebentar satu bandar dimakm urkan-N ya, sebentar pula

dilupakan-N ya. Sam a sekali bukanlah pekerjaan seorang Syahbandar untuk memanggil kapal-kapal itu, G usti.”

“Sam pai di mana usahamu untuk mengem balikan semarak bandar Tuban?”

“Ampun, G usti, kejayaan juga berpindah-pindah karena bandarnya. Kerajaan jatuh dan jaya karena bandarnya. Itu

sama sekali bukan usaha manusia. Manusia tanpa daya, hanya bisa mem ohon pada Tuhan. Kapal bisa berpindah- pindah , G usti, tetapi bandar tidak. Tak ada kekuasaan di bawah kolong langit dap at mem erintah: hei, kau, kapal- kapal dagang, jangan singgah di sana, di sini saja. Hanya N abi Mu sa a.s. dapat mem buka jalan laut hanya dengan ton gkatnya dan menyelamatkan umm at-N ya. ”

“Bukankah yang kami tanyakan samp ai di mana usaham u? D ahulu orang memerlukan datang ke Tuban untuk melihat pesta. Pesta laut yang belakangan sepi dan susut. Tak ada sebuah pun kapal Atas Angin berlabuh.”

“Segala usaha telah patik tempuh, G usti, akhirnya Tuhan jua yang m enentukan. Ham ba tak mampu memaksa kapal-kapal berlayar dari Maluku ke Malaka singgah di Tuban. Bahkan kapal-kapal dagang Tuban sendiri mu lai dilabuhkan di bandar-bandar lain: Jepara, Banten, Pasai. Tinggal benderanya saja yang m asih Tuban.”

“D iam!” bentak Sang Adipati. W iranggaleng yang duduk sejajar dengan para kepala

pasukan berdebar-debar. Ia belum lagi tahu sepenuhnya tentang pasukan laut Tuban, belum mengerti samp ai di mana kesetiaan mereka. Ia sibuk menyusun kalimat yang harus dapat mengu kuhkan sikap pasukan laut pada Sang Adip ati.

Justru pada saat itu mu ncul Sang Patih. Mu kanya pucat dan pakaiannya nampak kusut tak terawat. Tanda-tanda pangkat dan jabatan, yang biasanya rapi di tempat yang sepatutnya, kini kacau, bahkan destarnya pun agak miring, tidak segaris dengan batang hidungn ya. Kerisnya agak terdalam terselitkan. D an m atanya m erah seperti tidak tidur selam a seminggu atau seperti habis menangis sepanjang hari.

Ia jatuhkan diri di hadapan Sang Adipati, bersimpuh dan menyembah, kemudian dengan tak acuh menempati tempatnya di depan para kepala pasukan dan menunduk dalam .

“Mengapakah kau, Kakang Patih, tiada m enghadap pada waktunya? Adakah kau sudah bosan pada adipatimu maka demikian tingkahm u?”

Sang Patih menyembah tiga kali berturut-tu rut tetapi tak berkata sesuatu dan terjatuh pada sikap duduk semula.

‘Tiada kami lihat kau sakit. Hanya kau pucat dan matamu merah. Kau masih kuat mem bawa badan sendiri. Apakah kurang kami terhadapm u?”

Sekali lagi Sang Patih mengangkat sembah tiga kali. Ia tetap tak bersembah barang sepatah.

Sang Adipati mengernyitkan kening dan mem bentak: “Tiadakah sesuatu yang kau rasakan patut untuk dipersembahkan lagi?”

Pelahan Sang Patih m engangkat kepala dan menyembah lagi, tetapi kepala itu tunduk lagi. Bibirnya bergerak beberapa kali, namun suara tak keluar dari mu lurnya.

“Adakah kam i yang tuli, ataukah kau yang bisu?” “G usti Adipati Tuban sesembahan patik,” kata Sang

Patih parau. “Apalah lagi yang mesti patik persembahkan? D alam

satu minggu belakangan ini semua telah patik persembahkan dan G usti Adipati Tuban, sesembahan patik tiada berkenan mendengarkan bahkan patik mendap at mu rka G usti Adipati.”

“Berap a kalikah harus kami katakan, balatentara Tuban tidak boleh dikerahkan dan engkau juga yang terus mendesak seakan tidak ada pikiran lain yang boleh tinggal kecuali perang? Perusuh tak perlu dihadapi dengan perang.

D an kau Kang Patih, telah kirim kan dua ratus sembilan puluh prajurit untuk hilang tanp a bekas tanp a bangkai.

Bukankah dem ikian?” “Patik, G usti Adipati.” “D an kau masih berusaha mendesak dikirimkan lebih

banyak, lebih banyak dan lebih banyak, samp ai balatentara Tuban akan terkuras habis.”

Sang Patih tidak bersembah . “Rangkum, persembahkan tentang pasukanmu.” “Ampun, G usti Adipati, dua ratus sembilan puluh

adalah kehilangan besar. Tetapi pasukan kaki Tuban belum lah bergerak dalam bentuknya yang semestinya. Kalau dua ratus sembilan puluh prajurit patik hilang, pasti bukan perang, G usti. Yang demikian tidak mungkin terjadi. Ampunilah patik bila akan mempersembahkan sesuatu yang mendahului-G usti Patih Tuban. Ialah bahwa hilangnya prajurit-prajurit patik besar kemungkinan adalah karena pengkhianatan.”

Semua penghadap melihat ke arah Rangkum. Sementara sunyi-senyap. “Kakang Patih, adakah benar terjadi yang demikian?

D an bila benar, bagaimana jalannya pengkhianatan?” “Ampun, G usti Adip ati Tuban sesembahan patik,

kiranya benar persembahan R angkum, kepala pasukan kaki. Mahm ud Barjah, perwira peranakan Koja itu, telah bergabung dengan perusuh. Kaum perusuh telah mendapat tam bahan kekuatan sedang Tuban kehilangan. ”

“Tak pernah diingat orang adalah pengkhianatan terjadi dalam tubuh balatentara Tuban. Coba, siapakah yang pernah dengar adalah prajurit Tuban berkhianat?”

Kesenyapan menyusul lagi. “Kakang Patih, bukankah kau sendiri yang melakukan

pilihan atas mereka yang harus beran gkat itu?” “D emikianlah adan ya, G usti.” “D an tanpa sepengetahuan kami?” “D emikianlah adan ya, G usti.”

“Tentu tidak ada sesuatu maksud untuk melawan gustimu ?”

“Sam a sekali tidak keliru, G usti. Maka jatuhkanlah hukum an pada patik karena kekeliruan ini.”

Sang Adipati nampak mengh ela nafas panjang. Airmu kanya m ulai nampak terang seperti biasa. D itariknya tangan kanann ya dari atas paha kanan dan dipergunakan untuk menyangga kepala. Ia titahkan Sang Patih untuk meneruskan persembahannya.

“Kalau perm ohonan patik untuk mengerahkan balatentara agar dapat menumpas perusuh secepat-

cepatnya, G usti, G usti timbang sebagai kekeliruan juga, mem ang hanya hukuman yang patik tunggu, dan tiada sesuatu yang patut patik persembahkan lagi,” ia mengangkat sembah dan berdiam diri.

“Kami mengerti kesulitanm u, Kakang Patih, dan itulah tanggungjawab sebagai Patih Tuban. Kami tahu kesetiaanm u. Tetapi melakukan sesuatu yang bertentangan dengan titah… “, ia tak meneruskan kata-ka-tanya. “Baik, demikianlah hatimu. Sekarang kami perkenankan kau mengeluarkan lim a ratus prajurit, dapat kau am bil dari berbagai pasukan. Juga kau boleh ambil dari pasukan laut, W iranggaleng, ayoh, persembahkan sesuatu tentang pasukanm u.”

W iranggaleng mengangkat sembah. Selama itu ia telah susun kata-katanya. Begitu mendapat kesempatan, meluncur mereka seperti air pada saluran sawah.

“Ampun, G usti, sesungguhnya belum lagi lama patik mem egang pasukan laut. Beberapa kali kapal-kapal asing tidak dikenal berkeliaran jauh di tengah laut, di malam hari, dengan lampu-lampu dipad amkan . Tetapi kilat di mu sim hujan tak urung dapat menerangi dun ia. Penjaga menara “Ampun, G usti, sesungguhnya belum lagi lama patik mem egang pasukan laut. Beberapa kali kapal-kapal asing tidak dikenal berkeliaran jauh di tengah laut, di malam hari, dengan lampu-lampu dipad amkan . Tetapi kilat di mu sim hujan tak urung dapat menerangi dun ia. Penjaga menara

G usti, jadi peringatan….” “Kau betul, W ira, maka kami menolak pengerahan

besar-besaran balatentara. Tapi kau pun haru s ingat juga, penyeran gan laut Adip ati Unus Jepara, dengan dua puluh

ribu orang atas Malaka, tidak berhasil. Serangan laut selam anya tidak mesti berhasil. W alau demikian kalau pertahanan dalam kosong, seperti Malaka dulu, jatuh juga yang diserang. Bukankah begitu, Tuan Syahbandar Tuban?”

Semua orang menengok ke arah Syahbandar. Orang jangkung agak bongkok itu nampak lebih bongkok. Tangannya tergantung dan jari-jarinya menggapai-gapai mencari kata. D an waktu kata-katanya keluar, terdengar agak ragu-ragu: “Ampun, G usti, tentang Malaka itu sahaya kurang periksa, malahan tidak pernah m endengarnya.”

“Setiap Syahbandar mengetah ui segala sesuatu tentang tepian laut. Aneh bahwa Syahbandarku, Syahbandar Tuban bisa tidak mengetah ui baran g sesuatu tentang M alaka’

Orang masih juga melihat pada Syahbandar yang jari- jarinya bergerak-gerak, tapi tak ada kata keluar lagi dari mu lutnya.

Sang Adipati tersenyum dan meneruskan: “D engarkan semua penghadap: Tuban bukan Malaka. Adipati Tuban Arya Teja Tum enggung Wilwatikta bukan Sultan Mahmud Syah. Malaka jatuh karena usaha manusia untuk memiliki bandar itu, sedang pemiliknya sendiri lengah. G ajah- Sang Adipati tersenyum dan meneruskan: “D engarkan semua penghadap: Tuban bukan Malaka. Adipati Tuban Arya Teja Tum enggung Wilwatikta bukan Sultan Mahmud Syah. Malaka jatuh karena usaha manusia untuk memiliki bandar itu, sedang pemiliknya sendiri lengah. G ajah-

“Peringatan G usti Adipati jadilah ajimat untuk patik. Tak seekor pun gajah Tuban dapat didekati orang, siang dan malam, G usti, kecuali oleh pawang masing-m asing, sejak jatuhnya Malaka.”

tempatnya karena persembahannya belum lagi selesai.

W iranggaleng

gelisah

di

“Apa persembahanmu lagi, Kakang Patih?” Patih Tuban itu menyembah tiga kali tapi tak berkata

sesuatu pun. Sikapnya itu mem bikin gelisah para penghadap. D an

W iranggaleng sendiri merasa jengkel karenanya. Mengapakah oran g yang terkenal bijaksana itu tak ada semangat untuk mempertahankan pendapatnya dan kebijaksanaann ya? Ia pun m erasa tidak puas terhadap Sang Adip ati yang terus-menerus memojokkan Sang Patih. Apakah jadinya kalau dua-duanya hanya bisa bermain kata- kata, sedang Syahbandar tenang-tenang menem pa rencanan ya? Baik Sang Patih mau pun Sang Adipati tahu tentang rencanan ya itu. D an m engapa tak juga ada sesuatu tindakan diam bil terhadapn ya? D ari kenyataan itu ia menarik kesimpulan Sang Adipati masih tetap melindun ginya.

Ia mem benarkan perbuatan Sang Patih. Tetapi pasukan yang dikirimkan nya tump as. Pasukan yang lebih besar harus dikerahkan untuk melakukan penumpasan cepat sebelum lebih banyak kapal asing tak dikenal berkeliaran. Prajurit sejum lah lim a ratus orang yang diperkenankan mem ang terlalu kecil. Tapi mengapa Sang Patih tidak mem persembahkan pendapatnya? Malah semestinya Ia mem benarkan perbuatan Sang Patih. Tetapi pasukan yang dikirimkan nya tump as. Pasukan yang lebih besar harus dikerahkan untuk melakukan penumpasan cepat sebelum lebih banyak kapal asing tak dikenal berkeliaran. Prajurit sejum lah lim a ratus orang yang diperkenankan mem ang terlalu kecil. Tapi mengapa Sang Patih tidak mem persembahkan pendapatnya? Malah semestinya

“Ketahu ilah, Kakang Patih, apa pun yang terjadi, jangan harapkan balatentara kami dititahkan bergerak. Jangan coba-coba lagi persembahkan itu. Kami amp uni kau tentang hilangnya dua ratus sembilan puluh prajurit kaki. Pergun akan lima ratus! Wiran ggaleng, bagaimana cetbang- mu ?”

“D alam keadaan siap dan menunggu titah, G usti?” “Jangan ada cetbang dipergunakan dalam pertempuran

darat, karena itulah aturan Majapahit. Tarik semua yang di darat ke pelabuhan dan yang di pelabuhan ke kapal.”

W iranggeleng hampir saja menyangkal titah yang dianggapnya tidak tepat itu. Tak jadi. D an semakin terheran-h eran ia mengapa Sang Adip ati tak juga ingin mengetah ui tentang kapal asing yang mencurigakan itu.

“Bila cetbang sudah dimulai dipergunakan di darat, kerusakan akan datan g lebih cepat dari kebaikannya.”

“Patik laksanakan titah G usti.” “Kakang Patih, ada kau dengarkan kami?” Kembali Sang Patih hanya menyembah tapi tak berkata

sesuatu pun. “Jadi kau tidak mem benarkan kami?” suara Sang

Adip ati meledak dengan suara parau . Semua oran g di penghadap an menekur dalam. D an

semua perhatian terpusat pada ledakan -ledakan selanjutnya. Ketegangan m embenam mereka semua dalam kewaspadaan yang makin lama makin m eruncing. Sunyi. D an di sela-sela semua perhatian terpusat pada ledakan -ledakan selanjutnya. Ketegangan m embenam mereka semua dalam kewaspadaan yang makin lama makin m eruncing. Sunyi. D an di sela-sela

Beberapa bentar kemudian kewaspadaan itu buyar. Satu ledakan lain di belakang para penghadap: beberapa cabang poho n beringin kurung di alun-alun patah dan jatuh gemerasak ke tanah.

Sang Adipati berdiri dan meninjau ke arah alun-alun, pada pohon beringin kurung. Para penghadap terbujuk untuk menoleh ke belakang, tapi tak dibenarkan oleh ketentuan.

Tak ada seorang pun bicara. Tiada antara lama terdengar dentuman lagi di kejauhan

untuk ke dua kalinya. D an beberapa bentar kemudian gapura balok-balok kayu kadipaten terbongkar dengan bunyi riuh dan rubuh tanpa daya di tanah.

“Meriam!” seru Syahbandar Tuban. “Masyaallah, meriam, G usti, meriam!”

“Meriam!” gumam Sang Adipati. “Meriam P eranggi!” seru Syahbandar.

“D iam!” bentak W iranggaleng pada Tholib Sungkar Az- Zubaid. “Tak ada canang dari m enara pelabuhan.”

“Betul, tidak dari pelabuhan , G usti,” baru Sang Patih bersembah , “meriam Peranggi. Perusuh sudah punya

meriam P eranggi, G usti. Laut dan darat m engancam .” “Betul. Laut dan darat mengancam, ” Sang Adipati

mengu langi. “Tuban bukan Malaka. Tuban tetap jaya!” ia berteriak: “Tuban tetap jaya. G usti Adipati tetap jaya!” semua penghadap bersorak menyam but.

Sebutir peluru besi jatuh berdebug antara gapura rebah dan pohon beringin kurung yang som plak. Sebutir lagi jatuh antara gapura roboh dengan pendopo.

Para penghadap mu lai gelisah di tempat duduknya. Terasa seakan satu butir lagi akan jatuh pada punggung mereka masing-masing. D an oran g mu lai mem bayang- bayangkan dalam ingat bagian-bagian dari sebentar tubuh para penghadap jadi penyok kejatuh an. “Persembahkan sesuatu , Kakang Patih,” kata Sang Adipati dengan masih tetap berdiri dan m atanya tertuju ke luar pendopo.

Sang Patih mengu langi sembahnya yang tiga kali kemudian mem bisu lagi.

“Kau W iranggaleng, pelantang dan pelancang, persembahkan sesuatu.”

“Menurut dugaan patik, G usti, para perusuh sudah sangat dekat dengan kota T uban. Perkenankanlah, ya G usti sesembahan , perkenankan patik mem ohon agar G usti menitahkan balatentara Tuban bergerak… tiada kan lama, dan perusuh itu…”

“D iam, kau, pelancang!” Perhatian para penghadap berubah-ubah dari Sang

Adip ati pada peluru yang m ungkin akan segera jatuh lagi. Kembali penghadapan itu sunyi-senyap. D an dalam

kesenyapan itu terdengar keruyuk seekor jago, disambut oleh jago lain dari tempat yang lain pula. Walaupun tubuh

para penghadap sudah gelisah, tapi kepala mereka tetap pada lehernya, tak ada yang bergerak. Kemu dian terdengar derap kuda berpacu di jalan depan kadipaten, melompati gapura balok yang roboh , melalui pengawal-pengawal pendopo. Penunggan gnya berpakaian serba putih, dan para penghadap sudah gelisah, tapi kepala mereka tetap pada lehernya, tak ada yang bergerak. Kemu dian terdengar derap kuda berpacu di jalan depan kadipaten, melompati gapura balok yang roboh , melalui pengawal-pengawal pendopo. Penunggan gnya berpakaian serba putih, dan

Para penghadap tak berani menengok. Hanya Sang Adip ati yang m elihat penunggan g itu m endekati.

Pada waktu itu juga muncul rombongan penunggang kuda dari pasukan Tuban yang mem burunya.

“Terima ini!” pekik penunggang kuda serba putih itu dan melemparkan tom baknya ke arah pendopo.

Tom bak itu m elayang dan berhenti menancap pada salah sebuah tiang pendopo.

Prajurit-prajurit pengawal mu lai pada berhamburan mem buru penunggang kuda itu tak menggubris mereka

yang tercecer jauh di belakangnya. D engan kudan ya ia melom pati pagar samping kadipaten, masuk ke alun-alun, mem belok ke sebelah timu r dan hilang dari pemandan gan.

Ro mbongan pasukan kuda tak jadi masuk ke kadipaten dan pemburu penunggang kuda itu di alun-alun, kemudian pun hilang ke arah timur.

Seorang perwira berlarian datang, mempersembahkan, bahwa ada serangan meriam dari arah selatan . Sebelum ia

menyembah untuk mengu ndurkan diri masuk ke dalam kadipaten seorang dari pasukan pengawal datang bersembah : “Seorang perusuh, G usti Adipati Tuban sesembahan patik, dengan berkuda telah mem asuki Tuban Kota, mem asuki kadipaten dan melemparkan tom bak ke pendopo. Satu regu pasukan kuda sedang mem burunya.

D ia akan tertangkap dalam beberapa bentar ini,” ia menyembah dan mengundurkan diri.

“Kakang Patih! Bawa prajurit yang lima ratus itu. Kau sendiri yang kami angkat jadi senapati. D engarkan semua: hari ini Kakang Patih kami angkat jadi Senapati Tuban.

Selamatlah kau, sejahteralah kalian. Kepala-kepala pasukan, ikuti senapatimu. Pergi!”

“Ampun, G usti Adip ati…,” Sang Patih mencoba menyela.

Penguasa Tuban itu tak dapat lagi mengendalikan am arah yang telah dicobanya ditindasnya selam a ini.

D alam keadaan masih berdiri dan siap untuk menyemburkannya ia berkom at-kamit. Seorang prajurit pengawal datang mengh adap, bersimp uh dan menyembah, kemudian dengan

terburu-buru mempersembahkan: “Ampun, G usti Adipati Tuban sesembahan, telah patik

cabut tom bak perusuh dari tiang pendopo. Padanya disertakan lontar ini, G usti,” dan dipersembahkannya surat tertulis dalam basa dan huruf Jawa.

“Baca, biar semua dengar,” titah Sang Adipati. Prajurit itu mem bawa lontar itu di depan matanya, dan

mu lai mem bacanya dengan suara lantang sehingga terdengar ke seluruh pendopo: “Adipati Tuban kafir-kufur Rangga D emang T umenggung W ilwatikta,

“Telah kau dengar sendiri gelegar meriamku yang menggetarkan Tuban Kota dan hatim u,”

“Kalau kau belum tuli dan belum buta, mengertilah kau, itulah suara Sunan Rajeg, aku, yang menguasai negeri Tuban selatan .”

“Menyingkir kau sebelum aku datang mengambil setiap jengkal tanah dari tangan dan hati mu nafik, karena tak akan ada ampun bagimu, dunia mau pun akhirat.”

“Sekiranya kau tak suka pada surat ini, saksikan bagaimana pasukan gajah kebanggaanmu akan mu snah di medan perang.”

“Sunan Rajeg tak mem butuhkan jawaban dari mu lut atau hati si kafir-kufur tanpa harga.”

Prajurit itu menyembah dan mempersembahkan lontar- lontar yang habis dibacanya. Sang Adipati menentang lontar itu sehingga jatuh ter-tabur di lantai. D an prajurit itu pun m engundu rkan diri tanpa mengambilnya.

“Beran gkat kau, Senapati Tuban, dengan restu kami.

D engan jum lah yang telah kami tentukan untukm u.” Melihat Sang Patih masih juga akan mem persembahkan

keberatan nya Sang Adipati menyambar tempolong kuningan tempat ludah sirih dari nampan yang dibayang

oleh seorang biti perwara. Benda itu dilemp arkannya dan melayang mengenai mu ka Sang Patih. Tanpa melihat pada siapa pun, dengan dagu tertarik ke depan ia tinggalkan pendopo dan hilang dari pemandan gan.

Semua penghadap menurunkan sembah, kemudian bubar meninggalkan kepala pasukan yang mem bantunya mem bersihkan ludah sirih dari muka, dada dan pakaiannya.

Balatentara Tuban mu lai bergerak.

0o-d w-o0