D emak Bergo lak

27. D emak Bergo lak

Pelayaran di laut Jawa pulih kembali seperti sediakala. Hanya kapal-kapal Atas Angin masih juga tak banyak

kelihatan.Kapal-kapal Pribumi mendapat kesibukan luar biasa mengangkuti barang dagan gan untuk dibawa ke bandar Banten, untuk mem udah kan saudagar-saudagar Atas Angin m endapatkan dagangan.

Maka Banten pun jadilah bandar terbesar dan teramai di Jawa, mengalahkan G resik, apalagi Tuban. D an untuk sementara penguasa-penguasa bandar di Jawa tidak mencemburui, mengingat bandar itu kepunyaan sahabat Portugis, kerajaan Hindu Pajajaran. Hanya D emak yang tak bersenang hati. Tetapi saudagar-saudagar Pribumi yang Maka Banten pun jadilah bandar terbesar dan teramai di Jawa, mengalahkan G resik, apalagi Tuban. D an untuk sementara penguasa-penguasa bandar di Jawa tidak mencemburui, mengingat bandar itu kepunyaan sahabat Portugis, kerajaan Hindu Pajajaran. Hanya D emak yang tak bersenang hati. Tetapi saudagar-saudagar Pribumi yang

Para saudagar mengira, keadaan yang nisbiah baik akan tetap baik untuk selam a-lamanya: rejeki dari laut tidak sesendat selam a ini dan cuaca damai mengh angati seluruh Jawa.

Orang tak biasa lagi tentang perang.

D i Jepara pemban gunan kembali, armada D emak sedang giat dilakukan, seolah-olah kebesaran di Jawa sebelah timu r akan dipindah kan ke sebelah tengah.

Tahun 1521 Masehi. Mendadak suatu perubahan yang cepat telah mengu bah

segala-galanya. Portugis sudah sepuluh tahun menguasai Malaka.

D an pada suatu hari yang sudah diduga orang, Sultan

D emak kedua, yang semakin keras juga sakitnya karena serpihan laras cetbang di dalam tubuhnya, wafat.

Satu -satu nya penantang Portugis telah wafat. Armada besar yang sedang digalang akan jatuh ke tangan orang lain.

Siapa orang lain itu? D an adakah akan dipergunakan untuk meneruskan cita-cita Unus? Tak ada orang yang bisa menduga tentang teka-teki ini. Jururam al mu lai sibuk dengan perhitungan dan ram alannya.

Siapa Sultan D emak ke tiga? Karena Unus tiada berketurunan ?

Raja-raja Nusantara ikut berkabung, terutam a para saudagar dan pemilik kapal. Perhatian seluruh Jawa, sepanjang pesisir selatan Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi, tertuju ke Jawa, ke D emak.

Lain lagi yang terjadi di Malaka. Berita wafatn ya Unus disambut dengan sorak berderai. D i darat dan laut anggur pun

dibagi melimpah-limpah untuk merayakan kematiannya. Armada Portugis akan dapat menjelajahi semua perairan N usantara tanpa kekuatiran. Mereka tidak peduli siapa bakal mengganti Sang Penantang, karena hanya ada seorang penantang selam a ini, dan ia sudah m ati, dan penantang lain tak bakal dilahirkan. Ancaman dari selatan sudah padam.

Untuk sementara tak ada berita tentang penggantinya. Majelis Kerajaan mengambil-alih kekuasaan

untuk sementara. Kekosongan D emak untuk waktu yang

dianggap terlalu lama itu m enyebabkan orang digoda untuk mem bikin duga-dugaan: Adakah kerajaan yang belum lagi berum ur setengah abad ini akan pecah-pecah jadi dusun kembali? Siapa yang bertikai dan dengan siapa maka belum juga ada penobatan baru? Majelis Kerajaan lawan keluarga raja? Ataukah keluarga raja dengan keluarga raja?

Ketegangan meram bati seluruh D emak tanpa kepastian.

D ari pengalaman berabad oran g tahu benar, keadaan tidak menentu demikian biasanya diikuti dengan kerusuhan dan kerusuhan melahirkan perang.

D iberanikan oleh kekoson gan ini juru tafsir dan ram al samp ai-sampai berani menjajakan pikiran nya di pasar dan di sepanjang jalan dan di alun-alun dan surau dan di mesjid agung sendiri, tanpa kegentaran. Praja D emak hampir-hampir lumpuh.

Tafsiran dan ram alan kemudian padam: Sultan D emak ke tiga telah dinobatkan dan telah naik ke tahta kerajaan. Orang agak kecewa dengan kenyataan itu, nam un itulah kenyataannya: Trenggo no, adik Unus.

0o-d w-o0

Sekali lagi Portugis berpesta-pora mendengar Trenggono naik tahta. Mereka tahu betul Sultan baru itu tak punya perhatian terhadap perdagangan, perkapalan, perbandaran, apalagi terhadap Malaka. Rencana baru pun ditempa. Apa lagi? D i perairan bagian belah bumi selatan ini takkan ada halangan lagi selam a Unus tak ada. Segera mereka menyerbu Pasai.

D an Pasai pun jatuh. Banda Aceh kehilangan bandarnya yang sedang kembali berkembang.

Portugis berpesta lagi di Malaka, juga di Pasai, mengetah ui, bahwa Trenggono dap at naik ke atas tahta

hanya dengan melalui bangkai abangkandu ngnya sendiri, Pangeran Seda L epen. Abangnya itu yang akan dinobatkan oleh Majelis Kerajaan, tetapi Sunan Kalijaga menjagoi Treng-gono. Maka Portugis menimbang Sultan baru ini sebagai seorang yang rakus kekuasaan. Terhadap pribadi demikian mereka sama sekali tidak menaruh gentar.

Juga mereka berpesta mengetah ui, pemimpin perang balatentara Banda Aceh, Fathillah1 dengan kekalahann ya

di Pasai telah m eninggalkan negerinya. Oran g tak tahu pasti ke mana perginya. D an Portugis lebih tidak peduli lagi.

Anggur diedarkan, bertong-to ng ditumpah kan untuk mem basahi tenggorokan Peranggi yang haus dan tidak haus, anggur terbaik dari O ran dan Aljazair.

Setelah Pasai jatuh pelayaran dan perdagangan di laut Jawa kembali tergoncang. Pasai menjatuhkan juga pasar lada. Portugis dengan Pasai-nya tidak peduli. Mereka tertawa. D engan jatuhnya lada mereka akan terpaksa datang ke Pasai atau langsung ke Malaka.

Seluruh kekuasaan atas Selat Semenanjung telah jatuh seluruhnya ke tangan Portugis. Tak satu kapal Pribumi,

Atas Angin atau Tionghoa bisa m elaluin ya tanpa m engakui pernaungan m eriam-meriam nya.

D an kalau lada tak mau datang ke Pasai atau Malaka? Campang. Portugis akan mendatangi sum ber-sum bernya.

D an sum ber utam a lada adalah: Pajajaran dengan ibukotanya Pakuan, dengan bandar-bandamya Banten, Sunda Kelapa dan Cimanuk.

Bila Pajajaran jatuh kelak di tangan Portugis, lada takkan lagi mengalir ke C amp a, Tiongkok atau Jepun. Semua akan dibanjirkan ke Eropa. Apakah sulitnya menundukkan Pajajaran yang sendiri sudah merasa mem butuhkan perlindungan Portugis, terancam oleh ketidak setiaan kawulanya sendiri di sepanjang pesisir utara, terutama pelarian dari Malaka, Tumasik dan Pasai karena kelainan agam a? Pajajaran harus menyerah tanpa perang! Portugis akan mem berinya “perlindungan”. Kuasai bandar Banten dan Sunda Kelapa, maka bukan hanya lada lebih banyak mengalir ke Eropa tanpa henti-hentinya, juga kekuasaan Portugis di Malaka akan semakin kukuh dan kerajaan- kerajaan bandar di Jawa dan Sum atra akan semakin lemah.

Barang-barang dagangan lain, beras, minyak-minyakan, gula dan garam, dan kayu manis dan kapur barus, untuk kepentingan Asia dan N usantara sendiri, pun akan jatuh ke tangannya dengan harga lebih mu rah tanpa saingan. Selanjutnya perairan Sumatra dan Jawa yang sangat ramai itu pun akan dapat dikuasainya.

Portugis dalam usahanya untuk melaksanakan rencanan ya memutuskan untuk mengh ubungi kembali “sahabat lama” Pajajaran dan minta ijin untuk mendirikan “kantor dagang” di Sunda Kelapa. D engan adanya “kantor dagang” Pajajaran tak perlu memiliki meriam sendiri, karena “kantor” akan melindu nginya dari serangan kerajaan-kerajaan lain.

Utusan dikirim kan mengh adap Prabu Sedah, raja Pajajaran. Konon jum lah penghadap cukup banyak term asuk beberapa orang padri N asrani yang mo hon perkenan untuk tinggal di Pakuan untuk menyebarkan agam anya.

Tak terkirakan gembira hati Sri Baginda Prabu Sedah. Semua yang disaran kan dan dipohon oleh para penghadap diluluskan. Para padri bukan saja boleh tinggal di Pakuan, bahkan diperkenankan mewartakan ajarannya, dan dengan demikian Islam tidak lagi merupakan satu-satunya agama baru di dalam wilayah kekuasaann ya.

Pesta besar-besaran diadakan dengan pengerahan penyanyi dan penari terbaik di seluruh negeri.

D an dengan upacara khidmat pihak Portugis dan Pajajaran menyaksikan dua oran g pernahat dari dua belah pihak mulai memahat lambang persetujuan dan persahabatan pada sepotong batu panjang berbentuk penggada.

D emikianlah Portugis kembali ke Malaka mem bawa kemenangan diplomasi gilang-gemilang tanpa perang dan

meninggalkan beberapa orang padri di Pakuan….

D alam waktu pendek berita itu tersebar ke seluruh N usantara. Pajajaran sendiri mem punyai kepentingan menyebarkannya dengan maksud mengendalikan nafsu lawan-lawannya untuk menyerbu negerinya.

D an persahabatan dengan Peranggi adalah juga suatu kebesaran baginya.

Jatuh nya Pasai segera terdesak oleh perjanjian persahabatan Portugis-Pajajaran.

Satu -satu nya kerajaan yang mem buka mata lebar-lebar terhadap perkembangan baru ini adalah prajawan-prajawan

D emak.

D an di luar istana orang lebih banyak meributkan dan mem bicarakannya di mesjid, surau, jalanan dan di mana saja. Lama-kelamaan suara itu berkemban g dan memuncak menjadi pertikaian-pertikaian.

Mu la-m ula pertikaian berkisar pada kelakuan Trenggono yang begitu sampai hati mem bunuh abangnya sendiri, kemudian diperkuat oleh sikapnya yang polos terhadap peristiwa Pakuan. Mengapa Sultan tak juga menyatakan sikap menentang usaha Portugis yang sudah mu lai ge- rayan gan ke Jawa? Sikap itu semakin ditunggu semakin tak datang. Para mu safir yang sudah tak dapat menah an hati lagi telah bermusyawarah dan mem bentuk utusan untuk mengh adap Sultan. Mereka ditolak dengan alasan: apa yang terjadi di Pajajaran tak punya sangkut paut dengan D emak dan musafir.

Jawaban itu m engecewakan para musafir. Bila demikian, mereka menganggap, sudah tak ada perlunya lagi para

mu safir mengagungkan D emak, karena keagungannya mem ang sudah tak ada lagi. Apa gunanya armada besar peninggalan Unus, yang telah dua tahu n disiapkan kalau bukan untuk mengu sir Portugis dan dengan demikian terjam in dan melindungi D emak sebagai negeri Islam pertam a-tama di Jawa? Masuknya Peranggi ke Jawa berarti ancam an langsung terhadap Islam. Kalau Trenggo no tetap tak punya sikap, jelas dia tak punya sesuatu urusan dengan Islam.

Segolongan kecil para mu safir m enolak alasan itu dengan dalih, tugas utama para mu safir adalah menyebarkan Islam yang telah dirintis oleh para sunan. Pekerjaan nya tak bersangkut-paut dengan kepentingan kerajaan. Tetapi Segolongan kecil para mu safir m enolak alasan itu dengan dalih, tugas utama para mu safir adalah menyebarkan Islam yang telah dirintis oleh para sunan. Pekerjaan nya tak bersangkut-paut dengan kepentingan kerajaan. Tetapi

adanya perlindungan, menyebabkan para mu safir berkewajiban memp erteduh perlindungan dengan jalan mengagungkan D emak.

keleluasaan ,

karena

G olongan besar m usafir menuduh, bila dem ikian m ereka stidah sepenuhnya punggawa perajaan, bukan mu safir, bukan

itu sendiri, dan mem persekutukan agama dengan kekuasaan , dan kekuasaan itu justru telah kehilangan kekhalifahannya yang mu rni.

pembantu

mu balligh

Pertikaian kemudian dicamp uri oleh kerajaan. G olongan besar dipanggil mengh adap. Mereka menolak dan

melarikan diri. G olongan kecil yang taat, kehilangan kewibawaannya. Tepat sebagaimana dituduhkan oleh golon gan besar, mereka kemudian menjadi punggawa kerajaan belaka.

Sejak itu D em ak tak punya mu safir lagi. Mereka yang pada waktu itu sedang bertugas di

pedalaman negeri lain atau di seberang, mem utuskan hubungan dengan D emak dan menjadi mu balligh bebas.

Pertikaian pun tak kurang sengitnya di dalam keluarga Sultan sendiri. D an ini menjalar juga pada penduduk biasa.

Tak dapat menan ggungkan semua pertikaian yang tiada henti-hentinya dan mengancam perpecahan dalam kerajaan

D emak sendiri. Trenggono mengambil tindakan untuk menjawab semua itu: pekerjaan persiapan armada besar itu dihentikan sama sekali. D ana dan daya kerajaan D emak ditarik dari pantai dan dipusatkan di pedalaman.

Akibat tindakan itu tak terkirakan besarn ya, dan pada um um nya merugikan D emak. Insinyur dan tukang-tukang kembali ke negeri masing-masing dengan berita yang Akibat tindakan itu tak terkirakan besarn ya, dan pada um um nya merugikan D emak. Insinyur dan tukang-tukang kembali ke negeri masing-masing dengan berita yang

lumpur tanah tandur pedalaman daripada mengh adapi lawan pokoknya. Bupati-bupati pesisir, yang selam a ini menyum bang iuran tahunan untuk pembangu nan armada, menyumpah-nyumpah karena merasa tertipu oleh Trenggono. Bupati-bupati pesisir lainn ya yang menyatakan berlindun g di bawah D emak tanp a pukulan perang, menolak perlindungan dan menyatakan berdiri sendiri kembali dalam kebebasannya.

Trenggo no naik pitam oleh perkembangan baru ini. Pada suatu pagi, sebelum matari sempat terbit, sebuah

tand u diusung meninggalkan D emak. Beberapa puluh orang mengikutinya berjalan kaki di belakangn ya, di belakangn ya lagi beberapa puluh lagi orang pemikul. Mereka berjalan beriringan dengan diam-diam seakan takut mem bangun kan yang m asih tidur.

D i atas tandu adalah G usti Ratu Aisah, biasa disebut N gaisah permaisuri Sultan Syah Sri Alam Akbar Al-Fattah almarhum. Ia adalah ibunda Adipati Unus dan Trenggono.

D an iring-iringan yang mem bisu itu menuju ke Jepara. Orang segera mengerti: pertikaian antara Sultan dan

ibunya tertumbuk pada jalan buntu. G usti Ratu Aisah harus menyingkir karena tak mau tahu lagi tentang D emak. Bahwa Jepara jadi tujuan adalah karena itulah tempat putranya tercinta Unus almarhum. Bahwa G usti Ratu berpihak pada sikap dan pendirian Unus, bahwa, bahwa, bahwa….

Orang pun segera mengerti: boyongan agun g itu tak lain artinya daripada, bahwa Trenggono tak ada niat untuk menyerang Portugis, baik di Malaka, Pasai atau mana pun, baik di darat atau lautan.

D an pertanyaan yang tetap tinggal tak terjawab: untuk apakah armada besar yang dipersiapkan itu? Apakah akan dibiarkan tenggelam karena tak terawat?

Belum lagi bayangan agun g terlupakan, datang pula berita besar: Majelis kerajaan bubar. Kebenaran berita itu masih banyak disangsikan, karena seorang Sultan di D emak takkan dapat berbuat sesuatu pun tanpa Majelis.

Berita itu disusul oleh desas-desus, Sultan tak suka bermusyawarah, tak mau mendengarkan Majelis, ia telah terjatuh jadi raja P ribumi jahiliah, kafir.

Sebaliknya penyokong Trenggo no pun tidak sedikit. Pasukan kuda D emak, pasukan kebanggaan, sepenuhnya menyokongn ya. Pasukan itu sendiri belum lagi lama didirikan, karena sebelum nya hampir-h ampir tak terdap at kuda di D emak. Sultan Al-Fattah yang mem bangun kannya

dengan jalan mendatangkan bibit dari Atas Angin dengan bantuan Semarang dan saudagar-saudagar Islam Atas Angin.

Pertikaian belum lagi reda, datang berita besar lagi. Pajajaran m engadakan pesta agung….

21 Agustus 1522 Serombongan besar orang Portugis telah mendarat di

bandar Sunda Kelapa. D i antara mereka terdapat dutan ya: Henrique Leme. Ia datang untuk mengesahkan perjanjian Portugis-Pajajaran .

D alam iringan pasukan pengawal bermusket dan berpedang dan sebarisan pemusik, mereka telah dielu- elukan oleh Pangeran Sunda Kelapa sebagai gubernur dan wakil Prabu Sedah.

D engan upacara penyambutan besar mereka diiringkan beristirahat di pesanggrahan Sang Pangeran. D an pada keesokan harinya dengan iringan pesta besar sebagian dari para tamu memudiki kali Ciliwung menuju ke Pakuan, mengh adap Sri Baginda.

D i P akuan pesta kehorm atan besar m enyambut mereka. Henrique Leme mem persembahkan terimakasih atas

perlindungan dan karunia berupa tanah dan rumah dan tenaga pekerja kepada para padri-padri Portugis di Pakuan sehingga mereka dapat bergerak dengan leluasa dan telah mu lai mem buka rum ah penamp ungan untuk janda dan yatim-piatu.

Acara khusus telah disediakan oleh para tamu untuk mendengarkan musik Portugis di mana Prabu Sedah dan perm aisuri dan keluarga raja berkenan ikut menyaksikan.

D an itulah untuk pertama kali Pakuan mendengar mu sik dari Eropa.

Mereka turun balik ke Sunda Kelapa diiringkan oleh Pangeran Sunda Kelapa.

D i bandar Sunda Kelapa sendiri telah didirikan sebuah um pak batu hitam berbentuk kerucut terpoton g. D i atasnya

didirikan batu perjanjian Portugis-Pajajaran , pahatan bersama antara dua belah pihak.

Henrique Leme dengan regu musik yang sangat sederhana dan pengawal berbaris di satu pihak dan Pangeran Sunda Kelapa dengan para pengawal di lain Henrique Leme dengan regu musik yang sangat sederhana dan pengawal berbaris di satu pihak dan Pangeran Sunda Kelapa dengan para pengawal di lain

D engan demikian perjanjian Portugis-Pajajaran telah menjadi kenyataan.

Pihak Portugis mendapat sebidang tanah dan berkenan untuk mendirikan “kantor dagang”. Pihak Pajajaran mendapatkaan jaminan bantuan militer bila mendap at serangan dari luar.

Pesan-m emesan selesai. Ratusan gadis beterbangan seperti bunga-bungaan di atas

kolam raksasa yang ditiup oleh angin puyuh. Mereka bertaburan di sekeliling para tamu, kemudian bertaburan

lagi dan berlarian mengitari tugu, menari sambil menyanyi dan menebarkan bunga-bungaan, dengan latar belakang laut, kapal-kapal Pribumi dan Peranggi, perahu-perahu nelayan. Latar belakang sebelah selatan adalah kehijauan dedau nan dan di sana-sini tajuk, rumpunan bakau-bakau mengintip dari balik bibir rawa-rawa. Di atas adalah langit yang cerah, biru dengan awan berarak putih-putih, kemudian di bawahnya pegunungan yang tiada habis- habisnya.

Selesai upacara di mana seoran g pendeta Hindu mentahbiskan tugu, pihak Portugis segera mem ainkan mu sik yang m enggelora….

Itulah berita yang kembali menggoncangkan D em ak. Pertikaian yang belum lagi reda merebak kembali. Orang

pada menunggu-nunggu sikap Trenggono, sikap yang agak jantan . Oran g sudah mu lai berbisik: apakah dia hanya berani membunuh saudara kandu ng sendiri, dan tetap tidak berani terhadap Peranggi? Bukankah perbuatan Portugis di Pakuan dan Sunda Kelapa tak lain dari tantangan terhadap

Islam, dan karenanya terhadap khalifah D emak? D an apa pula gunanya arm ada besar yang telah makan biaya begitu banyak?

Ternyata oran g perlu begitu lama harus menunggu.

D ari atas singgasananya Sultan Trenggono bersabda: “Kita, manusia, hidup dan mati di atas tanah yang dikaruniakan oleh Allah s.w.t. kepada kita. Maka tanah karunia ini harus kita bela, berapa pun harganya. Selama tanah ini di dalam genggaman, tak ada suatu bahaya pun bakal mengancam, kita akan mem belanya, karena modal pertam a adalah tanah. Tanpa tanah oran g tak bisa berbuat sesuatu .”

Belum lagi orang habis terheran-heran mengapa Sultan bicara tentang tanah, bukan tentang agam a dan Peranggi sebagai mu suhnya, bukan tentang kekhilafan yang ditantang, dan mengapa hanya tanah, tanah belaka sekalipun ia karunia Allah, orang semakin terheran-heran karena ada terdengar suara wanita, dan wanita itu sudah tua, suaranya sayup-sayup datan g dari Jepara. W anita tua itu adalah G usti Ratu Aisah: “Bukan hanya tanah, seluruh alam diserahkan oleh Allah pada manusia. Kalau oran g tak tahu artinya alam, inilah dia: semua-semua saja kecuali Allah sendiri. Tanah ini, Jawa ini, kecil, lautnya besar. Barang siapa kehilangan air, dia kehilangan tanah, barang siapa kehilangan laut dia kehilangan darat. Jangan lupa, Unus yang m engatakan itu”.

Pertikaian itu kemudian berpusat dalam keluarga raja sendiri, diwakili oleh Trenggo no di satu pihak dan G usti Ratu Aisah di lain pihak.

Seluruh Jawa tunduk mendengarkan. Setiap kata dari kedua orang itu jadi renungan dan bahan pembicaraan, Seluruh Jawa tunduk mendengarkan. Setiap kata dari kedua orang itu jadi renungan dan bahan pembicaraan,

Setelah terdengar suara ibunya Trenggono diam, tidak mem balas D alam mem bisu ia perbesar pasukan daratnya, terutam a pasukan kuda, dengan biaya yang semestinya untuk menyelesaikan arm ada agung. Tanpa menyatakan pada siapa pun, tak menunggu pendap at Majelis Kerajaan yang semakin menjadi lemah, ia hendak mem buktikan, bahwa ibunya keliru. Bahwa tanpa laut pun D emak akan jadi besar dan jaya.

Tetapi dari Jepara ibundan yalah yang membuka suara lebih dulu: “Ketahu ilah, hanya dengan armada saja orang

dap at mengh alau Peranggi, mu suhnya, dengan pasukan darat orang cuma akan mem erangi saudara-saudaranya sendiri, bukan musuhnya”.

Suara wanita tua itu berpendar-pendar di darat maupun laut. Tiba-tiba para bupati merdeka menjadi sadar, bahaya dari D emak sedang di amban g pintu: D emak akan meluaskan daerah kekuasaan nya dengan pukulan perang.

D an perang akan segera berkecamu k. D i luar D emak wanita tua itu terus-m enerus ditunggu-tunggu kata-katanya selanjurnya. Ia didengar, diperhatikan dan dihormati. Juga di D emak sendiri.

Tapi apakah yang dilakukan wanita yang telah kehilangan kewibawaan terhadap Sultan, putranya?

D engan diam nya Ratu Aisah, berbondong-bondong utusan menghadap ke Jepara mem bawa persembahan, sekedar hanya untuk mendapatkan kata-katanya yang kuat bijaksana dan petunjuk tentang apa yang bakal terjadi.

D an wanita tua itu justru mem bisu.

D i desa-desa pinggiran negeri D emak, penduduk mu lai pada mengungsi untuk melarikan diri dari wajib perang. Sebaliknya, terbujuk oleh janji jarah an dan ramp asan terhadap hak milik kafir, pemuda-pemu da desa meninggalkan kampung halaman menuju ke ibukota untuk menggabungkan diri jadi prajurit tetap pasukan darat

D emak. Bahkan yang punya kuda sendiri langsung menggabungkan diri bersam a kudanya pada pasukan kuda.

Orang menarik kesimpulan dari perkembangan terakhir: antara anak dan ibu takkan ada perdamaian lagi. D an pertanyaan kemudian yang timbul: Adakah Sultan akan mengambil tindakan terhadap ibunya sendiri sebagaimana ia telah melakukannya terhadap abang-kan dungn ya. Pangeran Seda Lepen?

Orang menunggu dan menunggu dengan perasaan prihatin terhadap keselam atan wanita tua itu.

Sultan Trenggono tak mengambil sesuatu tindakan terhadap ibunya. Ia makin kran jingan m embangu n pasukan daratnya. Hampir setiap hari oran g dapat melihat ia berada di tengah-tengah pasukan kuda kebanggaannya, baik dalam latih an, sodor, mau pun ketangkasan berpacu sambil mem ainkan pedang mengh ajar boneka yang digantu ngkan pada sepotong kayu. Ia sendiri ikut dalam latihan-latihan ini.

D an dalam salah satu kesempatan semacam ini pernah ia berkata secara terbuka: “Tak ada yang lebih amp uh daripada pasukan kuda. Lihat, kawula kami semu a!”

D an para perwira pasukan kuda pada berdatan gan dan merubungnya, semu a di atas kuda masing-m asing.

“Pada suatu kali, kaki kuda D emak akan mengepulkan debu di seluruh bum i Jawa. Bila debunya jatuh kembali ke bum i, ingat-ingat para kawula, akan kalian lihat, takkan ada “Pada suatu kali, kaki kuda D emak akan mengepulkan debu di seluruh bum i Jawa. Bila debunya jatuh kembali ke bum i, ingat-ingat para kawula, akan kalian lihat, takkan ada

“Berap alah kuatnya Blam bangan dan Pajajaran? Mereka tak punya pasukan kuda. D an tanpa kuda, kedua-duanya hanya tum pukan bangkai. Siapa tidak percaya? Barangsiapa tidak percaya, jangan terburu mati, saksikan Trenggono dengan sumpahnya ini….”

Sekaligus orang mengerti ucapan itu ditujukan pada ibundanya sendiri. Tapi para bupati lebih mengerti, kebebasan mereka sedan g dalam ancaman.

D i rumah-rumah oran g kebanyakan orang pada mem bicarakan. Orang tua-tua pada mengelus dad a – bagaimana bisa seorang anak, sekalipun raja, bisa berkata begitu kasar terhadap ibunya, melalui orang-oran g lain? Tak sukakah Sultan melihat ibunya yang tua dan terhorm at itu meninggal dalam kedamaian? Tidakkah ia bisa mem bisu tanp a mengatakan sesuatu?

Ratu Aisah tidak menjawab putranya pada ketika mendengarn ya. Tetapi pada kesempatan lain, di tengah-

tengah pasar bandar Jepara, ia berkata: “Tidak percuma wanita ditakdirkan melahirkan anak. Tapi mem ang banyak yang m erasa percuma mempunyai ibu”.

D i tengah-tengah pasukan kuda yang habis berlatih Trenggo no mem anggil perwira-perwiran ya dan berkata

keras: ‘Tidak percuma seorang anak punya ayah. Almarhum Sultan Al-Fattah pun tak percuma menyebarkan ratusan mu safir, ke timur, barat, utara dan selatan . Setiap mu safir mendatangkan doa seratus hati yang rela untuk kejayaan D emak. Siapa yang belum pernah dengar nama

D emak di pulau Jawa ini? D ia tuli! Seluruh tanpa kecuali”.

D alam suatu pelantikan pasukan kuda baru ia mengatakan: “Sungguh bodoh pikiran lama yang hendak mendepai Jawa dengan kapal. Langkahi dia dengan kudam u! Sekali langkah Blam bangan pecah. Balik, dan melangkah tiga kali. Pajajaran belah”.

W an ita tua itu tak menjawab. D an orang mu lai lebih mem perhatikan Sultan Trenggono yang suaranya makin keras melantan g. Trenggono punya kekuatan bersenjata, Aisah hanya punya kebijaksanaan.

W alau demikian orang tetap bertanya-tanya, mengapa suara-suara itu tak didengungkan dari atas tahta dan hanya

di lapangan? Adakah dengan demikian nilainya bukan keprajaan? Bukan sabda seorang Sultan? Hanya ucapan pribadi semata?

Trenggo no tidak menjawab teka-teki itu dengan kata- kata, tetapi dengan perbuatan: Majelis kerajaan tak didengarkannya lagi. Ia mengikuti kemauannya sendiri. Bahkan kata oran g: Majelis yang harus mendengarkan dia.

Suaranya semakin gencar. “Tak ada yang lebih sia-sia daripada kekecilan, kekerdilan. Raja kecil dengan kerajaan

kecil, apalah artinya dilihat oleh burung-burung dari langit dan oleh ular di darat? Burung segan hinggap dan ular pun segan melatai untuk tempat bercengkeram a pun kerajaan itu tidak am an. Bukankah kalian tahu juga: rawa kecil hanya mengh asilkan ikan kecil? Tapi raja besar dan kuat mengu asai tanah untuk merebut laut. Bila tanah telah dikuasainya, m usuh takkan m enikam dari belakang, apalagi dari depan. D emak bukan M alaka, bukan Pasai. Pada suatu kali Juana akan jadi ibukota, menentang dan menentang setiap kapal Peranggi. Kawulanya akan masyhur di mana- mana. Bikin semua orang tahu, siapa Sultan Trenggono: darat akan dikuasai, laut akan dirajai, karena… G usti Ratu Aisah tidak sia-sia melahirkannya….”

Ucapan yang lantang itu didengarkan oleh para pengiring dalam suatu perburuan harim au di pedalaman

D emak. Pengepungan itu semakin rap at. Ratusan kawula

bersorak-sorak menggiring dengan bambu runcing, mengeluarkan dari rump un bam bu.

Seekor harimau betina yang sedang mem bawa anaknya mengamu k di tengah-tengah kepungan ratusan orang bertom bak bambu runcing.

Trenggo no berdiri pada sanggurdi dan berkokok: “Saksikan bagaiman a macan Peranggi akan terguling di

bawah tombak Trenggono, Sultan D emak”. Ia lemp arkan tombaknya, melayang indah ke jurusan

jantung perburuan. Tetapi binatang itu tak meneruskan jalannya dan mata tombak itu menan cap pada leher. Sang harimau menjondil, mengaum dalam kegeraman. Tak peduli pada beratus tombak yang mengepungnya ia melom pat dan menerkam, dan menggigit, dan menyobek dan menggaruk. Beberapa orang mengepung rebah bermandi darah dan kepungan rantas.

Binatang itu menyerang kembali dari belakang untuk menyelamatkan anaknya. D idap atinya anaknya telah tewas tertem busi tom bak: la angkat anaknya dengan gigitan pada tengkuk, sekali lagi menyerang kepungan dan hilang ke dalam hutan bambu dengan tom bak-tom bak pada badannya sendiri dan anaknya yang telah mati.

“Bagaimana pun ia akan mati oleh tombak Trenggono

D emak. Serahkan binatang itu pada kami.” Orang melihat wajah Trenggono pucat. Ia balikkan

kudan ya dan tanpa bicara lagi langsung pulang menuju ke ibukota. D an orang menganggap kejadian itu sebagai kudan ya dan tanpa bicara lagi langsung pulang menuju ke ibukota. D an orang menganggap kejadian itu sebagai

Setelah perburuan itu agak lama Sultan tak bicara. D an karena R atu Aisah sudah lama pun tidak bicara lagi, seakan sudah mem bisu untuk selama-laman ya, oran g menganggap pertikaian sudah selesai.

Ternyata tidak demikian. Pada suatu penutupan lomba sodor, seorang pembesar

telah menyebabkan Trenggo no bicara lagi. Sembah pembesar itu: “Sudahkah G usti Kanjeng Sultan

pertimbangkan nasib Sunan Rajeg yang ditumpas hanya oleh seorang anak desa bernam a Wiranggaleng?”

Sejenak Trenggo no termangu-m angu untuk menjawab. Ia tarik-tarik dagunya, kemudian menjawab lantang: “Bukankah itu sama halnya dengan Kuti ditump as oleh

G ajah Mada di jaman jahiliah dulu? Ingat-ingat kesalahan Kiai Benggala itu: dia tidak berbuat sesuatu pun untuk kejayaann ya sendiri. Semua orang lain yang harus bekerja dan mati untuk dia. Ajaran dipergunakannya sebagai mo dal, dan ia hanya mem ungut bunga dari mo dal yang diberikan oleh Allah kepadanya. Tuban m engutuknya. Ilmu dan pengaruhnya sangat, sangat tinggi di tengah-tengah padang semak belukar. Maka bila bukan petir yang menyam barnya, hanya seekor oret mem atahkan batangn ya. W alhasil dia roboh juga. Itulah nasib semua penguasa yang dalam segala hal, kecuali cebok dan berak t ergantung pada jasa orang lain. Ingat-ingat semua itu, karena Sultan Trenggo no tidak akan pernah demikian”.

Ratu Aisah tetap mem bisu.

W an ita tua itu mempunyai kesibukan sendiri. Setelah wafatn ya putra tercinta orang sering melihatnya ditandu ke Mantingan dari Jepara.

Pembangunan itu sendiri dilakukan oleh tukang bukan Tionghoa berkuncir yang didatangkan dari Semaran g, bahkan juga tatabangun diserahkan pada mereka. Tukang- tukang Pribumi oleh Unus diperintahkan belajar bagaimana mem bikin batu dan mem bangun rum ah dari batu. Maka mesjid itu akan jadi bangun an batu yang ke tiga di seluruh Jepara. D an ke tiga-tiganya dibangun oleh tukang-tukang dari Semarang. Bangunan ke dua adalah gedung batu berlantai rendah di W elahan. Pada mu lanya masyarakat Tionghoa akan mempersembahkannya pada Sultan Unus untuk dijadikan pesanggrahan. D engan wafatn ya mereka mem batalkan niat itu.

Mesjid Mantingan didirikan dengan lantai tinggi ditutup dengan ubin bikinan Tiongkok, dan demikian juga undak- undakannya. Semua didatangkan dari Makao. Bangun atap term asuk hubungan adalah gaya Tiongkok. D in ding luar dan dalam dihiasi dengan piring tembikar bergam bar biru sedang dinding sebelah tempat iman dan khatib dihiasi dengan relief-relief persegi bergam bar margasatwa dan penari-penari yang dipahat pada batu cadas kuning tua.

Pengawas pekerjaan baik di W elahan maupun Mantingan tak lain daripada Babah Liem Mo Han.

Pada suatu hari dalam pertemuan antara Ratu Aisah dengan Liem Mo Han, di dalam mesjid yang hampir selesai itu, terjadi suatu percakapan yang kembali mem bangun kan pada lain orang pada pertikaian antara ibu dan anak.

“Seorang raja di Jawa yang kuat dalam pendirian dan terhormat dalam tindakan adalah yang seperti almarhum Unus. Sayang Allah belum mengijinkan, cedera badan “Seorang raja di Jawa yang kuat dalam pendirian dan terhormat dalam tindakan adalah yang seperti almarhum Unus. Sayang Allah belum mengijinkan, cedera badan

Liem Mo Han tidak menyela, hanya mendengarkan dengan menundu k. D an ia tahu tak boleh mencampuri pikiran G usti Ratu. Lagi pula ia m enganggap wanita tua itu sedang melepaskan pikiran nya sendiri tak mengh endaki tanggapan. Kata-katanya samp ai juga ke D emak.

Kembali orang tergugah oleh pertikaian lama antara ibu dan anak. D an berita itu sampai juga ke Pasai dan Malaka.

Portugis menarik kesimp ulan: Trenggono terang bukan Unus. Armada Unus dalam persiapan mereka anggap mem ang sudah tenggelam sebelum diturunkan ke laut. D an Portugis mem utuskan untuk memadam kan pengaruh Ratu Aisah.

Maka terjadilah apa yang mereka kehendaki.

0o-d w-o0

Pagi itu matari belum lagi setinggi poho n pisang. Bangku kayu jati terukir dalam itu tidak lagi kosong seperti biasanya. Ratu Aisah duduk di atasnya. Telunjuknya yang Pagi itu matari belum lagi setinggi poho n pisang. Bangku kayu jati terukir dalam itu tidak lagi kosong seperti biasanya. Ratu Aisah duduk di atasnya. Telunjuknya yang

D engan suara tuanya yang masih juga lantang ia berkata dalam Melayu: “Bagaimanakah, perempuan Melayu, istri seorang Peranggi Malaka, Sibarani itu seberangi laut jauh, datang pada kami, hanya untuk menyamp aikan surat Peranggi yang sehina ini isinya? Tidak, peremp uan M elayu, tak patut kami balas surat ini. Pulanglah kau kembali. Sam paikan pada Peranggimu, entah di Malaka, entahlah di Pasai, entah di mana lagi tak ada perselisihan antara kami dengan G usti Kanjeng Sultan dapat mengu asai seluruh

Jawa. G usti Kanjeng Sultan tak mem butuhkan meriam Peranggi. Bahkan sekiran ya Aisah ini pula, kami sendiri akan datan g menggambar Malaka”.

Tidak tercentakan lagi bagaimana kisah perempuan Melayu itu. Apakah ia balik ke negerinya atau tidak, pun tiada yang tahu. Ada berita tentang penghadap an itu pecah sejadi-jadinya ke seluruh dan semua bandar di Nusantara.

D i Jawa sendiri para bupati merasa lega dari ketegangan melawan Trenggo no. Walau demikian mereka tetap

bersiaga menghadapi segala kemungkinan. Perbedaan antara Unus dan Trenggono terlalu besar. D an berapa bedanya dua oran g dari satu oran g tua dan satu pendidikan itu. Sekiranya Unus masih hidup dan berseru para bupati untuk melakukan serangan gabungan ke Malaka, mereka akan bergabung tanpa ragu-ragu. Tetapi Trenggono mengancam mereka dengan perang perluasan kekuasaan yang takkan menyatu akibatnya.

O0dwoO

W alaup un utusannya pada R atu Aisah tak m embuahkan sesuatu hasil, Portugis di Malaka untuk sementara waktu W alaup un utusannya pada R atu Aisah tak m embuahkan sesuatu hasil, Portugis di Malaka untuk sementara waktu

Tolakan sedang bermuslihat dengan gembar-gembornya, pura-pura hendak menguasai Jawa dan menutup terhadap Peranggi. Pada dasarnya ia sama dengan abangn ya: Malakalah justru yang akan dibikinnya jadi bulan-bulanan.

masanya untuk melaksanakan pembukaan “kantor dagang” di Jawa, di Sunda Kelapa pun belum walau tempatnya jauh dari

Maka diputuskanlah:

belum

D emak. Pengaruh Unus masih tetap kuat. Rencana Sunda Kelapa harus ditangguhkan. Kedatangan wanita Melayu mengadap Ratu Aisah dan

berita tentang penolakan tawaran meriam itu benar-benar mengejutkan Trenggono. Ia sama sekali tidak menduga wanita tua itu bisa berkata yang begitu indah, menyelamatkan nam anya dari kecam an um um. Tetapi ia pun menjadi murka karena perempuan itu berani begitu lancang bicara atas namanya.

Para pembesar telah mencoba-coba mengetah ui tanggapannya atas ucapan Ratu Aisah. D an ia merasa harus mengendalikan diri. Bagaimanapu n suara itu berasal dari seorang ibu, dan bagaimanapun kedudukannya sendiri adalah seorang anak.

Ucapan, bahwa tak ada pertikaian antara ibu dan anak, akan dipergunakan nya sebaik-baiknya. Ia harus belajar mengambil manfaat dan setiap hal yang m enguntungkan.

Maka pada suatu hari yang tak terduga-duga, dalam iringan pasukan kuda. Sultan Trenggono berangkat ke Jepara untuk bersujud pada G usti Ratu Aisah. Orang harus Maka pada suatu hari yang tak terduga-duga, dalam iringan pasukan kuda. Sultan Trenggono berangkat ke Jepara untuk bersujud pada G usti Ratu Aisah. Orang harus

Pasukan kuda itu berbaris dengan segala kebesaran dan kemewahan. Mereka semua bersenjata tom bak tunggal dengan um bai-umbai berwarna-warni pada persambungan antara paksi dengan tangkai. D ada mereka yang tertutup baju kutang putih. D an pedang pendek mengh iasi setiap pinggang. Juga kepala kuda dihiasi dengan warna-warni bunga-bungaan sedang abah-abah dengan kuningan dan perunggu. Um bul-um bul kecil berkibar-kibar di tengah- tengah, di depan Sultan.

Tak pernah D emak, apalagi Jepara, menyaksikan pasukan kuda berbaris sepanjang dan seindah itu. D an mereka berangkat tanpa sepengetahuan Majelis Kerajaan.

D i Jepara sebagian besar pasukan berpawai ke sekeliling kota – suatu pameran kekuatan darat yang tak pernah sebelum nya dalam sejarah Jepara.

Sebagian kecil pasukan mengiringkan Sultan untuk mendapat G usti Ratu Aisah.

Trenggo no disambut oleh ibunya di pendopo. Pasukan kuda yang mengiringkan berbaris mengelilingi rumah itu seakan sedan g m engepungnya.

Ratu Aisah duduk di atas bangku kayu berukir. D i lantai dud uk para inang, sedang Trenggono dudu k di atas kursi di

hadapannya – lebih tinggi, karena dialah Sultan. Ratu Aisah mengenakan kain batik, kemben wulung dan

selendang batik. Pada kepalanya seperti biasa, menghias kerudung batik pula. Sultan mengenakan jubah sutra kuning dan bersorjan kuning pula. Sorban itu berhiasan rantai m as dengan intan bertaburan pada jum bai balik di atas kening – selendang batik. Pada kepalanya seperti biasa, menghias kerudung batik pula. Sultan mengenakan jubah sutra kuning dan bersorjan kuning pula. Sorban itu berhiasan rantai m as dengan intan bertaburan pada jum bai balik di atas kening –

Pertem uan ini adalah suatu kejadian yang akan menentukan nasib Jawa dan N usantara di waktu dekat mendatan g dan jauh di kemudian hari – pertemuan antara ibu dan anak, perbenturan antara dua pandan gan dan pendapat.

Ratu Aisah mem utar-mu tarkan tangkai bunga kuning dengan jari-jari tuan ya. Bunga itu bermain-main di atas pangkuannya, bolak-balik seperti roda kereta D engan senyum pada bibir yang dihiasi merah sirih dan dengan suara lemah ia berkata: “Sembah dan sujud putran da Bagin da Sultan adalah laksana siram an air sejuk di hati bunda dalam terik berapa tahu n. Alham dulillah Bagin da Sultan tiada malu menengok si tua-renta ini. Maklum Bagin da Sultan adalah putra Sultan dan Khalifah, sedang si tua-renta ini hanya anak seorang guru agam a di pesisir.”

“Ah. ibunda Ratu. seakan kata-kata itu telah ibunda pilih agar tak terulang lagi yang telah ibunda R atu ucapkan pada

kakanda Unus almarhum. Apakah kasih ibunda Ratu pada almarhum haru s mengu rangi kasih pada sahaya?”

“Jangan menjadikan kecil hati Baginda Sultan. Seorang ibu mengasihi semua putran ya”, jawab Ratu Aisah, dan tangannya masih terus juga mem utar-mutar tangkai bunga itu.

“Ada terasa di hati besarn ya kasih tiada sama, ibunda Ratu.”

“Apa hendak dikata. Kadang ada seorang putra yang lebih mem esrai seorang ibu, kadang seorang ibu lebih dimesrai, kadan g seorang putra lebih dimesrai karena apa yang telah dipersembahkannya pada ibunya.”

“Berilah sahaya waktu dan kesempatan, Ibunda Ratu, untuk mendapatkan kemesraan yang merestui itu,” kata Trenggo no dan ditudingnya pasukan kuda yang berbaris di luar. “Pasukan kuda, Ibunda Ratu, kebanggaan Trenggono dan D emak”.

“Syukurlah ada pasukan kuda peninggalan ayahan da almarhum dan dikembangkan oleh kakanda Baginda Sultan Unus almarhum: Sungguh patut jadi kebanggaan”.

“Baru di tangan Trenggono m endapatkan bentuknya”. “Syukurlah. Allah telah mengabulkan”. “Ibunda Ratu, Kakanda Unus almarhum telah

mem persembahkan pertemp uran Malaka ke bawah kaki Ibunda Ratu. Trenggono akan persembahkan seluruh Jawa ke bawah duli kaki Ibunda. Tidak akan lama lagi, ibunda Ratu, dan seluruh Jawa akan sujud padam u. Insya Allah. Kalau tangan seorang raja D emak mu lai menggenggam tanah, tak sebutir pun pasir akan lolos dari jari-jarinya.”

“Butir-butir pasir pesisir itu bukanlah gumpalan tanah lemp ung pegunungan, Putran da Baginda Sultan. Putran da

Sultan tidak dilahirkan di pantai seperti ibunda ini, tapi di atas gumpalan tanah lempung pegunungan. Ibunda dilahirkan di pesisir G resik maka tahu tentang pasir.”

Trenggo no tak mengindah kan dan meneruskan: “Tak sebutir pasir pun akan lolos. Sebutir pun Peranggi takkan

mem perolehnya.” “Pasir telah tergenggam di tangan Peranggi di sebelah

utara sana.” “Yang di utara takkan berarti tanpa selatan.”

“Mu ngkinkah Putran da Baginda Sultan? Mungkinkah tangan itu dapat mengepal menggenggam kalau darah kehidupan tak ada di dalamn ya?”

“Tangan Trenggono bukan tangan bangkai!” Trenggono mem otong gusar.

“… karena nadi darah kehidupan mengalir adalah selat Semenanjung di utara sana?”

“Sultan Trenggono tak pernah mengatakan nadi darah kehidupan ada di selat, karena D emaklah jantung kehidupan”.

“Apalah artinya jantung tanpa darah kehidupan? D an dap atkah jari-jari menggenggam m engepal tanpa darah?”

“Karena tanah dapat digenggam, dan air tidak”. “Kalau orang menolak air, pasir takkan didapatnya,

darah pun hanya sekedar untuk bertumpu agar tak tenggelam. Bukankah laut lebih luas dan lepas dari pada darat?”

Sekali lagi Trenggono tak mengindahkan. Ia kepalkan tangan jadi tinju dan diusap-usapnya di hadapan ibunya.

“Betapa indah tangan yang sudah terkepal jadi tinju”. “Putranda Bagin da Sultan,

bayi lahir dengan mengepalkan tinju, o-rang mati meregangkan jari-jari. D ia takkan mengepal lagi. Tapi bayi itu tidak mengepal tanah.

D ia mengepal hari depan. Apakah juga indah kalau kepalan itu dihadapkan pada seorang wanita, dan wanita itu

ibundanya sendiri, dan tak ada hari depan di dalamn ya?” “Ampun, Ibunda. Dijauhkan putran da ini hendaknya

dari mengh adap kan pada Ibundanya sendiri. Tapi tinju ini mem ang dihadapkan, insya Allah, dikodratkan, insya Allah, ditakdirkan, insya Allah, untuk mengepal pulau

Jawa, Ibunda Ratu, dan tidak lain dari restu Ibunda Ratu jua sahaya pohon. ”

“D engarkan kata-kata seoran g ibu, biarpun putranya telah raja, ” kata Ratu Aisah terburu-buru, kuatir Sultan akan segera pergi karena marah, “tak ada indahnya sebuah kepalan, sebuah tinju, kalau mata tidak melihat. Mata yang jeli lebih indah, putran da Baginda Sultan, karena tiada mata, jangan kan satu, satu laksa tinju pun takkan dap at merebahkan batang jarak, mereka tak tahu tempatnya, tak tahu sasarannya. Dia pun takkan mengepal, apalagi meninju. D ia hanya akan gerayangan.”

Orang melihat Trenggono menjadi gugu p. Sudah beberapa bentar ibunya berhenti bicara. Ia masih juga belum menem ukan kata. Sunyi-senyap di seluruh pendopo.

D an R atu Aisah tetap memu tar-mutar tangkai bunga. “Ibunda Ratu”, terdengar Trenggono bicara dengan nada

rendah, “biarlah mata yang jeli itu melihat sebaik-baiknya, dan biarlah tangan itu mengepal dan meninju sebaik- baiknya, pula.”

Trenggo no berpaling ke belakang pada para pembesarnya. Seorang pun tak mem bantunya bicara. D an Ratu Aisah mengawasi putranya dari tempat duduknya.

“Ibunda Ratu,” katanya lagi. “Jari-jari putranda akan mencengkam ke arah matari terbit dan ke arah matari

tenggelam, agar surya tetap mem ancar di atas kepala, di atas bum i D emak. Kakanda Unus almarhum … Peranggi tidak dikalahkan, tangannya kosong, jari-jarinya terburu merenggang. Tak ada air dan tak ada tanah pernah digenggamn ya.”

“D an pada waktu itu Kakandam u Unus almarhum pulang mem bawa kekalahan. Peranggi belum lagi sekuat sekarang. Maka dibangun kannya armada perkasa, dan “D an pada waktu itu Kakandam u Unus almarhum pulang mem bawa kekalahan. Peranggi belum lagi sekuat sekarang. Maka dibangun kannya armada perkasa, dan

“Ibunda Ratu….” “D engarkan

Kakandamu almarhum: ‘Barangsiapa berpendapat mengu asai Jawa lebih penting daripada

mengh ancurkan Peranggi dia akan dikutuk oleh anak-cucu, karena sudah tahu sebelum nya, pendapatnya itu telah menyerahkan si anak-cucu untuk jadi terkaman Peranggi sudah sejak dalam kandungan ibunya.”

“Peranggi akan dihadapi di darat.” “Ham pir setiap bocah mengatakan begitu”. “Maka darat harus dikuasai”, sekali lagi Trenggono

menengok ke belakang. “Kalian! Persembahkan sampai di mana kesanggupan kalian”.

“Kepala dan hati patik sekalian sudah patik pertaru hkan untuk mempersembahkan seluruh Jawa ke bawah duli Kanjeng G usti Sultan”, seseorang mem persembahkan.

“Begitu Unus wafat”. Ratu Aisah meneruskan tanpa mem pedulikan kata persembahan pembesar pasukan kuda

D emak. “Pasai segera direbutnya. Sekarang Peranggi sudah mencoba-coba di Sunda Kelapa dan Blam bangan. Apa bakal terjadi lusa?”

“Lusa Sunda Kelapa dalam genggaman Trenggono, Ibunda Ratu. Jangan kuatir. Sultan D emak menjanjikan:

Peranggi takkan mengu sik pulau Jawa selam a dia masih hidup”.

Ratu Aisah bangkit dari bangkunya, mendekati Trenggo no m enyerah kan tangannya untuk dicium.

Suasan a hening tanpa perbenturan itu, menampilkan mereka seperti seorang ibu muda dengan seorang anak bayinya. W anita tu a itu mem egangi kedua belah pipi Sultan dan menatap wajah Sultan dengan mata sayu, dan mata itu berkaca-kaca.

Trenggo no tak berani menentang mata itu dan menundu k. Rasa-rasanya pertikaian telah punah, tak ada

lagi jarak antara ibu dan anak. Percakapan terbuka dan terdengar setiap oran g yang

hadir kini berubah jadi bisikan, dimu lai oleh Ratu Aisah: “Putranda Bagin da Sultan, waspadalah terhadap racun. Biar setitik raksasa pun bisa binasa, jari tak dapat bergerak lagi apa pula tangan. D an setiap pikiran yang keliru adalah racun , bisa mem bunuh setiap raja. Barang siapa tak waspada, dia bisa tewas sepuluh kali sebelum mati. D an racun itu selam anya bersumber pada pikiran sendiri.”

Trenggo no melepas kedua belah tangan ibunya dari mu kanya M ukanya m asih tetap menundu k.

“Ibunda Ratu,” bisiknya kembali, “mata yang jeli dikodratkan untuk melihat, dan apa guna jari-jari dan

tangan kuat kalau bukan untuk menggenggam ? Mata yang jeli dan tangan yang kuat diketahui hanya pikiran yang jernih.”

‘Tak taulah aku kapan Allah akan m emanggil diri. R asa- rasan ya tidak akan lama. Sebelum panggilan datang, Trenggo no, anakku, hapuskan darah abangm u yang kau kucurkan di bumi Allah ini. Tanpa am pun-N ya takkan ada ‘Tak taulah aku kapan Allah akan m emanggil diri. R asa- rasan ya tidak akan lama. Sebelum panggilan datang, Trenggo no, anakku, hapuskan darah abangm u yang kau kucurkan di bumi Allah ini. Tanpa am pun-N ya takkan ada

W aktu Aisah menolakkan bahu Sultan supaya pergi, orang melihat mata wanita tua itu semakin berkaca-kaca. Bunga di tangann ya jatuh di lantai tanpa disadarinya.

0odwo0