Meningkatnya Kericuhan

13. Meningkatnya Kericuhan

Kuda itu berjalan pelan-pelan mem asuki Pecinan. Bulunya putih berbelang hitam di sana-sini. Langkahnya

beriram a. Kaki-nya yang pancal hitam berjatuhan seperti menari di atas jalanan batu, dari kejauhan namp ak seperti

serangkaian ton gkat putih berdasar hitam sedang menderam kan genderang.

D an di atasnya duduk W iranggaleng mengenakan seluar panjang dari kaliko. Bagian atas seluar tertutup dengan kain batik yang dipasang miring dan bersibak pada belahan tengah nya.

Pada pinggangn ya terbelit sabuk kulit bersulam benang perak di mana terselit sebilah keris bersarong perak berhulu kayu hitam. Hulu itu sendiri berukir kepala katak, dilibati tali sutra yang berujungkan serangkaian pendek batu mirah.

D adanya tertutup oleh kutang berlengan pendek seperti baju antakesum a, dan pada dadanya tergantung kalung berbandul perhiasan perak ukiran bergam bar pohon kehidupan diapit oleh lima buah roda, seperti bandu l yang biasa dikenakan oleh pangeran-pangeran Majapahit. Seluruh Tuban mengetah ui, biarpun perhiasan itu hanya terbuat dari perak namu n pertanda karunia tertinggi dari Sang Adipati untuk seorang pejabat dari desa. D an bentuk bandu l itu menyerupai ikan, sebagai lamban g punggawa yang punya hubungan pekerjaan dengan laut. Perhiasan itu berukir timbul, sedang batu mirah sebesar kemiri dikelilingi kalim aya kecil-kecil putih keruh m engkilat m erupakan m ata dari ikan perak itu.

Pada lengan nya terhias dua lembar gelang baja bersalut kulit di dalamn ya sebagai tanda punggawa menengah .

D ua oran g berkuda m engikuti di belakang, bersenjatakan tom bak dan perisai. Pedang tergantung pada pinggang masing-m asing.

D i sepanjang jalan tak henti-hentinya Syahbandar-muda mem balas hormat orang lalulalang dengan sembah dada.

“Tuan Syahbandar-muda!” seseoran g memanggilnya dalam Melayu. “Berhenti dulu, Wira.”

Ia mengh entikan kudan ya menengok ke arah datangn ya suara. Dilihatnya seoran g Tiongho a berkuncir tanpa topi sedang siap hendak m enghampirinya sambil menutup pintu gerbang rumah. Ia bercelana dan berbaju kain katun dan berbuah baju kain pula.

W iranggaleng turun dari kudan ya. Sudah beberapa kali ia melihat orang ini, tetapi tak pernah tahu nam a dan tak tahu rum ahnya. Ia berdiri tegak di samping kudanya menunggu oran g ilu meneruskan kata-katanya.

D an orang itu mem berikan hormat dengan caran ya sendiri, tersenyum ramah. Juga matanya yang sipit ikut tersenyum.

“Ada pada sahaya sepucuk surat untuk Tuan Syahbandar-m uda, ” katanya sambil menyerahkan. “Kalau W ira berkenan barang sebentar di warung Yakub….”

W iranggaleng mem perhatikan orang yang fasih Melayu itu dan sekaligu s menduga, orang itu seorang pedagang

yang sudah lama tinggal di Malaka dan sudah berpengalaman di bandar-bandar N usantara.

“Ada sesuatu yang sahaya hendak sampaikan.” Ru pa-rupanya orang itu merasa sedang dikaji oleh mata

punggawa itu. Ia pertahankan senyum pada bibir dan matanya.

D engan tangannya ia mem beri isyarat D engan tangannya ia mem beri isyarat

pandan g pada kuncirnya, hitam agak kemerahan. D an ia terima surat itu dengan diam-diam dengan mata tetap memperhatikannya.

Syahbandar-m uda

menyapukan

“Tuan akan tahu tentunya dari siapa surat itu.” “D ari siapa?” tanya W iranggaleng. “D ari Mohamm ad Firman.” “Tak ada aku kenal orang Islam bernama begitu.” “Sahaya hanya sekedar menyampaikan.” “Islam baru atau lama?” “Tak ada Islam lama, Wira, semu a baru.” “D i m ana tinggalnya?” “Tidak menentu, Tuan Syahbandar-m uda. Dia seorang

mu syafir D emak, m engembara ke mana-m ana.” “Apa itu musyafir D emak?” “Semacam pekerjaan, W ira.”

D an teringat olehnya akan Anggoro alias Hayatu llah di Jepara dulu. Ia mengangguk. Surat itu belum juga

dibacanya. Ia lebih tertarik pada pengirimn ya – seorang Islam baru dan mu safir D emak. Bertanya: “D i mana kau bertemu dengannya?”

“D ulu, Wira, di Lao Sam. Dia pernah tinggal bersama sahaya. Sudah sahaya an ggap sebagai anak sendiri. Artinya,

sebelum dia m asuk Islam,” dan ia tetap tak m emperlihatkan tand a-tanda menyilakan masuk ke rumahnya. Malah ia mencari tempat teduh di bawah sebatang pohon asam.

“Apakah balasan diharap kan dengan segera?” “Tidak, Wira, tidak.” Kemu dian ia berkata dengan nada

lain, “Maafkan, tidak sahaya antarkan surat ini ke kesyahbandaran. Susah bisa masuk ke sana.”

“Ya,” dan Wiranggaleng m ulai mem bacanya.

D ua orang pengiringnya masih tetap duduk di atas kuda, mem perhatikan. Tombak mereka terpanggul pada bahu masing-m asing. Tiba-tiba mereka melihat perubahan pada wajah W iranggaleng dan mem ajukan binatang mereka beberapa langkah serta m enyiapkan tombak.

Juara-gulat itu memang sedang tertegun melihat lengkung-lengkung huruf pada tulisan Jawa itu serta

pasangan yang selalu kebesaran. Ia mengenal tulisan itu – sama dengan yang pernah diperlihatkan padanya oleh Sang Adip ati. Surat itu telah diambil oleh penguasa Tuban itu dari cepuk subang N yi Ayu Sekar Pinjung, dah ulu selir kesayangan.

Ia angkat pandangnya pada dua orang pengiringnya, melambaikan tangan dengan surat kertas pada tangann ya,

dan pergilah m ereka mendahului ke pelabuhan. “Pengirim ini bernama Mohammad Firman?” “Benar, W ira.” “Sebelum masuk Islam apakah namanya? Bukankah

Pada?” “Benar, Tuan Syahbandar-muda.”

Berdua m ereka berjalan ke warung Yakub. W iranggaleng sambil menuntun kuda. Mereka diam-diam tak bicara. W arung itu mengh adap ke suatu ceruk di mana berlabuh perahu-perahu nelayan. D an bila pandang m ata oran g telah Berdua m ereka berjalan ke warung Yakub. W iranggaleng sambil menuntun kuda. Mereka diam-diam tak bicara. W arung itu mengh adap ke suatu ceruk di mana berlabuh perahu-perahu nelayan. D an bila pandang m ata oran g telah

Sam bil dud uk di atas bangku mengh adapi cawan-cawan arak juara gulat itu mulai m embaca lagi:

“Dari Mohammad Firman kepada Syahbandar-muda T uban, W iranggaleng. Ketahuilah, Kang Galeng, kakangku sendiri, dalam keadaan sehat telah aku tinggalkan Lao Sam. Ingin hati datang menyembahmu, ingin hati menengok Mbokayu Idayu. Bagaimana mungkin? T uban telah membunuh aku dan melemparkan aku ke laut. T uban itu juga yang tetap menginginkan nyawaku, sekiranya diketahui aku masih hidup. Pasti engkau mengerti, Kang Galeng, kakangku sendiri, betapa besar harapanku diperkenankan menggendong dan memomong kemenakanku. Betapa akan menarik kemenakan itu. Ayahnya seorang pegulat gagah-berani tanpa tandingan. Ibunya seorang penari rupawan, impian dan pujaan setiap pria… .”

W iranggaleng berhenti membaca. Ia merasa seakan disengat lebah. Sindiran kah ini terhadap kemalangann ya, kemalangan suami-istri? Atau dia tidak tahu? Ia pandan gi orang Tionghoa yang dud uk di sampingya dan masih juga tersenyum dengan bibir dan matanya.

Melihat sedang ditatap ia mengangguk seakan mem benarkan

perbuatan itu mengh ilangkan kecurigaan

bacaannya.

D an

G aleng. Ia meneruskan bacaannya:

“A dikmu yang nakal ini tiada kan melupakan kakangnya, kakangnya sendiri, yang telah berikan hidupnya kembali. Biarpun adik ini senakal setannya T uhan Allah, Kang, dan biarpun kakangnya bukan atau belum seagama dengannya, dia tetap kakangnya yang harus dibalas budinya.

Mungkin juga suatu balas budi padamu, Kang, kalau dalam surat ini aku dapat manawarkan padamu seorang yang dapat Mungkin juga suatu balas budi padamu, Kang, kalau dalam surat ini aku dapat manawarkan padamu seorang yang dapat

Sementara itu orang Tiongho a itu telah m engatur cawan- cawan arak di atas meja di depan m ereka. Ia menyodorkan sebuah cawan sambil berbisik: “Sahaya bersedia m embantu Tuan Syahbandar-m uda, ” ia masih juga tersenyum. “Liem Mo Han nama sahaya,” suaranya jelas walaupun warung itu ramai dengan gelak-tawa dan obrolan para peminum.

Yakub mem perhatikan keduanya dengan selintas. Menyedari akan pandan g mata pewarung itu Liem Mo

Han mengajaknya minum, untuk kemudian keluar dengan nya berjalan-jalan disepanjang dermaga. Senyumnya yang menarik dan mencurigakan sekaligu s, untuk ke sekian kalinya m emaksa ia menerima ajakannya.

D an mereka berjalan beriringan diikuti oleh pandang mata semua yang tertinggal.

Beberapa buah jung Tiongkok sedang berlabuh di sana. Kedua orang itu tidak menaruh perhatian dan terus juga berjalan.

“Mem ang sahaya sedia mem bantu,” Liem Mo Han mengu langi katakatanya dalam surat itu, sekarang dalam Jawa halus. “Mo hamm ad Firman telah mem bicarakan kemungkinan ini dengan sahaya, lama dan berkali-kali. Sahaya yakin, tenaga sahaya memang Tuan perlukan, W ira.”

W iranggaleng m asih jua belum mengerti maksudnya dan diam mendengarkan.

“Mo hamm ad Firman dan sahaya tahu, ada satu kesulitan pada Tuan yang Tuan tidak bisa atasi, yaitu basa

Peranggi. Kalau hanya Syahbandar Tuban Sayid Habibullah Almasawa saja yang bisa, tak adalah orang yang dap at mengawasi pekerjaan nya. Sahaya bisa bahasa itu, Tuan. Tiga tahu n lamanya sahaya bergaul dengan oran g- orang P eranggi.”

“Babah dan Pada sungguh tidak keliru.” “Kalau ada surat-surat Peranggi, sahaya akan bacakan

untuk W ira.” “Sayang, sekiran ya Babah datang lebih dulu,”

Syahbandar-m uda itu berkecap-kecap menyesali. “Sahaya datang setelah dap at mengalahkan keragu-

raguan. Adakah kiran ya surat-surat yang haru s sahaya bacakan?”

“N anti pada waktunya, Babah.” “D i samping itu, Tuan Syahbandar-muda, masih ada

satu perkara lagi. Sahaya sedang memburu dua orang Peranggi, Esteban dan Ro driguez namanya. Mereka lari dari Lao Sam melalu jalan darat. Mereka lari ke mari. Entah di mana mereka bersembunyi tadinya sahaya tidak tahu . Baru setelah kapal Peranggi itu berangkat, nampak mereka oleh sahaya ada di gubuk pelacuran di daerah pelabuhan .

“Tak ada larangan selam a mereka tidak meninggalkan pelabuhan atau memasuki kota atau pedalaman.”

“Benar, Tuan Syahbandar-m uda. Tetapi Peranggi adalah Peranggi, di mana-mana kejahatannya sama saja, dan hanya kejahatan itu juga yang bisa diperbuatnya. ”

“Bukankah mereka itu yang dulu dikejar-kejar di Jepara?”

‘Tidak keliru, W ira, itulah m ereka.”

“Mata-mata.” “Sahaya belum dapat m emastikan. N ampaknya m emang

demikian.” “Aku sudah lihat orang-orang itu di bandar Jepara.

Bagaimana Babah bisa tahu mereka ada di sini?” “Lam a sahaya memburu mereka. Tahukah, Tuan,

mereka adalah kanonir, penembak meriam Peranggi? Penembak meriam!”

“Penembak meriam!” “D an sekarang mereka bersembunyi di bawah

perlindungan T uan Sayid sendiri? Hampir-h ampir satu atap dengan W ira?”

“Ha?” seru W iran ggaleng, ia mencoba menem busi mata Liem Mo Han untuk dapat m embaca pedalamannya.

“Bukankah Tuan sahabat Mo hammad Firm an?” W iranggaleng mengangguk mem benarkan. “Mohamm ad Firm an adalah anak-pungut sahaya. Patutkah sahaya mengatakan yang tidak benar pada Tuan?”

W iranggaleng meletakkan kedua belah tangannya yang kukuh itu pada bahu Liem Mo Han. D an orang

meyakinkannya dengan senyum pada bibir dan matanya. “Mereka tidak melanggar ketentuan, Peranggi-p eranggi

itu. Syahbandar Tuban pun tidak,” kata Sang Patih. “Tak ada alasan untuk melaran g atau bertindak. Mencurigakan?

Ya. Siapa tidak mencurigai Peranggi? Awas-awaslah selalu, tak boleh ada satu kejadian di daerah bandar yang menyalahi ketentuan.”

“Mereka melakukan kejahatan di mana-mana, G usti.” “D i sini tidak atau belum . Babah boleh mem bantumu,

bukan untuk dap at menangkap orang-oran g Peranggi itu, bukan untuk dap at menangkap orang-oran g Peranggi itu,

G usti,” W iranggaleng m emoton g.

“Mereka tinggal

di

kesyahbandaran,

“Lebih baik lagi, dan mem ang sudah jadi hak orang asing di sini. Selidiki dulu benar-tidaknya.”

“Mereka pelarian dari kapal Peranggi, G usti, penembak- penembak meriam. ”

“Penembak meriam! Kalau itu benar justru semakin menarik, W ira. Cetbang kita tak bisa tandingi meriam mereka. D an kalau benar mereka pelarian, dan penembak meriam pula, G usti Adipati tentu akan menaruh perhatian. Meriam, Wira, bukan cetbang. Meriam adalah meriam, dan kita belum bisa bikin. Kau mu ngkin sudah pernah melihatnya di Malaka atau di kapal Peranggi kemarin. Aku belum . Meriam, Wira! Setelah kekalahan Pati Unus di

Malaka, semua tahu: meriam saja kunci kemenangan. Tuban akan bikin ini jadi pekerjaan, Wira. Siapa tahu mereka bisa membikin untuk Tuban? Biarkan mereka tinggal di kesyahbandaran. Pergi!”

Setelah menerima Sang Patih dan setelah bercengkerama di taman kesayangan, Sang Adipati Tuban m asuk ke dalam

harem. Pintu-pintu telah tertutup pada malam berangin itu. Pada

pengurus baru ia berbisik m emperingatkan: “Jangan sampai terulang lagi peristiwa N yi Ayu Sekar Pinjung. D an jangan kau ulangi perbuatan N yi G ede Kati. Hukuman yang akan dijatuhkan kemudian akan lebih berat.”

Ia diam m endengar-dengarkan.

D an mem ang ada didengamya suara-suara beberapa orang selir sedang bicara-bicara dalam salah sebuah bilik yang terkunci dari dalam.

“Siapa itu?” bisiknya bertanya. “Ampun, G usti Adipati sesembahan patik, tiada lain dari

kawula G usti N yi Ayu Ruti dan N yi Ayu Utami.” “N yi G ede D aludarmi, biasakah mereka berkunci pintu

sebelum waktunya?” “Tidak, G usti, patik tidak tahu mengapa sekarang

begitu.” Sang Adipati meninggalkan D aludarmi bersimpuh di

tanah dan pelan-pelan mendekati pintu untuk mendengarkan.

“… siapa tidak tahu tidak kuatir? Sapi-sapi kita bisa punah. Panen kita bisa mu snah,” penguasa Tuban itu mendengar.

“Apa belum juga ada yang mempersembahkan?” suara yang lain.

“Kerusuhan sudah meruyak ke m ana-m ana,” suara yang ketiga.

“Katanya pagardesa sudah tak mampu. N am paknya Ki Aji Benggala sudah tak mengirimkan ke T uban. Bagaimana desamu ?”

“Belum sam pai ke perbatasan desa kam i,” jawab yang ke empat.

“Tapi siapa tahu? Barangkali mereka sudah samp ai juga ke sana sekarang?”

“Kalau G usti Adip ati belum menggerakkan balatentara, tentu belum ada yang mem persembahkan,” suara pertama menyimpulkan.

Sang Adipati kembali mendekati N yi G ede D aludarmi yang m asih juga bersimpuh di tanah.

“Berap a um urm u, D aludarmi?” bisiknya bertanya. “Tiga puluh lima, G usti, menurut perhitungan surya.” “Apakah kau Islam?” “Patik, G usti.” “Mengapa menurut perhitungan bulan?” “Patik tak tahu menghitungnya, G usti.” “G ila, bulan dipergunakan sebagai hitungan. D aludarmi!

Hidup di tengah-tengah selir begini, tidakkah kau ingin juga jadi selir?”

G usti Adipati sesembahan patik yang menentukan, G usti.”

“Semua

“Tiga puluh lim a tahun masih mu da, D aludarmi,” bisik Sang Adipati. “D an kau belum pernah beranak.” Sang Adip ati mu lai merabai tubuh pengurus harem itu. “Kau masih lebih kukuh dari si Kati.” Ia sejenak tak bicara. Kemu dian, “Coba, mana mukam u?” dan ia pandan gi wanita itu dalam kegelapan malam.

Ia tak teruskan dengan mem bikin cinta. “Bagaimana Sekar Pinjung sekarang?”

“Ampun, G usti, sepanjang pengetahuan patik, ia jarang keluar dari kamar, sering kedapatan menan gis dan pucat. Patik pohonkan ampun untuknya, G usti, wanita semuda itu, belum panjang pikir, belum lagi delapan belas.”

Sang Adipati berdiri termangu-mangu D itariknya

D aludarmi berdiri dan diciumnya pada pipinya, kemudian ditinggalkan berdiri. berjalan melewati bilik-bilik selir dan melewati kamar terkunci di mana beberapa selir masih sibuk mem bicarakan Ki Aji Benggala. Ia langsung menuju ke bilik paling ujung. Pintu itu terbuka dan ia pun masuk ke dalam .

D ua jam kemudian ia keluar lagi dan menuju ke bilik ujung yang lain, Ia mendeham pelan di depan pintu, tetapi tiada berjawab. Ia m endehani sekali lagi. Juga tak berjawab.

N yi G ede D aludarmi berjalan mengh ampiri Sang Adip ati, berjongkok di bawah dan menyembah, kemudian

mem anggil-m anggil pelan pada pintu: “N yi Ayu, N yi Ayu Sekar Pinjung! N yi Ayu!”

“N yi G edekah itu?” terdengar suara sayu menjawab dari dalam .

“N yi?” “Bukalah pintu, rang manis,” kata D aludarmi lemah. Pintu itu terbuka ragu-ragu, hanya terkirai sedikit. D an

Sang Adipati masuk ke dalam . Sekar Pinjung, yang tidak sempurna pakaiannya dan

riasnya, langsung menjatuhkan diri pada kaki penguasanya, tersedan-sedan tanpa bisa bicara. Pintu ditutup oleh

D aludarmi dari luar. Lelaki tua itu berdiam diri ragu-ragu. Ada sesuatu yang

bergolak di dalam hatinya. Setelah mendengar pembicaraan para selir dari balik

pintu, ia mengerti, ada kepala-kepala desa yang tak berani mem persembahkan keadaan di desanya pada atasann ya, maka dipergunakan selir-selir. Mereka selalu mendapat pintu, ia mengerti, ada kepala-kepala desa yang tak berani mem persembahkan keadaan di desanya pada atasann ya, maka dipergunakan selir-selir. Mereka selalu mendapat

Sekarang ia tahu adanya Ki Aji Benggala. Mu ngkin percakapan itu tidak seluruhnya benar, nam un

ada sesuatu yang terjadi di desa-desa pedalaman. Sekar Pinjung ini lain lagi. Ia m empersembahkan sesuatu

berdasarkan suapan. Benar atau palsukah persembahannya? Tidak seluruhnya benar, juga tidak seluruhnya salah. Kepala desanya telah mem persembahkan upeti dua kali lipat. Hampir selam a dua tahun ini! Tetapi ia masih juga belum menggubrisnya. D an sekarang ia baru mulai berpikir tentang kebenaran atau kepalsuan persembahan Sekar Pinjung

Pand angn ya jatuh ke bawah pada tubuh gading yang mencium kakinya. Kemudian tangan gading itu mem eluk

kakinya, seperti seekor cacing yang menunggu diinjak. Hukum an pada Sekar Pinjung dirasainya terlalu berat. Apalagi sekarang sudah jelas siapa sum ber ketakutan terhadap Peranggi. D itam bah lagi dengan pengetahuan, Peranggi hanyalah manusia biasa yang juga mem butuhkan makan dan minum, hanya kulitnya saja putih dan bahasa dan adatnya lain.

Hukum an itu telah lebih dari dua tahun dijalani oleh Sekar Pinjung, selir kesayangan. Dan seorang satria tidak mencabut kembali kata-katanya.

W an ita berkulit gading itu tak mengindahkan keadaan dirinya. tak dirasainya lagi dingin malam yang menyerbu W an ita berkulit gading itu tak mengindahkan keadaan dirinya. tak dirasainya lagi dingin malam yang menyerbu

Ia lihat punggun g wanita itu tersengal-sengal kecil karena sedu-sedan permohonan ampun, namp ak olehnya begitu hina dan tidak berarti. Hanya seorang satria bisa mem bikinnya jadi berarti kembali pikimya. Barangkali aku telah berbuat kurang adil terhadapnya. Leluhur mengajarkan agar berhati-hati terhadap isi keputrian, sarang hasutan dan fitnah. Betul. Sarang dengki dan kelobaan. Betul. Tempat raja-raja tumban g karena gosokan. Betul. Tempat si kerdil mem asang perangkap untuk menan gkap

bulan. Betul. Sarang labah-labah yang tak kenal malu. Benar perempuan hina ini hanya memperingatkan. Hanya mem peringatkan. D an aku sudah berbuat kurang adil terhadapnya. Bukankah keadilan semestinya mampu mencabut kata-kata satria yang keliru?

Sebelum Sang Adip ati dapat mem utuskan pergolakan di dalam dirinya telah keluar kata-kata dari m ulutnya, pelahan dan berbisik: “Telah dicabut hukum an bagimu, Sekar Pinjung. Berdiri!”

W an ita muda itu berdiri gemetar. Seluruh pakaiannya luruh ke lantai. Mu kanya pucat. Rambutnya kacau. Kepalanya masih juga terangguk-an gguk kecil karena sedu- sedannya. Tetap ia tiada dapat berkata sepatah pun.

Sang Adipati meraih dua belah tangannya. D id ekapkan dia pada dirinya, kemudian dipangkunya.

Sekarang barulah terdengar wanita itu menan gis teram puni. D an luluhlah sudah amarah Sang Adipati, luluh pula duka-cita sang selir, cair ke dalam arus berah i.

“D aludarmi!” panggil Sang Adipati dari dalam bilik.

W an ita pengurus harem itu masuk ke dalam, mem bawa nam pan berisi cawan-cawan tembikar. Pandan gnya tertuju pada lantai, untuk tidak melihat pemandangan di hadapannya. Ia berjongkok di bawah kaki Sang Adipati.

Penguasa Tuban itu mengambil cawan jamu dan mem inumn ya habis

D aludarmi mundur beringsut-ingsut keluar dari kamar. “Jangan keluar! Tinggal kau di sini. Letakkan namp an

itu di m eja.” Tengah hari pada keesokan harinya terjadi kesibukan

dalam tubuh pasukan kuda. Puluhan prajurit telah meninggalkan Tuban Kota menuiu ke berbagai jurusan

negeri. Yang demikian hampir-hampir tak penuh terjadi selam a ini.

Segera orang-orang menghubung-hubungkan gerakan tentara dengan terjadinya kerincuhan di pedalaman, yang selam a ini dibiar berlaru t jadi desas-desus um um.

Beberapa hari setelah keberangkatan kesatuan-kesatuan kecil pasukan kuda, pendopo kepatihan penuh-sesak dengan

kepala-kepala desa, para wedana, demang dan kuwu seluruh negeri. Yang tak hadir hanya wakil dari desa-desa di bawah kekuasaan Rangga Iskak. Mereka semua duduk bersila di atas lantai.

Tanpa sesuatu upacara Sang Patih mem ulai: “Betapa sangat menyesal kami mengetahui, kalian diam -diam tiada

mem persembahkan sesuatu yang sedan g terjadi di desa-desa kalian. Ketahu ilah, G usti Adipati Tuban sangat murka mendengar adanya huru-hara tidak dari persembahan kalian. G usti Adipati Tuban mendengar, bahwa pagardesa kalian sudah kewalahan mengh adapi para perusuh. Jawab sekarang juga. Benar-tidak?”

“Ampun, G usti Patih,” seorang kuwu mengangkat sembah. “Adanya huru-hara itu memang betul, karena terjadinya di daerah kekuasaan patik. Ada pun patik belum juga mem persembahkan adalah karena patik masih berusaha, belum lagi putus-asa.”

“Pernah kah kalian menan g terhadap mereka?” “Ampun, G usti, belum pernah, tapi kalah pun belum.” “Jangan persembahkan teka-teki.” “Begitulah adanya, G usti, kalau mereka datang,

pagardesa lari. Kalau pagardesa datang, m ereka yang lari.” “Apa kalian sedang m ain petak?”

Sunyi seluruh pendopo. W ajah Sang Patih merah menyala-n yala. Suasana tegang. Semua penghadap menundu k.

“Mengapa mem bisu? Hilangkah sudah lidah kalian?” “Ampun, G usti, di tempat patik agak lain keadaannya.

Telah patik persembahkan ini ke hadapan G usti Patih, bahwa pagardesa patik selalu masuk ke dalam jebakan dan satu kali pun tidak pernah menjebak.”

“Apa m aksudmu dengan jebak-m enjebak?” “Maksud patik, G usti, rajakaya desa hilang kalau tidak

dijaga dan tinggal utuh kalau dijaga.”

“Bicara yang jelas. Kami tidak m engerti maksudmu.” “Ampun, G usti. Kalau pagardesa yang menjaga rajakaya

itu m engejar mereka, hilanglah yang tidak terjaga itu.” “Hei, bantulah dia bicara, kami tidak mengerti.” “Ampun, patik pun tidak mengerti, G usti. Hei, kepala

desa, bersembah kau yang benar dan patut.”

“Apakah maksudmu perampok rajakaya itu hidup di dalam desamu sendiri?”

“Kira-kira begitu, G usti, tetapi patik tidak berani mem persembahkan dengan pasti.”

“Hei, yang bersangkutan, kau sudah dengar sendiri persembahan bawahanm u. Perhatikan warga dari desa-desa kalian. N ah, dengar ekalian yang mengh adap pada hari ini! Kami takkan mengu langi un-tuk kedua kalinya,” Sang Patih menebarkan pandang ke seluruh penghadap. Meneruskan, “Kami beri waktu untuk kalian satu bulan penuh untuk mengatasi kerusuhan. Aturlah antara kalian sendiri bagaiman a mendatangkan bantuan pagard esa dari desa-desa lain yang am an. Kalau gagal, tahu kalian akibatnya?”

“Tahu, G usti.” “Ya, tahu. Biar begitu kami samp aikan juga: Kalau

kalian gagal, balatentara Tuban akan bergerak mengambil- alih tugas pagardesa. Mengerti kalian artinya?”

“Mengerti, G usti.” “Ya, mengerti. Biar begitu kami sampaikan juga: kalau

balatentara bergerak, menjadilah tanggungan pada desa- desa yang didatangi bala-tentaranya. Cu kup sebulan itu?”

“Lebih dari cukup, G usti,” mereka m enjawab berbareng. Kemu dian Sang Patih mengendorkan ketegangan dengan

cerita: Ki Aji Benggala dahulu adalah punggawa G usti Adip ati Tuban menjabat Syahbandar Tuban Kota. N ama sebutan nya adalah Rangga Iskak. N am a kelahirannya adalah Iskak Indrajit.

Semua penghadap gelak tertawa mendengar nama raksasa dalam R am ayana itu, nam a yang tidak populer bagi Semua penghadap gelak tertawa mendengar nama raksasa dalam R am ayana itu, nam a yang tidak populer bagi

Cerita pun diteruskan: Iskak Indrajit adalah cucu dari Syahbandar Malaka, seoran g Benggala Malabar. D ari kakeknya Rangga Iskak merasa dirinya oran g Benggala, maka menam ai diri Ki Aji Benggala. Ayahnya, yang berum ur pendek, beristrikan seorang Malabar pula. Tetapi bekas Syahbandar itu dilahirkan oleh seorang ibu Melayu, dan dari ibunya ia m endap at nam a Indrajit.

Sekali lagi penghadap gelak tertawa. Ibunya m emang bijaksana m enamainya demikian. Rupa-

rupanya ia telah m endapat firasat, anak yang dikandu ngnya nanti akan jadi seorang raksasa dengan gigi taring. Sesungguhnya, Rangga Iskak mempunyai gigi taring yang agak m encolok.

“Tetapi keadaan sudah berubah,” Sang Patih meneruskan. “Jabatan nya sebagai Syahbandar tak dap at dipertahankan. la harus diganti. Tetapi ia tidak rela diganti, ia merasa bandar Tuban adalah miliknya pribadi. Segala apa pun yang dikaruniakan G usti Adipati dung gapnya kurang dan makin kurang. Mem ang dasar raksasa bergygi tann g Karunia lima buah desa sudah selayaknya ia merasa jadi seorang bupati Tetapi tidak, dengan desa itu ia semakin bertingkah. Ia anggap desa-desa itu didapatnya dari berperang, dan sekarang dipergunakannya jadi m odal untuk melawan….

Seperti kebiasaan baru di sebelah timu r dan barat negeri Tuban sekarang ini, kalau seorang ningrat, apalagi bukan ningrat telah menam akan diri Ki Aji dan mendapatkan, banyak pengikut, dia merasa sudah setingkat dengan seorang adipati, belagak sebagai raja tanpa pencgasan hak. Seakan-akan kedudukan raja bukan lagi urusan para dewa, Seperti kebiasaan baru di sebelah timu r dan barat negeri Tuban sekarang ini, kalau seorang ningrat, apalagi bukan ningrat telah menam akan diri Ki Aji dan mendapatkan, banyak pengikut, dia merasa sudah setingkat dengan seorang adipati, belagak sebagai raja tanpa pencgasan hak. Seakan-akan kedudukan raja bukan lagi urusan para dewa,

Suaranya meningkat dan jadi berkobar-kobar, sarat dan gemas: “Kalian harus ingat, Indrajit alias Ki Aji Benggala bukan berdarah ningrat, jangan kan berdarah Majapahit, berdarah bupati pun dia tidak. Malahan orang Jawa dia pun tidak. Dia peranakan Keling biasa, yang kebetulan pandai berbagai bahasa. Memang banyak kepandaiann ya, terlalu banyak. Hanya dia punya satu kebodohan, satu saja: dia tidak mengerti bagaimana berterimakasih. D engarkan: tum paslah dia sebelum menjadi-jadi. Jangan ragu-ragu. Kalian sendiri, sebagaimana diajarkan oleh leluhur, tentu takkan percaya pada orang yang tidak tahu berterimakasih, karena dia sesungguhnya tidak tahu tentang karunia para dewa. N ah, pergi kalian.”

D engan mengh adapnya para punggawa oran g mendapat gam baran

sebenamya tentang gentingnya keadaan pedalaman. Hampir-hampir dapat dipastikan: balatentara Tuban akan bergerak dalam sebulan mendatan g.

D i Tuban Kota sendiri telah dirasai adanya perubahan itu. Pertukaran baran g dengan pedalaman merosot sejadi-

jadinya. Pasar Kota semakin sunyi. Oran g-orang kota banyak yang meninggalkan kampung-halaman dan pindah ke pedalaman. Perdagangan antar-pelabuhan, apalagi antar- pulau, beku.

D an di bandar sendiri, kecuali pemeliharaan dan pembersihan, hampir tak ada pekerjaan lagi….

0o-d w-o0

W iranggaleng tak pernah lagi kelihatan seorang diri dalam menjalankan tugasnya. Ia pun mendapat tugas baru: menjaga keam anan bandar Kota dan G londong.

Pekerjaan nya semakin banyak, pengetahuannya semakin banyak, dan persahabatannya lebih-lebih lagi.

Hubungann ya dengan Liem Mo Han m embawanya pada suatu pengetahuan, bahwa benar Portugis dan kapalnya telah belayar ke Panarukan, dan bahwa raja Blam bangan,

G irindra W ardhana bukan hanya tidak menolaknya, bahkan menitahkan Patih Udara untuk menjemput Martinique L amaya di pelabuhan dengan segala kebesaran.

D an setelah kapal itu mancal lagi dapat diketahui ada baran g sepuluh orang Portugis mengantarkan kapal itu berangkat. Mereka tinggal di Blam bangan.

Liem Mo Han pula yang memberitakan padanya: di antara sepuluh orang Portugis itu ada yang masuk lebih ke dalam daratan Blam bangan dan mem bangunkan sebuah rumah. Boleh jadi, kata Liem Mo Han selanjutnya, dengan bantuan kerajaan Hindu itu oran g-orang Peranggi akan berhubungan dengan perusuh-perusuh di pedalaman negeri Tuban dan dengan persekutuan itu akan m engancam T uban dari laut dan darat.

“W ira, hanya kekuatan Islam yang menentang Peranggi. Semua kerajaan Hindu serba sebaliknya. Mereka merasa

terus-menerus terdesak oleh Islam, mengambil sikap bertahan terhadap aru s agama baru itu. Maka begitu Peranggi datang mereka segera mengu lurkan tangan penyambutan. Mereka justru mengh arapkan perlindun gan dari mu suh seluruh dunia itu.”

Lam a ia renungkan kebenaran kata-kata Liem Mo Han. Perbandingan ia tak punya. dari renungannya ia mengetah ui adan ya tiga kekuatan pokok: Hindu, Islam dan

Portugis. Baik Hindu mau pun Islam, dua-duanya menari karena adanya Portugis.

“Ya, Peranggi tetap pokok,” ia mem utuskan.

D an sekarang, berdasarkan renungan itu, ia mengetah ui: Tuban berada di antara Hindu dan Islam , tidak punya sikap yang pasti terhadap Peranggi.

“Tuban harus menentang Peranggi, tanpa m enjadi Islam, juga tidak karena Hindu. ”

Ia tak persembahkan hasil renungannya pada Sang P atih. N am un kata-kata Liem Mo Han tentang tiga kekuatan itu menjadilah dasar pandangan resmi praja Tuban dalam mem ahami dunia yang sedang berubah.

Tetapi sahabatn ya itu tak pernah bicara tentang Tiongkok, tidak tentang jung-jungnya, tidak tentang perdagangann ya, tidak tentang mu suh-m usuhnya, bahkan tentang kependudukannya di Jawa ia pun tidak pernah mem buka mu lut. D an W iranggaleng merasa tak ada kebutuhan untuk mengetahui.

Telah beberapa kali ia mengu ndangnya untuk mengh adap Sang Patih. Liem Mo Han selalu m enolak. D an

dalihnya terakhir adalah: “Hanya kerajaan yang sudah sepenuhnya Islam mau melawan Peranggi. Maka yang setengah Islam cuma akan setengah melawan. Biarlah sahaya m embantu dari jauh saja, W ira.”

Penolakan itu bergema dalam hati Syahbandar-muda. Aku belum pernah jadi Islam. Aku tak kenal dewa- dewanya. Tapi aku pernah melawan Peranggi, biar pun sudah kalah sebelum bertarung. D an aku akan tetap melawan. Ia merasa tersinggu ng karena Liem Mo Han menganggap Tuban setengah Islam. Seperempat pun Penolakan itu bergema dalam hati Syahbandar-muda. Aku belum pernah jadi Islam. Aku tak kenal dewa- dewanya. Tapi aku pernah melawan Peranggi, biar pun sudah kalah sebelum bertarung. D an aku akan tetap melawan. Ia merasa tersinggu ng karena Liem Mo Han menganggap Tuban setengah Islam. Seperempat pun

Liem Mo Han tetap tidak mau bicara tentang pribadinya. Ia selalu bicara tentang praja.

Setiap ia mendapat kesempatan dan bertemu dengan sahabatn ya, selalu saja ada soal baru yang jadi tam bahan pengetahuan nya. D an datangnya pengetahuan itu tidak binal menjompak-jompak sebagaimana diterimanya dari Rama during, tapi tenang-tenan g, seakan tidak terjadi sesuatu , dan masuklah dalam hatinya.

Suatu peristiwa telah menyebabkan mereka berdua berpisah. D an kejadian itu datang begitu m endadak.

Pagi waktu itu.

D engan dua orang pengiringnya ia pulang dari mem eriksa seluruh bandar. Baru saja ia turun dari kuda telah terdengar: “W ira! Wira!” Tholib Sungkar Az-Zubaid mem anggilnya.

Sudah lama rasan ya ia telah hindari Syahbandar yang dibencinya. Sebaliknya yang terbenci nam paknya merasa

juga sedang dihindari. D an sekarang ia mengh adapi perm ainan hindar-menghindar ini.

Ia naik ke gedung utam a dan didapatinya Syahbandar sedang m inum kopi di kamar-kerjanya.

“Selamat untukm u, W ira,” ia berdiri. W ajah nya berseri- seri dan nampak seakan bongkoknya sudah hilang sama

sekali. “Tuan Syahbandar, inilah sahaya,” jawab W iranggaleng.

D an setiap kali ia melihat bongkok itu hilang dari punggung orang Moro itu – telah sering ia perhatikan – pasti sedan g terjadi galangan kejahatan di dalam hatinya.

“Aku baru ingat, W ira, bukankah kau anak pedalaman?” tanyan ya dan menyilakan duduk. “N ah, semestinya kau tahu di mana desa Rajeg”

Ia menjadi waspada. Setiap oran g tahu, Rajeg adalah sebuah desa pedalaman tempat pemusatan kekuatan Ki Aji Benggala.

“Yang sedang banyak dipercakapkan orang itu?” “Apa yang mereka percakapkan?” mata Tholib kelap-

kelip menyelidik.

D an waktu nam pak olehnya W iranggaleng tersenyum mengo lok-olok ia jadi ragu-ragu. Ia tak meneruskan kata-

katanya. D engan mengambil nada lain ia bergumam: “Orang-orang bodoh itu. Mana mungkin Rangga Iskak mem berontak? D engan takzim, tawakal dan sabar ia terima semua titah G usti Adipati.” N ada suaran ya meningkat lagi, “Begini, W ira, kau juga tahu Rangga Iskak ada di Rajeg. Aku mengetah ui dari G usti Patih. W ira, baru saja ketahuan ada barang kesyahbandaran, barang penting, yang terbawa olehnya. Mungkin dia lupa dan tak m engingatnya lagi. D an

itu bisa mem bikin bahaya terhadap bandar. Barang itu harus di kembalikan pada Syahbandar.”

“Ru panya penting benar baran g itu, Tuan Syahbandar,” W iranggaleng m enyembunyikan keheran annya.

“Bagaimana bisa dikatakan tidak penting? Cap tera untuk mas, perak dan tembaga! Syahbandar harus

mendapatkan baran g tersebut sebelum berlarut. Bentuknya mem ang sama dengan yang sudah kita pakai sekarang, hanya tak ada tulisan Arab tam bahan di dalam nya.”

W iranggaleng sibuk menerka maksud orang Mo ro ini, tetapi belum dapat.

“Kau tak perhatikan aku, Wira.”

“Teruskan Tuan Syahbandar.” “Aku akan siapkan surat buat dia, dan cobalah nanti

samp aikan padanya dengan lisan: Syahbandar Tuban Sayid Habibullah Almasawa dalam keadaan selam at. Cu kup itu saja. Aku senang punya pembantu seperti kau. Beran i, pandai, cekatan , kuat. Hanya oran g seperti kau mampu selesaikan pekerjaan ini.”

Terbayang oleh Syahbandar-m uda itu akan adanya hubungan antara kerusuhan di pedalaman dengan Syahbandar ini, dan antara Syahbandar dengan Peranggi.

Aku harus buktikan! Aku harus dapat menyamp aikan ini pada Sang Patih: orang satu ini mem ang pengkhianat yang

tak patut mendapatkan perlindu ngan dari Sang Adipati, tidak boleh lebih lama lagi. D ia sepatutnya dienyahkan dari bum i Tuban.

Sebelum berangkat ke Rajeg ia telah temui sahabatn ya Liem Mo Han dan berpesan agar mem buang waktu untuk terus mengawasi dua oran g Peranggi yang mendap at perlindungan resmi dari Syahbandar dan perlindun gan tidak resmi dari praja itu.

D ari Sang Patih ia mendapat empat orang prajurit dari pasukan kaki sebagai pengawal dan teman seperjalanan, dan perintah untuk mengetahui sebaik dan sebenar- benamya tentang desa Rajeg, kekuasaan dan pengaruh Ki Aji Benggala, desa-desa sekitar, berapa banyak sesungguhnya desa yang mu lai dan sudah berada dalam pengaru hnya, hubungan yang mentautkan Rangga Iskak dengan Sayid Habibullah Almasawa yang bermusuhan pada lahimya itu, dan apa saja yang telah diperbuat dan direncanakan oleh perusuh.

“Kerjakan tugasmu dengan baik,” pesan Sang Patih. “Peranggi semakin mendekati kita. Pedalaman bergolak.

Pedagang-pedagang Islam meninggalkan Tuban Kota, pindah ke kota-kota bandar di barat. Sedang pedagan g- pedagan g Islam yang kecil-m engecil masuk ke pedalaman ”

“Patik akan kerjakan sebaik-baiknya, G usti.” “Benar kata Syahbandar. N ampaknya hanya kau yang

bisa lakukan tugas ini,” katanya lagi seakan mengu langi Sayid Habibullah. “Kau tahu apa artinya semua ini.”

“Belum, G usti.” “Artinya, memang Tuban diancam oleh kerusakan dari

luar dan dari dalam. Kau rela Tuban, negerimu, G ustimu, kebesaran T uban. rusak?”

“D ewa Batara! Sama sekali tidak, G usti.” “Beran gkatlah dengan sejahtera.”

D an ia pun berangkat. la berangkat dengan mem bawa pengertian: surat dan cap

itu hanya sekedar dalih untuk mengh ubungi Ki Aji Benggala. Sang Patih boleh jadi hanya tersenyum dalam hati. Sedang surat yang telah dibongkar oleh Sang Patih lebih mencurigakan lagi: hanya sebaris tulisan Arab. Itu pun pendek sekali. Jelas hanya isyarat belaka. D ia sungguh cerdik, pikirnya. D ipilihnya aku untuk melakukan pekerjaan ini. D an dia tak memohon ijin dari Sang Patih.

D ia berbuat dengan pilihan dan kemauan sendiri. Tak bisa lain, karena dia pun punya kepentingan dengan kematianku

pribadi. Hendak dicapainya dua maksud dengan satu jalan: mengh ubungi perusuh dan sekaligu s menyingkirkan aku. Ki Aji Benggala jelas akan membunuh aku.

Ia benarkan kata orang tua-tu a: kesalahan orang-orang pandai ialah menganggap yang Iain bodoh, dan kesalahan orang-orang bodo h ialah menganggap orang-oran g lain Ia benarkan kata orang tua-tu a: kesalahan orang-orang pandai ialah menganggap yang Iain bodoh, dan kesalahan orang-orang bodo h ialah menganggap orang-oran g lain

Liem Mo Han pernah mem peringatkan: Tuan Syahbandar Tuban sunggu h-sungguh dibenci oleh setiap dan semu a orang, sampai jauh-jauh di Jepara dan L ao Sam.

D ia meremehkan para saudagar Islam dan Tionghoa, sebagaimana ia lakukan di Malaka dulu. D ialah pengkhianat Malaka. Tak urung ia akan jadi pengkhianat Tuban juga. Tingkah-lakunya menjijikkan, seperti dia sendiri Sang Adipati. D i Malaka dulu dia bertingkah sebagai raja m uda.

“Sebaliknya, W ira,” ia meneruskan, “W ira dan istri merupakan pasangan yang dicintai dan dihormati. Tak ada satu kebahagiaan yang lebih besar daripada dicintai dan dihorm atri semua orang. Itu adalah mo dal yang mem bikin orang dapat mencapai segala-galanya. Sahaya harap W ira mengerti perbandingan ini.”

D an ia menganggap dirinya mengerti: Syahbandar Tuban mengh alaunya dengan mem injam tangan Rangga Iskak alias Ishak Indrajit alias Ki Aji Benggala, kemudian ia akan mengh adap Sang Adipati dan mem ohon agar Idayu dikaruniakan kepadanya, maka bukan saja ia akan m emiliki apa yang diberahikannya selam a ini, juga akan dap at meredakan kebencian orang terhadap dirinya. Malalui Idayu sebagai milik pribadi ia akan lebih dap at mem pengaruhi Sang Adipati.

Tetapi mengapa Syahbandar Tuban itu begitu dingin terhadap G elar, anaknya sendiri? Mengapa? Mungkinkah ada seorang yang acuh-tak-acuh terhadap anak sendiri? Ah, mengapa tidak mungkin? bantahn ya sendiri. Setiap ningrat Tetapi mengapa Syahbandar Tuban itu begitu dingin terhadap G elar, anaknya sendiri? Mengapa? Mungkinkah ada seorang yang acuh-tak-acuh terhadap anak sendiri? Ah, mengapa tidak mungkin? bantahn ya sendiri. Setiap ningrat

D engan bekal itu di dalam hati ia berjalan kaki sebagai petani mem asuki pedalaman.

Makin mendekati desa Rajeg, desa-desa yang dilaluinya nam pak suram. Pada mata pendud uknya nampak terpancar ketakutan dan kegelisahan . Pertan yaan-pertanyaan pada mereka dijawab seperlunya tanpa keramahan dan tiada di antara mereka mengu ndan g singgah, apalagi makan dan menginap.

Hutan, padan g ilalang, padan g rumput pendek, sawah dan ladang dilaluinya, dan pada suatu hari samp ailah ia di tepi sebuah rimba-belantara. Teman-tem annya, juga berpakaian tani, berjalan agak jauh di belakangnya.

G ubuk panggung di depannya sana masih seperti dulu juga. N ampaknya tiang bambu dan atap ilalang itu belum

juga rusak. G ubuk itu agak besar; khusus didirikan jauh dari desa mana pun untuk tempat berteduh dan menginap para pemikul upeti atau mu safir. Ia sendiri pernah menginap di situ bersama tiga orang temannya untuk dap at mendengarkan seorang guru-pembicara dari seberang, yang mengajarkan, bahwa tidak ada sesuatu yang lebih tinggi, lebih berkuasa, maha kuasa, kecuali Allah, dan bahwa semua makhluk gaib takluk padanya. Orang itu bicara dalam Jawa yang begitu anehnya sehingga pendengar- pendengar lebih banyak tertawa dan orang tak mengerti betul m aksudnya. Orang-orang memberi komentar: guru itu mem bawakan soal-soal baru yang aneh, itu sebabnya bahasanya juga aneh.

Ia mem erlukan singgah dan naik ke atas panggun g. Di kejauhan dilihatnya empat orang teman nya berjalan am an mengikutinya. Belum lagi ia rebahkan diri didengamya suara-suara pelahan di bawah. la turun untuk melihat apa yang sedang terjadi. Empat oran g berbaju dan bersarong putih dan berkopiah putih telah mengepungnya dengan mengacungkan tombak. Sekilas ia lihat senjata-senjata mereka tidak sejenis dengan yang biasa dipergunakan oleh para prajurit – tombak-tom bak berburu.

Seorang di antara para pengepung itu sudah tua. Yang tiga lainn ya masih bocah dan kira-kira saja abang-beradik.

Yang term uda sekira dua belas tahun. W iranggaleng melirik untuk dapat melihat ram but

mereka. Pendek, hampir-hampir dan juga mu ngkin gundul Kalau bukan dalam keadaan genting mu ngkin ia takkan

dap at mengendalikan tawanya: orang berpakaian serba putih – seperti bangau.

“Hei, kau!” tegur yang tertua, “tidak berbaju tidak berkopiah, biadab! Beram but panjang seperti kuda betina!

Sebutkan nam amu sebelum nyawam u melayang ke neraka.”

“Betapa galak,” pikir W iranggaleng. sebelum kena tegur lagi ia berkata sopan dan pelan, dengan senyum damai pada bibir: “Ampun, Bapa, tersasar.”

“Tak pernah ada orang tersasar kemari. Siapa kau!” “G aleng, Bapa.” Orang itu tertawa melecehkan. dan mata Wiranggaleng

tetap waspada. Pada bibirnya senyum itu masih juga mengh ias.

“G aleng? Siapa tidak kenal G aleng? Biar pun kau juara gulat tiga-lima kali berturut, tak ada guna. Kau datang dari kota untuk memata-matai. Kau, kafir sialan, kafir laknat!”

“Apa yang dimata-m atai, Bapa? N anti dulu, siapa yang aku hadapi ini?”

“Kurangajar, belum menjawab sudah ganti bertanya. Siapa hendak kau m ata-matai?”

“Tidak ada, Bapa. aku datang untuk mengh adap Ki Aji Benggala. L ain tidak.”

“Penipu! Ki Aji tak menunggu siapa pun di antara orang beram but panjang. Apalagi kau datan g dari kota! Begund al

Adip ati Tuban.” “Mengapa Sang Adipati, Bapa, nampaknya Bapak

mem usuhinya?” “Puh, Adipati, satria tidak tahu menepati janji. Apakah

orang kota tidak tahu pengkhianatan Tuban terhadap Jepara? Terhadap Aceh, Riau, jambi dan Banten? Malaka tidak jatuh, kemelaratan merajalela di Tuban! Kapal-kapal tak lagi beran i belayar. Begund al pengkhianat!”

Mengertilah W iranggaleng, benar Ki Aji Benggala telah menggunakan kemerosotan Tuban untuk menaikkan dirinya sendiri. Berkata pura-pura tak tahu sesuatu: “Benar, Bapa, aku tak tahu apa-ap a tentang semua itu Aku mencari- cari Ki Aji Benggala – tak tahu tempatnya, – membawa

surat untuk beliau – surat berbasa dan bertulisan Arab.” “Pemboh ong! Adipatimu tak perlu tulisan dan basa Arab

– munafik itu.” “Aku tak tahu artinya itu, Bapa. Sesungguhnya surat itu

bukan dari G usti Adipati – dari Tuan Syahbandar Tuban, dari Sayid Habibullah Almasawa, seorang Arab tulen.”

“Ki Aji tidak m enunggu surat dari kota, kataku. Apa lagi dari Syahbandar keparat itu.”

“Mengapa keparat, Bapa?” “Mengapa? D engan mulutm u yang kotor, najis, kau

bertanya m engapa? Coba, bukankah dia juga yang m engaku Arab tulen dan keturunan N abi besar sekaligu s?” ia meludah ke tanah. “D ia hanya budak kafir Peranggi. Jangan pura-pura tidak tahu, rangkota! Semua rangdesa di sini tahu duduk perkaran ya. Kau ini, bukankah budak dari budak kafir Peranggi? Kau, si rambut panjang?”

W iranggaleng berusaha terus bicara dengan harap an pengawal-pengawalnya akan tiba pada waktunya.

sementara itu ia mengagumi pengetahuan rangdesa tentang seluk-beluk praja yang sudah sejauh itu. Tentu pengetahuan itu disebarkan oleh Ki Aji untuk mem benarkan dirinya sendiri.

“Budak dari budak kafir Peranggi,” ia bergumam. “Sungguh aku tidak tahu barang sesuatu . siapa bisa

salahkan orang yang tidak tahu?” Setelah tertawa melecehkan orang itu mengejek:

“Mem ang jaman sekarang ran gkota lebih dun gu, lebih tak tahu diri, lebih tak tahu dari ran gdesa. D ungu atau tidak, apa bedanya? Tak urung kau mati juga di sini. Mati tanpa tempat yang dijanjikan.”

“Aku semakin tidak mengerti, Bapa.” “Apa tahu mu ? Rangd esa tahu, biar kau berpakaian tani,

sesungguhnya kau bukan. Kau memang tidak tahu rangdesa sekarang, yang sudah tahu segala-galanya. Huh, mati tanpa tempat yang dijanjikan.”

“Bagaimana tempat yang sudah dijanjikan itu, Bapa?”

“N asib kafir sudah ditentukan. W aktu hidup diburu-buru nafsu dan kejahilan, waktu mati diburu-buru api neraka. Itu yang patut kau dengar sebelum mati.”

D an W iranggaleng harus bicara terus. “Bapa, Bapa bilang aku budak dari budak Peranggi. Tak

tahu kah, Bapa, ran gdesa G aleng ini pernah menyerang Peranggi di Malaka?

“Bohon g! Penipu! Tak ada Ki Aji pernah katakan itu.” “Maka aku yang m engatakan. ” “Karenanya m akin jelas kebohonganmu.” W iranggaleng kini dapat menjajagi betapa pengaruh

Rangga Iskak telah m ulai mendalam. Ia haru s berhati-hati. “Bagaimana, Paman?” salah seorang di antara tiga bocah

itu bettarn a di belakangn ya. “Masih juga dia dibiarkan begini?”

“N anti dulu, jangan keliru,” tegah juara gulat itu sambil menengok sekilas ke belakang. “Lihat dulu surat yang aku bawa ini. Tulisan dan bahasa Arab tulen.”

“Jih !” orang yang tertua meludahi tangan Syahbandar mu da yang mengu lurkan surat. “Semu a yang keluar dari

pokal kafir hanyalah najis”. “Hweeee!” terdengar bentakan berbareng di belakang

mereka. Orang-orang bertombak itu kaget dan menoleh ke

belakang dari tangan mereka dengan bantuan pengawal- pengawalnya. Tanpa pengalaman menggunakan senjata menyebabkan mereka segera teringkus tanpa daya. Panjang tom bak mereka menjadi penghalang utama untuk mem bela diri.

“Jangan sentuh aku, kafir!” pekik orang tertua tak berdaya itu. Matan ya menyala-n yala menyemburkan kebencian, kejijikan dan penyesalan.

Bocah-bocah yang juga terikat itu kini berpandan g- pandangan satu sama lain dengan ketakutan.

“D isentuh pun Bapa tidak suka, sedan g aku hendak Bapa tom bak,” gumam Syahbandar-muda. “Perdamaian yang sunggu h tidak jujur, Bapa.”

“Mata-mata! Telik!” pekik orang itu seperti gila. Suaranya menggaung di tepian rimba. “Allah mengutuk kau, dunia dan akhirat!”

“Siapa yang mengu tuk aku, Bapa atau Allah? Ataukah Bapa sama dengan Allah?” balas Syahbandar-muda. “Sudah, Bapa diam saja. Pinjami aku anak yang terkecil ini.

D an Bapa sendiri, pinjami aku pakaian itu, biar pun terlalu sempit.

D an kalian,” ia perintahkan pada para pengawalnya. “bawa sisanya ke dalam rimba, terikat! Tunggu samp ai aku datang. Sini, Buyung,” perintahnya pada tawanannya yang terkecil, “biar aku lepas tali- pengikatmu , dan mari aku diantarkan. Jangan menyasarkan, karena paman dan saudara-saud aramu bisa binasa. Lagipula takkan dapat kau lari dari tangan ku.”

Ia berjalan dengan pakaian putih serba kekecilan bersama si buyung. tujuan: desa Rajeg, pusat kekuatan Ki

Aji Benggala. Ia beruluk salam dengan tangannya pada orang-orang yang dipapasinya di jalanan sebagaimana adat baru itu diajarkan. Ia tarik senyum pada pasang-pasang mata yang namp ak heran mem andanginya: seorang berbadan besar, berpakaian serba putih dan serba sempit dengan rambut kafir panjang terurai, langkahnya mantap tanp a ragu-ragu, dan m engiringkan seorang bocah.

D i sawah dan ladang orang mem erlukan berhenti bekerja untuk da-pat melihat pemandangan aneh itu.

D an si buyung tak berusaha menerbitkan kesulitan. Beberapa desa telah dilewati. Kemudian sampailah

mereka di R ajeg. W iranggaleng heran melihat wajah-wajah yang sudah

dikenalnya dan sudah mengenalnya. Mereka adalah penduduk Tuban Kota yang biasanya belayar atau berdagang. Dan mereka tidak menegurnya, hanya menyapukan pandan g padanya, bahkan mem balas senyum dan salamnya pun tidak.

Orang-orang yang sedang bercakap-cakap di pinggir jalan juga mem erlukan berhenti bicara, meminggir, mem berinya jalan, dan m engawasinya dengan m ata bertanya-tanya. D an W iranggaleng m enyadari betapa sulit keadaan nya.

Sam pailah keduanya kini di depan sebuah rumah kayu berbentuk joglo. Pendopon ya juga sebuah rumah joglo beratap sirap. Tiang-tiang guru terbuat daripada balok-balok kayu bulat berjumlah empat, tanpa ukiran. Lantainya terbuat daripada tanah liat dikeraskan bercampur pasir. Di tengah-tengahn ya tergelar tikar lampit dengan sebuah meja rendah di atasnya.

Tak ada oran g terdap at di sekitar rumah itu. Ia berdiri saja dan tak ada namp ak kehidup an di

pendopo yang kosong melom pong itu. Ia heran mengapa tak ada penjagaan di rumah dan sekitarnya. Waktu ia angkat pandangnya untuk melihat susunan kasau, nampak olehnya sepotong kulit kambing terpakukan pada blandar depan. D an pada kulit itu tertulis tulisan Arab. Barangkali itu m antra penjaga dan pekarangan, pikirnya.

Pelataran depan dan samping-menyamping terbuka luas tiada tertanami, namp aknya mem ang sengaja akan dibuat men jadi tam an. D an jauh di belakang, melalui atap rumah, nam pak tajuk pohon-pohon nyiur dari berbagai um ur, terus- menerus bergo yang gelisah.

“N uwun… hasalamu halaikoooom!” sebutnya. Si buyung pergi ke belakang m elalui sam ping rumah. Cu kup lama ia menunggu. Baru muncul yang diharap-

harapkannya: Ki Aji Benggala. Ia berpakaian serba putih tenunan desa. D an ia tak menyilakannya naik. D engan langkah ragu ia mendekati W iranggaleng. berhenti di depannya, menatapnya dengan pandang ke bawah. Kedua belah tangannya bertolak pinggang, dan mata itu menyala- nyala gusar: “Wiranggaleng!” raungn ya.

“Sahaya, Ki Aji,” ia bersimpuh di tanah dan menyembah. D an ia tak mengerti mengapa tuanrumah itu mesti meraung.

“Berpakaian putih berambut panjang, datan g untuk serahkan nyawa.”

“Sahaya, Ki Aji.” “Syahbandar-m uda, juara gulat….” “Sahaya, Ki Aji.”

D ari suara-suara di belakangn ya W iranggaleng tahu, beberapa orang sudah berdiri dengan tom bak untuk

sewaktu-waktu akan m enjojoh punggungnya. “Kau sudah ringkus penjaga-p enjaga perbatasan, Ki Aji

tak menerima apa pun dari siapa pun, apalagi hanya orang sebagai kau?”

“Sahaya, Ki Aji,” dan sekilas dalam tunduknya ia dapat menan gkap sosok tubuh seorang wanita gemu k sedang “Sahaya, Ki Aji,” dan sekilas dalam tunduknya ia dapat menan gkap sosok tubuh seorang wanita gemu k sedang

“Utusan siapa? Hhh! Kafir-kufur yang terkantuk-kantuk menunggu datangnya iblis-iblis Peranggi terkutuk pula itu?” ia diam dan m enolak ke belakang.

W iranggaleng mengangkat pandang dan melihat waktu itu menyembah pada Rangga Iskak sambil tetap berdiri, bicara lantang dalam bahasa yang ia tak mengerti. D an ia Iihat R angga Iskak alias Ki Aji Benggala mengawasi wanita itu tajam-tajam, kepalanya menggeleng atau mengangguk. Kemu dian ia melambaikan tangan menyuruh wanita itu pergi. Tetapi yang disuruhnya manda saja.

“Ya,” kata Ki Aji tiba-tiba lunak pada W iranggaleng, “hanya orang pemberani seperti kau bisa dan berani datang kemari,” ia m engangguk-angguk.

“Sahaya datang bukan sebagai utusan G usti Adipati, Ki Aji, tetapi Tuan Syahbandar Habibullah Almasawa.”

“Anjing Ispanya itu! Begund al Peranggi! Bekas Syahbandar Malaka keparat! Terlalu lambat orang

mengetah uinya.” W an ita di depannya itu menyembah Ki Aji dari

belakang, kemudian menepuk bahunya. Kembali suara Ki Aji menjadi lunak.

“Mu nafik keparat!” makinya pelan. “Tak ada ampun lagi bagi iblis laknat itu. D atang di G oa, dijualnya G oa pada Peranggi. D atang di Malabar, dijualnya Malabar pada Peranggi. Betapa terlambat orang mengetah ui. D atan g ke Malaka begitu juga. D atan g di Tuban… apalagi yang sedang diperbuatnya sekarang? D an adipatim u, si goblok “Mu nafik keparat!” makinya pelan. “Tak ada ampun lagi bagi iblis laknat itu. D atang di G oa, dijualnya G oa pada Peranggi. D atang di Malabar, dijualnya Malabar pada Peranggi. Betapa terlambat orang mengetah ui. D atan g ke Malaka begitu juga. D atan g di Tuban… apalagi yang sedang diperbuatnya sekarang? D an adipatim u, si goblok

“Sahaya hanya seorang utusan, Ki Aji Benggala.” Lagi-lagi wanita itu bicara berbisik pada Ki Aji. D an

kesempatan itu dipergunakannya untuk m engeluarkan surat dari Sayid Habibullah. Ia lakukan itu dengan sengaja untuk dilihat oleh Ki Aji. Tetapi oran g di depannya itu tak menggubrisnya.

“Perkenankan sahaya mempersembahkan surat ini,” ia terpaksa mengatakan. Ki Aji melihat surat itu dengan ragu- ragu. W anita di belakangn ya nampak mem berikan isyarat dan berbisik lagi untuk memberanikan agar menerimanya.

“.Ya,” gumamn ya kemudian, “N abi pun berkirim surat pada umat kafir Romawi dan kaisar kafir yang lain. Betul juga kau, Khaid ar.” Suaranya sekarang meninggi, “Sini surat itu.”

badan dan menyam paikan.

W iranggaleng

mem anjangkan

“Bedebah!” rau ng Ki Aji. “Ini bukan surat. Ini hanya alasan. Alasan agar kau dapat datang kemari dan mem ata-

matai daerahku. Terkutuk! Laknat! Begund al Peranggi keparat! ia rem as-rem as surat kertas itu dan melemparkan nya pada mu ka utusan itu. “Jangan kalian kira Peranggi bisa raba bumi ini dengan keteranganmu . Apa lagi Tuban, Tuban yang mau untungnya saja dari Islam, tapi tak kerja sesuatu pun untuknya.”

“Sahaya hanya seoran g utusan, Ki Aji,” sembah utusan itu. D an ia telah menyiapkan diri untuk lari bila keadaan semakin genting.

W an ita itu bicara lagi. Ki Aji Benggala mendengarkan , kemudian mem berikan isyarat pada Wiran ggaleng agar W an ita itu bicara lagi. Ki Aji Benggala mendengarkan , kemudian mem berikan isyarat pada Wiran ggaleng agar

Ki Aji Benggala kembali menatap Wiranggaleng. “Surat,” katanya menggerutu, “hanya berisi assalamu

alaikum . L ebih tidak,” kekerasan yang hampir meledak lagi tiba-tiba mereda dari wajahnya. “W ajiblah bagimu,” katanya lebih pada diri sendiri, “mem balasnya. Ya, wajib, di mana pun dan kapan pun dan dari siapa pun datangnya.”

la diam dan nampak berpikir. Kemu dian tersenyum dan mem perhatikan si penghadap di depannya tanpa berkedip.

“Baik,” katanya. “Bedebah Moro itu berhasil. D ia telah menyam paikan salam dam ai, begundal Peranggi itu.”

“Sahaya hanya seorang utusan, Ki Aji. Sekarang sahaya sedang m enunggu balasan untuk sahaya bawa pulang.”

“Kau sedang menyelamatkan tengkukmu sendiri rupanya, G aleng. Kau memang pandai, licik.”

“Sahaya hanya seorang utusan, apalah yang sahaya bisa perbuat selain m enjalankan perintah?”

“Baik. Kau boleh miliki tengkukm u sendiri. Aku akan balas surat ini.” ia merengut. “Tunggu kau di situ. Jangan tinggalkan tempatm u. Tom bak akan merajang kau. Jangan sentuhkan jari-jari najismu pada tangga dan haram jika mengenainya.”

Ia masuk. W an ita itu masih berdiri mem andangi utusan itu tapi tiada berkata sesuatu pun.

D an lam a ia harus menunggu.

Terik matari telah mem eras keringat dari tubuhnya. Di samp ing menyampingnya mu lai berdatangan bocah-bocah menontonnya. Ia tetap menekuri tanah.

Ki Aji Benggala keluar lagi mem bawa kertas surat. “Hei, kau, W iranggaleng, sampaikan oleh mu lutmu

sendiri pada tuanm u begundal Peranggi itu, aku, Ki Aji Benggala, Rangga Iskak, Ishak Indrajit, telah menerima suratnya. Sampaikan: dia harus laksanakan apa yang aku perintahkan sebagaimana term aktub dalam surat ini. D ia akan tahu apa bakal menimpa dirinya kalau tidak.”

“Sahaya, Ki Aji.” “Jangan coba-coba menganiaya penjaga perbatasan.”

“Sahaya, Ki Aji.” “Lepaskan m ereka, kembalikan baju m ereka.” “Sahaya, Ki Aji.” “Pergi!” bentaknya keras. “Tinggalkan bum i ini dan

jangan balik kalau tak bosan hidup.” W iranggaleng mengangkat sembah. Setelah Ki Aji pergi

dalam iringan Khaidar baru ia bangkit berdiri, balik kanan jalan, dan … pengawal-pengawal berbaju serba putih itu

menarik mata tom bak mereka dari tubuhnya dan mem biarkannya pergi.