Syahbandar, Idayu dan Gelar

14. Syahbandar, Idayu dan Gelar

Ia terkejut. D ilihatnya Syahbandar tiba-tiba saja sudah ada di depannya. Tongkatnya tergan tung pada bahu dan

tangannya bertepuktepuk riang. Bongkoknya kelihatan semakin menjadi-jadi dan matan ya menyala-n yala

menerkam . “Selamat bagimu, Idayu!” katanya lunak, memikat dan

mem bujuk sekaligus. Cepat cepat Idayu menepiskan G elar pada dada, begitu

keras sehingga anak itu terpekik terkejut dan pengap. Melihat Idayu terkejut, Tholib Sungkar tertawa

mengh ibur dengan gerak tangan ramai. Kemu dian: “Masa begitu saja terkejut, Idayu!”

D engan takut bercampur waspada wanita itu dengan merangkul anaknya mendepis pada tiang pintu.

“Mengapa kau begitu aneh, Idayu?” “Apa Tuan kehendaki di sini?” tanyan ya megap-m egap.

“Biar sahaya pergi ke dapur, mem asak bersam a N yi G ede.”

“Buat apa, Cantik? Guna apa? N yi G ede masih tidur.” “Biarlah sahaya ikut mem bersihkan tam an dengan

Pam an Marta.” “Buat apa, Idayu? Bukan pekerjaan mu mem bersihkan

tam an. Lagi pula Paman Marta sedang mengurus mayat anaknya. ”

“Kalau begitu, jangan masuki rumah sahaya ini” “Idayu, Perm ata Tuban, pujaan setiap pria. Betapa

mu rung kau ditinggalkan suam i. Tiadakah kau suka mu rung kau ditinggalkan suam i. Tiadakah kau suka

“Ampuni sahaya, Tuan Sayid. Jangan dekati sahaya, dan jangan masuki rumah sahaya.”

Syahbandar itu tertawa senang dan maju selangkah. “Apa lagi yang kau tunggu-tunggu, Perm ata?” “Suam i sahaya, Tuan Sayid. Tidak lain dari suami

sahaya.” “Apa kau harapkan dari suamimu ?” “Tiada sesuatu , kecuali kasih dan sayangnya.” “Kasihan . Kasih-sayan g saja dia tak mampu berikan

pada tubuh yang semolek ini….” “Kalau dia tidak mampu, tentu doan ya saja pun

mem adai, Tuan ” jawab Idayu m ulai beran i setelah terbebas dari kejut.

G elar dalam pelukan meronta minta kembali bebas. Kepalanya menggeleng-geleng dan kaki dan tangannya bergerak binal.

“Mengapa tak kau lepaskan anak itu? Biar dia bermain- main sendiri seperti biasanya.”

“Biarlah dia temani ibunya dalam mengh adapi ayahnya. ”

“Mengh adapi ayahnya? Mengapa mesti dihadapi? Lagi pula dia belum lagi pulang.”

“Ayah tidak pergi, bukan, G elar? Ayahmu tidak pergi, bukan? D ia sedang di depanmu sekarang. Itulah macam ayahm u. Dia sedang merayu ibumu .”

“Ayahmu sedang ke pedalaman, G elar.”

“Ingat-ingat kejadian ini, G elar, selama hidupmu.”

G elar berhenti meronta, mem andangi Syahbandar dengan mata ter-heran-heran.

“Mak!” serunya kemudian. “Ya. Itulah ayahm u, N ak, kenali dia baik-baik dari

dekat.” Idayu memasang G elar demikian rupa sehingga si bocah

itu berhadap-hadapan dengan Syahbandar. Anak itu sebagai besi berani menarik mata lelaki itu. D ua pasang mata itu bertatapan, yang satu bocah, yang lain setengah baya.

“Ya, G elar, ” Idayu meneruskan, “itu ayahmu sendiri. Kenali dia, tampangn ya, wataknya, tingkah-lakunya….”

Mu ka Tholib Sungkar Az-Z ubaid merah-padam.

D iturunkan tongkat dari bahu dan dihentakkan di lantai. W aktu ia memperdengarkan suaranya, tak ada peremp uan berkata begitu. “Coba, kalau benar, bagaimana hukumnya maka dia anakku?”

“Kau dengar sendiri suaranya, G elar. Memang tidak menyanyi lagi bunyinya seperti tadi. Itulah suaranya yang

asli.”

“Jangan bercericau seperti nuri!” sambarnya bengkeng. “D engarkan kata-katanya. Begitulah macam ayahmu,

G elar. Syukur kau hidup sehari-harian serumah dengannya. Makin hari kau akan m akin kenal….”

“Jangan teruskan, Idayu, ” Syahbandar sekarang merajuk.

“… D an tah ulah kau siapa dia. Kau akan semakin jijik.” “Idayu, kau ajari anak itu kurangajar.” “D engar, kau, G elar, dia tak mau dikurangajari.”

“Idayu diam!” “D ia belum bisa bicara, Tuan Sayid, biarlah dia

mem injam dulu kata-kata ibunya’ “Jadi kau ajari dia kurangajar terhadap ku.” “Inilah anak Tuan, Tuan Sayid. Bukankah Tuan tahu

sejarah kelahiran nya?” “Bagaimana sejarah kelahirannya? Aku tak tahu. Jangan

sebut sekali lagi dia anakku. Tuan Sayid Habibullah Almasawa tak pernah beranak-kan dia!” matanya mem beliak mem peringatkan.

“Tak ada yang dengar, Tuan, hanya sahaya, Tuan dan anak T uan sendiri.”

“Aku tak beranakkan dia!” Tholib Sungkar hampir mem bentak.

“Itu, itulah ayahm u, G elar, kasihan kau, ayahmu untuk di dunia dan untuk di kemu dian hari.”

Seakan m engerti maksud ibunya bocah itu tetap menatap Syahbandar seperti lelaki setengah baya itu baru sekali ini dilihatnya. Tetapi melihat wajah orang itu berubah jadi galak, ia m enjerit ketakutan.

Idayu kembali mendekapnya pada dada. D engan suara seperti meratap ia meneruskan: “Nasibmu, N ak, punya ayah tiada m engakui. Tapi kau harus akui dia. D asar sudah nasibmu, punya ayah semacam itu kelakuann ya….”

“Idayu!” “… Takut pada ayah sendiri, seperti takut pada

gand arwa.” “Sudah, hentikan igauanmu. Jangan ulangi. Mari

berbaik, Idayu, ” katanya lagi mem bujuk. “D engarkan dulu berbaik, Idayu, ” katanya lagi mem bujuk. “D engarkan dulu

“Kau, N ak, anak seorang Syahbandar yang mengenal dun ia. N asibm u, betapa buruk. Menggendong saja dia tak mau. N asib.”

“D iamlah, Idayu. Apa kataku tadi? Kau belum lagi mengenal dunia.”

“Apalah gunanya dun ia sahaya kenal, kalau hanya seperti yang Tuan lihat?”

“Haiyaaa.” Mereka masih juga berdiri berhadap-hadapan di depan

pintu kamar di seram bi. Mereka berhadap-hadapan, masing-m asing berusaha tundu k-menundu kkan tanpa kekerasan.

“Itulah, Idayu, itulah, justru karena tak kenal dunia, kau anggap semua sudah m encukupi.”

“Hidup sahaya telah mencukupi, Tuan Sayid, dengan kasih-sayang suami sahaya, si G aleng anak desa yang bodo h itu.”

“Husy. D engarkan dulu aku. Kau biarkan suamim u yang seorang itu selalu meninggalkan kau. Kau belum lagi… jangan sela dulu aku, kau belum lagi tahu negeri-negeri orang lain.”

“Apalah gunanya?” Tholib Sungkar Az-Zubaid tertawa ram ah. Ia tegakkan

bongkoknya dan menyangkutkan ton gkat kembali ke atas bahu, kemudian bertepuk-tepuk: “Kalau di negeri lain sana, Idayu, pastilah kau akan jadi ratu.”

“Huh!” Idayu berpaling melecehkan.

“… Tidak jadi istri seorang G aleng yang selalu pergi, mem biarkan kau m erana dalam menunggu.”

“Sahaya perempuan Tuban, Tuan Sayid, yang berbahagia m enunggu suami pulang.”

“Jangan kau jadi bodo h seperti peremp uan Tuban lain. Cerdiklah sedikit,” ia maju setengah langkah.

“D alam m enunggu suami pulang sahaya berbahagia.” “Mak, turun, Mak,” pinta G elar. “Jangan, N ak, temani dulu emakmu .”

G elar meronta lagi minta turun dan Idayu mem biarkannya turun. D an bocah itu lari girang ke

pelataran mem anggil-manggil N yi G ede Kati. Ia langsung menuju ke dapur.

Tholib Sungkar berseri-seri dan maju lagi seperempat langkah: “Jangan bohongi aku. Tak ada oran g berbahagia karena menunggu. Tak ada kesengsaraan lebih mencekik daripada menunggu. Malah, Idayu, kau tak tahu pula apa yang dikerjakan suamimu. Apalagi sekarang.” Melihat penari itu mendengarkan ia semakin berani, “Pekerjaan nya berat. Bukan hanya berat, berbahaya. Setiap waktu bisa mati. Apalagi sekarang ini. M ungkin ia takkan kembali lagi untuk selama-laman ya….”

“Apalah yang sahaya herani bila suami m ati?” “Jadi kau m engharapkan dia m ati?”

“Apakah hebatnya kematian, Tuan Sayid? Tiadakah pernah terdengar oleh Tuan betapa di pedalaman sana wanita melomp at ke dalam api untuk dapat mengikuti suam i yang mendahului mati? Tidakkah pernah Tuan dengar? D i Tuban Kota mem ang sudah tidak kejadian lagi. Pergilah ke pedalaman.”

“Jangan, Idayu. Semua orang tahu. Tapi jangan lakukan. Betapa bodo h oran g mem biarkan kecantikan dan kemolekan seperti ini punah dimakan api,” larangan sambil mendekat lagi.

“Jangan lebih dekat, Tuan Sayid, dan jangan coba-coba masuki rumahku,” Idayu memperingatkan. “Sahaya sedang jaga, tidak mimpi dalam tidur.”

“Apakah keberatanm u selam a tempat ini jadi bagian dari kesyahbandaran? D an isinya pun dalam kekuasaanku?”

“Sahaya bilang: jangan.” “Layani aku, Idayu, lupakan suamim u.”

Syahbandar melangkah menerjang hadangan Idayu sambil menarik wanita itu masuk ke dalam kamar.

Idayu meronta melepaskan diri. Tak terdengar olehnya

G elar m emanggil-manggil dari sesuatu jarak. Syahbandar berusaha menan gkapnya lagi. “Bodoh!”

gum am Syahbandar. “Kurang hormat apakah perempuan bodoh ini?” kata

Idayu cepat-cepat dan terengah-engah. “Tuan Sayid, keluar dari sini!” dengan cundrik telanjang di tangan wanita itu

mengancam. Syahbandar itu terkejut dan undur keluar dari kamar. N aluri beladiri menyebabkan dengan sendirinya ia mengangkat tongkat dan mengamangkan, mengancam: “Di mana pun begitu mesti bisa ditundukkan,” ia tertawa melecehkan, “apa lagi, kau, Idayu. Sampai di mana kekuatanm u? Kalau kupukul kau, keris-kecilmu takkan berdaya, kecantikanmu akan rusak untuk selam a-lamanya. Takkan lagi yang bakal mengagumi kau.

“Pukullah, T uan.”

Tetapi lelaki itu meneruskan gerutunya tanpa mengh arapkan jawaban: “Apa yang kau andalkan? W iranggaleng? Kesetiaannya padamu? Hah! Mu ngkin dia sekarang sudah terkapar dimakan cacing tanah, tinggal tulang-tulang berantakan termakan anjing.”

“Mem ang itulah yang Tuan kehendaki.” “… D an bila dia toh balik lagi ke mari, dengarkan kau,

perempuan bodo h, bila dia toh balik, segar dan selam at… kau, tidak lain dari kau yang bakal celaka. Kerisnya akan tembusi dad amu . Akan diminum nya darah mu seperti dia minum tuak. D ibuangnya m ayatmu tanpa upacara.”

“Jadi apa sesungguhnya yang Tuan Sayid harap kan dari sahaya?” Idayu bertanya bodoh.

“Singkirkan cundrik itu. Buang jauh-jauh di pelataran sana! Bagaimana kau tak tahu apa yang ku kehendaki?”

“Kalau soalnya cuma itu, Tuan Sayid, betapa sederhana keinginan Tuan.”

“Masih juga kau bercericau!” “Mari sahaya ceritai, Tuan,” Idayu bermanis-m anis.

“Barangkali Tuan m au mendengarkan.” Tholib Sungkar mengendorkan pegangan nya pada

ton gkatnya. Matanya tetap waspada m emperhatikan tangan Idayu yang m asih juga mengamangkan senjatanya.

“Apa ceritamu, Idayu?” “Cerita sahaya, Tuan, betapa sederhana memilih

bagaimana cara berlawan atau mati.” “Kau tetap melawan aku, Idayu?” “Sahaya sedan g m elawan, Tuan.” “Keris W ira akan menem busi dadamu !”

“Apalah salahnya. Tapi sebelum itu dari mu lut Tuan sendiri ingin sahaya dengar, dengan mata sahaya sendiri ingin melihat, Tuan sudi mengakui G elar sebagai anak Tuan sendiri, karena memang dia anak Tuan.”

“Tiada aku beranakkan dia!” lelaki itu m embentak. “Keluar!” pekik Idayu. “Takkan ada orang datang

menolong aku, pun tak ada orang bakal menolong Tuan. Keluar! Sahaya tak m engulangi kata-kata sahaya.”

Idayu melangkah dan lelaki itu dengan sendirinya bersiaga dengan tongkatnya.

Tholib Sungkar tak juga beranjak dari temp atnya. Idayu melom pat maju sambil menyerang dengan

cundriknya. Syahbandar melompat ke samping, mengelak. W an ita itu menikam dari samping. Syahbandar melom pat lagi dan m engayunkan pukulan pada tangan lawannya yang bercundrik. Idayu menarik tangan dan berputar menikam punggung. Lelaki itu melom pat ke depan dan lari meninggalkan kamar, meninggalkan seram bi. Lengan bajunya sobek dan darah mem erahi sekitar sobekan.

Panggilan G elar semakin terdengar mendekat. Idayu keluar ke seram bi, melihat ke sana-sini mencari-cari anaknya. Tak ada dilihatnya lelaki bongkok itu. Yang mu ncul adalah G elar yang masih juga memanggil-manggil. Ia masukkan kembali senjata itu ke dalam sarung dan ia

selit-kan pada sanggul. Kemu dian ia berjongkok menyam but anaknya.

D engan sekali renggut G elar telah berada dalam gendongan, dalam pelukan. Ia menciuminya berkali-kali.

“N asibm u, N ak, nasibmu. Seorang ayah pun tiada mengakuimu.”

G elar m emeluk leher ibunya. “Sayang kau pada em ak?”

G elar m engencangkan pelukannya.

0o-d w-o0