Perjalanan Sepucuk Surat Rahasia

15. Perjalanan Sepucuk Surat Rahasia

D ilihatn ya Sang Patih sedang dihadap oleh Syahbandar langsung, ia berjalan melalui samp ing kepatihan ke belakang. Ada terdengar olehnya sepoto ng kata-kata Syahbandar dalam Melayu: “… tak ada hak patik untuk mengu sirnya….”

Ia berhenti dan terdengar suara Sang Patih: “Siapa bilang kami mengusir atau m emerintah kan m engusir? Patih Tuban mengu ndang mereka kemari. Kami tahu mereka penembak meriam. Maka itu kami mengu ndang m ereka.”

W iranggaleng meneruskan jalannya dan masuk ke dapur kepatihan untuk mengh ilangkan lapar dan dah aga. Begitu Syahbandar pergi ia datan g mengh adap. Sang Patih duduk di atas bangku kayu sedang m engipas-kipas badan. Melihat Syahbandar-m uda datan g ia tersenyum senang dan menyilakannya duduk.

“Kau nampak agak kurus, Wira. Pasti terlalu berat perjalananm u.” D an belum lagi penghadap itu bersembah ia telah meneruskan, “Pasti kau lihat tadi Syahbandar habis mengh adap.

D ipergunakannya segala alasan untuk mengh alangi orang-orang Peranggi petualang itu datang mengh adap ke mari. Apa boleh buat. G usti Adipati berkenan mem berikan perlindungan, dengan dugaan mereka mau mengajar mem bikin meriam. Telah kami persembahkan petualangan mereka di Lao Sam. Sia-sia,

W ira. Jangankan Peranggi mau mem bagi ilmunya, orang Tionghoa di sini saja segan mengajar membikin kertas. Katanya kau sudah pernah melihat orang-orang Peranggi itu. Bagaimana pendapatmu? Ah-ya, nanti dulu, m ereka toh masih berada di bawah perlindun gan Syahbandar. Bagaimana kepergianmu ?”

D an W iranggaleng bersembah. “Jadi sudah jelas Rangga Iskak mem ang hendak

bertingkah. D ia telah bikin kawula Tuban mem bangkang dan melawan. Mana surat itu?”

Melihat surat itu bertulisan Arab ia hanya mengangguk. “Kami tahu kau masih lelah dan rindu pula pada

keluargam u. Apa boleh buat, Wira, pekerjaan ini haru s kau selesaikan sendiri. Pergi kau ke Bonang dan panggil mengh adap M ashud bersam a denganm u.”

D engan seekor kuda kepatihan ia berangkat ke Bonang dan keesokannya m enghadap lagi bersama Mashud.

0o-d w-o0

“Bapa Mashud,” kata Sang Patih, “kami perintah kan padamu membaca surat Arab ini baris demi baris dan terjemahkan baris demi baris pula.”

Mashud mem baca baris demi baris dan m enterjemahkan: “Selamat bagimu,” sebaris lagi, “D ilimpahkan oleh Allah

kiranya padam u taufik dan hidayatnya, ” sebaris lagi, “D ijau hkan Tuan kiran ya dari jilatan api neraka,” selanjutnya, “Kecuali bila kau lakukan hal-hal yang diwajibkan kepadamu

untuk mengem bangkan dan menyam paikan,

melindungi

mempertahankan dan mempertahankan dan

Mashud tiba-tiba terdiam. Mu kanya pucat. Tangan dan bibirnya menggeletar. Matanya liar ke mana-m ana seperti keranjingan.

“Mengapa, Bapa Mashud?” Orang kurus tinggi bersorban tebal itu menelan ludah

dan meneruskan. Tetapi kata-katanya sudah tak jelas lagi artinya.

berhenti dan menyuruhnya pergi, dan ia pergi masih dalam keadaan

Sang Patih

memerintahkann ya

pucat dan gugup. Seoran g perwira menghadapkan pada Sang Patih guru daripada Mashud. Ia seorang Camp a yang sudah lama tinggal di Malaka, bernama Jamh ur Tenga, baran gkali seumur hidup selalu menggunakan jubah coklat dan sorban coklat pula.

D engan tenang dan percaya diri ia mu lai menterjemahkan, baris demi baris. Sampai pada baris yang mem ucatkan Mashud ia menjadi gugup dan menubruk- nubruk, sedang terjemahannya berbeda jauh dari Mashud. Sang Patih m engangguk dan mem erintahkannya pergi.

Seorang perwira lain mengh adap kan seorang Melayu pelarian dari Malaka, telah kehabisan modal dan kehilangan kapal. Ia telah diam bil sewaktu sedang bersiap- siap hendak pindah ke pedalaman. Ia tak berjubah tak bersorban, tetapi berpakaian Pribumi Tuban. Ia menghadap dalam keadaan setengah mati ketakutan. Ia bernama Kaman g Sani.

Terjemahannya mu lai baris yang mem ucatkan itu tiada kesam aan baik dengan Mashud ataupun Jam hur Tenga.

Sang Patih m emerintah kannya pergi.

“Jadi kau sendiri tahu, Wira, ada rah asia terkandu ng di dalam nya. Rahasia ini mengikat Rangga Iskak dengan para penterjemah pada satu pihak dan Rangga Iskak dengan Syahbandar Tuban pada lain pihak. D i sebelah sana lagi ada Peranggi. D i sampingnya ada perusuh yang menentang Tuban ”

Sang Patih mem utarkan tinju dalam genggam an tangan yang lain.

“Aneh, Rangga Iskak bermu suhan dengan Syahbandar, juga bermusuhan dengan Peranggi, juga bermusuhan dengan Tuban. Syahbandar bermu suhan dengan Rangga Iskak dan kami mencurigainya bersahabat dengan Peranggi.”

“Barang tentu surat gawat, G usti.” “Pergi kau sekarang juga ke G resik. Carikan terjemahan

yang benar. Jangan kau tunda-tunda tugasmu .”

D an dengan demikian mendaratlah W iranggaleng di bandar G resik.

0o-d w-o0

Bandar itu tidak seindah Tuban, namu n masih lebih ram ai, juga pasar dan perdagangannya. Di masa-masa yang lalu peranan nya jauh lebih penting daripada Tuban, dan samp ai sekarang pun masih bandar terbesar di Jawa. Sebelum Portugis menduduki Malaka dan Maluku, sebagian terbesar rem pah-rempah Maluku datang kemari, dari sini berpecahan ke seluruh bandar di Jawa dan dun ia.

Tiga ratus tahu n setelah menjadi bandar tanpa tuan, mu lai abad ke sepuluh Masehi, pelabuhan ini dipergunakan oleh Sri Bagin da Teguh D ar-mawan gsa menjadi pangkalan Tiga ratus tahu n setelah menjadi bandar tanpa tuan, mu lai abad ke sepuluh Masehi, pelabuhan ini dipergunakan oleh Sri Bagin da Teguh D ar-mawan gsa menjadi pangkalan

D an seperti halnya dengan Semarang dan L ao Sam, juga

G resik pada mu lanya dibangun menjadi bandar oleh pendatang-pendatan g dari Tiongkok. Setelah jatuhnya

Majapahit pada 1478 Masehi, G resik berada dalam keadaan tanp a tuan lagi. Tetapi perdagangan berjalan terus seakan- akan jatuhnya kekuasaan politik itu tiada mempunyai sesuatu pengaru h terhadap pelayaran dan perdagangan, sebagaimana sebelum dikuasai oleh Sri Baginda Teguh

D arm awangsa. Satu kekuasaan yang kemudian timbul lagi adalah justru

karena ingin mengu asai bandar dan keuntungan nya ini. Beberapa orang yang mengaku keturunan Bre Wijaya

Purwa wisesa bertentangan dan berperang satu-sama-lain samp ai akhirnya balatentara Giri Dahan apura turun dari Blam -bangan melakukan pam eran militer mem asuki wilayah inti Majapahit, mem bungkam kekuatan-kekuatan kecil yang bertarung memperebutkan G resik. Raja Blam bangan Hindu, Ranawijaya G irindra W ardhana sejak tahu n 1485 mengu asai G resik sebagai bawahan G iri

D ahan apura atau Blambangan.

G resik yang berpindah-pindah tangan itu tetap berkemban g tanp a kerusakan. Usaha Ranawijaya untuk mem indah kan

G resik ke bandar-band arnya sendiri, Panarukan dan Pasuruhan, tidak pernah berhasil. Pam eran G resik ke bandar-band arnya sendiri, Panarukan dan Pasuruhan, tidak pernah berhasil. Pam eran

0o-d w-o0

Keadaan mem ang agak lengan g waktu Wiranggaleng mendarat. N amu n jauh lebih sibuk daripada T uban. Oran g- orang beram but panjang di sini jauh lebih sedikit, dap at dikatakan tinggal satu-dua. Orang yang mengenakan baju juga jauh lebih banyak, menandakan golongan satria tidak lagi begitu berkuasa, dan kehidupan lebih banyak dikuasai oleh kaum pedagang Islam. Pendud uk sudah banyak mengenakan terompah seperti para pendita di pedalaman, terbuat daripada kulit kayu, pelepah atau kulit kambing mentah.

D an W iranggaleng terheran-heran melihat betapa sedikit orang yang berkain batik. Orang lebih banyak mengenakan pakaian polos putih, wulung atau genggang, semu a tenunan desa. Orang-orang bertombak dan berpedang sama sekali tidak kelihatan di pelabuhan , seakan-akan golongan satria mem ang sudah tak punya sesuatu kekuasaan.

Setelah mendapat ijin masuk segera ia mencari-cari keteran gan. Tapi pandang mata yang tertuju padanya seperti memperhatikan seekor binatan g aneh yang terlepas dari kandang. D i suatu tempat yang terlindung ia terpaksa menggelung ram but dan menutupinya sama sekali dengan destar. D ibelinya selembar sarong dan dikalungkannya tergan tung di tentang dada seperti kebiasaan orang setemp at. Baru ia m erasa dapat bergerak agak leluasa.

Ternyata tidak semudah itu ia dapat menguasakan agar tidak menjadi perhatian umu m. Rambut sepanjang itu, bagaimana pun ia sembunyikan ternyata tetap menarik orang. Tiga hari lamanya ia berpikir untuk mendapat jalan Ternyata tidak semudah itu ia dapat menguasakan agar tidak menjadi perhatian umu m. Rambut sepanjang itu, bagaimana pun ia sembunyikan ternyata tetap menarik orang. Tiga hari lamanya ia berpikir untuk mendapat jalan

Itu pun ternyata tak semudah dugaannya untuk melaksanakan. Tak ada oran g bersedia mem otong ram but panjang seorang kafir, karena ada orang dan tempat tertentu untuk itu. Kalau tidak para leluhur akan gusar, katanya, baik yang dipangkas ataupun yang mem angkas bisa terkena kutuk. D an tempat pemangkasan adalah pesantren. Kemu dian ia ketahui pesantren adalah tempat para santri, dan santri sendiri tidak lain dari ucapan guru agama dari seberang untuk cantrik. Ki Aji, yang artinya yang terhormat, di sinipun telah mu lai berubah bunyinya jadi Kiai oleh guru-guru agam a dari seberan g itu pula.

Ia pergi ke sebuah pesantren, yang ternyata adalah sebuah asram a pendidikan. D an untuk keperluan itu ia sudah lakukan satu kekeliruan.

Semestinya ia tidak datang seorang diri sebagai seorang yang beram but panjang. Harus diantarkan oleh sanak-

keluarga yang menyatakan kerelaan akan pemoton gan ram but itu. Bila sanak-keluarga menolak, baru orang boleh mem bawa teman -temannya sebagai saksi. Di samping itu masih ada lagi syaratnya: seekor ayam jantan putih, beras tujuh tempurung dan tiga depa bahan pakaian putih.

Justru tanpa syarat dan pengantar pada suatu hari ia datang ke sebuah pesantren terdekat pada bandar G resik.

Ia diterima oleh seorang bocah yang kontan menolak mengh adapkannya pada seorang pemangkas. Anak itu mengawasinya dengan curiga, bahkan menjawab pertanyaan dan permintaan nya pun segan.

Ia m emaksa diri mendekati salah sebuah dari perumahan yang ada dan m enemui oran g lain. Lelaki dewasa berkalung Ia m emaksa diri mendekati salah sebuah dari perumahan yang ada dan m enemui oran g lain. Lelaki dewasa berkalung

“Sahaya bermaksud mencukurkan ram but,” jawabnya merendah.

“Manakah saksimu yang mem beri kerelaan dan mendengar kau mengu capkan kalimah syahadad ? Mana pula syarat untuk hajad?”

Ia tidak mengerti kata-kata aneh itu dan minta diterangkan.

“Tiada sahaya bersaksi, tiada pula bersyarat.” “Tentu kau datang dari jauh untuk mendengarkan

panggilan ini. Mari aku poton g ram butmu .”

D an ram but itu pun dipotong sambil Wiranggaleng menirukan kata-kata aneh yang digumamkan oleh si pemangkas. Pekerjaan itu sendiri tak lama karena mem ang tidak dilakukan secara sebaik-baiknya, hanya sekedar mem endekkan sejari dari kulit kepala.

“Apa lagi yang kau kehendaki?” tanyanya lagi. “Rambut itu boleh kau buang ke kali.”

Buru-buru W iranggaleng mengumpulkan poton gan ram but dan disimpannya di dalam sarong. Ia akan menan am nya kelak dengan upacara di sesuatu tempat yang patut untuk itu dengan memo hon ampun dari para leluhur, para dewa dan Hyang Widhi.

“Kalau tak ada yang kau kehendaki lagi, kau boleh pergi. Aku pun m asih banyak pekerjaan. Siapa nam amu ?”

“Itun g.” “N ah, Itung, kau sekarang sudah hampir sepenuhnya

Islam, pergunakan sekarang nam a Islam, Salasa. Bisa Islam, pergunakan sekarang nam a Islam, Salasa. Bisa

“Salasa.” “Pulanglah dengan selam at.” “Bolehkah kiranya sahaya…,” ia tak tahu bagaimana

menyebut orang itu, “diperkenankan belajar agam a baru di sini?”

“Bahasam u baik, tentu kau sudah pernah mengikuti pendidikan.

Tentu saja kau boleh belajar di sini’ orang itu tertawa ram ah, menganggu k dan mem andan ginya dengan kasihan.

“Setiap orang yang sudah berambut pendek boleh belajar di sini, tinggal di sini, makan dan kerja di sini, selama dia suka dan berkelakuan baik.”

“Kalau sudah tidak suka lagi?” “Ya, boleh pergi setiap waktu, minta diri secara baik-baik

sebagaimana datangnya. Benar-benar kau mau belajar? Jadi santri?”

W iranggaleng m engangguk m engiakan. “Kalau begitu m ari aku antarkan kau ke tempatmu .”

Seperti seekor kam bing yang tertuntun Syahbandar-mu da itu mengikutinya masuk ke sebuah pondok. Di dalamnya disusun am bin-ambin seperti dalam asrama di pedalaman. Tapi tak ada seorang pun nampak di dalam.

“Kau boleh am bil tempat kosong itu, Salasa.” W iranggaleng tidak pergi ke tempat yang ditunjuk. Ia

berdiri saja, malah mengeluarkan surat Rangga Iskak dan berkata: “Surat inilah sebenarnya yang mem bawa sahaya kemari. Sahaya percaya ini ajimat luar biasa, tetapi sahaya berdiri saja, malah mengeluarkan surat Rangga Iskak dan berkata: “Surat inilah sebenarnya yang mem bawa sahaya kemari. Sahaya percaya ini ajimat luar biasa, tetapi sahaya

“Ini surat baru, di atas kertas, bukan lontar. D ari mana kau dapat?”

“Jauh, jauh dari sini.” “Aku sendiri tak bisa menjawakan. Mari aku antarkan

pada Bapa Kiai.” Sekali lagi ia m engikuti oran g itu seperti seekor kambing

dalam tuntunan. D an masuklah mereka ke dalam sebuah ruangan yang bergeladak pelupuh. Orang yang disebut Bapa

Kiai itu duduk mengh adapi meja lipat, sedang di atasnya terbuka sebuah kitab lebar. Tak ada orang lain menyertainya.

Melihat ada orang masuk ia berhenti menyanyikan bacaannya dan menutup kitabnya, m enegur dalam M elayu: “Allah mem berkahimu dengan keselam atan , anakku. Ada keperluan apa m aka kau datang m enghadap ?”

Pengantar itu menjawakan, dan dalam Melayu menjawabkan Wiran ggaleng sambil mengu lurkan surat

tulisan Arab. Juara gulat itu duduk di atas geladak pelupuh

mem perhatikan wajah Bapa Kiai. Betul juga dugaann ya, kira-kira samp ai pada baris yang mengejutkan Bapa Kiai

nam pak tegang, berdiri, mendekatinya dan bertanya terbata- bata: “D ari mana kau peroleh surat ajimat ini?” dan pengantar menjawakan.

“N un di pinggir jalan di desa sahaya.” “D i m ana desamu ?”

“Jauh, jauh dari sini, kira-kira tujuh hari perjalanan, mu ngkin lebih.”

“N am a, nam a desamu .” “Kuda, Bapa Kiai, Kuda Kondang.” “Kabupaten mana itu anakku?” “Bojanegara, Bapa Kiai.” “Sedang ada apa di desamu?” “Tak ada apa-apa, Bapa, hanya panen.” “Atau di dekat-dekat desam u?” “Juga tak ada apa-apa, Bapa.” “Tidak mu ngkin, pasti ada terjadi sesuatu.”

“Apakah kiran ya isi ajimat itu, Bapa Kiai?” Bapak Kiai yang namp aknya masih muda itu mengawasi

W iranggaleng, menaksir-naksir badannya yang besar. Suaranya berubah mencurigai: “Kau belum

patut mengetah ui, N ak,” jawabnya curiga. “Biar aku simp an surat ini, terlalu amat berbahaya disimpan oleh orang seperti kau.”

“Itu sahaya punya, Bapa Kiai.” “Bukankah sudah aku katakan? Ini tidak tepat kau

sim pan, apalagi kau miliki. Kau bisa terkena tulah.” Melihat Ki Aji kembali pada meja-lipatnya hendak

mem asukkan surat itu ke dalam kitab, ia melompat.

D itangkapnya tangan itu dan dirampasnya kembali surat itu. Bapa Kiai memekik. W iranggaleng mengu guh

mu lutnya. Pengantar itu lari ketakutan sambil mem ekik- mekik minta tolong. Dan sekarang giliran Wiranggaleng untuk juga melarikan diri. Tanpa menoleh lagi ia langsung mu lutnya. Pengantar itu lari ketakutan sambil mem ekik- mekik minta tolong. Dan sekarang giliran Wiranggaleng untuk juga melarikan diri. Tanpa menoleh lagi ia langsung

Setelah jauh ia berteduh di bawah sebatan g pohon mengenan gkan kegagalannya. Ia takkan menem puh jalan yang sam a. Ia akan m encari pesantren lain, satu dengan lain tidak selam anya bersahabat. Permu suhan sering timbul di antara mereka, dan kadan g berakibat bentrokan, malahan perang kecil.

Ia merasa am an. Ia berjalan pelan-pelan setelah mendapatkan nafasnya kembali. Dirasainya kepalanya

begitu ringan seakan ikat kepalanya melekat pada tengkoraknya. Ingat bahwa rambutnya telah terpotong ia merasa

suatu kesedaran mengh entikan seluruh pekerjaan ototn ya. Ia mencari tempat berteduh lagi di tepi jalan dan mencoba mengikuti gerak kesedarannya.

menyesal.

D irasainya

Benarkah aku sekarang sudah Islam? Mu slim? Bernama Salasa?

Ia tenangkan pikiran dan perasaan. Ia resapkan kembali kesan-kesan yang baru dialaminya. Aku masih tetap seperti kemarin, hanya kepalaku saja terasa ringan tak beram but.

Tapi kau telah ucapkan mantra orang Islam itu, satu pengakuan, satu kesaksian kau sudah Islam, Muslim seperti

yang lain. Tidak, aku m asih tetap seperti kemarin. Tunggu, cobalah rasakan perbedaannya, jangan

kesam an ya. Tidak beda. Beda! Tidak. Beda!

Rambutmu telah pendek dan kau telah geletarkan melalui lidah dan bibirm u sendiri, dengan kemauan sendiri siapa dewa dan pemimpinmu yang baru.

Tidak, aku m asih tetap seperti kemarin. Kau bohong! Tak ada yang memaksa kau mem oto ng

ram but dan mengu capkan mantra itu. Semua atas kemauan mu sendiri. Kau, tak lain dari kau sendiri, dengan sepengetahuanm u sendiri, dengan lidah dan suaramu sendiri.

D iam kau! Tidakkah kau tahu, aku sedang mencari terjemahan? G erak lidah itu telah padam, suara itu telah

beku dan rambutku bakal tumbuh lagi, dua minggu dan dia akan m ulai panjang.

D iam kau! Tidakkah kau dapat jujur terhadap diri sendiri? Kau sudah Islam. Kau haru s akui kebenaran ini.

Pusing karena pertikaian di dalam diri sendiri ia melom pat berdiri dan meneruskan perjalanan. Langkahnya makin lama makin cepat. Pikirannya dialihkan pada soal- soal lain. Apakah aku harus lakukan kekerasan di pesantren baru nanti? Apakah aku harus meninggalkan kebencian orang terhadap diriku? Teringat ia pada Liem Mo Han: W ira, Tuan adalah orang berbahagia, karena dicintai dan dihorm ati orang banyak. D an di G resik sini? Tak ada orang mencintai dan mengh ormati aku. Tidak berbahagiakah aku?

Ia merasa-rasakan. D an ia tetap masih merasa berbahagia.

Kebahagiaanm u tak lain dari pesangon cinta dan horm at orang di Tuban sana, seakan Liem Mo Han meneruskan kata-katanya.

Kemu dian Ram a Cluring mu ncul di depan mata batinnya, mengacukan jari padanya dan berkata: aku tak Kemu dian Ram a Cluring mu ncul di depan mata batinnya, mengacukan jari padanya dan berkata: aku tak

D ia tidak mem butuhkannya, seakan Liem Mo Han berseru, karena dia tidak hidup dalam jamannya sendiri atau jaman orang lain; dia tidak ber-jaman, dia hanya suara.

Ia melangkah cepat. Pandan gnya ditebarkannya ke mana-mana untuk mengebaskan segala yang bertingkah dalam dirinya.

Pada hari itu juga ia dapatkan pesantren baru, yang sama saja dengan sebelum nya. Hanya lebih kecil. Ia lalui hari- hari pertam a dengan mengerjakan sawah dipagi dan sore hari dan belajar m embaca disore hari.

D ikendalikan lidah nya untuk tidak menan yakan sesuatu. Sebaliknya ia tajamkan pengelihatan dan pendengaran. Ia perhatikan galanya.

Ia dap at mengetahui adanya seorang santri yang dianggap terpandai dan telah lebih sepuluh tahu n belajar. Orang itu yang dipilihnya untuk mem bantunya mendapatkan terjemahan. D an ia takkan m endekati Kiai.

0o-d w-o0

G enap seminggu kemudian ia sudah mulai meramahi

D anu, santri terpandai itu. Juga D anu yang bercerita padanya, G resik bisa hidup terus tanpa raja, tanpa bupati.

Makin tak ada m ereka makin baik. D i jaman Majapahit, tak ada punggawa mencampuri pesantren, ia bercerita. Sri Bagin da Bhre Wijaya Purwawisesa malah mem berikan tanah pada kiai-kiai yang tidak dikenakan pajak atau kerja negeri – sama halnya yang didapat oleh asrama-asrama Buddh a.

D an waktu raja Giri D ahanapura, Sri Ranawijaya

G irindra W ardha-na mem asuki G resik, ceritanya lagi, dipanggilnya mengh adap semua saudagar dan nakhoda, dan dititahkan nya semua memindahkan harta dan perdagangann ya ke Panarukan atau Pasuruan.

“Lihat, bagaiman a hebatnya Gresik,” ia meneruskan. “Para saudagar dan nakhoda mengetah ui, tanpa G iri

D ahan apura, G resik akan tetap hidup. Mereka bersembah,

G iri D ahan apura dapat dipindah kan ke G resik, tetapi

G resik tak bisa dipindah kan ke mana pun!”

D anu adalah seorang patriot G resik. W iranggaleng tak sempat mem bikin perbandingan

dengan bandar Tuban. Ia sibuk mencari-cari kesempatan untuk bisa berdua saja dengan D anu.

Hari yang ditunggu -tunggunya tiba juga. Sore itu m ereka telah mandi di saluran air sawah. Enam

belas orang jum lahnya, term asuk dirinya. Semua sedang bersiap-siap pulang, pada berdiri di pematang menunggu yang belum selesai berpakaian. Pacul-pacul kayu bermata baja itu pada berdiri berderet di atas lumpuran sawah yang habis digaru. D i atas sana langit sedang bermendun g. Sekali-dua terdengar sayup guruh menggerutu seperti dari perut bumi.

Ia hampiri D anu, menawarkan jasanya. “Biar aku cuci paculmu, Kang D anu!” dan tanpa

menunggu jawaban ia mem asukkannya ke dalam saluran dan mencucinya dengan setekam rump ut.

“Kalau aku sudah tam at nanti,” katanya menambahi sambil menyerahkan pacul D anu, “aku akan masuk ke daerah kafir Blam bangan, m endirikan pesantren sendiri.”

“Kau!” D anu tertawa geli, “belum lagi dua minggu belajar! Tidak semudah itu,” dan dengan gaya keguru- guruan meneruskan. “Abangku sudah

setahun di

D ahan apura. Apa hasilnya? Buh! T ak ada. Apa kekurangan dia? Semu a sudah habis dipelajarinya. Sekarang dia mau tinggalkan Blam bangan hendak berusaha di Nusa Tenggara.”

“D i sana dia tentu akan berhasil, Insya Allah.” “Tuhan akan menunjukkan padanya jalan yang terang. ” “Aku ingin m emasuki D ahanapura, Kang.” “D i sana kau akan jadi kafir lagi. Belajar saja baik-baik.” “Tentu, Kang D anu. Aku akan belajar baik-baik.

Bagaimana pun Blam bangan sangat menarik. Kerajaan sekecil itu! Sebentar lagi tentu tumban g, Kang, biar pun punya bandar dan angkatan laut.”

“Buh!” D anu melecehkan, “penyebaran agama bukanlah perang, ” ia meneruskan, “majunya tidak seperti tentara berbaris, dia tidak menambah jalan darat atau laut, tetapi hati manusia! hati yang harus diram bahnya. Ada kau mengetah ui sesuatu tentang Blambangan D ahanapura?”

“Katanya Peranggi sudah masuk ke sana. Kang, ada yang m embuka perguruan, kata oran g, menyebarkan agama sendiri. Itu kata orang, Kang.”

“Ya, semua orang di sini pernah dengar. Kata abangku, beberapa waktu yang lalu,” D anu mu lai berjalan di atas

pematang m enuju ke desa dan W iranggaleng mengikutinya dari belakang.

“D i m ana abangm u sekarang, Kang D anu?” “Masuk ke D aahanapura lagi. Kata dia, raja di

Blam bangan , Sri Rana-wijaya, tidak menyukai orang Islam, Blam bangan , Sri Rana-wijaya, tidak menyukai orang Islam,

D albi?” ia menengok dan menyaksikan gelengan W iranggaleng. “Raja Peranggi di Malaka. Utusan itu, kata abangku, telah mem persembahkan pada Kongso D albi sebuah giring-giring emas, lambang kejayaan Hindu di Blam bangan , beras dua kapal, satu ukiran kayu cendana berbingkai emas. Kebetulan abangku kenal dengan pengukirnya.”

“Apa yang diukir pada kayu itu, Kang?” “Satu adegan dari Ramayana, Lesmana dan Sinta di

dalam hutan.” “Pengukirnya, Kang?” “Pengukir asal Tuban, Borisrawa.” W iranggaleng m engangguk di belakang D anu. Dia sudah

di sana, pikirnya. Tetapi yang keluar dari mu lutnya: “Taklukkah D ahanapura pada Malaka, Kang?”

“Tidak. Ranawijaya takut kalau-kalau bupati pesisir utara bersekutu menumbangkan kerajaannya yang terpencil semakin terdesak oleh meluasnya Islam. Maka dia surati Kongso D albi memohon persahabatannya, dan memo hon bantuan sepuluh pucuk meriam untuk menah an arus

kekuasaan Islam; dengan peluru dan penembaknya.” “Apa m eriam itu, Kang?” “Senjata Peranggi. Yang dilemp arkan bukan mercon

udara seperti cet-bang, tapi besi sebesar kepalan.” Enam belas santri lainn ya mu lai mengikuti keduanya

dari belakang, mem anggul pacul masing-masing.

“Apakah P eranggi suka m emberikan m eriam ?” “Pada lawan Islam? Boleh jadi,” jawab D anu ragu-ragu.

“Karena itu, jangan sepelekan kerajaan kecil. Kekuatan nya bisa besar dan ampuh.”

“Jadi kafir D ahan apura Blam bangan sudah bersekutu dengan kafir Peranggi?”

“Kira-kira. Kan kau sendiri yang mem beritakan tadi, Peranggi sudah ada di sana? Persembahan Patih Udara itu nam paknya berbalas juga. Buh! Kapal-kapal Peranggi sudah mu lai kelihatan juga di G resik, menuju ke Pasuruan dan Panarukan.”

Mereka semua telah meninggalkan tanggul saluran dan berada di jalanan desa. G aru dan luku ditinggalkan mereka bergeletakan di atas lumpuran sawah. Matari di sebelah barat menyala merah di celah-celah mendung seperti telur angsa ajaib. D an dengan segala usaha Wiranggaleng mencoba menarik D anu dengan pertanyaan-pertanyaan agar berada di buntut iring-iringan. Ia bertanya terus sambil mem perlambat jalan. Dan usahanya berhasil. Santri-santri

lain ingin segera pulang. Mereka tak memperhatikan kata- kata D anu yang menggurui. D an begitu jarak mereka telah nam pak jauh, Wiranggaleng membuka maksudnya: “Tolonglah aku, Kang D anu. Ada padaku sebuah ajimat, tapi aku tak tahu tuah di dalam nya,” ia keluarkan

bungkusan kecil dari tali ikat pinggang kain, setelah meletakkan pacul di tanah, dan berhenti.

D anu pun berhenti dan memperhatikannya mem buka bungkusan kecil yang ternyata segulungan kertas itu.

“Inilah ajimat itu, Kang, jawakanlah padaku, tolon glah.”

D engan baik hatinya D anu mem buka kertas itu dan mu lai m embaca.

“Ini bukan ajimat,” katanya setelah mem baca sebaris- dua. “Ini surat biasa. Masyaallah! D ari mana kau dap at surat ini? W ah , wah. Baru saja kita bicara tentang meriam, di sini sudah disebut-sebut soal meriam. Minta dikirimi paling tidak dua pucuk meriam P eranggi, kalau tidak….”

“Kalau tidak, apa Kang?” “Uh-uh, dari mana kau dapat surat ini?” tanya D anu

mendesak dan bersungguh-sunggu h. “Jangan jalan dulu, Kang, berhenti di sini saja, biar aku

ceritai kau.” Mereka berdua berdiri di tengah-tengah jalanan desa

yang sunyi itu. Wiranggaleng memperhatikan dengan pandang selintas, bahwa santri terpandai itu masih tetap mengawasinya, sedang santri-santri lain telah hilang di tikungan jalan. Lam bat-lam bat ia mulai bercerita; dan ia mengu langi ceritanya di pesantren pertama, hanya ditambah lebih banyak.

“Sekarang kau teruskan mem bacanya, Kang, kau belum selesai.”

D an D anu sudah melepaskan sikap keguru-guruannya. Ia genggam surat itu seakan takut terlepas dari tangan.

D engan suara rendah ia berkata: “Kau tidak berhak mem egang surat ini. Akan kuserahkan pada Bapa Kiai. Entah apa akan diperbuatnya nanti dengan ini. Barangkali juga terjemahanku tidak benar.”

“Jangan, Kang, jangan.” “Siapa sebenarnya kau ini? Kau datang kemari bukan

hendak belajar. Ketahu an dari kata-katam u yang berlagak bodo h. Ayoh, katakan. Kalau tidak, surat ini benar-benar akan kusampaikan pada Bapa Kiai, kemudian pada G usti

Bupati, yang tentu akan memanggil Bapa Kiai lagi. Mengaku saja. Kau mata-mata, telik!”

“Jangan, Kang, jangan,” tegah Wiranggaleng dengan suara ketakutan.

“Kalau begitu katakan siapa kau sebenarnya.” Tangan Wiran ggaleng cepat melayang, menan gkap

tengkuk D anu dan ditekuknya seperti ia melipat segulungan kain. Terdengar bunyi berdetak dan tulang tengkuk itu patah. Lidah D anu menyelir keluar sedikit meneteskan air liur. Surat di tangan korban itu terlepas dan jatuh ke tanah.

Surat itu segera ia bungkus dalam tali kain pinggang. Ia lemp arkan korbannya ke atas lump uran sawah. Ia

lemp arkan pula dua buah pacul yang berdiri di jalanan itu lebih jauh lagi.

“Ampuni aku, Kang D anu. ampuni aku, ya, D ewa Batara.”

Ia tak pulang ke desa pesantren, justru sebaliknya….

0o-d w-o0

Ia tak menempuh jalan laut. Setelah dap at menangkap makna isi surat ia langsung

mengambil jalan darat pulang ke Tuban. Sepanjang perjalanan ia menyesali kekerasan-kekerasan yang dilakukannya. Dan ia bertanya-tanya dalam hati: siapakah yang harus bertanggu ngjawab atas kekerasan-kekerasan ini? Aku yang menjalani ataukah dia yang menugaskan aku? Aku tak punya urusan apa-ap a dengan mereka. Aku bukan pembunuh, juga bukan penganiaya. Aku hanya seorang bocah desa yang tidak diperkenankan jadi petani.

Untuk pertama kali ia menyedari, dirinya telah jadi bagian dari kekuasaan Sang Adipati Tuban dan kelangsun gan hidup praja T uban.

Inikah cara mengam bil kembali kebesaran dan kejayaan masasilam pada guagarba haridepan? Untuk Tuban? Inikah?

Barangkali. Barangkali aku tidak keliru. Barangkali pun aku salah.

D an ia tanam potongan ram but yang selam a ini ia sim pan dalam sa-rongnya di bawah sebatan g pohon baru di pinggir hutan.

Ia tembusi hutan-belantara itu melalui jalan setapak, jalan desa dan jalan besar negeri. Langkah nya seperti lari. Tubuhnya yang berat itu dirasainya mengganggu gerakan kaki dan tangan. N amu n jalannya tetap seperti lari.

Sang Patih menerima kedatangannya dengan girang. Serentak ia mendengar, Ki Aji Benggala minta meriam Peranggi pada Syahbandar Tuban dengan ancaman, lenyap kegirangannya. Airmukanya berkerut, keningnya terangkat naik, mengetahui bahaya yang sedang datang mendekati Tuban.

“Ya,” katanya setelah agak lama berdiam diri, “berikan surat ini pada yang berhak.”

W iranggaleng berjalan cepat menuju ke Syahbandaran. Sekilas ia lihat Idayu berjalan dari dapur menuju ke kamar,

dan ia lihat juga istrinya melihat padanya. Ia naik ke gedung utam a dan mendap atkan Syahbandar Tuban sedang dud uk mem baca kitab.

“Hasalam u alaikooom!” serunya.

Tholib Sungkar Az-Zubaid melom pat terkejut. Melihat W iranggaleng m ula-mu la ia terdiam. Matanya waspada dan menelan ludah.

Awan dengan lambat berarak meninggalkan wajahnya. Ia tersenyum dan mem balas: “Wa alaikum salaaam. Rupa-rupanya sudah jadi Islam, Wira. Ah, ya, benar sekali!” ia bertepuk-tepuk tanp a m enegakkan bongkoknya. “Siapa menduga kau sudah berambut pendek begini. Kau kelihatan lebih hitam, tapi lebih berseri dan lebih bersih dan lebih berbahagia.”

“Alham dulillah, tuan Syahbandar.” “Siapa yang m entaubatkan kau? R angga Iskak?”

“Tidak salah, Tuan Syahbandar. ” “Tak pernah kau nampak begitu periang seperti

sekarang. Berkah taubat, W ira. Berkah taubat. Tak bisa lain. Bukan main. Apa kata Rangga Iskak?”

“Bukan hanya kata, Tuan Syahbandar, malahan surat balasan.”

“Surat balasan! N anti dulu, ceritakan bagaimana perjalananm u.”

D an W iranggaleng membikin-bikin cerita sendiri, bahwa perjalanan sangat menyenangkan, bahwa tak ada sesuatu aral melintang. D an Syahbandar Tuban menyam butnya dengan tertawa-tawa senang.

“Mana surat balasan itu?” tanyan ya tak acuh. “Mana. mana?”

Syahbandar-m uda itu memperhatikan dengan saksama tingkah-laku majikannya, untuk dapat mem bedakan antara kepura-puraan dari kesungguhan.

“Sayang sekali sudah agak rusak, Tuan, terlalu sering sahaya genggam, kuatir kalau-kalau hilang.”

Syahbandar menerima dengan mata melirik tajam padanya. Tapi pada bibirnya tetap tertarik senyum mencemoohkan. Tiba-tiba senyum itu hilang dan menjadi bersungguh-sungguh.

Ia sudah sampai pada kalimat yang menggugupkan itu, pikir juara gulat itu. D an wajah orang di hadapannya itu nam pak berubah-ubah. Kemu dian Syahbandar itu berhenti mem baca, menyelidiki ke arah surat, juga menyelidiki wajahnya.

“W ira’ panggilnya dengan menusukkan pandang pada matanya: “Apakah dia tidak bicara sesuatu tentang cap?”

“Tidak, tuan Syahbandar.” “Mem ang orang keparat,” katanya dan kembali

mem pelajari keadaan surat itu. “Betul kau sudah bertemu sendiri dengan Rangga

Iskak?” “D emi Allah, T uan.” “Begini, Wira, aku lihat beberapa tangan sudah pernah

mem egangnya, dan beberapa pasang mata telah melihat dan mem bacanya. Bagaimana keteranganm u, Wira?”

“D emi Allah, T uan Syahbandar.” Syahbandar Tuban mengawasinya. Pegulat itu merasa

dirinya diragukan. “Kalau begitu lama pergi,” Tholib Sungkar Az-Zubaid

meneruskan penyelidikannya. “Sahaya mem erlukan belajar sebelum pulang. Apalah

salahnya, Tuan Syahbandar, sekedar untuk perbekalan pulang.”

“Siapa saja pernah mem baca ini?”

“Tak ada. Hanya Ki Aji Benggala Rangga Iskak yang bisa m enulis dan mem baca Arab.”

“Kau bohong!” tudu hnya. “D emi Allah, kata sahaya. Mem ang Ki Aji bilang sudah

kehabisan kertas, maka ia m enulis di atas kertas bekas.” Tholib Sungkar Az-Zubaid berdiri dan berjalan mo ndar-

mandir. Bongkoknya nampak semakin menjadi-jadi, kemudian berhenti dan mengambil tongkat yang tergantung pada punggung kursi, berjalan mo ndar-man dir lagi, dan tiba-tiba berhenti di hadapan W iranggaleng.

“Kau begitu lama pergi. Aku tak yakin tak ada orang mem baca surat ini.”

“Tak apalah kalau tuan Syahbandar tak mempercayai sahaya lagi.”

“Orang bilang, pernah melihat kau di Tuban antara keberangkatanm u dan kedatanganmu sekaran g.”

“Kalau Tuan lebih mempercayai dia, perintah kan padanya mengh adap Ki Aji Benggala, jangan sahaya.”

“N am paknya kau sudah mu lai hendak berselisih dengan ku.”

“Bukankah sahaya tak bisa mem aksa Tuan Syahbandar percaya pada sahaya? Terserah saja pada Tuan sendiri hendak percaya atau tidak. Sahaya pun tidak m embutuhkan kepercayaan T uan. Sungguh.”

Tholib Sungkar kembali duduk dan menggerak-gerakkan tangkai tongkat dari gading itu. D an gerakan gading berukir itu selalu mem bikin orang tertarik pada persambungannya dengan kayu hitam, yang seakan dua kuntum bunga tertangkup jadi satu.

Mengetah ui pikiran pembantu-utamanya mu lai terlena, dengan nada m embujuk ia bertanya: “Lamakah sudah surat ini kau simpan?”

“Segera setelah sahaya m enerim anya.” “Aku percaya padamu, W ira,” ia diam lagi.

D an W iranggaleng tahu, ia tak percaya. “Aku senang kau telah m asuk Islam, W ira.” “Salasa nam a sahaya, Tuan.” “Salasa! N ama yang sangat bagus. Artinya ke tiga, W ira,

tepat. Satu artinya baik. D ua berarti lebih baik. Tapi tiga artinya sempurna,” ia tertawa dibuat-buat. “Baiklah, lain

kali kita bicarakan lagi soal surat ini. Kau setuju, bukan, Salasa?

“Tentu saja, Tuan Syahbandar.” “Sekarang kita bicara soal lain, W ira Salasa. Sekarang

kau sudah masuk Islam. Tetapi istrimu masih kafir. Kau harus perhatikan itu, Wira. Tak ada oran g kafir yang baik. Kalau seorang kafir itu pemboho ng, menipu suaminya, itu sudah selayaknya, karena dia kafir, tak tahu ajaran. Kau jauh lebih mu lia daripada kafir mana pion, Salasa, apalagi dari istrimu, kau pun lebih m ulia dari Sang Adipati ataupun Sang Patih. Mengerti kau?”

“Belum, Tuan Syahbandar.” “D i hadapan Allah kau lebih mu lia daripada semua

mereka.” “D i hadapan Allah, Tuan Syahbandar. Di hadap an

mereka sendiri bagaimana, Tuan?” “Tentu saja tetap seperti biasa.” W iranggaleng m enahan tawanya. Ia m enunduk dalam.

“D an tentang istrimu itu, W ira Salasa, karena kau sudah bertaubat, kau haru s bisa tertibkan dia sebaik-baiknya. Jangan lagi kau biarkan dia sebagai biasa bila kau sedang pergi….”

Ia diam dan menunggu tanggapan pemban tu-utamanya. “D ia hanya menari di pendopo kadipaten, tuan, itu

sahaya tahu.” “Tentu pengetahuanm u kuran g sempurna, Wira?” “Bagaimana m enyemp urnakannya, Tuan Syahbandar?” “Menari di pendopo, Wira,… Sang Adipati. Ah,

bagaimana harus aku katakan. Tentu kau m engerti.” W iranggaleng m enunduk dalam.

“Mengapa kau diam saja?” “Baik, Tuan Syahbandar.” “Syukurlah kalau kau mengerti.” “Bagaimana biasanya ia perbuat kalau sahaya pergi

Tuan?” “Ah, W ira Salasa, kasihan kau. Apakah kau tak pernah

dengar suara oran g? Semua sudah bercerita. Wira, betapa hinanya lelaki seperti kau dipunggungi istri sendiri….

Pulanglah, Tuhan mem berimu petunjuk dan keselam atan dan semoga kukuh imanmu . Tak ada kafir yang baik di hadapan Allah.”

D engan kepala masih menekur juara gulat itu pulang, melangkah pelan-pelan seakan kepalanya menjadi beban

bagi tubuhnya sendiri.

0o-d w-o0

Idayu tak menyam butnya di serambi. Ia menunggu kedatangannya di dalam kamar. G elar tidak nampak. Ia nam pak prihatin duduk di atas ambin sambil mengu nyah sirih. Sebuah bantal terletak di atas pangkuan nya. D an matanya sayu seperti belum lagi tidur selam a tiga malam.

D i atas bantal itu tergeletak sebilah cundrik panjang. “Mengapa kau diam saja, Idayu?” Hanya dengan matanya yang sayu ia pandangi

suam inya.

“Mengapa kau pangku cundrik itu di atas bantalmu ?” Idayu menunduk.

“Sakitkah kau?” Ia m enggeleng. “Seperti tidak senang kau menyambut kedatanganku?” “Siapa tahu, Kang, kau sudah berubah, D an kau

mem ang nampak sudah berubah dengan ram butmu yang pendek.”

Lelaki itu meletakkan kedua belah tangannya pada bahu istrinya.

“Berubahkah aku, D ayu?” “Kau berubah, Kang. Kau sudah masuk Islam

nam paknya. Tentu haruslah aku bersiap-siap dengan perubahanmu , perubahan sikapmu,” suara Idayu semakin pelahan dan sayu. “Aku masih juga ragu apakah aku boleh mendahului kata atau tidak. Siapa tahu , Kang, kau sudah tak suka m endengarkan aku lagi, suaraku, diriku….”

“Mengapa kau bicara begitu?” dan dud uklah ia di samp ing istrinya. D iambilnya cundrik dari atas bantal.

“Inilah aku, Kang, berdirilah kau, tidak baik mem bawa cundrik sambil duduk begitu.”

“Selamanya kau jadi kurus kalau aku tinggal, D ayu. Apa yang sudah terjadi?”

“Aku tetap saja, Kang. Kaulah yang banyak berjalan, banyak melihat dan banyak m endengar. Kata orang tua-tua: berjalan banyak melihat, curiga banyak m endengar. ”

“Untuk apa cundrik ini ikut m enyambut kedatanganku?” “Berdirilah di hadapanku, Kang. Atau aku yang berdiri

di hadapanmu?” “Baru beberap a m inggu, Dayu, kau sudah begini kurus.”

“Untuk memohon pada para dewa buat keselam atanmu. Kang.”

“Kau masih suka dipanggil menari?” “Masih, Kang.” “D an m impi lagi seperti dulu?” “Tidak, Kang.” “Apakah Syahbandar m asih suka m engintip seperti itu?” Idayu mengangkat kepala dan melihat sebagian dari

mu ka Syahbandar terlindun g pada tiang jendela. Ia menganggu k.

“Apakah kau masih suka dengar bicaran ya, Kang?” “D ia majikanku, D ayu, tapi kau adalah istriku.”

G aleng m emperm ain-mainkan cundrik kecil. “Mana sarongnya ini, D ayu?”

“Sarong yang m ana?”

W iranggaleng mengangkat pandang ke arah jendela gedung utama dan mu ka Syahbandar Tuban sudah tiada.

“Sarong yang lama. Aku akan berusaha tidak akan tinggalkan kau terlalu lam a, Idayu.”

“Jangan pikirkan tentang diriku. Aku sehat, jiwa dan ragaku.”

“Ceritai aku tentang G usti Adipati.” “Tak ada yang aku bisa ceritakan, kecuali ia suka

menonton kalau aku menari. Kemudian wanita kadipaten itu m engantarkan aku pulang dan menemani aku di sini.”

“Ceritai aku tentang Tuan Syahbandar.” “Kau sendiri bisa bercerita banyak tentang dirinya. Biar

aku am bilkan sarong cundrik itu, Kang,” ia berdiri tetapi ragu-ragu. Mendekati suaminya, bertanya, “Apakah benar kau mem butuhkan sarong yang lama? Tidakkah kau mengh endaki yang baru?”

W iranggaleng berdiri. Cundrik itu diletakkannya kembali di atas bantal. Ia peluk istrinya. Ia menciuminya. Idayu mem eluknya dan air-mata m embasahi mu kanya.

0o-d w-o0