A khir Perang

25. A khir Perang

D engan pedang terawang di atas kepala Wiranggaleng dan Banteng W areng terjun ke tengah-tengah medan

pertempuran. D an seperti pedang kembang senjata-senjata itu m enyambar ke kiri dan ke kanan, bawah dan atas.

D alam pada itu dua-d uanya tak henti-hentinya berseru: “Pulang! Ayoh pulang kalian! Pulang ke desa! Pulang! Buang senjata! Pulang! Jangan bikin bini kalian jadi janda, anak jadi lola! Pulang! Pulang! ke desa!”

“Yang tak mau pulang kena tebang! kena tebang!” Matahari hampir tenggelam. Tiba-tiba terdengar suara

parau mem beri balasan: “Jangan kena dibodohi. Serang terus!” dan itulah suara Mahmud Barjah.

D engan sepasukan kaki ia sedang bergerak hendak merampas kembali meriam dan mem bebaskan Esteban dan

Ro driguez. “Buru dia!” perintah Senapati sambil mem bebaskan diri

dari para penyeran gnya dan langsun g m emburu Mahmud. “Jangan dengarkan begundal kafir Peranggi!” teriak

Mahm ud m enghina. “Budak Koja, kambing Rangga Iskak!” teriak Banteng

W areng. “Senapatiku, serahkan padaku. Jangan lari kau pengkhianat. Inilah harimau”.

Mahm ud duduk di atas kudanya. Ia cabut pedang begitu melihat yang mendatangi juga berpedang.

Laskar kaki yang dipimpinnya untuk m engambil kembali meriam ia tinggalkan untuk menyambut mu suhnya. Ia menengok ke belakang mem beri perintah: ‘Teruskan tanpa aku. Saksikan bagaimana begundal-begundal kafir Peranggi ini tumpas di tangan Mahmud Barjah,” ia berpacu mendatan gi pemburu-pemburunya.

“Percum a, Mahmud!” teriak Banteng W areng. “Lebih baik kau lari seperti yang lain. Atau serahkan leherm u.”

Beberapa prajurit berkuda Tuban menyusul untuk menyelamatkan Senapati dan Banteng W areng dari kepungan laskar kaki Rajeg. D engan cambuk menggeletar di udara mereka menerjang dan mem bubarkannya. Sebagian lari berpacu mengejar mereka yang hendak menyelamatkan meriam dan penembaknya.

“Terlalu hina melayani pengkhianat, Senapatiku!” pekik prajurit-prajurit kuda itu.

“D an pedang terlalu m ulia untuk lehernya.” “Biar kami cambuki saja, Senapatiku!” Laskar putih itu masih jadi penghalang Mahmu d untuk

dap at bertemu dengan Senapati atau Banteng Wareng. ‘Tuban sudah jatuh!” pekik Panglima Rajeg

mem beranikan tentaranya. “Kalian tinggal masuk. Semua jadi milik kalian, wanita dan harta Jangan tunggu! Serang terus!”

“Pemboh ong!” bentak Banteng W areng dan diterjangnya lapisan prajurit Rajeg dengan kudan ya sampai porak- poranda. Ia melambaikan tangan ke belakang. “Cambuki pengkhianat ini samp ai rompang-ram-ping. Bukan satria yang kita hadapi, hanya pengkhianat keparat”.

W iranggaleng berhenti, tak terus mendapatkan Mahmud, berbalik memunggu ngi.

Mahm ud menjadi marah merasa dihina oleh Senapati Tuban karena tak dilayani. Ia m emekik dengan suara parau: “Jangan lari, anak desa! Kembali sini! Rasakan pedang Panglim a Rajeg, Mahmud Barjah”.

la hentakkan kuda, meninggalkan lapisan laskarnya sendiri dan mu lai mem buru. Yang diburu menyusup ke tengah-tengah pertempuran dan meneruskan seruannya.

“Mati di mana-man a, kiri, kanan, depan, belakang. Buang senjata! Lari! Pulang! Urusanak-bini kalian! Apa arti

Mahm ud Barjah anak Koja? Saksikan bagaimana dia terbalik dari kudan ya kena cambuk Tuban jadi babi yang merangkak-rangkak”.

Senapati melarikan kudanya, berputar-putar, untuk mem bikin Mahmu d Barjah kalap.

“Hanya mereka bagian iblis. Sini, G aleng, jangan lari, biar kupapras mo ncongm u. Jangan lari, G aleng!”

Mahm ud mencoba menerobos medan pertempuran untuk dapat mencapai Senapati Tuban. Pedangnya

berdentingan menyam bar, menetak dan menangkis prajurit- prajurit kaki Tuban. Kemu dian diketahuinya ia telah terpancing dan terkepung oleh lima orang prajurit kuda Tuban.

Lima pedang menyerangnya berbareng. Matanya yang tajam itu gemerlapan dalam senja yang muram itu, mengerling, mem belalak, menyipit, menan gkap segala gerak yang hendak mem belah kepala dan badan nya, menan gkisi semua serangan. N am un masih sempat ia mengerling Senapati dan berteriak parau: “Jangan lari,

G aleng, anak desa! Tani busuk jadi senapati! Senapati G aleng, anak desa! Tani busuk jadi senapati! Senapati

W iranggaleng tetap mencemoohkannya dengan menyam bar-nyambarkan pedangnya pada musuh di sekeliling dan tak juga henti-hentinya berseru: “Maut bagi yang tak mau lari! Selam at bagi yang pulang ke desa!”

“Jangan lari di balik punggung anak-buah , G aleng!” Mahm ud mem ekik lagi tak dap at menahan marah dan kekesalannya.

D engan sekali lomp atan yang menakjubkan kuda Mahm ud keluar dari kepungan dan mem buru Senapati di

tengah-tengah pertempuran. Ia sarongkan pedang dan menarik cambuk perang dari pinggang.

Tiga orang prajurit kuda Tuban mem burunya dengan cambuk perang pula dan mencambuki dari belakang. Punggung dada dan tangan Mahmu d telah bermandi darah dan sobekan-sobekan pada kulitnya menganga dari robekan bajunya yang berbelang-belang m erah.

“Pengecut! Pengecut!” teriak Mahmud Barjah murka, terus mem buru Senapati tanpa mengindahkan para

penyeran g di belakangnya. Tak tahan terhadap lecutan dari belakang tanpa

menengok ia melecut ke belakang. Ujung cambuknya mencabut sebiji bola mata pemburunya. Tanpa dilihatnya

penunggang kuda itu terjungkal di tanah. Cambuk dari belakangn ya semakin bertubi dengan

sorakan: “N asib pengkhianat tak pernah baik!”

D ua ujung cambuk yang jatuh berbareng dari belakang mengenai mukanya, telah mengiris hidung dan mengh ancurkan matanya. Ia terjatuh juga dari kuda oleh D ua ujung cambuk yang jatuh berbareng dari belakang mengenai mukanya, telah mengiris hidung dan mengh ancurkan matanya. Ia terjatuh juga dari kuda oleh

D engan m uka tertutup darah dan telah buta ia meraungi: “G aleng, selesaikan aku dengan pedangm u! Jangan kau hinakan aku begini. Aku pun seorang prajurit”.

Ia merangkak-rangkak berdiri. Sebilah tombak telah menyam bar dad anya. Ia terjatuh lagi sambil dengan dua tangan mem egangi mata tombak yang menyembul dari rusuk, kemudian ia tak bangun Lagi untuk selam a-lam anya di dekat sebongkah batu, terinjak-injak oleh kaki kuda dan prajurit kedua belah pihak yang sedang berkelahi.

“Mahm ud Barjah mampus!” seseorang mem ekik. “Panglim a Rajeg tewas!” seorang lain m enjerit. Seluruh tentara Tuban yang bertempur di sekitar

bersorak. D an seperti mendapat perintah gaib semua prajurit Rajeg berhenti menyerang, juga berhenti bersorak, seakan lidah tercabut dari mulut m ereka.

“N asib pengkhianat tak pernah baik!” seorang mem ekik. “Ayoh pulang! Pulang sekarang!” Senapati tak bosan-

bosannya berseru. “Panglim a kalian telah tewas. Buang senjata! Pulang!”

Menyaksikan sendiri betapa panglim anya tewas, tentara Rajeg membuang senjata m ereka, buyar tanpa kekang tanpa kendali. Tanda-tanda kehancuran kekuatan Sunan Rajeg telah menjenguk di am bang pintu. Hanya sebagian kecil mengamu k kehilangan akal dan pegangan. Sebagian besar telah mulai melarikan diri tanpa senjata.

Panji-panji Mahmu d Barjah, panji-panji Panglima, telah lama tidak nampak. Pembawanya telah kena langgar seekor Panji-panji Mahmu d Barjah, panji-panji Panglima, telah lama tidak nampak. Pembawanya telah kena langgar seekor

“Berhenti menyerang!” perintah Senapati. “Beri kesempatan pada saudara-saud aramu. Biar mereka pulang ke desa masing-masin g. Berkum pul kalian!”

D an balatentara Tuban berhenti menyerang. Mereka bergerak untuk berkumpul sambil melihat tentara Rajeg menarik dan m embubarkan diri masuk ke dalam hutan.

“Balik ke Tuban!” Senapati menjatuhkan perintah.

D im ulai dari para prajurit di dekat-dekat Senapati, kemudian juga merambat jauh-jauh, balatentara Tuban

mu lai balik kanan jalan dan bergerak ke arah kota. Buntut barisan yang pulang itu masih kedengaran

berseru-seru: “Buang senjata! Pulang!”

D alam selingan sorak-sorai riang kemenangan. Tasukan pengawal Tuban telah menyiapkan cetbang-

cetbang pada sebuah tikungan jalan, sesuatu ketinggian yang mengawasi jalan lurus ke depannya. Begitu panji dan um bul-um bul tentara Rajeg yang serba putih namp ak di senja hari, cetbang-cetbang melepaskan peluru mendatar pada mereka. Hujan ledakan jatuh dalam tubuh barisan depan-suatu hal yang sama sekali tak pernah mereka perhitungkan.

Mahm ud telah merencanakan, pasukan inti tentara Rajeg akan memasuki Tuban dari sebelah pesisir timur tanpa

perlawanan dan terus menyergap cetbang di tepi-tepi pantai. Sekarang peluru yang dilepaskan dari jarak enam sampai delapan ratus depa itu sama sekali tak dap at ditangkis atau pun dibalas. Peluru-pelurunya meledak di atas barisan, di tengah-tengah, kiri dan kanan, menyemburkan pecahan perlawanan dan terus menyergap cetbang di tepi-tepi pantai. Sekarang peluru yang dilepaskan dari jarak enam sampai delapan ratus depa itu sama sekali tak dap at ditangkis atau pun dibalas. Peluru-pelurunya meledak di atas barisan, di tengah-tengah, kiri dan kanan, menyemburkan pecahan

Barisan depan itu berantakan lari kocar-kacir ke segala penjuru. Mereka tak mampu meneruskan barisannya. Panji dan umbul-um bul menggeletak tak berdaya di tanah. Tanpa angin mereka kehilangan kebesaran dan daya. D engan angin pun m ereka tinggal sesobek kain berwarna.

Tetapi Braja pun tidak tahu , inti tentara Rajeg sudah mu lai memasuki Tuban dari pesisir sebelah timur. Mereka menyapu seluruh pesisir timur tanpa bersorak dan merunduki saran g-sarang cetbang di sekitar daerah pelabuhan .

Yang dirunduk ternyata tiada. Mereka berhadapan dengan pecahan-pecahan pasukan

pengawal yang ditinggalkan. Pertem puran antara dua kekuatan yang terlatih ini berjalan dengan kegigihan dari ke dua belah pihak. D ahulu mereka sama-sama bagian balatentara Tuban. Kini berkelahi saling m enerkam. Sebuah pecahan kecil telah dilindas tanpa bisa menyerang dan hanya bisa mempertahankan diri. Hanya seorang dap at lolos, lari mengh indari terkam an maut untuk dap at mencapai pemimpinnya: Braja.

“Pecah barisan!” Braja memerintah. “Kecuali cetbang, pelayan dan pengawal, semua balik ke kota!”

D an pada pasukan cetbang yang ditinggalkan ia mem erintahkan terus menembaki musuh sambil terus m aju, samp ai peluru habis.

Ia pun melompat ke atas kudan ya dan berpacu ke jurusan kota membawa pasukan pengawal.

Perintah penyeran gan segera dilakukan dari punggung tentara Rajeg. Pertempuran sengit di waktu senja itu Perintah penyeran gan segera dilakukan dari punggung tentara Rajeg. Pertempuran sengit di waktu senja itu

Malam jatuh. Perkelahian dalam kegelapan berlangsung tanpa kenal

am pun. Tiba-tiba terdengar sorak-sorai dari sebelah barat. Tak

lama kemudian sorak-sorai itu diselingi oleh suling gajah- gajah yang kembali m emasuki kota.

Inti tentara Rajeg dengan tiba-tiba pula mengh entikan serangan . Mereka mengendap menyelinap mengetah ui

kedatangan pasukan gajah. Suatu kekagetan telah mengu bah sama sekali pandangan mereka tentang jalannya pertempuran bukan tentara Rajeg yang mem asuki kota Tuban tanpa perlawanan, tetapi pasukan gajah Tuban sendiri.

Mengetah ui perhitungan mereka ternyata meleset dan segala usaha akan jadi sia-sia, mereka pun mengundurkan

diri di bawah lindu ngan kegelapan m alam.

D engan demikian selesailah perang dalam negeri yang minta terlalu banyak korban itu.

Semua prajurit Tuban yang tiada gugur atau terluka seluruhnya kembali mem asuki kota dengan bersorak-sorai.

Pendud uk pun berduyun-duyun keluar dari persembunyian dan pengungsian untuk menyongsong mengelu-elukan.

Para nelayan yang lari dan darat dengan perahu- perahunya, malam itu juga m emerlukan kembal» ke pantai. Kota T uban seakan-akan berpesta pora.

Orang pun bersorak mem ekikkan nam a Wiranggaleng dan para pemimpin pasukan balatentara T uban.

Ke sekian harinya inti pasukan Rajeg kembali melancarkan serangan . Braja mengh adapi mereka dengan bantuan pasukan kuda. Pertempuran yang berdarah dan tak kenal menyerah itu berhenti pada tengah hari dengan tum pasnya seluruh sisa pasukan Rajeg tanpa seorang pun bertekuk lutut.

Sebuah krangkeng besi telah dipasan g di derm aga pelabuhan atas perintah Senapati.

Beberapa hari kemudian Esteban dan Ro driguez dimasukkan ke dalam nya untuk disaksikan oleh dun ia

seluruh negeri bagaiman a Tuban menghinakan Portugis. Lima belas hari laman ya setiap orang boleh menonton dan mengh inakan dua orang itu tanp a boleh menyiksa atau melukai.

D ari bandar-bandar tetangga dan kamp ung-kampung nelayan setiap hari datang kapal dan perahu yang mendaratkan penonton. Pelabuhan menjadi ramai dan pasar bandar hidup kembali. N am un perdagangan antar- pulau belum juga pulih.

Saban hari Esteban dan Rodriguez bermandi peluh sendiri dan ludah penonton.

D engan keterbiasaan melihat dan menghinakan Peranggi, lama-kelam aan ketakutan oran g pada mereka

meruap terbang. Juga Peranggi bisa ditangkap dan dihinakan.

Belum lagi lim a belas hari dua orang Portugis itu jadi ton ton an Wiranggaleng telah mem erintahkan pada Braja, mencari samp ai dapat dan menan gkap mereka yang dahulu Belum lagi lim a belas hari dua orang Portugis itu jadi ton ton an Wiranggaleng telah mem erintahkan pada Braja, mencari samp ai dapat dan menan gkap mereka yang dahulu

Mereka didapatkan dan ditangkap tanpa kesulitan.

D alam sidang pemimpin-pemimpin pasukan, mereka dijatuhi hukuman mati dengan jalan mem bandul mereka dengan batu dan melemparkan ke laut.

D an kadipaten tidak berpengawal. Wiranggaleng telah menjatuhkan perintah pada Braja untuk tidak mem asuki kadipaten tanp a seijinnya. Hanya punggawa yang diperkenankan bekerja lagi. Ia menganggap pekerjaan belum selesai selam a Rangga Iskak belum tertangkap , hidup atau mati.

Orang pun mu lai bertanya-tanya mengapa kebesaran Sang Adipati belum juga dipulihkan, mengapa seluruh kekuasaan atas Tuban dap at berpindah ke tangan si anak desa juara gulat bernam a G aleng. D ahulu hanya Sang Adip ati yang mempunyai duga sangka Wiran ggaleng lah yang mengh endaki jabatan patih seperti halnya dengan

G ajah Mada. Sekarang orang menduga anak desa bukan mengh endaki itu, boleh jadi ia hendak m engangkat diri jadi

Adip ati sendiri, m enjadi raja, seperti Ken Arok. Setiap oran g punya duga-san gkanya, duga sangka belaka.

Mereka tak beran i mempergunjingkann ya. W iranggaleng belum

juga nam pak pulang ke kesyahbandaran.

N yi G ede Kati setiap hari mem bersihkan kamar gandok kanan itu. D an tidak lain dari dialah yang sangat mengh arapkan kedatangannya untuk dapat menyampaikan berita tentang Idayu dan anak-anaknya.

D an berbeda dari semua orang, Syahbandar Tubanlah sekarang satu satunya orang yang paling takut pada anak D an berbeda dari semua orang, Syahbandar Tubanlah sekarang satu satunya orang yang paling takut pada anak

D engan hati-hati ia meletakkan harapan pada kemungkinan pertama. Buktinya, Senapati belum juga mengambil tindakan terhadap dirinya. D an selam a Sang Adip ati yang berkuasa, anak desa itu harus menem puh jalan-jalan yang layak untuk dapat membinasakannya dengan perkenan Sang Adipati. Bahkan dua orang Portugis itu juga tidak dibunuh, adalah pertand a juga Sang Senapati tak berani melakukannya.

Tentang hukuman atas para penterjemah yang tidak jujur, ia dan semua orang pun tak tahu duduk perkaran ya. Ia sudah m encoba mem ikirkannya. Tak mamp u. Kemu dian ia m enganggap karena m ereka itu terlibat dalam kerusuhan.

D an ia sudah puas dengan anggapannya. Tetapi dua orang Peranggi itu kini yang mengganggu

ketenteramannya. Ia menduga mereka akan diperas keteran gann ya samp ai mengakui segala-galanya yang menyangkut soal meriam. D ari mana meriam itu? Boleh jadi tak ada yang dapat m embuktikan dari mana.

Tetapi mereka mengenal Yakub, dan pewarung itu jelas telah mem bawanya ke pedalaman, menyerahkannya pada Rangga Iskak.

Tidak, Yakub akan mem bisu sampai mati selam a ia berada di Tuban. Keselam atan nya sendiri ikut dalam pertaruhan. Hanya bila dua oran g itu menyebut-nyebut nam a Yakub, barulah kemudian nam anya akan dikedepankan pula.

Tak bisa tidak hanya dua oran g Peranggi itu yang bisa mencelakakannya. Sama saja siapa yang berkuasa, Sang Adip ati atau kah Sang Senapati, bila nam anya tersebut dalam persoalan meriam, jiwa juga tebusannya. Ia menyesali Portugis celaka yang semudah itu dap at ditangkap – punya meriam dan punya pengalaman perang begitu banyak!

D an ia mengenal pengadilan Pribumi – tak banyak mem butuhkan bukti, lebih mendasarkan pada hukum pikiran dan suara orang banyak, tidak jarang didasarkan pada harapan belaka hendaknya Sang Adip ati menjadi senang. Ia memang makin bisa bersilat lidah dan batalkan semua dakwaan , tapi pikiran Pribumi tidak akan menggubrisnya. Mereka punya cara berpikir kafir dalam mengu rus keadilan. Ia harus mencari jalan keselam atan ….

D an pada suatu pagi di antara pagi-pagi yang murung dan menakutkan, sedang ia duduk di kursi sambil berpikir-

pikir, datan g N yi G ede Kati mem bawakan kabar. Justru pada waktu itu ia sedang mengh erani, bagaiman a m ungkin dua orang Portugis itu dapat ditangkap begitu mu dah oleh prajurit-prajurit yang tak punya pengalaman perang di mana-mana. D an tertangkap dalam keadaan hidup!

“Mengapa Tuan kelihatan mu rung, pucat dan kurus? Tak ikut bergembira Tuan nampaknya dengan kemenangan Tuban”.

“Aku sedang mencari jalan bagaimana bisa mengh adap

G usti Adipati”. “Tuan biasa mengh adap ke sana”. “Sekarang tak bisa. Kati. Para punggawa itu pun

mengatakan G usti selalu berkunci diri. Juga kadipaten tak boleh dim asuki oleh siapa pun kecuali para punggawa”.

“Bukankah Tuan juga Punggawa?” “Ya, tapi bukan punggawa kadipaten”.

“Bagaimana mungkin Tuan tak diperkenankan mengh adap?”

“Mana aku tahu , Kati. Co balah tolong aku, Kati, kau saja datang ke sana memohon kan perkenan untukku buat mengh adap”.

“Bagaimana Tuan ini? Bukankah Tuan sendiri tahu kadipaten tertutup bagi siapa pun, apalagi sahaya?”

“Baiklah,” katanya mengalah dan menghirup kopi. “Kalau begitu pergi kau ke mana saja mencari warta. Ke

mana saja”. Ia tahu, N yi G ede Kati menolak dan takkan pergi ke mana pun. Kalau demikian ia sudah senang perempuan itu meninggalkannya seorang diri untuk meneruskan pikirannya.”

D engan berani ia memu tuskan Esteban dan Ro driguez harus dihabisi sebelum diadakan pengadilan.

D an pengadilan itu pasti akan dibesar-besarkan untuk mengejek dan menghina Portugis. Mereka berdua haru s aku habisi dengan tanganku sendiri, jalan lain tak ada. Kalau tidak mereka akan menghabisi dua-duanya, kemu dian juga aku.

Ia bangkit dari tempatnya. Masuk ke dalam kamar dan mengu ncinya dari dalam. D ari sebuah peti yang terletak di pojokan ia keluarkan sebuah botol tembikar berisi cairan kehitaman. D ibukanya kayu hitam pada ujung tongkatn ya. Sebilah pisau panjang sempit kehitam an muncul di depan matanya. Cepat-cepat ia masukkan pisau itu ke dalam cairan di dalam botol dan ditariknya mata pisau itu ke atas dan mem biarkan cairan itu m enetes balik ke dalam botol.

Ia berkom at-kam it. Suaranya tergumam tak jelas. W alau demikian nampak ia meletakkan seluruh kepercayaannya pada keampuhan pisau ton gkatnya. Kemu dian ia melatih diri dengan gerakan-gerakan tikam untuk berbagai jarak. Lengannya yang tipis dan senjatanya yang kurus bergerak begitu cepat seperti ular kobra yang sedang menyam bar- nyam bar. Rupa-rupanya ia telah terlatih menggunakan senjata khusus ini.

Setelah keringat mu lai mem basahi tubuh ia berhenti, mem asang kembali sarong kayu dan jadilah kembali bentuk ton gkat yang semula. Ia seka mu ka dengan baju, meninggalkan kamar dan keluar dari rumah.

Ia hendak lewatkan hari itu dengan berjalan-jalan di pelabuhan , di dermaga, untuk melihat-lihat keadaan, dan terutam a untuk dapat berhadapan m ata dengan orang-orang Portugis celaka itu.

Ia berjalan pelan-pelan untuk melihat samp ai di mana penjagaan pasukan pengawal. D an ia melihat mereka sudah mem percayakan keselam atan Esteban dan Ro driguez pada aturan yang telah ditentukan dan pada kuatnya krangkeng besi.

Akhirnya ia naik ke menara pelabuhan yang kini telah kembali dijaga oleh dua oran g baru. Ia mencoba mengo brol sebentar, kemudian mem eriksa seluruh medan bandar Akhirnya ia naik ke menara pelabuhan yang kini telah kembali dijaga oleh dua oran g baru. Ia mencoba mengo brol sebentar, kemudian mem eriksa seluruh medan bandar

D ari menara itu juga ia dap at melihat warung Yakub yang terkunci sejak balatentara Tuban masuk kembali ke kota. Ke mana saja buaya darat itu pergi selam a ini? Adakah perasaannya begitu tajamnya maka dia tahu bahaya sedang mengancam lehernya?

Tiba-tiba ia cemburu pada kemudaan pewarung itu yang mem punyai kegesitan dan ketangkasan seperti itu. Ya-ya, mu ngkin aku telah menginjak tua.

Sementara Ini menara itu mem berinya kedamaian. Penjaga menara itu terus mencoba untuk mengo brol Mereka selalu mengambil perang yang brtru saja berlalu sebagal pokok untuk kemudian menyanjung nyanjung W iranggaleng. Anak desa itu jelas menjadi bintang tuban yang tidak dap at diragu kan lagi. Ia dengarkan obrolan bagaimana Senapati mem ancing mancing Mahmu d Barjah untuk dapat terjauhkan dari tentaranya, dan untuk dap at

dilecuti dengan cambuk sebagai penghianat. “Seorang penghianatt tak layak mendap atkan pedang,

apalagi keris, Clambuk mem ang sepatutnya, cocok untuk seekor kera yang busuk”, kata seorang di antaranya.

Tholib Sungkar Al Zobaid hanya mengjinggu k angguk mengiakan dan ikut mem uji-muji Syahbandar-mu da itu,

Siang itu ia tidur di menara pelabuhan Itu, dan dua orang penjaga itu tak m engganggun ya.

Pada sore hari ia bangun dan menuruni tangga menara, langsung pulang. D an jantungnya terasa berhenti berdenyut waktu dilihatnya N yi G ede Kati sedang bicara dengan W iranggaleng di jalanan antara gedung utama dongan Pada sore hari ia bangun dan menuruni tangga menara, langsung pulang. D an jantungnya terasa berhenti berdenyut waktu dilihatnya N yi G ede Kati sedang bicara dengan W iranggaleng di jalanan antara gedung utama dongan

Buru-buru ia masuk ke dalam rumah, ke kamar, kemudian pura-pura tidur. Tongkat berhulu gading itu tergeletak di sampingnya.

D an betapa lega hatinya mendengar langkah-langkah kaki lelaki menakutkan itu di atas jalanan kerikil itu meninggalkan kesyahbandaran . Ia pun jatuh tertidur.

Makan malam itu ia hadapi dengan muka masam dan suram. Sehari itu ia hanya minum kahwa.

N yi G ede Kati, mengetahui kegelisahan suaminya pada hari-hari belakangan, tak lagi bertanya padan ya mengapa ia tak suka makan. Juga ia tidak perhatikan suaminya hanya mengu nyah-ngunyah sesuatu dan menelannya, kemudian bangkit dan dud uk-dud uk di kamar tam u. Ia sendiri, tanpa bicara sesuatu pun kemudian masuk kedalam kamar dan tak keluar lagi.

Malam itu gelap luar biasa. Mendung tebal menutup langit G uruh tiada terdengar sama sekali dan kerjapan kilat apalagi. Cuaca seperti itulah yang dikehendaki oleh Syahbandar Tuban.

Lewat tengah malam. seoran g diri ia berjalan terbongkok-bongkok seperti kakek-kakek menuju ke

derm aga pelabuhan. Kepalanya menoleh ke mana-mana walau pun ia telah kendalikan agar mata saja yang melirik kesegala jurusan yang mu ngkin. Tetapi kegelapan malam yang mem bisikkan padanya takkan semudah itu orang dap at menyaksikan dirinya sering menoleh,

D ari pancainderan ya ia mengetahui tak ada seorang pun yang menyaksikan kehadirannya, Tetapi dari perasaannya ia tahu, ada bebeapa orang prajurit pengawal yang melakukan perondaan di dermaga dan dengan pedom an perasaann ya itu juga ia menyembunyikan diri dibalik pohon asam menunggu mereka pergi. Ternyata perasaann ya lebih tajam daripada pancainderan ya. W aktu hujan turun ia dengar empat orang lari meninggalkan derm aga.

D engan hati-hati ia menuju dermaga dengan mem pergunakan tongkat untuk merabai tepi jalan dan derm aga. laut yang Hangat dalam itu bisa menelannya. Ia tak bina berenang dan tidak pyrruih melakukannya dalam hidupnya.

Semam painya di tempat yang dituju, sambil berpegangan pada jeriji krangkeng ia memanggil-manggil dalam Portugis: “Sini kalian, N ak, Esteban, Rodriguez! Kesini kalian. Masih tidur? Bangunlah, tuan Syahbandar ada di sini”.

Ia dengar suara bergerak di dalam krangkeng itu, tak nyata, bercampur dengan bunyi deburan om bak dan

pukulannya pada karang dermaga. Dan jantungnya pun berdeburan menandingi langit laut di sekitarnya.

“D ekat-dekatlah sini, N ak. Mari kita bongkar krangkeng ini bersama-sama”.

“Benarkah itu Tuan Syahbandar?” seseoran g bertanya dalam Portugis. Suaranya lemah dan lebih tak menentu karena tiupan angin malam yang dingin.

“Tentu saja benar. Tuan Syahbandar ada di sini. Telah aku sediakan perahu layar untuk kalian. Sinilah mendekat. Tak dapat aku m embuka kunci ini seorang diri saja”.

“D ilindu ngi Tuhan hendaknya Tuan ini”.

“Jangan keras-keras bicara, N ak”, ia mem peringatkan sambil mem buka saran g pisau ton gkat. “Kebetulan hujan sudah reda, kilat pun tiada. Ini, ini sambungan pintu”.

“Kami sedan g kena demam tinggi, Tuan”. “Ya-ya, aku tahu kalian terluka. Semu a akan baik

kembali di tengah laut nanti”. “Apa gunanya lari, Tuan, badan sakit begini, demam,

pengelihatan rusak”, suara itu semakin mendekat dan getaran pada jeriji krangkeng itu mem beritakan pada T holib Sungkar mereka sedang merambat berjalan dengan susah- payah untuk dapat mendekati.

Syahbandar itu m ulai m erasa tangann ya diraba-raba oleh tangan E steban atau Rodriguez yang panas karena demam.

“Kasihan kau, N ak, sakit demam begini,” dan dengan cepat ia tikam-kan pisau tongkatnya pada tubuh yang berdiri di hadapannya.

Suatu pekikan lemah mem beku ditelan deburan ombak mem ukul pada karan g dermaga, menyusul bunyi badannya yang jatuh.

Yang seorang lagi meraung-raung ketakutan dan berputar-putar di dalam krangkeng untuk m enghindari m aut yang m ematu k-m atuk dari sela-sela jeriji krangkeng.

“Pembunuh! Tolong! Tolong!” pekiknya dalam M elayu.

G ugup karena jeritan dan takut kalau-kalau diketahui orang, dengan lebih cepat lagi Syahbandar berputar

mengelilingi krangkeng dengan terus menikam-nikamkan senjatanya dalam kegelapan itu ke dalam kegelapan itu ke dalam krangkeng. Hanya udara kosong yang diserangnya.

Ia diam sebentar menunggu jeritan sekali lagi untuk menduga sasaran. Jeritan itu tak terulang lagi. Ia lakukan Ia diam sebentar menunggu jeritan sekali lagi untuk menduga sasaran. Jeritan itu tak terulang lagi. Ia lakukan

D ari kejauhan terdengar guruh, menggerutu seperti kucing marah. Hujan mu lai turun lagi. Iblis! Mana tubuh Portugis yang satu lagi? D ia tak boleh lepas. Sepancaran kilat melesit di langit seperti sebilah tombak api terlempar. Tiba-tiba dunia menjadi terang. D an nampak Esteban sedang m enggelantu ng dengan kaki dan tangan pada bagian atas krangkeng.

“Ha! Kau di situ, Iblis!” bisik Syahbandar dan menikamkan pisau panjang itu pada punggung korbannya.

D unia kembali jadi kelam pekat. Satu rau ngan seperti keluar dari tenggorokan macan betina marah menggaruk udara dibarengi dengan bunyi tubuhnya yang jatuh menggeletak.

Hujan menjadi lebat kembali. Kilat mu lai sambar- menyam bar.

Syahbandar kembali ke gedung utam a, basah kuyup tapi dengan perasaan lega.

Tak diketahuinya sepasang mata menyaksikan dari sebuah biduk yang sedan g tertambat pada dermaga….

0odwo0

D i dalam pelukan rimba-belantara yang dihuni oleh binatan g-binatang buas itu terdapat sebuah bukit kecil. Di dalam tubuh bukit terdap at sebuah gua. Ribuan kelelawar bersarang di dalamn ya. Ratusan ular dari berbagai jenis D i dalam pelukan rimba-belantara yang dihuni oleh binatan g-binatang buas itu terdapat sebuah bukit kecil. Di dalam tubuh bukit terdap at sebuah gua. Ribuan kelelawar bersarang di dalamn ya. Ratusan ular dari berbagai jenis

Sekarang gua ini sepi dari burung dan ular, bahkan juga dari serangga. Pembakaran belerang dalam jum lah besar telah mengu sir dan mem bunuh semua makhluk hidup di dalam nya. D asarn ya tak lagi lump ur kotoran burung, karena semua telah disingkirkan dan dilambari dengan balok-balok kayu persegi. Ro ngga itu sendiri telah dibagi dalam bilik-bilik dari papan kayu.

Sisa bau belerang telah diusir dengan pembakaran setanggi yang terus-menerus.

D i depan gua itu menjulur sebuah jalan setapak yang semakin lama semakin lebar karena setiap hari dilewati oleh beberapa belas orang yang mengangkuti peti-peti dan baran g-barang lain untuk ditimbun di dalamnya. Jalan setapak yang semakin lebar itu belum lagi lama dibikin orang. Belum lagi lim a belas hari.

Kini gua itu telah siap untuk ditinggali. Tetapi bila orang m asuk ke dalamn ya, ia takkan melihat

satu peti pun, karena semua itu tersimpan dalam rongga di bawah geladak balok kayu. Maka pedalaman gua yang berbilik-bilik itu nampaknya tidak berperabot.

Yang pertama-tama m eninggali gua ini adalah Idayu dan dua oran g anaknya. Beberapa orang bertombak dan

berpedang telah mengawal mereka mem asuki hutan- belantara itu dan membawan ya ke mari, kemudian mengu ncinya di dalam salah sebuah bilik kayu yang gelap berbau sisa belerang, apak-asam kotoran burung dan setanggi.

Pada hari berikutnya masuk empat orang wanita, istri- istri Kiai Benggala Sunan Rajeg. Khaidar nampak ada di antara m ereka. D an tak ada mereka membawa anak, karena dari suami bersama mereka tiada pernah melahirkan. Mereka menem pati kamar besar bersama-sama. Juga pintu kamar m ereka dipasak dari luar, seperti halnya dengan bilik Idayu.

Beberapa belas pekerja berpakaian serba putih itu masih mengangkuti beberapa peti lagi dan beberapa bungkusan.

D an setelah semua pengangkutan selesai baru nampak Sunan Rajeg diiringkan oleh seorang mu da tinggi

semam pai, berkumis dan tanpa jenggot, yang memikul bungkusan-bungkusan berat dengan empat batang tombak sebagai pikulan.

Pemud a itu juga yang mengawal Idayu anak-beranak waktu m enuju ke G owong ini.

W aktu Sunan Rajeg mem asuki G owong, pemuda jangkung itu tak takut. Ia pergi mengelilingi kaki bukit kecil itu dan berhenti di bawah sebatan g pohon raksasa. Ia perhatikan pohon yang baru dilihatnya seumur hidup itu.

D an itulah pohon pelaka. la perhatikan tamba-tam bi atau tunjangannya, rendah,

tipis dan panjang, kemudian dudu k di atas salah satu di antaran ya. Bungkusan-bungkusan bawaannya ia jajar di

atas tanah.

D engan kakinya ia mu lai membersihkan tempat itu dari luruhan dau n kering dan ran ting-ranting busuk, dan mu lai ia dengan parang membikin tungku dari cabang-cabang kayu.

Seseorang datang padanya membawakan dandang dan kuali tembaga dan air di dalam lodong-lodong bambu.

Seorang lagi mem bawakan kayu bakar dan sebuah kranjang rotan berisi daging rusa,

”Kanjeng Sunan mem erintahkan masak besar hari ini. Bumbu disediakan berlimp ah-limpah. Tak pernah terjadi selam a ini”, si jangkung mengu mum kan.

“Untuk berapa oran g kau masak?” “Cukup untuk tiga puluh”.

“Tentu bukan untuk kita. Mungkin akan datan g banyak tam u nanti”,

“Tam u siapa akan datang ke mari?” si jangkung menukas,

“Makan besar buat kita semua yang ad a di sini”, “Untuk pertama kali. Akhirnya,” orang itu berkecap-

kecap, “Bahkan masuk ke pendopo saja baru beberapa minggu belakangan ini kita diperbolehkan”

Tiga orang itu mu lai sibuk menyalakan api dan mem asang beberapa dandang di atan nya, serta dua belanga dari tembaga pula. “Asal tak hujan saja”, si Jangkung mem peringatkan. Semua mem andan g ke langit yang suram tertutup mendung tipis. “Sudah, tolong carukkan kelapa, biar lebih cepat”. Bertiga mereka mencaruk kelapa sampai mengh asilkan satu kranjang. D an setelah diperas jadi santan si Jangkun g bicara lagi: “Sudah, sana. selesaikan pekerjaan kalian, biar aku masak sendiri”.

“Mengapa kita pergi ke mari, Firman?” seorang bertanya.

“Mana aku tahu?” “Orang bilang tidak lain dari kau yang menunjukkan

tempat ini”. Tetapi Mohammad Firman enggan terlibat dalam pem bicaraan. Ia han ya mengerutkan kening, dan dua tempat ini”. Tetapi Mohammad Firman enggan terlibat dalam pem bicaraan. Ia han ya mengerutkan kening, dan dua

Mem atuhi aturan yang diberikan oleh Sunan Rajeg, orang tak dibenarkan berada di dap ur di waktu jurumasak sedang bekerja. Selama masih ada orang lain, jurumasak harus mengu sirnya dan tidak diperkenankan memasak sebelum mengetah ui betul, tak ada orang lain lagi di dekatnya. Juru masak harus tahu, tak ada orang mengu ran gi atau menambah i bahan makanan yang telah tersedia.

Setelah tinggal seorang diri baru ia mu lai bersiap-siap dengan gulai Api yang menyala besar itu mem aksa ia mem buka baju, dan m uncul barisan iga pada dadanya. D an dad a itu mengkilat kekunm gan karena warna kulitnya dan karena api yang kemerahan.

W alau masak seorang diri untuk orang sebanyak itu nam pak ia tak gugup atau mem berengut. D an memasak mem ang sudah pdt kesukaann ya. Ia merebus daging, menan ak, menjerang, menumbuk bum bu, mengipasi badan dengan baju, menetapkan besar api, menimbang dan mendua beras, mencicip dan menggulai.

D an hanya ia seorang diri yang tahu apa yang hidup dalam hatinya sendiri waktu itu; ia mencurigai perintah

Sunan R ajeg yang semakin lama semakin aneh. la seorang bekas mu safir D emak tadinya mem asuki

Tuban untuk mem bawa Kiai Benggala berpihak pada

D emak, karena D emak menilainya sebagai seorang yang berilm u dan terlalu banyak tahu tantang Jawa dan N usantara. la pun mendap at tugas untuk mem bersihkan pedalaman Tuban dari guru guru pembicara kafir yang D emak, karena D emak menilainya sebagai seorang yang berilm u dan terlalu banyak tahu tantang Jawa dan N usantara. la pun mendap at tugas untuk mem bersihkan pedalaman Tuban dari guru guru pembicara kafir yang

Sebelum berangkat seorang guru menyampaikan padanya disebuah pojookan mesjid agun g, bahwa agama Buddh a dan Syiwa telah kehilangan kekuatannya, keruntuhan telah di amban g pintu, m aka pembicaraan guru- guru sudah tidak punya pegangan lagi pada agama mereka dari lebih banyak melepas perasaan dan pikiran pribadinya. Mereka mengawur acak-acakan semaunya sendiri. Itu sangat baik untuk punah nya Syiwa dan Buddh a sendiri. Maka sekaranglah waktu itu datang untuk mengem bangkan

Islam, karena m ereka sudah tidak diperlukan lagi. Maka kembalilah ia ke negeri Tuban untuk melakukan

tugas itu sebaik-baiknya, dengan jalan dan cara apa pun.

D an ternyata ia tak mampu m engendalikan Sunan Rajeg, yang jauh lebih berpengalaman daripadan ya, lebih berilmu dan berpengaruh, la tak berhasil mem bawanya berpihak pada D emak. Lagi pula sunan Rajeg ternyata mempunyai impian untuk sendiri marak jadi sultan dan khalifah sekaligu s.

Sekarang balatentara Rajeg telah terpukul dari semua medan

Rajeg harus lari menyelamatkan diri. D alam kekalahan ini ia dapat melihat watak Rangga Iskak yang sebenarnya tak sedikit pun berniat dalam hatinya untuk menyelamatkan pengikutnya, hanya diri sendiri, keluarga dan harta bendanya. Ia tak habis-habis mengh erani bagaimana seorang pemimpin yang berpengaruh begitu besar, berilm u dan berpengetahuan, guru yang sangat didengarkan, bisa bertingkah laku seperti itu. Dalam kedamaian dan kemenangan ia sudah dap at mengenali kerakusannya. D alam kekalahan pengaruh, ilmu dan pengetahuan hanyalah untuk dirinya sendiri dan miliknya. Orang yang rakus akan harta benda dan

pertempuran.

Sunan Sunan

Sunan Rajeg itu tahu-tahu sudah ada di hadapannya. Tangannya bersilang pada dad a dan pada tangan kanan tergan tung tasbih. Mu lurnya komat-kamit tanpa henti sedang batuk antara sebentar menyerang dadan ya yang tipis. Belakangan ini ia kelihatan tua, kurus dan bongkok. Ro ngga mata dan pipinya nampak lebih cekung daripada biasanya. Uban pun semakin banyak menyelusupi ram butnya yang hitam-lekam.

Melihat kegesitan Mo hamm ad Firman dalam memasak ia tertawa menyapa. Lambat-lam bat ia masukkan tasbih ke dalam saku baju, m embelai-belai janggut dengan tangan kiri dan berkata lambat-lambat: “Sudah aku ajarkan padamu mem asak nasi secara Kabul. Ternyata kalian suka, bukan? Sekarang orang sudah mulai menggunakan nasi kabuli untuk berhajat. Firman, sudah kau cicipi gulai itu? Baik. Sekarang campurkan serbuk mi samp ai rata ke dalamnya

dan tenangkan agak lama setelah mendidih sekali lagi”. Pada juru masak ia serahkan sebuah cepuk kecil dari anyam an bambu.

“Kau sendiri yang m enuangkan, Firman. D engan serbuk ini gulai akan jadi gulai Malabari. Kalian akan rasakan

nanti untuk pertama kali dalam hidup kalian. G ulai Malabari! Ada juga yang menam ainya kare, tapi lain dari yang dari Malabar ini. Tapi awas, jangan kau cicipi, bila dicicip ia bisa berubah jadi racun!”

‘Jadi racun. Kanjeng Sunan? ” “Jadi racun Bukan main-main. Bumbu bukan sembarang

bum bu, bum bu bikinan leluhur,sudah ratusan tahu n, yang menyebabkan bocah-bocah bisa berhidung mancung dan bum bu, bum bu bikinan leluhur,sudah ratusan tahu n, yang menyebabkan bocah-bocah bisa berhidung mancung dan

Sunan Rajeg berjalan meninggalkan tempat itu untuk melihat-lihat sekitar tungku, kemudian balik lagi pada Firm an: “Sebelum semua dihidangkan, Firman, ingat-ingat, semua puntung kayu dan aran g, juga tungkunya sekaligu s, harus ditanam sampai tak nam pak mata. Iblis pun tak boleh mengetah ui. Itulah anehnya syarat-syarat untuk bumbu itu”.

D an ia pun pergi, yakin semua pengikutnya mem atuhi semua katanya, yakin setiap katanya adalah hukum.

Tetapi juru masak seorang ini bukan saja telah terdidik mengebaskan tahyul dan om ong kosong sebagai musafir pilihan, ia pun semakin mencurigai Sunan Rajeg yang semakin aneh. Ia tak dapat mempercayai adanya hubungan antara bum bu dengan hidung yang dap at mancung atau pun dengan umu r panjang. D an apakah gunanya hidung semancung dan setipis itu kalau toh rapuh dalam setiap tubrukan? D an umu r itu, bukankah dia bukan urusan

manusia? D an tidak lain dari Sunan Rajeg sendiri yang sering mengajarkan? D an apa sebab bekas-bekas harus ditanam, sedangkan iblis akan tetap dapat mengetah ui?

Adapun kecurigaan dan keheran annya harum dan sedap bau gulai itu mem ang luarbiasa dan menarik liur untuk

bertetesan semaunya sendiri. Baunya m engawang berat dan buyar ke mana-mana penjuru dalam udara tak berangin itu.

Beberapa kali ia melihat sosok tubuh mengintip dari kejauhan tertarik oleh sang harum sedap. D an ia pura-pura tak tahu . N amu n matanya jadi menerobosi balik-balik dedau nan.

Ia sendiri ingin mencicipi Dan mana bisa seorang juru masak tak boleh m encicip?

Mengetah ui di balik dedau nan hutan tak lagi ada mata mengintip, ia sambar sepotong daging gulai dari belanga, bercepat-cepat menghindar ke balik palaka, duduk di atas tam bi. D aging itu terlalu lama dimasak, sangat panas dan gam oh, hampir lum at, jatuh di antara kedua belah kakinya.

Firm an menyebut. Ia menyadari perbuatannya tidak diridhoi maka tak mengam bil sepoto ng lagi. Dilihatnya beberapa pengintip mu ncul lagi dari balik dedau nan hutan terpanggil oleh harum sang gulai.

Ia pergi ke tungku dan mem adam kan api. Tanakan dan makanan ia turunkan di atas tanah, kemudian dengan pacul

kayu kecil bermata baja ia menggali lubang, memasukkan bekas-bekas tungku dan puntung-puntung ke dalam nya. Hilang semua itu dari pandangan m ata.

N asi ia masukkan ke dalam bakul besar. G ulai tetap dalam belanga, demikian juga halnya dengan air minum. Tanah bekas ia masak ia sapu dengan seikat ranting hidup, dan hilanglah bekasnya, sekalipun masih namp ak menguap.

Sekarang tinggal melepaskan lelah baran g sebentar. Kembali ia pergi mendekati pohon palaka dan dud uk pada

tam binya. Teringat pada nasib daging yang terjatuh, ia bangkit lagi untuk mengambil pacul. Ia haru s menanamnya sekali. Matanya gerayangan mencarinya, dan daging itu tiada! Tak jauh dari tempat itu menggeletak seekor biawak poho n yang baru saja mati.

Bumbu itu beracun, pikirnya, kalau bukan biawak itu tentulah aku yang mati. Binatang itu ia angkat pada tengkuknya dan ia cium-cium mu lutnya. Benar. Mu lutnya berbau kare. Sunan Rajeg telah bermaksud menumpas sisa pengikutnya yang paling setia untuk menyelamatkan harta- bendanya. G ila!

Kekecewaannya terhadap pemimpinnya itu kini mencapai puncaknya dan berubah jadi kemuakan dan kebencian. Orang itu lebih biadab dari pada orang yang dibusuk-busukkannya selam a ini, tidak lebih baik daripada Sang Adip ati atau pun kafir, kufur, mu nafik mana pun.

D ialah oran g yang tak tahu berterima kasih kepada Tuhan dan semu a ummat.

Ia masuk ke dalam gua dan melihat ruang tengah telah digelari dengan dau n pisang hutan. D an itu berarti ia sudah boleh mem asukkan hidan gan. Menurut aturan yang baru diterimanya, dalam tata-tertib G owong, yang pertam a-tama dilayani adalah istri-istri Sunan dan Sunan sendiri, kemudian para pengikut, dan paling akhir sandera Idayu dan anak-anaknya.

Berjalan melewati ruang tengah setelah kembali dari mem bawa ca-dong untuk istri-istri Sunan, ia dapati R angga Iskak telah dud uk bersama pengikut-pengikutnya yang tersetia itu mengepung hidangan.

“Firm an”, tegur Sunan Rajeg, “sekali ini kau pun bersama-sam a kita semua menikmati rejeki dari Allah ini.

Ayoh, sini, jangan ragu. Satu kehormatan bagi kalian makan bersama-sama dengan Sunan Rajeg”.

Juru masak itu ikut dudu k mengepung hidangan. Tak lain dari Sunan sendiri yang mengu capkan doa. Hidangan

dibongkar dan dibagi-bagi-kan oleh si jangkung. Orang pun mu lai m enyantap dengan lahap.

“Ayoh, habiskan. Mau m elihat bagaimana kalian makan gulai malabari. Jurumasak, yang belakang jangan dihidangi dulu. Sekali ini mereka akan makan belakangan. Ayoh, semua, jangan enggan”.

D alam kerikuhannya oran g makan semakin lahap, lupa mem perhatikan yang lain-lain. Firman mengangkat daun D alam kerikuhannya oran g makan semakin lahap, lupa mem perhatikan yang lain-lain. Firman mengangkat daun

Harum kare itu mem ang tak tertahan kan. Makanan Firm an pun terkenal tanpa tandingan. Kerikuhan sama sekali hilang tergantikan dengan kerakusan makan.

Juru masak itu memp erhatikan teman-temannya sambil terus pura-pura makan dengan dau n pisang terangkat tinggi. Ia menunggu apa yang akan terjadi. D an mem ang sedang akan terjadi sesuatu.

Tak antara lama ia lihat beberapa oran g terhenti makan dengan mengejut, berdiri, berjalan terhuyung-h uyung mendekati Sunan, berhenti, kakinya goyah, mu lurnya menganga tanpa bisa mengeluarkan suara, kemudian jatuh seperti karung koson g di lantai.

Yang lain-lain pun berhenti makan, menarik-narik jakun atau mem utar-mutarkan kepala, berdiri untuk kemudian jatuh di lantai juga dan tak bergerak lagi.

Firm an menduga, kerongkongan dan lidah dan bibir mereka mu la-m ula jadi kelu dan kaku sehingga jadi mutlak gagu , seperti kena kecubung, mungkin juga usus dan kemudian melumpuhkan bagian-bagian lain yang penting. Mata m ereka namp aknya juga m enjadi buta sebelum m ati.

Sunan Rajeg masih duduk di tempatnya mengawasi semua kejadian dengan kening berkerut-kerut. Sekarang matanya diarahkannya pada Firm an yang m asih juga belum menggeletak.

Tak ada jalan lain bagi si jangkung daripada mesti mengikuti contoh teman-tem annya. Ia berdiri dengan mulut Tak ada jalan lain bagi si jangkung daripada mesti mengikuti contoh teman-tem annya. Ia berdiri dengan mulut

Ia lihat Rangga Iskak bangun dari tempat dudu k. Airmu kanya suram dan berkerut-kerut. Ia dekati salah seorang korban dan berbisik padan ya: “Ya Allah, terjadilah apa yang kau ijinkan untuk terjadi. Kau telah benarkan semua ini terjadi atas persetujuan-Mu. Tanpa kehendak- Mu , semu a ini takkan m ungkin berlaku”.

Ia berjalan meneliti wajah seorang dem i seorang. Sampai pada Firman ia berhenti lama dan agak ragu-ragu, meraba- raba jantungnya yang masih juga berdenyut dan paru- paru nya yang masih juga kembang-kempis. Ia m engangguk- angguk dan berkata padanya: “Tidak aku berikan kesakitan padamu, Firman. Semua jalan menuju ke akhirat. Kau hanya lebih cepat. Ampunilah aku”.

Percaya, bahwa jurumasak itu akan segera mati pula, ia meninggalkannya, berdiri di tengah-tengah ruangan, bim bang, sekali lagi menebarkan pandang pada korban- korbannya. Ia melangkah ke jurusan bilik Tak jadi. Ia ragu- ragu. D ibelai-belainya jenggotn ya, tiba-tiba tertawa riang terbahak dan berpidato: “D ahulu, tidak, masih kemarin kalian dengarkan ajaran-ajaranku untuk bekal dun ia dan akhirat. Anak-anakku, sekaran g kalian tidur nyenyak seperti bocah-bocah, anak Adam yang damai. Untuk keselam atan pemimpin kalian, untuk Sunan Rajeg, semua ini telah terjadi atas kehendak-N ya. jangan menyesal. Pada akhirnya akhirat akan lebih baik, lebih menentu, daripada dunia.”

Seperti orang kehilangan akal tiba-tiba ia terhenti, menoleh ke m ana-m ana dan mem ekiki: “Khaidar! Khaidar! Bawa semua saudarimu ke mari. Kita ada kerja!” ia mengh itung dengan telunjuk jum lah korbannya. Sembilan belas. “Khaidar! Cepat! Apa kau tunggu-tunggu di dalam?”

“Khaid ar sudah m ati, Kanjeng Sunan!” jawab jurumasak dengan suara bisik.

“Astagafirullah!” sahut pemimpin itu. Matanya terbeliak mencari-cari mayat yang dapat bicara itu. “Suara apa kudengar ini? Khaidar! Ayoh, sini, keluar”.

Juru masak mengu langi jawabannya. D an Sunan Rajeg mu lai curiga. Ia dekati bangkai itu seorang demi seorang sambil menggoyang-goyangkan kepala mereka.

“Mati!” katanya setiap habis memeriksa. Sekarang sampailah ia pada Firman. Tangannya

mencekam ram but jurumasak dan menatap wajahnya. Si jangkung meraung tinggi dan melompat berdiri. Sunan

Rajeg terbalik sangking kagetnya. “Ya, akulah iblis!” rau ng Firman, kemudian tawanya

bergaung-gaung berpendanan dalam rongga gua itu. “Jangan kau kira aku biarkan kau dapat terlepas dari tanganku”, ancam nya dengan suara dad a yang dalam.

Sunan R ajeg gemetar tak mampu m empertahankan tegak badan nya sendiri. Suaranya sangat pelan memanggil-

manggil Khaid ar, minta tolong. Tangannya bergerayangan untuk mencari tempat bersandar. Kemu dian mu lurnya berkom at-kamit mengucapkan doa pengusir roh jahat.

D alam keadaan seperti itu ia tak sempat terbatuk-batuk. “Pergi! Pergi kau, iblis pengganggu”, pekiknya setelah

selesai doanya. “Pergi kau ke alam mu sendiri”. “Telah kau bunuh aku, Sunan Rajeg, doa-doam u tidak

mem pan terhadapku. Ya-ya-ya, apa dosaku maka kau bunuh?”

“Kembalilah tenang, berserah diri ke alam Baka, Firman!

D engarkan Firman”, kembali Sunan mencobai memidatoi dan nampak ia menabah -nabahkan diri.

Juru masak mem ungut segump ak daging kare, dicium nya sebentar, kemudian diulurkan pada pemimpinnya. Suaranya menggeledek: “Makan ini, pembunuh! Makan, kataku!”

“Tidak, aku tak suka kare”. “Harum bau dan lezat rasan ya, bikin hidung jadi

mancung dan umur jadi panjang. Mengapa tak suka lagi pada kare? Lebih muda jadi pesek?” ia semakin maju

mendekati. “Makan, ayoh, gulai Malabari, Sunan”. Rangga Iskak menolak dengan tangan gemetar. “D ijau hkan aku dari makanan itu,” sebutnya. ‘Tak mau kare? Atau lebih suka pisau dapur?” jurumasak

mengeluarkan pisau dari pinggangnya. “Jangan, jangan. Kau boleh am bil satu dari peti-petiku

dan pergilah demi Tuban. Jangan ganggu aku. Ambil satu peti dan pergilah dengan dam ai,” kata pemimpin Rajeg itu

setelah mengetah ui, jurum asak itu tidak mati. “Khaidar! Khaid ar!”

“Juga Khaidar sudah mati kau bunuh!” “Bohon g. Tak pernah Sunan Rajeg mem bunuh orang.

Kau, dengan tanganmu sendiri yang mem bunuh mereka”, katanya sambil menuding korban-korbannya yang bergelimp angan.

“Kau pembunuh!” tuding Firman. “N ingrat Jawa takkan lakukan kekejian semacam ini”.

“Pergi! Pergi!” pintanya gugup. “Bawa satu peti”. “Hanya

menggertak, “setelah pembunuhan keji ini?”

satu?”

Firm an

“D ua. Ya, dualah”. “D ua peti takkan dap at kuhabiskan seum ur hidup”. “Sam pai dengan cucumu takkan habis, Firman, dinar

dan real, emas dan perak, intan, zamrud, delim a, mirah, kecubung, kalim aya, batu-batuan mulia yang tak pernah kau lihat seumur hidup… ah, kau bisa jadi m aharaja dengan dua peti itu. Kain-kain, khasa, sutra, kaliko, perm adani buatan Libanon dan Ashkhabad….”

“Bahkan kematian istrimu pun kau tak ratapi”. “Siapa tidak?” “Setelah kau m embunuhnya?” “Bukan aku. Kau!” tuduh Sunan Rajeg. “Ayoh, makan daging kare ini”. “Tiga peti!” “Lebih baik kau susul istri-istrimu …’ ‘Tiga peti. Tak dibenarkan oleh Tuhan mem bunuh

dirinya sendiri dan m embelanjakan harta tiada sepatutnya”. “Kau tak perlu mem bunuh dirimu sendiri. Sini, biar aku

yang m engerjakan. Sini! Si… ni”.

D i dalam bilik kayu itu udara lembab, berat dan mencekik. Mereka harus mem biasakan diri untuk dap at

tinggal di situ. G elar dan adiknya namp aknya merasai bayang-bayang ketakutan pada ibunya. Mereka tidak tinggal di situ. G elar dan adiknya namp aknya merasai bayang-bayang ketakutan pada ibunya. Mereka tidak

Mendengar ribut-ribut di luar bilik, Idayu melom pat ke pintu yang takkan mungkin dibongkarnya dari dalam itu.

D an ia hanya dapat menangkap suara-suara ribut, jelas sedang memperebutkan sesuatu. D alam kegelapan bilik

G elar pun bergegas ke pintu mendekati ibunya. Kata-kata keras di luar itu berham buran menem busi

dinding kayu dan lubang-lubangnya. Mereka tak dapat melihat sesuatu. “Berap a ratus, berapa ribu saja oran g mati karena kau!

Kau sendiri takut mati! Ayoh, makan sendiri racunmu ini. Apa kau lebih m emilih pisau dapur?”

“Jangan, ambillah tiga peti itu”. “Kau pun orang asing pembikin onar. Orang asing lain

jadi Sultan ka u mengiri, mendengki. Kau sendiri mau menggagahi semua, menipu, mengacau, mem utar balikkan, mengadu dom ba, mau jadi raja paling berkuasa, dengan keringat dan darah dan nyawa orang lain!”

“Tiga peti cukup, Firm an, demi Allah”. “Tak ada sesuatu yang baik dap at dipungut dari kau!”

suara bentakan “Hidun g mancung, ganteng, banyak ilmu, pandai

mewejang, hafal semua firm an Allah… hanya iblis laknat belaka. Rasakan ini!”

Cepat-cepat Idayu mengangkat G elar dan mereka pura- pura tidur nyenyak.

Jantu ng ibu itu berdebar-debar kencang mendengar langkah kaki di atas lantai balok-balok kayu yang semakin Jantu ng ibu itu berdebar-debar kencang mendengar langkah kaki di atas lantai balok-balok kayu yang semakin

Ia dekap G elar erat-erat, dan anak itu menyembunyikan mu kanya pada dada ibunya dalam kegelapan.

Langkah kaki itu berhenti di depan pintu bilik. “D ewa Batara!” bisik Idayu hampir tak terdengar. “Mak”. Terdengar pasak pintu dibuka dari luar bilik. Segumpal

cahaya rem-ban g masuk ke dalam . “Keluar!” terdengar oleh Idayu dan G elar suara yang

mem erintah pelahan dan lembut. Mereka pura-pura tidur. “Tidurkah kau, Mbokayu?”

Tersirap darah Idayu. Ia pernah dengar suara itu – suasana yang sama sekali tidak jahat. Ya-ya suara pemuda pengawal yang mem bawanya ke mari. Mengapa suaranya selalu selunak itu?

Orang itu tak masuk ke dalam bilik, tetap berdiri di am bang pintu dan mengu langi perintahnya dengan suaranya yang lunak itu juga, dan manis, dan mem ikat.

Idayu tak dapat mem pertahan kan pura-puranya lebih lama. Ia turun dari ambin. G elar tak sudi melepaskan ran gkulannya dan menjerit. Ia gendong anak itu dan mengh ampiri pengawal muda jangkung berkumis tanpa jenggot itu. Bertanya: “Akan dibunuhkah kami?” ia tak

dengar si bayi sudah mulai menangis pula. “Ah, Mbokayu, mana bisa orang akan bunuh pujaan

Tuban?” Seperti tersihir oleh suaranya ia masuk lagi dan mengambil

melengket pada punggungnya.

bayinya.

G endong

“Mari tinggalkan tempat ini. Mari aku antarkan ke Tuban. Kang G aleng sudah lama menunggu”.

Siapakah orang ini? Tapi ia tak berani bertanya. “Mari aku bantu. Biar kugendong kemenakan tertua ini”.

G elar m eronta dan meraung. D an ia tak m emaksa. “Biar si bayi saja kugendong”, katanya mengu lurkan

tangan. Idayu m emandan ginya dengan curiga. Matanya liar tak m empercayai. D an bayi itu tak diserahkannya.

“Ah, M bokayu sendiri. Kau lupa padaku. Akulah Pada”.

0odwo0