Petani W iranggaleng

30. Petani W iranggaleng

Sudah beberapa lama W iranggaleng hidup di desa perbatasan Awis Kram bil, menjadi petani seperti penduduk selebihnya. Ia telah dapat m elaksanakan impian-m udan ya – impiannya bersama Idayu. Mereka telah mendirikan pondok beratap injuk berdinding pelupuh. Dan pondok itu berdiri tinggi di atas tiang.

D i waktu senggangn ya Pada ikut memban tu semua pekerjaan : menebang dan mengangkuti bambu dan

pemukulnya jadi pelupuh, membuka hum a, menggali saluran, mengangkuti panen. Hanya ia tak pernah pemukulnya jadi pelupuh, membuka hum a, menggali saluran, mengangkuti panen. Hanya ia tak pernah

Pada telah mem buka pengajian di desa itu pula. Persahabatannya dengan Wiranggaleng menyebabkan ia mendapat kepercayaan dari penduduk desa. D engan bermodalkan kata-kata “Wiran ggalenglah yang menolong jiwaku” dan dibantu oleh kata-kata Idayu “Mohamm ad Firm an alias Pada yang menolong jiwaku dan anak-anak W iranggaleng” ia muncul sebagai oran g terpandan g di desa Awis Kram bil. Leluhur Awis Krambil telah mengajarkan: seorang yang telah menolong jiwa orang baik-baik

seyogyan ya dibalas kebaikannya selam a hidupnya oleh semua oran g baik-baik sedesa.

D an W iranggaleng sendiri tak punya perhatian terhadap kegiatan sehari-hari Firman. Juga ia tidak menganjurkan pada anak-anak desa untuk belajar padanya. Idayu juga tidak pernah m enganjurkan.

yang banyak, pengembaraannya yang cukup luas, pergaulann ya dengan

Tetapi pengalaman

Pada

banyak orang, dan bakatnya dalam berceritera, telah menarik anak-anak kepadan ya. G ubuknya selalu berisi dengan kanak-kanak. D an gubuk itu didapatkannya sebagai pemberian desa dengan ladang yang cukup luas di belakangn ya. Tetapi ia tak pernah tertarik untuk menggarap

tanah m aka ia pun tidak pernah jadi petani. Setelah banyak kanak-kan ak berkumpul di sekelilingn ya

ia mu lai mendongeng, kemudian memp erkenalkan nabi- nabi yang pernah dipelajarinya di D emak. Tetapi segera seluruh desa tergo ncang waktt ia mulai m emasukkan aturan yang mem isahkan anak-an ak lelaki dari perempuan. Orang tua-tua mem erlukan datang untuk bertanya: apa salahnya anak-anak perempuan itu? Mengapa mereka dibedakan hanya karena mereka perempuan? D an ia menjawab, ia ia mu lai mendongeng, kemudian memp erkenalkan nabi- nabi yang pernah dipelajarinya di D emak. Tetapi segera seluruh desa tergo ncang waktt ia mulai m emasukkan aturan yang mem isahkan anak-an ak lelaki dari perempuan. Orang tua-tua mem erlukan datang untuk bertanya: apa salahnya anak-anak perempuan itu? Mengapa mereka dibedakan hanya karena mereka perempuan? D an ia menjawab, ia

Kemu dian desa dibikin terheran-heran mengapa pengajiannya tidak mengajarkan baca tulis Jawa, dan bagaimana jadinya kalau anak-anak itu nanti besar dan tidak mengetah ui sesuatu tentang ajaran letafttft sendiri? Ia menjawab, tentang itu anak-an ak itu nanti bisa belajar sendiri dari guru-guru lama dan dari orang-tuanya.

Kesulitan yang ke sekian mu lai dihadapi oleh Pada. Huruf Arab yang diajarkannya terlalu sulit untuk bisa dipergunakan untuk diucapkan. D an murid-murid itu mu lai berguguran seorang demi seorang; Ia sedang mengh adapi kegagalan.

D an W iranggaleng ataupun Idayu tidak menyokongnya, Bahkan G elar tidak pernah datang ke pondoknya. Ia mengerti keberatan mereka: pengalaman mereka berdua dengan Kiai Benggala telah cukup tidak m enyenangkan dan akan kenang-kenangan buruk sepanjang m asa; Maka juga ia tak pernah meminta sokongan itu. Ia harus dapat tegakkan dirinya sendiri.

Satu -satu nya jalan untuk mengatasi kegagalan adalah kesabaran. D imu lainya menulis tembang dalam bahasa dan

tulisan Arab tentang kisah Rasulullah. Mu ridnya yang tinggal sedikit telah meram batkan tembang; itu ke seluruh desa Awis Kram bil, dan merasa berbahagia dengn suksesnya. Ia dapat dengarkan tulisannya itu dinyanyikan di atas punggung kerbau di padan g rumput, atau di malam sepi waktu bulan tiada terbit di rum ah-rumah yang tersebar luas dalam kegelapan.

N am un muridnya tidak juga bertambah.

D an W iranggaleng atau pun Idayu tak pernah datang menengok gubuknya.

Kesulitan baru datang menan tangnya waktu ia mu lai mengamatkan tentang larangan -laran gan: makanan dan minuman. Kembali orang tua-tua datang kepadan ya dan menan yakan apa sebabnya babi dan binatang bertaring lainn ya tak boleh dimakan, dan mengapa tuak tak boleh diminum. Ia menjelaskan, bahwa masih terlalu banyak makanan dan minuman kecuali yang dilarang. Oran g tua- tua itu tidak bisa mengerti dan tidak bisa membiarkan ajaran tentang larangan itu. D an Pada harus mengatakan atau ia harus keluar dari desa Awis Kram bil. Ia mengatakan: boleh makan dan diminum, asal tidak banyak, sedikit saja cukup. Itu pun tak bisa diterima oleh desa. Malah oran g mu lai mencurigainya hendak mendirikan kekuasaan baru seperti Sunan Rajeg dengan mu la-mu la mem bikin peraturan.

Hanya persahabatan dengan W iranggaleng dan Idayu mem bikin ia tidak terusir.

Suasan a mereda, tapi muridnya kian sedikit, tinggal baran g tiga oran g. Tiba-tiba gon cangan muncul kembali waktu mengh adapi pesta panen besar. Pada mengajarkan, cacing tanah tidak boleh dimakan. Tentangan dari orang tua-tua, bahkan seluruh desa, tak dap at dikendalikan lagi. Berabad -abad lamanya cacing tanah jadi makanan pesta yang tak pernah ditinggalkan. Setelah dipurut cacing itu direndam dalam air enau selam a sehari, kemudian setiap orang mem akannya.

Pada terpaksa menarik ajarannya. D an ia m enjadi orang yang tidak populer di Awis Kram bil. Ia harus lebih bersabar Pada terpaksa menarik ajarannya. D an ia m enjadi orang yang tidak populer di Awis Kram bil. Ia harus lebih bersabar

W aktu itu Wiranggaleng sedang di hutan untuk menyadap enau. Ia tak berani naik ke rumah dan menyusul sahabatn ya masuk ke dalam hutan.

0o-d w-o0

D an setiap Pada datan g ke gubuk di pinggir hutan, dan W iranggaleng tak ada, dan ia terus menyusul ke ladang, hum a atau hutan, Idayu dapat melihat sinar aneh pada mata oran g mu da jangkung berkumis dan tidak berjenggot itu.

Sinar mata itu sama dengan yang terpancar waktu ia diam bil dari rumah tahanan untuk dibawa ke gua persembunyian, sama dengan waktu mereka berempat menyeberan gi padan g alang-alang yang menggentarkan itu, melewati hutan muda dan kemudian menyeberan gi padang rumput pendek… desa pertama, desa kedua, ketiga dan samp ai ke jalan negeri.

Ia masih dapat mengingat waktu mereka berhenti di pertigaan itu. Pada menatap matanya dengan sinar yang aneh itu pula. “Jadi Mbokayu tak mem belok ke kanan? ke Tuban?”

“Tidak, Pada”. “Ke kiri? Awis Kram bil?”

Ia lihat sinar mata itu tiba-tiba jadi beku dan kepalanya menundu k.

“D an kau sendiri hendak ke mana, Pada?” ia bertanya.

“Biar aku antarkan sampai Awis Kram bil”, jawabnya kemudian. “Itu-pun kalau Mbokayu tidak merasa tergan ggu.”

“Tentu lebih baik begitu. Tentu takkan ada yang mencurigai kau sebagai pelarian pengikut Sunan Rajeg, kecuali kalau kau berganti pakaian. Buang itu yang serba putih”.

Ia ikuti orang mu da itu minta diri baran g sebentar dan pergi menghilang dengan parang telanjang di tangan kanan. Ia menunggu di gaan. Mem ang agak lama. Kemu dian ia datang lagi mem bawa sir pisang susu matang dan pakaiannya yang serba putih telah menjadi coklat dilumu ri getah pisang.

“Begini baik, bukan, Mbokayu?” “Cu kup baik”. Mereka mu lai membelok ke kiri ke jurusan Awis

Kram bil. W aktu ia menengok ke samping ia lihat Pada sedang

mengawasinya, kemudian dengan gugup menyembunyikan pandangann ya pada pepoho nan di kejauhan. Juga sinar

matanya aneh, sinar mata seorang yang gandrung kasmaran.

“Kau tak pernah ceritakan di mana rumahmu, Pada”. “Aku adalah seekor burung, Mbokayu, di mana pun

bertengger di sanalah rum ahku.” Suara lelaki itu terdengar gembira tercam pur tawa, dan

Idayu tak tahan mendengarn ya. Ia merasai di dalamnya terdengar gaung dari hati yang merasa, putus-asa. Mungkin orang mu da ini menyebabkan ia takut pada Pada, berjalan Idayu tak tahan mendengarn ya. Ia merasai di dalamnya terdengar gaung dari hati yang merasa, putus-asa. Mungkin orang mu da ini menyebabkan ia takut pada Pada, berjalan

Ia berjalan tanpa menoleh ke belakang. D ari suara G elar yang dud uk pada tengkuk ia dapat menduga berapa depa Pada berjalan di belakangnya.

Pagi dan siang sudah lama lewat. Hari telah senja. Sawah dan ladang; tepi desa Awis Krambil telah senyap ditinggalkan oleh semua orang. Hujan pun jatuh rintik- rintik. Pintu-pintu rum ah desa telah tutup untuk menolak angin dan dingin. D ari atap-atap keluar asap pendiangan ternak atau dapur.

Ia dengan bayi dalam gendongan berhenti di depan gapura rumah orangtu anya. Dan ia ragu-ragu untuk masuk. Seekor kuda coklat dengan becak-becak putih tercancang di samp ing rumah di dekat pesajian rumah tangga, yang terbuat dari tumpukan batu merah. Abah-abah dan sanggu rdi kuda itu masih terpasang.

“Ya, Mbokayu, mem ang kuda Tuban”. Pada mem peringatkan. “Sanggurdinya tak dapat dikelabui,

kuningan pipih-lebar. Juga hiasan kepala itu. Kau ragu- ragu, Mbokayu”.

Ia m emang ragu-ragu untuk m asuk.

D an orang mu da itu mendekatinya dengan G elar masih juga dud uk pada tengkuknya. Sekarang ia merasa tak

senang di dekat Pada. Ia kalahkan keragu-raguann ya dan melewati gapura dengan si bayi dalam gendongan, meninggalkan Pada di belakangn ya.

Kuda itu masih berkeringat dan nafasnya masih gelisah. Ia berhenti lagi, ragu-ragu untuk terus. Ia terpaksa menunggu Pada, dan berjalan di belakangn ya untuk mendapatkan perlindu ngan.

Tali abah-abah tempat pengikat tom bak-tombak lemp ar tidak tersimpul. Mungkin penunggan g kuda itu membawa tom bak-tom bak-nya ke dalam rumah.

Mereka tak langsung mem asuki pintu, tapi berjalan dari samp ing rum ah. Sebentar mereka berhenti untuk mendengar-dengarkan. D an tak ada terdengar sesuatu pun dari dalam.

Juga pintu samping itu tak terkunci, Idayu masuk. Kosong tiada suara. Tak ditemuinya seorang pun. Di manakah oran gtua dan

D an siapa penunggang kuda itu? D an di mana dia?

adik-adiknya?

Ia masuk ke dap ur, dan api sedang menyala riang di dalam tungku. Belanga di atasnya ia buka – gulai bebek. Ia buka dan dan g di sebelahnya: nasi yang belum lagi masak, dalam jum lah yang lebih banyak dari biasa. D alam belanga di atas tanah dengan penutup tertindih batu telah tersedia daging babi panggang yang telah disayat-sayat. Tapi di mana orang-orang rum ah? D an mengapa anjing-anjing pun tiada?

Ia keluar untuk meninjau rumah-rumah tetangga yang jauh-jauh letaknya. Sayup-sayup terdengar orang tertawa- tawa ram ai – dan suara itu dibawa oleh angin sore yang dingin itu. Ia melangkah ke arah kandan g sapi. Binatan g- binatan g itu sedang bersimpuh di tanah di dekat pediangan

sambil memamah-biak. “Mu ngkin semua orang sedang berkump ul di sana,”

katanya pada diri sendiri. Ia suruh Pada dan G elar beristirahat di ambin ruang

depan, di mana dulu Rama Cluring ia rawat. Pada dengan

G elar yang tidur dalam gendongan masuk ke ruang depan. Sebelum pergi sinar mata itu dirasainya semakin aneh. D an G elar yang tidur dalam gendongan masuk ke ruang depan. Sebelum pergi sinar mata itu dirasainya semakin aneh. D an

Si bayi ia tidurkan di atas am bin dapur dan ia meneruskan masak. Belum lagi masakan selesai terdengar ram ai-ramai di depan rumah. Ia lari ke depan, membuka pintu depan dan keluar. G elar dan Pada terbangun.

“Anak desa Awis Kram bil jadi Senapati Tuban!” bocah- bocah berseru mengelu-elukan, “Tidak pernah kalah. T erus menerus menang!”

“Ya-ya, kagumi dia, bocah-bocah! Kagumi, biar kalian jadi orang besar juga kelak. Kagum i!”

D i hadapan Idayu satu rombongan besar oran g sedang melewati gapura, bocah-bocah dan orang dewasa, laki dan perempuan. Rombon gan itu mengiringkan seorang bertubuh dempal perkasa. D an Idayu tidak keliru. Itulah suam inya: Wiranggaleng. Ia lari menyam butnya. Tanpa bicara ia menubruk, merangkulnya dan menan gis tersedan- sedan.

“D ayu, aku tahu kau selam at”. Suam inya mengeluarkan popok dari ikat pinggangn ya

dan disekakannya pada wajah istrinya, kemudian mem apahnya masuk ke rumah. Ia merasa aman di dekat juara gulat ini.

“D engarkan , penduduk Awis Kram bil G aleng Senapati Tuban, kembali ke desanya. Sekarang dia telah bertemu

dengan isterinya. D an khusus pada Idayu, “Mana Anakku?”

Mereka mem asuki rumah disambut oleh Pada yang berdiri seperti orang kehilangan akal. Ia m elihat lelaki muda itu seperti terpesona oleh kehadiran W iranggaleng. Matanya tidak lagi mem ancarkan sinar aneh.

Ia lari masuk ke dap ur, mengambil bayi yang tidur nyenyak diatas am bin depan dan menyerahkannya pada bapaknya dengan hangat “Inilah anakm u, belum lagi bernam a”, dan ia seret G elar dan diberikannya pada

G aleng, “dan ini G elar anakku”. Senapati Tuban dalam pembuangan itu menerima bayi

itu menciumn ya. Pada wajahnya mem ancar kebahagiaan, kepuasan, syukur dan terima kasih, kemudian menyerahkannya kembali pada ibunya. Kini ia angkat

G elar dan berseru: “Kau, G elar, kau sudah bisa menyanyi?” “D ia terus m enyanyi di atas tengkuk Pada, Kang”

Air mu ka W iranggaleng berubah. Tanpa mengindahkan jawaban bocah itu ia turunkan ke tanah. Matan ya mencari- cari orang diantara orang sebanyak itu. Airm ukanya menjadi keras.

“Pada, di mana kau?” seru Idayu, dan ia sendiri m enjadi kuatir melihat perubahan airmuka suaminya.

“Inilah aku”, jawab Pada dan meneroboskan diri mengh adap pada Senapati. “Inilah aku, Kang, adikmu

sendiri”. Ia menjatuhkan diri, bersujud dan mencium kaki W iranggaleng.

“D ia, Kang, Mohammad Firman alias Pada yang menolong jiwaku dan anak-anak W iranggaleng”.

Tak ada seorang pun yang membuka mu lut. Sunyi- senyap dalam ruang depan yang sempit oleh manusia

sebanyak itu. D an semua m ata tertuju pada Senapati T uban dan orang yang bersujud di hadapannya.

Tiba-tiba G elar merangkul leher Pada, bertanya: “Mengapa tak bangun-bangun, Pam an?”

“Ya, bangun, kau, Pada”.

D an Pada bangun, berdiri. Mu kanya pucat seperti habis bangun dari sakit demam sebulan.

“N anti akan kuceritakan di depan semua oran g ini bagaimana ia selamatkan kam i, Kang.”

"Aku datang untuk m enyusul kau, Idayu”. ‘Tidak. Aku tak perlu kau susul. Aku takkan kembali ke

Tuban”. ‘Tidak. Aku pun takkan kembali lagi ke Tuban, Idayu.

Aku kembali jadi si anak desa yang dahulu.” “Kang!” seru Idayu tak percaya. “Kita akan mem buka huma, Idayu, mendirikan gubuk di

pinggir hutan, di tepian desa”. “Kang!” Pada menarik diri dan berdiri diam-diam di pojokan

mem perhatikan semua kejadian itu.

0o-d w-o0

Berita tentang wafatnya Adipati Unus dan digantikan oleh Trenggo no telah memp erkukuh niatnya untuk tidak

kembali ke D emak. Apalagi setelah ia tahu Sultan baru itu tidak mem perhatikan dan tidak mem butuhkan jasa para mu safir. Bahkan ke Bonang pun ia tak pernah lagi, apalagi menyam paikan laporan.

Tetapi alasan terutama adalah Idayu. W an ita itu mem bikin ia tak mampu meninggalkan Awis Kram bil.

Bahkan hanya nam anya pun telah menyebabkan ia merasa tergenggam tanpa daya. Dan ia mendengarkan suara hatinya – m enetap di Awis Kram bil.

Ia telah menjadi seorang Ki Aji kecil. Orang sudah m ulai mem anggilnya Kiai. D an ia tidak mem bantah.

D alam percakapan dengan Wiranggaleng dan Idayu dengan diam-diam ia terpengaruh oleh pandan gan yang tidak menginginkan sesuatu kekuasaan atas orang lain pun tidak m enginginkan harta-benda orang lain.

Ia tahu beberapa ucapan Idayu padanya dalam perjalanan dulu ada yang tidak cocok dengan …. Ia tak pernah mem bangkit-bangkitnya kembali. Tapi ia pun tahu betapa perem puan itu berpengaruh terhadap suaminya. D an mereka berdua begitu cinta-mencin tai seakan dunia luar tidak mereka perlukan lagi. Mereka memisahkan diri dari desa dan tidak pernah turun ke balai desa. Hanya karena besarn ya kepribadian mereka orang-orang justru datang pada mereka.

Akhirnya ia pun berniat hendak hidup sederhana seperti itu, mem buang segala impian tentang kebesaran dan kehorm atan. Ia lepaskan sama sekali hubungannya dengan

D emak, bahkan juga dalam pikiran nya. Ia bertekat hendak hidup sebagai manusia sederhana seperti mereka, menjadi

bagian dari kehidupan tanpa menentukan kehidup an. Ia belajar meyakinkan dirinya sendiri: ia berbahagia dengan hidup begini.

Ia pun m engakui dalam hatinya: seorang saja sebenarnya yang telah mengu bah jurusan yang semula hendak

ditempuhnya, dan mengu bah -gaya dan cara hidupnya. Orang itu adalah Idayu. Apa pun yangKtHptitejf buatnya seakan ada benang gaib yang menggerakkan tubuh dan pikiran nya. D an benang itu secara gaib dikendalikan oleh Idayu. la menyadari ia mencintai wanita itu dengan tulus hati. Idayu! istri sahabatn ya! ia yang lebih tua daripadan ya! ibu dari dua orang anak! istri orang yang telah mengem balikan jiwanya dari tangan Adipati Tuban!. Bila ditempuhnya, dan mengu bah -gaya dan cara hidupnya. Orang itu adalah Idayu. Apa pun yangKtHptitejf buatnya seakan ada benang gaib yang menggerakkan tubuh dan pikiran nya. D an benang itu secara gaib dikendalikan oleh Idayu. la menyadari ia mencintai wanita itu dengan tulus hati. Idayu! istri sahabatn ya! ia yang lebih tua daripadan ya! ibu dari dua orang anak! istri orang yang telah mengem balikan jiwanya dari tangan Adipati Tuban!. Bila

0o-d w-o0

Kemu dian datanglah berita itu: balatentara D emak telah mem bludag. Trenggono akan menyerang ke timur dan barat.

Mendengar itu ia lupa pada pengajiannya, lupa pada persoalan persoalan pribadi. D an segera ia lari menuju ke gubuk sahabatn ya di pinggir desa. W atak lama dari pekerjaan lama telah mengem balikannya jadi Mohamm ad Firm an yang lam a.

Ia dap atkan W iranggaleng sedang mengu liti rusa betina yang terperangkap dalam

ran jaunya. Tangannya berlumuran darah. Binatang celaka itu tergolek di atas gelaran dau n pisang, telanjang tanpa kulit. D ari dalam kandu ngan nya ia keluarkan bayi rusa yang belum cukup tua. diletakkan binatang kecil belum berkulit dan bermata terlalu besar itu di atas telapak tangan.

Pada berjongkok di hadapannya. “Suka kau?” tanyanya padan ya. Pada bergidik.

D an G aleng mem akannya m entah-mentah sampai habis.

D arah berlumuran pada m ulutnya. “Seperti Trenggo no m akan pulau Jawa,” kata Pada. W iranggaleng tak memperhatikan siratan kata Pada. Ia

meneruskan pekerjaan nya, memotong-moton g daging binatan g celaka itu dan menjajar-jajarnya di atas daun pisang.

“Kang G aleng, tak kau dengarkan aku?” “Seperti Trenggono makan pulau Jawa, katamu.

Mengapa, Pada apa maksudmu?” “Mengapa? Masa kau seorang senapati tak punya

perhatian? “Apa yang perlu diherani? Dan apa yang perlu

diperhatikan? Sebelum Trenggon o naik tahta, oran g sudah pernah meram alkan hati-hatilah kalian terhadap D emak”.

“Jadi bagaimana kau ini kalau Tuban diserang?” W iranggaleng

pekerjaan tanpa mem perhatikannya.

meneruskan

“Kau diam saja. Kang?” “Aku hanya orang desa, petani. Pada, jangan macam-

macam pertanyaanmu ”. “Tidak benar.

D engan diam-diam kau telah mem ikirkannya”.

“Lantas apa kau harapkan daripadaku? Pertah ankan Tuban? Serang D emak? Atau pertahankan tanah ini? Huma dan ladang ini, gubuk ijuk ini?” ia menuding pada gubuknya.

“Kalau hanya begini di mana pun aku bisa dirikan lagi

D i mana pun aku bisa dap atkan tanah, mu ngkin lebih baik dari ini. Kaulah yang semestinya bercerita, Pada, bukan aku. Kau orang D emak.”

“Aku anak Tuban, Kang, dilahirkan dan dibesarkan di Tuban, seperti kau juga.”

W iranggaleng berhenti bekerja dan menan capkan pisau sayatnya pada daging paha binatang itu.

“Itulah persoalanmu . Pada. Kau oran g Tuban dan pengabdianm u pada D emak. Bukan persoalanku.”

“Aku bersungguh-sunggu h, Kang. Relakah kau Tuban diterjang D emak?”

“Aku bersungguh-sungguh. Kang. Lupakah kau pada cerita-ceritam u sendiri tentang Peranggi dan Ispanya? Tentang meriam mereka? Mengapa kau bunuh Sang Patih Tuban dan kau meratapinya untuk sisa hidupmu untuk dap at m enghancurkan Kiai Benggala? Tak m ungkin kau tak punya perhatian dan pemikiran.”

”Trenggo no bukan Kiai Benggala!” “Bukan.”

‘Trenggono sama dengan Kiai Benggala.” “Mem ang sama.” “Lantas apa lagi?” “Hanya kerusakan saja akibatnya, Kang. D ua-duanya

akan melemahkan Jawa dan mem udahkan masuknya Peranggi. Bukankah itu ceritamu sendiri? Sekarang Trenggo no mem buka medan, dan kau enak-enak bertani dan menjebaki rusa dan celeng”.

“Sudah ada orang lain yang mengu rus, Pada.” ‘Tak ada yang sebaik kau.” W iranggaleng mencabut pisau dan

meneruskan pekerjaan nya.

Pada merampas pisau itu dan menan capkannya pada batang pisang. “Aku sungguh-sungguh, Kang.”

“Mu lai kapan kau dapat jabatan untuk mengu rus soal perang?”

“Aku hanya ingin tahu pikiran dan pendapatmu .” “Mengapa kau yang jadi sibuk? Bukan urusanmu.”

G elar datang mem bawa kranjang. Tubuhnya bongsor. Ham pir setinggi ayahnya, sehat, kukuh dan kuat.

“Bilang pada makmu , sebagian besar daging supaya didendeng. D an paha ini saja digantung di dapur. ”

“Ha!” seru Pada. “Kau sudah bersiap-siap dengan makanan kering. Jadi kau hendak beran gkat juga kiran ya.”

“Beran gkat ke m ana? Cobalah lihat rusa ini, Pada. Pulau Jawa sudah seperti dia, terkuliti, terkeping-keping. Bangkai utuh pun sudah tiada, sudah jadi dendeng dan sayatan yang siap untuk dimasak dan ditelan oleh pelahap.”

“Jadi kau m emang sudah m emikirkannya, Kang.” “Sudah lama aku memikirkannya, dan tak ada gunanya

untuk memikirkannya lagi.” “Kau putus asa, Kang.” “Aku tak mengh arap kan sesuatu . Dulu aku m asih punya

harapan dulu, sewaktu G usti Unus belum wafat. D an hanya seorang saja, duanya. Setelah wafatn ya semua nakhoda,

pedagan g dan oran g po...... kiranya tahu: seperti bangkai rusa terkeping-keping itulah nasib Jawa.”

“Kau putus asa. Kang. Kau, yang sendiri pernah urungkan datan gnya si pelahap.”

W iranggaleng berdiri dan tertawa. Pisau-sayat itu ia cabut dari batang, pisang, mengasah kering pada batu

asahan , kemudian

dan meneruskan pekerjaan nya. Ketika itu ia teringat pula kata-kata Rama Cluring dalam ajarannya terakhir di balai-desa Awis Kram bil: Mengapa kalian terdiam? Kerajaan besar telah runtuh, kerajaan-kerajaan kecil tum buh di mana-mana.

berjongkok

Seperti panu. Sekarang sudah ada kerajaan raja D emak.

D ewa-dewanya bukan dewa kalian. D ewa-dewanya tidak mengenal kalian, dan tidak mengenal dewa-dewa kalian. Hei, kalian yang lebih suka jadi bebal, kelak kalau D emak mu lai m enyeran g kalian, mem buru-buru dewa-dewa kalian, mengh ancurkan mandala dan candi-candi kalian, leluhur kalian pun tak am an lagi tinggal di alam kahyangan kalian sendiri didera mendaran dan meregangkan nyawa, tak sempat diruwat oleh anak-cucu sendiri. Pada waktu itu aku telah lebih dah ulu mati. D an kalian takkan sempat lagi menyesal, takkan sempat lagi bilang padaku: Benar kata- katam u, Rama.

Sekarang ramalan itu memperlihatkan tanda-tanda akan menjadi kenyataan.

Baru ia m enjawab, pelahan, dengan gaya R am a Cluring: “W aktu itu masih dimungkinkan. Sekarang lain, Pada. Sekali seorang raja bernafsu menguasai Jawa, perang akan terus menerus berkobar, takkan henti hentinya. Sampai si rakus itu mati tua, kalau dia selam at dari sekian banyak medan perang, cita-citanya takkan terlaksana. D an begitu si rakus mati, taklukannya akan bangkit lagi melawan, mu ngkin mengantikan si rakus itu sendiri. Dan seterusnya, Pada, tak ada habis-habisnya. Suaran ya jadi sayu dan mu rung, “W aktu itu sudah lewat, waktu orang dap at mem persatukan N usantara. N usantara, Pada, bukan hanya Jawa. D alam hanya empat puluh, barangkali juga cuma tiga puluh atau dua puluh tahu n oran g dapat memp ersatukan N usantara. Sampai jambulnya beruban Trenggon o takkan dap at mengu asai Jawa. Ia tak punya syarat untuk itu.”

Pada senang mendengar juara gulat ini bicara, karena ia bicara dengan seluruh kehadirannya, dengan hati dan dengan otot-ototn ya.

“Kau bicara tentang syarat, Kang.”

“Tentu, semua ada syaratnya. Barangkali di D emak kau tak pernah pelajari itu. Co ba dengarkan kata-kata Rama Cluring, yang kau mendap at perintah untuk mem bunuhnya itu: ‘Jawa bisa dipersatukan hanya dalam kesatuan N usantara. Kesatuan N usantara bisa digalang hanya oleh jiwa besar, berpandan gan luas, meliputi luasnya Nusantara dengan darat dan lautnya. Oran g itu adalah G ajah Mada.’ Kita tak bicarakan Trenggono lagi. Pada. ”

“Kau bicara tentang syarat, Kang. Aku hanya bertanya, bagaimana kalau Trenggon o menyerang Tuban?”

“Kami akan mengu ngsi dengan orang-orang sedesa. Buka daerah baru. G elar!” pekik G aleng, “tiada kau jamu

pam anmu ini?”

G elar yang mem asuki umu rnya yang ke lima belas itu datang berlarian.

“Mengapa tidak, Bapak? Aku pun sedang mem bantu masak,” ia tertawa pada Pada kemudian lari menghilang.

W iranggaleng pergi ke sumur untuk mencuci tangan dan kaki, dan Pada mengikutinya dari belakang.

“Pada!” tiba-tiba G aleng menengok padan ya. “Mengapa kau tak juga kawin? Kami berdua hidup berbahagia. Aku lihat sudah terlalu lam a kau mencintai istriku.”

“Kang!” Pada terpekik, dan pekikannya sama seperti yang disuarakan nya di atas kapal dagang dulu.

“Matamu tak dapat bohongi aku, Pada.” “Kang,” Pada menyebut lemah. “Kau terlalu mu da baginya. Lagi pula dia bukan Islam.

D ia mencintai anak-an aknya. Bahkan aku sendiri tak mendapat bagian dari cintanya. Lebih baik kau tinggalkan Awis Kram bil, Pada. Pergilah kau ke kota. Carilah kabar D ia mencintai anak-an aknya. Bahkan aku sendiri tak mendapat bagian dari cintanya. Lebih baik kau tinggalkan Awis Kram bil, Pada. Pergilah kau ke kota. Carilah kabar

“Ya, Kang, aku akan ke kota, Kang.” “Kau sudah dilupakan oleh Sang Adipati. Carilah Liem

Mo Han. D ia lebih banyak tahu dari hanya berita desas- desus.”

Setelah makan Pada minta diri. Ia berjalan lambat- lambat tanpa menoleh.

dan Kumbang mengantarkan samp ai batas sawah. Kemu dian suami-istri

Idayu, W iranggaleng,

G elar

itu m engikutinya dengan pandang, sampai ia hilang di balik semak-semak petai cina. G elar lari pulang,dan balik lagi mem bawa kuda, melompat ke atasnya.

“Biar aku antarkan dia samp ai ke desa ke dua!” katanya pada W iranggaleng, dan tanpa menunggu jawaban ia mem acu kudanya.

Tinggallah suam i-istri itu dan anaknya yang bungsu. “Mari naik,” Idayu mengajak.

“D ia mencintai kau, Idayu,” bisik suaminya. “Kasihan . Begitu mu da,” jawab Idayu dan mem buang

mu ka. “Siapakah lagi yang jatuh cinta padamu?” Idayu naik ke atas tangga rum ah, tak sudi meneruskan

percakapan seperti itu. D an suaminya mengikutinya cepat- cepat dari belakang.

“Jadi kau sudah tahu?” tanyanya. “D ia takkan pergi ke kota. Dia masih takut pada

hukum annya. Mungkin ke Lao Sam”.

“Makin jauh dari sini makin baik untuknya sendiri.” “Kumbang! Ayoh naik!” seru Idayu. “Jangan jauh-jauh

pergi. Abang mu tak ada. Macan-macan itu selalu mengh indari jebakan.”

“Sudah kukatakan padan ya, sayang hanya ada satu Idayu,” suaminya meneruskan.

“Apa kau bicarakan ini?” Idayu m emprotes. Tapi W iranggaleng menariknya dan dibawanya ia ke

beranda gubuk yang menghadap ke jalan. D i kejauhan, kepala kuda dan G elar dan Pada masih kelihatan di atas tajuk semak-semak petai cina.

“Macan itu tak mau memasuki jebakan. Babinya bodoh dan macannya malas. Begitulah jadinya,” kata Idayu pada Kumbang. Pondok itu berdiri tinggi di atas tiang kayu nangka kuning, tetapi selebihnya terbuat daripada bambu.

D apurnya pun berada di atas. D an dari atas pula pandangan namp ak sampai jauh-jauh di sekitar rumah, samp ai ke batas hutan dan sawah dan ladang. D udu k di lantai beranda begini G ateng merasa seperti di atas panggung gajah.

D an kini para penunggang kuda mu lai timbul dan tenggelam di balik semak-semak. Mereka masih juga mengikuti dengan pandangan samp ai mereka hilang sama sekali.

“Kau tahu apa yang dibawa Pada?” “Mana aku tahu?” ‘Tiada sesuatu, kecuali pemujaannya kepadamu.” Idayu melengos kemudian masuk ke dalam bilik,

W iranggaleng menarik Kumbang dan memangkunya. Pand angn ya masih juga pada mereka yang lenyap di balik- W iranggaleng menarik Kumbang dan memangkunya. Pand angn ya masih juga pada mereka yang lenyap di balik-

“Em ak, Bapak.” “Apa lagi?” “Penari tanpa tandingan, Bapak.” “Apa lagi?” “Mak! Mak!” Kumbang berseru mem anggil-m anggil.

“Apa lagi, Mak?” “Husy! jangan minta bantuan makmu . D engarkan:

jangan sampai lupa; orang tercantik di seluruh negeri Tuban, Kumban g, di seluruh jagad raya.”

D an Kumbang tertawa-tawa senang, kemudian m eloncat dari pangkuan bapaknya untuk mengadu pada emaknya. Tak lama kemudian terdengar dari dalam bilik suara Idayu: “Husy, jangan dengarkan bapakmu.”

D an W iranggaleng duduk seorang diri di beranda menunggu kedatangan G elar. Sementara itu ia mu lai mem ikirkan kemungkinan benar-tidaknya berita Pada. Tidak! Trenggono tidak boleh mem ulai perang tanpa akhir ini, kalau berita itu benar. Seoran g Sultan haru s lebih bijaksana. Mu ngkin dia memang bukan orang bukan bijaksana. Kalau tidak dia takkan m embunuh abang sendiri untuk jadi raja. Atau haruskah dia mem bunuh saudara sekandung justru untuk dapat melepaskan nafsu tanpa kendali? Takkan ada orang lagi seperti Unus. D engan alasan Islam ia persatukan raja-raja untuk menggemp ur Peranggi, dan kalah. Trenggono tak bisa menggunakan Islam jadi alasan. Hanya ada satu kerajaan Islam di Jawa. Ia tak bisa cari sekutu. Kalau benar ia hendak kuasai Jawa, ia akan kehabisan nafas dan darah. Kalau betul – ia hanya kerakusan belaka – ingin lebih banyak tanah, lebih banyak D an W iranggaleng duduk seorang diri di beranda menunggu kedatangan G elar. Sementara itu ia mu lai mem ikirkan kemungkinan benar-tidaknya berita Pada. Tidak! Trenggono tidak boleh mem ulai perang tanpa akhir ini, kalau berita itu benar. Seoran g Sultan haru s lebih bijaksana. Mu ngkin dia memang bukan orang bukan bijaksana. Kalau tidak dia takkan m embunuh abang sendiri untuk jadi raja. Atau haruskah dia mem bunuh saudara sekandung justru untuk dapat melepaskan nafsu tanpa kendali? Takkan ada orang lagi seperti Unus. D engan alasan Islam ia persatukan raja-raja untuk menggemp ur Peranggi, dan kalah. Trenggono tak bisa menggunakan Islam jadi alasan. Hanya ada satu kerajaan Islam di Jawa. Ia tak bisa cari sekutu. Kalau benar ia hendak kuasai Jawa, ia akan kehabisan nafas dan darah. Kalau betul – ia hanya kerakusan belaka – ingin lebih banyak tanah, lebih banyak

D ari kejauhan namp ak kepala G elar timbul tenggelam dari atas tajuk semak-semak. Makin lam a m akin mendekat, kemudian mu ncul seluruh badan nya dan

kuda tunggan gannya di ujung jalan sana.

D ia lebih pandai menunggang kuda daripada aku, anak semuda ini. Tanpa guru.

0o-d w-o0

Selang tiga bulan kemudian Pada datang. Langsung ia temui. Wiran ggaleng di hutan sedang m enurunkan air enau dari pohon. Kemu dian ia menolongnya memikulkan lodong-lodong bambu ke rum ah.

Bersam a-sam a mereka memasaknya agak jauh dari pondok, m enggunakan kuali tanah besar.

Pada waktu m emasak itu bekas musafir D emak itu m ulai bercerita tentang usaha Aji Usup menghubungi para raja di seberang untuk dud uk dalam armada gabungan mem ukul Malaka.

W iranggaleng mendengarkan dengan diam-diam. la gembira tapi tidak menunjukkan pada tamu nya.

Liem Mo Han telah menceritakan segala-galanya untuk diteruskan pada sahabatn ya itu kecuali satu hal: pertikaian antara Ratu Aisah dan Sultan Trenggono. D alam hati ia mengu capkan syukur telah ada kesepakatan bulat di D emak untuk mengirimkan armada raksasa, lebih besar daripada Liem Mo Han telah menceritakan segala-galanya untuk diteruskan pada sahabatn ya itu kecuali satu hal: pertikaian antara Ratu Aisah dan Sultan Trenggono. D alam hati ia mengu capkan syukur telah ada kesepakatan bulat di D emak untuk mengirimkan armada raksasa, lebih besar daripada

“D an, Kang G aleng, sekali ini pasukan Bugis-M akasar yang gagah berani itu akan ikut serta juga. Mereka akan berangkat lebih dah ulu dan menunggu di Aceh. Aku lihat kau bersinar-sinar, Kang.”

G elar dan Kum bang berlarian mendapatkan P ada. “Pam an kelihatan kurus!” tegur G elar. “D an kau nam pak semakin gagah, G elar. Hai,

Kumbang, sudah kah ada makanan buat pam an kurus yang kelaparan ini?”

“Tunggu!” sambut Kumbang, dan ia lari mendaki tangga Terdengar ia berseru-seru pada em aknya.

Idayu muncul di beranda pondok dan menegur keras- keras: “Pada Kaukah itu?”

“Akulah ini, Mbokayu. Kalau masak hati-hati,” Pada mem peringatkan.

“Tentu, babi takkan tercampur dalam makananmu.” “G elar, kayu bakar itu sudah cukup kering, bawa ke

bawah rumah” W iranggaleng m emerintahkan anaknya. “Seluruh kekuatan akan didaratkan. Perang laut akan

dihindari” “Tak bisa lain. Mem ang harus begitu,” Senapati Tuban

itu mengangguk dan matanya bersinar-sinar, lupa bahwa ia hanyalah seorang petani di sebuah desa perbatasan. D an diulanginya kata-kata yang disukainya itu, “Benar kata Rama Cluring, Jawa bisa dipersekutukan hanya dalam kesatuan N usantara. Betapa aulia dia. Tapi benarkah Trenggo no pewaris cita-cita Unus? Mu ngkinkah itu?

Bukankah berita terdahulu ia hendak menguasai seluruh Jawa? Apakah bukan kau yang salah dengar?”

“Itu cerita Babah Liem. Kau sendiri mengenal siapa dia. Kau ragu-ragu terhadap nya?”

“Apa pun keraguan ku, Pada, penghalauan Peranggi dan Malaka adalah kunci, kunci segala.”

“Bayangkan, Kang G aleng, berpuluh-puluh kapal dan Jepara bergabung dengan kapal dari mana-mana, mem beludag di atas laut. Siapakah takkan berbesar hati jadi laksamananya?” Pada diam.

Lelaki yang sedang mengadu k air enau mendidih di depannya itu term enung-m enung.

“D an baran gkali juga Tuban ikut serta di dalamn ya,” sambungnya. Ia lihat W iranggaleng menggeleng tak kentara. “Kapal Jepara takkan kurang dari tujuh puluh!” “Baik, itu baik. G elar, mari aku bantu. Teruskan mengaduk, Pada”. D itinggalkannya Pada mengaduk bubur gula. Ia sendiri mengangkati kayu bakar mem bantu anaknya. Tak lama kemudian ia berseru-seru ke atas: “Jangan terlambat,

D ayu. Sudah siap-belum kelapa parutan ?” Idayu turun dari rumah m embawa kelapa parutan di atas

dau n pisang, menghampiri Pada, melemparkan kelapa itu ke dalam bubur gula. D ari temp atnya W iranggaleng dap at menan gkap pandang Pada yang mem belai wajah dan tubuh istrinya. Tiba-tiba hatinya diliputi oleh perasaan duka merasakan kepahitan hidup sahabatn ya. Cepat-cepat pikiran nya ia alihkan pada Trenggono jauh di sebelah barat sana.

D alam hati-kecilnya ia m asih belum yakin Sultan D emak dap at berbalik pikir begitu cepat. Raja itu oran g yang tidak mampu mem egang, tidak m ungkin bisa bermufakat dengan D alam hati-kecilnya ia m asih belum yakin Sultan D emak dap at berbalik pikir begitu cepat. Raja itu oran g yang tidak mampu mem egang, tidak m ungkin bisa bermufakat dengan

D an apakah sesuatu itu? Adakah mu ncul orang tertentu yang begitu berpengaruh terhadap Sultan?

Selesai mengangkuti kayu ia kembali menghampiri Pada.

D an Idayu sedang mem bariskan cetakan gula dari poto ngan-potongan ruas bambu.

“Apakah L iem M o Han pernah m enghadap Sultan?” “Itu aku tak tahu.”

“Sudah, tinggalkan cetakan itu, biar kuteruskan.” Idayu pergi dan naik ke atas rumah.

“Barangkali sudah terjadi sesuatu yang baru di D emak?” “Mem ang ada, Kang G aleng, datangnya Fathillah,

sekarang ipar Sultan.” “Aku kenal nama itu. Teruskan, Pada.” “Kabarnya ia telah diangkat jadi Panglima D emak.

Seluruh pasukan darat kecuali pasukan kuda berada di tangannya, juga seluruh armada D emak.”

D an berceritalah Pada tentang segala yang diketahuinya sambil tak melepaskan perhatian pada airmuka Senapati Tuban akhirnya: “Hm tamp aknya kau tak percaya pada keampuhan Fatahillah. Kang, dia oran g dari Pasai.”

“Ya, aku tahu. Dia pernah dikalahkan Peranggi di Pasai,

D ia telah tinggalkan negerinya, makin jauh dari Peranggi. Mu ngkin semakin jauh begitu dia akan semakin berani. Mu ngkinkah setelah semakin jauh begitu dia akan berani mendatan gi Malaka? Aku ragu, Pada. ”

“Tujuh puluh kapal, Kang G aleng, paling tidak dapat mem uat sepuluh ribu prajurit”

“D emak takkan punya kekuatan sebanyak itu. Kau mengimpi. Padas”.

“Siapa dapat melihat dalamn ya telor, Kang G aleng. D an itu belum lagi yang bakal bergabung. D engan armada semacam itu ayam pun berani menyerbu M alaka.”

W iranggaleng tetap term angu-man gu. Pikiran nya bekerja seakan ia kembali jadi Senapati Tuban. Tujuh puluh kapal besar, ditambah dengan yang bakal bergabung! Laut. Meriam. Armada Peranggi semua tiba-tiba jadi masalahnya pribadi. D an kapal-kapal itu dirasakan seperti kulit tubuhnya sendiri, dan layar sebagai paru-parunya sendiri.

D an pikiran itu selalu menjondil bila nam a Trenggono masuk kedalamnya. Mungkinkah telah terjadi perubahan pada Sultan? Tetapi pemipin pasukan kuda D emak tetap di tangannya….

Pada m ulai m enuang bubur gula ke dalam cetakan. Busa bubur itu telah surut terkena kelapa parutan dan kini mu lai

mengental. “Ada yang belum dikatakan padam u, Kang. Jangan kau

terkejut. Putra-putra Semenanjung sendiri juga akan ikut bergabung. D an, dan, ada juga armada kecil Tiongkok yang akan datang dari utara. Perang telah juga mengganggu perairan Tiongkok, selamat Kang.”

W iranggaleng mendengarkan dengan hati-hati dan tetap dengan keragu-raguan pada pasukan Kuda D emak.

W aktu makan bersama Senapati Tuban itu telah tenggelam dalam pikirannya. Ia belum dap at memp ercayai seluruhnya. Ia lebih banyak mencurahkan perhatiannya pada Trenggo no, karena dialah kunci N usantara sekarang.

Tak ada sesuatu yang baik yang dap at diharapkan keluar dari perbuatan seorang pembunuh saudara. Idayu mem perhatikan raut mu ka dua orang lelaki itu berganti- ganti. D an ia mencoba m engalihkan suasana dengan bicara soal makanan dan perburuan dan perladangan. Tak berhasil.

Setelah selesai makan, kecuali Pada, semua minum tuwak.

D an orang lelaki itu kemudian menarik diri dan bertiduran di geladak seram bi. D an waktu matari mu lai condong ke barat Senapati Tuban mem bangun kan tam unya, mem beritahu kan sudah tiba waktu baginya untuk bersembah yang.

“D an akan terus turun ke sawah. Pada, G elar! Kau yang mem bawa sapi!”

“Aku ikut,” kata Pada. “Kau belum lagi bersembahyang.” “N anti di sawah sana.”

D an mereka pun turun, berangkat ke sawah. Yang tertinggal di rumah hanya Idayu dan Kum bang.

Sawah itu bersambungan dengan sawah desa. D ari air buangan itu ia menggenangi sawahnya sendiri. D an tidak dap at dikatakan luas, kurang dari satu bahu dan ditanami sekali saja dalam setahun untuk menghasilkan beras selam a setahun penuh, bahkan berlebihan. Di mu sim kering ia berladang dan sawah ia tinggalkan jadi padang rump ut.

Pada dan G elar menggaru bergantian. Wiranggaleng mengh ancurkan bongkahan tanah di pojokan petak sawah yang tak terkena garu. D an bongkah-bongkah tanah yang terkena mata garu itu pecah dan larut jadi lumpur. Anjing Pada dan G elar menggaru bergantian. Wiranggaleng mengh ancurkan bongkahan tanah di pojokan petak sawah yang tak terkena garu. D an bongkah-bongkah tanah yang terkena mata garu itu pecah dan larut jadi lumpur. Anjing

D i sawah desa tiada seorang pun nampak bekerja, karena mem ang belum waktunya.

D alam mencangkul seorang diri di pojokan petak pikiran W iranggaleng tetap tercencang pada Trenggono. Muka dan seluruh badan nya bergelimang lumpur. Orang takkan mengenalnya lagi. Antara sebentar ia cuci mu kanya dengan air lumpur yang agak bening, tapi tak lama kemudian lumpur menutup mukanya lagi.

“Orang yang tak pernah mencangkul tanahnya sendiri itu yang justru paling banyak tingkah mengurusnya,” pikirnya kemudian. “Kalau Trenggono pernah mencangkul begini, mungkin tak ada pikiran padanya untuk merayah tanah orang lain.”

D an pada waktu itu datang seorang penunggang kuda, berseru-seru lantang: “Senapatiku! Senapatiku!”

W iranggaleng mencaup air yang nam pak agak bening, menyeka mu kanya, dan dari balik pemandangan yang agak kabur dilihatn ya seoran g prajurit pengawal Tuban dan mengh ampiri.

“Sini!” balas W iranggaleng. D engan masih mem bawa cangkul ia naik ke atas pematan g.

Prajurit itu melom pat turun dari kuda, lari mendapatkannya, bersujud dan menyembah.

“Bangun!” bentak Senapati Tuban. “Apa artinya semua ini?”

“Sahaya mengawal G usti Patih Tuban Sang W irabumi, datang untuk mengu njungi Senapatiku. G ajahnya masih agak jauh di belakang”

’D engan gajah. D ia datang sebagai Patih Tuban,’ pikir W iranggaleng,

“Urus kudamu.” Kemu dian ia menceburkan diri ke dalam saluran sawah,

mandi di dalam air kuning itu, menggosok badan dengan celana yang habis dicucinya.

“Tani begini, prajurit, tak pernah berkulit bersih.” “Senapatiku, sahaya pun anak petani.”

“D an kau lebih suka jadi prajurit pengawal daripada tani, bukan?”

“Sahaya, Senapatiku.” “Jangan panggil aku Senapati, aku si petani kotor,”

katanya sambil mengenakan celanan ya yang basah dan melom pat naik ke atas tan gguk

“Masa Senapatiku lupa pada bidai keprajuritan: Selama mu suh ada, belum ada atau sudah dikalahkan, Senapati

tetap Senapati? Marilah Senapatiku, datang menyongsong

G usti Patih Kala Cuwil Sang Wirabumi” “Beran gkat kau dulu, Prajurit! Aku tak menyongsong

siapa pun.” “Ampun, Senapatiku, bukan maksud sahaya….”

“Beran gkat!” perintahnya. Prajurit itu m engangkat sembah, menuntun kudanya dan

pergi ke arah datangnya.

“Ada sesuatu yang sedang terjadi di Tuban, Kang,” Pada menukas “Tuban membutuhkan seorang W iranggaleng.”

“Husy!” “D an sekali ini aku pasti akan ikut dengan mu. Tidak

untuk kau suruh melom pat ke laut. ”

G elar mengikuti percakapan itu tanpa mengerti duduk perkara.

“Lebih baik kau pergi sekarang, Kang. Kami berdua akan selesaikan petak ini.”

“Pergi dengan seluar basah begini?” “Betul juga.”

D ari kejauhan terdengar sorak orang-orang desa. “Itulah baran gkali G usti Patih Tuban,” G elar naik ke

tanggul dan mendengar-dengarkan. “Hari ini kita bekerja samp ai di sini Paman, mari

mandi.” Wiranggaleng pergi meninggalkan m ereka berdua. Setelah keluar dari hutan mu da dari kejauhan nampak

olehnya gajah kendaraan Sang Patih diapit oleh prajurit- prajurit berkuda bersenjatakan tombak. Kala Cu wil berdiri

di atas bentengan kayu menerima sembah penduduk desa, tangan kiri bertolak pinggang, tangan kanan menjawabi sembah dengan lambaian tidak kentara. D estarnya gemerlapan karena intan-intan yang menghiasinya sedang bercumbuan dengan sinar matari senja.

D an di belakangn ya orang-oran g desa segera berdiri dari sujud dan sembah dan kemudian bersorak riuh.

Ia berhenti sejenak untuk melihat Kala Cu wil dengan kebesarannya, menggeleng-geleng, tersenyum, kemudian langsung menuju ke pond oknya. D ilihatnya Idayu dan

Kumbang telah turun dari rum ah untuk menyambut, dan ia menggabungkan diri dengan anak dan istrinya.

D i hadap an mereka mem bentang panjang jalanan yang dibikin oleh desa samp ai ke depan pondok. D an gajah itu telah mem asuki jalanan baru itu. Pasukan pengawal kadipaten itu mengedrap kudan ya seiringan dengan gajah yang berjalan lambat. D i belakangn ya semua penduduk desa mengiringkan.

Makin lama gajah itu makin dekat, makin mendekati pondok. Pengawal yang di depan melepaskan diri dari barisan dan seperti melayang menghampiri pondo k, berhenti di hadapan W iranggaleng dan m engangkat tombak mereka. Seorang di antaranya berseru: “Senapatiku! Patih Tuban Kala Cu wil Sang Wirabumi berkenan datang untuk berkunjung.”

“W iranggaleng sudah menunggu,” jawab Senapati. Prajurit-prajurit itu serentak menurunkan tom baknya dan

kembali m enggabungkan diri pada barisannya.

G ajah itu semakin dekat, makin dekat. Dua puluh depa dari pondok binatang dalam apitan barisan itu berhenti.

Kala Cuwil berdiri dalam bentengan, mengangkat tangan kanan dan berseru: “Senapatiku! Patih Tuban Kala Cuwil Sang W irabumi datang berkunjung.”

“Masuklah, Sang W irabumi!”

G ajah itu berlutut, kemudian mendekam. Kala Cu wil turun dan mengangkat sembah dada pada Senapati. D an W iranggaleng tidak mem balasnya. Idayu berlutut menyembahnya dan Kumban g bersimp uh, menyembah pula.

Jalanan itu telah penuh dengan semua penduduk desa, juga dari desa-desa lain. Kepala dan tetua desa keluar dari rakyatnya, menghampiri Sang Patih, bersujud dan mencium kaki bergantian.

Kala Cu wil dan Wiranggaleng serta keluarga naik ke rumah. D ari bentengan kayu di atas gajah orang menurunkan kranjang-kran jang garam dan ikan asin dan trasi dan m emasukkannya ke pondok Idayu. Penduduk desa masih pada dudu k di jalanan menunggu perintah dari Sang Patih Tuban.

“Kau datang sebagai Patih Tuban dengan segala kebesaran, Kala Cuwil,” Wiran ggaleng m emulai.

“Tetap sebagai teman, Senapatiku.” “Kau harus menginap. Sebentar lagi malam.” “Ya, kami semu a harus menginap.” “Kepala desa nanti akan m engatur segalanya.” “Bagaimana kesehatan Senapatiku dan keluarga?” “Sam alah dengan Sang Patih Tuban.” ‘ah’ “N am paknya kau sudah sangat berkuasa, Kala Cuwil.” “Keris Senapatiku yang bikin aku jadi patih ini.” W iranggaleng merasa tersinggung mendengar jawaban

itu. Ia tidak menduga tamu nya sudah begitu berubah dan mabok kekuasaan , sehingga kematian Sang Patih lama

dianggapnya sebagai pendukung atas kekuasaann ya. Kala Cu wil mem perhatikan pakaian tuan rumah yang

kuning tercampur lump ur. Kemu dian terdengar suaranya yang di ucapkan dengan gaya pembesar terhadap bawahan: “Mana G elar, anak Senapatiku?”!’

“Uah, anak desa, masih di sawah. Senja ini baru akan pulang”

D an Kala Cu wil belum juga mengatakan apa maksud kedatangannya, W iranggaleng memperhatikan airmuka tam unya dengan waspada. Patih Tuban itu mendekatinya, mem bisikkan sesuatu , kemudian tertawa terbahak. Tetapi tuan rumah tidak m enyertainya tertawa.

“Aku bisa bayangkan, ” Senapati mengangguk-anggu k, “betapa suli melayani orang tua yang semakin bawel dan bertingkah. Lihat, akan kau biarkan kawulamu, penduduk desa ini bersimpuh m enghorm ati begitu rupa?”

“Tiada kulihat mereka.” “Kau hanya melihat ke atas. Kala Cu wil,” ia turun,

menyuruh penduduk pulang, menyiapkan santapan malam dan penginapan untuk tamu agun g. Ia mem berikan petunjuk khusus pada kepala desa.

W aktu ia naik kembali Sang Patih sedang bicara dengan Idayu terdengar olehnya buntut kata-kata Idayu: “Si Kumbang belum cukup dia keloni. G usti.”

W iranggaleng mengh entikan langkahnya. Ia lihat Idayu dengan terburu-buru seperti oran g marah, menarik Kumbang, mem eluknya kemudian dibawanya masuk ke dalam bilik. Ia masih sempat melihat Kala Cuwil mem balikkan badan untuk menunggu kedatangaannya.

Kemu dian dari dalam bilik terdengar olehnya suara istrinya; “N asibm u, Nak, nasibmu .”

W iranggaleng mengawasi Sang Patih dengan mata curiga “Bukan maksudku, juga bukan kehendakku. Senapatiku. Sang Adipati memanggil kembali Sang Senapati. Senapati telah diangkat jadi pimpinan gugu san

Tuban untuk ke M alaka. Lim a ratus oran g ada Senapatiku, seperti beberapa belas tahun yang lalu.”

W iranggaleng terdudu k di am bin. Ia terpukau. pada sesuatu yang justru tidak dilihatnya. Tangannya mendekam paha kemudian berubah jadi tinju.

“Senapatiku! Aku datang sebagai Patih Tuban Sang W irabumi.”

W iranggaleng tak menjawab. Bibirnya tertarik lemp ang dan menghembuskan nafas desis.

“Bukankah Senapatiku masih kawula Tuban?” W iranggaleng menarik kedua belah lengan nya jadi siku-

siku dan menompan gkan tinju pada kedua belah pahanya.

D udu knya tegak, giginya berkerut. D ari dalam bilik dia dengar suara istrinya, tak jelas.

“Senapatiku belum juga menjawab.” Tuan rumah bangkit berdiri, melangkah cepat-cepat

masuk ke dalam bilik, dan tamu itu mendengar suatu percakapan pelahan antara suami dan istri. Agak lama. Kemu dian, tanpa didugan ya, terdengar suara Idayu kesal: “Semua yang berbahaya dan berat diberikan kepadamu. Bakal mendapat apa anak-anak ini nantinya?”

0odwo0