Sayid Habibullah A l-Masaw a

4. Sayid Habibullah A l-Masaw a

Armada Portugis itu berlabuh jauh, jauh, terlalu jauh dari dermaga. Matari pagi sedang mengu sir halim un yang

masih melembayung di seluruh Malaka. Layar kapal-kapal dan … Pribumi masih dalam keadaan tergulung.

Tiang-tiangn ya menuding langit yang tebal karena halim un. D an matari sendiri baru beberapa derajad dari perm ukaan bumi. Sinar-suram nya yang berpantu lan pada perm ukaan laut berpendar-pendar lesu.

Jauh di bandar Malaka sana perahu-perah u dan kapal- kapal itu masih pada tidur, berayun-ayun malas dibuai

om bak. Hanya perahu-perahu nelayan kecil-kecil nampak hidup. D an kalau pandang diangkat naik ke darat, mata akan menamp ak atap-atap injuk, ilalang dan sirap dari bedeng-bedeng pelabuhan . Jalanan-jalanan

nampak merupakan garis tipis kuning. Hanya beberapa orang

kelihatan m ondar-m andir. Semua pria. Lubang-lubang bulat pada lambung kapal-kapal Portugis

mu lai terbuka. Mo ncong-moncong meriam mu lai bermunculan dari sebaliknya, Terdengar kemudian yang banyak diceritakan orang: pekik bersama Mariam. Meriam – meriam bergelegaran . Api bersemburan dari moncong- mo ncongnya. Peluru besi beterbangan, mem bentuk kerucut udara dengan bola-bola besi sebagai matanya. Semua menuju ke bandar M alaka.

Atap injuk, ilalang dan sirap di bandar Malaka sana mu lai terbakar. Api menjalar, berdansa dengan angin yang mu lai datan g bertiup. Asap hitam berkepulan seperti Atap injuk, ilalang dan sirap di bandar Malaka sana mu lai terbakar. Api menjalar, berdansa dengan angin yang mu lai datan g bertiup. Asap hitam berkepulan seperti

Ketenangan pagi itu lenyap dalam dentum an meriam, api, asap dan kebalauan. Perang Salib dari beberapa abad yang lalu kini tersasarkan pada kesultanan Malaka.

Perahu -perahu nelayan yang sedan g pulang ke pangkalan berham buran lari tak jadi menuju ke bandar. Perahu dan kapal lain yang tertidur hangat dalam belaian matari pagi, nyenyak dalam ayunan ombak, mu lai menggeragap, menaikkan layar masing-masing, berhamburan mencoba melarikan diri dan keselam atan.

Bola-bola besi dari kapal Portugis tak mem biarkan mereka lolos. D alam hanya beberapa bentar perahu dan kapal kayu itu pun pada pecah atau menungging, hilang dari pengelihatan, ditelan laut.

Kapal-kap al dari armada kebanggaan Malaka masih juga belum bergerak, seakan masih terbuai dalam mimpi indah. Tak kurang dari sebelas jum lahnya. Konon kabamya sebagian besar dari kesatuan ini dulu biasa dipimpin oleh Laksamana Hang Tuah. D an tak lebih dari tiga puluh bentar, arm ada kebanggaan itu pun seluruhnya tenggelam ke dasar laut.

Kebakaran sedan g m enjadi-jadi di darat sana.

D ari laut nampak jalanan-jalanan pasir kuning pelabuhan mu lai hidup dengan orang-orang yang bcrlarian

kebingun gan. Di antara mereka namp ak juga wanita yang menarik-narik atau menggendong anak. Mereka lari meninggalkan daerah pelabuhan. Sebarisan prajurit bertom bak mu ncul di dermaga, berhenti pada akhir jalanan yang terputus oleh laut, mengacu-ngacu senjatanya ke arah arm ada Portugis.

Sepucuk laras meriam ditujukan pada mereka. Aba-aba, dentuman. Sebuah bola besi mem bentuk kerucut udara, terbang menyam bari barisan prajurit bertom bak itu. M ereka bubar berlom patan dan berlarian, hilang dari pemandangan. Yang tersisa hanya bangkai-bangkai dan tom baknya, tulang dan serpihan daging.

Tak ada lagi barisan mu ncul. Bandar telah jadi lautan api. Meriam-meriam berhenti menggonggong. Kapal-kapal Portugis mu lai menurunkan sekoci. Serdad u-serdadunya pada turun. D an seperti iring-iringan semut sekoci-sekoci itu menuju ke bandar.

Kini balatentara Malaka mu lai mengisi semua jalanan bandar. Tombak dan pedang mereka gemerlapan tertimpa matari yang telah berhasil mengu sir halimu n. D i antara letusan mu sket dari sekoci terdengar sorak-sorai mereka. Kembali meriam-meriam berdentuman. Peluru beterbangan dan menyam bari mereka, tak menggubris tak menghormati tom bak dan pedang dan sorak-sorai. Juga tem bakan m usket menggebu-gebu, mengh alau, mem bunuh, menumpas.

Jalanan kuning di bandar sana makin kelam disirami darah dan disebari serpihan daging dan tulang para prajurit yang tiada dapat beibuat sesuatu. Yang tersisa melarikan diri. Lenyap di balik lidah api dan cendawan asap.

Tahun 1511 Masehi. Alfon so d’Albuquerque-Kongso

D albi-m enyerbu dan mendudu ki Malaka.

D engan tergopoh -gopoh Sultan Mahmud Syah, keturunan Param esywara itu, mem erintahkan pengerahan pasukan gajah. Binatang-binatan g raksasa itu didapatkan telah bergelimp angan termakan racun. Balatentara Malaka tanp a perlindun gan gajah tak terbantu oleh arm ada, dalam waktu pendek dihalau oleh peluru mu sket Portugis. Perang darat terjadi seperti tiupan angin lalu. Mereka melawan mati-matian.

Tapi senjatanya terlalu pendek. Mu sket dan meriam tetap lebih unggul. Semu a harus mundur, terpaksa mundur, harus, terpaksa. Yang tertinggal hanya daging yang telah terpisah dari tulang.

Sultan Mahmu d Syah melarikan diri ke Johor, Bintan, Kampar. Kerajaan berum ur seabad lebih beberapa belas tahu n itu jatuh. D an bandar kunci Asia ini kini berada di tangan Portugis.

D alam keributan dan kekacauan berhidung bengkung merajawali sebuah kapal kecil bercat hitam masih juga nam pak aman terayun-ayun di pelabuhan. Tanpa tergesa- gesa layar-layam ya dipasan g dan berkemban g lesu, kemudian berlayar menuju ke tengah-tengah armada Portugis. Benderanya berkibar-kibar gelisah pita hijau panjang berjela-jela.

Kapal kecil hitam itu terus juga m endekat. Semu a gerak- geriknya tak terlepas dari teropong d’Albuquerque. Terus mendekat dan nampak sedang mengu capkan selam at datang.Sesampainya di dekat kapal bendera pita hijau diturunkan, tinggal bendera hitam bersirip kuning itu berkibar sendirian. Kapal itu tidak berhenti. D engan tenang seakan tidak terjadi sesuatu apa ia terus melewati armada Portugis. D i bawah tiang utam anya berdiri seorang lelaki tinggi, agak bongkok, berhidung bengkung merajawali, berjubah genggan g, mem bawa tongkat hitam berhulu gading.Kopiahnya tarbus merah. Kumis, jenggot dan camban g-bau knya mengkilat hitam seperti jelaga tersulam oleh beberapa lembar uban.

Portugis tak sedikit pun m engganggunya. Kapal kecil itu pun hanya mem bawa seorang penumpang saja. Orang itu terus juga berdiri di bawah tiang utama. Matan ya besar bulat-bulat, tajam dan gelisah. Pand angnya selalu Portugis tak sedikit pun m engganggunya. Kapal kecil itu pun hanya mem bawa seorang penumpang saja. Orang itu terus juga berdiri di bawah tiang utama. Matan ya besar bulat-bulat, tajam dan gelisah. Pand angnya selalu

N akhod a datang mengh ampirinya, mencium jubahnya. Berkata dalam Melayu:” Alham dulillah, ya Tuan Sayid Mahm ud Al-Badawi. Berkah Tuanlah maka kapal sahaya ini selamat.”

“Kafir-kafir itu takkan berani mengganggu aku,” jawab penum pang itu angkuh . “Tuhan takkan membiarkan terlantar ummat-N ya yang beriman.”

“Hanya dengan pita hijau!” seru nakhoda. “Ya, hanya dengan pita hijau,” penump ang itu

mem benarkan. “Bagaimana sahaya harus mem balas budi, ya Tuan

Syahbandar Malaka?” nakhoda bertanya menghiba. Melihat penump angnya tak menjawab, ia meneruskan: “Sekiranya Tuan sekarang ini mem erintah kan sahaya menuju Tuban, tiadalah sahaya akan menolak, biarpun upah tiada ditambah .”

‘Tak ada padaku niat hendak ke Tuban.” “Bukankah dengan datangnya Peranggi Tuan kehilangan

jabatan sebagai Syahbandar dan sebagai penasihat Bagin da Sultan?”

“Tetap. Antarkan aku ke Pasai.” “Sahaya, Tuan. Tujuan tetap. Ke Pasai.” N akhoda itu

berhenti bicara, menunggu penumpangn ya mengatakan sesuatu . Melihat Sayid Mahmu d AI-Badaiwi tak juga bicara, dilemparkan pandangnya pada layar yang menggeletar, beiteriak memerintahkan memperbaiki kedudukan siku, kemudian: “Setelah kejadian mengagetkan ini, Tuan, ada baiknya Tuan berteduh-teduh di Tuban Di berhenti bicara, menunggu penumpangn ya mengatakan sesuatu . Melihat Sayid Mahmu d AI-Badaiwi tak juga bicara, dilemparkan pandangnya pada layar yang menggeletar, beiteriak memerintahkan memperbaiki kedudukan siku, kemudian: “Setelah kejadian mengagetkan ini, Tuan, ada baiknya Tuan berteduh-teduh di Tuban Di

“D ilaknatlah kiran ya kafir-kafir itu,” sump ah penum pang itu bersun gut-sun gut.

“Ampun, Tuan, kemudi tetap di arah kan ke Pasai.” “Bukan begitu, Tuan, yang kafir bisa jadi tidak kafir lagi. Yang tidak kafir pun bisa berubah jadi kafir, bukan?”

‘Tak pernah ada orang mencoba menggurui aku,” penum pang itu bersungut-sungut.

“Ampun, Tuan, kemudi tetap diarah kan ke Pasai.” Penum pang itu masih juga m erabai permu kaan laut dengan

pandangnya. N akhoda mencoba mengikuti arah pengelihatannya dan tak menemukan sesuatu yang luarbiasa. Dan kapal kecil hitam itu terus juga berlayar menyeberan gi Selat m enuju Pasai.

“Cat hitam ini takkan sahaya ubah lagi, Tuan. W ama keselam atan ,” nakhoda bicara lagi. “Bolehkah kiranya sahaya bercerita, Tuan?”

Penum pang tak ram ah itu tak mengacuhkannya. D an nakhoda itu menggosok-gosok kedua belah telapak tangan, tersenyum manis dan mem ulai: “Bukan cerita, Tuan Syahbandar Malaka, tapi warta. W arta sesungguhnya sunggu h-sungguhn ya warta. W arta yang mungkin khusus

untuk Tuan saja.” Penum pang itu menoleh padan ya tetapi tak bertanya

sesuatu . “Tentu Tuan melihat juga kapal Jawa yang tenggelam

sebentar tadi. Lambungnya pecah-belah seperti kepiting terinjak. Semoga Tuhan m elapangkan jalan mereka di alam arwah ’ Semalam, Tuan, setelah Tuan meninggalkan kapal sebentar tadi. Lambungnya pecah-belah seperti kepiting terinjak. Semoga Tuhan m elapangkan jalan mereka di alam arwah ’ Semalam, Tuan, setelah Tuan meninggalkan kapal

D ia akan belayar ke Singhala D wipa, katanya. Sahaya tak tanyakan mu atann ya. Mu ngkin dupa dan setanggi untuk kafir-kafir Atas Angin sana. Tapi mem ang ada mu atan penting dibawanya. D an itulah warta khusus untuk Tuan. Lagi pula sahaya tidak melanggar am anatn ya, karena kita sudah berad a di atas Malaka.”

Penum pang itu nampak bosan dan jemu mendengarkan kkauannya. N amu n ia tetap tak beranjak dari temp atnya berdiri. D an matanya tetap menyisiri permu kaan laut.

”Bukan suatu kebetulan,” nakhoda meneruskan sebagai balas-jasa. “Kapal itu dari Tuban. D an warta itu, Tuan, mu atan yang lain, itu, adalah wara-wara untuk disebarkan di negeri-negeri di atas Malaka. Katanya: Adipati Tuban Tum enggung W ilwatikta mencari Syahbandar baru yang….”

Keangkuh an, kecemberutan dan keseram an penump ang itu mengurang dan mengurang. Ia menoleh lagi pada

nakhoda. Melihat nakhoda itu berseri-seri, ia mengangguk. “Begitulah wartanya.”

“Matikah Syahbandar T uban?” “Sayang, itu tak term aktub dalam warta. Pendeknya

Adip ati Tuban mencari Syahbandar baru. Syarat- syaratnya… apalah artinya itu? Semua sudah ada pada

Tuan: bisa menulis, mem baca, dan berbahasa Arab dengan baik, dan Tuan sendiri keturunan Sayid-sayid Arab yang mu lia….”

“Kalau itu saja syarat-syaratnya, ribuan orang bisa jadi Syahbandar.”

“Masih ada, Tuan, itu pun sudah ada pada Tuan: pandai berbahasa Melayu. Jangan tertawakan dulu, Tuan. Inilah syarat gila menurut perasaan sahaya yang bodoh ini: Harus juga lancar berbahasa Pcran ggi dan Ispanyn dan menulis serta m embacanya.”

Penum pang tunggal itu menegakkan bongkoknya, mengangkat tongkat, dan dengan tiga batang jari menggaru k ram but di bawah tarbus. Matanya bersinar- sinar. Satu pikiran sedan g mem bersit menerangi wajahnya.

“D i Jawa sana orang harus bisa berbahasa Jawa,” penum pang itu membongkok seperti semula. “Kata

nakhoda Jawa itu, bahasa jawa tidak perlu.” Sayid Mahm ud Al-Badaiwi, yang kemarin masih Syahbandar Malaka sesungguhnya bemama Tholib Sungkar Az-Z ubaid. N am a barunya itu dipergunakan sejak jadi Syahbandar Malaka. N akhoda dan semua orang Malaka tak pernah mengetah ui. “Jadi ke Tuban tujuan kita, Tuan?”

“Tidak. Pasai.” “Jadi tetap ke Pasai,” dengan demikian kapal tetap ke

tujuan semula. Sesampainya di Pasai, Tholib Sungkar Az- Zubaid alias Sa yid Mahmud Al-Badaiwi menyewa kapal Aceh yang bertujuan Banten dan ia mem bayar khusus untuk pelayaran ini.

Pada waktu kapal yang ditump anginya mancal dari Banten menuju ke Tuban pikirannya tidak disesaki lagi oleh

ingatan pada api yang menjolak-jolak mem bakar bekas bandarnya, peluru-peluru yang beterbangan merebahkan baran g siapa dan barang apa diterjangnya, orang yang belingsatan menyelamatkan nyawanya, dan balatentara Malaka yang sama sekali tiada berdaya….

Um bul-um bul berkibaran di sekelilirig alun-alun Tuban, tinggi dan berwarna-wami. Pada pesta tahun ini gapura- Um bul-um bul berkibaran di sekelilirig alun-alun Tuban, tinggi dan berwarna-wami. Pada pesta tahun ini gapura-

Pendud uk Tuban mem ang keranjingan seni dan olahraga. Larangan mem ahat batu dan perlntah m embuangi peninggalan Hindu seakan telah mereka lupakan untuk sementara ada pesta. Bahkan para pernahat sendiri menan gguh kan kekecewaannya demi sang pesta.

Orang pada berpakaian bagus-bagus. Para pedagang Pribumi kaya mengh iasi destar dengan permata serta menyelitkan keris berhulu mas berukir pada tentang perut. Beberapa orang tidak mengenakan kain batik, tapi sarong berkotak-kotak seperti pedagang seberang.

Para wanita mengenakan penutup dada dan selendang sebagai penutup bahu. Istri-istri pedagan g kaya kelihatan dari selendang sutranya.

Santri-santri yang kadan g bersarong putih, beram but pendek atau

gundu l dan berkopiah putih, turun berbondong-bond ongdari perguruannya masing-m asing.

Mereka pun takkan melewatkan pesta lomba tahunan kafir yang tradisionil itu. Di pelabuhan kapal-kapal Pribumi dihiasi dengan aneka-warna bendera dan umbai-um bai.

D i setiap perempatan jalan yang menuju ke alun-alun bunga-bungaan dikaran g jadi lingkaran besar. Buah-buahan

dan telor bcrwarna mem bentuk lingkaran sari bunga di dalam nya. Sedang tepat di tengah-tcngah berdiri sebuah pedupaan tanah dengan asap harum mengepul menyerbaki udara. Anak-anak kecil berlari-larian riang dengan penganan di tangan. Semua mengenakan pakaian dan destar baru. Dan rombongan-rom bongan dari desa-desa tak henti-hentinya m emasuki kota.

Pembukaan pesta telah diawali dengan pawai para peserta lomba. Umbul-um bul mempelopori barisan desa masing-m asing. Di belakangn ya menyusul perangkat- perangkat gamelan untuk baris: gong, gendan g, suling dan kenong. Semua gamelan ditabuh melagukan nyanyi puji- pujian kepada Hyang Widhi, tanpa suara manusia, tanpa tari.

D ahulu pawai selalu mu la pada Sela Bagin da di pelabuhan . Setelah tugu prasasti Airlangga diroboh kan dan juga diceburkan ke laut, umpaknya saja kini jadi tempat mem bubarkan diri.

Pawai bergerak pelahan -lahan meninggalkan asrama. Di antara dup a-setanggi pada setiap awalan barisan, nama Idayu bergema-gema dalam hati para penonton. D an nama itu semakin semerbak dengan semakin mendekati pembukaan. Kunjungan Sang Adip ati ke bangsal wanita di dalam asrama telah meyakinkan semua oran g: gadis perbatasan yang menawan hati Tuban itu pasti keluar sebagai juara lagi. Takkan ada yang berani meniadakan

isyarat dari Sang Adipati. Orang harus mengerti tanpa bertanya. Hari-hari mengintip di depan asrama tanp a hasil

mem bikin orang seperti dicurahkan mem adati kiri-kanan pawai di mana Idayu berada. Anak-an ak kecil yang

terdesak orang-orang dewasa, kalah tinggi dan kalah kuat, hanya bisa berlari-larian sambil bersorak-sorak tidak menentu. Pria dewasa mem belaikan pandang berahi. W an ita meneliti apa-apa yang dapat dicela atau dipuji pada Idayu.

Semua peserta wanita berkalung ran gkaian melati. Peserta pria masing-masing mem bawa setangkai dedau nan Semua peserta wanita berkalung ran gkaian melati. Peserta pria masing-masing mem bawa setangkai dedau nan

Tidak seperti satu atau dua tahun sebelum nya kini Idayu gugu p tak menentu. Ia bingung di mana harus sangkutkan pandangnya. Ke mana pun matanya diarahkan, tertatap juga olehnya pandang yang mem berahikan, merajuk, merayu, mengajak, mengagumi, atau hanya sekedar hendak melihatnya. Peluh telah m embasahi tubuhnya. Ia rasai pada matari mendidih dalam dirinya, karena di desa sendiri ia tidak biasa berkemban. Antara sebentar ia mengh ela nafas dalam -dalam untuk mengalahkan kegugupannya sendiri.

Pawai terus bergerak pelahan . Setiap gong berbunyi seakan di atas kepala pawai tum buh semak pohon beringin.

D an beringin itu hilang kembali dengan cepat seperti tertelan rekah bum i.

D i depan kadipaten barisan panjang berhenti. Poh on beringin melambai-lam bai tinggi di atas kepala mereka. Kemu dian sunyi-senyap. Juga para penonton terdiam, tak bergerak di tempatnya masing-m asing. Kenon g bertalu. Tiba-tiba mem bubung nyanyian bersama dari semua gadis peserta, disahuti oleh nyanyian bersama semu a pria peserta. Bersahut-sahutan seperti seribu pasang burung cocakrawa, dalam tingkahan gamelan baris. Sunyi-senyap.

Canang kadipaten bertalu-talu. Semua peserta bersimp uh di tanah. Canang kadipaten bertalu-talu lagi. Sebuah tandu

keemasan mu ncul dari kadipaten. Di atasnya duduk Sang Adip ati mengh adapi sebuah jamban g besar dari kuningan. Semua peserta m engangkat sembah. Tandu berjalan lambat- lambat dengan gerak kaki seirama dari para pengusungnya, dan nampak seperti menari. Di belakangnya, para pembesar negeri berbaris, juga melangkah lambat-lam bat seirama. Juga seperti menari.

Tandu Sang Adipati mengh ampiri ujung barisan yang satu, bergerak lambat-lambat samp ai ke ujung yang lain sambil memercikkan air bunga pada kepala para peserta.

Selesai itu canang kadipaten kembali bertalu-talu. Sang Adip ati dengan semua pengiringnya berjalan kaki kembali masuk ke kadipaten.

Para peserta menurunkan sembahnya, kemudian lambat- lambat m engangkat sembah lagi tiga kali berturut m engikuti tabuhan canang.

Selesai itu pecah sorak-sorai gegap-gempita dari penonton. Barisan berdiri, bergerak lambat-lam bat

mengelilingi alun-alun. Setiap samp ai di depan kadipaten lagi mereka mengangkat sembah seirama dengan paluan canang kadipaten. Kemu dian mereka menuju ke Sela Bagin da.

D an inilah saat yang ditakuti oleh Idayu. la jera terhadap orang banyak, terhadap pengagum-pengagum nya. D i dalam barisan ia masih terlindu ngi oleh aturan. Tanpa barisan, dengan semua mata tertuju padanya? Begitu pawai bubar segera ia lari mendapatkan G aleng, berlindung di balik bahunya yang bidang. Teman-teman sedesa melindun ginya rap at-rapat. Lenyap ia dari pemandangan penonton.

“Idayu! Idayu!” orang berseru mencari-cari, kecewa, jengkel, mem bujuk, merayu, “di mana kau, Idayu? Di

mana?”

G adis dan perjaka Awis Kram bil menjadi gump alan pelindu ng bidadari perbatasan itu terhadap gangguan. Ro mbongan ketat itu menah an semua serbuan, sedang um bul-um bul desa berjalan mendahului.

Sam pai di alun-alun gump alan ketat Awis Kram bil langsung menuju ke bangsal penari. D an di sini keadaan Sam pai di alun-alun gump alan ketat Awis Kram bil langsung menuju ke bangsal penari. D an di sini keadaan

Pesta lomba dibuka dengan sodor berkuda dan ujungan dan lomba ben teng dan gulat. Sodor berkuda diikuti hanya oleh para prajurit peijaka. Sorak-sorai gegap-gempita tak putus-putusnya mengiringi sudah sejak pertand ingan belum dimu lai. Mula-m ula lapangan yang tersedia seakan disapu oleh sebarisan prajurit menabuh gendan g dengan berlari dalam barisan. Di belakangn ya mengikuti barisan dari Pasukan Kuda. Setiap penunggan g menurun-naikkan bendera merah dan kuning dan ungu dan hijau. Petanding berbaris di belakangn ya dengan gerakan kuda yang mengedrap, pelan seakan tidak akan beringsut dari tempat. Bila barisan gendan g dan Pasukan Kuda telah meninggalkan lapangan, para petanding memacu kuda mengelilingi lapangan. Kemu dian dua petanding ditinggalkan untuk mengawali perlombaan.

Mereka berhadap-hadapan jauh pada tepi-tepi yang bertentangan. D ua barisan prajurit dari Pasukan Kaki masuk ke dalam lapangan dan memp ersembahkan kayu sodo r pada mereka. Kemu dian mereka lari meninggalkan lapan gan.

Canang bertalu. Kedua petanding melesit maju ke tengah-tengah lapangan diiringi oleh sorak-sorai. Kayu- kayu sodo r teracukan di atas kepala kuda. D an bila sorak- sorai tiba-tiba berhenti keadaan sunyi-senyap, pertanda seseoran g telah terjatuh dan dinyatakan kalah. Tak jarang pertandingan harus diulang-u lang karena tak ada yang segera teralahkan.

Kata orang tua-tua permainan ini berasal dari Atas Angin , diperkenalkan oleh pendatang-pendatang Benggala Kata orang tua-tua permainan ini berasal dari Atas Angin , diperkenalkan oleh pendatang-pendatang Benggala

Sehabis pameran mereka meninggalkan panggun g di bawah taluan canang. Tinggal dua orang petanding yang akan berkelahi. Masing-m asing bersenjatakan sebilah rotan yang sama ukuran nya. Menurut aturan setiap petanding mem punyai kebebasan mem ukul dan mem ilih sasaran. Maka bilah-bilah rotan berayun dan menggebu, mem babat dan menerjang bagian tubuh mana saja: hidung, dagu, dad a, kaki, kepala. Sasaran yang m enjatuhkan adalah batok kepala dan tulang kering. Untuk melindungi kedua-duanya melom pat ketangkasan melomp at dan berkelit menjadi syarat mutlak, sedang keuletan kulit, daging dan tulang dan syaraf jadi petaruh menentukan. Bila temyata tak ada yang kalah atau menan g, tak ada yang jatuh terguling, mereka melakukan undian dengan sut di bawah pengawas. Si pemenang sut boleh memukul tulang kering lawannya samp ai sepuluh kali. Bila ia tidak roboh, ia boleh mem berikan pukulan balasan.

Tak ada yang bersorak-sorai, hanya meringis-ringis, mengernyit-ngernyit, mengeluh, mengaduh, mengejap- ngejapkan m ata seperti sekelom pok m onyet kehilangan akal pada setiap pukulan yang jatuh. Jantung terasa seperti dicekam , diremas-remas menjadi ciut. Bila salah seorang roboh dan terpaksa digotong keluar, orang pun tak juga bersorak. Hanya mengeluh dan

mengaduh atau mengh embuskan nafas panjang.

Kalau pukulan tulang kering tidak meroboh kan, sut diadakan lagi. D an sekali ini batok kepala yang dipukul bergantian. Tiga kali. Biasanya orang tak dapat menah an lebih dari dua kali dan roboh terjengkang di geladak panggung. Lom ba banteng lain lagi ceritanya. Pada pertandingan ini kanak-kanak dilaran g menonton. Peserta hanya dari kalangan prajurit perjaka. Juga tidak setiap tahu n diadakan. Harus ada permohonan dari para prajurit sendiri, yang ingin melom pat jadi perwira Pengawal. Lom ba khusus ini, bila ada, selalu dipergelarkan pada sore hari tanpa disaingi oleh lom ba-lom ba lain.

D alam medan yang dipagari balok-balok kayu, seekor banteng lapar dilepaskan. Orang pun bersorak-sorak. Binatang lapar itu jadi marah dan bingung, berjalan mo ndar-mandir, kadan g berlarian kecil mengitari medan. Kadang berhenti sejenak untuk m emelotoli penonton.

Seratus gendan g dipukul orang. D an seorang prajurit penantan g naiklah ke atas pagar balok. Ia m elompat ke atas leher binatan g lawannya dan berusaha, dengan kedua belah tangan berpegangan pada tanduk, mem bantingnya. Belum tentu sang penantang berhasii. Tak jaran g orang kehabisan nafas dan tenaga dan terlompat ke udara menyemburkan darah dan isi perut.

Berkali-kali terjadi seorang penantan g lari dan lari mem biarkan diri diburu sampai lawannya kehabisan

tenaga. Baru kemudian ia mengguguh mata lawannya samp ai bolanya terlompat keluar dari rongga. D engan gugu han pada mata yang lain banteng buta itu kehilangan daya. Ia dinyatakan menan g, hanya bukan dengan nilai tertinggi. Menurut aturan , kemenangan yang sempuma adalah bila penantang dapat meremu kkan kepala lawannya dengan pukulan tangan. D an oran g pun bersorak-sorai menderu. Mereka menyerbu ke gelanggang, menggotong si pemenang, mengaraknya ke kadipaten. Para penggoton g itu adalah gadis-gadis Tuban. Maka juga para penonton kebanyakan gadis. Pada umumnya penantan g banteng punya maksud Iain daripada hanya ingin melompat jadi perwira Pengawal. Biasanya ia oran g putus-asa karena kegagalan cinta. D alam gotongan dan arakan para gadis Sang Adip ati akan menyam butnya pada anak tangga kadipaten. D i sana ia diturunkan, mendapat pangkat dan nam a dan gelar ketentaraan yang menjadi haknya. Tanda- tand a pangkat pun dikenakan pada badannya: gelang dan keris, dan kalung. Begitu ia mendapat pengangkatannya ia dap at mem ilih pasangan hidupnya dan menjadi kesukaan pada hari itu. D an masyarakat Tuban yang mengagungkan kepahlawanan ikut serta merayakan kegembiraan mereka berdua.

Lom ba gulat adalah umu m. Selalu diadakan pada pagi hari. Prajurit tidak diperkenankan serta. Penonton dari

desa-desa bersorak-sorai untuk jagon ya masing-m asing.

D ua orang pejabat panggung tak henti-hentinya mem ercikkan air pada para petanding sehingga lantai panggung jadi basah, kotor dan licin – keadaan yang mem bikin petanding lebih menarik. Para petanding hanya mengenakan cawat. Tidak boleh berdestar. rambut harus disanggu l untuk tidak menghalangi pemandangan.

Pada tahun yang lalu G aleng telah mem enangkan kejuaraan. Tahun ini dengan atau tanpa Boris, ia bertekad mem enangkan kejuaraan berturut. Ia harus hadapi lima belas orang penantan g. Tak tahu ia bagaiman a harus mengalahkan orang sebariyak itu. D an sudah menjadi kebiasaan bagi juara gulat mendapat banyak tantangan. Makin banyak penantang makin banyak kemungkinan seorang juara ditelentan gkan di atas lantai panggung.

D alam pertandingan awal Galeng berkelahi seperti orang keranjingan. Ia lebih banyak bertempur menaklukkan ketakutan dan kekecilan hati sendiri dan cemburu sendiri. Sang Adip ati harus tahu: si G aleng bukan perjaka yang mu dah melepaskan Idayu apa pun yang terjadi, Idayu hanya untuk diri dan kebahagiaann ya.

D ua-tiga orang penantan g telah dibantingnya dan nyaris mati. Pertandingan dihentikan untuk sementara. Para petugas ragu-ragu atas sikap juara dari Awis Kram bil. Ia lebih banyak tam pil sebagai pembunuh daripada olahragawan. D an ia akan berkelahi terus seperti itu bila idaman hidup direnggu tkan oran g daripadan ya. Tak peduli orang itu Sang Adipati atau punggawa praja.

D engan titah Sang Adipati pertandingan gulat diteruskan. Ia berkelahi terus, mengamuknya oran g yang terpojokkan. Kunjungan penguasa Tuban pada kekasihnya di asrama telah mem bikinnya kalap. Ia akan tunjukkan pada rajanya, ia juga bisa berkelahi, dan melawan siapa saja: ia akan berikan nyawanya untuk bukti cintan ya pada Idayu melawan penantan g gulat ataupun penantang tom bak-tom bak para pengawal.

Pada awal perlom baan m enari Idayu dipancari semangat tinggi. D ua tahu n berturut-tu rut ia telah mem enangkan kejuaraan pertama. Tahun ini ia bertekad untuk mem enangkan lagi. Bukan karena kunjungan Sang Adipati Pada awal perlom baan m enari Idayu dipancari semangat tinggi. D ua tahu n berturut-tu rut ia telah mem enangkan kejuaraan pertama. Tahun ini ia bertekad untuk mem enangkan lagi. Bukan karena kunjungan Sang Adipati

D alam setiap pertandingan G aleng mem erlukan hadir. Bukan karena hendak m enonton, hanya hendak m ematahkan batang leher orang, siapa saja, yang berani bertingkah terhadap Idayu. Tak ada suatu gerak terlepas dari perhatiannya.

Perlom baan telah berjalan beberapa hari. Setiap pulang dari menari Idayu langsung pergi ke tempat kekasihnya untuk mengu rutnya. Ia tak peduli pada larangan yang berlaku. Para punggawa tak samp ai hati melaran gnya, mengetah ui, itulah hari-hari terakhir dua oran g kekasih itu dap at berkumpul untuk kemudianberpisahn buat selam a- laman ya….

Pagi hari waktu itu. Pertandingan olahraga sedang seru- serunya berjalan.

Syahbandar Rangga Iskak sedang sibuk di pelabuhan mencatati nama oran g dan

kapal peiarian yang berbondongan datang dari Malaka dan telah ditolak di

bandar-bandar lain di Sumatra dan Jawa. Di Tuban m ereka bermaksud mem ohon perlindun gan pada Sang Adipati Tuban Arya Teja Tum enggung W ilwatikta. Jatuhnya Malaka ke tangan Kongso D albi telah jadi pengetahuan um um.

D i antara para pendatang terdapat bekas Syahbandar Malaka Sayid Mahmud Al-Badaiwi alias Tholib Sungkar Az-Z ubaid.

Sekilas Rangga lskak mengetah ui, pendatan g itu seorang Arab – Arab yang dibencinya. la berbenah dalam hati, menyingkirkan perasaan pribadi dan melayaninya sebaik mu ngkin.

Ia persilakan pendatang jangkung agak bongkok, berhidun g bengkung merajawali itu, untuk menyampaikan halnya. D an nahkoda kapal yang ditump anginya tidak ikut mendarat. Ia agak heran, tetapi tidak menan yakan. Kapal itu akan berlayar terus menuju Gresik.

“Tuan Syahbandar Tuban,” bekas Syahbandar Malaka mem ulai dalam Arab. “Berkahlah untuk Tuan buat hah ini. Aku pendatang baru, juragan kapal itu. Kapalku akan terus berangkat dan akan menjemput aku kelak. Uang labuh untuk sehari akulah yang mem bayamya. N am aku Sayid Habibullah Almasawa dari Malagas!, bermaksud mengh adap Sang Adipati Tuban.”

“Berkahlah Tuan untuk hari ini. Maksud Tuan akan terpenuhi.”

Pada para pekerja ia perintahkan untuk mengangkuti baran g-barang persembahan. Ia perintahkan canang menara dipukul untuk pertanda akan adan ya penghadapan.

Canang kadipaten menjawab. Iring-iringan penghadap berangkat, termasuk bekas

Syahbandar Malaka, Tholib Sungkar Az-Zubaid alias Sayid Mahm ud Al-Badaiwi dan sekarang bernama Sayid Habibullah Almasawa dari Malagasi. D i belakang mereka menyusul para pemikul persembahan.

D i alun-alun mereka melihat orang beijejal-jejal menonton pertandingan. U mbul-umbul berkibaran tinggi di

mana-mana. D an karangan-karan gan bunga di perempatan jalan. Mereka dengar sorak-sorai tak henti-hentinya. Di negeri ini orang bersuka-suka, negeri yang mereka tinggalkan sedan g terlanda P ortugis.

Pendatang yang menamakan diri Sayid Habibullah Almasawa mem perhatikan semua dengan kuping dan matanya.

“Tuban sedang merayakan pesta tahunan,” Rangga lskak alias Ishak Indrajit menerangkan dalam Melayu. Ia tak meneruskan, mem bisu, tak m emberi kesempatan pada para pendatang untuk bertanya. Oran g Arab yang seorang itu merusuhkan hatinya.

Mereka berhenti di depan pendopo. D ua orang pejabat datang dan menyam paikan tata-tertib. Mereka melepas semua alas kaki, senjata tajam dan tumpul kecuali keris. Maka alas kaki pun berbaris berjajar, dan ton gkat dan bawaan pribadi. Mereka dipersilakan masuk ke pendopo dengan kaki telanjang, duduk berderet-deret di hadap an kursi gading kedudukan Sang Adipati.

Kursi itu sendiri berdiri di atas lantai khusus yang ditinggikan. Sebuah bangku rendah berlapis bantal berdiri di bawahnya. Itulah tem pat Sang Adipati meletakkan kakinya. Menurut peraturan penghadap an secara Tuban, oran g- orang asing bukan N usantara tidak diwajibkan dud uk dan menyembah. Bangku atau kursi duduk tidak pernah disediakan. Mereka harus berdiri dan barang siapa tidak dud uk harus mengam bil tempat di pinggir.

Biti-biti perwara keluar menduduki tempatnya di bawah kiri dan kanan tahta Sang Adipati. Pada tangann ya mereka

mem bawa namp an kuningan tempat sirih dan jambang kuningan tempat ludah. Menyusul kemudian bentara kiri dan kanan, yang mengambil tempat di kiri dan kanan belakang tahta. Mereka semua bersenjata tombak dan perisai. Baru kemudian datang Sang Adipati dalam iringan Sang Patih dan para pembesar lain. Di belakangn ya lagi menyusul para pengawal.

Para penghadap yang duduk menyembah bersam a-sama. Mereka yang berdiri di pinggir menyampaikan horm at dengan caranya masing-masing. Orang-orang Benggala, term asuk Syahbandar Tuban, berdiri sambil mengangkat sembah dad a. Sang Patih dan para pembesar yang duduk bersila jauh di samping kiri dan kanan Sang Adip ati, juga mengangkat sembah.

Upacara penghadapan selesai. Syahbandar Tuban mem bacakan daftar para penghadap, nama, asal, pekerjaan dan permohonannya. Kemu dian seorang demi seorang maju mengh adap

lebih dekat dan menghatu rkan persembahannya sambil mem uji-muji baran gnya. Setelah

persembahan menyusul permo honan dengan mulut sendiri. Sang Adipati dud uk mendengarkan, tanpa bicara,

menganggu k dan tersenyum, atau menggeleng dan tersenyum.

Semua penghadap tahu belaka, satria Jawa tidak berbaju dalam pekerjaan resmi, dan mereka m enghormati kebiasaan ini.

Bekas Syahbandar Malaka tercantum dalam daftar terakhir. W aktu samp ai pada gilirannya ia bicara dalam Melayu: “Patik datang dari Malagasi, ya G usti Adipati Tuban yang term asyhur pengasih di sepanjang pantai Atas Angin . Oran g mem anggil patik Sayid Habibullah

Almasawa. Kata silsilah keluarga, patik adalah keturunan ke empat puluh dari N abi Besar M uhamm ad s.a.w.”

Rangga Iskak mengem yitkan dahi. G iginya berkerut. Ia tak percaya. Prasangka mu lai berbisik-bisik dalam hatinya: Itulah dia penipu yang kau tunggu -tunggu!

“Patik hanyalah saudagar rempah-rempah yang belayar dari bandar ke bandar. Mu jur tak dapat diraih, malang tak dap at ditolak, Tuhan belum lah mem berkahi, ya G usti

Adip ati Tuban. Sesampai di Malaka, Peranggi sedang menggagahi bandar. Semua isi kapal patik dirampas dan kapal patik dibakar. Alham dulillah T uhan m asih ingat pada ham ba-N ya ini. Segala puji untuk Yang M aha P engasih dan Maha Penyayang.”

Bekas Syahbandar Malaka itu masih juga tak mem persembahkan sesuatu barang.

Si penipu itu! pikir Rangga Iskak. Dia sedang mem ainkan lidahnya.

“Larilah patik ke Bengkulu. D engan kapal patik yang ada di )ambi patik belayar kemari untuk memo hon

perlindungan G usti Adipati Tuban. Adapun harta benda patik seluruhnya telah habis untuk mem bayar kerugian di Malaka. Ampun, G usti, bila patik tidak mampu mem persembahkan barang sesuatu yang mahal-mahal.”

N am pak Sang Adipati mu lai kehilangan kesabarannya. Ia mengu ap, dan ditutupnya mu lutnya dengan tinju.

G elang-gelang mas pada tangann ya, berukir dan bertatahkan intan perm ata, berkilauan. N am un ia tidak

mem beri isyarat m encegah penghadap itu m eneruskan kata- katanya.

“Adapun harta-benda yang tersisa pada patik hanyalah kecakapan berbahasa Arab, karena itulah bahasa nenek- mo yang patik, berbahasa Melayu, karena itulah penghidupan patik sebagai saudagar rempah-rempah. Yang tersisa pada sahaya juga bahasa Ispanya, G usti Adipati Tuban…”

Para penghadap mengangkat pandan g mendengar Sang Adip ati mendeham dan mem anjangkan leher mengawasi pembicara fasih itu dengan perhatian.

“… karena di negeri Ispanya patik dilahirkan, di sebuah negeri yang indah bernam a Andalusia, ya G usti Adip ati,” bekas Syahbandar Malaka meneruskan, “dan juga karena itu patik berdarah Ispanya pula. Kemu dian bahasa Peranggi, ya G usti Adip ati Tuban, karena itulah bahasa yang patik pelajari sejak kecil.”

Rangga Iskak merasa seakan lantai yang diinjaknya terbang. Oran g jangkung agak bongkok, berhidung bengkung merajawali itu tak lain dari oran g Mo ro yang hendak menumbangkan kedudukan nya sebagai Syahbandar Tuban. D unia dilihatnya berayun-ayun. Tangann ya di balik jubah menggapai-gapai tanpa tujuan.

D an dalam pandangann ya yang bergoyang ia tak lihat Sang Adipati menegur Moro keparat itu, padahal pembual itu mu lai ram ai dengan tangan mem berikan tekanan pada kata- katanya. Kalau dia Pribumi, pikimya, dia akan mendap at hukum an dera.

“Ya, G usti AdipTuban yang mulia, dilindun gi oleh Allah, kiranya G usti Adipati. Sedang patik hina-dina lagi

melarat begini, ya G usti yang tersoho r bijaksana dan pemurah di sepanjang pantai Atas Angin , limp ahkan kiranya pada patik suatu perlindu ngan, karena hanya Allah jua Maha Mengetah ui, bahwa perlindu ngan G usti Adipati adalah berkah daripada-N ya juga.”

Tanpa diduga-duga Sang Adipati melambaikan tangan dan

berkata dalam Jawa. Segera Rangga Iskak menterjemahkan dalam M elayu.

”Perm ohonan Tuan kami terima, tuan Sayid. Tuan Syahbandar Tuban akan mengurusmu sebagai tam u pribadi kami….”

Rangga lskak hampir-hampir tak dapat meneruskan terjemahannya. Ia mem belalak mengetah ui, tam u yang Rangga lskak hampir-hampir tak dapat meneruskan terjemahannya. Ia mem belalak mengetah ui, tam u yang

“Apalagi yang m asih akan dipersembahkan?” tanya Sang Adip ati. Penghad ap itu mengangkat kedua belah tangan sehingga bongkoknya berayun, meneruskan: “Ampun,

G usti, perkenankanlah kiran ya patik mem persembahkan sesuatu yang langsung berupa karunia dari Allah. Mem ang nam paknya tiada sepertinya, namun tak terkirakan berkahnya.”

Ia keluarkan sebuah pundi-pundi dari balik jubahnya yang genggan g. Semua orang berusaha untuk melihat apa persembahan si cerewet. Perm ata! tak bisa lain, orang menduga.

“Berat tak seberapa, G usti,” bekas Syahbandar Malaka itu menjepit pundi-pundi dengan ibujari dan telunjuk. “Enteng tak terkira.”

Semua penghadap menjadi tegang. Mereka kuatir Sang Adip ati menjadi mu rka dan membatalkan semua

perlindungan yang telah dikaruniakan. D an memang Sang Adip ati nampak tersinggung, tapi masih menahan diri. Rangga lskak gelisah.

“Selaksa kali lebih berharga daripada in tan, mutiara, zam rud atau delima, karena mem ang karunia Allah

sendiri!”

D an para penghadap sampailah pada titik tertinggi kekuatiran nya melihat Sang Adipati bicara untuk ketiga kali, hanya pada seoran g penghadap: “Apakah itu, Tuan Sayid keturunan N abi?”

‘Tidak lain dari benih baru, ya G usti, dari seberang dan seberangn ya seberang pulau Jawa ini. Benih beras besar ya

G usti. Sepuluh kali lebih besar daripada beras biasa. Bila disantap sewaktu mu da, ya G usti, hanya ditunu di atas bara, gemeratak bunyinya, tapi rasan ya takkan kalah dengan emping ketan bercampur kelapa dan gula. Menan am nya tak mem erlukan air, malah harus ditanam pada penghabisan musim hujan. D i mana saja dap at tum buh, di gunu ng, di pantai, hum a, sawah kering, ladan g.

D ia tak m emilih tanah, asal tak tergenangi air.” Tholib Sungkar Az-Z ubaid alias Sayid Mahmu d Al-

Badaiwi alias Sayid Habibullah Almasawa menaruh sejum put bening kuning dari dalam pundi-pundi dan diletakkan di atas telapak tangan kiri.

“Orang-orang dungu di Ispanya dan Peranggi mengenai ini beras Turki, ya G usti. Oran g-orang Turki mem ang suka menipu, G usti. Tidak benar ini beras Turki. Yang benar Zhagu ng nam anya, G usti. D alam jangka waktu lima kali mu sim panas, seluruh negeri T uban akan m akan beras besar ini, G usti, insya Allah.”

Ia melangkah maju setelah mengem balikan benih dari telapak

pundi-pundi dan mem persembahkan kepada penguasa T uban.

Orang terheran-heran melihat Sang Adipati tersenyum berseri menerimanya.

“Telah kam i terima persembahanm u, Tuan Sayid. Segala yang berasal dari Tuhan adalah berkah/ ’ kemudian menengok pada Sang Patih yang dudu k di bawah. “Kemban gkan beras besar ini, Kakang Patih. apalagi sekarang sedang musim kering.”

Sang Patih menyembah rajan ya, kemudian menerima pundi-pundi itu dan meletakkan di hadapannya.

“D an T uan Sayid, apa nam a negeri asal beras besar ini?” “N egeri itu, G usti Adipati Tuban yang mu lia – orang

mu lai m enamainya Amerika.” “D i m ana itu?” “D i balik bumi manusia ini, G ustL” “D i balik bum i?” Sang Adipati berseru berolok, “tentu

mereka di sana hidup seperti cicak dengan badan tergantung pada kaki?”

“Tidak, G usti, mereka sam a dengan kita, demikian cerita pelaut-pelaut yang pernah ke sana. Hanya kulitnya merah.”

“Merah?” “Merah, G usti, seperti batu bata.”

Rangga Iskak mengerutkan gigi dan m engemyitkan dahL Kegeram annya menjadi-jadi. D ia mu lai menyemburkan bisa, gumamn ya dalam Malayalam. D an kalau tidak kuat- kuat ia mengekang sudah akan tersembur tuduh annya sebagai ‘penipu’. Ia menggeragap waktu tiba-tibaSang Adip ati berkata: “Tuan Syahbandar, apakah yang Tuan ketahui tentang bangsa kulit m erah?”

“Tidak pernah disebut dalam kitab apa pun, G usti Adip ati Tuban. Kulit hitam, putih, coklat, kuning, semua ada, G usti. Merah tak pernah ada, apalagi seperti batu bata. Tak pernah tersebut ada manusia makhluk Allah hidup dengan badan tergantu ng pada tangan atau kaki.”

Pendatang itu menengok ke pinggiran, pada Rangga Iskak, dan tersenyum ram ah sambil mengangguk.

“Tentang itu panjang ceritanya, ya G usti. Sembilan tahu n yang lalu Sri Baginda dan Ratu Ispanya, Phillipo dan Isabella, telah mem berikan pangestu pada pelaut-pelaut Amerigo dan Colom bo untuk mencari negeri asal rempah- “Tentang itu panjang ceritanya, ya G usti. Sembilan tahu n yang lalu Sri Baginda dan Ratu Ispanya, Phillipo dan Isabella, telah mem berikan pangestu pada pelaut-pelaut Amerigo dan Colom bo untuk mencari negeri asal rempah-

D alam pada itu Sang Adip ati sendiri sedang mengenan gkan kembali cerita Sang Patih, bahwa Mpu N ala pernah menduga dunia ini mem ang tidak seperti tamp ah tapi bulat seperti buah maja. D an sekarang kapal-kapal orang putih telah mampu muncul dari balik Ujung Selatan W ulungga yang selam a ini dianggap sebagai batas akhir dari dunia, dan barang siapa melewatinya akan tercebur ke kedalaman tanpa batas. Mereka justru mu ncul dari situ. Mereka telah belayar samp ai ke balik dun ia dan mendapatkan beras besar.

Ia berpaling pada Syahbandar Tuban. Rangga Iskak sedang merah-padam keunguan. Mem ahami akan adanya

sikap permu suhan terhadap penghadap itu ia perintah kan Sayid Habibullah Almasawa kembali ke tempatnya di pinggir pendopo.

“Patireja!” perintah nya pada menteri-dalam, “tempatkan tuan Sayid sebaik-baiknya di gandok belakang kadipaten.”

Beberapa jam setelah penghadapan selesai pecahlah berita ke seluruh Tuban Kota: Sang Adipati telah dihadap oleh seorang tamu asing, seoran g Arab bemam a Sayid Almasawa yang ditempatkan di gandok belakang Beberapa jam setelah penghadapan selesai pecahlah berita ke seluruh Tuban Kota: Sang Adipati telah dihadap oleh seorang tamu asing, seoran g Arab bemam a Sayid Almasawa yang ditempatkan di gandok belakang

Tholib Sungkar Az-Zuibaid alias Sayid Mahmu d Al- Badaiwi alias Sayid Habibullah Almasawa merasa puas dengan semua jerih-payahnya. Ia merasa telah berkenan di hati Sang Adipati. Sebentar lagi bendera Tuban akan dikuasainya. Syahbandar yang sekarang harus menyingkir! Harus!

Pulang dari kadipaten Rangga Iskak langsung m enuju ke pelabuhan untuk menem ui nakhoda kapal Sayid. Temyata kapal itu telah berangkat ke G resik. D engan jengkel ia pulang sambil menyump ah-n yump ah dan mengu tuk semua orang Arab di atas bumi ini kecuali mereka yang tersebut dalam Alkitab dan Tarikh.

D engan cepatnya terjadi persahabatan antara Sayid dengan Pada. Mereka berdua fasih berbahasa M elayu. Pada

pandai melayani orang-orang besar dan Sayid pandai mengambil hati oran g.

Padalah yang mengantarkan tam u itu mengh adap Sang Patih. Ia duduk di belakangnya.

Sang Patih duduk di atas kursi kayu dihadap oleh empat orang yang barn datang dari Bonang – mu rid-murid Ki Aji Bonang – dan dianggap tahu berbahasa Arab.

Bekas Syahbandar Malaka itu dudu k di antara mereka berempat. D an ujian diadakan .

Tam u Sang Adip ati tertay/ a geii dalam hati mengetahui sedang mengh adapi ujian bahasa Arab. Seratus orang Tam u Sang Adip ati tertay/ a geii dalam hati mengetahui sedang mengh adapi ujian bahasa Arab. Seratus orang

Salah seorang di antara empat penguji menyodorkan padanya setump ukan lontar bertulisan Jawa.

“Tuan Sayid bisa mem baca ini?” tanyanya. Ia am bil seikat lontar, mengamat-amati, menggeleng

melihat huruf-h uruf yang menjulur berlingkar-lingkar itu. “Tulisan kafir,” gum amn ya.

“Jadi Tuan Sayid dapat m embacan ya?” Ia m enggeleng. Seaksara pun tak terbaca olehnya.

“Baik, kalau begitu biar kami bacakan, ukara demi ukara. Ini tulisan Jawa, tetapi berbahasa Melayu. T ulis oleh Tuan terjemahannya dalam bahasa Peranggi. Tuan sendiri punya kertas dan kalam. ”

D an dengan demikian ujian dimulai.

D ari setump ukan lontar Iain Tholib Sungkar Az-Zubaid alias Sayid Mahm ud Al-Badaiwi alias Sayid Habibullah

Almasawa menterjemahkan ukara demi ukara yang dibacakan itu ke dalam bahasa Ispanya dan Peranggi. Tulisan-tulisan terjemahan itu disimpan oleh Sang Patih.

Pada hari berikutnya dengan diantarkan juga oleh Pada ia mengh adapi ujian yang mem akan waktu lama. Ia tak

pernah menyangka akan m enghadapi ujian pengalaman gila itu. Para penguji m emberikan kembali terjemahan Peranggi padanya, kemudian m enunjuk pada baris-baris tertentu dan bekas Syahbandar Malaka diminta untuk melisankannya dalam Melayu.

Peluh mu lai mem basahi tubuhnya. Ia mengakui terjemahan Peranggi itu ditulisnya dengan gegabah. Kalimat-kalimat dan kalim at itu bermu nculan di hadap an matanya seperti barisan mara. Ia menyesal telah melakukannya dengan gegabah dan menganggap sepele. Berkali-kali para penguji melihat tak ada kecocokan antara terjemahan Melayu orang ujian itu dengan teks Melayu dalam tulisan Jawa diatas lontar. Pengalamannya yang sama dialaminya sewaktu mem elayukan Ispanya tulisannya sendiri. Banyak selisihnya dengan teks Melayu di atas lontar.

“G usti Patih Tuban,” salah seorang penguji melaporkan. “Mem ang Arabnya tidak meragukan, Peranggi dan Ispanya-nya nampak agak sembarangan, G usti.”

“Banyakkah kelirunya?” tanya Sang Patih. ‘Tidak G usti, hanya sembarangan.” Untuk pertam a kali dalam hidupnya Tholib Sungkar Az-

Zubaid alias Sayid Mahmud Al-Badaiwi alias Sayid Habibullah Almasawa kehilangan kata-kata dan bermandi

keringat sebanyak itu. Hari yang dinanti-n antikan tiba juga: hari penutupan

pertandingan. Sejak pagi hari dengan membawa bekal makan orang telah datang berbondong ke alun-alun. Bunyi gam elan tak henti-hentinya berlagu.

Orang berdatangan bukan sekedar hendak menyaksikan pertandingan. Pada hari penutupan Sang Adipati akan datang dalam iringan besar para pembesar negeri dan para pengawal.Sem ua dalam pakaian berwarna-wami. Mereka akan berbaris datang ke alun-alun mengu njungi semua gelanggang. Para penilai akan berbaris di belakang para pengawal dengan kaki dan tangan berhiaskan giring-giring serta kain dan destar berwamn keemasan cemerlang. D an Orang berdatangan bukan sekedar hendak menyaksikan pertandingan. Pada hari penutupan Sang Adipati akan datang dalam iringan besar para pembesar negeri dan para pengawal.Sem ua dalam pakaian berwarna-wami. Mereka akan berbaris datang ke alun-alun mengu njungi semua gelanggang. Para penilai akan berbaris di belakang para pengawal dengan kaki dan tangan berhiaskan giring-giring serta kain dan destar berwamn keemasan cemerlang. D an

D an begitu Sang Adipati dan rombongan datang orang pun bersimpuh di tanah dan mengangkat sembah. Begitu rombongan lewat orang pun berdiri dan bersorak gegap- gempita.

Ro mbongan itu lewat tanpa menengok tanpa menjawab sembah. Orang berdesak-desak mengikuti rom bongan, semakin lama semakin tebal dan panjang. Sekali ini bukan sekedar karena kebiasaan: orang ingin menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana kerja mata Sang Adipati bila berhadapan dengan Idayu.

D i dalam rom bongan pembesar terdapat Tholib Sungkar Az-Z ubaid, di Tuban Kota mu lai dikenal sebagai Sayid Alusawa. Ia tetap bertarbus merah dengan jum bai keemasan jatuh ke belakang, berjubah genggan g, agak bongkok, berjenggo t, bermisai, bercambang-bauk, jangkung dan mem bawa ton gkat hitam berhulu gading. Hidung bengkungnya m enjadi sasaran setiap mata.

“Itulah Tuan Ulasawa!” seseoran g berbisik pada teman nya.

Seorang lain tertawa keheran an, mem beri kom entar: “Betapa panjang dan bengkung hidung itu. Kalau diberi

berbuntut panjang, pasti akan lebih mendekati kadal.” “Puh!”, yang lain lagi mendengus, “G usti kita mem ang

kranjingan orang asing – dan semua saja tidak beres.” Apa pun komentar orang yang pasti sudah dapat

diketahui: itulah tam u terhormat yang telah berkenan di hati Sang Adipati.

D an dalam hati mereka, yang mem ang sudah tidak senang pada orang asing yang mendapat jabatan tinggi, timbul pertanyaan: jabatan tinggi apa yang akan diterimanya? Pada um umn ya oran g menebak: penghulu negeri. D an tebakan itu saja sudah cukup menjengkelkan, mengingat penghulu sebelum nya telah banyak mengurangi kesenangan mereka dengan berbagai aturan yang masih juga berlaku samp ai sekarang Aturan baru, aturan baru, selalu mengu ran gi kebebasan. D an penduduk negeri dan kota T uban terkenal pencinta kebebasan.

Tak jauh dari Tholib Sungkar berjalan Syahbandar Tuban, juga berjubah, hanya berwarna putih, berkopiah,

tidak bersorban, berselendang leher putih. Hanya dia yang berjalan menundu k Tak ada namp ak sinar kegembiraan pada wajah dan matanya, di tengah-tengah pesta yang mem beludag itu.

D am arsewu dan cempor menyala di mana-mana, mencoba mengu sir semua bayang-bayang benda dan manusia. Nam un semua lamp u itu tak kuasa mengu sir bayang-bayang dalam pikiran Rangga lskak.Ia telah mendapat firasat Sayid Habibullah Almasawa tidak lain dari Syahbandar Malaka yang dahulu menjatuhkan abangn ya, dan sekarang datang ke Tuban untuk menjatuhkan pula sebagai Syahbandar. Tidak salah lagi, kata hatinya, dialah iblis laknat itu. Dan pikiran nya kini bekeija keras mencari jalan untuk menyingkirkan orang Mo ro itu dari Tuban sebelum Sang Adip ati mengambil sesuatu keputusan yang akan merugikan dirinya.Si pembual, penipu, pendusta, mengaku keturunan N abi itu harus punah!

Begitu rombongan mem asuki ruangan tari, ia sudah mem punyai rencana. G amelan membubungkan lagi

sambutan. Idayu muncul di atas panggung m enarikan tarian sambutan. Idayu muncul di atas panggung m enarikan tarian

Orang bersorak-sorai gegap-gempita. Sang Adipati menganggu k-angguk menyetujui.

“Itulah Idayu, Tuan Sayid,” Sang Adipati berkata dalam Melayu, “kekasih Tuban, bunga seluruh Tuban. Tiada

tand ingan dalam tari dan kecantikan dan keluwesan. Juara tiga kali berturut.”

“Patik,G usti.” Mata Tholib Sungkar Az-Zubaid menyala-n yala, ia angkat tongkatnya turun-naik, mengagumi tarian Idayu.

“D ahulu gadis seperti itu akan m eneruskan pertandingan ke W ilwatikta, ibukota Majapahit.”

Tholib Sungkar Az-Zubaid mencantolkan ton gkat pada lengan kanan. menegakkan bongkoknya dan bertepuk- tepuk: “Haibat!” serunya. Tanpa tandingan. Banyak negeri terah patik lihat, ya G usti. Yang ini mem ang tiada tara! N am anya pun indah: I-da-yu. D an betapa cantik! Aduhai

betapa cantik, kau, Idayu!” gumamnya. “Allah telah menciptakan kau sesuai dengan kehendaknya.”

Mata Sang Adipati bersinar-sinar hampir tiada berkedip. Orang pun lupa memperhatikan mata yang sepasang itu. Semua tertarik pada Idayu. Tetap hanya Rangga Iskak antara sebentar melirik pada Tholib Sungkar Az-Zubaid.

“Aduh, Aduh, Aduh, G usti!” gumam bekas Syahbandar Malaka itu seperti kesakitan.

“Apa, Tuan Sayid?” tanya Sang Adipati seperti pada seorang sahabat lama.

“Serba indah, G usti, serba cantik, serba mengikat. Kalau di Ispanya sana, G usti,” ia bertepuk bersemangat, “tidak salah lagi, pasti akan jadi hiasan istana E kopal.”

“Apa?” “Hiasan istana raja Ispanya, G usti.” “Hiasan istana raja…. ” Sang Adipati berbisik

mengu langi sambil tersenyum. Kemu dian agak keras, “sayang hanya anak desa.”

“Tuban menciptakan makhluknya tanp a perbedaan,

G usti, baik desa mau pun kota milik Allah juga.” Ro mbongan pembesar kembali ke kadipaten sebelum

tarian Idayu selesai…. Rangga Iskak tidak kembali ke alun- alun. Ia berjalan bergegas menuju ke pelabuhan . Kakinya melangkah cepat-cepat. Antar sebentar ia menengok ke kiri dan ke kanan. Sam pai di depan waning tuak dan ciu-arak ia berhenti. Pintunya terkunci dari dalam. Langit gelap. Ia mengetuk dan mengetuk. Tak lama kemudian pintu itu terbuka. Tak ada lampu menyala di dalam. “Kaukah itu, Yakub?”

“Tidak salah, T uan, Yakub ada di sini menunggu Tuan. Tuan tidak masuk?”

Syahbandar Tuban itu masuk ke dalam, duduk pada salah sebuah bangku setelah menggerayanginya dengan hati-hati.

D alam kegelapan tak ada nampak wajah dua-duanya. Seakan mereka bicara dalam kekoson gan alam sebelum D alam kegelapan tak ada nampak wajah dua-duanya. Seakan mereka bicara dalam kekoson gan alam sebelum

“Tapi Sang Adipati jelas berpihak pada Islam, Tuan,” Yakub mem bantah.

“D ari mana pikiranm u itu?” “Uah, tuan Syahbandar Tuban, bukankah sudah aku

samp aikan, Sang Adip ati sudah bersiap-siap dengan cetbang?”

“Benar, bersiap-siap berperang terhadap D emak.” Yakub berdiam. “Lantas di mana Islamnya, Yakub?” “Banyak yang bilang tidak begitu. Sang Adipati tak

pernah memperlihatkan kegusaran Jepara diambil oleh

D emak, Tuan Syahbandar. Jepara direlakan, karena D emak Islam yang mengambil. Orang bilang Tuban bersiap-siap

terhadap Peranggi.” “Bodoh, kau, Yakub. Mari aku bilangi. Tak kau lihat

tadi Sayid palsu Habibullah Almasawa sudah mu lai mengiringkan Sang Adipati?”

“Semua orang sudah melihat, Tuan.” “Tandanya dia akan gantikan aku jadi Syahbandar

Tuban.” “Tidak mu ngkin, Tuan.” “Untuk melayani kapal-kapal Peranggi dan Ispanya. D ia

tahu dua-dua bahasa itu. Sang Patih sudah m engujinya, dan tahu dua-dua bahasa itu. Sang Patih sudah m engujinya, dan

D an akan mati sebagai kafir! D ia mu nafik, kafir yang mu nafik. Pada saudagar-saudagar Islam ia perlihatkan diri seorang Islam demi mas dan perak, dan sutra dan tembikar, dan persembahan. Berap a perempuann ya? Tak ada orang bisa mengh itung.” Bisikannya semakin mengandung am arah, “Coba, oran g-orang lain diperintah kannya bersembah yang untuknya, yang Buddha, yang W isynu, yang Syiwa. Juga mandi junub, Yakub, dia tak lakukan sendiri, orang lain haru s mewakilinya.”

“Kalau begitu Tuan, memang kurang ajar Sang Adipati itu. Tapi bagaimana pun, Tuan, Sayid itu takkan mu ngkin dap at menggantikan Tuan.”

“Mengapa tidak.” “Aku bilang, pendatang itu tak mu ngkin dapat jadi

Syahbandar Tuban, biar pun Sang Adipati mengh endaki. Tuan akan tetap di tempat. Jangan lupa, Tuan, Yakub, masih segar-bugar, sekarang terserah saja pada Tuan bagaimana jalan dan caranya.”

D alam kegelapan itu bisikan mereka makin pelan, semakin mesra seakan dua sahabat karib, yang baru bertemu setelah berpisah sepuluh tahun. D an suatu rencana tertimpalah pada malam itu juga: Sayid Habibullah Almasawa disingkirkan dari Tuban, hidup atau mati. Rencana akan dijalankan secepat-cepatnya dan seteliti- telitinya. Menjelang subuh rencana sudah

selesai sepenuhnya. D an waktu Syahbandar akan pulang terdengar suara Yakub yang agak keras: “N anti dulu, Tuan. Belum lagi Tuan perhitungkan biaya untuk si Yakub miskin dan teman -tem annya.”

“Iblis!” bentak Rangga lskak. “Kau selalu menuntut biaya. Berap a kau kehendaki?”

“Lima dinar, Tuan.” “Husy. D engan lim a dinar aku bisa beli kepalamu

samp ai kepala nenekmu sendiri.” “Uah, uah, ” kemudian Yakub tertawa senang, “hanya

lim a dinar harga jabatan T uan? T inggal pilih, Tuan. Yakub sih, sekedar tenaga mu rah.”

Rangga Iskak berhenti berjalan. Ragu-ragu ia bertanya: “D alam waktu berap a hari semu a selesai?”

“D ua minggu, Tuan. Begitu dia keluar dari kadipaten, jadilah sebagaiman a Tuan kehendaki.”

“Baik. Terima ini satu dinar panjar,” dan ia pun pergi tanp a menoleh lagi.

Yakub tertawa, masuk kembali ke dalam warung dan mendengus: “Si buaya itu sudah menyediakan dinar dalam pundi-pundinya. Kalau mengenai mas, mas yang harus keluar, dia pikun seperti hampir-h ampir mati tua. Kalau emas harus masuk, dia lebih dari seorang periba. D asar buaya darat!”

Tholib Sungkar Az-Z ubaid alias Sayid Mahmu d Al- Badaiwi alias Sayid Habibullah Almasawa masih mendengkur di gandok belakang kadipaten….

0o-d w-o0