Gelar Jadi Sandera

32. Gelar Jadi Sandera

Kemarin dulu Idayu masih berseru dari beranda gubuk panggung itu: “G elar! jangan begitu. Belajar yang baik!”

Tapi G elar tak peduli. D engan melepas kendali ia menggantu ngkan diri di samping kuda, tangan mem eluk leher binatan gnya. Kuda itu lari terus, dan ia melom pat melalui punggung kuda, berbuat semacam itu di samping lain. Kemu dian ia berpacu di jalanan desa dengan mem unggungi arah. Tak lama kemudian ia berpegangan sanggu rdi dan menggantung di bawah badan kuda.

Ia tak mau dengar emaknya mem ekik-mekik ketakutan. Tubuhnya dan tubuh kuda itu seakan telah jadi satu. D an berlatih mengu asai kudalah kesibukannya sehari-hari sehabis kerja.

D an sekarang ia menggeletak di atas am bin kayu. Matanya terbuka tanpa melihat. Antara sebentar seseorang mem asuki bangsal dan menengoknya, mentertawakann ya.

Ada juga yang sengaja mengejek, tajam dan mengirim: “Apa kau renungkan, Buyung! Anak Senapati Tuban bukan seperti itu mestinya. Kalau tidak suka, menan gislah keras- keras, biar kami gendan gi, biar semua orang tahu , anak Senapati punya sejambang airmata.”

Untuk mengh indari semua gangguan ia tutup mu kanya dengan bantal.

Sekali terjadi seseoran g menarik bantal itu dan menjelirkan lidah padan ya. Ia rebut kembali bantalnya dan ditekankan erat-erat pada mu kanya lagi. Seoran g lain masuk dan menyeret kakinya sampai ia terjatuh dari am bin dan segera merangkak naik ke atas, di bawah sorak dan sorai tawa.

Pada mu lanya ia meraung-raung minta dikasihani terhadap perlakuan kasar yang tak pernah dikenalnya sebelum nya itu. Tak seorang pun akan berbuat demikian di desanya. Ayah dan ibunya tidak, kepala desa pun tidak. Apakah salahku sampai diperlakukan demikian? Sekarang ia tidak meraung lagi, walau ia tidak berani melawan atau mem bela diri. Ia akan deritakan semua dengan sabar. Bahkan ia pun tidak tahu sedang berada di rumah siapa. Semua lelaki, prajurit, tak ada seorang wanita pun!

D i malam hari waktu keadaan agak tenang, terdengar olehnya seseoran g bicara pada yang lain: “Jangan ganggu

dia. Aku yang melarang. Ayahnya sangat terhormat dan dihorm ati. Juga ibunya. Dia bukan sejenis kalian. Yang tak tahu batas.”

G elar mencoba mengintip dari balik bantal. Terlihat olehnya seorang prajurit pengawal bergelang baja bicara pada bawahannya. Ia merasa mendapat perlindungan.

D adanya tak begitu sesak lagi. Seorang demi seorang di antara mereka mu lai merebahkan diri di samping- D adanya tak begitu sesak lagi. Seorang demi seorang di antara mereka mu lai merebahkan diri di samping-

Malam semakin tenang dan ia sendiri pun menjadi tenang. Baru ia berani turun untuk buang air. Kemu dian merangkak lagi ke tempatnya.

Ia kenangkan kembali percakapan antara Prajurit Tuban itu dengan ibunya: “N yi G ede Idayu, jangan kaget. G usti Adip ati Tuban telah menitahkan agar G elar, putra N yi

G ede yang pertam a, dibawa ke Tuban.” “Apakah salahnya anakku? Bukankah suamiku sudah

juga dibawa ke Tuban?” “Tak ada yang dapat mencegah titah G usti Adipati, N yi

G ede. Panggillah anak itu.”

D an dihadapkan pada orang-oran g yang berperawakan kukuh tertutup dengan gump alan oto t.

“G elar, kau akan kam i bawa ke Tuban.” “Bapak berpesan untuk menjaga dan mem bantu emak

dan adik.” Ia memban tah, dan menerangkan tugasnya sebagai lelaki tertua dalam keluarga.

D an prajurit-prajurit itu mentertawakannya. “Seluruh desa akan menjaga dan mem bantu N yi G ede.

Itulah yang jadi titah G usti Patih.” “Aku telah berjanji pada bapak….” Mereka berhenti tertawa melihat pancaran kebencian

dan amarah pada mata Idayu. D an wajah Idayu itu tetap cantik seperti semasa masih berada di Tuban dulu, dan tubuhnya tetap semampai berisi karena latihan-latihan. Cu ping hidung wanita itu menggetar seperti cuping macan betina yang m encium bahaya yang mendatangi.

“D ulu begini juga yang diperbuat oleh Kiai Benggala,” bentak N yi G ede.

“Kami datang mem bawa titah G usti Patih.” “Kita tak bisa berbuat apa-apa, N ak. Biar aku siapkan

pakaianmu.” wanita itu masuk ke dalam dan keluar lagi mem bawa bungkusan kecil dan selembar kain batik dikalungkannya pada lehernya sambil berkata. “D an ini,

G elar, kain mak, pergunakan kalau kau kedinginan. Kau harus ingat, bapakmu tidak bisa berbuat apa-apa. Makmu pun tak bisa. Jangan kau menan gis. N ak sudah besar, ham pir lim a belas. Beran gkatlah kau dengan doaku. Jadilah kau seorang lelaki.”

Melihat ibu yang dihormati dan dicintai itu tak dapat mem pertahankan dirinya, juga tak dap at mempertahankan pesan ayahnya atau janjinya pada ayahnya, ia pun meraung, menjatuhkan diri dan mem eluk kaki ibunya.

D engan prihatin ibunya mengusap-usap kepalanya. “Belum lagi kepala ini sempat berdestar…” gum am ibunya. Kumbang pun mem ekik, merangkul leher abangn ya tercinta, meraung: “Tidak boleh. Kang G elar jangan pergi!”

Prajurit-prajurit itu dengan hati-hati melepaskan G elar dari rangkulan pada kaki ibunya dan dari pelukan adiknya. Ia angkat G elar dalam bopongan. D an yang dibopong meronta dan melawan. D engan demikian bermu lalah perjalanannya ke T uban. D alam hidupnya yang semuda itu ia mu lai dapat m erasakan adanya kekuasaan dan pengaruh ayah dan ibunya terhadap kehidupan di Awis Kram bil. W iranggaleng Senapati, semua orang senang padan ya, bahkan Sang Patih Tuban tidak tanpa horm at mengh adapinya. Ibunya seorang penari tanpa tand ingan. Semua orang datang padan ya bila bertanya sesuatu tentang tari. Ayah dan ibunya yang sejuk dari panas dan kering dari hujan. Kehidupan seperti itu berjalan tanpa gugatan. Tapi Prajurit-prajurit itu dengan hati-hati melepaskan G elar dari rangkulan pada kaki ibunya dan dari pelukan adiknya. Ia angkat G elar dalam bopongan. D an yang dibopong meronta dan melawan. D engan demikian bermu lalah perjalanannya ke T uban. D alam hidupnya yang semuda itu ia mu lai dapat m erasakan adanya kekuasaan dan pengaruh ayah dan ibunya terhadap kehidupan di Awis Kram bil. W iranggaleng Senapati, semua orang senang padan ya, bahkan Sang Patih Tuban tidak tanpa horm at mengh adapinya. Ibunya seorang penari tanpa tand ingan. Semua orang datang padan ya bila bertanya sesuatu tentang tari. Ayah dan ibunya yang sejuk dari panas dan kering dari hujan. Kehidupan seperti itu berjalan tanpa gugatan. Tapi

D an tanpa diketahuinya kini ia telah dijadikan sandera oleh Sang Adip ati. Penguasa tua itu telah menitahkan agar ia dikurung di dalam perumahan pasukan pengawal kadipaten, dipersiapkan untuk jadi prajurit pengawal.

D i dalam bangsal itulah ia sekarang. Pikiran nya terus- menerus diganggu oleh pertanyaan bagaiman akah ibunya

sekarang harus selesaikan semua pekerjaan sehari-hari tanp a dirinya? Siapa yang m engambil rusa, atau celeng dari ran jau perangkap ? Siapa yang mengu liti? Siapa pula yang mengerjakan sawah dan ladan g? D an siapa yang diajak adiknya bermain? Siapa pula yang menjaganya? Betapa akan sunyinya rumah terpencil di pinggir hutan itu, dan betapa sangat sibuknya emaknya. Ia harus belajar menah an kekuatiran terhadap yang ditinggalkan dan kesedihan

terhadap nasib sendiri. Yang ditinggalkan adalah alam kasih-sayang, tenteram dan dam ai, yang dimasukinya sekarang adalah alam kekerasan tanpa belas kasihan.

Sam pai sejauh itu para prajurit pengawal menduga, si bocah itu disanderakan karena W iranggaleng pernah

menyatakan sum pah takkan kembali ke Tuban sebelum Sang Adipati mati. D ugaan yang kurang berdasar, karena Sang Adipati tak pernah mendengar sumpah itu. Yang didengarkan justru lain: Trenggono telah menuduh Sang Adip ati Tuban bersekongkol dengan W iranggaleng untuk menan tang kekuasaan D emak, dan Sultan mengancam akan menan gkap Sang Adip ati hidup-hidup di waktu dekat mendatan g dan akan m embelahnya hidup-hidup jadi empat

bagian besar. Ancaman itu disambut dengan tertawa, bagian besar. Ancaman itu disambut dengan tertawa,

Maka ia menyesal telah mem berangkatkan W iranggaleng dan lima ratus prajurit laut, ia telah batalkan harapannya akan kematian Senapati. Ia mem butuhkannya untuk mempertahankan Tuban. D engan G elar sebagai sandera ia mengh arap anak desa itu sewaktu-waktu akan dap at dipan ggilnya kembali.

G elar menggeragap bangun. Tarikan kasar pada kakinya menyebabkan untuk kedua kalin ya ia terjatuh di lantai.

Matari ternyata telah tinggi. Sepantun suara keras menggertaknya: “Pemalas! Aturan

mana orang bangun tertinggal matari?” Sekarang G elar mengerti, tak ada seorang pun akan

melindun ginya. Tak percuma emaknya m engharap kan akan jadi lelaki. Ia tak sudi diperlakukan lebih lama sekasar itu.

D i hadapannya berdiri seoran g prajurit bertubuh kekar. Kasih-sayang yang disampaikan keluarganya menukik mem balik menjadi dendam yang mem buncah dalam dad anya. D engan segala yang pernah diajarkan dan dilatih kan oleh bapaknya ia melom pat dan menerkam prajurit pengawal yang tak siaga itu. Seperti seekor biawak ia melengket pada tubuh penganiayanya, dan giginya masuk ke dalam otot dada yang telanjang berbulu itu.

D engan dua belah tangan prajurit itu m enolaknya keras- keras. G elar terjatuh di lantai setelah menubruk dinding.

D an dada prajurit itu berlumuran darah. “Kucing keparat!” sumpahnya sambil menyeka dad a

dengan lengan . “Sekali lagi, kucekik sam pai mampus.” “D an kutikam kau sampai mampus!” balas Gelar, berdiri

dan bersiap mem bela diri terhadap segala penganiayaan yang m ungkin m enyusul.

“Lancang, seperti bapaknya! Kau tahu apa tentang dirimu ? Sandera!”

“Ayoh, cobalah sekali lagi.” “Tak ada yang lebih hina daripada sandera. Kalau aku

jadi sandera, lebih baik kukuliti mu kaku,” katanya sembari terus m embersihkan dadanya.

“Co balah sekali lagi,” tentang G elar. “Tak bisa kutikam waktu jaga. waktu tidur pun kena.”

Kuatir akan terjadi geger, prajurit itu m engalah dan pergi sambil mengu rus dad anya yang berdarah dengan pijitan dan cengkam an.

Seorang diri didalam bangsal ia mu lai merenungi kata- kata prajurit itu sandera, jadi sandera! D an ia mengerti hidupnya berada di ujung pedang. Setiap waktu, tanpa pemberitahuan, seorang sandera dapat dihabisi jiwanya tanp a tahu apa perkaranya. Baik, aku jadi sandera.

Seseorang memanggilnya keluar dan keluarlah ia dengan siaga. D ilihatn ya pemanggilnya seorang prajurit yang sedang dud uk di atas kuda sambil menuntun kendali kuda lainn ya. Ia mem beri isyarat dengan tangan.

“N aik!” perintahnya.

D an G elar naik dari sanggurdi ke atas kuda yang tinggi lagi besar itu. Kakinya tak dapat mencapai sanggurdi yang lain. D an sebelum ia dapat meletakkan diri dengan enak, seseoran g telah mencam buk binatangn ya. Kuda itu terkejut, melom pat. G elar terbalik di atas punggung kendaraannya dan jatuh ke samp ing. Secepat kilat ia berpegangan pada sanggu rdi dan terseret oleh sang kuda. Ia tak dengar lagi orang bersorak-sorai senang: Pegangannya lepas. Ia jatuh menggeletak dengan kaki tersobek-sobek batu jalanan.

Prajurit yang mem erintah kan tadi mendekati dan dari atas kuda m embentak.

“Siapa perintahkan kau turun? D engar perintah baik- baik. Kejar aku, dan pukul aku sampai kena,” ia menggerakkan kudanya dan mem acunya mengelilingi alun- alun.

G elar bangun berdiri, mem eriksai kakinya yang sobek- sobek dan berdarah, kemudian mem basahinya dengan ludahn ya sendiri. Binatan gnya berhenti di suatu tempat tak jauh dari padan ya. Kuda itu jinak dan larinya kencang, mem ang disediakan untuk bisa mengejar. Ia tak tahu nam anya. Maka dipanggilnya dengan kata yang banyak disebut-sebut belakangan ini: “Sultan! Sultan!” ia mengh ampirinya sambil berpincang.

Kuda itu tak mau menghampirinya, ia sendiri yang harus datang padanya. Angkuh kau, Sultan! Dipegangnya kendali dan ditepuk-tepuk bahu binatang itu, dipegang kepala dan diusap-usapnya. Kepala binatang itu ditariknya ke bawah pada kakinya, disuruhnya menjilati darahnya sampai bersih. Kemu dian ia rangkul leher Sultan dan melompat ke atasnya.

“Lari, Sultan, lari, kejar dia, bikin aku jadi lelaki. Susul dia, biar aku gebuk kepalanya.”

G elar tak dud uk di atas pelana. Ia mem eluk leher kuda yang tinggi besar itu dan mulai m emburu.

Yang diburu lari, m engelak, meliuk-liu k. “Ayoh, Sultan, jangan kau beri aku m alu,” bisiknya pada

kuping Sultan. Melihat prajurit itu mengelak-elak juga, ia menjadi

bersemangat. “Tubruk, Sultan, tubruk, biar dia menjempalit!”

Perkejaran itu berubah dari suatu latihan menjadi suatu pertarungan. Prajurit-prajurit mu lai turun ke alun-alun untuk menonton. Kemu dian orang lalulalang pun mem erlukan melihat. Tanpa undangan dan tanpa pengum uman penonton semakin lama semakin banyak. Orang berjingkrak melom pat-lompat, orang menah an nafas ketegangan.

Pada suatu tubrukan yang telah direncanakan kudan ya, tinju bocah itu m enggedabir mengenai angin. D an demikian beberapa kali lagi terjadi.

G elar naik pitam. Tak dirasainya lagi perutnya telah lapar, dan peluh kuda telah bercampur dengan peluhnya

sendiri. Tidak, tidak mungkin dia dap at kupukul dengan tangan. Lengan ini terlampau pendek. Ia berpacu mem bungkuk dengan dua belah tangan erat-erat mem eluk leher Sultan dan ia persiapkan diri untuk melakukan tubrukan yang menentukan.

Prajurit pengawal itu bukanlah anak kemarin. D engan suatu elakan indah tubrukan dapat dihindari untuk ke

sekian kalinya. Tetapi ia salah perhitungan. Tangan G elar tidak melayang. Ia ayunkan badan dan menggaet leher prajurit itu dua belah kaki dan m embikin jepitan sila.

D ua ekor kuda itu berpacu berjajar. Leher prajurit itu tetap dalam jepitan G elar. Sorak-sorai menjadi riuh. Orang

mu lai mengagumi ke-tangkasaan pengendara mu da belia itu. D an tangan G elar tetap mem eluk Sultan.

“Jatuh kan, orangmu da! jatuhkan!” Ia tak dengar sorak-sorai dan seruan. Kedua belah tangan

dan bahunya telah terasa kelu dan ia sendiri bakal jatuh. Secepat kilat ia mengambil keputusan untuk menjatuhkan prajurit itu. Ia lepaskan jepitan sila dan secepat itu pula melayangkan tumit pada mu ka prajurit itu. Tak dan bahunya telah terasa kelu dan ia sendiri bakal jatuh. Secepat kilat ia mengambil keputusan untuk menjatuhkan prajurit itu. Ia lepaskan jepitan sila dan secepat itu pula melayangkan tumit pada mu ka prajurit itu. Tak

Penonton terdiam terkejut. Ia sendiri masih siapkan kudan ya untuk tubrukan yang

terakhir setelah dapat melihat prajurit itu duduk goyah di atas kendaraann ya.

“Sudah! Sudah! Cukup!” orang berseru-seru. W aktu tubrukan hampir berlangsung, mendadak G elar

mengh entikan Sultan. P rajurit itu m ulai m iring. Tangannya yang sebelah mem egangi matanya dan

kepalanya menundu k miring ditarik oleh daya berat. Kudanya berjalan

pelan-pelan, kemudian berhenti.

G elar turun dan lari menyongsong. D an orang-orang pun lari mendapatkannya.

“Bodoh!” bentak prajurit bergelang baja yang semalam. “Tidak ada aturan menggunakan kaki.”

Orang itu diturunkan dari kuda dengan mu ka berlumuran darah.

G elar tak mendengarkan bentakan. Ia ikut menolong sambil memanggil-manggil Sultan yang telah ia lepas.

Binatang itu mengikutinya, berjalan pelan-pelan di belakangn ya.

Bola mata prajurit itu telah keluar dari rongganya. D an

G elar tak sampai hati melihatnya. Ia berdiri terpakukan pada tanah. Ia menyesal. Seluruh dendam nya m enungging,

dan belas-kasihann ya muncul ke perm ukaan. D an ia tak dap at berbuat sesuatu.

Hari itu kota Tuban digemparkan oleh berita tentang

G elar si mu da belia, si penunggang kuda tanpa tandingan,

G elar anak Senapati Tuban, calon prajurit pengawal, calon

Senapati, G elar anak N yi G ede Idayu. Temui dia dalam hidupmu: D an penduduk kota T uban, terdidik memuliakan kepahlawanan , datang berbondong-bondong mengunjungi bangsal pasukan pengawal kadipaten untuk mengelu-elukan sang perjaka pahlawan, anak kemarin yang bisa menjatuhkan seorang prajurit pengawal pada hari pertama jadi calon prajurit.

Sepanjang hari tiada berkeputusan orang datang untuk mengaguminya.

Kepala-kepala regu menjadi sibuk mengu rusi para pengunjung. Mereka tahu, datangnya bondongan

pengagum tak dap at dan tak mu ngkin dicegah karena mem ang sudah jadi adat yang mendarah-daging. G adis- gadis datang mem bawa bunga-bungaan untuk dijamah oleh si gagah-berani dan wanita-wanita bunting untuk menjam ah tangannya agar anaknya kelak pun seperti itu juga gagah- beraninya.

Tiga hari laman ya bangsal pasukan pengawal ram ai dikunjungi orang. Buah-buah an, penganan, ikan laut dan

daging perburuan, tuak, madu, telor datang bertumpuk di dalam dapur tanpa diketahui siapa pengirimnya. D an tempat tidur G elar tak pernah sunyi dari dau n bunga yang ditebarkan.

Kemu dian keadaan pulih kembali seperti biasa. G elar tak mengerti mengapa sebesar itu penghargaan ditump ahkan

kepadanya. Yang dirasainya hanyalah pemberontakan di dalam hati terhadap semua perlakuan kasar terhadap dirinya. Ia menolak semua kekasaran, dan ia bertekad untuk mem balas dengan setimp al. Maka ia terus-menerus bersikap waspada, menyedari tak ada lagi kasih-sayan g di lingkungan nya yang baru. Tidak ada seorang ayah, seorang ibu dan adik, tidak ada seorang guru, tiada pula kepadanya. Yang dirasainya hanyalah pemberontakan di dalam hati terhadap semua perlakuan kasar terhadap dirinya. Ia menolak semua kekasaran, dan ia bertekad untuk mem balas dengan setimp al. Maka ia terus-menerus bersikap waspada, menyedari tak ada lagi kasih-sayan g di lingkungan nya yang baru. Tidak ada seorang ayah, seorang ibu dan adik, tidak ada seorang guru, tiada pula

D an pengagungan orang sebanyak itu terhadapnya? Ia tidak mengerti. Ia bingun g.Seorang prajurit lain yang ditugaskan untuk melatihnya mem ainkan tom bak, sebelum nya telah mem am erkan keunggulannya, baik dalam melempar mau pun menyerang dan bertahan jarak dekat, untuk mem atahkan keberan iannya.

D an anak muda desa manakah di Tuban tak tahu mem ainkan tom bak? Juga G elar tahu . Hanya lengan nya belum cukup berotot Lemparannya kurang jauh dan perm ainann ya kuran g cepat

Juga pelatihnya mempunyai kecenderungan untuk menindas dan mengejeknya, mentertawakan dan mengh inanya. D an ia dapat raba semua itu dari sikap pelatihnya yang angkuh terhadap nya.

Prajurit pelatih itu tak mamp u mengu bah cara-cara G elar yang dianggap salah menurut dasar ajaran. Ia tunjukkan kelemahan-kelemahan yang mem berikan peluang bagi lawan untuk mem asukkan serangan. G elar tetap menolak tak m au m engikuti. Bukan ajaran itu yang ditolaknya, tetapi keadaann ya sebagai sandera dan perlakuan terhadap dirinya.

Pelatih yang jadi jengkel tapi segan mengambil tindakan itu m enghentikan latihannya, mendengus: “Kepala kerbau!”

“Apa?” “Lepaskan cara lama. Salah semua.” “Senapatiku lebih tahu daripada kau. D ia guruku.” “Senapati tak pernah dididik jadi prajurit” “D ia sudah pimpin kau dalam kemenangan,” bantahnya.

“Kalau terus mem bantah , kau takkan jadi prajurit yang baik.”

“D an siapa bilang aku harus jadi prajurit?” “Ada, yang jauh lebih berkuasa dari prajurit?” “Peduli apa?” “D an siapa kau kira bapakmu ?” pelatih itu jadi jengkel. “Siapa lagi?” “Senapati W iranggaleng? Bukan!” prajurit pelatih itu

menggeleng-geleng dan berkecap. “Siapa bilang Senapati itu bapakmu ?”

“Semua orang.” “Pemboh ong! Tak ada orang pernah bilang begitu.”

D an G elar merasa kehorm atan keluarganya telah dihinakan. Ia pun merasa dirinya sendiri dihinakan. Orangtuanya tak pernah bicara semacam itu, apalagi penduduk Awis Kram bil selebihnya.

Prajurit itu tertawa dan G elar semakin tersinggung. “Mem ang N yi G ede pernah melahirkan kau. N yi G ede

yang terhorm at itu. Tapi Senapati bukan bapakmu. Tidak pernah! Co ba katakan, apakah W iranggaleng pernah

mengatakan kau anaknya? Kau, pemboho ng!” Melihat G elar mu lai mengukuhkan pegangan pada

tom baknya segera ia berjaga-jaga sambil tersenyum. D an ia pun tahu telah mengh inakankeluarga dan pribadi yang

sedang dilatihnya. Juga ia tahu yang dihina itu takkan melupakan hinaan itu untuk seumur hidupnya.

“Jangan mencoba-coba gurumu, pelatihmu,” kata prajurit itu. “Kalau bukan karena mengh ormati Sang

Senapati dan N yi G ede, kepalamu sudah pecah. Lepaskan tom bak itu!”

Cu ping hidung bengkung G elar sudah kembang-kempis sebagai halnya Idayu bila marah.

“Kau marah. Pada waktunya yang tepat kau akan tahu Sang Senapati sungguh bukan bapakmu .”

Tetapi G elar sudah tak mendengar lagi. D arah yang telah menyesaki kepalanya mem bikin ia menjadi kalap dan menyerang dengan tom baknya.

Pelatih yang sudah sejak semula waspada itu mengelakkan semua serangan. Ia tahu, G elar bersungguh-

sunggu h hendak mem binasakann ya. Ia bersungguh- sunggu h bertahan.

Perkelahian dengan tom bak adalah perebutan kesempatan untuk dap at melemparkan senjata pada tubuh lawan. Mata tom bak hampir-hampir tidak dimainkan, tapi justru tangkai dua ujung yang silih ganti menyasar pada lengan untuk tidak dapat melemparkan mata senjata. D ua- duanya tidak menggunakan tombak lemp ar, tapi tombak pengawal. D engan tangkainya yang kuat dan panjang perkelahiannya m enyerupai perm ainan sodor.

G elar terus menyerang dan pelatih terus bertahan.

D alam suatu serangan yang keras pelatih itu melakukan tangkisan silang. Tombak G elar terlepas dari tangan tanpa

ia ketahui sebabnya. “Ambil lagi tom bakmu!” perintah pelatih.

G elar melom pat mem ungut senjatanya dengan mata tak lepas dari tangan pelatihnya. Ia takkan biarkan dirinya terkena tipu. Bocah itu berkisar dan dengan cepat melemparkan tombaknya. Prajurit itu m engelak lebih cepat dan menan gkap tangkainya, kemudian melemparkannya G elar melom pat mem ungut senjatanya dengan mata tak lepas dari tangan pelatihnya. Ia takkan biarkan dirinya terkena tipu. Bocah itu berkisar dan dengan cepat melemparkan tombaknya. Prajurit itu m engelak lebih cepat dan menan gkap tangkainya, kemudian melemparkannya

Tanpa diketahui oleh G elar, orang sudah datang merubung. D an G elar mulai melakukan serangan jarak pendek. N afasnya telah terengah-engah dan gerak-geriknya seperti kutilang menyambali belalang, cepat, sulit untuk dap at diduga. D an pelatih itu tetap tidak berkisar dari tempatnya. Si penyeran g berputar-putar mengitari, melom pat dan mengendap, berkelit dan m enjuju.

Seorang kepala regu bergumam: “Bukan orang, iblis kelaparan itu,” kemudian mem erintahkan: “Selesai!

Bubar!” Bersam aan dengan itu satu pukulan telah mem bikin jari-

jari G elar tak dap at mencekam. Tom baknya terlepas jatuh ke tanah. Cepat ia m engambilnya kembali.Tombak itu jatuh lagi. Jari-jarinya seperti terbuat dari kayu.

Ia dengar tawa di sekelilingn ya. D an dendam nya serasa akan m emecahkan dadanya.

“Pulang!” perintah kepala regu. Semua bubar. G elar berjalan paling belakang. Begitu ia

mem asuki bangsal ia disambut oleh wajah-wajah yang berseri bersuka-cita atas kegagalannya. D an dendamnya bergum ul bergu lung-gulung dengan kemurungan.

Cepat-cepat ia naik ke atas ambin, menutup mu kanya dengan bantal dan menah an tangisnya. Ia rasai airmatanya

mengalir hangat pada mu kanya. Ia marah pada diri sendiri karena tak bisa mem binasakan pelatih itu. D an ia ingin dekat lagi dengan emaknya, dengan bapaknya.

D an ia dengar gelak-tawa berderai seperti takkan habisnya mengejek kegagalannya. Setiap kata yang mereka lepaskan ia rasai gatal, panas dan m enggigit. Ia makin tidak D an ia dengar gelak-tawa berderai seperti takkan habisnya mengejek kegagalannya. Setiap kata yang mereka lepaskan ia rasai gatal, panas dan m enggigit. Ia makin tidak

“Hari ini takkan datang pengagum dan penyanjung!” seseoran g m elengking ria.

“Kalau bantal sudah tertutup mata….” “Itulah tanda hujan deras membasah i bumi….”

D an ingin sekali ia m embuang bantal dan berteriak ia tak takut pada siapa pun. Ingin – ingin – tapi seluruh tubuhnya menolak melakukan keinginannya.

“Siapa bilang habis pengagum habis pula penyanjung? Lihat, seorang wanita datang m embawa keranjang….”

“Mana G elar, anakku?” G elar m endengar suara wanita – suara lembut m emanggil-manggil.

“Itu, Bu, di ambin, sedan g patah hati, tak mau makan.” Ia rasai tangan halus seorang wanita merabai kakinya.

Kemu dian terdengar lagi suaranya: “G elar, anakku, bangun .”

“G elar! Bangun, kau!” kepala regu m emerintah.

G elar mengh ela nafas panjang untuk mendamaikan perasaann ya, bangun dan m enemui wanita itu.

“Aduh, kau sudah besar begini, G elar, sudah perjaka.”

D an G elar berhadapan dengan seorang wanita bermata agak sipit.

“Perjaka!” orang bersorak-sorak senang.

G elar dudu k pada tepi ambin. Juga wanita itu. “Aku baru dengar kau ada di sini. N ak. Lupakah kau

padaku? Orang yang menyambut kedatanganmu yang paling mu la, waktu kau dilahirkan?”

“N yi G ede,” bisik G elar, lupa pada perasaannya yang kacau sebentar tadi. Ia turun dari am bin, bersujud dan menyembah.

D an wanita itu merestuinya dengan usapan tangan pada kepalanya.

“Kau sudah berdestar begini,” katanya. “Aku ikut mengantarkan Senapatiku berangkat. Tapi tak ada aku lihat

dia. Kau pun tak kelihatan. G elar. Mengapa pakaianmu begini buruk? Tak dibekali secukupnya dari rumah? Keterlaluan Idayu. D atanglah ke kesyahband aran, G elar.”

“Tidak boleh, Ibu,” seseoran g mencamp uri. “Anak yang luar biasa nakalnya ini tak diperkenankan meninggalkan asram a tanpa titah G usti Adip ati, kecuali kalau sedang latih an.”

“Tapi prajurit pengawal lainnya boleh,” bantah N yi

G ede. “Ya, yang ini tidak.” “Baiklah,” sambungnya. “Ini kubawakan penganan

sekedarn ya. Kalau begitu akulah yang harus sering datang ke mari. Kau sudah punya kelengkapan prajurit. G elar?”

“Tak ada satu pun padaku kecuali itu,” ia menuding pada bungkusan pakaian.

“Em akmu mem ang keterlaluan.” “Apalah gunanya? Itu pun sudah cukup, N yi G ede.”

“D i rumah masih ada peninggalan Sang Senapati, pakaian, pedang dan empat bilah tom bak. N anti aku bawakan.”

“Jangan. Ibu.” seseoran g mencegah, “ia hanya sandera, tak boleh punya senjata sendiri.”

“Sand era!” pekik N yi G ede Kati. “Siapa bilang dia sandera? Tidak m ungkin!”

“Aku yang bilang. Ibu. Kebenarannya tak dapat diragukan.”

“Apa kesalahan W iranggaleng Sang Senapati?” Pertan yaan itu tak terjawab. Setiap orang tahu artinya

sandera: orang yang setiap waktu dapat dihabisi bila yang dilepas tak m enepati tugas.

“G elar! G elar!” ratapnya tiba-tiba. “Siapa yang menyebabkan semu a ini?”

Mendadak ia terdiam dan pandan gnya terpusat pada sesuatu yang jauh. Berbisik meneruskan: “Biar, G elar. Sabarlah dulu. Biar aku urus, N ak, semoga berhasil” ia mendehem. ‘Tinggallah tenang-tenan g di sini.”

Ia bersiap-siap, kemudian pergi bercepat-cepat. Tepat sebulan selam a di dalam asram a datanglah

beberapa orang dari Awis Krambil mengantarkan upeti. Mereka mampir untuk menem uinya: kepala desa dan para pemikul. Mereka mem bawakan untuknya pakaian dan perlengkapan prajurit: tiga bilah tombak lemp ar, sebilah pedang, sebuah perisai dari kayu sawo yang berukiran kala makara. Tetapi semua kelengkapan itu harus dibawa pulang kembali karena tidak diperkenankan. Beberapa lembar lontar yang terikat pada benang pilinan dan berujung jum bai adalah suara dari ibunya: “G elar, anakku. Kau beberapa orang dari Awis Krambil mengantarkan upeti. Mereka mampir untuk menem uinya: kepala desa dan para pemikul. Mereka mem bawakan untuknya pakaian dan perlengkapan prajurit: tiga bilah tombak lemp ar, sebilah pedang, sebuah perisai dari kayu sawo yang berukiran kala makara. Tetapi semua kelengkapan itu harus dibawa pulang kembali karena tidak diperkenankan. Beberapa lembar lontar yang terikat pada benang pilinan dan berujung jum bai adalah suara dari ibunya: “G elar, anakku. Kau

D an G elar mengerti benar apa yang tersirat di dalam lontar itu. Ia rasai selembar sembilu menyayat dalam hatinya. Ia teguhkan batinnya. Aku akan bertemu dengan emak! Pada suatu tempat. Ia tak punya persediaan lontar. Ia berusaha m endapatkann ya dari tam u-tamunya.

“Kau tak ada hak untuk menulis surat!” tegah kepala regunya. “Jangan m enulis.”

“Sam paikan sembah sujudku pada emakku yang mulia,” katanya dengan suara keras menan tang seluruh bangsal,

“telah kubaca lontarnya dan mengerti isinya,” dan ia persilahkan tamu-tamunya pergi sambil beberapa kali mengu capkan terimakasih.

Orang-orang sedesanya m elingkunginya dengan pandang belas kasih. Ia bercepat mem unggungi mereka, dan waktu mereka telah pergi semua ternyata para prajurit sedang ram ai-ramai m embaca lontarn ya.

Malam itu isi surat menjadi tertawaan seluruh bangsal, bahkan

dari bangsal-bangsal lain orang ikut mem eriahkannya.

G elar diam saja, tak dapat berbuat sesuatu apa. Oran g- orang ini memperlakukan aku seperti itu hanya karena aku sandera, setiap waktu dapat mereka bunuh.

Surat itu sudah tak mu ngkin jadi miliknya lagi. D an ia tak ingat semua yang tertulis di dalamn ya, kecuali suara ibunya yang memanggil mendayu-dayu: ‘pada suatu kali, di mana saja’. Ia tahu , si ibunya mengharapkan pada suatu kali nentukan ‘suatu kali’ itu dan ‘di mana saja itu? Jelas bukan emaknya.

Aku sendiri, ia m enentukan, tak lain diriku sendiri. Pada bulan berikutnya datang lagi penjenguk dari desa.

Sekali ini kepala desa tid ak ikut serta. Juga beberap a lembar lontar datang dan: “Aku dengar banyak ejekan ditimpakan pada dirimu. G elar, Aku sangat berprihatin. Kau dipanggil- panggil si betet. Mereka meringkus kau dan mempermain- mainkan hidun gmu, seakan-akan anakku tidak lagi mem punyai kehormatan dan harga diri, seakan-akan Senapatiku W iranggaleng belum berbuat apa-apa dalam hidupnya, seakan-akan Idayu tak pernah mencapai sesuatu pun. Aku tahu kau merasa terhina, dan kau tahu tidak lain dari aku sendirilah yang merasa lebih terhina lagi. Orang tua-tua kita mengajarkan tentang kehorm atanjdan harga diri. Itu di desa-desa, G elar, di kota rupanya orang sudah tidak mengenal lagi ajaran itu. Sudah sering kau kuceritai tentang Rama Cluring dan guru-guru lainnya. Cerita-cerita itu tidak akan sia-sia. Lihatlah bapakmu ! Tak ada oran g lain yang perlu kau lihat kecuali bapakmu. Senapati W iranggaleng adalah bapak yang terbaik untukmu . Tidak ada yang lebih baik. Tetaplah hormati dan cintai dia sebagaimana emakmu mengh ormati dan mencintainya, Sekali ini kepala desa tid ak ikut serta. Juga beberap a lembar lontar datang dan: “Aku dengar banyak ejekan ditimpakan pada dirimu. G elar, Aku sangat berprihatin. Kau dipanggil- panggil si betet. Mereka meringkus kau dan mempermain- mainkan hidun gmu, seakan-akan anakku tidak lagi mem punyai kehormatan dan harga diri, seakan-akan Senapatiku W iranggaleng belum berbuat apa-apa dalam hidupnya, seakan-akan Idayu tak pernah mencapai sesuatu pun. Aku tahu kau merasa terhina, dan kau tahu tidak lain dari aku sendirilah yang merasa lebih terhina lagi. Orang tua-tua kita mengajarkan tentang kehorm atanjdan harga diri. Itu di desa-desa, G elar, di kota rupanya orang sudah tidak mengenal lagi ajaran itu. Sudah sering kau kuceritai tentang Rama Cluring dan guru-guru lainnya. Cerita-cerita itu tidak akan sia-sia. Lihatlah bapakmu ! Tak ada oran g lain yang perlu kau lihat kecuali bapakmu. Senapati W iranggaleng adalah bapak yang terbaik untukmu . Tidak ada yang lebih baik. Tetaplah hormati dan cintai dia sebagaimana emakmu mengh ormati dan mencintainya,

G elar tak mem balas surat itu. Ia sengaja tak meramahi para penengok, yang tak berpesan sesuatu pun sampai mereka pulang. Satu hal yang diketahuinya, ada seorang di dalam asrama yang suka mem buang-buang waktu melapo rkan segala sesuatu tentang dirinya melalui orang lain ataupun langsung pada emaknya. D an ia kadang merasa berterima kasih kadan g pun merasa malu karena perbuatan orang tak dikenal itu. D an ia bermaksud m encari orang itu.

Ia kibar-kibarkan lontarn ya dan berseru-seru menan tang: “Ayoh, barangsiapa mau m erampas surat ini, ayoh sini!”

Ia seperti seekor jago yang sedang berkokok. D an ia tersenyum senang, senyum pertam a selam a dua bulan ini.

Tak ada yang tampil untuk merebutnya. Maka ia mem bacanya keras-keras, mengetahui surat itu tidak sepenuhnya tertuju pada dirinya, teta-pi juga pada pasukan pengawal pada um umn ya. D an orang-orang yang mendengar itu dud uk menekur seakan sedang mengh adapi taufan am arah dari Idayu sendiri. Juga kepala regu itu menundu k dalam.

0o-d w-o0

Sesampainya di rumah N yi G ede Kati dengan tak sabarnya menunggu-nunggu kedatangan suaminya. D an begitu Tholib Sungkar Az-Z ubaid datang segera saja ia menyerang: “Tak ada orang lain yang dap at berbuat begitu kejam sejak semula daripada Tuan. Keji! Bahkan pada anaknya sendiri! Tuan malu punya anak seperti dia maka kau m au binasakan dia sebagai sandera,”

“Ada apa kau ini, Kati?” Tholib Sungkar terheran-heran tak tahu sesuatu apa.

“Hanya Tuan seorang yang sering mengh adap Sang Adip ati hanya kau!”

Tholib Sungkar berubah airmu kanya dipanggil kau dan bukan tuan. “Apa kau ini?” ulangnya tersinggun g.

“Kau telah mengh asut. Kau! Kau bikin G elar, anakmu sendiri, jadi sandera,” tuduh N yi G ede.

“D ari rumah utam a ini, ke rumah Idayu sana, dan lahirlah G elar. Idayu sendiri yang berkata. Seluruh Tuban

tahu ceritanya, semua tahu, siapa G elar, kecuali G elar sendiri baran gkali, dan kau yang pura-pura tak tahu.”

“Apa kau ini, Kati?” “Tiga kali kau sudah ulangi pertanyaanmu, menunda

samp ai datang kebohongan baru kau buat dalam hatimu.” Tholib Sungkar Az-Zubaid mengam bil ton gkat dan

berusaha menghindar. Wanita itu mencegahnya dengan ancam an hendak menyeran gnya.

“Betapa kau hinakan Idayu. Kau paksa dia mengandu ngkan anakmu selam a sembilan bulan….”

“Bohon g! Tak ada cara begitu pada Sayid Habibullah Almasawa. Kau kira siapa Idayu dibandingkan dengan bidadari-bidadari lainnya?”

“D an mengapa mereka kau tinggalkan, dan mengh am bakan diri pada raja dan negeri kecil yang selalu kau hinakan? Mengapa kau diam saja? Biar aku panggil tukangkebun untuk dengarkan pertengkaran ini.”

“Stt. Mengapa oran g luar harus ikut dengar?” “D engarkan kata Idayu? Kaulah pula yang mengirimkan

W iranggaleng ke sarang Kiai Benggala biar terbunuh.” “Kati!”

“Kaulah yang mengada-ad a m engirimkannya ke M alaka dengan hanya uang! Kaulah pula yang meramp as G elar dari ibunya yang sendirian di desa, untuk disanderakan dan dihabisi, biar kau terbebas dari tuduhan umu m dan terbebas dari malu sendiri. Kau, buaya darat! Pembunuh dengan menggunakan kekuasaan orang lain! Katakan kalau semua itu tidak benar!”

“Tak satu pun benar,” Tholib Sungkar m enjawab tegas. “Baik. Mari aku seret kau ke pelabuhan , biar aku tuduh

kau di depan umu m,” N yi G ede Kati menan gkap tangan suam inya dan mulai menyeretnya.

“Jangan begini. Kati. Jangan bikin malu.” Wanita itu menyeretnya terus.

“Aku pukul kau,” Tholib Sungkar Az-Z ubaid, Syahbandar

melawan tarikan dan mengamangkan tongkat.

Tuban

itu

N yi G ede Kati mendadak melepaskan seretannya dan Syahbandar itu jatuh terjengkang di lantai. Ia melom pat mengangkang? dan menginjak kedua telapak tangan N yi G ede Kati mendadak melepaskan seretannya dan Syahbandar itu jatuh terjengkang di lantai. Ia melom pat mengangkang? dan menginjak kedua telapak tangan

“Hancur jari-jari ini,” pekik Syahbandar, “Biar remuk!” “Aku tak bisa menulis lagi nanti,” pekiknya. Tukangkebun berlari-lari masuk. Melihat tuannya sedang

dikangkangi istrinya sendiri ia tak m eneruskan niatnya, tapi segera menyurutkan langkah kakinya dan meruncingkan pendengaran di luar rumah sambil pura-pura bekerja mencabuti rumput.

“Peduli apa? Aku sendiri nanti menghadap G usti Adip ati.”

“Jangan, jangan, lepaskan jari-jariku, N yi G ede.” “Jadi

menghasut, memfitnah, mencemarkan keluarga sebaik itu? Kau takut pada W iranggaleng, maka kau carikan kuburan baginya di dalam jung. Kau kalah perbawa dari Idayu, maka kau rampas anak dan suaminya. Supaya dia menderita. Kau bagus, bagus sekali. Orang pandai dan tahu segala uang tak tahu tatasusila!”

kau

mengaku

N yi G ede Kati melepaskan akan injakannya dan menyepak kepala suam inya.

Syahbandar Tuban dud uk dan memijit-mijit tangan.

D ilihatn ya tarbus merahnya terpelanting jauh. Ia jangkau ton gkat dan m encoba mengaitnya.

“Pelindu ng kepala mu lia!” N yi G ede menyepak topi itu dan jatuh ke atas pangkuan suaminya.

“D ua kali kau aniaya aku. N yi G ede.”

“Kaulah yang menganiaya mereka. Aku mau mengh adap sekarang juga.”

Tholib Sungkar m elompat berdiri dan menubruk istrinya. “Jangan, jangan, G usti Adipati sedan g gering.” ”Mengh adap Patih Tuban Sang Wirabumi.” “Jangan, G usti Patih sedang ke Malaka.” “Aku mau ke pasar dan samp aikan semua ini pada

semua oran g,” ancam N yi G ede. “Jangan Kati, jangan. Katakan saja apa maumu. Aku

akan penuhi, N yi G ede.” “Mu lut tak pernah bisa dipercaya begini!”

“Baik. Usahakan dalam dua bulan ini agar G elar bebas dari sandera. Biar dia kemudian kembali ke desa dan berkumpul dengan emak dan adiknya.”

“Baik, baik, akan kuusahakan. Tapi bukan aku yang berkuasa. Kau sendiri tahu.”

“Usahakan , kataku. Aku tunggu hasilnya. Kalau dia samp ai dihabisi dalam dua bulan ini, kaulah… awas, kau tahu apa bakal terjadi atas dirimu.”

Sejak hari pertengkaran itu kedua oran g suami-istri itu tidur dan hidup berpisahan. Tholib Sungkar As-Zubaid terpaksa makan di warung dan mengh abiskan hari-harinya yang menjemukan dengan minum arak. Ia pulang hanya di malam hari, apa pula kapal-kapal Atas Angin tak juga

kunjung berlabuh.

D an N yi G ede Kati tak lagi menegurnya. D ip asangn ya selembar papan di ruangkerja suaminya, dan diguratkannya satu coretan setiap hari.

D an sudah beberapa kali Syahbandar menghadap untuk mendongeng. Ia tak juga persembahkan sesuatu tentang nasib G elar.

N yi G ede tak pernah menan yakan. Ia hanya menunggu coretan yang ke enam puluh, dan ia akan bertindak.

D an Tholib Sungkar Az-Zubaid memang tak ada maksud untuk mempersembahkan sesuatu kecuali m embuai Sang Adipati dalam dongengan….

0o-d w-o0

Mem asuki bulan ke tiga G elar dianggap lulus dalam naik kuda dan mempergunakan tom bak di atas tanah.ua

pelajaran yang harus ditempuhnya dalam dua bulan mendatan g adalah memainkan tom bak di atas punggung kuda dan m emp ergunakan cam buk perang.

D alam dua bulan itu ia belum juga memp eroleh seorang sahabat. Seoran g sandera menduduki tempat terhina dan terendah dalam tata hidup Tuban. Sahabat seorang sandera dianggap pula orang hina dan dijauhi. D an kini ia berdiam diri bila diejek. D an siapa pula tidak mengejek dan mengh inanya? Tampangn ya adalah lain dari pada yang lain. Bila kulitnya agak cerah, tua, dan tidak lim a jari lebih rendah, oran g akan bertemu dengannya sebagai Syahbandar Tuban Sayid Habibullah Almasawa. Bila ia teringat pada sesuatu yang lucu di rumah dulu dan tersenyum, bahkan senyumnya pun sama dengan tuan Syahbandar sewaktu dia masih bayi.

“Apakah bedanya dibunuh sebagai bayi dengan sebagai sandera?”

D arah G elar tersirat Ia tak ragu-ragu lagi sekarang akan sindiran orang, bahwa ia dianggap sebagai anak tuan

Syahbandar, bahwa emaknya tidak mem punyai kesetiaan pada Sang Adipati, bahwa setiap waktu ia dap at dibunuh.

Suara ibunya terdengar semakin keras mendayu-dayu: Em aknya masih mengh arap dapat bertemu denganmu. ada suatu kali, di mana saja. Hanya ibunya dan hanya adiknya yang sekarang ini mencintainya. Ia ragu-ragu pada cinta Sang Adipati. M ak, aku dengar suaram u, Mak! Aku dengar! Anakmu tidaklah tuli. Tunggulah aku, Mak.

G elar mengaduh, meliuk-liu k pinggang,, merintih, pura- pura sakit perut, la keluar untuk pergi ke belakang. Hari terang bulan. Beberapa orang dipapasinya. Ia berlari-lari kecil sam bil mengaduh. M akin jauh berjalan, makin sunyi

D i tempat pembuangan air ia dapati masih ada seorang di sana. Ia menunggu sampai oran g itu pergi. Kemu dian sebagai pencuri ia mengendap-endap mendekati kandang kuda.

“Sultan! Sultan!” bisiknya mem anggil-manggil. Binatang yang dipan ggilnya bangun berdiri dan

meringkik pelahan.

G elar masuk ke dalam kandang, menariki palang-palang pintu, mem eluk kuda itu pada lehernya, dan mem bawanya keluar. Palang-palang ia pasang lagi. Sekali lagi ia peluk leher kuda itu, berbisik: “Bawa aku pulang. Sultan, jangan gusar, perjalanan jauh, malam pula. Jangan tidur malam

ini.” ia melompat ke atas, tanpa abah-abah, tanpa sanggu rdi.

Bocah dengan kudan ya yang tinggi besar itu mu lai berjalan lambat-lambat meninggalkan daerah kandan g, mem asuki padang alang-alang. Setelah jauh dari daerah perum ahan G elar m emacunya ke jurusan jalanan negeri

Malam terang bulan itu tiada angin m eniup. Pepohonan berdiri tenang seperti tak tumbuh di atas bumi. Langit tiada berawan. D an bintang-bintang redup bertebaran enggan di angkasa bening. Bulan itu seakan tidak akan pernah berkisar dari tempatnya. Semua seperti batu. Yang bergerak hanya kaki kuda yang menderap cepat dan debu yang mengepul di belakang.

D ari suatu jarak terdengar gonggongan anjing hutan.

G elar tak mendengar. Yang terdengar hanya suara emaknya dan nafas Sultan. Ia tak perlu menengok ke belakang. Yang di depan adalah hidup dan kebebasan, yang di belakang adalah maut dan penindasan.

D an Sultan akan jauh lebih cepat dari para pengejarnya, biarpun ditam bah dengan tiga lemparan tombak.

0odw-o0