Idayu, Kamaratih Tuban

10. Idayu, Kamaratih Tuban

Kumbang-kum bang itu berputar-putar mengigal dalam tingkahan gamelan yang ria, seakan tak ada sesuatu pun yang mengancam kehidupan ini. Pakaian mereka gemerlapan mengeijap-ngeijap berkilauan ungu dan me rah dan kuning dan hijau be rma in-main dengan sinar lamp u- lampu yang menyala dari semua penjuru. W arna-warna yang mengikat pandan g dan gerak-gerik yang mem ukau perasaan.

Seakan langsung dari langit melawan serom bongan kum bang jantan, dan buyarlah sekelom pok betina yang berbahagia mengigal-ngigal dalam kedamaian itu. Mereka kemudian berkitar-kitar, berkelomp ok dan pecah. Sekelomp ok lagi dan pecah, berkelompok lagi dan pecah lagi, akhirnya jadi pasangan-pasangan asyik-masyuk yang berkobar-kobar. Sepasang demi sepasang terbang mengh ilang dibawa oleh impian untuk mereguk hidup samp ai ke dasar cawan.

Yang tertinggal hanya sepasang saja, berputar mengigal bercumbuan. dan gamelan mu lai menderu, memu ntah kan

gelora dan gairah mahluk untuk menunggalkan dua menjadi satu, dan satu untuk mem banyak dan mem biak mengisi seluruh buana dengan titik-titik kasihnya.

Mendadak gamelan jatuh mengh iba-hiba dan pasangan kum bang itu kehabisan cum bu, kekeringan rayu.

Seekor kum bang jantan lain datang seakan dari alam lain, lebih besar, lebih gesit, lebih perkasa. D icerai- beraikannya pasangan itu. G amelan mengendap-endap ragu dan kum bang betina itu merana melihat sang kekasih tercam pak. Berdegup-degup gamelan meningkahi si betina yang lari terbang berputar-putar dalam kejaran jantan perkasa.

Betina itu mengendap, hinggap bersembunyi di balik sekuntum bunga. Si jantan perkasa terbang mengh ilang

kehilangan arah. Tinggal si betina sepi sendiri, meratapi sepotong dari sayap kekasih yang sudah compang-camping, tersangsang pada selembar daun bunga.

D an kum bang betina yang tertinggal sepi sendiri itu adalah Idayu. Kamaratih Tuban.

D i tempat yang ketinggian, di atas kursi kayu cendana berukir, dudu k Sang Adipati. Pandangnya gelap menembusi ruang dan

waktu. Pemu satan seluruh birah inya mem bisukan seluruh bunyi dan menghilangkan semua

gerak. Yang tertangkap oleh batinnya hanya tubuh yang mem ancarkan daya tarik tiada terlawankan itu: Idayu! Idayu!

Bila pemusatarinya terputus oleh kenyataan, ia seorang adipati, seorang penguasa di antara para kawula, kendorlah

semua ketegangan. la mengh ela nafas dan menyandarkan punggung pada kursi, direm as-remasnya jari-jarinya sambil menebarkan pandang pada semua orang yang duduk melingkari kalangan di atas lantai di hadapann ya sama dan mendesiskan keluh kesakitan.

Sebelum Idayu turun menari di kalangan, satu barisan gadis para pembesar telah menari bersama memperagakan Sebelum Idayu turun menari di kalangan, satu barisan gadis para pembesar telah menari bersama memperagakan

Idayu! Idayu! Hanya Idayu! Mengapa anak desa perbatasan ini mampu menaklukkan aku? Sekali-dua ia mengh embuskan

dan ratap yang ditenggelamkan oleh bunyi gam elan. Seakan aku bukan se- orang tua, tapi seorang perjaka belasan tahun!

nafas

keluh

D i belakang Sang Adip ati, berdiri di pinggiran, adalah Tholib Sungkar Az-Z ubaid, berjubah genggang, bertarbus merah. Matanya menyala-n yala penuh nafsu berahi, menjam ah dan menelan tubuh yang sedang berlenggang- lenggo k menari itu. Ia tak terbiasa m endengarkan gam elan, tak terbiasa melihat tarian Jawa. N am un semua itu terasa jadi satu kepaduan yang indah pekat, suatu keindahan yang mem bersit dari pedalaman jiwa manusia, tak pernah ia dap atkan pada tarian Spanyol dan Portugis.

Idayu nampak seakan terbang, menggeleng-gelengkan kepala dan mengipas-ngipaskan sampur pada mu kanya,

seperti kum bang betina sesungguhnya yang sedang kehilangan akal dan berputus asa.

Ah, tubuh yang langsin g berisi dan gerak-gerik yang mem anggil-m anggil untuk bercumbu itu. Kerjap mata dan geletar jari-jari yang mengu ndang bercengkeram a dan bercinta itu….

Tangan Tholib Sungkar Az-Zubaid mengepal-ngepal, seakan seluruh tubuh yang indah itu telah berada dalam genggam annya. Bahkan kulit penari di hadapann ya itu pun utuh bersinar-sinar dalam kemudaannya!

D alam meratapi sayap kekasihnya yang compang- camp ing, mata kum bang itu terayunkan ke atas, pada langit, menunggu datangnya kekasih baru. D an Tholib

Sungkar Az-Z ubaid merasa dalam harapannya, kekasih baru itu tidak lain dari dirinya.

D i tempat duduknya, di samping Sang Adipati, agak di belakang dan di atas tikar di lantai, Sang Patih hampir- ham pir tak bergerak, takut kalau-kalau kehilangan mata ran tai keindah an yang bertaut-tautan antara bunyi gamelan dan gerak si penari. Serasi yang padu itu mem bawanya terayun-ayun ke dalam pukauan alam mistik yang tak tertafsirkan. Lenyap terdesak segala kesulitan dan kepayahannya mengu rus pemborongan rempah-rempah dari Maluku dan pengaturan kapal-kapal dan awaknya.

Tiba-tiba kum bang yang tertinggal sepi sendiri itu mengepakkan sayap dengan kejang, jatuh di bumi dan menggelepar. G amelan mendadak berhenti. Idayu menata diri, bersimpuh dan menyembah Sang Adipati, hilang mengu ndurkan diri dari kalangan.

D ari-sana sini terdengar terbatuk-batuk dan m endeham. Pertunjukan selesai. Sang Adipati meninggalkan pendopo dan langsung

masuk ke peradu an. D ikebaskannya semua gam baran dan bayangan tentang Idayu. Sebuah pintu rahasia telah mem bawanya ke sebuah ruangan sempit. D in yalakannya sebuah pelita gantung dan dengan itu membuka sebuah pintu lagi. Ruangan sempit itu menurun dua-tiga depa ke

dalam tanah, dan makin lama makin dalam. Ia sedang mem asuki ruangan rah asia.

Hanya seorang dalam satu generasi mengetah ui adanya ruangan rah asia ini. Pengganti Sang Ranggalawe yang mem bangun kannya. Jalan yang bersambung dengan rongga bawah tanah ini mem anjang hampir dua ribu depa, dan dikerjakan oleh bajak-bajak yang telah tertangkap. Penggan ti Sang Ranggalawe tak sudi mengu langi nasib Hanya seorang dalam satu generasi mengetah ui adanya ruangan rah asia ini. Pengganti Sang Ranggalawe yang mem bangun kannya. Jalan yang bersambung dengan rongga bawah tanah ini mem anjang hampir dua ribu depa, dan dikerjakan oleh bajak-bajak yang telah tertangkap. Penggan ti Sang Ranggalawe tak sudi mengu langi nasib

Ujung terakhir dari rongga ini adalah sebuah bukit rendah yang di-rimbuni oleh semak-belukar dalam hutan larangan.

Setiap Adipati Tuban digantikan oleh anaknya, ia mendapat petunjuk memasuki rongga ini dan mendap at

kewajiban untuk setiap bulan mem eriksa dan memperbaiki dengan tangannya sendiri pada bagian-bagian yang rusak.

Balok dan papan kayu jati tua merupakan dinding yang menolak gugurnya tanah. Tak ada tanda-tanda kayu itu melapu k selam a lebih dari dua ratus tahu n ini. Udara yang basah pengap pun tak kuasa m erusakkannya: Sebentar Sang Adip ati berpegangan pada salah sebuah balok. D engan tangan lain ia m enanting pelita gantung.

G ambar Idayu kembali mengunjungi pikirannya, dan dibawanya masuk ke dalam salah sebuah rongga. Ia masih tak rela sebelum mati tidak menyentuh hasil Awis Kram bil yang terindah itu. Tetapi Idayu telah jadi milik seseoran g, telah disaksikan oleh seluruh pendudu k Tuban Kota. Ia tidak boleh meletakkan tangan di tengah-tengahnya. Ia harus mati tanpa menjam ahnya. Ya, biar pun ia telah kirimkan W iranggaleng jauh ke barat. Tidak, ia tak boleh lakukan itu.

D ari sebuah lemari batu berlapis kayu di dalam nya ia keluarkan selembar kulit yang telah bercendawan.

D isekanya lapisan putih cendawan dengan pangkal lengan D isekanya lapisan putih cendawan dengan pangkal lengan

Tak lama ia m emp elajarinya. D ikembalikan barang itu di tempatnya semula dan bersiap-siap hendak melakukan pengawasan terhadap dinding dan penyangga. Udara yang lembab dan m encekik itu m embatalkan niatnya. Mem ang ia tak pernah berjalan sam pai ke ujung sana. D ahulu pernah ia tutup dengan papan di dekat ujung, karena ia takut kalau- kalau ular m emasuki dan menjadikan sarangnya.

Sam bil berjalan balik ke bilik peradu an gam bar peta dan gam baran Idayu silih-berganti mengisi pikiran nya. Setiap kali ia hendak m elukiskan tempat-tempat di mana Peranggi berada untuk mendapatkan kesimpulan gerak mana lagi yang akan diambilnya, gam baran Idayu juga yang muncul.

Sesampainya dalam peraduan ia tidak juga mengantuk. Ia keluar dan menuju ke keputrian.

Sepulangnya dari pendopo kadipaten Sang Patih mem buat satu garis pada sebilah papan di mana tertulis

nam a W iranggaleng dengan huruf Jawa. Pada papan-papan yang lain tercantum nam a petugas laut dan darat yang bertugas di luar negeri. D an coretan pada papan juara gulat itu semakin banyak juga, namun belum juga utusan itu pulang dari Jepara.

Tholib Sungkar Az-Z ubaid berjalan cepat-cepat pulang. Langkah nya panjang-panjang dan jubahnya diangkatnya tinggi-tinggi seakan sedang berjalan di atas becekan.

D id apatin ya N yi G ede Kati telah nyenyak dalam tidurnya. Sekilas ia pandangi mulut wanita yang ternganga, melelakan giginya yang mulai kurang hitam.

Ia Ia

Ia nyalakan sebatan g lilin baru dan berjalan menuju ke dap ur. D i atas sebuah meja kayu kasar di ruangan dapur terdapat sebuah namp an, di atasnya berdiri gendi berisi air dan sesisir pisang susu. Ia keluarkan sebuah bungkusan dari saku di balik jubah. Dituangnya sedikit serbuk ke dalam gendi itu, diusap-usapnya gendi itu sambil tersenyum dan menganggu k.

Suatu suara yang mencurigakan terdengar dari kejauhan. Buru-buru lilin ia padam kan. Ia tinggalkan dapur dengan

tangan m enggerayang. Tak lebih dari setengah jam kemudian muncul Idayu

mem bawa pelita gantung ke ruangan dapur. D iambilnya nam pan berisi gendi dan sesisir pisang susu dan bersiap-siap hendak pergi lagi. Ia mu lai melangkah balik. Terhenti. Sesuatu telah menyentuh kakinya. Ia letakkan kembali nam pan dan menyuluhi lantai. Sebatang lilin tergolek di bawah. Ia pungut benda itu, memp erhatikannya sebentar dan

meletakkannya di atas meja. Kemu dian ia meninggalkan ruangan dapur. Betapa keras desau an gin dan deburan laut malam ini.

Ia selalu berusaha untuk tidak mendengar. Justru karenanya terdengar lebih keras dan menggelisahkan

pikiran nya. Sekiranya suaminya ada di rum ah, sekalipun tidak selalu di dekatnya, ia taklcan sesunyi itu, sewas-was ini, dan sekeras itu deburan laut dan desau an gin terdengar.

Sesampainya di dalam kamarnya sendiri ia letakkan nam pan di atas meja, juga pelita itu. Kemu dian sambil berdiri ia membuat sembah meng-ucap kan syukur pada Hyang W idhi karena tarian telah ia lakukan dengan baik tanp a kesalahan. Ia tak tahu ciptaan siapa tarian itu. Ia Sesampainya di dalam kamarnya sendiri ia letakkan nam pan di atas meja, juga pelita itu. Kemu dian sambil berdiri ia membuat sembah meng-ucap kan syukur pada Hyang W idhi karena tarian telah ia lakukan dengan baik tanp a kesalahan. Ia tak tahu ciptaan siapa tarian itu. Ia

Ia lepas cundrik dari sanggul dan jatuhlah ram butnya terurai menutupi seluruh bahunya yang tertutup kain bahu itu.

Ia telah melangkah hendak keluar untuk menggosok gigm ya dengan tepung arang. Tak jadi. Ia merasa lapar dan menan gguh kan niatnya. D ipilihnya sebuah pisang terbaik.

Seekor kecuak temyata bertengger tanpa curiga pada ujung buah itu, mengatasinya dengan kumis panjangnya

berayun-ayun seperti sedang menegur bagaiman a tarianmu semalam ini?

D engan cundriknya Idayu menepak binatang ramah itu samp ai jatuh ke lantai dengan kumis dan beberap a di antara kakinya terpenggal.

D an angin meniup kencang di luar, bersuling-suling di sela-sela genteng. Api pelita itu agak bergoyang. Idayu melihat ke atas. Tak ada sesuatu yang nampak kecuali langit-langit dari jajaran papan.

D engan diam-diam ia kupas pisang dan mem akannya kemudian menaruh kulitnya di atas nampan di atas meja. Setelah itu ia pun minum dari gendi.

Sekarang ia bergerak hendak keluar untuk menggosok gigi. Setelah itu, sebelum tidur, ia akan mem bacakan

mantera untuk keselam atan suaminya. Tiba-tiba dirasainya kepalanya menjadi berat. Kekuatan dengan ccpat seakan tersedot keluar dari tubuhnya. Penglihatannya mu lai berayun dan suram. D engan langkah goyah ia berjalan menuju ke am bin. Ia rasai kepalanya menekan berat pada tubuhnya. Ia limbung. Cepat-cepat diraihnya am bin agar mantera untuk keselam atan suaminya. Tiba-tiba dirasainya kepalanya menjadi berat. Kekuatan dengan ccpat seakan tersedot keluar dari tubuhnya. Penglihatannya mu lai berayun dan suram. D engan langkah goyah ia berjalan menuju ke am bin. Ia rasai kepalanya menekan berat pada tubuhnya. Ia limbung. Cepat-cepat diraihnya am bin agar

D engan tangan satu ia telah berpegangan pada ambin. Ia masih sempat mendengar cundriknya jatuh di lantai. Ia ingat pada pintu yang belum dipasak, dan ia tahu harus mem asaknya dulu. Ia tahu bagaimana pegangannya pada tepi ambin lepas tanpa semaunya sendiri. Ia merasa tubuhnya jatuh di lantai dan perasaannya berayun-ayun di awang-awang. Ia heran dan gugup, tetapi tak dapat berbuat sesuatu . Tubuhnya serasa bukan tubuhnya sendiri. D an ia terkapar di lantai. Seluruh kesedaran tersedot keluar dari badan . Yang tersisa hanya suatu kesuraman.

Pada waktu itulah masuk Tholib Sungkar Az-Zubaid ke dalam kamar. Ia telah tidak berjubah lagj, tetapi bersarong dan berbaju kalong. Tarbus pun tiada pada kepala dan ton gkat tiada di tangan. D itutupnya pintu dan dipasaknya dari dalam. D iam bilnya pelita gantung dari atas meja dan disinarinya wajah Idayu yang terkapar di lantai, tertidur.

D iu sap-usapnya pipi wanita itu. Pelita kemudian dijatuhkannya. Diangkatnya tubuh wanita itu dengan hati- hati dan dengan hati-hati pula digolekkannya di atas am bin….

Keesokannya matari telah tinggi di langit setelah dengan susah-payah m enerobosi dasar laut Pintu kam ar gandok kiri

itu masih juga belum terbuka. Di gando k kanan para nakhoda dan saudagar telah meninggalkan temp atnya masing-m asing untuk pergi ke kota atau mancal berpesiar. EM dapur kesyahbandaran N yi G ede Kati sudah sibuk mem asak.

Idayu belum juga muncul.

W aktu menara pelabuhan mengirimkan taluan canang ke semua mataangin, Idayu baru mem bukakan mata. Tubuhnya belum juga bergerak. Ia terbangun dari suatu impian aneh. D an ia mu lai mengingat-in gat impian itu. Ia menggeleng tak memp ercayai. Matanya dikocoknya. Menengok ke arah pintu. Ia ragu-ragu, tersentak dud uk.

D ilihatn ya pasak pintu tidak terpasang. Juga tidak berdiri di tempatnya. Siapa gerangan telah mem indah kan dari tempatnya yang biasa?

Ia terkejut waktu pikirannya menduga-duga baran gkali ada oran g masuk ke kamamya atau kah G aleng sudah

pulang? Ia hendak melom pat turun. Tapi tubuhnya dirasainya

sangat lemah. Pelan-pelan ia turun dari am bin. Kakinya tersentuh pada cundrik yang tergeletak di kolong.

D ip ungutnya senjata tajam itu dan dimasukkan ke dalam sarongnya yang juga tergeletak di lantai.

Ingatann ya dikerahkan untuk meraih waktu semalam sebelum tidur.

Ia yakin semalam belum lagi naik ke atas am bin. Matanya terbeliak mendadak. D i tepian langit-langit

dilihatnya serombongan semut berpawai menggotong kaki kecuak. Pelita gantung itu masih menyala tetapi tidak di tempat yang semestinya. D an ia masih dapat mengingat dalam impian: seseorang m engangkatn ya ke atas am bin dan hembusan nafasnya meniup pada m ukanya. Sayup-sayup ia dengar suara yang dikenalnya itu merayukan kata-kata cumbu pada kupingnya.

Ia m emekik, tetapi tak ada suara keluar dari mu lutnya. Kekacauan merangsan g pikirannya. Ia melompat ke

am bin. Selim utnya masih terlipat rapi di atas bantal. Tapi am bin. Selim utnya masih terlipat rapi di atas bantal. Tapi

Ia terkejut, tersedar sedang dalam keadaan telanjang bulat. Tak mungkin! teriaknya dengan suara menggigil dalam hati. Pastilah mungkin semalam telah kulepas.

Ia periksa tubuhnya, dan dirasainya ada bekas-bekas dari impian semalam.

Ia terduduk lemas. Bersimpuh ia dan menelungkup pada tepian ambin dan terhisak-hisak: “D ewa Batara! Impian apakah yang kau berikan padaku ini?”

Mendung bergulung berpusing-pusing dalam hatinya. “Mengapa kau jadi begini, N ak?” N yi G ede Kati

menolongnya berdiri. “Kau sakit?” Ia berdiri sambil memungut kainnya yang terkapar di

lantai dan mengenakan nya. D engan langkah lunglai ia pergi ke tempat m andi.

Sehari itu ia tak makan. Juga tak bicara. D an sejak hari itu ia namp ak murung. Tetapi impian itu mem burunya

terus. Ia menggigil, menyebut, menan gis, mem ohon, mem baca mantera….

Tiga hari kemudian, tengah malam, ia mengh adap pada Hyang W idhi, mem ohon: “Kalau impian itu benar, duh

G usti, apalah gunanya hidup yang kau berikan padaku ini? Ambillah dia kembali, G usti.”

D an Hyang Widhi tidak mencabut hidup yang diberikan kepadanya.

Pada hari yang ke sembilan ia ulangi menghadap. Juga Hyang Widhi tidak mencabutnya. Dan impian itu bukan sekali saja terjadi. Setiap Sang Adipati memanggilnya untuk Pada hari yang ke sembilan ia ulangi menghadap. Juga Hyang Widhi tidak mencabutnya. Dan impian itu bukan sekali saja terjadi. Setiap Sang Adipati memanggilnya untuk

Pernah ia menduga: di dalam kamar tinggal ini baran gkali ada juga gandarwa terkutuk. Ia telah taburkan tepung garam pada pojokan-pojokan dan telah ia pasang sesaji, ia pun telah bakar dupa dan setanggi. Tanpa hasil. Tetap juga Syahbandar Tuban Sayid Habibullah Almasawa datang berkunjung di dalam impiannya, dan mem bujuk, dan merayu, dan mem eluknya, tindakan demi tindakan samp ai seluruh percintaan selesai. Ia m asih saja dapat rasai sentuhan jenggo t, kumis dan cam bang-bauknya.

D alam alam jaga pasti aku akan melawan, pikirnya. Mengapa dalam alam impian tak dapat?

Ia pun ucapkan mantra-m antra penolak gand arwa sebagaimana pernah dipelajari dan dihafalnya. Juga tanpa daya.

Pernah juga ia berpikir: mungkin semua ini pekerjaan Tuan Syahbandar yang mempunyai daya sihir unggu l. D an

pikiran itu saja sudah mem bikin ia bergidik, merasa diri tak ada kemampuan melawannya kecuali bersandar pada perlindungan H yang W idhi.

Pernah juga ia bertekad untuk meninggalkan kesyahbandaran dan pulang ke desa. Tetapi sang Adipati

tidak pernah mengijinkannya dan ia tak berani mem persembahkan alasan.

Ru panya belum lagi cukup tersiksa batinnya selam a ini: ia rasai tubuhnya sendiri mu lai berubah. Ia mengandun g. Sekali lagi diberanikannya hatinya menghadap Sang Adip ati. D an ini terjadi pada suatu sore di beranda belakang. Ia dudu k bersimp uh di lantai. Sang Adipati di am bin kayu berukir.

“Kau pucat dan kurus, Idayu, Kamaratih Tuban. Ada apa gerangan, pujaan Tuban?”

”Ampun, G usti sesembah an patik, justru itulah sebabnya patik datan g m enghadap. Limpahkan kiranya ampun G usti Adip ati pada patik, karena patik berhalangan untuk m enari dalam beberapa bulan ini.”

”Ah-ya, Idayu, agaknya kami mengerti. Barangkali kau mengandu ng.”

“D emikianlah adan ya, G usti sesembah an patik.” “Berbahagialah kau. Kata oran g tua-tu a, anak-anak

berbahagia akan dilahirkan dari percintaan yang sejati. Berbahagialah anakmu itu kelak, Kamaratih T uban.”

D alam dud uk menekuri lantai ia teringat pada suaminya yang belum juga pulang. D an ia ingat pada pesannya untuk mem bela diri. Ia bersedia mem bela diri dan temyata dalam impian tidak punya kemampuan. “Adakah lagi yang hendak kau persembahkan?”

“Ampun, G usti, bila diperkenankan, patik memohon diperkenankan pulang ke desa Gusti.”

Sang Adipati tertawa ramah dan tulus. ‘Tidak senangkah kau jadi istri punggawa maka minta

pulang ke desa?” Ia bangkit mendekati penari kenamaan itu. W aktu tangannya telah samp ai pada kepala Idayu dan hendak mem belai ram butnya, segera ia menariknya kembali.

“Jangan,” larangnya setelah dud uk kembali di am bin. “Suam imu belum juga pulang. Kalau kau perlukan seseoran g untuk mem bantu atau menem animu di rumah….”

Pada waktu itu menteri-dalam Kadipaten datang bersembah , bahwa segala telah dipersiapkan untuk Idayu.

“D engar, Idayu, seluruh Tuban dan kami sendiri sangat mengh argai segala yang telah kau pertunjukkan di hadap an kawula Tuban dan kami selam a ini. Kau sekarang mengandu ng. Lama takkan menari. Biar pun begitu kami tak berkenan mem biarkan kau pulang ke desa. Inilah hiburan untukmu, majulah Idayu, dan terimalah.” Idayu mengesot maju dan menerima bungkusan dari tangan Sang Adip ati.

“D an sejak hari ini. Idayu, kami berkenan mengangkat kau dengan gelar N yi G ede,” kemudian pada menteri-

dalam , “hendaknya dimasyhurkan anugerah gelar ini pada sore hari ini juga,” dan kembali pada Idayu, “pulanglah kau, N yi G ede, sejahtera untukmu !”

Seseorang wanita mu da mengantarkan nya pulang. D an sejak itu ia m enjadi pem bantu dan teman sekam am ya.

Anugerah gelar itu dibenarkan oleh seluruh Tuban. D an berita tidak resmi tidak kurang menariknya: Kamaratih

Tuban mu lai mengandung. Para wanita tua mu lai sibuk menunggu kedatangan sang bayi hasil percintaan berpribadi semacam itu yang kelak akan jadi cerlang-cemerlang dengan kasih para dewa, akan menjadi kebanggaan seluruh negeri di kemudian hari.

Orang tua-tua pun pada berbondong-bondong mengerum uni pintu gerbang kesyahbandaran. D an Pam an Marta, tukang kebon itu, meneruskan pesan dan sum bangan kepada Idayu.

Sebaliknya Idayu semakin berkecil hati. Semakin hari ia semakin kurus dan merana. W ajah nya pucat kehijauan sehingga pembuluh darah nya seakan hendak keluar dari balik kulitnya.

Ia jaran g keluar rumah, lebih banyak menggeletak di am bin, dengan tempolong menunggu di bawahnya untuk setiap waktu menerima segala apa yang dimuntahkannya dari mu lutnya. D an pembantunya dengan sabar memijiti tengkuk dan punggungnya tanpa mengu capkan sesuatu kata.

D an bila malam telah larut dan wanita muda dari kadipaten itu telah terlelap di pojokan, mu lai teriakan- teriakan itu meraung dalam sanubarinya: Anak siapakah kau yang berada di bawah jantungku ini? Anak Kang

G aleng. Bukan, dia anak tuan dalam impian itu. Bukan, dia anak Kang G aleng.

Telah beratus, mungkin beribu kali ia mencoba meyakinkan diri sendiri: ”Kau anak Kang G aleng, N ak, anak Kang G aleng, tidak bisa lain. ” Sam bil mem belai perutnya yang semakin besar juga. “Tak ada gandarwa atau drubiksa bisa buntingkan manusia. N ak, kau dengar aku? Kau anak Kang G aleng.”

N am un tetap ada suara lain melengking dengan nada tinggi memancar dari pedalaman hati. D an suara itu

mengatasi yang lain-lain: Itu anak tuan Sayid, tuan Syahbandar. Jangan coba-coba bohongi diri sendiri. Anak Sayid! Sayid yang sakti mantraguna, Idayu! Tetap tak ada seorang pun dapat diajaknya bicara. Maka ia pun mem bisu tentangnya.

N yi G ede Kati pernah menegum ya: “Banyak wanita tak bosan-bosannya memo hon untuk dikaruniai anak. Kau, Idayu, mengapa mu rung seperti tak rela mendapatkan karunia?”

Ia semakin kurus juga dan ketenteraman batinnya tak juga pulih. Kadang-kadang ia rasai tangan-tangan maut menggerayangi kakinya. D an dikeraskan hatinya dengan Ia semakin kurus juga dan ketenteraman batinnya tak juga pulih. Kadang-kadang ia rasai tangan-tangan maut menggerayangi kakinya. D an dikeraskan hatinya dengan

Tak pernah ia merasa sedekat sekarang dengan Hyang W idhi. Batas antara hidup dan mati itu kini sunggu h- sunggu h telah kehilangan keseram an dan kesungguhan.

D an: Ya, Batara, biarlah Kang G aleng tahu lebih dahulu anak ini anaknya atau bukan. Bila tidak, biarlah dia puaskan kerisnya pada dadaku sebagaimana telah jadi haknya, karena hidup tanpa kasih-sayang tiada kan ada gunanya..

0o-d w-o0

Tengah hari kala itu. Terdengar Pam an Marta berseru- seru riang: ‘Tuan Syahbandar-m uda datang, N yi G ede!”

Idayu merasai adanya kekuatan segar tiba-tiba merasuki seluruh oto t dan hatinya. Ia melomp at dari am bin, lupa pada kandu ngannya, berjalan cepat ke belakang, mandi, kembali lagi ke kamar dan bersolek secantik mu ngkin.

D isenyum -senyum kannya bibir yang pasi itu pada cermin perunggu. D isisim ya ram butnya cepat-cepat, diminyakinya dan disisirinya lagi. D iam bilnya pakaian terbaik tenunan sendiri. Kemu dian dengan terburu-buru menggosok gigi dengan tepung aran g.

Kang G aleng datang, hatinya ia paksa menyanyi keras untuk menindas lengking yang selalu menuduh pada tiap kesempatan itu.

D udu klah ia kini di bangku seram bi kamar, menunggu suam inya mem asuki pelataran depan. Tam an bunga di depan kesyahbandaran itu kehilangan keindahann ya.

W arna-warni bunga-bungaan tiada berarti lagi baginya.

D an yang ditimggun ya belum juga kunjung mu ncul. “Benar, N yi G ede,” jawab Pam an Marta. “Sahaya

sendiri sudah melihatnya. Biar sahaya tengok lagi di bandar.”

meninggalkan pelataran kesyahbandaran dan turun ke jalan besar. Mukanya berseri- seri berbahagia telah mendapat pertanyaan dari D ewi Cinta yang sedang merana itu. Tak lam a kemudian ia muncul lagi dan berdiri menekur di hadapan Idayu; “Orang bilang, N yi

Lelaki itu

bergegas

G ede, Bandara Syahbandar-muda langsun g naik ke kota.” N yi G ede Kati datang dan menegurnya: “Kau kelihatan

berdarah, Idayu. Mengapa tak kau kenakan perhiasanmu ? Kau belum tahu bagaimana rindu suamimu terhadapm u?”

“Bolehkah sahaya pergi, N yi G ede?” Pam an Marta minta diri.

Idayu mengangguk dan tukang kebun itu pergi untuk meneruskan pekerjaannya.

“Sejak kecil kam i bergaul tanpa perhiasan, N yi G ede.” “Sebaiknya kau kenakan, N ak.”

“Mengapa dia tak langsung pulang?” Idayu bertanya dengan nada protes.

“D ia pergi bukan untuk berpesiar, N ak. D ia harus mengh adap dulu. Itu kewajibannya.”

Idayu masuk ke dalam kamar. Memang ada niat untuk mengenakan perhiasan dan berganti dengan pakaian karunia Sang Adipati, salah satu dari sekian banyak karunia yang telah diterimanya setelah kepergian suaminya. Suatu kekuatan mencegahnya. D an ia tetap dalam pakaian tenunan sendiri.

Sebelum matari tenggelam suami yang dirindukan itu nam pak mem asuki pelataran depan. Idayu berdiri menyam butnya di beranda. Kedua belah tangannya telah merasa hangat untuk segera dap at meraih seperti dulu sebelum lelaki itu jadi suaminya, dan mem bisikkan kata- kata cum bu.

D arahnya m endadak mendidih dan semua kerindu annya buyar.

Tholib Sungkar Az-Zubaid lari-lari kecil menuruni tangga kesyahbandaran dan mem anggil suaminya yang sedang berjalan m enuju padanya.

G aleng berhenti, balik kanan jalan dan mem bungkuk pada Syahbandar, majikannya.

Syahbandar Tuban mengangguk sambil tertawa. Ia tegakkan bongkok, melambai kemudian bertepuk-tepuk: “W ira, Ah, W ira!”

D an W iranggaleng mengiringkannya masuk ke gedung utam a.

“Semua orang mem ilikinya, kecuali aku,” Idayu mem protes.

“Mari ke gedung utam a, Idayu,” N yi G ede Kati mengajak.

Untuk petama kali ia bicara sengit pada wanita itu: “Tempat suamiku ada di sini, Ibu. Kalau dia tak mau

pulang, biarlah tak mu ncul lagi.” “Cem buru kau, Idayu?” Idayu tersedan-sedan tercekik oleh kekecewaannya,

tersedan-sedan untuk ke sekian kalinya selam a ini. Sia-sia N yi G ede Kati menghibumya.

“Biar aku suruh pulang dia,” katanya, kemudian melangkah cepat-cepat ke gedung utam a. Idayu masuk ke dalam kamar, merebahkan diri ke ambin. Ia m enyesal telah mengasari N yi G ede Kati yang selam a itu begitu baik terhadapnya. Tak lama kemudian diketahuinya suaminya masuk. T erdengar olehnya suaran ya.

“D ewiku! D ewiku! Kakangmu datang.” Semua penderitaannya ia rasai luluh cair. T etapi ia pura-

pura tak dengar. Maka ia rasai tangan-tangan kuat suam inya mengangkat tubuhnya dari am bin, mendekapkan pada dadan ya yang bidang. Ia menan gis untuk ke sekian kalinya, tapi yang sekarang bukan tangis derita – tangis bahagia tanpa ukuran .

“Kau kurus, Idayu, Kau terlalu banyak m enari.” “Ah, kau, Kang G aleng, berapa bulan aku harus tunggu

kau. Semestinya kau sudah merasa, bukan hanya aku seorang yang merindukan, juga Kang, juga anak yang sudah mengintip di bawah jantung ini.”

“Mengandu ng! Kau mengandun g, Idayu?” ia letakkan kembali istrinya ke atas ambin. Ia buka kain Idayu. Ia ciumi

anak yang bersembunyi di balik kulit perut. D an suaranya mendesis gugup: “Aih, anakku! Anakku! Tiada aku sangka!” ia kagumi istrinya. “Mereka memuji-muji kau belaka, Idayu, mereka semua mem ohon untuk kesejahteraan dan keselam atan mu . D an anak ini juga. Mereka bilang, kau sedang mengandung. D an mereka bilang, kau sudah mendapat karunia gelar….”

D an m alam datang dengan cepatnya.

D unia m enjadi tenang. Hanya desau dan deburan ombak meningkahi suasana. Sebentar burung tuwuk melintasi malam, menyebarkan seruannya yang keras dan tunggal itu.

Idayu tergolek di am bin. Matanya terpejam menikmati kedamaian dan kebahagiaan di samping suaminya yang sedang tergolek juga.

Juara gulat itu sedang m engawasi sotoh dengan pandang menem busi masa silam dan masa yang baru saja dilewatinya. Oleh Sang Patih ia dipuji-puji sebagai seorang punggawa berbakat dan pasti akan mendapatkan tugas- tugas yang lebih berarti. Semu a pekerjaan nya dianggap berhasil. Ia sendiri tidak tahu di mana dan bagaiman a hasil pekerjaan nya itu. Sang Patih telah mem bawanya mengh adap Sang Adipati. Penguasa itu menitahkan pada Sang Patih untuk mengu ndurkan diri, kemudian sendiri berkata padanya: ‘Tidak

salah pilihanku, kau, W iranggaleng, kau, anak desa…. cepat atau lambat kaulah orang yang akan mem anggil kembali kejayaan dan kebesaran masa silam untuk Tuban. Mu ngkin kau sendiri belum mengerti di mana pentingnya hasil pekerjaan mu sekali ini. Kelak kau akan mengerti juga. Kau tahu apa yang seharusnya kau ketahui. Itulah rah asia kekuatanmu . Kau ada kemam puan, hanya barangkali belum pernah terlalu rindu padamu. D an perlu kau ketahui, selam a ini ia sering menari di sini.’

Ia berbesar hati karena semua pujian itu. Pujian dari Sang Patih dan Sang Adipati sendiri! Orang-orang yang

begitu berkuasa! D an ia berjanji pada diri sendiri untuk menyediakan waktu guna mem ahami di mana hasil pekerjaan nya di Jepara dan D emak selam a ini.

“Kau tak juga bercerita, Kang,” tegur istrinya. “Terlampau lama kutinggalkan kau, Idayu. Tak bisa

lain. ” “Sekarang kau sudah begini dekat, Kang, dan kau belum

juga m enceritakan sesuatu.”

“Aku rindu , Idayu. Kau rindu juga?” dan Idayu tak menjawab. “Mengapa kau diam saja? Marah?”

“Aku selalu ketakutan, Kang.” “Aku tahu apa yang kau takutkan,” Wiranggaleng

mem bayangkan Sang Adipati dan Syahbandar Tuban. “Tetapi aku tahu juga kau akan membela diri dan pandai melakukan itu.”

Idayu merangkulnya. Suaranya gemetar: “D i tanganku ada cundrik, Kang,” ia menguatkan rangkulannya. “Tangan ini tiada kuasa, layu-lesu tanpa daya. Karena, Kang, dia datang dalam impian.”

“D an kata orang tua-tu a,” W iranggaleng meneruskan, ”jangan berbuat dosa, sekalipun dalam impian’ Kau masih ingat itu, Idayu?”

“D ia justru datang dalam impian, Kang, dan tak ada cundrik di tanganku.”

“Kau sedang bercericau, Idayu! Bicaramu begini aneh,” dan

digoyang-goyangkannya tubuh istrinya. “Apa maksudm u?”

Berceritalah Idayu tentang pengalaman mimpi yang berulang terjadi hampir pada setiap ia pulang dari menari.

D an W iranggaleng mendengarkan cermat-cerm at sebagaimana biasa ia dengarkan setiap kata dari kekasihnya.

Penutup cerita adalah pertanyaan: “Bagaimana, Kang, sekiran ya impian itu benar?”

“Im pian tinggallah impian.” “D an anak di bawah jantung ini. Kang, kan bukan

anakm u?” “Husy. Orang bunting m emang suka m engada-ada.”

“Maka, Kang, maka akan kau hunus keris, kelak. bila si anak lahir, dan akan kau tikam kekasihmu ini. Kau akan tarik sebilah pedang dan kau cincang si bayi yang tertidur di samp ing bangkai ibunya. Kemu dian kau akan lari, lari, lari entah ke m ana, mem bawa dendam dan kesakitan di dalam hati. Tetapi tak ada temp at di mana kau akan pernah samp ai. karena ingatanmu selahi akan kembali pada kekasih yang lelah kauhatra dengan keris sendiri….”

“Kau semakin aneh, Idayu. D iam, diam lah. Impian tinggal impian, kenyataan tetap kenyataan. Tidurlah. Atau haruskah kunyanyikan lagi kau ini seperti dah ulu di ladang?”

Idayu terdiam tak bicara lagi. Kembali ia mengukuhkan: ran gkulannya pada dad a suaminya. D an dad a yang bidang itu m elindun ginya dari kegelisahan dan ketakutan.

D an W iranggaleng mem biarkan nya. Angan Syahbandar- mu da itu kini sibuk menggalang gam baran hari depan yang penuh dengan kebesaran, kejayaan dan kemegahan. Semua dimu lai dengan cipta, kata Rama during. Semua itu tak bakal ada tan pa cita. D an puji-pujian sebentar tadi mu ngkin pertanda ada dayacipta di dalam jiwanya. Apakah cipta?

G uru-gu runya dulu belum pernah ada yang mengajarkan. Ia tak tahu . Ia berusaha meyakinkan diri, ia mengerti apa yang dikehendaki Sang Adipati dan Sang Patih atas dirinya: kepatuhan pada perintah dan menjalankan dengan sebaik- baiknya tanp a mengindahkan soal-soal selebihnya. D an inilah rupa-rupa jalan untuk mem anggil kembali kebesaran dan kejayaan masa silam . Bukankah tidak lain dari Sang Adip ati sendiri yang mengatakan: tak ada kebesaran dan kejayaan dap at dipan ggil pada guagarba haridepan tanpa restu seorang raja? Benar. Semua benar. D an terpampang di hadapannya kini haridepan yang gilang-gemilang itu: Tuban yang tiada tara, dengan Angkatan Lautnya yang G uru-gu runya dulu belum pernah ada yang mengajarkan. Ia tak tahu . Ia berusaha meyakinkan diri, ia mengerti apa yang dikehendaki Sang Adipati dan Sang Patih atas dirinya: kepatuhan pada perintah dan menjalankan dengan sebaik- baiknya tanp a mengindahkan soal-soal selebihnya. D an inilah rupa-rupa jalan untuk mem anggil kembali kebesaran dan kejayaan masa silam . Bukankah tidak lain dari Sang Adip ati sendiri yang mengatakan: tak ada kebesaran dan kejayaan dap at dipan ggil pada guagarba haridepan tanpa restu seorang raja? Benar. Semua benar. D an terpampang di hadapannya kini haridepan yang gilang-gemilang itu: Tuban yang tiada tara, dengan Angkatan Lautnya yang

D emak dan Jepara tidak bakal bisa menandingi Tuban. Mereka di barat sana tak tahu apa makna mem anggil kembali kebesaran dan kejayaan Majapahit pada guagarba haridepan. Mereka tak tahu!

D alam suasana hati yang naik semangat itu ia mengu capkan terimakasih pada mendiang Rama Cluring dan semu a guru-pembicaraan yang pernah didengamya.

Seakan mengerti apa yang sedang menggelegak dalam hati suaminya, Idayu berbisik lembut: “N amp aknya desa

kita makin lama makin jauh dari langkahm u, Kang. Rasa- rasan ya kita takkan sampai-samp ai juga ke sana. ”

“Sam pai,” bisik juara gulat itu. “G ubuk kita tak juga kan berdiri di pinggir hutan itu,

Kang. Ayam jantan yang seekor itu terasa bisu tiada kan berkeruyuk untuk selam a-lam anya. D an anjing-an jing kita takkan bisa jadi cerdik, juga untuk selama-lamanya.”

“Bisa.” “Atap ilalang itu tak juga kau ganti dengan injuk. Kau

tak juga bermaksud ke hutan menyadap enau dan mem bawa pulang injuknya yang hi tarn kelam pilihan itu.”

W iranggaleng tertawa dan ditariknya kuping is trinya: “Makin tua kau m akin cerewet.”

D an Idayu tetap mem eluk suam inya, menekankan kuping pada dadan ya agar tak mendengar desau angin dan deburan laut.

Melihat istrinya telah tidur dalam kedamaian dan kenyenyakan, ia membiarkan angannya lepas bebas tanpa batas.

Apa kata Rama Cluring? ‘Aku bicara tidak tentang kematian, tetapi tentang kehidupan yang bercipta dan mencipta. Aku tak bicara tentang kematian, karena tanpa dibicarakan pun dia akan datang tepat pada waktunya’. Mengapa Idayu lebih suka bicara tentang kematian? Tidak betul. Keliru! Yang benar adalah hidup, kehidupan dan geloranya, dipimpin oleh cipta dan dimeriahkan oleh kerya mencipta.

Pagi-pagi benar Idayu sudah mem ulai dengan kata- katanya yang aneh. Ia tudingkan dagunya ke arah jendela rumah utama. Suamin ya mengikuti arah tudingan nya, dan dilihatnya pada jendela itu sebagian dari mu ka Syahbandar Tuban.

“Kau lihat sendiri sekarang bagaimana dia selalu mengintip kesini disiang hari. Kadang-kadang beberapa kali. D an dia datang kemari dalam impian di waktu malam.”

“D iam, Idayu. Kau terganggu karena kandunganmu.” W iranggaleng dapat menangkap kilat pada mata Thotib

Sungkai Az-Zubaid. Ia tercenung. Barangkali keluhan dan cerita istrinya bukan tidak punya dasar.

N am un ia tetap tidak m enanggapi.

0o-d w-o0