Pertempuran Penentuan
22. Pertempuran Penentuan
Pasukan gajah itu terjebak masuk ke dalam perangkap. Parit di depannya lebur, curam dan berair. T anah di bawah kaki terlalu berlumpur dan licin. D ari semak-semak di seberang parit anak panah api berlepasan seperti bintang beralih. D an api yang dilemparkan itu jauh lebih besar daripada sebelum nya. Kini diketahui tentara Rajeg menggunakan alat pelempar api.
Binatang-binatang raksasa itu berlarian gugup tak terkendali.
Seperti bunyi gunu ng rubuh dari seberang parit beratus- ratus kentongan bambu dipukul berbareng.
Binatang-binatang raksasa itu bingung.
D ari kubu kayu di atas gajahn ya Kala Cuwil mem beri isyarat dengan tombak pimpinan, mem erintahkan agar segera m eninggalkan tempat itu.
Tak terdengar sorak-sorai balatentara T uban. Sebaliknya tentara Rajeg di balik semak-semak di
seberang parit bersorak dan bergalau dengan ratusan kentongan suaran ya riuh rendah mem belah langit. D engan
bingungnya gajah-gajah pasukan yang ditakuti itu akan mem bunuh pasukan kaki pengiringnya, menolak pasang dan berlari-larian liar m erusak tubuh balatentara sendiri.
“Mu ndur! Cepat mu ndur!” pekik Kala Cu wil sambil menaik-turunkan tom bak dengan kedua belah tangan .
D i sampingnya berdiri W iranggaleng yang mencoba menem busi balik semak-semak di seberang parit dengan
pandangnya. “Tak pernah pasukan gajah Tuban terusir seperti ini.
Senapatiku. D alam cerita mana pun tak pernah ada. Mem alukan,” gumam Kala Cu wil. “D an hanya melawan orang desa!”
“Husy. Bukan soal mau atau tidak, oran g desa atau orang kota. Sebentar lagi meriam mereka akan menyerang. Sungguh bagus gajah-gajah ini pada berlarian.”
Pasukan kaki pengiring gajah dengan ragu-ragu menjauhkan diri dari binatang-binatan g yang gugup takut itu. Tanah yang licin berlumpur di bawah kaki sebentar- Pasukan kaki pengiring gajah dengan ragu-ragu menjauhkan diri dari binatang-binatan g yang gugup takut itu. Tanah yang licin berlumpur di bawah kaki sebentar-
Beberapa ekor yang agak dap at dikendalikan bergerak menuju ke ujung-ujung parit untuk sampai pada mu suh. Tapi Kala Cu wil dengan tom bak pimpinan mencegah mereka meneruskan niatnya dan mem erintah mundur sama sekali.
W aktu akhirnya binatan g-binatang itu dap at diundurkan dengan susah-payah, peluru-peluru meriam berjatuhan di ujung-ujung parit yang telah dikosongkan. Peluru-peluru itu kemudian juga berjatuhan tepat di tengah-tengah medan jebakan.
Seekor gajah yang terkena pada pinggulnya tersuling sambil jatuh ke samp ing. Seperti dituan gkan prajurit- prajurit yang berada di dalam kotak kubu terlontar ke bumi dan tak bangun lagi. Binatang yang terkena itu mencoba berdiri, la jatuh lagi.
D ari seberang parit oran g bersorak-sorai semakin meningkat. Sorak kemenangan.
Sebuah peluru telah menyam bar kotak benteng seekor gajah. Kotak itu pecah. Talinya putus dan isinya bertump ah ke tanah sebelum kotak itu sendiri jatuh. Binatang yang kaget dan tanp a pawang itu lari, lari gila ke m ana dia suka tanp a bisa dihalang-h alangi.
Kala Cu wil dengan tom bak pimpinan terus sibuk mem berikan perintah m undur.
G ajah yang terkena peluru itu sambil bersuling-suling marah dan kesakitan mencoba lagi berdiri. Sia-sia. Sulingnya makin lama makin pelahan, kemudian terhenti dan berganti dengan suara terhisak-hisak. D ari matanya menetes airm ata. D an makin lama ia makin jauh G ajah yang terkena peluru itu sambil bersuling-suling marah dan kesakitan mencoba lagi berdiri. Sia-sia. Sulingnya makin lama makin pelahan, kemudian terhenti dan berganti dengan suara terhisak-hisak. D ari matanya menetes airm ata. D an makin lama ia makin jauh
D i luar dugaan, dengan alat-alat yang telah dipersiapkan, tentara Rajeg keluar dari semak-semak, menyeberan gi parit dengan jajaran bambu, memasuki perangkap dan mu lai mengejar. Anak panahnya berhamburan seperti hujan.
Banteng W areng mengh ampiri gajah Senapati sebagaimana telah diperintah kan kepadanya.
“Kudam u takut pada api?” tanya Senapati Tuban. ‘Takut, Senapatiku. Tapi nampaknya mereka telah
berhenti bermain api. Mereka menggunakan anak panah biasa.”
“Keluarkan pasukanmu dari persembunyian. G ajah mu ndur, kau maju. Tunggu sampai sebagian terbesar mereka turun mengejar. Serang mereka dari belakang. Mereka mem butuhkan waktu untuk melemparkan apinya.
G ajah akan berbalik lagi.” Seperti angin Banteng W areng lari tanpa kesulitan di atas
tanah basah berlumpur untuk m enjemp ut pasukannya yang bersembunyi di dalam hutan.
W aktu seluruh pasukan gajah telah m eninggalkan medan jebakan, kecuali yang telah terkapar, dan telah keluar dari jarak tembak meriam, mu ncullah pasukan kuda Banteng W areng, langsung berpacu dalam bentuk supit udan g, mem biarkan pasukan gajah berlalu di tengah-tengah. Mereka memasuki medan m elalui pinggiran jebakan, di atas tanah basah, berlump ur dan licin. Tapi untuk kaki kuda sama sekali tiada halangan. Cambuk perang bergeletaran.
Tentara Rajeg yang sedang menyeberan gi parit di atas titian bambu, segera berbalik kembali lari ke temp at asal sambil memperingatkan teman-temannya.
D i dalam jebakan tentara Rajeg tak dap at m elarikan diri di atas tanah berlump ur itu. Mereka bergerak lambat seperti kepiting. Lumpur yang menghilangkan kesetim bangan. Orang berjatuhan terpeleset dalam jebakan sendiri dan jadi mangsa pedang dan cambuk perang. Pekik-jerit yang mem ilukan menggantikan sorak-sorai.
D engan kembalinya pasukan gajah mem asuki medan jebakan, gerakan penumpasan dimu lai. Meriam tak lagi bersembunyi. D an hujan lebat jatuh kembali.
“Apa boleh buat,” W iranggaleng bergum am, “penum pasan ini akan mem atah kan kekuatan mereka.”
“Tentara Tuban pelarian belum lagi mereka turunkan, Senapatiku,” Kala Cuwil mem peringatkan.
“Mahm ud Barjah takkan sebodoh itu melepaskan anakbuah terbaik dalam pertempuran mu rahan begini. D ia mem butuhkan untuk kemenan gan dan keamanannya sendiri. Lihat Kala Cu wil, aku tak suka pada penump asan ini tapi apa boleh buat, yang sekali tak bisa dihindari lagi. Kekalahan mereka selam a ini, dan kegagalan bertubi, dengan penum pasan ini moga-mo ga akan mem atah kan mereka sam a sekali.”
“Tidak patut Senapati berbelas kasihan.” “Mereka ini hanya petani-petani seperti aku, Kala Cuwil,
yang berubah jadi pesuruh di tangan Rangga Iskak,” ia menarik napas panjang. “Boleh jadi ada di antara mereka
itu sanak dan kenalanku sendiri.” “Apa boleh buat.” “Ya, apa boleh buat. D an setelah ini tinggal prajurit-
prajurit sejati saja masih akan berlawan.”
Tergubal pada lumpur dan hujan tentara Rajeg ini terjebak dalam jebakan sendiri. Mereka tak dapat berbuat sesuatu pun sebagai prajurit dalam perang. Mem bawa diri sendiri pun sudah sulit.
Menjelang jatuhnya malam tentara Rajeg di dalam jebakan itu ditumpas oleh pasukan kuda Banteng W areng dan pasukan gajah Kala Cuwil tanpa dapat melawan.
D an m alam itu hujan berhenti. Langit merah dan bulan pun mengambang dengan
manisnya. Balatentara Tuban telah mesanggrah jauh dari bekas medan perang.
Pada malam seperti itu utusan Braja datang mengh adap W iranggaleng, menyampaikan beberapa lembar lontar. Mereka berdiri di luar gubuk menunggu dipanggil masuk.
D udu k di antara kepala-kepala pasukan Senapati mem bacanya dalam hati. Sebentar saja. D ipanggilnya dan orang utusan itu masuk, dan di hadapan para kepala pasukan ia berkata: “Ketahuilah, dalam soal meriam mem ang belum ada yang dap at menandingi Peranggi. Kita akui kenyataan itu tanpa harus berkecil hati, Kita mem ang hanya punya cetbang, dan hanya itu yang kita miliki. Jangan kalian punya
Senapati hendak mem erintahkan kalian berperang melawan meriam Peranggi. Kita akan melawan meriam Peranggi dengan cara-cara yang nanti akan kita cari. Pasukan pengawal pasukan Braja, aku tugaskan untuk menjauhkan Peranggi dari pantai sebelum Rangga Iskak kalah, bukan untuk melawan meriam mereka. Kalau cara-cara mengh adapi mereka tak juga dap at ditemukan, kelak kita akan hadapi mereka di darat. Balik kau pada Braja, sampaikan kata- kataku ini dan jangan ada seorang pun yang berkecil hati, hanya karena cetbang tak dapat kalahkan m eriam. ”
pikiran
Setelah mereka pergi baru ia tanyai Rangkum: “Bagaimana menurut perhitunganmu ? Apakah tentara Rajeg sudah banyak kehilangan kekuatannya?”
“Terlalu banyak, Senapatiku.” “Tinggal berap a kiranya kekuatannya?” “Kira-kira m asih cukup untuk bertempur dua kali.” “D ua kali!” Senapati Tuban mengu langi. “Bagaimana
pendapatm u Banteng W areng?” “Melihat kuatnya tekanan yang ditindaskannya pada
kita, kira-kira aku menyetujui pendapat Rangkum. ” “Apa pun kekuatannya,” Kala Cu wil menambah i, “yang
tersisa sudah tidak akan lebih kuat.” “D ua kali pertempuran lagi”, Senapati mengu langi kata-
kata Rangkum. “Itu tidak banyak. Menurut perhitunganku mereka masih mencadangkan satu induk dengan tentara Tuban pelarian sebagai inti. Setidak-tidaknya kita menyetujui, di hadapan kita masih ada pertempuran penentuan.”
“Pasukan kaki mengalami banyak kerusakan hari ini, Senapatiku.”
“Ya, aku sudah melihat. Biar pun demikian, Rangkum, sebagian pasukan yang hari ini tidak bergerak, aku perintahkan menyisiri daerah seberang parit sampai menjelang fajar dengan menggunakan pertolongan bulan. Bila besok matahari terbit aku harap kalian sudah dap at temukan meriam-meriam itu. Pasukan-pasukan tidak beristirahat di tengah jalan sebelum fajar.”
D an pasukan kaki itu bergerak dengan pelan dan diam - diam di atas tanah yang licin berlumpur, di bawah terang bulan dan langit yang cerah.
Untuk pertama kali kekuasaan nya Rangga Iskak mu lai merasa hidup di bawah bayang-bayang orang lain: Mahmud Barjah. Selama jadi Syahbandar, sang Adipati pun tak pernah dirasainya sebagai atasan nya, lebih banyak sebagai sekutu dan sahabat dalam mengedu k keuntungan dari laut dan bandar. Mahmu d Barjah lain. Ia jelas jawabannya tetapi dengan pasukan yang ada di tangannya, ia tum buh jadi kekuatan yang mengancam kekuasaan nya. D an ia tak berbuat sesuatu
apa terhadapnya. Pasukan lebih mendengarkan dia daripada dirinya.
Sekarang Panglima Rajeg itu semakin mem bikin hatinya cemburu. Beberapa kali Mahmu d telah menolak
panggilannya. Sudah lama tak mu ncul di Rajeg. Ia selalu berada di tengah-tengah anakbuah nya yang berasal dari Tuban.
Rangga Iskak alias Iskak Indrajid, Kiai Benggala Sunan Rajeg merasa kewibawaannya mulai surut. Pengaruhnya terhadap pendud uk, yang telah dibangunkannya siang- malam kini dengan sangat mu dah tanpa kerja, diambil begitu saja oleh Mahmud Barjah.
untuk mem ulihkan kewibawaannya hanya ada satu jalan terbuka baginya: menyingkirkan anak m uda itu. Tetapi bagaimana jalannya? Panglim a itu selalu berada di tengah-tengah anakbuahnya. Anakbuahnya dengan dia mempunyai satu ikatan nasib di hadapan Tuban, tetapi tidak punya ikatan m esra dengannya sebagai seorang Sunan. Mereka lebih dekat pada Panglim anya.
Pernah terpikir
olehnya,
D an dengan gemas ia menyadari, kini ia menjadi tergan tung padanya tanpa semau hatinya sendiri. Balatentara Rajeg pun telah menjadi jarijari pada lengan Sunan.
Manan dan Rois, andal-andalann ya selam a ini, juga lebih mendengarkan M ahm ud.
D an batuk yang suka menyam bar-nyam bar dadanya itu pun tidak kurang mem usingkan.
Bila ia renungkan segala sesuatu yang terjadi, ternyata kurang sesuai, kadan g banyak pertentangan dengan segala yang diimpikannya selam a ini. D an bila ia renungkan segala yang diimpikannya, kadan g ia dikejutkan oleh kenyataan, bahwa sesungguhnya maksud untuk menghalau Adip ati Tuban sebagai pelepasan dendam terhadapnyalah sesungguhnya yang mendorong mengangkat diri jadi Sunan ini. Persoalan Peranggi, Hindu Blam bangan, Hindu Pajajaran, Islam D emak, yang hendak ditiadakan nya, hanyalah pembenaran belaka atau maksudnya yang pertam a-tama.
D an semua bangun an impian ini bisa runtuh berantakan sekali Mahm ud Barjah menyentuhnya dengan sebuah saja di antara jari-jarinya. Bukan hanya kedudukan Sunan, juga tahta dan mahkota Tuban lebih dekat pada tangan M ahm ud daripada Sunan.
Sekarang ia sudah mu lai memastikan kalau Panglima Rajeg berhasil menaklukkan Tuban, dia tak mu ngkin menyerahkan tahta dan m ahkota itu pada Sunan. D ia akan marak sendiri, dan pasti akan lebih busuk daripada Adipati Tuban sendiri. D ia hanya orang kecil yang tak pernah menikmati kekuasaan besar. Sekali kekuasaan besar itu tergenggam olehnya, segala nafsu-nafsu hewannya akan mem buncah tanpa kendali.
D an Rangga Iskak menilai dirinya jauh lebih baik dan jauh lebih berpengalaman, lebih berilmu daripada sepuluh atau lima puluh orang semacam Mahmu d Barjah. Tahta dan mahkota Tuban lebih layak jadi miliknya. Ia tak dap at D an Rangga Iskak menilai dirinya jauh lebih baik dan jauh lebih berpengalaman, lebih berilmu daripada sepuluh atau lima puluh orang semacam Mahmu d Barjah. Tahta dan mahkota Tuban lebih layak jadi miliknya. Ia tak dap at
Keadaan mem ang berkemban g tidak sebagaimana ia kehendaki.
Kalau yang itu juga yang terjadi, ke manakah dan di manakah mu kaku akan kusembunyikan? Tempat yang masih terbuka untuk dapat m enaungkan diri adalah D emak – satu-satunya kekuasaan Islam yang nyata. Tapi mu safir- mu safir D emak itu tentu sudah melaporkan pada atasannya bagaimana sikap Sunan Rajeg terhadap Al-Fattah dan Semarang. Majelis Kerajaan D emak kira-kira sudah mem punyai sikap pasti akan dirinya.
Untuk menghibur diri sendiri ia harus mempunyai patokan baru, titik tolak baru, untuk menyusun kembali sikap dan perbuatan yang akan datang. D an patokan itu ialah Rangga Iskak Kiai Benggala Sunan Rajeg adalah seorang pribadi yang lebih baik, lebih berpengetahuan dan lebih berilmu daripada siapapun di Jawa ini, maka jatuhnya tahta dan mahkota Tuban pada dirinya berarti berkah bagi seluruh kawula Tuban, untuk kemenangan Tuban dan agam a. Maka semua yang mengh alangi sikap dan perbuatannya adalah juga mu suh yang dikalahkan dan untuk dibasmi.
D an mu suh pertama yang mu ncul dalam pikiran nya justru Mahmu d Barjah.
D ari titik tolak itu ia telah bertekad hendak meracun Panglim a dengan racun Benggala yang terkenal ditakuti di banyak negeri. Ia akan meracunnya dengan hati-hati agar anakbuah nya tidak punya syak terhadap dirinya. Kalau dia D ari titik tolak itu ia telah bertekad hendak meracun Panglim a dengan racun Benggala yang terkenal ditakuti di banyak negeri. Ia akan meracunnya dengan hati-hati agar anakbuah nya tidak punya syak terhadap dirinya. Kalau dia
Tekadnya itu terguncang, ia menjadi bimban g. Pada suatu malam tak terduga-duga Panglima Mahmu d Barjah datang mengh adap.
Sunan mengambil sikap yang sangat hati-hati terhadap orang mu da itu. D an ia berjanji tidak akan mem berinya sesuatu bantuan bila dia membutuhkan. Ia pun berjanji takkan bertanya sesuatu tentang jalannya perang. Ia harus menegakkan kewibawaannya. D engan mengangkat sua- ran ya yang dianggapnya mengandung kepemimpinan ia bertanya lunak: “Anakku, bukankah semestinya Tuban sudah jatuh ke tangan kita sekarang ini?”
“Betul, Pam an Sunan, sekiran ya laskar depan kita tidak terpancing oleh Banteng W areng dalam pertempuran pertam a,” jawab Mahmud tenang.
“Bukankah tentara Tuban yang sebenarnya terpancing?” “Betul, Pam an, mu la-mu la mereka, kemudian kita.” Tak bisa tidak pembicaraan akhirnya berkisar soal
jalannya perang juga. “Bukankah kau belum lupa, kita harus mem asuki Tuban
sebelum Peranggi masuk? Itu kau sendiri yang telah tentukan. Peranggilah mu suh sesungguhnya.”
“Tidak keliru, Paman Sunan.” “Jadi kapan T uban dapat dimasuki?”,
“Kekuatan inti kita belum lagi bergerak.” “Betul anakku, tetapi sekarang ini kita yang kena serang
terus-menerus, belum pernah menyerang. Kapan kau menyerang?”
Mahm ud Baijah tak segera menjawab, dan Sunan Rajeg pun tak mendesaknya. Mereka berhadap-hadapan sebagai orang lain, bahkan satu sama lain seakan baru saja mengenal.
Sunan Rajeg mengawasi wajah orang mu da itu, yang pada suatu kesempatan tertentu mau tak mau harus ia singkirkan, dengan jalan apapun, sehalus dan selicin mu ngkin. Oran g ini tak akan nikmati hidup mudanya demi kemenangan ajaran. D ia akan jadi korban syahid.
“Belum lagi tahu , Paman Sunan, ” jawab Mahmud. “Tentara Tuban terus bergerak tidak menentu. Siang dan
malam. Sunan diperkirakan tujuannya.” “Kalau begitu tinggalkan mereka gentayangan mencari
kita di perdalam an. Kita mencari jalan lain masuk ke Tuban tanp a sepengetahuan m ereka. Semu a tak ada yang tinggal.”
Mahm ud Barjah mengangkat muka dan dengan terheran- heran menatap Sunan Rajeg. Ia lihat uban pamannya itu telah semakin banyak juga. Ia mengu ji mata oran g yang lebih tua dari ayahnya sendiri itu adalah yang dikatakannya bermain-main atau bersungguh-sungguh. Tetapi ia tidak mengiakan.
Sebaliknya Sunan Rajeg melihat juga oran g muda itu sudah namp ak kurus, jenggot dan kumisnya kering, kotor dan mesum . Pada bibirnya tak ada lagi senyum yang melecehkan seperti dulu. Bibir itu kini selalu tertarik tegang.
Mahm ud Barjah tak bicara lagi kecuali minta diri, tanpa mengatakan sesuatu apa yang hendak diperbuatnya.
Sunan Rajeg mem punyai dugaan terhadap sikapnya, pertam a, oran g mu da itu karena pengalaman perangnya dalam waktu pendek sekali telah m enjadi masak dan sedang menyiapkan dirinya menjadi gunu ng berapi yang tak dap at Sunan Rajeg mem punyai dugaan terhadap sikapnya, pertam a, oran g mu da itu karena pengalaman perangnya dalam waktu pendek sekali telah m enjadi masak dan sedang menyiapkan dirinya menjadi gunu ng berapi yang tak dap at
Tentang Mahmud Barjah ini ia harus menyediakan waktu khusus untuk memikirkannya dengan mendalam….
D engan menyam paikan gagasan mendadak di bidang ketentaraan pada Mahmud, ia merasa keunggulannya menjadi pulih. Mahm ud sendiri tak pernah punya gagasan semacam itu. D an dengan perasaan unggul yang pulih ini dengan agak senang ia menduduki tempatnya di atas perm adani pendopo.
D i pelataran sana orang sudah pada dud uk berjajar-jajar di atas tikar bawaan m asing-m asing. Suaranya kembali jadi lantang penuh kepercayaan diri dan itu berarti juga pada pertimbangan-pertimbangan semula. la telah mulai dengan gaya dan caran ya yang lama. Kemu dian: “Mana Mo hamm ad Firman, itu bekas musyafir D emak? Takkan bosan-bosan aku memp eringatkan padamu: jangan lagi kau ikut-ikut m enyebarkan kebohongan D emak. Adalah takabur
menganggap semua orang bodoh tidak tahu sesuatu. Setiap orang yang takabur tidak menggu nakan akal yang diberikan oleh Allah kepadanya. Ia tidak m enggunakan akal karena ia tak menggunakan pancainderan ya sendiri dengan baik. Lihatlah, dengarlah dengan baik segala apa di dun ia ini,
maka orang akan mendap at pengertian. D ari pengertian itu orang m endapat pertimbangan. Kalau tidak, seperti D emak dan mu safir-m usafirnya yang takabur, sebenarnya tak mau tentang mu la dan tentang kemudian. Itu menyalahi nikmat yang dikaruniakan Allah kepada kita.”
“Kalian masih ingat waktu armada D ampo Awang benar-benar tak dapat pulang ke negerinya karena pergantian kaisar, bukan? Allah Maha Besar! Maka kapal- kapal Islamlah yang kemudian berdatangan dengan damai, “Kalian masih ingat waktu armada D ampo Awang benar-benar tak dapat pulang ke negerinya karena pergantian kaisar, bukan? Allah Maha Besar! Maka kapal- kapal Islamlah yang kemudian berdatangan dengan damai,
D am po Awang tidak kehilangan kekuatan, mu ngkin sekali kapal-kapal Islam tak ada kesempatan untuk datang ke mari, dan tahu akibatnya? Ialah – semua penduduk Jawa ini akan m asih tetap kafir jahiliah.”
“Alham dulillah, yang itu tidak terjadi. Kapal-kapal Islam datang tidak untuk menaklukkan, tidak untuk menggagahi perdagangan rempah-rempah, tidak merampas dan tidak mem bajak. Hanya karena di jalan Aliahlah maka kapal- kapal ini lebih berhasil daripada armada D ampo Awang dengan kesempatan yang sama. Kemu dian Peranggi datang. D ia lakukan segala-galanya yang busuk, termasuk mem enuhi apa saja dan siapa saja kecuali keuntungan. Semua dia tembaki kapal Islam, Tionghoa dan Pribumi N usantara. Kalau semua kendaraan laut binasa hanya Peranggi yang merajai lautnya semua hamba Allah ini. Itu tidak boleh, itu m enentang ketentuan Allah, maka kita tidak akan mem biarkan Peranggi merajalela. Dia mu suh semua bangsa dan semua negeri. Semua saudagar dan nakhoda tahu belaka itu. D ia harus dihalau. Bumi ini diciptakan Allah untuk semua bangsa, bukan untuk Peranggi saja. Kunci untuk mengalahkan Peranggi ini sederhana saja: lawan dia. Lawan kapalnya, lawan orangnya, lawan ajarannya.”
“Satu negeri yang tidak melawannya, tidak punya niat untuk itu, seperti Tuban, adalah sama dengan mem benarkan Peranggi. Mem benarkan dia berarti tidak berada di jalan Allah. Hukum nya adalah mu suh. D an negeri yang mengemis-ngemis persahabatannya, sekalipun hanya dalam hati saja, seperti Adipati Tuban, adalah mu suh Allah itu sendiri, karena dia sudah bersekutu dengan iblis.”
“Mem ang kekuatan Peranggi ada pada meriamn ya. Kuping kita dengar, mata kita melihat, pertimban gan kita mengakui. Maka kita memang harus bisa bikin meriam sendiri.
harus berusaha mendapatkannya. D an kita telah mendapatkan dua pucuk dengan jalan yang dibenarkan oleh Allah.”
“Peranggi juga punya kelemahannya. Selama dia bergerak dengan kapal, maka dia pun tergantu ng pada bandar. Bagaimana sikap kerajaan bandar itu terhadapnya seperti Tuban? D an bukankah setiap negeri di N usantara ini kerajaan bandar? Kecuali D emak, dan karenanya menyerbu Jepara untuk jadi kerajaan bandar seperti yang lain-lain? Karena kerajaan yang bukan kerajaan bandar tidak pernah masuk hitungan? Kalau semua kerajaan bersikap seperti Tuban, seluruh N usantara pasti jatuh dalam kekuasaan Peranggi. Kalian m engerti?”
D an semua pendengar m enjawab mengerti. “Syukur Alham dulillah.”. “Syukur Alham dulillah,” semua menggemakan. “Maka
semua kerajaan bandar yang tidak melawan Peranggi adalah mu suh kita,” ia terbatuk-batuk. Badannya melengkung, kepalanya diletakkan di atas meja rendah di hadapannya. D an para tetua tak berani memijitinya. Hanya Mahm ud Barjah yang berani lakukan itu, tetapi ia tak ada.
“Tetapi ingat-ingat, tidak semua yang memu suhi Peranggi adalah sahabat kita. Oran g-orang Tionghoa juga tidak suka pada mereka. Orang-orang Benggala perbegu juga tidak suka. D emak yang katanya Islam itu juga tidak suka itu. D an m ereka semua bukan sahabat kita,” ia angkat tangannya untuk meyakinkan. “Semua itu memang bisa bersatu melawan Peranggi, termasuk kita – Perbegu, Tionghoa dan Islam. Tapi ingat-ingat hanya Rajeg kerajaan
Islam pertama-tama bila Tuban jatuh.” Ia terengah-engah kehabisan nafas.
“Maka itu kalian lantas jadi mengerti mengapa Semarang dan D emak itu satu. Maka itu juga kalian lantas jadi mengerti mengapa kita tidak menyukai D emak. Kita lebih maju daripada D emak…. karena apa yang kita kerjakan selam a ini ada di jalan Tuban, bukan di jalan
D am po Awang.” “Kanjeng Sunan”, seseoran g menyela, “putra mahkota
D emak, Pangeran Sabran g Lor, sekarang Adipati Unus Jepara, telah menyerang Peranggi di Malaka. Kita sendiri
belum pernah berbukti mengh adapinya. Bukankah itu pertanda mereka jauh lebih maju daripada kita?” Sunan Rajeg tertawa m elecehkan.
“Mari aku ceritai kau, hai bekas mu safir D emak. Bukankah kau sudah tahu Sultan D emak Syah Sri Alam Akbar Al-Fattah alias Raden Patah itu bukan orang Jawa? Bukankah kau juga tahu , perm aisurinya bukan orang Jawa sesungguhnya? – anak perempuan Kiai Ampel. Apakah belum pernah aku ceritai kalian siapa Kiai Ampel?” “Belum, Kanjeng Sunan”.
“Baik. Kiai Ampel juga tak tahu bahasa Jawa seperti Sultan D emak. Sunan Rajeg ini lebih tahu, telah bicara dalam Jawa pada kalian selam a ini. D ia tak tahu. Kiai Ampel itu. Sampai matinya dia mengajar dalam Melayu
G resik. D ia oran g seberang, orang Campa mengakunya, orang Campa yang sudah lama tinggal di Malaka. Anak perempuannya si Aisah, sekarang permaisuri Patah, juga bukan orang Jawa. N ah, mengapa Unus itu menggunakan gelar Jawa Adipati dan disebut Kanjeng G usti? Karena, walaupu n D emak m engaku kerajaan Islam pertama-tama di Jawa, belum lagi satu turunan, kerajaan itu lebih merosot G resik. D ia oran g seberang, orang Campa mengakunya, orang Campa yang sudah lama tinggal di Malaka. Anak perempuannya si Aisah, sekarang permaisuri Patah, juga bukan orang Jawa. N ah, mengapa Unus itu menggunakan gelar Jawa Adipati dan disebut Kanjeng G usti? Karena, walaupu n D emak m engaku kerajaan Islam pertama-tama di Jawa, belum lagi satu turunan, kerajaan itu lebih merosot
“Biar begitu Peranggi telah dihadapinya, dilawannya.” “N anti dulu, kau, Mo hamm ad Firman yang
berpengetahuan, ceritaku belum lagi selesai. D engarkan baik-baik. Patah ini menam akan diri Khalifah pertama di Jawa. G elar yang dia pergunakan gelar Parsi, dan nama ibukotanya sama sekali tak berbau Islam: G lagah W angi, Bintoro D emak. Bagaimana bisa begitu? Karena mem ang tak ada sesuatu pun yang bisa diperbuatnya di luar tugas utam anya. Kalian tentu masih ingat tugas utama D emak: melindun gi Semaran g dari serbuan dari timur. Jadi di luar tugas utamanya semua terserah pada Majelis kerajaan, para wali, para sunan yang itupun sekarang sudah bertentangan satu sama lain. Salah seorang di antara mereka telah mereka bunuh beram ai-ramai karena perselisihan berebut pengikut. D an Sunan Kalijaga cucu Babah Bantong itu, putra Adipati Tuban, kabarnya sudah menghilang entah ke mana. Tak ada yang tahu dia bersembunyi lantaran apa. Boleh jadi ia tak m ampu m engatasi perpecahan.”
“Tidak, anak-anakku, kita jauh, jauh lebih m aju daripada
D emak. Bila kita telah berhasil mendap atkan T uban, segera akan kita ubah dengan nama tercinta dalam tarikh N abi: Yathrib. D an D emak akan kita majukan jangan sampai terjatuh lagi jadi kerajaan lama yang kafir. Kemu dian, anak- anakku, Malaka pun insya Allah akan dijadikan oleh Allah akan jatuh ke tangan kita. Jadi…”
Belum lagi selesai wejangan itu, seseoran g datang padanya dan berbisik pada kupingnya. Sunan Rajeg mendengarkan dengan penuh perhatian, kemudian tertawa dan bangkit berdiri sambil melambaikan tangan menyuruh semuanya bubar.
Pendopo itu sendiri tertinggal sepi sekarang. Tinggal Sunan Rajeg dan pembisiknya. Kemu dian tertawa meninggalkan pendopo juga, melalui samping rumah, menuju ke sesuatu tempat. D an mu lut Sunan berkom at- kamit aneh: “Idayu, Idayu! Kau juga, kau!”
0o-d w-o0
Mahm ud Barjah telah mem utuskan mengerahkan seluruh tentara Rajeg untuk mem asuki Tuban dengan menem puh jalan-jalan yang belum dikuasai balatentara Tuban.
Saran Kiai Benggala Sunan Rajeg telah ia pelajari, dan kini ia laksanakan. Semua kesatuan yang terbesar ia tarik, dan ia pusatkan, dan dengan demikian meninggalkan mu suhnya gentayangan mencari-cari di pedalaman tanpa perlawanan.
D engan menem busi rimba balatentara Rajeg, termasuk meriamn ya, diungsikan siang dan malam. Juga mereka yang bukan kekuatan perang m engikuti garis berat dan jauh itu untuk melakukan berbagai dinas. Setiap orang mem bawa perbekalan dan alat-alat sendiri.
Hujan dan dingin tak m ereka hirau kan. “Allah bersama kita,” Sunan Rajeg merestui. “Hanya
Allah yang menentukan. N asib kita semua berada di tangan-N ya”.
Maksud Barjah tahu benar, belum seluruh kekuatan balatentara Tuban telah dikerahkan oleh W iranggaleng. W alau demikian, dari laporan-laporan para telik ia tahu, Tuban dalam keadaan koson g. Oran g akan dap at berlenggang-kangkung mem asukinya, langsung masuk ke dalam kadipaten dan tak perlu keluar lagi.
Ia pun mengetah ui pasukan mu suh yang bersenjatakan cetbang dipusatkan di balik semak-semak di pinggiran pelabuhan . Cetbang tak dapat dipergunakan untuk setiap keperluan, pikirnya juga tidak bisa dipergunakan bertahan terhadap setiap macam serangan. Ia telah temukan cara untuk menumpasnya.
Ia tahu pula dari perkiraan, masih ada kekuatan yang dicadangkan oleh Tuban. Hanya di mana cadangan itu ditempatkan itulah yang ia tidak tahu. Juga telik-teliknya tak tahu . D ari perkiraan itu pula ia menduga, cadangan itu ikut bergerak di belakang setiap gerakan. Ia hanya mengira- ngira kan.
Ia pun tahu perkiraan yang tidak tepat dalam perang bisa menjadi sum ber bencana. Tetapi menunggu lebih lama adalah kebinasaan….
O0-d w-oO
Pagi-pagi benar waktu itu. Matahari belum juga mampu menerobosi mendung putih itu.
D ua orang sedang mendaki tangga dari selembar batang bambu utuh yang disambung-sambung sampai ke puncak poho n tertinggi di pinggir rimba. Tiga batang bambu panjangnya seluruh tangga itu. Batang pohon itu sendiri lebih dari tiga rangkulan m anusia.
Sesampainya di puncak mereka segera dap at melihat pemand angan luas di bawahnya: padang rumput, hutan, sawah dan ladang sayup-sayup di kejauhan, garis-garis putih kehijauan yang tak lain dari pada jalan negeri dan jalan desa.
“Ha! itu mereka!” pengintai pertam a berseru terangsang.
“Berhari-hari ditunggu …,” yang kedua m enambah i. “Berm inggu!” yang pertam a mem betulkan. “Berm inggu. Ya. Sekarang baru kelihatan. Apa? Lihat!
Lihat semua perbekalan itu. Mereka mau langsung masuk ke Tuban. Bahaya! Sedang kita masih sibuk m encari-cari”.
‘Turun! Cu kup! Jangan sampai ketinggalan waktu”. “N am paknya mereka berangkat malam, ” kata pengintai
kedua. Ia bercepat-cepat m enuruni tangga batang bam bu. “Bagaimana pun kita akan lebih dulu sam pai,” jawabnya
sambil juga m enuruni tangga. “Jangan
meremehkan,” pengintai kedua mem peringatkan, “biarpun kita berkuda”.
Sesampainya di tanah mereka mengambil kuda masing- masing yang selam a itu gelisah diserang nyamu k. Mereka berpacu. D i sebuah padan g rumput pengintai pertama berpesan: “Sampaikan laporan ini pada pasukan kuda Maesa W ulung. Terus mengh adap Senapati dan sekalian hormatku”.
Mereka berpisahan. Pengintai pertama berpacu langsung ke kota. Pengintai ke dua mencam buk kuda, mem belok ke
kiri, melalui jalan setapak di tengah-tengah padan g ilalang. Setelah padang itu dilaluinya ia menerobosi hutan kecil, kemudian samp ai ke sebuah desa, yang dijaga oleh seorang prajurit. Seseorang telah mengganti kudan ya dengan yang baru. Selama mem asang abah-abah pengintai kedua itu berkata pada seorang prajurit yang datan g menghampiri. “Sam paikan pada pasukan kuda Maesa W ulung: Mereka bergerak untuk langsun g m emasuki T uban dari jalan negeri. Setiap orang mem bawa perbekalan kutaksir untuk tiga hari. Teruskan, aku akan mengh adap Senapati”.
“Berap a kekuatan m ereka?” “Mem beludag. Bila tidak dihalangi, mereka akan
mem asuki kota pada waktu m atahari tenggelam ”. Ia melom pat ke atas kudan ya dan hilang di antara
rimbunan pepohon an buah. Prajurit yang ditinggalkan itu menyampaikannya pada
dua orang prajurit lainnya, kemudian berpacu mengikuti pengintai kedua. D an kedua orang prajurit itu berpacu pula ke jurusan lain.
Prajurit pengintai pertam a yang menuju ke kota itu disambut oleh dua oran g prajurit yang sudah siap dengan
kudan ya. Ia menyam paikan perintah pada mereka, kemudian ketiganya berangkat, menempuh jalan berlain- lainan, semua dengan satu tujuan mengh adap kepala pasukan pengawal, Braja.
Kembali pengintai pertama itu berpacu seorang diri. Setiap berpapasan di jalanan ia berseru-seru agar mem inggir. Beberapa desa telah dilewat inya tanpa menengok. D esa-desa hilang berganti dengan hutan tipis yang rimbun dengan semak-semak petai cina.
“Brenti!” sayup-sayup ia dengar pekikan dari hadapan. Ia tak dapat menem busi semak-semak petai cina itu
dengan matanya. Ia depis lengkipkan tubuhnya pada punggung kuda. Tangan kirinya mem eluk batang leher
kuda dan tangan kanan mencam buki binatang itu. agar berpacu terus, lebih cepat.
“Tom bak!” ia dengar lagi pekikan lain. Bersam aan dengan itu beterbangan tombak dari hadap an
menyam bar dari kiri jalan. Ia miringkan badan ke sebelah kanan. Juga dari sebelah kanan jalan berlayangan tom bak.
Sebilah telah mengenai pinggang binatang itu, tembus samp ai ke dada. Binatang itu terhenti pada suatu jarak.
D engan kedua belah kaki ia berdiri, meringkik keras. Kepalanya menengok ke kiri kemudian ke kanan, mencoba melihat tombak yang bersarang pada badannya. Ia melonjak sam bil menjerit.
Tangan pengintai itu jatuh terkulai dari pelukan, jatuh ke tanah dan tak bergerak lagi. Kuda itu melihat pada tuannya yang tak bangun lagi, mendekat dan mericium-cium mu kanya. Sebatang tom bak lain melayang dan menyerompat iganya. Binatang itu m emekik dan melarikan diri, dengan sebelah masih tertancap pada pinggu l.
Orang-orang yang bersembunyi di kiri dan di kanan jalan mu lai bermu nculan. Tak kuran g dari dua puluh. Mereka kum pulkan kembali tombak-tom bak yang luput.
“Berpacu secepat itu pasti mem bawa berita,” seorang di antaran ya mem berikan pendapat sambil menem buskan tom bak dalam tubuh pengintai dan mem alui tembusan itu mencabutnya. “D alam lodong pelupuknya ada lontar,” katanya lagi sembari mem bersihkan tombak berdarah itu dengan daun-daunan.
“Lebih baik lagi,” sambung yang lain. “Lisan maupun tulisan tidak akan sampai. Ayuh, balik ke tempat!”
Mayat pengintai pertama dilemp arkan ke pinggir jalan, kemudian mereka menghilang lagi di balik-balik petai cina
di kanan dan kiri jalan.
0o-d w-o0
Kedai minuman Yakub pagi itu kedatangan banyak langgan an seperti kemarin atau kemarin dulu. Pertam a- tam a karena peluru-peluru Portugis yang telah Kedai minuman Yakub pagi itu kedatangan banyak langgan an seperti kemarin atau kemarin dulu. Pertam a- tam a karena peluru-peluru Portugis yang telah
Sam bil melayani Yakub berkicau terus-m enerus. Penutup dari semua tetap sama: betapa hebatnya meriam Portugis itu. Juga pada pagi ini.
D an pagi itu Tholib Sungkar juga sudah menduduki bangkunya, sebuah tempat penghorm atan untuknya di
pojokan. Tongkatnya berdiri tersandar pada meja. Ia bertindak sebagai juru gong terhadap semua kicauan Yakub.
W arung rusak itu diperbaiki dan selesai dalam sehari. Sejak itu seoran g langgan an baru, selalu berpakaian seberang, berkum is bapang tanpa jenggot, selalu m engam bil tempat duduk di mana ia dapat memandangi jalan raya. Ia tak pernah bicara seakan tidak mengerti Jawa atau M elayu. Pakaiannya mendekati gaya Kotabatu, berbaju dan bersarung tenunan desa yang dinila. L angganan baru itu tak lain daripada Braja.
“Sungguh berbahaya bermain-main dengan Peranggi,” Tholib Sungkar mengegongi. “Kerajaan-kerajaan besar
ditaklukkannya. Yang kecil dilindasnya. Tak boleh dia dibikin m arah ”.
“Mem ang begitu.” Yakub meneruskan. Tak ada yang dap at menah an mereka, Tuan Syahbandar. Lihat saja pelurunya. Seratus meriam bisa gugurkan gunung yang setinggi-tingginya. Jangankan gajah yang hanya dari daging dan tulang. Sungguh m enakutkan”.
“Setidak-tidaknya, G usti Tuan Syahbandar,” seorang langgan an lain di dekat Braja menyela, “di Tuban dia pernah dihina dan dihalau”.
“Apa? D ih ina dan dihalau?” seru Yakub, “dihina dan dihalau katanya, Tuan Syahbandar. Janganlah itu disebut lagi. Sebutan itu saja sudah gegabah. Siapa tahu! D an Peranggi tak akan lupakan itu. Sungguh mati”.
“Peranggi takkan pernah melupakan sesuatu ,” Tholib Sungkar m engegongi lagi.
“D ih ina dan dihalau!” langganan itu berkukuh. “D ih ina dan dihalau katanya Yakub”, Syahbandar itu
berdiri. Diperbaikinya letak tarbus dan dipegangi tangkai ton gkatnya. ‘Taruhlah dihina dan dihalau, taruhlah itu betul. Itu yang sudah berlaku. Yang akan datan g?” ia mendelik pada langganan di samping Braja.
“Yang akan datang?” Braja ikut camp ur, dalam Melayu – bicara untuk pertama kali, “dibinasakan sama sekali”.
“Puh! Berapa lama Malaka jatuh? Berapa bentar Maluku dikuasai? Berapa bentar itu pulau yang terbesar di Nusa
Tenggara? D an terlalu banyak takluk sebelum dikelahi: Banda, Ambon, Temate, Halm ahera, Kei, Tanimbar….”
D an orang mengawasinya baik-baik, dan tahu lah oran g, pedagang serba wulung nila itu tak lain daripada Braja, kepala pasukan pengawal. Ia nampak mengangguk-anggu k tak acuh. Yakub dan Syahbandar terperanjat.
Semua mata tertuju pada Braja.
Suasan a yang tegang itu disusutkan dan dibelokkan oleh datangn ya seorang penunggan g kuda. D engan masih menuntun kudan ya ia masuk ke dalam warung, mendapatkan Braja.
Semua mata mengikuti kepala pasukan pengawal yang sedang mendengarkan bisikan si penunggang kuda. Kemu dian kedua-duanya meninggalkan warung.
“Bukankah itu Braja?” seorang langganan berbisik. “Bukan!” seorang langgan an lain yang juga belum
dikenal namanya mem bantah. “Bukan Braja. Braja aku kenal, dulu pernah aku jadi pelayannya, lim a tahu n”.
Kata-kata itu menenangkan Yakub dan Tholib Sungkar. “Tuh! Orang tak tahu persoalan,” langgan an yang dud uk di dekat Braja tadi mengu las, “pedagang biasanya lebih tahu dari petani, ini lebih dungu,” ia tatap Tholib Sungkar untuk mem beri simpati. “Tak pernah ada memang Peranggi dibinasakan. Apalagi dengan sama sekali”.
“Begitulah orangnya, begitu pula nasibnya,” Tholib Sungkar mulai hidup kembali.
D an pengagun gan terhadap Portugis mulai lagi. Orang di dekat Braja tad i juga ikut m eramaikan, tak lagi m embantah. Semua ikut serta membenarkan, menggarami, membubui. Syahbandar dan Yakub semakin bersemangat. Langganan itu pun minum lebih banyak walaupu n hanya tuak mu rah bukan arak.
D an Yakub dan Syahbandar nampaknya kurang cermat mem perhatikan mereka. Mereka adalah prajurit-prajurit pengawal.
Percakapan itu tiba-tiba terhenti waktu seseoran g berdiri terbengong mengawasi jalan raya. Orang-orang itu melihat ke jurusan jalan raya. D an mereka melihat pemandan gan ajaib.
Seekor kuda yang berlumuran darah pada iga-iganya, dengan sebatan g tom bak tertancap pada pinggul dan darah meleleh dari bawah mata tom bak, sedang berjalan payah Seekor kuda yang berlumuran darah pada iga-iganya, dengan sebatan g tom bak tertancap pada pinggul dan darah meleleh dari bawah mata tom bak, sedang berjalan payah
“Itu kuda tentara Tuban. Lihat tanda pada kupingnya!” “Ya, mem ang kuda tentara Tuban,” orang mem benarkan. Percakapan terhenti lagi waktu di jalanan mu lai kelihatan rombongan petani tanp a barisan mem bawa pedang dan tom bak tentara Tuban, juga busur dan perisai.
“Itulah tentara Rajeg”, bisik Tholib Sungkar megap - megap . Tak ada yang m enanggapi.
Sebentar kemudian menyusul pemikul-pemikul cetbang di belakang rombongan kacau itu.
Tholib Sungkar meyakinkan, “jelas tentara Sunan Rajeg. Mereka sedang mem asuki kota.”
“Bukan balatentara
Tuban”,
“Masyaallah, Tuan Syahbandar!” sebut Yakub, “kita tutup kedai dengan lupa m embayar minum an….”
Segera setelah menerima laporan, Braja mengerahkan pasukan pengawal. D aerah pelabuhan dikosongkannya, dan diarahkannya kekuatan-n ya ke luar kota, melalui jalan-jalan yang bakal ditempuh oleh tentara Rajeg.
Pasukan pengawal itu tidak benar terdiri dari prajurit- prajurit pilihan yang diambil dari pasukan-p asukan lain
karena keberanian dan ketangkasan serta kecerdasan nya. Setiap di antara mereka dapat mem pergunakan semua macam senjata dan penunggang kuda yang m ahir.
Setelah pulih dari kekecilan hati mereka menerima balasan dari W iranggaleng, dengan pasukannya yang kecil ia bertekad untuk mengh ancurkan tentara Rajeg dengan Setelah pulih dari kekecilan hati mereka menerima balasan dari W iranggaleng, dengan pasukannya yang kecil ia bertekad untuk mengh ancurkan tentara Rajeg dengan
Tuban yang keramat tidak boleh dijamah oleh tangan pemusuh ia bersumpah.
Setelah samp ai di luar kota cetbang-cetbang dipasang, dihadapkan ke arah mu suh akan datang. Prajurit-prajurit selebihnya diperintahkannya mem biak ke kiri dan ke kanan jalan. Beberapa orang pengintai naik ke pohon tertinggi dan meninjau ke seluruh medan.
0o-d w-o0
Mahm ud Barjah telah mem erintahkan agar tentaranya tidak bersorak sama sekali, tidak mem bunyikan gendang dan gong, tidak m enggunakan um bul-umbul ataupun panji- panji, sebelum berhasil memasuki Tuban.
Ia pun telah m emberikan perintah, begitu mem asuki kota semua prajuritnya haru s menyebar ke sana-sana.
Pasukan inti yang langsung di bawah pimpinannya akan melalui jalan belok dan akan mem asuki Tuban melalui
pesisir sebelah timu r kota, dan akan menyelesaikan segala kesulitan dengan cetbang.
Maesa W ulung pada mu lanya tidak percaya, mu suh sudah mendatangi begitu cepat. Ia perkirakan bakal tak ada pekerjaan untuknya maka ia berlalai-lalai di daerah am an selam a ini. Juga prajurit-prajuritnya mengikuti sikap pemimpinnya.
W aktu ia bangkit mengerahkan pasukannya, ternyata separonya tidak kelihatan batang hidungnya. Tak tahu ia ke mana m ereka pergi. D an dengan hanya separah kekuatan ia berangkat ke medan pertempuran.
W aktu keluar dari hutan terakhir, pasukan kuda di bawahnya melihat di seberang padang ilalang di sana, di depannya, barisan mu suh yang terlalu besar jum lahnya. Semua berpakaian serba putih. Mereka bergerak diam-diam seperti barisan pengantar mayat. Seum ur hidup ia tak pernah melihat barisan demikian. D an ia merasa ngeri.
D ih entikannya pasukan itu dan diperintah kannya berlindung di balik pepoho nan. Tak tahu ia apa yang harus diperbuat.
Padang ilalang itu akan mem bikin pasukannya terbuka dari serangan panah dan tom bak, dan mu suh telah
mendapat posisi lebih dahulu. Untuk mem bentuk form asi apa pun pasukannya terlalu kecil. Menerjangi ilalang ini pun akan mem bikin kuda-kud a cepat lelah, dan dalam melakukan serangan nyam uk menggigit kuping binatang itu.
Ia ragu-ragu. Seorang prajurit keluar dari balik pepohonan dan
melewatinya. Ia tak menegurnya. D an prajurit itu langsung berpacu ke jurusan mu suh, dengan mem bawa tom bak.
Seorang lain menyusul, seorang lagi, seorang lagi. Maesa W ulung merasa m enghalangi jalanan, dan ia pun
berangkat maju. Pasukan kuda yang kecil itu mu lai bersorak-sorak maju
dan menyerang. D an tom bak-tom bak berlayangan jatuh di tengah-tengah laskar musuh yang mem balas dengan anak panah. Pasukan kuda itu tak berani m endekat-dekat. Medan tak mem ungkinkan. Setiap habis melempar mereka menjauh, mendekat lagi dan melempar lagi. Setelah lemp aran yang ke emp at mereka telah kehabisan tombak dan mengundurkan diri untuk mendapatkan yang baru.
Tom bak-tom bak itu mengenai sasaran, namu n tentara mu suhnya tak mengejar. Mereka berjalan terus ke arah kota dengan meninggalkan korban di jalanan.
W aktu pasukan kaki cadangan datang dalam jum lah yang cukup besar, barulah Maesa W ulung mendapatkan kepribadiannya kembali. D engan D anang, pemimpin pasukan kaki cadan gan, didapatkan kesepakatan untuk menggunting putus tentara Rajeg dengan menggunakan baris lebar.
Maka gabungan pasukan kuda dan kaki m ulai m enyerbu dengan form asi lebar, formasi om bak laut. Tetapi itu pun
tak semudah itu dikerjakan. Pasukan kaki Tuban yang lari menyerbu dengan telapak kaki berdarah -darah tercucuki dengan tunas alang-alang dan teriris-iris kakinya oleh dau n rumput-rumput tajam. Banyak di antara mereka berhenti untuk mengu rus tunas alang-alang yang patah dalam telapak kaki itu, kemudian lari lagi. D an tak kuran g- kurangnya yang tak dapat, berjalan lambat berpincang- pincang. N amu n m ereka bersorak gegap gempita.
Tentara Rajeg tetap tak bersuara. Anak panah dan tom baknya berterbangan mengu sir para penyeran g. D an para penyeran gnya menyerbu terus. Perkelahian seorang lawan seorang sudah mu lai terjadi. Barisan tentara Rajeg terputus. Yang terlibat dalam perkelahian meninggalkan
barisan untuk mencari medan yang lebih luas, berkejar- kejaran, bertarung. D an barisan yang putus itu bersambung dengan laskar di belakangn ya, meninggalkan mereka yang sedang berkelahi, meneruskan jalan ke arah Tuban.
D emikian seterusnya, terputus bila terpm&m serangan yang melanda, bersambung lagi bila serangan membuyar ke keluasan padang rumput dengan meninggalkan korban pada ke dua belah pihak.
Antara sebentar D anang mem aki-maki karena Maesa W ulung tak dap at mengatur pasukannya sehingga tak menjadi bantuan bagi pasukan kaki. Yang dimaki menjadi gusar, karena dalam balatentara, kedudukan pasukan kuda berada di atas pasukan kaki, dem ikian pula dengan perwira- perwiranya yang setingkat. Pasukan kudalah yang lebih berhak mengatur jalannya pertempuran dalam serangan gabungan.
Ketidakserasian itu sementara mengu ntungkan tentara Rajeg. Walaupun mereka hanya bertahan agar barisannya dap at terus berjalan masuk ke kota, namu n banyak juga antara mu suhnya yang dap at dirobohkan.
0o-d w-o0
W iranggaleng menerima berita tentang gerakan tentara Rajeg yang menuju ke kota di tempat lain pada siang hari. Banteng W areng yang namp ak sudah kurus itu diperintah kannya mengejar dan menyerang dari belakang setelah dapat m enjejak jalan m ereka.
Ia sendiri menggabungkan diri dengan pasukan kuda. Pasukan kaki di bawah Rangkum diperintahkan terus
menyisiri daerah lama, dan sebagian diperintahkan kembali mem asuki Tuban bersam a dengan seluruh pasukan gajah.
D udu k di atas panggung kuda ia berpesan pada Kala Cu wil: “Langsung masuk ke kota. Kerjakan yang dap at
dikerjakan. Jangan ada yang m enghadap G usti Adipati”.
D an ia pacukan kudanya menggabungkan diri dengan Banteng W areng yang telah m emasuki hutan.
Jalan yang habis ditempuh oleh tentara Rajeg itu tak lama kemudian dapat ditemu kan. Jalanan baru yang habis Jalan yang habis ditempuh oleh tentara Rajeg itu tak lama kemudian dapat ditemu kan. Jalanan baru yang habis
D i mana-m ana bagian air menggenang sampai ke paha berwarna kelabu. Hutan itu mengem bangkan bau daun kayu busuk. Potongan berduri tak jaran g ikut terpendam dalam lumpur jalanan. Batang-batang raksasa yang terguling melintangi jalanan tak dapat dilompati oleh kuda, dan hanya dapat dihindari dengan m embuat jalan belok.
D an pasukan kuda itu dengan sabarnya meneruskan perjalanan. Tak ada seorang pun sempat bicara karena sulitnya medan.
Pada sore hari pasukan kuda itu sampai di jalanan negeri yang terbuka dan terpelihara. D an kuda-kuda itu pun terbang seperti anak panah ke arah tujuan. Mereka harus mesanggrah di udara terbuka.
Jalanan negeri itu kini telah rusak permukaannya karena telah jadi bubur. Tetapi untuk pasukan kuda tak ada suatu
rintangan untuk melaluinya. Menjelang sore, waktu matahari mulai condong, buntut pasukan Rajeg telah nam pak olehnya, berkelok-kelok mengalimantang, putih di atas padang rump ut hijau.
Mereka bersorak dan berpacu menggeletarkan cambuk perang ke udara. Kuda-kuda itu lari seakan tak menginjak bum i lagi. Mereka mu lai menyusul dan melewati barisan mu suhnya, sambil mencambuki pinggiran barisan.
Bila pinggiran mu lai kacau dalam usaha untuk dapat mem pertahankan diri. prajurit-prajurit kuda lainnya menubruk masuk ke tengah-tengah dengan sambaran pedang. Maka laskar terakhir tentara Rajeg adalah laksana Bila pinggiran mu lai kacau dalam usaha untuk dapat mem pertahankan diri. prajurit-prajurit kuda lainnya menubruk masuk ke tengah-tengah dengan sambaran pedang. Maka laskar terakhir tentara Rajeg adalah laksana
Banteng W areng dan W iranggaleng berpacu terus untuk dap at mencapai kepala barisan musuh. Sampai pada pertengahan barisan mereka melihat pasukan kuda Tuban di bawah Maesa W ulung dan pasukan kaki di bawah
D anan g sedang kewalahan dan nampaknya sedang digiling untuk ditumpas.
Mereka berhenti untuk melihat jalannya pertempuran. Senapati melihat Maesa W ulung keluar dari medan pertempuran dan m enghadap padanya.
“Hubungan antara pasukan kaki dan kuda tidak cocok!” tegur Banteng W areng, tanpa mem perhatikan bawahannya dan terus m engawasi jalannya pertempuran.
Tiba-tiba perhatiannya teralih pada suatu titik. Di seberang daerah pertempuran sana serombongan prajurit
Rajeg tampak sedan g m engangkuti sesuatu. “Ya, itulah meriamnya!” seru W iranggaleng. “Maesa
W ulung, tinggalkan gelanggang. Kerah kan seluruh pasukanm u, sergap rombongan sana itu!”
Maesa W ulung berbalik, langsung turun ke medan pertempuran, dengan cambuk perang m enggeletar di udara,
mem ekik: “Seluruh pasukan kuda! Seluruh! Ikuti aku!” Tinggallah pasukan kaki mengamu k di tengah-tengah
barisan musuh. Justru pada waktu itu sisa pasukan Maesa W ulung datang dan langsung masuk ke tengah medan menggantikan yang pergi.
0o-d w-o0
Regu pengangkut dan pengawal meriam itu sedang menuju ke arah setump uk tanah kubah ketinggian untuk tempat mem asang meriamn ya guna menem baki Tuban. Melihat datangnya limabelas prajurit kuda mu suh mereka meletakkan beban masing-m asing dan melindungkan diri dalam lingkaran pasukan pengawal.
Manan dan Rois berada di tengah-tengah lingkaran itu. “G anggu mereka!” perintah Maesa Wulung. “Jangan
beri kesemp atan !” Panah dan tombak mu lai beterbangan. Pasukan kuda itu
meledek menjauh dan mendekat sambil mem aki dan mengh ina dan menggeletarkan cambuk perang. Ujung cambuk itu menyam bar dan menyobeki daging dan kulit dan pakaian dan merenggutkan senjata dari tangan lawannya. Mereka berputar-putar dan
menari-nari mengelilingi mu suhnya.
“Bantuan !” pekik Esteban alias Manan dari tengah- tengah lingkaran.
Tetapi suaranya tenggelam dalam keriuhan orang berperang tanding.
“Lingkar! Kepung!” perintah Maesa W ulung. “Lingkar! Kepung! Hore!” sambut anakbuahnya. “Babat begund al Rangga Iskak!” “Mu safir asing bernafsu jadi raja di Jawa. Ro bohkan!” “Lingkar! Kepung! Hore! Hore!” Kaki kuda menari-nari di atas tanah basah. Lingkaran
kepungan m akin lama makin menyempit. “Tom bak!” perintah Maesa W ulung.
“Tom bak! Tom bak! Tom bak!” seru anakbuah nya mengu langi.
Pecut perang berhenti menggeletar, bersarang dalam selipan pinggang, dan tom bak pun mu lai dimain-mainkan di udara.
“Lepas!” dan tombak pun belepasan dari atas kuda. Prajurit-prajurit dari regu pengawal dan pelayan meriam
mu lai bergelimpangan.
D an lingkaran pengepungan itu menjadi semakin sempit jua.
Esteban dan Rodriguez tak pernah berperang tanpa senjata api. Kini berhadapan dengan senjata tajam dan
cambuk ia menjadi kecil hati D an bantuan yang dibutuhkannya tak juga datan g. D ua orang itu bersiap-siap dengan pedang dan berlindun g di balik peti-peti obat.
Regu pengangkut dan pengawal meriam itu semakin tipis. Tombak dan cambuk Tuban telah menyarangkan mereka.
“Pedang!” perintah M aesa W ulung. “Pedang! Pedang!” anakbuahnya menyambut.
Pedang pun keluar dari sarung, teracu ke udara dan berkilat-kilat dalam sore bermendung itu. D an senjata itu mu lai mem babat dan menyam bar, digerakkan oleh tangan- tangan ahli dan terlatih.
D an regu pengawal dan pengangkut meriam yang telah digetarkan oleh terjang kuda dan cambuk dan tombak dan sekarang pedang itu menjadi semakin tipis, mu lai berlarian mencoba m eloloskan diri dari kepungan.
Melihat bahaya yang semakin mendesak, Esteban dan Ro driguez melompat ke atas peti untuk mendapatkan Melihat bahaya yang semakin mendesak, Esteban dan Ro driguez melompat ke atas peti untuk mendapatkan
“Lari, ayoh, lari!” Maesa Wulung berseru pada mu suhnya.
“Lari, ayoh, lari!” sorak anakbuah nya. Mereka lari dan tidak dikejar. Pertah anan meriam itu semakin tipis juga. Semua tinggal
bersenjatakan pedang. “Pedang di tangan kiri!” perintah Maesa W ulung. “Kiri! Kiri!” sorak sambutan anakbuah dari atas kuda. “Cambuk di tangan kanan!” “Kanan! Kanan!” Kecuali cambuk bergeletar mem erahi kulit yang terkena
dengan kucuran darah, dan darah pun hancur bila saluran darah terputus.
“Terjang!” ‘Terjang! Terjang!” sorak-sorai. Esteban dan Rodriguez kehilangan akal berhadap an
dengan cambuk yang menyam bar-nyambar bergelataran yang mem ekakkan telinga. Selama pengalaman perangnya
di Asia dan Afrika tak pernah mereka mengh adapi semacam ini. Ia tak tahu bagaimana harus mengh adapi cambuk.
Ia menyam bar sebatan g tom bak dari tangan seorang
‘Tombak!” Ro driguez menyarani Esteban.
pengawalnya yang telah rebah. Terpengaruh oleh saran itu Esteban pun mem bungkuk
mengambil sebatan g. Tapi ujung cambuk bergerigi baja itu mengambil sebatan g. Tapi ujung cambuk bergerigi baja itu
Sebuah cambuk yang menggeletar telah merenggutkan tom bak
Rodriguez, mengelupas pergelangannya. Ia terpekik dan cambuk lain telah hujan pula pada m ukanya.
dari
tangan
“Panglim a! Panglima!” Esteban m emekik. “Keparat!” sump ah Ro driguez. Kepungan semakin rapat. Tinggal dua orang itu saja kini
berdiri di atas peti, sibuk m enyeka muka dari darah. “Tangkap hidup-hidup!” teriak Maesa W ulung.
Tubrukan kuda membikin Esteban dan Ro driguez yang setengah buta tertutup darah itu jatuh terbalik dari atas peti ke tanah basah. Sebelum sempat berdiri tangan mereka telah terikat ke belakang.
Mereka diseret ke tepi hutan dan diikat pada sebatan g poho n punggun g-mem unggun g, di bawah pengawalan seorang prajurit kuda
Sisa regu pengawal dan pengangkut meriam telah lenyap dari peredaran. Peti-peti obat dan peluru bertaburan, dan meriam yang gagu dan bangkai-bangkai pengawal berserakan di antara mereka yang tergeletak dan terkulai dalam keadaan setengah mati
D an pasukan kuda kecil yang telah berkurang jum lahnya itu balik dan turun lagi ke medan pertemp uran .
Tentara Rajeg tak berkesempatan lagi untuk menyelamatkan
meriam mereka dan penembak- penembaknya. Medan pertemp uran makin lama makin meluas, karena pasukan kuda Tuban di bawah Banteng
W areng setelah mengobrak-abrik buntut barisan mu suhnya kemudian berpacu ke depan dan mem bikin medan pertempuran jadi semakin lebar. Matahari m ulai tenggelam.
D ari kejauhan mu lai terdengar dentuman-dentum an cetbang. Pertem puran di pinggiran kota juga telah dimulai. Sorak-sorai terdengar dari kejauhan. Hujan tak juga turun. Bahkan bulan mu da sudah mu lai nampak di langit cerah.
0o-d w-o0