Dalil yang Digunakan Seorang Mujtahid dalam Al

D. Dalil yang Digunakan Seorang Mujtahid dalam Al

Istihsan Jika hal-hal yang disebutkan tadi sudah menjadi ketetapan, maka

terlebih dahulu kita lihat dalil-dalil yang mereka gunakan. Adapun mengenai definisi al istihsan, yaitu: sesuatu yang dianggap

baik oleh seorang mujtahid dengan pandangan akalnya dan sesuai dengan pendapatnya.

Ini menunjukkan seakan-akan mereka berpendapat bahwa alistihsan termasuk bagian dari dalil hukum yang berlaku. Hal ini pasti akan mengakibatkan bolehnya akal menolak suatu dalil syariat. Bahkan boleh jadi ada anggapan bahwa pandangan orang awam bisa dijadikan hukum dan Ini menunjukkan seakan-akan mereka berpendapat bahwa alistihsan termasuk bagian dari dalil hukum yang berlaku. Hal ini pasti akan mengakibatkan bolehnya akal menolak suatu dalil syariat. Bahkan boleh jadi ada anggapan bahwa pandangan orang awam bisa dijadikan hukum dan

Kita juga tahu bahwa para sahabat membatasi pandangan mereka atas peristiwa-peristiwa (yang terjadi) yang tidak ada dalilnya sama sekali dengan jalan istinbat hukum dan mengembalikannya pada pokok-pokok hukum yang berlaku. Tidak ada seorang pun di antara mereka yang berkata, "Sesungguhnya aku menghukumi masalah ini dengan hukum tertentu berdasarkan perasaan yang ada, karena hal inilah yang aku sukai dan senangi." Jika ada orang yang berkata seperti itu maka orang lain pasti akan mengingkarinya dengan sangat keras dan dikatakan kepadanya, "Bagaimana bisa kamu memberi hukum dengan berdasarkan pada perasaan dan kata hatimu saja kepada manusia?

Ini jelas suatu hal yang sangat keliru. Bahkan mereka (para sahabat)

selalu berdiskusi dan saling mengkritik yang sesuai dengan syariat.

Seandainya suatu hukum dikembalikan hanya kepada alistihsan, maka diskusi-diskusi yang mereka lakukan tidak akan ada artinya, karena manusia berbeda-beda dalam hal keinginan, tujuan, selera, dan hal-hal lainnya. Manusia tidak lagi membutuhkan sikap saling kritik dengan berkata, "Kenapa kamu lebih suka minum ini?" Tentunya syariat tidak seperti ini.

Terlebih lagi orang yang suka melakukan ritual-ritual bid'ah, biasanya mereka tidak suka mengkritik dan dikritik. Mereka enggan untuk berdiskusi dengan orang alim atau yang lainnya, lantaran takut terbuka semua kesalahannya, sebab tidak ada dalil yang dapat mereka jadikan sandaran. Mereka akan bersikap baik ketika bertemu orang alim, tetapi jika mereka bertemu orang awam yang bodoh, mereka akan menyampaikan hal-hal yang berbau syubhat untuk menggoncang dan meracuni agama orang tersebut. Jika mereka melihat adanya keraguan dan kebingungan dalam diri orang Terlebih lagi orang yang suka melakukan ritual-ritual bid'ah, biasanya mereka tidak suka mengkritik dan dikritik. Mereka enggan untuk berdiskusi dengan orang alim atau yang lainnya, lantaran takut terbuka semua kesalahannya, sebab tidak ada dalil yang dapat mereka jadikan sandaran. Mereka akan bersikap baik ketika bertemu orang alim, tetapi jika mereka bertemu orang awam yang bodoh, mereka akan menyampaikan hal-hal yang berbau syubhat untuk menggoncang dan meracuni agama orang tersebut. Jika mereka melihat adanya keraguan dan kebingungan dalam diri orang

Perhatikanlah riwayat yang dinukil oleh Al Ghazali tentang tahapan- tahapan yang dilakukan oleh kaum Batiniyah untuk memperdaya orang lain agar masuk ke madzhab mereka. Kamu akan temukan bahwa dalam usahanya tersebut mereka selalu menggunakan tipuan-tipuan yang sama sekali tidak berdasar pada ilmu, hingga mereka bisa mengeluarkan orang lain dari jalan Sunnah atau bahkan keluar dari agama secara keseluruhan. Jika bukan karena takut membosankan, aku akan pasti akan nukilkan perkataan beliau secara lengkap. Bagi yang ingin mengetahui hal ini bacalah kitabnya (Fadhaih Al Bathiniyyah [Kerancuan-Kerancuan Paham BathiniyahJ)

Adapun definisi al istihsan yang kedua telah dijawab, yaitu: seandainya pintu ini dibuka, maka batallah seluruh dalil yang ada dan setiap orang bebas memilih apa saja yang ia sukai dan mencukupkan diri dengan pendapat akal, lalu lawan bicara secara langsung akan menolak pendapatnya. Hal ini akan menyebabkan kerusakan. Seandainya pendapat ini diterima dan disesuaikan dengan dalil yang ada (artinya jika salah maka tidak dianggap dan jika benar maka dikembalikan pada dalil-dalil syar'i), maka tidak apa- apa.

Dalil pertama tidak ada kaitannya sama sekali, karena hal terbaik yang wajib kita ikuti adalah dalil-dalil syar'i, terutama Al Qur'an, karena Allah berfirman, "Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Qur’an yang serupa (mutu ayat-ayatnyaj " (Az-Zumar [39]: 23)

Diriwayatkan oleh Muslim, bahwa dalam sebuah khutbah beliau bersabda,

"Amma ba'du, sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah...." Hadits shahih.

Oleh karena itu, mereka wajib menerangkan bahwa semua hal yang menjadi kecenderungan hati dan kesenangan hawa nafsu masuk dalarn perkara-perkara yang telah diturunkan Allah untuk kita, lebih-lebih hal itu membuktikan bahwa semua adalah sebaik-baik dalil.

Dalil lain adalah firman Allah, "Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik. "(Qs. Az-Zumar [39]: 18)

Mereka perlu membuktikan bahwa kecenderungan jiwa itu termasuk perkataan, lalu baru dilihat apakah ia termasuk sebaik-baik perkataan?

Kemudian kita menentang al istihsan ini; bahwa akal kita cenderung menolaknya dan memandang bahwa itu bukanlah hujjah, sebab yang disebut hujjah hanyalah dalil-dalil syariat.

Hal ini juga melazimkan bolehnya al istihsan dari orang awam yang tidak mempunyai ilmu sama sekali, jika sebuah hukum itu bisa ditetapkan hanya dengan kecenderungan jiwa dan kesenangan nafsu. Ini termasuk hal yang mustahil karena bertentangan dengan syariat, lebih-lebih dengan menjadikannya sebagai salah satu dalil.

Adapun dalil kedua, tidak bisa dijadikan sebagai hujjah (argumen) karena beberapa sebab berikut ini:

1. Secara zhahir, dalil tersebut menunjukkan bahwa apa yang dianggap baik oleh kaum muslim adalah baik, dan umat ini tidak akan bersepakat atas kebatilan. Jadi, kesepakatan mereka atas baiknya sesuatu menunjukkan bahwa sesuatu itu baik menurut pandangan syariat, karena ijma' merupakan salah satu dalil syariat. Hadits ini adalah dalil untuk membatalkan pendapat kalian.

2. Hadits tersebut merupakan hadits ahad, maka tidak bisa dijadikan hujjah dalam masalah yang qath’i.

3. Seandainya yang dimaksud adalah bukan mereka yang termasuk ahli ijma', berarti telah me-Zazzm-kan adanya al istihsan dari kalangan orang awam, padahal itu salah secara ijma'. Tidak bisa dikatakan: "Yang dimaksud adalah al istihsan dari kalangan ahli ijthad," karena kita berpendapat bahwa hal ini telah meninggalkan sesuatu yang ditunjukkan oleh zhahir hadits. Jadi, batallah pengambilan dalil dengan cara ini. Lagipula, tidak ada faidahnya menambahkan syarat ijtihad dalam hal ini, karena pada kenyataannya orang yang bisa melakukan al istihsan tidak terhitung banyaknya, maka untuk apa ada syarat ijtihad?

Jika dikatakan: Disyaratkan hal itu untuk mengantisipasi adanya penyelewengan atas dalil-dalil syara' yang dilakukan oleh orang awam yang tidak tahu sama sekali.

Maka jawabannya: Yang pasti, dalam hal ini al istihsan bersumber dari dalil. Buktinya adalah: para sahabat telah membatasi hukum-hukum mereka, yang hanya berkisar pada mengikuti dalil-dalil yang ada dan memahami maksud-maksud syariat.

Intinya adalah, ketergantungan seorang pelaku bid'ah dengan hal-hal semacam ini merupakan sebuah ketergantungan dengan sesuatu yang tidak ada manfaatnya sama sekali. Akan tetapi dalam bid'ah-bid'ah tertentu mereka mungkin menggantungkannya dengan syubhat-syubhat yang insya Allah akan kami sebutkan nanti, sedangkan sebagiannya telah kami jelaskan.