Akibat-Akibat Pewajiban atas Sesuatu yang Tidak

C. Akibat-Akibat Pewajiban atas Sesuatu yang Tidak

Wajib Apabila hal tersebut telah menjadi sebuah ketetapan, maka

menjadikannya sebagai amalan dengan niat untuk melazimkannya jika telah menjadi kebiasaan, dan ketika amalan tersebut dikerjakan secara kontinu, maka menurut hukum kebiasaan akan mengakibatkan kejemuan. Jadi, hams diyakini bahwa mewajibkan hal tersebut hukum asalnya adalah makruh, karena ia mengakibatkan hal-hal yang semuanya dilarang:

1. Allah SWT dan Rasul-Nya menghadiahkan kemudahan dan keringanan dalam agama ini, dan orang yang mewajibkan —suatu amalan untuk dirinya— adalah seperti orang yang tidak menerima hadiah dan mengembalikan hadiah tersebut kepada orang yang memberikannya. Tentu saja hal itu tidak layak bagi seorang budak terhadap tuannya, maka bagaimana hal itu layak bagi seorang hamba terhadap Tuhannya?

2. Kekhawatiran terjadinya kelalaian atau kelemahan dalam mengerjakan suatu amalan yang lebih utama dan lebih penting, seperti yang disyariatkan.

Rasulullah SAW bersabda (mengabarkan tentang Nabi Daud AS),

"Beliau selalu puasa sehari dan berbuka sehari, dan tidak lari apabila bertemu musuh."

Hadits tersebut memberitahukan bahwa Nabi Daud AS tidak dibuat lemah oleh puasa saat menghadapi musuh.

Abdullah bin Mas'ud RA pernah ditanya, "Mengapa kamu sangat sedikit bcrpuasa?" la menjawab, "Karena aku disibukkan membaca Al ur' an. Membaca Al Qur’ an lebih aku sukai daripada berpuasa."

Oleh sebab itu, Imam Malik membenci menghidupkan seluruh malam. Alasannya karena pada pagi harinya ia dapat saja lelah (ngantuk), sementara dalam diri Rasulullah SAW terdapat suri teladan yang baik. Ia berkata, "Tidak apa-apa —menggunakan seluruh waktu malam untuk beribadah— selama tidak membahayakan shalat Subuh."

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa puasa Arafah akan menggugurkan dosa dua tahun. Tetapi berbuka (tidak berpuasa) pada hari Arafah bagi orang yang melaksanakan haji lebih utama, karena akan memberi kekuatan saat wukuf dan berdoa. Ibnu Wahab mempunyai hikayat tentang hal tersebut. Di dalam sebuah hadits juga dikatakan, "Sesungguhnya keluargamu mempunyai hak atasmu, orang-orang yang mengunjungimu mempunyai hak atasmu, dan jiwamu mempunyai hak atasmu."

Jadi, apabila ia mewajibkan ibadah yang asalnya tidak wajib, maka mungkin saja akan membuatnya tidak dapat memberikan hak-hak orang lain atas dirinya.

Diriwayatkan dari Abu Juhaifah RA, ia berkata, "Orang yang terakhir Diriwayatkan dari Abu Juhaifah RA, ia berkata, "Orang yang terakhir

Ia berkata, "Ketika Abu Darda' datang, ia menyugukan makanan, seraya berkata, 'Makanlah, aku sedang berpuasa.' (Salman) berkata, 'Aku tidak akan makan sampai kamu makan.' Ia pun makan. Ketika datang waktu malam, Abu Darda’ bangkit untuk shalat malam, maka Salman berkata kepadanya, 'Tidurlah!' Ia pun tidur. Kemudian ia bangkit lagi untuk shalat malam, maka Salman berkata lagi, Tidurlah,' Ia pun tidur. Ketika datang waktu pagi Salman berkata kepadanya, 'Bangunlah sekarang!' Keduanya pun bangun dan melaksanakan shalat. Salman berkata, Sesungguhnya jiwamu mempunyai hak atasmu, Tuhanmu mempunyai hak atasmu, tamumu punya hak atasmu, dan keluargamu mempunyai hak atasmu. Oleh karena itu, berikanlah hak-hak mereka." Setelah itu keduanya mendatangi Rasulullah SAW untuk menceritakan hal tersebut kepada beliau. Beliau pun bersabda, 'Salman benar'."

At-Tirmidzi berkata, "Hadits ini shahih. Hadits ini telah mengumpulkan pemberitahuan bahwa hak keluarga (istri) adalah dengan persetubuhan, bersenang-senang, serta semua hal yang lebih baik untuknya. Hak tamu dengan pelayanan, bercengkerama, saling memberi makan, dan lainnya. Hak anak dengan mengatur urusan mereka melalui usaha dan pelayanan. Hak jiwa dengan tidak memasukkan hal-hal yang menyusahkannya. Hak Allah SWT dengan seluruh kewajiban yang telah disebutkan dan dengan tugas-tugas lainnya, baik yang wajib maupun yang sunah, yang lebih penting dan yang ia kerjakan."

Jadi, yang wajib adalah memberikan hak kepada orang yang berhak menerimanya. Apabila seseorang mewajibkan dirinya mengerjakan satu atau dua perkara sunah, maka terkadang hal itu akan mencegahnya Jadi, yang wajib adalah memberikan hak kepada orang yang berhak menerimanya. Apabila seseorang mewajibkan dirinya mengerjakan satu atau dua perkara sunah, maka terkadang hal itu akan mencegahnya

3. Dikhawatirkan jiwa menjadi benci terhadap amalan wajib, karena ia telah mewajibkan jenis amal yang pelaksanaannya dilakukan secara terus-menerus yang justru menyusahkannya. Kesusahan itu benar-benar membuatnya merasa jijik dari amalan itu, sehingga ia mengandai-andai jika dirinya tidak mengerjakannya, atau ia berangan-angan seandainya dirinya tidak melazimkannya. Makna itu diisyaratkan oleh hadits Aisyah RA dari Nabi SAW, bahwa beliau bersabda,

"Sesungguhnya agama ini sangat kuat, maka masuklah ke dalamnya dengan lemah lembut dan janganlah kamu membuat jiwamu benci dengan ibadah kepada Allah, karena binatang yang 'putus asa' tidak ada belahan bumi yang ditempuh dan tidak ada pula punggung yang ditegakkan (duduk di atas pelana)".

Rasulullah SAW menyerupakan orang yang masuk agama dengan keras dengan binatang yang putus asa, yaitu yang terputus pada sebagian perjalanan karena dipaksa untuk ditunggangi terus-menerus, sehingga ia tidak mampu berjalan lagi. Seandainya ia mengendarainya dengan lemah lembut, maka ia akan sampai ke tujuannya.

Begitu pula manusia, karena umurnya adalah jarak perjalanan, ter- minal akhirnya adalah mati, dan kendaraannya adalah jiwanya, maka ia dituntut untuk berlaku lemah lembut dengan dirinya sehingga memudahkannya menempuh jarak usianya dengan memikul beban.

Nabi SAW melarang melakukan hal-hal yang menyebabkan jiwa benci terhadap ibadah kepada Allah. Ingat, sesuatu yang dilarang syariat bukanlah sesuatu yang baik.

Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dari Ibnu Abbas RA, ia berkata,

"Ketika diturunkan ayat, 'HaiNabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan,

dan untuk jadi penyeru kepada agama Allah dengan izin-Nya dan untuk menjadi cahaya yang menerangi.' (Qs. Al Ahzaab [33]: 45- 46)

Rasulullah SAW memanggil Ali RA dan Mu'az RA seraya bersabda, 'Berangkatlah kalian berdua dan berilah kabar gembira serta kemudahan, dan jangan memberi kesulitan, karena telah diturunkankan kepadaku ayat, 'Hai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, dan untuk jadi penyeru kepada agama Allah dengan izin-Nya dan untuk menjadi cahaya yang menerangi'." (Qs. Al Ahzaab [33]: 45-46).

Diriwayatkan oleh Muslim dari Said bin Abu Bararah, dari bapaknya, dari kakeknya, bahwa Nabi SAW mengutusnya (Ali) dan Muadz ke Yaman, beliau bersabda,

" Berilah kabar gembira dan janganlah kamu takuti, berilah kemudahan dan jangan memberi kesulitan, serta bersepakatlah dan jangan berselisih."

Darinya pula, bahwa jika Nabi SAW mengutus seseorang (dari sahabat beliau) dalam suatu urusan, maka beliau bersabda,

"Berilah kabar gembira dan jangan kamu takuti serta berilah kemudahan dan jangan memberi kesulitan."

Ini adalah larangan untuk memberi kesulitan. Orang yang mewajibkan diri (atas sesuatu yang tidak wajib) sehingga menyulitkan dalam beribadah juga termasuk kategori ini.

Diriwayatkan oleh Ath-Thabari dari Jabir bin Abdullah RA, ia berkata: (Suatu hari) Nabi SAW melintasi seorang laki-laki yang sedang| shalat di atas batu besar di kota Makkah. Beliau lalu singgah di sisi kota

Makkah dan berdiam sambil berpikir, kemudian pergi. Temyata beliau mendapatkan orang itu masih shalat, seperti keadaan sebelumnya, maka beliau bersabda,

" Wahai manusia, hendaklah kalian bersikap ekonomis dan adil —beliau menyebutkannya tiga kali— karena Allah tidak bosan sampai kamu bosan."

Buraidah Al Astami meriwayatkan bahwa Nabi SAW melihat seorang laki-laki sedang shalat, maka beliau bertanya,

"Siapakah orang ini?" Aku menjawab, "la adalah fulan." Aku lalu menyebutkan tentang ibadah dan shalatnya. Beliau kemudian bersabda, "Sesungguhnya sebaik-baik agamamu adalah kemudahannya."

Sabda ini mengisyaratkan ketidakridhaan beliau terhadap kondisi tersebut, karena beliau khawatir akan timbul kebencian terhadap ibadah yang diamalkannya itu, dan kebencian terhadap amalan justru akan membuatnya meninggalkan amalan itu. Oleh karena itu, hukumnya makruh bagi orang yang mewajibkan (sesuatu yang tidak wajib) kepada jiwanya, karena itu menyalahi perjanjian.

4. Pada tiga sisi yang telah disebutkan terdapat dalil yang menunjukkan sisi keempat ini, karena sabda Rasulullah SAW yang berbunyi, "Kendaraan yang terputus tidak ada jarak yang ditempuh dan tidak ada punggung yang ditegakkan (duduk di atas pelana)", dan "Janganlah kamu membuat dirimu benci untuk beribadah kepada Allah" menunjukkan bahwa membenci amal akan menyebabkan terputusnya amal tersebut. Oleh karena itu, Nabi SAW mempermisalkannya dengan 4. Pada tiga sisi yang telah disebutkan terdapat dalil yang menunjukkan sisi keempat ini, karena sabda Rasulullah SAW yang berbunyi, "Kendaraan yang terputus tidak ada jarak yang ditempuh dan tidak ada punggung yang ditegakkan (duduk di atas pelana)", dan "Janganlah kamu membuat dirimu benci untuk beribadah kepada Allah" menunjukkan bahwa membenci amal akan menyebabkan terputusnya amal tersebut. Oleh karena itu, Nabi SAW mempermisalkannya dengan

5. Dikhawatirkan akan masuk kategori sikap ghuluw (berlebih-lebihan) dalam suatu perkara dan melampaui batas hingga mencapai derajat israf (pemborosan) dalam agama.

Beberapa hal yang telah dijelaskan menunjukkan hal itu, padahal Nabi SAW bersabda, " Wahai manusia, hendaklah kalian bersikap ekonomis." Allah juga berfirman, "Janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. "(Qs. Al Maa * idah [5]: 77)

Diriwayatkan dan Ibnu Abbas RA, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda kepadaku pada pagi hari (melontar) Aqabah,

"Kumpulkanlah untukku kerikil-kerikil untuk melontar jumrah." Ketika aku meletakkan krikil-krikil di tangan, beliau bersabda, "Kerikil- kerikil sebesar ini? Yang seperti kerikil-kerikil itu? Janganlah kamu bersikap berlebih-lebihan (dengan cara tidak benar) di dalam agama, karena orang-orang sebelum kamu binasa hanya karena berlebih- lebihan dalam agama."

Beliau mengisyaratkan bahwa ayat larangan dari sikap berlebih-lebihan ini maknanya mencakup setiap sesuatu yang berlebih-lebihan dan diluar batas, dan kebanyakan hadits-hadits yang terikat dikeluarkan oleh Ath-Thabrani.

Ia juga meriwayatkan dari Yahya bin Ju'dah, ia berkata: Dikatakan kepadanya, "Kerjakanlah sedang kamu menaruh kasihan, dan tinggalkanlah pekerjaan padahal kamu mencintainya. Pekerjaan yang dilakukan secara Ia juga meriwayatkan dari Yahya bin Ju'dah, ia berkata: Dikatakan kepadanya, "Kerjakanlah sedang kamu menaruh kasihan, dan tinggalkanlah pekerjaan padahal kamu mencintainya. Pekerjaan yang dilakukan secara

Seorang laki-laki datang kepada Muadz seraya berkata, "Berilah wasiat kepadaku!" la berkata, "Apakah kamu orang yang mau taat kepadaku?" la menjawab, "Ya." la berkata, "Shalatlah dan tidurlah, berbukalah dan puasalah, berusahalah dan janganlah kamu menemui Allah (mati) kecuali dalam keadaan muslim, serta hindarilah doa orang yang dizhalimi."

Diriwayatkan dan Ishak bin Suwaid, bahwa Rasulullah SAW bersabda kepada Abdullah bin Muththarrif,

" Ya Abdullah! Ilmu itu lebih utama daripada amal perbuatanmu dan kebaikan itu berada di antara dua keburukan. Sebaik-baik perkara adalah pertengahannya dan seburuk-buruk perjalanan adalah —dengan— kecepatan tinggi."

Makna sabdanya, "Kebaikan itu berada di antara dua keburukan, " adalah, kebaikan itu ekonomis dan adil, sedangkan dua keburukan adalah melampaui batas dan mengurang-ngurangi. Itulah yang ditunjukkan maknanya oleh firman Allah SWT, "Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya..." (Qs. Allsraa' [17]: 29) dan "Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak(pula)kikir..." (Qs. Al Furqaan [25]: 67)

Makna haqhaqah: Perjalanan dengan kecepatan tertinggi dan meletihkan punggung. Hal ini juga merupakan sikap berlebih-lebihan serta boros.

Yang senada dengan itu juga diriwayatkan dari Yazid bin Marrah Al Ja'fi, ia berkata, "Ilmu itu lebih baik daripada amal perbuatan, dan kebaikan itu berada di antara dua keburukan."

Diriwayatkan dari Ka'ab bin Ahbar, ia berkata, "Sesungguhnya agama Diriwayatkan dari Ka'ab bin Ahbar, ia berkata, "Sesungguhnya agama

Ibnu Wahab juga meriwayatkan hadits yang senada dengan itu dari Abdullah bin Amru bin Ash.

Yang demikian ini mengisyaratkan untuk mengambil amal perbuatan yang dapat dikerjakan secara terus-menerus tanpa merasa susah.

Diriwayatkan dari Umar bin Ishak, ia berkata, "Aku bertemu dengan sebagian sahabat Nabi SAW lebih banyak daripada orang-orang yang telah mendahuluiku, dan aku tidak melihat suatu kaum yang lebih ringan perjalanannya dan lebih sedikit tekanannya daripada mereka (sahabat)."

Hasan berkata, "Agama Allah diletakkan di atas kekurangan dan di bawah —sesuatu yang— berlebih-lebihan."

Dalil-dalil yang senada dengan makna ini semuanya kembali kepada kaidah, bahwa tidak ada kesusahan dalam agama. Kesusahan yang dimaksud disesuaikan dengan perkembangan zaman, dan ia sesuai dengan zaman sekarang —seperti melaksanakan ibadah berat pada dirinya sendiri— pada zaman yang akan datang, karena kesusahan akan selalu bersanding dengan sikap terus-menerus dalam mengerjakan sesuatu. Seperti kisah Abdullah bin Amru RA dan lainnya, walaupun terus-menerus dalam mengerjakan sesuatu merupakan tuntutan, sesuai dengan yang ditunjukkan oleh perkataan Abu Umamah tentang firman Allah SWT, "Maka mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya," dan sabda Rasulullah SAW,

"Amal perbuatan yang paling dicintai Allah adalah yang dikerjakan oleh pelakunya secara terus-menerus, walaupun sedikit."

Oleh karena itu, apabila Nabi SAW mengerjakan suatu perbuatan, maka ia menetapkannya, hingga beliau mengqadha dua rakaat antara Zhuhur dan Ashar setelah Ashar.

Hal itu jika orang yang mengerjakannya tidak bemiat mengerjakannya secara terus-menerus. Bagaimana jika ia telah membulatkan niat untuk tidak meninggalkannya? Itu lebih pantas untuk dikerjakan secara terus-menerus. Oleh karena itu, Rasulullah SAW bersabda kepada Abdullah bin Amru,

" Wahai Abdullah! Janganlah kamu seperti fulan, dulu ia biasa bangun malam, (akhirnya) ia meninggalkan bangun malam. "Hadits shahih.

Rasulullah SAW melarangnya seperti si fulan itu. Dari hal ini nampak kebencian meninggalkan perbuatan itu, baik dari fulan maupun lainnya.

Kesimpulannya adalah, bagian ini yang memungkinkan timbulnya kesulitan ketika dilakukan secara terus-menerus dituntut untuk ditinggalkan dengan alasan (illat) kebanyakan, sehingga dipahami —ketika menetapkannya— bahwa apabila /7/aritu hilang, maka hilang pula tuntutan untuk meninggalkannya, dan apabila tuntutan meninggalkannya itu hilang, maka kembali pada asal amal perbuatan, yaitu tuntutan mengerjakan. Jadi, orang yang melaksanakan sesuatu itu dengan melazimkan syaratnya, masuk dalam kategori orang yang melakukan perbuatan makruh pada awalnya dari satu sisi, karena adanya kemungkinan tidak menepati syaratnya. Ia juga termasuk orang yang telah melakukan perbuatan sunah, karena secara zhahir ia ingin melakukannya.

Sunnah karena Allah SWT memerintahkan untuk dipenuhi dan makruh karena timbulnya kebencian padanya untuk masuk ke dalam ibadah tersebut.

Ketika makruh itu menjadi hukum pertama, maka masuk ke dalam amal perbuatan yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah menyerupai masuk ke dalamnya tanpa perintah, sehingga ia diserupakan dengan orang yang berbuat bid'ah dan melakukan ibadah yang tidak diperintahkan. Dengan Ketika makruh itu menjadi hukum pertama, maka masuk ke dalam amal perbuatan yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah menyerupai masuk ke dalamnya tanpa perintah, sehingga ia diserupakan dengan orang yang berbuat bid'ah dan melakukan ibadah yang tidak diperintahkan. Dengan

Dilihat dari sisi hukum asal perbuatan, bahwa amal perbuatan pada asalnya diperintahkan untuk mengerjakannya sebelum melihat ujungnya atau tanpa melihat kesulitan yang ada atau dengan keyakinan bahwa ia dapat memenuhi syaratnya, maka pelakunya menyerupai orang yang mengerjakan amalan sunah dengan tujuan ibadah. Hal itu berjalan sesuai substansi dalil- dalil sunah. Setelah memasuki suatu amal, maka diperintahkan untuk memenuhinya, baik dalam bentuk nadzar maupun pewajiban dalam hati tanpa nadzar. Seandainya yang demikian itu merupakan perbuatan bid'ah yang masuk ke dalam definisi bid'ah, maka tidak akan diperintahkan untuk memenuhinya, dan tentunya amal perbuatan tersebut batil.

Oleh karena itu, tertera dalam sebuah hadits bahwa Rasulullah SAW melihat seorang laki-laki sedang berdiri di bawah terik matahari, maka beliau bertanya,

"Kenapa orang ini?" Mereka menjawab, "la bernadzar untuk tidak bernaung, tidak berbicara, tidak duduk, dan berpuasa." Beliau bersabda, " Perintahkan orang itu untuk duduk, berbicara, dan bernaung, serta sempurnakan puasanya."

Coba perhatikan bagaimana Nabi SAW membatalkan perbuatan bid'ah yang tidak disyariatkan dan memerintahkan untuk memenuhi nadzar yang disyariatkan pada asalnya. Seandainya perbedaan antara keduanya tidak ada maknanya, maka pembedaan antara keduanya juga tidak ada maknanya. Begitu pula jika orang yang masuk ke suatu amalan diperintahkan untuk mengerjakannya secara kontinu, maka rnengerjakannya merupakan ketaatan, bahkan masuk dalam perbuatan yang wajib dilakukan, karena sesuatu yang Coba perhatikan bagaimana Nabi SAW membatalkan perbuatan bid'ah yang tidak disyariatkan dan memerintahkan untuk memenuhi nadzar yang disyariatkan pada asalnya. Seandainya perbedaan antara keduanya tidak ada maknanya, maka pembedaan antara keduanya juga tidak ada maknanya. Begitu pula jika orang yang masuk ke suatu amalan diperintahkan untuk mengerjakannya secara kontinu, maka rnengerjakannya merupakan ketaatan, bahkan masuk dalam perbuatan yang wajib dilakukan, karena sesuatu yang

"Barangsiapa bernadzar untuk taat kepada Allah, maka taatilah." Hal itu karena Allah SWT memuji orang yang memenuhi nadzamya

dalam firman-Nya, "Mereka menunaikan nadzar". (Qs. Al Insaan [76]: 7) dalam gaya pujian dan pemberian ganjaran baik. Disebutkan pula dalam surah Al Hadiid, "Maka Kami berikan kepada orang-orang yang beriman di antara mereka pahalanya." (Qs. Al Hadiid [57]: 27) Tidak ada ganjaran kecuali atas sesuatu yang dituntut secara syariat.

Perhatikanlah makna tersebut! Makna itulah yang sesuai dengan amal perbuatan salafush-shalih RA, yang berdasar pada dalil-dalil tersebut. Dengan makna itu pula simalah prolem kontradiksi yang muncul pertama kali, sehingga ayat-ayat, hadits-hadits, dan kisah-kisah perjalanan yang lalu dapat berjalan seirama.