Mengembalikan Hukum kepada Keyakinan Hati dan
E. Mengembalikan Hukum kepada Keyakinan Hati dan
Bisikan Jiwa Jika dikatakan: Bukankah ada beberapa hadits yang
menunjukkan bolehnya merujuk kembali pada apa yang diyakini oleh hati dan apa yang dibisikkan oleh jiwa, jika tidak ada dalil yang pasti atau tidak ada yang menunjukkan kepada suatu hukum tertentu secara pasti? Ada beberapa hadits Nabi SAW yang shahih yang menyatakan hal ini, antara lain: menunjukkan bolehnya merujuk kembali pada apa yang diyakini oleh hati dan apa yang dibisikkan oleh jiwa, jika tidak ada dalil yang pasti atau tidak ada yang menunjukkan kepada suatu hukum tertentu secara pasti? Ada beberapa hadits Nabi SAW yang shahih yang menyatakan hal ini, antara lain:
" Tinggalkanlah sesuatu yang meragukanmu dan ambillah yang tidak meragukanmu. Kebenaran itu ketenangan dan kebohongan adalah keragu-raguan."
b. Diriwayatkan oleh Muslim dari An-Nuwas bin Sam'an RA, ia berkata: Aku pernah bertanya kepada Rasulullah SAW tentang kebaikan dan dosa, beliau lalu menjawab,
"Kebaikan adalah baiknya budi pekerti, sedangkan dosa adalah sesuatu yang membuat dadamu gelisah dan engkau tidak suka bila orang lain mengetahuinya. "
c. Diriwayatkan dari Abu Umamah RA, ia berkata, "Seseorang bertanya, 'Wahai Rasulullah, apa itu iman?' Beliau menjawab,
l Jika engkau senang dengan amal baikmu dan susah dengan amal jelekmu, maka engkau adalah seorang mukmin! Ia bertanya lagi, 'Wahai
Rasulullah, apa itu dosa?' Beliau menjawab, 'Jika ada sesuatu yang membuat jiwamu gelisah, maka tinggalkanlah'."
d. Diriwayatkan dari Anas bin Malik RA, ia berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda,
" Tinggalkanlah sesuatu yang meragukan dan ambillah yang tidak " Tinggalkanlah sesuatu yang meragukan dan ambillah yang tidak
e. Diriwayatkan dari Wabishah RA, ia berkata: Aku pernah bertanya kepada Rasulullah SAW tentang kebaikan dan dosa. Beliau menjawab,
" Wahai Wabishah, mintalah fatwa (pendapat) pada hatimu dan mintalah fatwa pada jiwamu! Kebaikan adalah sesuatu yang membuat jiwamu tenang dan membuat hatimu tenang, sedangkan dosa adalah sesuatu yang membuat gelisah dalam jiwamu dan kerisauan dalam dadamu,
dan meskipun orang-orang memberi fatwa kepadamu dan kamu memberi fatwa."
f. Dalam kitab Mu'jam-nya Imam Al Baghawi meriwayatkan dari Abdurrahman bin Mu'awiyah, bahwa ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Rasulullah SAW, "Wahai Rasulullah, apa yang dihalalkan dan diharamkan atas kami?" Rasulullah SAW diam hingga laki-laki tersebut mengulangnya sampai tiga kali, sedangkan Rasulullah SAW tetap diam. Beliau lalu bersabda,
"Dimana orang yang bertanya tadi? ' Laki-laki tadi menjawab, "Aku wahai Rasulullah." Beliau kemudian bersabda sambil mengetuk-ngetuk jarinya, "Apa yang diingkari oleh hatimu, maka tinggalkanlah."
g. Diriwayatkan dari Abdullah, ia berkata, "Dosa adalah sesuatu yang membuat hati gelisah, maka semua hal yang membuat hatimu gelisah tinggalkanlah. Syetan sangat senang dengan segala sesuatu g. Diriwayatkan dari Abdullah, ia berkata, "Dosa adalah sesuatu yang membuat hati gelisah, maka semua hal yang membuat hatimu gelisah tinggalkanlah. Syetan sangat senang dengan segala sesuatu
haram itu jelas, sedangkan di antara keduanya ada sesuatu yang meragukan. Oleh karena itu, tinggalkanlah sesuatu yang meragukan dan lakukanlah sesuatu yang tidak meragukan."
h. Diriwayatkan dari Abu Ad-Darda' RA, ia berkata, "Sesungguhnya sesuatu yang baik itu adalah sebuah ketenangan, maka tinggalkanlah sesuatu yang meragukan dan lakukanlah sesuatu yang tidak meragukan."
i. Syuraih berkata, "Tinggalkanlah sesuatu yang meragukan dan lakukanlah sesuatu yang tidak meragukan. Demi Allah, aku tidak mendapatkan apa pun yang aku tinggalkan kecuali mengharap ridha dari Allah."
Semua hadits dan atsar-atsar tersebut artinya: masalah hukum-hukum syariat dikembalikan pada apa yang ada di dalam hati dan apa yang dibisikkan oleh jiwa. Jika hati merasa tenang maka boleh dilakukan, tapi jika merasa ragu-ragu tidak boleh dilakukan. Hal ini sama dengan mengembalikan pada dalil al istihsan yang bersumber dari hati dan pikiran, selama tidak ada dalil syar'i yang lain. Bila ada dalil syar'i atau ada sesuatu yang di-taqyid (dibatasi) dengan salah satu dalil syar'i, maka kita tidak boleh menentukan hukum dengan berlandaskan pada apa yang ada di dalam hati dan pikiran kita, karena ini merupakan hal yang sia-sia dan tidak ada manfaatnya, seperti orang yang mengambil landasan dari dalil-dalil syar'i untuk masalah-masalah yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan hukum syar'i. Semua ini menunjukkan bahwa al istihsan adalah pendapat akal dan kecenderungan jiwa yang sangat berpengaruh dalam penetapan hukum.
Maka jawabannya: Semua hadits dan atsar yang disebutkan tadi, menurut Imam Ath-Thabari —dalam kitab Tahdzib Al Atsar— telah di- shahihkan oleh sebagian ulama dan bisa diamalkan. Beliau lalu menambah dengan menyebutkan atsar dari Umar, Ibnu Mas'ud, dan lainnya. Beliau kemudian menyatakan bahwa sebagian ulama yang lain menghukumi Maka jawabannya: Semua hadits dan atsar yang disebutkan tadi, menurut Imam Ath-Thabari —dalam kitab Tahdzib Al Atsar— telah di- shahihkan oleh sebagian ulama dan bisa diamalkan. Beliau lalu menambah dengan menyebutkan atsar dari Umar, Ibnu Mas'ud, dan lainnya. Beliau kemudian menyatakan bahwa sebagian ulama yang lain menghukumi
Perkataan beliau ini cocok sekali dengan masalah yang sedang kita bahas saat ini. Tetapi saya mengutipnya secara makna saja, karena perkataannya panjang sekali. la lalu menyebutkan perkataan dari beberapa ulama: Tidak ada satu masalah pun kecuali Allah telah menjelaskannya, baik secara tekstual maupun kontekstual. Jika suatu itu halal maka orang yang mengerjakannya harus berkeyakinan tentang kehalalannya selama ia tahu itu halal. Jika suatu itu haram maka ia harus meyakini keharamannya. Jika suatu itu makruh maka ia harus meyakini kemakruhannya. Orang tidak boleh beramal dengan berdasarkan kata hatinya, karena Allah telah melarangnya atas Nabinya SAW, Dia berfirman, "Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antar
a manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu. "(Qs. An-
Nisaa' [4J: 105)
Allah SWT memerintahkan Rasulullah SAW untuk menghukumi manusia dengan wahyu yang telah diturunkan kepadanya bukan dengan pendapat dan kata hatinya. Oleh karena itu, orang selain beliau lebih utama dalam hal pelarangan atas hal ini. Jika ia orang yang bodoh, maka kewajibannya adalah bertanya kepada para ulama, bukan mengambil pendapat berdasarkan kata hatinya.
Diriwayatkan dari Umar RA, bahwa beliau pernah berkhutbah, "Wahai manusia, telah disyariatkan bagimu sunah-sunah dan telah diwajibkan bagimu kewajiban-kewajiban. Kalian ditinggalkan di atas perkara yang terang, sehingga kalian tidak akan disesatkan oleh orang-orang, baik ke kanan
maupun ke kiri." 35
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA, ia berkata, "Apa yang disebutkan di dalam Al Qur' an tentang kehalalan atau keharamannya, begitulah adanya, sedangkan apa yang tidak disebutkan di dalam Al Qur’an merupakan sesuatu yang Allah maafkan bagi kalian."
35 Tidak suka untuk tersesat dan menghindari kesesatan.
Imam Malik berkata, "Rasulullah SAW meninggal dunia dan urusan ini telah sempurna, maka hendaklah lata mengikuti sabda-sabda beliau dan para sahabatnya, serta jangan mengikuti akal pikiran. Sesungguhnya jika seseorang mengikuti akalnya, maka ketika ada orang lain yang lebih baik akalnya daripadanya, ia akan mengikuti orang tersebut, dan begitu seterusnya jika ada orang yang lebih baik akalnya, sehingga tidak akan ada habisnya."
Oleh karena itu, kalian harus beramal sesuai dengan Sunnah,
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Jabir RA, bahwa Nabi SAW bersabda,
"Aku telah meninggalkan sesuatu pada kalian, apabila kalian berpegang teguh dengannya maka kalian tidak akan tersesat; kitabullah dan
Sunnahku, keduanya tidak akan terpisahkanhinggasampaiditelaga." 36 Diriwayatkan dari Amr bin... bahwa Rasulullah SAW suatu hari keluar
dan mendapati orang-orang sedang memperdebatkan Al Qur'an. Beliau lalu marah dan bersabda, 37
36 Aku tidak mengetahui ada hadits dengan lafazh ini dari Jabir Hal itu diriwayatkan darinya dengan lafazh yang kurang lebih seperti ini, juga riwayat Ibnu Abu Syaibah dan Al Khatib
dalam kitab A! Muttafaq, dan yang membedakan adalah "Aku telah meninggalkan sesuatu pada kalian, sehingga apabila kalian berpegang teguh dengannya, maka kalian tidak akan
tersesat; Kitabullah dan keluargaku ahli bait."
Diriwayatkan pula oleh At-Tirmidzi dan An-Nasa’i dengan lafazh, "Wahai manusia sesungguhnya aku meninggalkan sesuatu pada kalian jika kalian ambil, maka kalian tidak tersesat; kitabullah dan keluargaku; ahli bait." Hadits ini menggunakan lafazh keluarga sebagai ganti dari Sunnah, di antara mereka adalah Zaid bin Tsabit, Zaid bin Arqam dan Abu Said Al Khudri. Namun hadits ini diriwayatkan dari Abu Hurairah dengan lafazh Sunnah dan kedua redaksi itu menggunakan redaksi, "Tidak akan terpecah hingga sampai ke telaga." Kumpulan dari dua redaksi itu adalah bahwa keluarga adalah orang yang menjaga Sunnah atau zaman tidak akan meninggalkannya sebagai suriteladan.
37 Seperti inilah redaksi aslinya yang diriwayatkan oleh Nash Al Maqdisi dari Ibnu Umar, ia berkata, "Suatu ketika Rasulullah pernah keluar, dan orang-orang yang ada di belakang
kamarnya berdebat masalah Al Qur’an, kemudian beliau menemui mereka dengan wajah yang memerah seperti darah (tanda kemerahan) lalu beliau berkata, "Wahai kaum, janganlah berdebat dalam masalah Al Qur ’ an, karena orang-orang sebelum kalian sesat karena mendebat
" Wahai kaum, hal seperti inilah yang membuat umat-umat sebelum kalian hancur. Mereka memperdebatkan Al Qur’an dan mempertentangkan antara satu ayat dengan ayat yang lain. Jadi, apa yang dihalalkan Al Qur'an kerjakanlah, apa yang diharamkan Al Qur'an tinggalkanlah, dan apa yang meragukan imanilah."
Diriwayatkan dari Abu Ad-Darda' RA —ia me-marfu'-kannya— ia berkata, "Apa yang telah dihalalkan Allah dalam kitab-Nya adalah halal, apa yang diharamkan Allah dalam kitab-Nya adalah haram, dan apa yang tidak dijelaskan maka itu dimaafkan. Jadi, terimalah sesuatu yang dimaafkan Al- lah ini, karena Allah tidak mungkin lupa atas sesuatu apa pun. Firman-Nya, 'Dan tidaklah Tuhanmu lupa'. "(Qs. Maryam [19]: 64)
Mereka berkata, "Semua hadits dan atsar tersebut menunjukkan kewajiban mengamalkan Al Qur'an dan menjelaskan bahwa orang yang mengamalkannya tidak akan tersesat. Hadits-hadits tersebut tidak mengizinkan seorang pun untuk mengamalkan selain Al Qur’an dan Sunnah, karena seandainya ada dalil selain keduanya, niscaya diterangkan. Tidak ada keterangan adanya dalil selain keduanya, maka kita tidak boleh melakukannya, dan orang yang beranggapan adanya dalil selain keduanya maka pendapatnya salah."
Mereka berkata: Jika dikatakan, "Sesungguhnya Nabi SAW telah menjelaskan adanya dalil yang ketiga pada umatnya, yaitu, sabda beliau SAW,
'Mintalah fatwa pada hatimu.' dan sabda beliau SAW, Dosa adalah
kitab mereka, sesungguhnya Al Qur'an tidaklah diturunkan untuk membohongi sebagian dengan sebagian yang lain, namun ia turun untuk membenarkan sebagian dengan sebagian yang lain maka sesuatu yang muhkam, maka amalkanlah dan sesuatu yang mutasybih, maka
imanilah." imanilah."
pembatal atas kewajiban mengamalkan Al Qur’an dan Sunnah, karena hukum-hukum Allah dan Rasul-Nya tidak ditetapkan lewat sesuatu yang dianggap baik atau buruk oleh hati. Dalil ketiganya ini hanya bisa diberlakukan jika ada sesuatu yang tidak dijelaskan oleh keduanya (Al Qur’an dan Sunnah) dan yang seperti ini tidak ada, maka tidak perlu lagi adanya penambahan dalil ketiga.
Jika dikatakan, "Mungkin saja sabda beliau SAW, 'Mintalah fatwa pada hatimu' dan yang lain berfungsi sebagai perintah bagi setiap orang yang masalahnya tidak disebutkan oleh Al Qur’an maupun Sunnah, dan adanya perbedaan pendapat dalam masalah ini di kalangan umat, maka ini bisa dijadikan sebagai dalil ketiga."
Maka jawabannya: Hal ini tidak boleh karena beberapa hal berikut ini:
1. Segala sesuatu yang secara tersurat tidak disebutkan, telah disebutkan hukumnya secara tersirat. Jika kata (fatwa) hati dan lainnya merupakan dalil, maka sesuatu yang telah disebutkan hukumnya secara tersirat tidak ada gunanya dan termasuk perbuatan yang sia-sia. Ini adalah batil.
2. Firman Allah, "Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (Sunnahnya. "(Qs. An-Nisaa" [4]: 59)
Dalam ayat ini Allah SWT memerintahkan untuk kembali kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (Sunnah) bukan kembali pada bisikan jiwa dan fatwa hati.
3. Allah berfirman, "Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui. "(Qs. An-Nahl [16]: 43 dan Al Anbiyaa" [21]: 7)
Dalam ayat ini Allah SWT memerintahkan mereka untuk bertanya kepada para ulama tentang kebenaran dalam masalah yang menjadi Dalam ayat ini Allah SWT memerintahkan mereka untuk bertanya kepada para ulama tentang kebenaran dalam masalah yang menjadi
4. Allah SWT telah berfirman pada Nabi-Nya sebagai hujjah bagi orang-orang yang mengingkari keesaan-Nya, "Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan.... "(Qs. Al Ghaasyiyah [88]: 17)
Dalam ayat ini Allah SWT menyuruh mereka untuk mengambil pelajaran dengan petunjuk-Nya dan berdalil dengan dalil-dalil-Nya atas kebenaran yang sampai kepada mereka. Dalam hal ini Allah SWT tidak menyuruh mereka untuk meminta fatwa kepada jiwa mereka dan melaksanakan apa yang membuat hatinya tenteram. Allah SWT telah menciptakan berbagai macam tanda dan dalil, maka sepantasnyalah segala hal tersebut digunakan sebagai sebuah dalil pula, bukan justru menggunakan dalil dari fatwa hati dan ketenteraman jiwa dari orang-orang yang bodoh yang sama sekali tidak tahu hukum Allah.
Inilah yang diceritakan oleh Ath-Thabari dari ulama-ulama terdahulu. Beliau lalu lebih memilih mengamalkan hadits-hadits tersebut, karena mungkin beliau men-shahih-kannya atau karena maknanya yang shahih dalam pandangan beliau, seperti hadits, "Sesuatu yang halal itu jelas dan sesuatu yang haram itu jelas..." Hadits ini shahih dikeluarkan oleh Al Bukhari dan Muslim. Akan tetapi penulis tidak menggunakan hadits ini untuk semua permasalahan fikih, karena hadits ini tidak mungkin dipakai sebagai dalil untuk membuat syariat baru dalam amalan dan membuat ibadah baru. Jadi, untuk masalah membuat syariat baru dalam amalan tidak bisa dikatakan, "Apabila hatimu merasa tenteram dengan amalan ini, maka itu adalah amalan yang baik." Atau, "Mintalah fatwa dari hatimu dalam membuat amalan baru. Jika hatimu merasa tenteram dengannya maka lakukanlah, namun jika tidak maka tinggalkanlah."
Demikian pula yang berkenaan dengan masalah tarkiyyah (meninggalkan amalan), hadits-hadits tersebut tidak dipahami dengan sebuah perkataan, "Jika hatimu merasa tenteram dengan meninggalkan amalan Demikian pula yang berkenaan dengan masalah tarkiyyah (meninggalkan amalan), hadits-hadits tersebut tidak dipahami dengan sebuah perkataan, "Jika hatimu merasa tenteram dengan meninggalkan amalan
Sesuatu yang berhubungan dengan adat kebiasaan, seperti: menggunakan air, makan, minum, menikah, berpakaian, dan sejenisnya sebagian sudah jelas kehalalannya dan sebagian lagi sudah jelas keharamannya. Adapun sesuatu yang masih samar, maka itu masuk dalam perkara yang syubhat (tidak jelas hukum halal haramnya). Jadi, meninggalkan perkara syubhat lebih baik daripada melakukannya dengan ketidakjelasan status hukumnya, sebagaimana sabda Nabi SAW,
" Sesungguhnya aku pernah mendapati sebutir kurma yang jatuh di atas tempat tidurku. Kalau seandainya aku tidak khawatir itu adalah kurma sedekah, aku pasti memakannya."
Jelas kurma itu tidak lepas dari kurma sedekah yang haram bagi beliau, atau bukan dari kurma sedekah yang halal bagi beliau. Beliau tidak memakannya karena ditakutkan kurma itu kurma sedekah.
Ath-Thabari berkata, "Demikian pula hak Allah atas hamba-Nya dalam masalah-masalah syubhat yang diberi keleluasaan untuk mengerjakan atau meninggalkannya, atau sesuatu yang bukan merupakan sebuah kewajiban. Seorang hamba harus meninggalkan sesuatu yang meragukan dan melaksanakan sesuatu yang tidak meragukan, karena dengan begitu keraguan yang ada dalam dirinya akan hilang. Seperti orang yang ingin meminang [khitbah) seorang gadis lalu ada seorang wanita yang memberitahukannya bahwa seorang wanita pernah menyusuinya bersama dengan gadis tadi, dan orang tadi tidak tahu apakah yang disampaikan wanita tadi benar atau tidak. Jika ia tidak jadi meminang gadis tadi, maka hilanglah keraguan dalam dirinya yang disebabkan oleh informasi wanita tadi, dan menikah dengan gadis itu Ath-Thabari berkata, "Demikian pula hak Allah atas hamba-Nya dalam masalah-masalah syubhat yang diberi keleluasaan untuk mengerjakan atau meninggalkannya, atau sesuatu yang bukan merupakan sebuah kewajiban. Seorang hamba harus meninggalkan sesuatu yang meragukan dan melaksanakan sesuatu yang tidak meragukan, karena dengan begitu keraguan yang ada dalam dirinya akan hilang. Seperti orang yang ingin meminang [khitbah) seorang gadis lalu ada seorang wanita yang memberitahukannya bahwa seorang wanita pernah menyusuinya bersama dengan gadis tadi, dan orang tadi tidak tahu apakah yang disampaikan wanita tadi benar atau tidak. Jika ia tidak jadi meminang gadis tadi, maka hilanglah keraguan dalam dirinya yang disebabkan oleh informasi wanita tadi, dan menikah dengan gadis itu
Demikian pula perkataan Umar RA yang berkenaan dengan masalah jual beli yang tidak ia ketahui halal haramnya jual beli tersebut. Jadi, jika ditinggalkan maka akan membuat hati tenteram dan tenang, namun jika dilakukan akan menimbulkan keraguan, apakah ia berdosa atau tidak (dengan melakukannya)? Inilah maksud dari sabda Nabi SAW kepada An-Nuwas dan Wabishah RA. Hal ini ditunjukkan pula oleh hadits tentang perkara-perkara syubhat yang tadi telah disebutkan, bukan seperti yang disangka oleh mereka, bahwa hadits-hadits tersebut merupakan perintah bagi orang- orang bodoh untuk melaksanakan sesuatu yang dipandang baik oleh diri mereka dan meninggalkan sesuatu yang dipandang buruk oleh diri mereka tanpa bertanya kepada para ulama.
Ath-Thabari berkata, "Jika dikatakan, 'Bila ada orang yang berkata kepada istrinya, 'Kamu haram bagiku,' lalu orang tersebut bertanya kepada ulama dan mereka berbeda pendapat; sebagian berkata, 'la telah dithalak tiga olehmu.' Sebagian lagi berkata, 'la halal bagimu, tetapi kamu harus membayar kafarat (denda) dari sumpahmu.' Lalu yang lain lagi berkata, 'Hal ini tergantung pada niatnya, jika bemiat thalak maka itu berarti thalak, jika berniat dhihar maka hukumnya dhihar, jika berniat hanya sumpah maka hukumnya adalah sumpah, dan jika tidak berniat apa pun maka tidak ada hukumnya sama sekali.' Maka apakah perbedaan ini menunjukkan adanya hukum yang berbeda, sebagaimana informasi dari seorang wanita tentang susuan sehingga ia disuruh untuk menceraikan istrinya, atau sebagaimana dalam kasus susuan tadi sehingga ia diharamkan menikah dengan wanita tersebut, dikarenakan takut jatuh dalam hal yang dilarang? Ataukah perbedaan tersebut tidak menunjukkan adanya hukum yang berbeda?"
Ada yang berpendapat bahwa dalam masalah bertanya kepada ulama, ia berkewajiban untuk melihat kepribadian masing-masing ulama, dilihat dari segi kepercayaan dan nasihat yang disampaikan, lalu ia mengikuti yang Ada yang berpendapat bahwa dalam masalah bertanya kepada ulama, ia berkewajiban untuk melihat kepribadian masing-masing ulama, dilihat dari segi kepercayaan dan nasihat yang disampaikan, lalu ia mengikuti yang
Saya telah menetapkan dalam masalah "Perbedaaan Pendapat Ulama" bagi orang yang meminta fatwa kepada mereka, bahwa kewajibannya adalah memilih dan hukumnya sama seperti hukum orang yang ragu atas suatu masalah dan tidak tahu apakah hal itu halal atau haram?
Oleh karena itu, tidak ada jalan lain untuk keluar dari syubhat (keragu- raguan) ini kecuali mengikuti ulama yang paling baik menurutnya dan beramal dengan fatwanya. Jika tidak demikian maka ia sebaiknya meninggalkan perbuatan tadi, karena hati akan menjadi gelisah.