Jika Seseorang Mewajibkan Suatu Amalan atas

B. Jika Seseorang Mewajibkan Suatu Amalan atas

Dirinya Dalam pembahasan ini ada dua bentuk:

1. Dalam bentuk nadzar. Hukum asalnya adalah makruh. Tidakkah kamu melihat hadits Ibnu Umar RA, ia berkata, "Suatu hari Rasulullah SAW melarang kami bernadzar, beliau bersabda,

' Sesungguhnya nadzar itu tidak mendatangkan sesuatu, dan ia hanya dikeluarkan dari orang kikir'."

Dalam riwayat lain disebutkan,

"Nadzar itu tidak memajukan serta tidak memundurkan sesuatu, dan ia hanya keluar dari orang kikir."

Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, bahwa Nabi SAW bersabda,

"Janganlah kamu bernadzar, karena nadzar itu tidak merubah ketentuan (kadar), dan ia hanya dikeluarkan dari orang kikir."

Keluarnya hadits ini — wallahu a 'lam— hanya untuk memberitahukan tentang kebiasaan bangsa Arab yang selalu bernadzar, "Jika Allah menyembuhkan sakitku ini maka wajib atasku berpuasa sekian hari...." Atau "Jika orang yang pergi itu datang...." Atau "Jika Allah menjadikanku orang kaya, maka wajib atasku bersedekah demikian...."

Oleh karena itu, beliau bersabda bahwa nadzar tidak mempengaruhi ketentuan Allah, tetapi orang yang ditentukan oleh Allah sehat atau sakit, kaya atau miskin, atau lainnya. Jadi, nadzar tidak diletakkan sebagai sebab untuk hal-hal tersebut, sebagaimana — misalnya— diletakkan silaturrahim sebagai sebab mendapat tambahan usia. Bahkan adanya nadzar atau tidak dalam hal tersebut sama saja, akan tetapi Allah mengeluarkannya dari orang kikir dengan mensyariatkan kewajiban memenuhinya, sebagaimana dalam firman-Nya, "Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji... ." (Qs. An- Nahl [16]: 91)

Sabda Rasulullah SAW,

"Barangsiapa bernadzar untuk menaati Allah, rnaka taatilah Dia (laksanakanlah)."

Ini adalah pendapat sekelompok ulama seperti Malik dan Syafi'i. Alasan pelarangan nadzar adalah karena nadzar termasuk dalam

kategori perbuatan yang menyusahkan diri sendiri. Itulah yang ditunjukkan oleh bukti-bukti yang lalu atas kemakruhannya.

2. Mewajibkan diri bukan dalam bentuk nadzar, seakan-akan ia semacam janji, dan memenuhi janji itu suatu hal yang dituntut. Jadi, seakan-akan ia mewajibkan dirinya terhadap perkara yang tidak diwajibkan oleh syariat, sehingga ia termasuk orang yang menyusahkan diri sendiri. Sebagaimana hadits yang lalu tentang tiga kelompok orang yang datang bertanya tentang ibadah Nabi SAW, dan perkataan mereka, "Dimana posisi kita dari Nabi SAW...." Salah seorang dari mereka lalu berkata, "Maka aku akan mengerjakan begini... begini...."

Juga yang seperti itu, yang tertera pada sebagian riwayat, bahwa Rasulullah SAW dikabari tentang Abdullah bin Amru RA yang berkata, "Sungguh, aku akan bangun malam dan puasa pada siang hari selama aku hidup." Itu tidak bermakna nadzar, karena seandainya itu nadzar, maka Nabi SAW tidak bersabda seperti ini, "Puasalah tiga hari dari setiap bulan." dan beliau pasti akan berkata, "Tepatilah nadzarmu." Karena Nabi SAW bersabda, "Barangsiapa bemadzar untuk menaati Allah, maka taatilah Dia (laksanakanlah)."

Pewajiban terhadap diri dengan makna nadzar harus ditepati sebagai kewajiban bukan sebagai anjuran —sesuai dengan pendapat ulama— dan di dalam Al Qur'an serta Sunnah terdapat dalil-dalil yang menunjukkan hal tersebut, dan itu telah disebutkan dalam kitab-kitab fikih. Oleh karena itu, kami tidak memperpanjang kalam pada bab ini.

Sedangkan makna yang kedua, dalil-dalilnya menuntut adanya kepastian untuk menepati janji secara global, namun tidak sampai pada taraf teguran keras ketika meninggalkannya. Sebagaimana dalil-dalil yang menunjukkan pengambilan Abu Umamah RA terhadap pelaksanaan shalat Tarawih di masjid dengan berjamaah seperti shalat sunah rawatib yang dianjurkan untuk dilakukan secara kontinu pada tujuan pertama. Jadi, yang demikian itu menuntut mereka untuk melakukannya secara kontinu, seperti orang yang berjanji kemudian tidak menepatinya sehingga ia dikecam. Namun bentuk seperti ini terbagi kepada dua macam:

1. Di dalamnya terdapat hal-hal yang menyulitkan atau sesuatu yang

memberatkan untuk melaksanakannya sehingga menyebabkan hilangnya sesuatu yang lebih utama. Inilah rahbaniyyah yang dikatakan oleh Nabi SAW,

"Barangsiapa tidak suka dari Sunnahku maka ia bukan golonganku." Pembahasan semacam ini akan dijabarkan pada bab berikutnya.

2. Di dalamnya tidak ada kesulitan atau sesuatu yang memberatkan untuk melaksanakannya, namun ketika mengerjakannya secara kontinu menyebabkan timbulkan masalah dan kesulitan, atau menghilangkan sesuatu yang lebih utama. Jadi, di sini juga terdapat larangan secara mendasar, dan itu juga ditunjukkan oleh dalil-dalil yang lalu.

Pada sebagian riwayat Muslim terdapat penafsiran tentang hal tersebut, ia berkata, "Maka aku memegangnya dengan erat, sehingga aku mendapatkan kesulitan, dan Nabi SAW bersabda kepadaku, 'Sesungguhnya kamu tidak tahu, mungkin saja umurmu panjang'."

Coba perhatikan, bagaimana seseorang mewajibkan sesuatu yang pada dasarnya tidak wajib, sehingga tidak mendatangkan kesulitan untuk mengerjakannya secara kontinu hingga meninggal dunia!

Abdullah bin Amru berkata, "Maka aku menjadi seperti orang yang Abdullah bin Amru berkata, "Maka aku menjadi seperti orang yang

Atas dasar makna tersebut, maka seharusnya sabda Nabi SAW dalam hadits Abu Qatadah RA, "Bagaimana dengan orang yang puasa dua hari dan berbuka satu hari?" la berkata, "Seseorang mampu melakukan hal itu?" Kemudian ia berkata tentang puasa sehari dan berbuka sehari, "Aku sangat ingin mampu melakukan hal itu", mengandung makna —wallahu a 'lam— "Aku sangat ingin mampu mengerjakannya secara terus-menerus."

Jika tidak demikian maknanya, maka beliau selalu berpuasa wishal dan bersabda: "Sesungguhnya aku tidak seperti kalian, karena aku tinggal di sisi Tuhanku yang memberiku makan dan minum."

Dalam sebuah hadits shahih dijelaskan, "Beliau berpuasa hingga kami berkata, 'Beliau tidak berbuka,' dan beliau berbuka hingga kami berkata, 'Beliau tidak berpuasa'."