Perubahan Dalil dari Tempat Asalnya oleh Orang-

E. Perubahan Dalil dari Tempat Asalnya oleh Orang-

Orang yang Condong kepada Kesesatan Jika terdapat sebuah dalil pada satu posisi untuk mendasari suatu

perkara, maka dalil tersebut dirubah dari posisi tersebut kepada perkara lain, yang akhirnya menyebabkan kesamaran antara dua posisi tersebut. Ini merupakan cara halus untuk merubah perkataan dari tempat-tempatnya. Besar kemungkinan bagi seseorang yang menyatakan dirinya muslim akan mencaci perbuatan tersebut. Ia tidak akan menjalankan hal ini kecuali ada kesamaran yang membingungkannya atau kebodohan yang menghalanginya dari jalan kebenaran, atau ada dorongan nafsu yang membutakan dirinya dalam mengambil dalil yang sesuai dengan tempatnya. Perkara-perkara itulah yang menyebabkannya melakukan suatu bid'ah.

Penjelasan dari itu semua adalah, bila sebuah dalil syariat mengandung suatu perkara secara global yang berkaitan dengan masalah ibadah (contohnya), lalu seorang mukallaf mengerjakan dalil tersebut secara global juga, seperti dzikir, doa, perbuatan-perbuatan Sunnah yang disukai Allah {AI Mustahab), dan perkara-perkara lainnya yang —diketahui bahwa pemilik Penjelasan dari itu semua adalah, bila sebuah dalil syariat mengandung suatu perkara secara global yang berkaitan dengan masalah ibadah (contohnya), lalu seorang mukallaf mengerjakan dalil tersebut secara global juga, seperti dzikir, doa, perbuatan-perbuatan Sunnah yang disukai Allah {AI Mustahab), dan perkara-perkara lainnya yang —diketahui bahwa pemilik

Apabila seorang mukallaf mengerjakan perkara itu dengan cara, bentuk, waktu, dan tempat tertentu, atau menggabungkan dengan suatu ibadah tertentu kemudian melazimkan hal tersebut sehingga ia mengira bahwa cara, bentuk, keadaan, waktu, dan tempat tersebut merupakan keinginan syariat (tanpa ada sebuah dalil yang menunjukkan hal itu), maka sesungguhnya dalil tersebut sangat jauh dari makna yang ditunjukkan olehnya.

Apabila syariat membolehkan berdzikir kepada Allah (sebagai contoh) lalu sebuah kelompok melazimkan diri mereka dalam berkumpul untuk melakukan dzikir secara bersama dengan satu suara (serempak), satu ucapan (sama) dan dalam waktu khusus yang dikhususkan di antara waktu-waktu yang lainnya, maka pembolehan syariat terhadap dzikir tidak menunjukkan pengkhususan yang dilazimkan, bahkan di dalamnya terdapat sesuatu yang menunjukkan kebalikannya, karena melazimkan suatu perkara yang tidak dilazimkan oleh syariat kedudukannya sama seperti sebuah keharusan untuk memahamkan pembuatan syariat, khususnya bagi orang yang mengikutinya pada tempat-tempat berkumpulnya orang-orang, seperti masjid. Jika perkara ini telah muncul dan jelas, serta diletakkan di dalam masjid-masjid, sebagaimana syiar syiar agama lainnya yang telah diletakkan Rasulullah SAW pada masjid-masjid (seperti adzan, shalat Id, shalat Istisqa', dan shalat Khusuf), maka hal itu pasti akan dipahami orang sebagai suatu sunah jika tidak dipahami sebagai suatu kewajiban. Oleh karena itu, dalil yang diambil lebih patut untuk tidak digunakan. Dari sisi ini perkara tersebut merupakan suatu bid'ah yang baru dibuat.

Oleh karena itu, para salafush-shalih tidak melazimkan perbuatan- perbuatan tersebut atau tidak mengerjakan hal tersebut sama sekali. Padahal mereka lebih berhak untuk mengerjakannya dan merekalah ahlinya dalam hal tersebut. Walaupun, secara kaidah hal itu diperbolehkan, karena dalam syariat dzikir boleh dilakukan dalam banyak posisi, bahkan dalam ibadah bin Oleh karena itu, para salafush-shalih tidak melazimkan perbuatan- perbuatan tersebut atau tidak mengerjakan hal tersebut sama sekali. Padahal mereka lebih berhak untuk mengerjakannya dan merekalah ahlinya dalam hal tersebut. Walaupun, secara kaidah hal itu diperbolehkan, karena dalam syariat dzikir boleh dilakukan dalam banyak posisi, bahkan dalam ibadah bin

Demikian halnya dengan doa, ia juga digolongkan sebagai dzikir kepada Allah. Oleh karena itu, para salafush-shalih tidak melazimkannya dengan cara tertentu dan tidak mengikatnya dengan waktu tertentu yang menyebabkan ada perasaan mengistimewakan waktu tersebut, kecuali pada waktu-waktu yang telah ditentukan oleh syariat, yaitu pada waktu pagi dan petang. Mereka juga tidak menampakkan hal tersebut kecuali dalam perkara yang sudah ditentukan oleh Pembuat syariat untuk ditampakkan, seperti dzikir pada dua hari raya. Adapun selain itu, mereka tetap berusaha sekuat tenaga untuk tidak menampakkannya dan terus menjaga rahasianya. Oleh karena itu, dikatakan kepada para sahabat yang mengangkat suara (bersuara keras),

"Pelankanlah suara kalian saat berdoa, sesungguhnya kalian tidak berdoa kepada yang tuli dan kepada yang gaib."

Itulah yang membuat mereka tidak menampakkan —ibadah mereka— kepada masyarakat.

Setiap yang menyimpang dari keaslian dalil ini sama halnya telah menyalahi kemutlakan dalil, karena ia telah mengikatnya (dalil tersebut) dengan pendapat. Selain itu, ia telah menyalahi orang yang lebih mengerti darinya dalam perkara agama, yaitu para salafush-shalih RA. Bahkan Rasulullah SAW meninggalkan suatu perbuatan yang beliau senangi lantaran khawatir hal itu akan dijadikan kewajiban jika orang-orang ikut melakukannya.

Dalam suatu pembahasan dalam kitab Al Muwafaqat terdapat sebuah pembahasan seperti ini, yaitu yang menggelincirkan kaki, ada kesamaran

Para ulama juga menjaga diri mereka dari pemakaian qiyas dalam perkara ibadah. Seperti Malik bin Anas RA, ia selalu menjauhkan pendapat akal pada perkara ini dan tidak memakai qiyas dengan berbagai macamnya kecuali qiyas nafyul fariq (qiyas yang benar-benar ada kesamaan) apabila terpaksa memakainya. Begitu pula ulama lainnya, walaupun mereka banyak berbeda, akan tetapi mereka semua menjaga diri mereka untuk selalu mengikuti dalil nash-nash dan dalil-dalil yang dinukil dalam perkara ibadah. Namun tidak demikian dalam perkara yang lain, disesuaikan dengan kadarnya dan tidak secara mutlak. Sesungguhnya manusia diperintahkan untuk mengerjakan hal itu secara global —sebagai contoh— maka orang yang mengkhususkan suatu perkara sama seperti orang yang menyalahi paham 'keluasan'. Seandainya ia tidak mengerti bahwa dalam suatu perkara ada paham 'keluasan', maka tidak ada jalan lain kecuali ia harus tawaquf berdasarkan dalil. Karena, apabila kita keluar dari jalur tersebut, kita akan ragu dengan status ibadah tersebut; apakah ibadah itu dibolehkan oleh syariat atas dua cara yang telah disebutkan dalam kitab Al Muwafaqat? Oleh karena itu, kembalilah kepada dalil manqul dan ikutilah tanpa penambahan atau pengurangan.

Kemudian apabila kita telah memahami 'keluasan' maka kita juga harus memperhatikan dan memperhitungkan perkara lain, yaitu pekerjaan, agar Kemudian apabila kita telah memahami 'keluasan' maka kita juga harus memperhatikan dan memperhitungkan perkara lain, yaitu pekerjaan, agar

Tidakkah kalian lihat bahwa semua yang dikerjakan oleh Rasulullah serta beliau tekuni dan kerjakan secara jamaah, apabila bukan termasuk hal yang wajib, maka ia merupakan hal yang sunah bagi para ulama, seperti shalat Id, shalat Istisqa', dan shalat Kusyuf?

Lain halnya dengan Qiyamulail (ibadah malam hari) dan ibadah-ibadah sunah lainnya, sesungguhnya itu dianjurkan serta disukai, dan Rasulullah SAW menganjurkan untuk menyembunyikannya karena akan berbahaya bila disebarkan dan ditampakkan saat mengerjakannya.

Salah satu contohnya adalah pelaziman doa dengan suara yang jelas dan serempak setiap habis shalat berjamaah. Hal ini akan dijelaskan nanti, insyaallah.