Penjelasan Sepuluh Contoh Tadi Sepuluh contoh tersebut menjelaskan kepadamu tentang aplikasi atau

A. Penjelasan Sepuluh Contoh Tadi Sepuluh contoh tersebut menjelaskan kepadamu tentang aplikasi atau

perwujudan dari al maslahat al mursalah dan menjadi jelas kepadamu beberapa perkara berikut ini:

1. Mula 'amah (persesuaian) dengan maqashid syariat, tidak bertentangan dcngan salah satu pokok di antara pokok-pokoknya, atau salah satu dalil dari dalil-dalilnya.

2. Keumuman pandangannya terjadi pada sesuatu yang maknanya dilupakan namun sesuai dengan rasa yang serasi dan cocok atau kondisi yang masuk akal, yang apabila ditawarkan pada akal pasti akan diterima. Namun tidak demikian dalam masalah ibadah dan syariat, sebab keumuman ibadah maknanya tidak dipahami secara terperinci, seperti wudhu untuk shalat, puasa yang dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu dan tidak boleh keluar dari waktu yang telah ditentukan, haji, dan yang lainnya.

Hendaklah kita lihat di sini tentang cara peletakkan sebuah keputusan yang menafikan pertalian secara terperinci:

a. Tidakkah engkau lihat bahwa dalam bersuci —dengan segala perbedaannya— setiap jenisnya merupakan ibadah yang sangat berbeda dengan pandangan sepintas?

b. Buang air besar dan kecil —misalnya— adalah dua hal yang keluar dan najis, namun yang wajib dibasuh hanyalah bagian-bagian wudhu, padahal itu bukan tempat keluarnya. Mengapa yang dibasuh tidak seluruh badan?

c. Jika keluar mani atau darah haid, wajib membasuh (mandi) seluruh badan, bukan tempat keluarnya darah, dan bukan anggota wudhu.

d. Bersuci yang wajib, meskipun anggota badan sudah bersih, tetap harus bersuci. Sebaliknya, tidak wajib bersuci walaupun anggota badan kita kotor, selama tidak berhadats.

e. Debu —yang membuat pencemaran— bisa diposisikan sebagai pengganti air, yang berfungsi sebagai pembersih.

f. Waktu shalat, kita tidak bisa mendapatkan pertalian di dalamnya untuk melaksanakan shalat, namun ia harus dilaksanakan pada waktu-waktu yang telah ditentukan, padahal semua waktu sama sebagai waktu.

g. Shalat disyariatkan dzikir khusus (adzan) yang tidak boleh ditambah atau dikurangi. Demikian halnya ketika akan mendirikan shalat, harus dikumandangkan lafazh dzikir seperti yang telah ditetapkan.

h. Rakaat shalat berbeda jumlahnya pada masing-masing waktu shalat, dan setiap rakaat harus satu rukuk dan dua sujud, tidak bisa sebaliknya, kecuali shalat gerhana matahari. Mengapa shalat harus dikerjakan sebanyak lima waktu shalat dan tidak enam atau empat dan jumlah yang lainnya?

i. Orang yang —dalam keadaan suci— memasuki masjid diperintahakan untuk shalat tahiyatul masjid sebanyak dua rakaat. Mengapa tidak satu rakaat saja seperti orang yang mengerjakan shalat witir, atau empat rakaat seperti shalat Zhuhur?

j. Jika lupa dalam shalat, mengapa harus sujud dua kali dan tidak

satu kali saja? Jika membaca ayat Sajdah, mengapa sujudnya sekali dan bukan dua kali?

k. Allah memerintahkan shalat sunah dan melarang shalat pada

waktu-waktu tertentu, yang larangan-larangan tersebut tidak bisa kita pahami maknanya.

1. Disyariatkan untuk dilakukan secara berjamaah dalam sejumlah shalat sunah, seperti shalat Id, shalat Gerhana, dan shalat Istisqa, tetapi tidak untuk shalat malam atau rawatib.

m. Dalam masalah memandikan mayit, kita tidak mendapatkan

maknanya yang masuk akal, sebab ia sudah tidak sebagai mukallaf. Lalu kita diperintahkan menshalatinya empat takbir tanpa ruku dan sujud (tasyahhud). Dalam takbir shalat mayit juga menggunakan empat takbir, bukan dua, enam, tujuh, atau bilangan yang lain.

n. Dalam masalah puasa, terdapat ibadah-ibadah yang tidak bisa

dipahami oleh akal; mengapa menahannya pada siang hari dan tidak pada malam hari? Mengapa yang dilarang hanya makan dan minum, bukan pakaian, kendaraan, pandangan, jalan, bicara, atau hal-hal lainnya? Adapun masalah jima' adalah seperti masalah makanan, di mana jima' sifatnya mengeluarkan adapun makanan adalah dimasukkan. Adapun bulan Ramadhan —walaupun telah diturunkan Al Qur'an di dalamnya— namun ia bukan hari-hari perkumpulan, walaupun ia adalah hari yang matahari nampak paling baik dibandingkan dengan yang lainnya, atau mengapa jumlah puasa tidak lebih banyak atau lebih kurang dari sebulan. Kemudian masalah haji, yang memiliki cakupan ibadah yang sangat banyak.

Demikianlah, kita dapatkan umumnya masalah ibadah dalam bab- bab fikih, yang tidak dikerjakan (?) bahwa dengan mempelajari secara mendalam, ada makna yang diketahui sebagai maksud dari syariat, bahwa memang itulah yang dituju dan dari situlah diambil /"//fear-nya, yaitu bahwa setiap taklif termasuk dari sisi ini, maka Pembuat syariat menghendaki untuk berhenti padanya dan memisahkan pandangan ijtihad darinya secara umum, namun hanya diserahkan kepada yang membuat syariat dan berserah diri kepada-Nya dalam hal ini. Sama saja bagi kita, baik kita katakan, " Taklif-taklif itu memiliki alasan yang sesuai dengan maslahat hamba," maupun tidak kita katakan demikian. Ya Allah, melainkan sedikit dari masalah- masalah taklif nampak suatu makna dalam yang bisa kita pahami dari syariat dan kita ambil i'tibar-nya, atau kita saksikan dalam sebagiannya tidak ada perbedaan antara yang di-nash atau didiamkan. Jadi, tidak ada masalah jika ada permasalahan yang timbul, sebab kita harus mengembalikannya Demikianlah, kita dapatkan umumnya masalah ibadah dalam bab- bab fikih, yang tidak dikerjakan (?) bahwa dengan mempelajari secara mendalam, ada makna yang diketahui sebagai maksud dari syariat, bahwa memang itulah yang dituju dan dari situlah diambil /"//fear-nya, yaitu bahwa setiap taklif termasuk dari sisi ini, maka Pembuat syariat menghendaki untuk berhenti padanya dan memisahkan pandangan ijtihad darinya secara umum, namun hanya diserahkan kepada yang membuat syariat dan berserah diri kepada-Nya dalam hal ini. Sama saja bagi kita, baik kita katakan, " Taklif-taklif itu memiliki alasan yang sesuai dengan maslahat hamba," maupun tidak kita katakan demikian. Ya Allah, melainkan sedikit dari masalah- masalah taklif nampak suatu makna dalam yang bisa kita pahami dari syariat dan kita ambil i'tibar-nya, atau kita saksikan dalam sebagiannya tidak ada perbedaan antara yang di-nash atau didiamkan. Jadi, tidak ada masalah jika ada permasalahan yang timbul, sebab kita harus mengembalikannya

Oleh karena itu, Hudzaifah berkata, "Setiap ibadah yang tidak dilakukan oleh sahabat Rasulullah SAW jangan kalian lakukan, sebab generasi yang awal tidak membiarkan generasi yang akhir untuk membuat suatu pendapat, maka bertakwalah kepada Allah wahai para qari' dan ikutilah jalan orang yang sebelum kalian."

Riwayat yang semisal juga diberitakan dari Ibnu Mas'ud. Banyak riwayat lain yang sebelumnya sudah kami paparkan.

Itulah yang membuat Malik berkomitmen untuk tidak menoleh makna-makna dalam melaksanakan ibadah, walaupun terkadang makna itu bisa ia cermati. la bermaksud mengambil, sebagaimana yang dikehendaki oleh Penentu syariat, yaitu agar seorang hamba menyerahkan diri kepada-Nya seperti apa adanya. Ia tidak menoleh keumuman makna menghilangkan kotoran dan mengangkat hadats, hingga mensyaratkan niat dalam menghilangkan hadats. Menurutnya, tidak ada yang bisa menggantikan posisi air —walaupun bisa bersih— meskipun posisinya sederajat dengan air yang mutlak. Ia tidak sepakat dilakukannya takbir, salam, dan membaca ayat selain dengan bahasa Arab, sebagaimana dalam masalah penghalalan, pengharaman, dan sah atau tidaknya. Ia tidak setuju mengeluarkan zakat dengan nilai tukar bukan dengan barang. Dalam masalah kafarat ia sangat menjaga jumlah yang sudah ditentukan. Banyak lagi hal-hal lainnya.

Pada semua hal itu ia memilih untuk tawaquf dan menerima apa adanya, sebagaimana yang telah dibatasi oleh Pembuat syariat, bukan yang terkandung dalam makna munasib (pertalian) —walaupun makna itu tergambar—; sebab makna pertalian yang tergambar dalam masalah- masalah ibadah sangatlah sedikit.

Berbeda dengan bagian adat kebiasaan yang berjalan di atas makna pertalian antara yang zhahir dengan yang akal. Dalam hal adat Berbeda dengan bagian adat kebiasaan yang berjalan di atas makna pertalian antara yang zhahir dengan yang akal. Dalam hal adat

Sangat jauh sekali sangkaan ulama dalam pribadi Malik! Alangkah jauhnya ia —rahimahullahu— dari berita itu! Dia bahkan orang yang cukup ber-ittiba 'dalam fikihnya, hingga orang mengatakan bahwa ia sebagai manusia yang ber-taqlid kepada orang sebelumnya. Sesungguhnya ia adalah orang yang memiliki bashirah dalam agama Allah ini, sebagaimana yang diceritakan oleh sahabat-sahabat dalam buku perjalanan hidupnya.

Bahkan Ahmad bin Hanbal berkata, "Apabila engkau melihat seseorang membenci Malik, maka ketahuilah bahwa ia adalah seorang mubtadi'." Ini adalah persaksian yang tertinggi tentang sikap ittiba' Malik.

Abu Daud berkata, "Aku khawatir orang itu (yakni orang yang membenci Malik) berbuat bid'ah."

Ibnu Mahdi berkata, "Apabila engkau mendapatkan seorang Hijaz menyukai Malik bin Anas, maka orang itu adalah pengikut Sunnah. Namun bila engkau mendapatkan orang yang membencinya, maka ia adalah orang yang menyelisihi Sunnah."

Ibrahim bin Yahya bin Hisyam berkata, "Aku tidak pernah mendengar Abu Daud melaknat seseorang sama sekali kecuali dua orang, yaitu orang yang melaknat Malik dan Bisyr Al Murisi."

Ringkasnya, orang selain Malik juga sepakat jika pokok ibadah itu tidak terpahami maknanya. Walaupun dalam sebagian perinciannya mereka berselisih pendapat, namun dalam masalah pokoknya mereka bersepakat, selain golongan Zhahiriyyah. Sebab golongan itu tidak Ringkasnya, orang selain Malik juga sepakat jika pokok ibadah itu tidak terpahami maknanya. Walaupun dalam sebagian perinciannya mereka berselisih pendapat, namun dalam masalah pokoknya mereka bersepakat, selain golongan Zhahiriyyah. Sebab golongan itu tidak

3. (Dari beberapa perkara yang dipahami tentang sepuluh contoh tersebut) bahwa hasil dari al maslahat al mursalah kembalinya adalah menjaga perkara yang dharury dan menghilangkan hal-hal yang memberatkan {haraji, yang lazim dalam agama. Dalam menjaga perkara yang dharury sangat berkaitan dengan sebuah kaidah "Sebuah kewajiban tidak sempurna melainkan dengan melaksanakan sesuatu ............. " Jadi, al maslahat al mursalah termasuk perantara, bukan tujuan. Sedangkan fungsinya untuk menghilangkan hal-hal yang memberatkan dalam agama termasuk /a/^/(meringankan) bukan tasydid (memberatkan).

Al maslahat al mursalah dalam lingkup dharury sudah bisa kita

cermati dari contoh-contoh yang tadi.

Fungsi al maslahat almursalah untuk menghilangkan keberatan yang lazim dalam agama, bisa jadi mengikuti hal yang dharury (darurat) atau haaji (sesuatu yang dibutuhkan), tapi kedua-duanya sama sekali tidak ada yang berfungsi untuk taqbih (menjadikan lebih buruk) atau tazyiin (hanya memperbagus). Kalaupun ada, berarti datang dari hal lain, bukan dari al maslahat al mursalah, seperti qiyam Ramadhan di masjid secara berjamaah. Atau terhitung sebagai bid'ah yang diingkari oleh salafush-shalih seperti menghiasi masjid atau melakukan tatswib dalam shalat.

Adapun kondisi al'maslahat al mursalah untuk maslahat yang dharury, diposisikan sebagai perantara, bukan tujuan, dan di dalam lingkup "sebuah kewajiban yang tidak sempurna melainkan dengan melaksanakan sesuatu".

Jika pensyaratannya tertuang dalam nash, maka ini adalah syarat syar'i, tidak ada campur tangan manusia dalam hal ini, sebab nash asy-syan''dalam masalah ini sudah cukup, tidak perlu kita diteliti lagi.

Jika tidak ada nash dalam pensyaratannya, maka bisa jadi bersifat aqli Jika tidak ada nash dalam pensyaratannya, maka bisa jadi bersifat aqli

Adapun al maslahat al mursalah dalam lingkup sebagai kebutuhan, termasuk takhfif, nampak jelas sebagai sesuatu yang kuat untuk menghilangkan sebuah keberatan, tidak ada arah yang menuju tasydid (pemberatan) atau menambah taklif. Contoh-contoh yang telah disebutkan bisa sebagai penjelasnya.

Jika persyaratan ini sudah terpenuhi maka kita dapat kian mengerti bahwa bid'ah sangat berlawanan dengan al maslahat al mursalah. Sebab, perkara-perkara yang al maslahat al'mursalah adalah perkara yang maknanya dapat dipahami oleh akal secara terperinci, sedangkan perkara-perkara ibadah adalah perkara yang maknanya tidak dapat dipahami oleh akal secara terperinci.

Kami juga telah menjelaskan bahwa bila adat kebiasaan dimasuki oleh bid'ah, maka masuknya itu dari sisi ta’abbud yang ada padanya, bukan masuk secara mutlak.

Bid'ah secara umum tidak sesuai dengan maqashid syariat dan

keadaannya tidak lepas dari dua hal:

1. Berlawanan dengan maqashid syariat, seperti contoh seorang mufti yang memberikan fatwa kepada penguasa untuk berpuasa dua bulan berturut-turut.

2. Didiamkan seperti terhalangnya seorang pembunuh dengan perlakuannya melalui cara yang berlawanan dengan keinginannya, seandainya tidak ada nash yang berbicara tentangnya.

Tadi telah dipaparkan oleh ijma' untuk membuang kedua bagian dan tidak menganggap keberadaan keduanya.

Tidak bisa kita katakan bahwa yang didiamkan itu diikutsertakan pada sesuatu yang diizinkan (ma'dzun fihi), sebab jika demikian maka akan mengutak-atik ijma', karena tidak ada kesesuaian. Masalah ibadah hukumnya tidak seperti hukum adat kebiasaan jika dalam hukum adat yang didiamkan artinya diizinkan. —Jika ada yang mengatakan sama (ia keliru}—, adat berbeda dengan ibadah, sebab tidak ada istinbath ibadah yang tidak berdasar pada satu pokok. Ibadah itu khusus untuk yang diizinkan (syariat) secara jelas, bukan seperti adat. Perbedaan lain secara umum adalah, akal memahami maksud adat, sementara akal tidak dapat memahami maksud ibadah dan taqarrubat. Saya juga membawakan masalah ini di dalam kitab Al Muwafaqat.

Jika sudah bisa kita tetapkan di sini bahwa al maslahat al mursalah berfungsi untuk menjaga perkara yang bersifat dharury, termasuk perantara, atau untuk meringankan (takhfi/j, maka tidak mungkin membuat bid'ah dari arah ini, atau menambahkan hal-hal yang Sunnah. Sebab bid'ah adalah ibadah yang diada-adakan, menambahi taklif dan tidak meringankan.

Jadi, jelas bahwa tidak ada hubungan bagi seorang mubtadi' dengan al maslahat al mursalah, kecuali bagian yang sudah tidak dianggap dengan kesepakatan ulama, dan cukuplah ini sebagai catatannya. Allah Maha Pemberi Taufik.

Kita juga tahu maksud Pembuat syariat (Allah) dan Rasul-Nya dalam masalah ibadah tidak diserahkan kepada pendapat manusia sedikit pun. Tidak ada pilihan kecuali berhenti pada batasan yang telah ditentukan, karena menambahi atau menguranginya adalah bid'ah. Hal ini telah dijelaskan dengan banyak contoh, tetapi pada bagian akhir akan dijelaskan lagi.