Pengharaman terhadap Hal-Hal yang Dihalalkan
G. Pengharaman terhadap Hal-Hal yang Dihalalkan
oleh Allah Allah SWT berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu oleh Allah Allah SWT berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
Banyak khabar yang diriwayatkan berbicara tentang sebab turunnya ayat tersebut, yang semuanya berkisar pada satu makna, yaitu pengharaman terhadap apa-apa yang baik, yang telah dihalalkan oleh Allah SWT; baik sebagai pedoman maupun yang menyerupai pedoman. Allah SWT melarang hal tersebut dan menyifatinya sebagai perbuatan yang melampaui batas, dan Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Kemudian Dia menetapkan pembolehan sebagai ketetapan tambahan atas apa yang telah ditetapkan-Nya melalui firman-Nya, "Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dart apa telah yang Allah rezekikan kepadamu." Kemudian Allah memerintahkan mereka untuk bertakwa. Hal itu mengisyaratkan bahwa mengharamkan hal yang dihalalkan oleh Allah SWT merupakan perbuatan yang keluar dari derajat takwa.
Ismail Al Qadhi meriwayatkan dari hadits Abu Qalabah RA, ia berkata, "Beberapa orang sahabat Rasulullah SAW ingin menolak dunia, meninggalkan wanita, serta menjalani kehidupan rahbaniyyah. Namun Rasulullah SAW berdiri dan mengduarkan perkataan keras tentang niat mereka dengan sabda beliau, 'Orang-orang sebelum kamu binasa hanya karena bersikap keras. Mereka bersikap keras terhadap diri mereka, maka Allah berlaku keras terhadap mereka. Mereka inilah sisa-sisa mereka di rumah-rumah dan biara- biara. Sembahlah Allah dan janganlah kamu menyekutukan sesuatu dengan- Nya, lakukanlah ibadah haji dan umrah serta istiqamahlah, maka Dia akan beristiqamah karenamu." 'Ia berkata, "Dan turunlah ayat tentang mereka, 'Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagikamu."
Dalam Shahih At-Timvdzidi sebutkan dari Ibnu Abbas RA, ia berkata: Seorang laki-laki mendatangi Nabi SAW seraya berkata, "Ya Rasulullah!
Sesungguhnya bila aku makan daging maka aku akan bangkit untuk mencari wanita dan syahwatku menggiringku, maka aku mengharamkan daging bagi diriku,' lalu turunlah ayat ini." Hadits hasan.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA, ia berkata: Ayat ini turun pada suatu kelompok dari sahabat Rasulullah SAW —diantaranya adalah Abu Bakar, Umar, Ali, Ibnu Mas'ud, Usman bin Madz'un, Miqdad bin Aswad Al Kindi, serta Salim (bekas budak Abu Huzaifah RA) yang berkumpul di rumah Usman bin Madz'un Al Jamhi, maka mereka sepakat untuk menjawab diri mereka dengan cara menjauhkan wanita, tidak makan daging dan lemak, memakai pakaian lusuh, tidak memakan makanan kecuali makanan pokok, serta berjalan di muka bumi seperti rahib. Kabar tentang mereka itu pun sampai kepada Rasulullah SAW. Lalu beliau mendatangi Usman bin Madz'un di rumahnya, tetapi beliau tidak mendapatkannya di rumah, dan juga tidak mendapatkan mereka, maka beliau bertanya kepada istri Usman (Ummu Hakim, putri Abu Umayyah bin Haritsah As-Silmi),
"Apakah benar berita yang sampai kepadaku tentang suamimu dan sahabat-sahabatnya?" Ia menjawab, "Tentang masalah apa, ya Rasulullah?" Rasulullah SAW lalu memberitahunya tetapi ia enggan berbicara kepada Rasulullah SAW dan enggan membicarakan kejelekan suaminya, maka ia berkata, " Jika Ustman mengatakan demikian telah mengabarkan kepadamu, maka ia telah berkata benar." Rasulullah SAW lalu bersabda kepadanya, "Katakan kepada suamimu dan sahabat- sahabatnya apabila mereka kembali, bahwa Rasulullah SAW bersabda
kepadamu, l Sesungguhnya aku makan dan minum, makan daging dan lemak, serta tidur dan mendatangi wanita. Jadi, barangsiapa
tidak suka dengan Sunnahku, maka ia bukan golonganku." Ketika Ustman dan sahabat-sahabatnya kembali, istri Utsman
memberitahu apa yang diperintahkan Rasulullah SAW tersebut. Mereka menjawab, "Perkara kita telah sampai kepada Rasulullah SAW, dan perkara itu tidak disukainya, maka tinggalkanlah apa yang dibenci oleh Rasulullah SAW." Kemudian turunlah ayat tentang perkara itu, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu" Ia berkata, "Yang dihalalkan Allah antara lain: makan, minum, dan bersetubuh dengan istri." "Dan janganlah kamu melampaui batas", m berkata, "Dalam memotong kemaluan (laki)." "Sesungguhnya Al- lah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas," ia berkata, "Yang halal ke yang haram."
Diriwayatkan dari Abdullah dalam hadits shahih, ia berkata, "Kami berperang bersama Rasulullah SAW dalam suatu peperangan yang tidak ada wanita bersama kami. Maka kami bertanya, 'Bolehkan kami mengebiri?' Beliau melarang kami melakukan hal itu dan memberi keringanan kepada kami setelah itu untuk menikahi wanita dengan mahar pakaian sampai waktu tertentu (yang dimaksud adalah nikah mut'ah yang telah di-nasakh hukumnya) Ibnu Mas'ud lalu membaca, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagikamu."
Ismail menyebutkan riwayat dari Yahya bin Ya'mar, bahwa Usman bin
Madz'un RA ingin berjalan di bumi untuk beribadah (siyahah -istilah sufi); ia berpuasa pada siang hari dan menghidupkan malam dengan shalat serta ibadah, dan istrinya suka berdandan (memakai minyak wangi), lalu ia meninggalkan untuk memakai sifat mata dan semir rambut, maka seorang istri dari istri-istri Rasulullah SAW bertanya kepadanya, "Apakah kamu orang yang ada suaminya atau orang yang suaminya gaib?" Ia menjawab, "Ada, tapi Ustman tidak menginginkan wanita." Ia lalu menceritakan hal itu kepada Nabi SAW, maka Rasulullah SAW menemuinya dan bersabda kepadanya,
Apakah kamu beriman dengan apa yang kami imani?” Ia menjawab, "Ya." Beliau bersabda, "Maka kerjakanlah apa yang kami kenakan, 'Janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu’."
Said bin Manshur meriwayatkan dari Khudhair, dari Abu Malik, ia berkata, "Diturunkan ayat ini kepada Usman bin Madz'un dan sahabat- sahabatnya, yang saat itu mereka mengharamkan banyak makanan dan wanita, bahkan sebagian ada yang ingin memotong kemaluannya. Oleh karena itu, Allah SWT menurunkan firman-Nya, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengharamkan..."
Diriwayatkan dari Qatadah, ia berkata, "Ayat ini diturunkan kepada sebagian sahabat Rasulullah SAW yang ingin melepaskan diri dari hal-hal yang berbau dunia, meninggalkan wanita dan hidup dengan cara rahbaniyyah. Di antara mereka adalah Ali bin Abu Thalib dan Usman bin Madz'un.
Ibnu Mubarak meriwayatkan bahwa Usman bin Madz'un datang kepada Nabi SAW, seraya berkata, "Izinkanlah aku mengebiri (kemaluanku)." Beliau lalu bersabda,
"Bukan dari gohngan kami orang yang mengebiri atau dikebiri, karena pengebirian umatku adalah —dengan melakukan—puasa." Ia kemudian berkata, "Ya Rasulullah! izinkanlah aku berjalan untuk ibadah (siyahah)." Beliau menjawab, "Sesungguhnya perjalanan ibadah umatku adalah jihad di jalan Allah." la lalu berkata, "Ya Rasulullah! Izinkanlah aku hidup dengan cara rahbaniyyah." Beliau menjawab, "Sesungguhnya rahbaniyyah umatku adalah duduk di masjid-masjid untuk menunggu shalat"
Dalam hadits shahih dikatakan bahwa Rasulullah SAW menolak kehidupan lajang (tidak beristri) terhadap Usman bin Madz'un. Seandainya Nabi SAW mengizinkan, maka ia pasti mengebiri kemaluannya.
Ini semua menjelaskan bahwa seluruh hal tersebut adalah sikap mengharamkan sesuatu yang dihalalkan di dalam syariat dan mengeyampingkan perintah Allah SWT untuk dikerjakan —walaupun dimaksudkan menjalani kehidupan akhirat— karena itu semacam rahbaniyyah dalam Islam.
Sahabat, tabi'in, serta orang-orang setelah mereka melarang pengharaman yang halal. Bila pengharamannya itu tidak dengan sumpah, maka tidak membayar kafarat, sedangkan jika dengan sumpah maka harus membayar kafarat, dan orang yang telah bersumpah mengerjakan hal-hal yang dihalalkan oleh Allah.
Termasuk dalam kategori tersebut adalah yang disebutkan oleh Ismail Al Qadhi dari Ma'qal, bahwa ia bertanya kepada Ibnu Mas'ud RA, seraya berkata, "Sesungguhnya aku bersumpah untuk tidak tidur di atas tempat Termasuk dalam kategori tersebut adalah yang disebutkan oleh Ismail Al Qadhi dari Ma'qal, bahwa ia bertanya kepada Ibnu Mas'ud RA, seraya berkata, "Sesungguhnya aku bersumpah untuk tidak tidur di atas tempat
Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa Ma'qal adalah orang yang memperbanyak puasa dan shalat, maka ia bersumpah untuk tidak tidur di atas tempat tidumya. Ia lalu mendatangi Ibnu Mas'ud RA untuk menanyakan hal tersebut. Ibnu Mas'ud kemudian membacakan ayat itu kepadanya.
Diriwayatkan dan Mughirah, ia berkata, "Aku bertanya kepada Ibrahim tentang ayat ini, 'Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengharamkan apa-apa yang baik dari yang dihalalkan Allah untukmu. 'Apakah itu adalah seorang laki-laki yang mengharamkan sesuatu dari hal-hal yang dihalalkan oleh Allah kepadanya?' Ibrahim menjawab, 'Ya'."
Diriwayatkan dari Masruq, ia berkata: Abdullah dibawakan susu binatang, lalu ia berkata kepada kaum, "Mendekatlah!" Ia lalu mengambilnya dan meminumnya. Seorang laki-laki kemudian berkata, "Sesungguhnya aku mengharamkan susu binatang." Abdullah pun berkata, "Ini termasuk langkah- langkah syetan. Allah berfirman,' Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengharamkan apa-apa yang baik dari yang dihalalkan Allah untukmu....' Oleh karena itu, mendekatlah dan makanlah serta bayarlah kafarat sumpahmu."
Atas dasar inilah fatwa-fatwa Islam berlaku: Sesungguhnya setiap orang yang mengharamkan atas dirinya sesuatu yang dihalalkan oleh Allah kepadanya, maka itu sama sekali bukan pengharaman. Jadi, makanlah jika yang diharamkannya itu sesuatu yang dimakan minumlah jika yang diharamkannya itu adalah sesuatu yang diminum, pakailah jika yang diharamkannya itu adalah sesuatu yang dipakai, serta milikilah jika yang diharamkannya itu adalah sesuatu yang dimiliki. Seakan-akan itu adalah ijma' dari mereka yang dinukil dari Imam Malik, Abu Hanifah, Syafi'i, dan yang lain. Tetapi mereka berselisih pendapat tentang istri.
Madzhab Maliki berpendapat bahwa pengharaman adalah thalak Madzhab Maliki berpendapat bahwa pengharaman adalah thalak
ha) itu adalah perbuatan yang melampaui batas, sehingga jika ia mengharamkan atas dirinya maka ia menyetubuhi budak perempuan orang lain dengan tujuan memerdekakannya, sehingga hal itu adalah halal. Begitu pula dalam hal-hal lainnya, seperti pakaian, tempat tinggal, diam (tidak mau bicara), berteduh, dan melakukan shalat Dhuha.
Pada waktu yang lalu telah diutarakan hadits tentang orang yang bernadzar puasa dalam keadaan berdiri di terik matahari dan diam (tidak mau bicara), maka itu adalah pengharaman untuk duduk, berbicara, dan berteduh, namun Nabi SAW justru memerintahkannya duduk, berbicara, dan berteduh. Malik berkata, "Nabi SAW memerintahkannya untuk menyempurnakan ketaatan yang telah dikerjakan dan meninggalkan kemaksiatan yang ada padanya."
Perhatikanlah bagaimana Imam Malik berpendapat bahwa meninggalkan yang halal sebagai perbuatan maksiat! Itu merupakan substansi ayat," Dan janganlah kamu melampaui batas" dan juga substansi perkataan Ibnu Mas'ud RA kepada pemilik susu (tetek binatang), "Ini termasuk langkah- langkah syetan."
Ibnu Rusyd Al Hafid men-dhaif-kan pengambilan dalil dari Malikiyah dengan hadits dan penafsiran Imam Malik terhadap hadits itu. Ia menyebutkan bahwa perkataannya tentang hadits tersebut, "Dan meninggalkan kemaksiatan yang ada padanya" bukanlah suatu yang jelas bahwa tidak bicara merupakan perbuatan maksiat, sedangkan Allah SWT telah mengabarkan di dalam Al Qur "an bahwa perbuatan itu adalah nadzar Maryam. la menyamakan berdiri di terik matahari juga bukan perbuatan maksiat kecuali dari sisi menyusahkan tubuh dan jiwa; sedangkan terkadang dianjurkan bagi orang yang melaksanakan haji untuk tidak berteduh. Jika dikatakan bahwa di dalamnya terdapat maksiat, maka pengambilan dalilnya dengan qiyas atas hal-hal yang dilarang karena membuat susah, bukan dengan nash, karena hal mendasar dalam perbuatan itu adalah bahwa ia termasuk perbuatan yang dibolehkan.
Perkataan Ibnu Rusyd juga tidak jelas, karena perkataan Imam Malik tentang hadits itu bukanlah kesimpulan darinya, tetapi yang nampak adalah bahwa ia berdalil dengan ayat yang berbicara tentang permasalahan itu, dan membawa makna hadits itu kepadanya (ayat) dengan meninggalkan bicara. Walaupun pada syariat-syariat pertama (sebelum syariat Nabi Muhammad) merupakan suatu yang disyariatkan, tapi ia telah di-nasakh dengan syariat ini (Nabi Muhammad). Jadi, itu adalah pekerjaan yang disyariatkan dengan cara yang tidak disyariatkan. Begitu pula berdiri di terik matahari, merupakan tambahan dari permasalahan pengharaman yang halal, walaupun dianjurkan dalam suatu kondisi, tapi tidak mesti dianjurkan pada kondisi lainnya.