Penolakan Orang-orang yang Condong kepada Kesesatan terhadap Hadits-Hadits yang Tidak Sejalan
B. Penolakan Orang-orang yang Condong kepada Kesesatan terhadap Hadits-Hadits yang Tidak Sejalan
dengan Tujuan dan Aliran-Aliran Mereka Mereka menuduh dalil-dalil tersebut bertentangan dengan hal-hal yang
masuk akal dan tidak bersesuaian dengan dalil-dalil lainnya, sehingga harus ditentang. Seperti orang-orang yang mengingkari adzab kubur, jembatan sirathul mustaqim, timbangan amal perbuatan, dan melihat Allah SWT di akhirat. Begitu juga hadits tentang lalat dan membunuhnya, bahwa pada salah satu sayapnya terdapat penyakit dan pada sayap lainnya terdapat penawarnya, ia mendahulukan yang terdapat penyakit pada sayapnya. Juga hadits tentang seorang sahabat yang pada perutnya ada luka menganga. lalu Nabi SAW memerintahkan untuk menuangkan madu serta hal-hal lainnya dari hadits-hadits yang shahih yang diriwayatkan oleh orang-orang yang tepercaya kebenarannya.
Terkadang mereka mencela para perawi hadits (dari kalangan para sahabat dan tabi'in RA) —sungguh sangat celaka mereka— dan orang-orang yang telah disepakati oleh imam-imam ahli hadits atas kebijaksanaan dan kepemimpinan mereka. Semua itu mereka lakukan hanya untuk menentang orang-orang yang menyelisihi aliran-aliran mereka. Bahkan terkadang mereka menolak fatwa-fatwa para imam tersebut dan menyebarkan isu yang buruk pada pendengaran orang banyak, hanya untuk membuat umat jauh dari mengikuti Sunnah dan jauh dari pemiliknya.
Diriwayatkan dari Abu Bakr bin Muhammad, ia berkata: Amr bin Ubaid Diriwayatkan dari Abu Bakr bin Muhammad, ia berkata: Amr bin Ubaid
"Maka mengapa tidak sebelum kamu membawanya kehadapanku." la berkata, "Apakah kamu mau bersumpah atas nama Allah bahwa
Nabi SAW mengatakannya?" Aku berkata, "Apakah kamu mau bersumpah dengan nama Allah bahwa Nabi SAW tidak mengatakannya?"Aku kemudian menceritakan haditsnya kepada Ibnu 'Aun —ia berkata— tatkala perdebatan semakin memuncak, ia berkata, "Wahai Bakr! Riwayatkanlah haditsnya."
Mereka telah menjadikan ketetapan dalil tentang keberadaan shiratal mustaqjm, timbangan amal perbuatan, dan telaga Rasulullah SAW dengan pendapat yang tidak masuk akal. Telah ditanyakan kepada salah seorang dari mereka, "Apakah dikafirkan seorang yang mengatakan dapat melihat Allah pada Hari Kiamat?" Ia menjawab, "Tidak dikafirkan, karena ia berpendapat tentang perkara yang tidak masuk akal, sedangkan orang yang berpendapat tentang perkara yang tidak masuk akal tidak termasuk kafir."
Sebagian kelompok mereka menolak hadits-hadits yang diriwayatkan oleh satu orang (Khabar Ahad) secara keseluruhan dan hanya memakai hadits yang dinilai baik oleh akal mereka dalam memahami Al Qur'an, hingga mereka menghalalkan khamer dengan firman Allah, " Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang shalih karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu. " (Qs. Al Ma’idaah [5]: 93) Mereka dan orang-orang yang seperti mereka telah disabdakan Rasulullah,
"Pasti kamu akan mendapatkan orang yang duduk-duduk disofanya "Pasti kamu akan mendapatkan orang yang duduk-duduk disofanya
Ini adalah ancaman yang keras yang mencakup larangan dan akan menimpa orang-orang yang mengingkari Sunnah!
Tatkala penolakan mereka didasarkan pada hukum akal, maka pembahasan perkara ini dengan mereka merujuk kepada dasar-dasar penilaian baik dan buruk yang telah disebutkan dalam ilmu ushul.
Umar bin Nadhr berkata, "Pada suatu hari Amr bin Ubaid ditanya tentang sesuatu —saat itu aku didekatnya— lalu ia menjawabnya. Kemudian aku katakan kepadanya, 'Bukan demikian yang dikatakan sahabat-sahabat kami.' Ia berkata, 'Siapa sahabat-sahabat kamu, kamu tidak mempunyai bapak?' Aku menjawab, 'Ayyub, Yunus, Ibnu 'Aun, dan At-Timi.' Ia berkata, 'Mereka adalah najis-najis dan orang-orang yang mati tidak pernah hidup'."
Ibnu Iliyyah berkata, "Telah diriwayatkan kepadaku oleh Al Yasa', ia berkata, 'Pada suatu hari Washil (maksudnya Ibnu Atha’) berpendapat —perawi berkata— maka Amr bin Ubaid berkata, Tidakkah kalian mendengar? Tidaklah perkataan Al Hasan dan Ibnu Sirin yang telah kamu dengar kecuali bagian darah haid yang hitam yang dilemparkan'."
Washil bin 'Atha’ adalah orang pertama yang berpendapat tentang pemisahan diri (Mu'tazilah), Amr bin Ubaid ikut dengannya dalam perkara tersebut, lalu ia sangat terkesan dengannya, maka ia menikahkan adik perempuannya dengan Washil bin 'Atha" dan ia berkata kepadanya, "Saya menikahkan kamu dengan seorang laki-laki yang pantas menjadi khalifah." Mereka lalu melampaui batas dan berlebih-lebihan, hingga mereka menentang
Al Qur ’ an secara terang-terangan dengan pendapat mereka yang keliru.
Amr bin Ali menceritakan bahwa ia mendengar dari seseorang yang dipercayainya, ia berkata, "Aku berada di dekat Asmr bin Ubaid —ia sedang duduk di toko Usman Ath-Thawil— lalu datang seorang laki-laki dan berkata, 'Wahai Abu Usman! Apa yang kamu dengar dari Al Hasan tentang Amr bin Ali menceritakan bahwa ia mendengar dari seseorang yang dipercayainya, ia berkata, "Aku berada di dekat Asmr bin Ubaid —ia sedang duduk di toko Usman Ath-Thawil— lalu datang seorang laki-laki dan berkata, 'Wahai Abu Usman! Apa yang kamu dengar dari Al Hasan tentang
Diriwayatkan dari Al Atsram, dari Ahmad bin Hanbal, ia berkata; Mu'adz meriwayatkan kepada kami, ia berkata, "Aku sedang bersama 'Amr bin Ubaid, lalu datang Ustman bin Fulan, ia berkata, 'Wahai Abu Usman! Aku mendengar —demi Allah— dengan kekufuran.' Ia menjawab, 'Apa itu? jangan tergesa-gesa mengafirkan.' Ia berkata, 'Hasyim Al Auqash mengatakan bahwa 'Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya diaakan binasa. ' (Qs. Al Lahab [111]: 1) dan firman-Nya, "Biarkanlah Aku bertindak terhadap orang yang Aku telah menciptakannya sendirian." (Qs. Al Muddatstsir [74]: 11) tidak termasuk di dalam pokok-pokok Al Qur' an, Allah SWT telah berfirman, "Haa Miim. Demi kitab (Al Qur 'an) yang menerangkan. Sesungguhnya Kami menjadikan Al Qur 'an dalam bahasa Arab supaya kamu memahami(nya). Dan sesungguhnya Al Qur 'an itu dalam induk Al Kitab (Lauh Mahfuzh) di sisi Kami, adalah benar-benar tinggi (nilainya) dan amat banyak mengandung hikmah." (Qs. Az-Zukhruf [43]: 1- 4). Tidaklah dikatakan kafir kecuali yang disebutkan ini. Kemudian ia terdiam sejenak, lalu berkata, "Demi Allah! Jika perkaranya seperti yang kamu katakan, maka tidak ada celaan bagi Abu Lahab dan Al Wahid."
Utsman telah menyampaikan —di majelisnya— "Demi Allah, inilah ajaran agama." —Mu'adz berkata— kemudian pada akhirnya ia berkata, "Aku lalu memberitahukan kepada Waqi', maka ia berkata, "Orang yang mengatakannya hendaknya diperintahkan untuk bertobat. Jika mau bertobat... dan jika tidak mau maka harus dipenggal lehernya'."
Telah diceritakan seperti riwayat ini, akan tetapi dari sebagian orang yang teledor dari para imam ahli hadits.
Diriwayatkan dari Ali bin Al Madini, dari Mu'mal, dari Al Hasan bin Wahab Al Jumaha, ia berkata: Yang terjadi antara diriku dengan si fulan adalah perkara yang khusus, kemudian ia berangkat dengan istrinya ke sumur Maimun. Setelah itu ia mengutus seseorang kepadaku agar dapat mengajakku ke tempatnya, maka saya mendatanginya pada sore hari dan tinggal dirumahnya. Perawi berkata, "Ia di satu tenda dan aku di tenda yang lain. Aku mendengar semalam suntuk suaranya yang seperti suara lebah. Pada pagi harinya, ia menyediakan makan pagi dan kami pun sarapan pagi bersama-sama." Perawi meneruskan, "Ia lalu menyebutkan tentang hubunganku dengan dirinya dari persaudaraan dan kebenaran. Ia berkata kepadaku, 'Aku mengajakmu kepada pendapatku yang baik'." Perawi bercerita, "Lalu ia membuka permasalahan tentang takdir." Perawi melanjutkan, "Maka aku bangkit dari sisinya dan tidak pernah lagi berbicara dengannya sampai ia meninggal dunia."
Perawi bercerita lagi, "Suatu hari aku pergi untuk thawaf dari satu jalan dan ia masuk, atau aku yang masuk sementara ia keluar, kemudian ia menggenggam tanganku dan berkata, 'Wahai Abu Umar! Sampai kapan? Sampai mati?'" Perawi berkata lagi, "Aku tidak menjawabnya, maka ia berkata, ' Apa kesalahanku? Bagaimana menurutmu jika seseorang berkata, "Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya ia akan binasa." Bukanlah termasuk Al Qur'an? Apa pendapatmu?"' Perawi bercerita, "Aku pun melepaskan tangannya dari tanganku."
Ali berkata, "Mu’mal berkata, 'Kemudian aku menceritakannya kepada Sufyan bin Uyainah dan ia berkata kepadaku, "Aku tidak mengira sampai Ali berkata, "Mu’mal berkata, 'Kemudian aku menceritakannya kepada Sufyan bin Uyainah dan ia berkata kepadaku, "Aku tidak mengira sampai
la berkata, "Sufyan bin Uyainah telah meriwayatkan kepadaku, dari Ma'la Ath-Thahhan dengan sebagian haditsnya, ia berkata, Tidak ada jalan bagi pembuat pendapat akal seperti ini kecuali dibunuh'."
Lihatlah keberanian mereka terhadap Al Qur "an dan Sunnah Nabi- Nya SAW! Semua itu pembenaran untuk aliran mereka atas kemurnian yang hak dan memperkuat mereka terhadap keagungan syariat bagi orang yang ingin mencari jalan keluar dari perkaranya, maka mereka menakwilkan yang jelas serta mengikuti yang mutasyabihat. Akan dijelaskan selanjutnya dan mereka semua dibawah celaan perbuatannya.
Sebagian golongan yang tumbuh dari bibit-bibit bid'ah terkadang beralasan bahwa —hadits-hadits yang mereka tolak— mengandung arti zhan (prasangka), sedangkan Al Qur' an telah mencela prasangka seperti, "Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka." (Qs. An-Najm [53]: 23) dan "Mereka tidak Jain hanyalah mengikuti prasangka sedang sesungguhnya prasangka itu tiada berfaidah sedikitpun terhadap kebenaran." (Qs. An-Najm [53]: 28) Serta semua ayat yang mengandung pengertiannya, sampai-sampai mereka telah menghalalkan perkara-perkara yang diharamkan Allah SWT atas lisan Nabi-Nya SAW. Tidak ada dalam Al Qur' an dalil yang menyatakan pengharamannya, tetapi mereka melakukannya, karena bertujuan menguatkan pandangan akal yang mereka nilai baik.
Sedangkan maksud dari perkara zhan (prasangka) dalam Al Qur' an dan hadits tidaklah seperti anggapan mereka yang keliru, dan kami telah mendapatkan tiga kejanggalan padanya:
1. Zhan (prasangka) di dalam dasar-dasar agama tidak dapat dipakai menurut ulama, karena kemungkinan ada sesuatu yang berlawanan dalam diri orang yang berprasangka tersebut. Berbeda dengan zhan
17 Bayadh menurut teks aslinya.
dalam cabang-cabang (ilmu fikih), ia dapat dipakai (menurut ahli syariat) karena ada dalil yang membolehkan untuk memakainya. Sesungguhnya az-zhan itu tercela kecuali yang berhubungan dengan cabang-cabang hukum agama, dan ini pendapat yang benar yang telah disebutkan oleh para ulama dalam pembahasan perkaranya.
2. Zhan di sini adalah sebagai pembenaran salah satu dari dua dalil yang bertentangan tanpa dalil penguat yang membenarkan, maka perkara tersebut pasti tercela, karena ia berperan sebagai penentu hukum.
Oleh sebab itu, di dalam ayat Al Qur’ an ia diikutkan dengan hawa nafsu, "Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka." Seakan-akan mereka cenderung pada suatu perkara dan hanya mengikuti hawa nafsu, maka telah ditetapkan celaan baginya. Berbeda dengan zhan (prasangka) yang dikuatkan dengan dalil, ia pasti tidak tercela, sebab ia jauh dari pengikutan terhadap hawa nafsu. Oleh karena itu, ditetapkan kebenaran hukumnya dan dijalankan kandungannya, sebab memang pantas menjalankan perbuatan yang sepertinya, sebagaimana cabang-cabang ilmu agama.
3. Sesungguhnya zhan (prasangka) terbagi dua bagian:
a. Zhan yang bersandar pada dalil qath’i Ia adalah prasangka- prasangka (zhunun) yang dipakai dalam syariat, di mana saja ditemukan, karena ia bersandar pada dalil yang jelas dan termasuk jenis dalil yang jelas.
b. Zhan yang tidak bersandar pada dalil qath'i, tetapi mungkin bersandar pada sesuatu yang tidak memiliki dasar. la adalah tercela —sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya— dan mungkin pula bersandar kepada dalil zhanni yang sepertinya.
Prasangka tersebut jika bersandar pada dalil yang qath '/maka statusnya seperti poin a (kepada zhan), maka kita harus menelitinya kembali. Bila bersandar pada dalil yang qath’i maka ia terpuji, sedangkan jika tidak bersandar pada apa pun maka ia tercela. Pada prinsipnya, khabar Prasangka tersebut jika bersandar pada dalil yang qath '/maka statusnya seperti poin a (kepada zhan), maka kita harus menelitinya kembali. Bila bersandar pada dalil yang qath’i maka ia terpuji, sedangkan jika tidak bersandar pada apa pun maka ia tercela. Pada prinsipnya, khabar
Sebagian orang yang sesat dalam menentang hadits-hadits dan menentang orang yang berpegang pada kandungannya telah melampaui batas, sampai-sampai mereka menganggap bahwa pendapat yang berdasarkan hadits bertentangan dengan akal sehat dan orang yang yang berpendapat dengannya termasuk orang yang kurang waras.
Diceritakan oleh Abu Bakar bin Al Arabi dari sebagian orang yang dijumpainya di Masyriq (orang-orang yang mengingkari perkara melihat Allah), bahwa ia telah bertanya kepadanya, "Apakah orang yang berpendapat tentang ketentuan dapat melihat Allah dikafirkan?" Orang itu menjawab, "Tidak, karena ia berpendapat tentang sesuatu yang tidak masuk akal, dan orang yang berpendapat tentang sesuatu yang tidak masuk akal tidak dikafirkan."
Ibnu Arabi berkata, "Inilah kedudukan kita menurut mereka, maka selayaknya orang yang benar-benar diberikan petunjuk jalan yang lurus mengambil pelajaran dari pengikutannya terhadap hawa nafsu. Semoga Allah melindungi kita dari perkara tersebut dengan pertolongan dari-Nya."
Sebagian orang yang teledor pada zaman kita tergelincir ke dalam perkara ini dan ia mengira semua khabar ahad hanya prasangka, sebagaimana disebutkan dalam perkataan ulama, "Seburuk-buruk suara hati seseorang adalah prasangkanya."
Dalam perkataan ulama yang lain, "Hati-hatilah kamu terhadap prasangka, sesungguhnya prasangka adalah pembicaraan yang paling dusta." Ini adalah pendapat orang-orang yang paling terakhir tergelincir. Semoga Allah SWT menjauhkan kita darinya.