Masalah-Masalah Seputar Pengharaman terhadap

H. Masalah-Masalah Seputar Pengharaman terhadap

Hal-Hal yang Dihalalkan oleh Allah Ada beberapa masalah yang terkait dengan kondisi ini:

l. Masalah Pertama Pengharaman yang halal dan yang serupa dapat digambarkan dalam

bentuk berikut ini:

a. Pengharaman hakiki. Itulah yang terjadi dari orang-orang kafir, seperti bahirah (unta betina yang sudah beranak lima kali), sa 'ibah (unta yang dibiarkan pergi kemana saja), washilah (domba jantan yang terlahir kembar dengan betina), dan ham (unta jantan yang tidak boleh diganggu gugat karena telah dapat membuntingkan unta betina sepuluh kali); dan semua yang Allah SWT sebutkan pengharamannya dari orang- orang kafir berdasarkan pendapat semata. Diantaranya adalah firman- Nya, "Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta..." (Qs. An-Nahl [16]: 116) Serta yang serupa dari bentuk pengharaman yang terjadi dalam Islam karena hanya berdasarkan pendapat.

b. Hanya meninggalkan (mengharamkan) tanpa tujuan dan sasaran. Tetapi, secara tabiat, jiwa akan membenci atau tidak membenci hingga b. Hanya meninggalkan (mengharamkan) tanpa tujuan dan sasaran. Tetapi, secara tabiat, jiwa akan membenci atau tidak membenci hingga

c. Hukum haram mencegah diri melakukan nadzamya, atau yang sepadan dengan nadzar, seperti keinginan kuat yang gagal terlaksana karena adanya udzur, misalnya: haramnya tidur di atas tempat tidur selama satu tahun, pengharaman ambing, pengharaman menyimpan makanan hingga hari esok, pengharaman bersenang-senang dengan makanan dan pakaian, serta pengharaman jima' dan bersenang-senang dengan wanita (secara umum).

d. Bersumpah atas sebagian yang halal untuk tidak mengerjakannya, dan yang seperti ini terkadang disebut pengharaman.

Ismail Al Qadhi berkata, "Apabila seorang laki-laki berkata kepada budak perempuannya, 'Demi Allah, aku tidak akan mendekatinya,' maka ia telah mengharamkan dirinya dengan sumpah, sehingga bila ia menyetubuhinya, ia wajib membayar kafarat yamin (sumpah)."

Ia (Ismail Al Qadhi) mengutarakan pertanyaan Ibnu Muqrin kepada Ibnu Mas'ud RA, ketika ia berkata, "Aku bersumpah untuk tidak tidur di atas tempat tidurku selama satu tahun" —Ia berkata— maka Ibnu Mas'ud membaca ayat, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengharamkan apa-apa yang baik dan yang dihalalkan Allah untukmu...." Lalu berkata kepadanya, "Bayarlah kafarat sumpahmu dan tidurlah di atas tempat tidurmu."

Ibnu Mas'ud memerintahkannya agar tidak mengharamkan hal-hal yang telah dihalalkan oleh Allah SWT dan membayar kafarat atas sumpahnya.

Ungkapan ini menghukumi bahwa hal tersebut termasuk bagian dari pengharaman dan ia mempunyai sisi yang jelas; Ismail telah mengisyaratkan Ungkapan ini menghukumi bahwa hal tersebut termasuk bagian dari pengharaman dan ia mempunyai sisi yang jelas; Ismail telah mengisyaratkan

2. Masalah Kedua Ayat yang sedang kita bicarakan ini perlu ditinjau dari sudut pandang

makna; mengapa diungkapkan sebagai bentuk pengharaman? Adapun yang pertama, tidak ada urusannya di sini, karena pengharaman adalah pensyariatan seperti juga penghalalan, dan pensyariatan tidak hanya milik pemilik syariat, kecuali pembuat bid'ah memasukkan pendapat, baik dari ahli jahiliyah maupun dari ahli Islam, dan jauh dari perbuatan salafush-shalih, apalagi para sahabat Rasulullah SAW secara khusus.

Perkataan Mahlab dalam S^arah Al Bukhari mengandung suatu isyarat tentang maksud ayat ini, yang berupa pengharaman dengan makna yang pertama. Ia berkata, "Pengharaman itu hanya hak Allah dan Rasul-Nya, karena tidak dihalalkan bagi siapa pun untuk mengharamkan sesuatu. Allah SWT telah mengecam orang yang melakukan hal itu di dalam firman-Nya, 'Janganlah kamu mengharamkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu dan janganlah kamu melampaui batas)? Allah menjadikan perbuatan itu perbuatan yang melampaui batas. Juga firman-Nya, 'Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut- sebut oleh lidahmu secara dusta, "Ini halal dan ini haram, " untuk mengada- adakan kebohongan terhadap Allah'." (Qs. An-Nahl [16]: 116)

Ia berkata, "Ini semua merupakan hujjah tetang pengharaman manusia yang tidak berarti apa-apa."

Perkataan Al Mahlab ditolak lantaran ayat ini, sehingga tidak seperti yang ia putuskan. Karenanya tidak terhitung sebagai orang yang mengharamkan hukum untuk yang lainnya seperti pengharaman pada makna yang pertama. Dengan demikian hal itu terbatas pada orang yang Perkataan Al Mahlab ditolak lantaran ayat ini, sehingga tidak seperti yang ia putuskan. Karenanya tidak terhitung sebagai orang yang mengharamkan hukum untuk yang lainnya seperti pengharaman pada makna yang pertama. Dengan demikian hal itu terbatas pada orang yang

umumnya tidak ada kesulitan, karena faktor-faktor pendorong jiwa atau aturan-aturannya tidak terkait dengan undang-undang tertentu. Terkadang manusia mencegah diri dari sesuatu yang halal karena sesuatu yang ia dapatkan saat melaksanakannya, seperti banyak orang yang mencegah dirinya dari minum madu lantaran penyakit yang dideritanya bila minum madu, sehingga ia mengharamkan untuk dirinya. Hal itu bukan dengan makna pengharaman yang pertama dan ketiga, tetapi bermakna menghindar darinya, seperti menghindar dari segala hal yang dapat menyakitinya.

Termasuk dalam kategori ini adalah sikap Nabi SAW yang tidak mau memakan makan bawang putih, karena ketika beliau bermunajat kepada malaikat, temyata malaikat tersakiti lantaran bau (bawang putih tersebut). Begitu pula dengan semua makanan yang berbau sama.

Mungkin penempatan makna ini lebih tetap daripada orang yang berpendapat bahwa bawang putih dan yang serupa dengannya diharamkan atas beliau dengan makna khusus (khusushiyyah). Dua makna itu sangat mirip dan keduanya tidak masuk ke dalam makna perintah.

Sedangkan pengharaman dengan makna keempat, kemungkinan masuk dalam ungkapan pengharaman, maka firman-Nya, " Janganlah kamu mengharamkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu... ." telah mencakup pengharaman dengan nadzar dan sumpah. Dalilnya adalah penyebutan kafarat setelahnya, dengan firman-Nya, ''...maka kafaratnya (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin...." (Qs. AlMaaMdah [5]:89)

Semua yang dijelaskan tadi hanyalah bentuk pengharaman sebelum turunnya kafarat. Sekelompok ulama ahli tafsir berpendapat tentang firman- Nya, "Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu." (Qs. At-Tahriim [66]: 1). Bahwa sesungguhnya pengharaman itu adaiah pengharaman dengan sumpah, yaitu ketika Nabi SAW bersumpah untuk tidak meminum madu. Hal ini akan dijelaskan Semua yang dijelaskan tadi hanyalah bentuk pengharaman sebelum turunnya kafarat. Sekelompok ulama ahli tafsir berpendapat tentang firman- Nya, "Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu." (Qs. At-Tahriim [66]: 1). Bahwa sesungguhnya pengharaman itu adaiah pengharaman dengan sumpah, yaitu ketika Nabi SAW bersumpah untuk tidak meminum madu. Hal ini akan dijelaskan

SAW, "Sesungguhnya bila aku apabila makan daging maka keinginanku terhadap wanita akan sangat tinggi." —Al Hadits— termasuk dalam kategori pengharaman kedua dan bukan pengharaman ketiga, karena laki-laki itu terkadang mengharamkan sesuatu lantaran bahaya yang dapat menimpanya? sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa itu sebenarnya bukan pengharaman. la juga bukanlah yang dimaksud pengharaman dengan nadzar, tetapi ia ingin berhati-hati (menghindar dari bahaya), atau dengan kata lain aku khawatir tertimpa kebinasaan. Makna ini — wallahu a 'Jam— adalah maksud dari keinginan sahabat Nabi SAW tersebut.

Jawaban: Orang yang terkena bahaya ketika memakan sesuatu

memungkinkannya untuk tidak memakannya, namun sikap itu hendaknya tidak untuk sesuatu yang diharamkan, sebab orang yang meninggalkan suatu perkara tidak berarti ia mengharamkan perkara tersebut. Berapa banyak orang yang meninggalkan makanan (daging misalnya) atau nikah, karena pada waktu itu ia tidak menginginkannya, atau karena ada udzur-udzur lainnya! Sehingga apabila hilang udzurnya maka ia akan memakannya atau melakukan apa yang tidak ia kerjakan saat itu. Nabi SAW telah meninggalkan makan biawak, dan sikap untuk meninggalkannya itu tidak berarti pengharaman.

Dalil bahwa yang dimaksud dengan pengharaman adalah yang zhahir, adalah tidak benar, walaupun terbukti bahwa Nabi SAW menolaknya dengan ayat. Seandainya keberadaan udzur-udzur semacam itu merupakan faktor yang membolehkannya untuk mengharamkan dengan makna yang ketiga, maka pasti terdapat rinciannya pada ayat ini bagi orang yang mengharamkan karena udzur atau tidak.

Di samping itu, keinginan bersetubuh dengan istri bukanlah hal yang tercela, karena Nabi SAW bersabda,"Barangsiapa diantara kamu mampu —menanggung beban— untuk menikah, maka hendaklah ia menikah."

Apabila manusia ingin memenuhi kebutuhan syahwatnya dengan Apabila manusia ingin memenuhi kebutuhan syahwatnya dengan

3. Masalah Ketiga Ayat ini maknanya akan menimbulkan masalah, dengan firman-Nya,

"Semua makanan adalah halal bagi bani Israil melainkan makanan yang diharamkan oleh Israil (Ya 'kub) untuk dirinya sendiri sebelum Taurat diturunkan. "(Qs. Aali 'Imraan [3]: 93)

Allah SWT mengabarkan tentang keadaan seorang nabi yang mengharamkan hal-hal yang halal atas dirinya, maka di dalam ayat ini terdapat dalil yang membolehkan hal tersebut.

Jawaban: Di dalam ayat ini tidak ada yang menunjukkan hal tersebut, karena

apa yang telah diterangkan menetapkan bahwa tidak ada pengharaman dalam Islam, berarti tinggal apa yang telah menjadi syariat bagi umat (selain kita) yang dinafikan oleh syariat kita, sebagaimana ditetapkan ilmu usul.

Diriwayatkan oleh Al Qadhi Ismail dan yang lain dari Ibnu Abbas RA, bahwa Israil (Nabi Ya'kub AS) pernah terkena getah sagu, ia melewati malam dengan merintih kesakitan, lalu ia bersumpah bahwa jika Allah SWT menyembuhkannya maka ia akan mengharamkan semua getah atas dirinya. Kemudian hal itu terjadi (sebelum turunnya Taurat).

Mereka berkata, "Oleh karena itu, keturunan Yahudi tidak memakannya."

Dalam riwayat lain, "Nabi Ya'kub AS mengharamkan dirinya memakan daging unta —ia berkata—, maka orang-orang Yahudi mengharamkannya."

Diriwayatkan dari Kalibi, bahwa Ya'kub AS berkata, "Jika Allah SWT menyembuhkanku maka aku akan mengharamkan makanan dan minuman Diriwayatkan dari Kalibi, bahwa Ya'kub AS berkata, "Jika Allah SWT menyembuhkanku maka aku akan mengharamkan makanan dan minuman

Al Qadhi berkata, "Menurut kami —wallahu a 'km— Israil (Ya'kub AS) ketika mengharamkan hal yang halal atas dirinya, maka yang diharamkannya pada saat itu itu bukanlah hal yang terlarang, dan apabila mereka mengharamkan sesuatu atas diri mereka, maka mereka tidak boleh mengerjakannya hingga membayar kafarat yamin. Allah SWT berfirman, 'Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada kamu sekalian membebaskan diri dari sumpahmu.' (Qs. At-Tahriim [66]: 2) Orang yang bersumpah atas sesuatu dan tidak mengucapkan kata insyaallah maka ia mempunyai pilihan; melaksanakannya, atau membayar kafarat, atau tidak melaksanakannya."

Ia berkata, "Hal-hal tersebut dan yang serupa dengannya termasuk syariat-syariat yang di-nasikh dan di-mansukh, maka nasikh (yang me-nasakh) dalam hal ini ada dalam firman-Nya, 'Hat orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu"

Ia berkata, "Ketika larangan itu telah turun, manusia tidak boleh lagi berkata, 'Makanan ini haram bagiku.' atau perkataan lain yang serupa dengannya dari hal-hal yang halal. Jika manusia mengatakan sesuatu dari hal yang seperti itu, maka itu adalah perkataan yang batil, dan jika ia bersumpah atas hal yang seperti itu dengan nama Allah, maka ia berhak mengerjakan yang paling baik dan membayar kafarat sumpahnya.

4.MasalahKeempat Kita mengatakan: Hal yang dipertanyakan salah satunya adalah firman-

Nya, "Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu." (Qs. At-Tahriim [66]: 1) Karena di dalamnya terdapat berita bahwa Nabi SAW telah mengharamkan atas dirinya hal-hal yang telah dihalalkan oleh Allah kepadanya, dan terkadang hal itu ditunjukkan oleh firman-Nya,".. .janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. "(Qs. Al

Maa' idah [5]: 87) Hal semacam ini akan menjauhkan kedudukan beliau dari substansi yang zhahir, sebab itu adalah sesuatu yang pada awalnya dilarang kemudian beliau mengerjakannya, sehingga ditanya kepadanya, "Kenapa kamu mengerjakan hal itu?" Oleh karena itu, kita harus meninjaunya pada sisi-sisi ini.

Jawaban: Ayat yang mengharamkan, jika ia turun Iebih dulu daripada ayat

menepati janji (Al Maa’idah ayat 1), maka jelas bahwa hal itu adalah kekhususan bagi Nabi SAW, karena jika yang diinginkan adalah umat —berdasarkan pendapat ulama ushul— maka bunyi firman itu adalah, "Kenapa kalian mengharamkan apa yang telah Allah halalkan untukmu?", sebagaimana firman-Nya, "Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu..”(Qs. Ath-Thalaaq [65]: 1) Ini jelas karena surah At-Tahriim turun sebelum ayat pada surah Al Ahzaab. Oleh karena itu, ketika Nabi SAW bersumpah menjauh dari istrinya selama sebulan, "Hai Nabi, katakanlah kepada istri-

istrimu, i Jika...’ (Qs. Al Ahzaab [33]: 28) mungkin bermakna sumpah untuk tidak mengerjakan, dan orang yang mengucapkan sumpah berhak

untuk memilih; meninggalkannya atau mengerjakannya dan membayar kafarat.

Allah SWT berfirman," Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada kamu sekalian membebaskan diri dari sumpahmu." (Qs. At-Tahriim [66]:

2) Ayat ini menunjukkan bahwa sumpah itu diucapkan oleh Nabi SAW. Hal itu karena manusia berselisih pendapat tentang pengharaman ini; sekelompok orang berpendapat bahwa jika itu adalah pengharaman terhadap ibu dari putranya, yaitu Mariyah Qibthiyyah, maka itu atas dasar bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengannya. Ini adalah pendapat Hasan, Qatadah, Sya'bi, dan Nafi' (maula Ibnu Umar). Atau itu adalah pengharaman terhadap madu Zainab, dan ini pendapat Atha' dan Abdullah bin Atabah. Sekelompok orang berpendapat bahwa ini hanyalah pengharaman dengan sumpah.

Ismail bin Ishak berkata, "Kemungkinan Nabi SAW telah mengharamkannya —yaitu budak perempuannya— dengan sumpah atas nama Allah, karena bila seorang laki-laki berkata kepada budak perempuannya,

'Demi Allah, aku tidak akan mendekatimu!' maka ia telah mengharamkannya atas dirinya dengan sumpah, sehingga jika ia mendatanginya (menyetubuhinya) diwajibkan atasnya membayar kafarat sumpah."

Kemungkinan penyebabnya adalah meminum madu, dan itulah yang ada dalam riwayat Al Bukhari dari jalur Hisyam, dari Ibnu Juraij, bahwa beliau bersabda,

"Aku minum madu di sisi Zainab binti Jahsi, maka aku tidak akan mengulanginya; aku telah bersumpah. Oleh karena itu, janganlah kamu kabarkan hal tersebut kepada seorang pun."

Jika demikian maka dalam masalah tidak ada beban yang perlu dipikul dan tidak ada perbedaan antara budak perempuan dengan madu (dalam hukum), karena pengharaman budak perempuan, bagaimanapun keadaannya, menempati posisi apa yang dimakan dan diminum.

Sedangkan jika kita asumsikan bahwa ayat (menepati janji) lebih dulu turun daripada ayat yang mengharamkan, maka mengandung dua kemungkinan seperti yang pertama.

Pertama, pengharamanan dalam surah At-Tahriim bermakna sumpah. Kedua, ayat (menepati) janji tidak mencakup Nabi SAW, dan firman-

Nya, "Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu mengharamkan...." (Qs. Al Maa' idah [5]: 87) tidak termasuk di dalamnya. Hal ini berdasarkan pendapat orang yang mengatakan demikian dari para ulama ushul. Jika demikian maka tidak ada lagi yang perlu ditinjau dan tidak ada lagi kritikan yang terkait dengan ayat ini.