Segi Kedua: Perselisihan karena Mengikuti Hawa

B. Segi Kedua: Perselisihan karena Mengikuti Hawa

Nafsu Oleh karena itu, ahli bid'ah dinamakan juga dengan pengikut hawa

nafsu, karena mereka menuruti hawa nafsu dan tidak memposisikan dalil- dalil syar'i sebagai kebutuhan yang seharusnya mereka gunakan sebagai tempat bersandar (pedoman). Bahkan mereka lebih mengedepankan hawa nafsu dan berpegang pada pemikiran mereka. Dalil-dalil syar'i hanya mereka jadikan sebagai sesuatu yang mereka lihat dari belakang. Sebagian besar dari mereka adalah orang-orang yang baik sekaligus tercela; kalangan filsuf dan yang lainnya.

Termasuk dalam kelompok ini yaitu orang-orang yang terlalu takut kepada pemimpin, dengan harapan mendapatkan posisi kepemimpinan tersebut. Jika kondisinya seperti ini maka mau tidak mau mereka lebih cenderung menggunakan hawa nafsu dan mengutamakan keinginan mereka, sebagaimana telah diingatkan oleh ulama agar waspada dari pemimpin seperti itu.

Kelompok yang pertama (ahli bid'ah) menolak sebagian besar hadits Nabi yang shahih dengan akal mereka, serta berburuk sangka terhadap kebenaran yang telah dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Mereka juga membenarkan prasangka mereka dengan mempergunakan pemikiran- pemikiran yang menyesatkan, sehingga mereka menolak pelbagai permasalahan yang berhubungan dengan akhirat, seperti shiratal mustaqim, mizan (timbangan amal), binasanya jasad manusia, kenikmatan, dan siksaan yang bersifat jasmaniah (di akhirat). Mereka menolak bahwa manusia kelak di akhirat dapat melihat Tuhan dan pelbagai hal yang sejenis dengan itu. Mereka juga menjadikan logika sebagai sumber solusi, bahkan menunjukkan Kelompok yang pertama (ahli bid'ah) menolak sebagian besar hadits Nabi yang shahih dengan akal mereka, serta berburuk sangka terhadap kebenaran yang telah dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Mereka juga membenarkan prasangka mereka dengan mempergunakan pemikiran- pemikiran yang menyesatkan, sehingga mereka menolak pelbagai permasalahan yang berhubungan dengan akhirat, seperti shiratal mustaqim, mizan (timbangan amal), binasanya jasad manusia, kenikmatan, dan siksaan yang bersifat jasmaniah (di akhirat). Mereka menolak bahwa manusia kelak di akhirat dapat melihat Tuhan dan pelbagai hal yang sejenis dengan itu. Mereka juga menjadikan logika sebagai sumber solusi, bahkan menunjukkan

dari perkara yang batil menuju perkara yang benar. Apabila terjadi perselisihan pendapat, maka cara mereka mencari solusi adalah berdebat dengan lawan bicara namun ada sisi manfaat yang diberikan kepada teman (pengikut) mereka dan kepada diri mereka sendiri.

Sebagaimana telah mereka sebutkan dari Muhamad bin Yahya bin Lubabah, saudaraku Syaikh Ibnu Lubabah yang terkenal itu, menjauhkan diri dari minuman keras dan tidak mau kompromi dengan segala perkara yang ia benci. Hakim Habib bin Ziad lalu meluapkan amarahnya dan menghukum Syaikh Ibnu Lubabah dengan menyuruhnya untuk tetap berada di dalam rumahnya (agar ia tidak dapat memberikan fatwa kepada orang lain).

Nasir merasa perlu untuk membeli sebuah bak air 42 dari Ahbas RA, di tepi lembah sungai di daerah Qurtubah, maka Ibnu Baqi' mengadukan

kebutuhan orang ini kepada hakim, ia menyarankan agar hakim membandingkan baik dan buruknya serta untung dan ruginya jika cenderung kepada pendapat mereka (mengikuti kemauan mereka), dan mengamati (dengan teliti) alasannya. Ibnu Baqi' berkata kepada hakim itu, "Aku tidak memiliki tipu muslihat di sini." Ia lebih mengutamakan penahanan sebagai tindakan keamanan. Hakim lalu berkata kepada Ibnu Baqi', "Bicarakanlah hal ini kepada para ahli fikih dan beritahukan kepada mereka tentang keinginanku. Aku tidak akan memperbanyak jumlah orang-orang yang lemah dalam masalah ini (hakim ini tidak mau menjadi orang yang lemah, seperti yang banyak terjadi selama ini). Semoga mereka dapat memberiku keringanan atas masalah ini." Ibnu Baqi' lalu membicarakan masalah ini kepada para ahli fikih, namun mereka tidak juga mendapatkan jalan keluamya. Nasir pun menjadi marah kepada mereka, ia menyuruh para menteri agar menghadap ke istana sambil mencaci-maki mereka. Lalu terjadilah pembicaraan antara

42 Bak air yang tidak diairi.

para ahli fikih dengan para menteri, tetapi maksud Nasir tersebut tidak sampai kepada mereka.

Berita tersebut sampai kepada Ibnu Lubabah, maka ia lalu berbicara kepada Nasir tentang sebagian temannya yang ahli fikih itu, "Sebenamya mereka telah menghalangi keleluasaannya." Jika ia hadir maka ia akan memberikan fatwa tentang diperbolehkannya menerima ganti rugi. Hal ini berarti ia tetap mengikuti kebenaran. Para sahabat Ibnu Lubabah kemudian memperdebatkan permasalahan tersebut, maka Nasir memerintahkan mereka untuk mengembalikan Ibnu Lubabah kepada kondisinya yang semula melalui jalan musyawarah. Hakim kemudian memerintahkan mereka semua untuk kembali bermusyawarah tentang masalah tersebut. Saat para ahli fikih dan hakim berkumpul, Ibnu Lubabah datang untuk terakhir kalinya. Hakim dan Ibnu Baqi" telah terlebih dahulu mengetahui keperluan mereka berkumpul dalam satu tempat, yaitu permasalahan yang menyangkut nama Ibnu Lubabah.

Dalam perkumpulan itu semua orang yang hadir menghendaki seperti yang disuarakan pertama kali. Saat mendengar hal tersebut, Ibnu Lubabah diam tak berkata. Setelah itu hakim bertanya, "Apa pendapatmu wahai Abu Abdullah?" Ia menjawab, "Apa yang dikatakan oleh Imam Malik adalah yang diyakini oleh para ahli fikih. Adapun bangsa Irak, mereka tidak membenarkan adanya pemenjaraan, padahal mereka adalah para ulama yang banyak diikuti oleh mayoritas masyarakat dunia. Adapun aku, lebih memilih untuk mengikuti perkataan ulama Irak, baik secara tindakan maupun pendapat."

Para ahli fikih berkata, "Subhanallah, kamu meninggalkan pendapat Imam Malik yang juga difatwakan oleh ulama salaf. Kami generasi setelahnya juga meyakini dan berfatwa dengan menggunakan pendapat tersebut. Sungguh, dalam hal tersebut tidak ada celah untuk membantahnya, sebab itu juga menjadi pendapat Amirul Mukminin dan para imam setelah mereka."

Muhammad bin Yahya juga berkata kepada mereka, "Kami beritahukan kepada kalian, bukankah telah turun kepada salah seorang dari kalian suatu musibah yang juga meluas kepada kalian semua jika kalian mengambil fatwa dalam urusan tersebut tanpa mengikutsertakan pendapat Imam Malik? Pada Muhammad bin Yahya juga berkata kepada mereka, "Kami beritahukan kepada kalian, bukankah telah turun kepada salah seorang dari kalian suatu musibah yang juga meluas kepada kalian semua jika kalian mengambil fatwa dalam urusan tersebut tanpa mengikutsertakan pendapat Imam Malik? Pada

Amirul Mukminin lebih utama untuk diikuti, maka ambillah, dan ikuti pula mereka yang mengikutinya, sebagai teladan bagi kalian, sebab mereka semua memang pantas untuk diikuti." Mereka yang hadir pun diam tak berucap.

Mendengar hal ini hakim berkata, "Kita cukupkan pendapat ini dengan adanya pendapat dari Amirul Mukminin."

Setelah itu hakim menulis surat keputusan bersama yang ditujukan kepada Amirul Mukminin, sedangkan ia tetap di tempatnya hingga datang jawaban dari yang bersangkutan, agar mereka bisa mengambil atau menolak pendapat yang dilontarkan oleh Ibnu Lubabah. Setelah jawaban yang ditunggu datang kepada mereka, maka semua tindakan yang akan diambil oleh hakim didasarkan pada perkataan Ibnu Lubabah, dan semua yang hadir menjadi saksi. Sementara itu Ibnu Lubabah tetap mengikuti hasil musyawarah hingga meninggal dunia pada tahun 336 H.

Al Qadhi Iyadh berkata, "Aku menyebutkan khabar ini dihadapan para syaikh kami untuk kali pertama, lalu ia berkata, 'Khabar ini hendaknya diletakkan pada hasil yang telah dipertentangkan, sebab hal itu lebih baik dan lebih kuat daripada masalah itu sendiri.' Demikian kira-kira perkataannya."

Jadi, pikirkanlah cara pengikut hawa nafsu ini memainkan perannya, padahal semestinya mereka menyerahkan permasalahannya kepada orang yang membuat masalah, walaupun yang demikian itu tidak sah bila dilihat dari dua sisi berikut ini:

1. Tidak adanya kejelasan hukum dari satu madzhab pun, karena ulama Irak juga tidak membatalkan adanya pemenjaraan. Demikianlah menurut pendapat yang benar. Adakah orang yang mengambil hukum dengan seenaknya tanpa diperiksa terlebih dahulu, karena hal itu masih bisa diperdebatkan oleh mereka? Apa yang mereka yakini itu berasal dari madzhab Maliki, walaupun hal tersebut ada dalam kitab madzhab Hanafi.

2. Jika kita menerima keputusan yang ada, maka tidak sah bagi seorang hakim untuk menentukan satu hukum karena cinta, emosi, atau ada unsur kepentingan. Namun langkah yang benar adalah mendasarkannya pada hukum syar'i, sebab itulah yang disepakati oleh para ulama. Adapun aktivitas yang didasari oleh taqlid, maka hal itu tidak benar dan tidak berdasar pada syariat. Semoga Allah memberi ampunan kepada kita dengan karunia-Nya.

Keputusan yang tertuang dalam fatwa (yang disebutkan tadi) adalah sesuatu yang tidak sah, karena termasuk bid'ah dalam agama Allah, seperti akal yang rnenghukumi hal-hal yang bersifat agamis. Hal itu akan disebutkan kemudian, insya Allah.

Dalam Al Qur'an disebutkan tentang mereka yang mengikuti hawa nafsu, yaitu yang berjalan tidak di atas shirathal mustaqim. Allah berfirman, "Dialah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) kepada kamu, di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamat (yang terang dan tegas maksudnya)

itulah pokok-pokok isi Al Qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabih 43 . Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka

mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. "(Qs. Aali 'Imraan [3]: 7). Maksudnya adalah perbuatan mereka yang hanya meninggalkan hal-hal yang jelas untuk mengikuti yang belum jelas hukumnya. Tentu saja hal itu bertentangan dengan jiwa yang menyuarakan suatu yang hak.

Dalam riwayat Ibnu Abbas —disebutkan— bahwa orang Khawarij itu hanya mengimani yang muhkam dan tidak menggunakan yang mutasyabih. la lalu membacakan ayat tersebut. Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Wahab.

Ada juga ayat yang mencela perbuatan mereka, "Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsu sebagai tuhannya."

43 Ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan arti yang dimaksud kecuali setelah diselidiki secara mendalam. Atau ayat-ayat yang pengertiannya hanya

diketahui oleh Allah.

(Qs. Al Jaatsiyah [45]: 23) Al Qur’an menyebutkan hawa nafsu hanya untuk menghinakan, seperti dalam surah Al Qashash ayat 50,"Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun." Banyak lagi ayat lainnya.

Alkisah ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Ibrahim An-Nukha'i tentang hawa nafsu, "Dimanakah kebaikannya?" la menjawab, "Allah sama sekali tidak menjadikan kebaikan darinya, walaupun sebesar biji dzarrah, sebab ia hanya hiasan syetan. Yang lebih baik dan tepat adalah perbuatan yang dilakukan oleh salafush-shalih."

Ada juga sebuah cerita tentang seorang laki-laki yang berkata kepada Ibnu Abbas, "Aku mengikuti hawa nafsumu." Ia pun menjawab, "Hawa nafsu semuanya sesat, jadi apa yang kamu maksud dengan mengikuti hawa nafsumu?"