Pemberian lllat Larangan Masih tersisa peninjauan tentang pemberian illat larangan, karena hal

E. Pemberian lllat Larangan Masih tersisa peninjauan tentang pemberian illat larangan, karena hal

itu memunculkan hukum bahwa tidak ada larangan itu ketika tidak ada illat

Apa yang mereka sebutkan memang benar secara global, tetapi secara terperinci perlu ditinjau kembali. Alasannya adalah kembalinya i/Jatiiu kepada dua perkara berikut ini:

1. Kekhawatiran terputusnya amal perbuatan atau ditinggalkan sama sekali, jika pelaksanaannya secara terus-menerus menyebabkan kesulitan.

Rasulullah SAW telah menanamkan satu dasar yang sudah terkenal, bukan kaidah yang diasumsikan, yaitu penjelasan bahwa amal perbuatan yang mewariskan kesulitan ketika dilakukan secara terus- menerus tidak ada di dalam syariat, sebagaimana dasar kesulitan itu juga tidak ada, karena Nabi SAW diutus dengan agama yang toleran, dan tidak ada toleransi dengan masuknya kesulitan. Jadi, setiap orang yang mewajibkan dirinya melakukan amal perbuatan yang akan menyulitkannya, berarti telah keluar dari sikap adil untuk dirinya, dan perlakuannya memasukkan kesulitan untuk dirinya bersumber dari dirinya sendiri bukan dari Pengatur syariat. Jika ia masuk ke amal perbuatan dengan syarat memenuhinya dan ia berhasil memenuhinya, maka itu merupakan hal baik, karena terbukti bahwa amal perbuatan itu mungkin tidak berat karena ia telah mengerjakannya sesuai syarat dan mungkin pula berat tapi ia sabar, maka ia tidak memenuhi hak Rasulullah SAW telah menanamkan satu dasar yang sudah terkenal, bukan kaidah yang diasumsikan, yaitu penjelasan bahwa amal perbuatan yang mewariskan kesulitan ketika dilakukan secara terus- menerus tidak ada di dalam syariat, sebagaimana dasar kesulitan itu juga tidak ada, karena Nabi SAW diutus dengan agama yang toleran, dan tidak ada toleransi dengan masuknya kesulitan. Jadi, setiap orang yang mewajibkan dirinya melakukan amal perbuatan yang akan menyulitkannya, berarti telah keluar dari sikap adil untuk dirinya, dan perlakuannya memasukkan kesulitan untuk dirinya bersumber dari dirinya sendiri bukan dari Pengatur syariat. Jika ia masuk ke amal perbuatan dengan syarat memenuhinya dan ia berhasil memenuhinya, maka itu merupakan hal baik, karena terbukti bahwa amal perbuatan itu mungkin tidak berat karena ia telah mengerjakannya sesuai syarat dan mungkin pula berat tapi ia sabar, maka ia tidak memenuhi hak

Akan tetapi seseorang berkata: Larangan di sini terkait dengan sikap lemah lembut yang sesuai dengan perhitungan pelaku, sebagaimana perkataan Aisyah RA, "Nabi SAW melarang puasa wishal karena sebagai rahmat bagi mereka." Jadi, seakan-akan beliau telah memperhitungkan hak jiwa dalam beribadah.

Oleh karena itu, dikatakan kepadanya, "Kerjakanlah dan tinggalkanlah." Artinya, janganlah kamu memikul sesuatu yang memberatkanmu, sebagaimana kamu tidak memikul amal-amal fardhu yang memberatkanmu, karena Allah SWT hanya meletakkan kewajiban-kewajiban kepada hamba-Nya dalam bentuk yang mudah, yang mampu dikerjakan oleh orang yang kuat dan yang lemah, anak kecil dan orang dewasa, orang merdeka dan budak, serta laki-laki dan perempuan, sehingga apabila sebagian kewajiban telah menyulitkan mukallaf, maka kewajiban itu akan jatuh darinya secara keseluruhan atau diganti dengan kewajiban yang tidak ada kesulitannya, seperti perbuatan-perbuatan sunah yang sedang dibicarakan.

Apabila diperhatikan, maka bagian jiwa kembali kepada pelaku. la boleh tidak memberi bagiannya dan menggunakannya pada sesuatu yang dilaksanakan secara terus- menerus, namun itu justru akan menyulitkannya —atas dasar kaidah yang sudah ditetapkan, yang terdapat dalam kitab muwafaqat). Jadi, perkara itu tidak dilarang — atas dasar anggapan itu— sebagaimana wajib bagi manusia untuk memberikan hak orang selama —orang lain— menuntutnya, dan ia berhak memilih dalam meninggalkan tuntutan sehingga terangkat kewajibannya. Begitu pula tentang larangan untuk memelihara hak Apabila diperhatikan, maka bagian jiwa kembali kepada pelaku. la boleh tidak memberi bagiannya dan menggunakannya pada sesuatu yang dilaksanakan secara terus- menerus, namun itu justru akan menyulitkannya —atas dasar kaidah yang sudah ditetapkan, yang terdapat dalam kitab muwafaqat). Jadi, perkara itu tidak dilarang — atas dasar anggapan itu— sebagaimana wajib bagi manusia untuk memberikan hak orang selama —orang lain— menuntutnya, dan ia berhak memilih dalam meninggalkan tuntutan sehingga terangkat kewajibannya. Begitu pula tentang larangan untuk memelihara hak

Jawaban atas hal tersebut adalah, hak-hak jiwa ditinjau dari segi tuntutannya, bisa dikatakan sebagai hak-hal Allah atas hamba, dan bisa dikatakan bahwa yang demikian itu bagian dari hak-hak hamba. Jadi, tidak benar apa yang telah Anda katakan, karena mukallaf tidak memiliki pilihan di dalamnya. Yang demikian itu ketika ia beribadah dengan cara lemah-lembut kepada orang lain, maka ia juga dibebani untuk berlemah lembut kepada dirinya sendiri, seperti yang ditunjukkan oleh sabda Rasulullah SAW, "Sesungguhnya dirimu mempunyai hak atasmu... "Nabi SAW mengiringi hak jiwa (diri) dengan hak orang lain dalam tuntutan, seperti dalam sabda beliau,

"Maka berikanlah hak kepada setiap orang yang berhak menerimanya. " Beliau lalu menjadikan hal itu sebagai bagian dari hak.

Lafazh ini tidak diungkapkan kecuali untuk sesuatu yang lazim. Dalilnya adalah, tidak boleh bagi seorang manusia menghalalkan darah dirinya atau darah orang lain, dan juga tidak boleh memotong satu bagian dari bagian tubuhnya, serta tidak boleh menyakitinya dengan sesuatu. Jadi, orang yang telah berbuat demikian berarti telah berbuat dosa dan berhak mendapat hukuman.

Jika kami katakan, maka hal itu termasuk hak hamba dan kembali kepada pilihannya, namun tidak secara mutlak, karena telah terbukti —dalam nilai dasar— bahwa hak-hak hamba pasti berkaitan dengan hak Allah.

Seandainya hak itu hanya diserahkan kepada pilihan kita secara mutlak, maka pasti tidak ada larangan untuk kita, namun pada awalnya kita diberi pilihan. Dengan demikian (?), jika semua tergantung pada pilihan mukallaf secara murni, maka orang yang bernadzar dalam hal ibadah boleh meninggalkannya kapan pun dan boleh Seandainya hak itu hanya diserahkan kepada pilihan kita secara mutlak, maka pasti tidak ada larangan untuk kita, namun pada awalnya kita diberi pilihan. Dengan demikian (?), jika semua tergantung pada pilihan mukallaf secara murni, maka orang yang bernadzar dalam hal ibadah boleh meninggalkannya kapan pun dan boleh

berlaku adalah yang serupa dengannya. Kita juga telah memahami dari syariat bahwa Allah SWT telah menjadikan kita cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hati kita. Adapun di antara kategori indah adalah memberi syariat dalam bentuk yang baik untuk dilakukan, dan tidak ada kesulitan dalam melaksanakannya. Apabila melaksanakan suatu amal menjadi urusannya, maka biasanya akan lahir kebosanan, kebencian, dan keterputusan dalam melakukannya —hal ini berlawanan dengan memberi kecintaan dengan iman dan menghiasinya di dalam hati— dan yang demikian itu hukumnya makruh, karena bertentangan dengan keberadaan syariat. Sebab, tidak selayaknya masuk ke dalamnya dalam bentuk yang demikian.

2. Kekhawatiran terjadinya pelalaian amal perbuatan yang lebih kuat (penting), baik dalam menunaikan hak Allah maupun hak makhluk.

Hak-hak yang berkaitan dengan mukallaf terbagi menjadi dengan beberapa bentuk, dan hukum-hukumnya berbeda-beda sesuai dasar- dasar dalil yang digunakan. Sudah dimaklumi bahwa apabila terjadi kontradiksi dua hak kepada mukallaf dan tidak mungkin dipadukan di antara keduanya, maka harus dikedepankan yang lebih kuat dalam substansi dalil. Seandainya terjadi kontradiksi pada mukallaf, antara yang wajib dengan yang sunah, maka yang wajib dikedepankan adalah yang sunah, sehingga yang sunah pada saat itu tidak lagi menjadi sunnah tapi menjadi sesuatu yang wajib ditinggalkan, baik secara akal maupun syariat, termasuk ke dalam kaidah "Sesuatu tidak menjadi wajib kecuali dengan dengan (sesuatu) itu."

Apabila yang sunah itu menjadi sesuatu yang wajib ditinggalkan, maka apakah orang yang mengerjakannya ketika itu dianggap sebagai orang yang beribadah kepada Allah? la pun beribadah dengan sesuatu yang dituntut dalam dasar-dasar dalil, karena dalil sunah itu ada. Tetapi, Apabila yang sunah itu menjadi sesuatu yang wajib ditinggalkan, maka apakah orang yang mengerjakannya ketika itu dianggap sebagai orang yang beribadah kepada Allah? la pun beribadah dengan sesuatu yang dituntut dalam dasar-dasar dalil, karena dalil sunah itu ada. Tetapi,

Pembahasan yang tersisa adalah peninjauan tentang sunah: Apakah ia menempati posisi sunah? Jika Anda berkata, "Meninggalkan yang sunah di sini wajib menurut akal," maka mungkin yang sunah itu akan menjadi sebab Anda mendapat pahala, walaupun ia telah mencegah pelaksanaan sesuatu yang wajib. Jika Anda berkata, "Meninggalkan yang sunah di sini wajib menurut syar'i," maka mungkin ia menjadi sebab adanya pahala kecuali dalam bentuk tertentu, dan di dalamnya terdapat apa yang sewajarnya ada.

Anda melihat bahwa melazimkan amalan sunah akan menjadi wajib dalam bentuk bagaimanapun, dan hal itu akan menyebabkan kesulitan, mencegah dari pemenuhan kewajiban-kewajiban secara langsung, baik disengaja maupun tidak disengaja. Yang demikian itu seperti yang terkandung dalam hadits Salman dengan Abu Darda' RA, bahwa bangun malam yang ia lazimkan telah mencegahnya untuk melaksanakan hak-hak istri yang berupa kewajiban bercumbu dengannya. Begitu pula dengan melazimkan puasa pada siang hari.

Yang serupa dengan itu, seandainya pelaziman shalat Dhuha atau shalat-shalat sunah lainnya menyebabkan tercegahnya pelaksanaan kewajiban terhadap orang sakit yang mendekati ajalnya, dan kewajiban membantu keluarganya dengan makanan pokok atau yang lain yang serupa dengan itu, atau mengakibatkan lemah fisik, sehingga tidak mampu mencari kehidupan untuk keluarganya atau melaksanakan kewajiban sesuai dengan aturannya, atau jihad, atau menuntut ilmu. Hal tersebut diisyaratkan oleh hadits yang berbicara tentang Daud AS, bahwa beliau puasa sehari dan berbuka sehari dan tidak lari jika bertemu (musuh).

Dalam perjalanan, orang yang diwajibkan berpuasa diberikan pilihan, Dalam perjalanan, orang yang diwajibkan berpuasa diberikan pilihan,

" Sesungguhnya kamu telah mendekat dari musuhmu, dan berbuka itu lebih kuat bagi kamu ".

Abu Said Al Khudri RA berkata, "Sehingga di antara kami (pada pagi harinya) ada yang puasa dan ada yang berbuka. Kemudian kami terus berjalan dan singgah di suatu rumah. Beliau lalu bersabda,

"Sesungguhnya besok pagi akan bertemu dengan musuh kalian, dan berbuka itu lebih kuat bagi kalian, maka berbukalah. "

Ini merupakan azimah dari Rasulullah SAW. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa puasa mungkin akan melemahkan

diri dari bertemu (melawan) musuh dan jihad. Dengan ini puasa sunah lebih utama untuk diterapkan pada hukum ini.