Penyimpang Orang-Orang yang Condong kepada

D. Penyimpang Orang-Orang yang Condong kepada

Kesesatan terhadap Dasar-Dasar Hukum yang Jelas

Mereka (orang-orang yang condong kepada kesesatan) mengikuti perkara yang mutasyabihat dan memberikan tempat bagi akal untuk memikirkannya serta berusaha mencari-cari penakwilannya —sebagaimana yang digambarkan Allah SWT didalam kitab-Nya— sebagai isyarat kepada orang-orang Nasrani terhadap perkataan mereka tentang trinitas, dengan firman-Nya, "Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan mencari-cari penakwilannya. " (Qs. Aali Imraan [3]: 7)

Para ulama mengetahui bahwa semua dalil yang samar dan tidak jelas pada hakikatnya bukanlah dalil yang dapat diterima, sampai arti dan tujuannya jelas, serta tidak bertentangan dengan dalil qath 7 Apabila artinya belum jelas karena memang masih global, atau samar, atau menyelisihi dalil qath'/, seperti ada dalil yang menyerupainya, maka tidak dianggap sebagai dalil. Sebab, pada hakikatnya, sebuah dalil hendaknya jelas pada perkaranya sendiri dan juga dapat memberikan keterangan pada yang lainnya. Jika tidak, maka ia membutuhkan dalil lain, dan jika terdapat dalil lain yang menjelaskan ketidak-shahih-annya, maka ia lebih jelas untuk tidak dijadikan dalil.

Cabang-cabang yang terperinci tidak mungkin menyelisihi dasar-dasar yang global, sebab jika cabang-cabang yang terperinci tidak memutuskan Cabang-cabang yang terperinci tidak mungkin menyelisihi dasar-dasar yang global, sebab jika cabang-cabang yang terperinci tidak memutuskan

Contohnya dalam ajaran agama Islam yaitu aliran Zhahiriyyah yang menisbatkan panca indra bagi Tuhan —Yang Maha Suci dari kekurangan— dari mata, tangan, kaki, wajah sesuatu yang dapat dirasakan dengan panca indra dan sebagainya yang telah ditetapkan sebagai sesuatu yang baru.

Contoh lainnya adalah kelompok yang menyangka bahwa Al Qur" an adalah makhhik, lantaran keterkaitannya dengan perkara yang mutasyabihat, dan mutasyabihat yang mereka lontarkan ada dua perkara, yaitu menurut akal (aqliy) —menurut tuduhan mereka— dan menurut pendengaran (sam ty.

Adapun menurut akal, sifat kalam (pembicaraan) adalah bagian dari sifat-sifat lainnya secara keseluruhan, dan menurut mereka Dzat Allah terbebas dari bentuk, sedangkan menentukan sifat dzat adalah pendapat yang menyatakan dzat mempunyai bentuk, sehingga hal ini mustahil, karena pendapat tersebut pada dasamya satu. Jadi, tidak mungkin Allah bersifat Maha Berbicara dengan pembicaraan yang berdiri di atas pendapat tersebut, sebagaimana Allah Maha Kuasa dengan kekuasaan yang berdiri di atas pendapat tersebut atau bersifat Maha Mengetahui dengan keilmuan yang berdiri di atas pendapat tersebut, dan begitulah semua sifat yang lain.

Demikian pula kalam (perkataan), ia dapat dipahami hanya jika ada suara dan huruf, sedangkan semua itu merupakan sifat-sifat benda, dan Allah Maha Suci dari itu semua.

Setelah menyebutkan dasar-dasar tersebut mereka menyandarkannya Setelah menyebutkan dasar-dasar tersebut mereka menyandarkannya

Adapun yang berhubungan dengan dalil sam'i (yang hanya bisa didengar yang tidak akan pernah kita lihat, namun menuntut kita untuk percaya) yaitu firman Allah, " Allah ada/ah Pencipta segala sesuatu." (Qs. Ar-Ra'd [13]: 16),

sementara Al Qur x an mungkin menjadi sesuatu, atau bukan sesuatu dan memang bukan sesuatu, atau tidak ada dan Al Qur" an tetap tidak berubah,

tentu yang demikian ini tidak mungkin. Jika Al Qur* an adalah sesuatu maka ia mencakup ayat, maka ia adalah makhluk. Dengan pendapat ini Al Murisi lain terhadap Abdul Aziz Al Makki rahimahullah.

Dua perkara syi/6/ja^ (keraguan) ini ditimbulkan dari keterkaitannya dengan perkara yang mutasyabihat, mereka membandingkan Allah dengan makhluk dan mereka tidak memikirkan perkara yang lain dibalik semua itu, dan akhirnya mereka mengabaikan maksud-maksud ayat-ayat Al Qur'an dan kaidah-kaidah akal.

Mereka telah meninggalkan kaidah-kaidah akal, sehingga mereka tidak melihat kandungan firman Allah, " Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia." (Qs. Asy-Syuuraa [42]: 11) Ayat ini mencakup dalil naqlidan aqli, sebab sesuatu yang menyerupai makhluk pada sisi tertentu, maka ia juga makhluk sepertinya, karena yang menjadi keharusan bagi sesuatu menjadi keharusan bagi yang sepertinya. Oleh karena itu, sebagaimana ayat ini menjadi dalil atas penolakan terhadap persamaan, ia juga menjadi dalil untuk mereka, sebab mereka telah memperlakukan Allah sebagaimana memperlakukan makhluk, lantaran mereka menyangka bahwa bersifatnya dzat Allah dengan sifat-sifat tertentu mengharuskan adanya bentuk.

Mereka telah meninggalkan tujuan-tujuan ayat Al Qur'an, bahwa orang-orang Arab tidak memahami dari firman-Nya, " YangMaha Mendengar lagi Maha Melihat'\ " Yang Maha Mendengar lagiMaha Mengetahui'' atau " Yang Maha Kuasa" dan ayat yang semisalnya, kecuali bagi seseorang yang memilki pendengaran, penglihatan, ilmu, dan kekuasaan, yang dengannya ia menyifati. Mengeluarkannya dari arti-artinya yang hakiki (yang telah Mereka telah meninggalkan tujuan-tujuan ayat Al Qur'an, bahwa orang-orang Arab tidak memahami dari firman-Nya, " YangMaha Mendengar lagi Maha Melihat'\ " Yang Maha Mendengar lagiMaha Mengetahui'' atau " Yang Maha Kuasa" dan ayat yang semisalnya, kecuali bagi seseorang yang memilki pendengaran, penglihatan, ilmu, dan kekuasaan, yang dengannya ia menyifati. Mengeluarkannya dari arti-artinya yang hakiki (yang telah

Mereka juga mengembalikan sifat-sifat ini kepada keadaan-keadaan; yang dimaksud adalah alamiyah dan qadiriyah, maka yang diwajibkan pada ilmu dan qudrah (kekuasaan) diwajibkan pula di dalam alamiyah dan qadiriyah, karena bila sifat-sifat tersebut ada maka membutuhkan susunan (bentuk), dan jika tidak ada maka kata 'tidak ada' artinya kosong.

Adapun perkataan itu terdiri dari suara dan huruf, maka itu atas dasar tidak pernah memperhatikan tentang suara jiwa, dan perkara tersebut telah dijelaskan di dalam us/ju/(dasar-dasar agama).

Sedangkan samamya dalil-dalil sam % maka seakan-akan dalil tersebut hanya mengikuti, sebab bagi mereka akal adalah sumber yang diakui dan menjadi patokan. Namun mereka tetap membutuhkan dalil yang seperti ini, sebagaimana dijelaskan terdahulu demi Allah (?) karena firman-Nya," Allah adalah Pencipta segala sesuatu." (Qs. Ar-Ra'd [13]: 16) Baik dengan pengertian secara umum yang tidak bertentangan dengan sesuatu maupun tidak secara umum. Apabila diartikan secara umum, maka pengkhususannya (baik tanpa daBl —yaitu penentuan hukum— maupun dengan dalil) hendaknya dijelaskan oleh mereka, sehingga kita dapat menelitinya. Lazim saja jika dalam masalah sifat aliradah mereka mengembalikan pembicaraan kepadanya, begitu pula sifat-sifat Allah yang lainnya jika mereka telah menentukannya, atau al ahwaljika mereka mengingkarinya. Akan dibahas permasalahan mereka ini nanti.

Permasalahan yang paling penting adalah bentuk-bentuk lain dari dalil-dalil yang menunjukkan bahwa madzhab ini adalah bid'ah yang tidak sejalan dengan kaidah-kaidah syariat.

Sesuatu yang paling mengherankan yang dituliskan disini yaitu yang diriwayatkan oleh Al Mas'udi dan disebutkan oleh Al Ajiri —dalam kitab Asy- Syari'ah— lebih ringkas dari yang disebutkan oleh Al Mas'udi. Sementara lafazhnya adalah lafazh Al Mas'udi dengan perbaikan sebagian dari lafazhnya, ia berkata: Shalih bin Ali Al Hasyimi meriwayatkan, ia berkata: Suatu hari Sesuatu yang paling mengherankan yang dituliskan disini yaitu yang diriwayatkan oleh Al Mas'udi dan disebutkan oleh Al Ajiri —dalam kitab Asy- Syari'ah— lebih ringkas dari yang disebutkan oleh Al Mas'udi. Sementara lafazhnya adalah lafazh Al Mas'udi dengan perbaikan sebagian dari lafazhnya, ia berkata: Shalih bin Ali Al Hasyimi meriwayatkan, ia berkata: Suatu hari

Kemudian ia berkata kepada saya, "Wahai Shalih! Saya merasa ada sesuatu dalam dirimu yang ingin kamu bicarakan," —Perawi berkata— Saya menjawab, "Betul, wahai Amirul Mukminin." Kemudian ia diam. Setelah selesai dari majelisnya ia memerintahkan agar saya tidak pergi, sedangkan ia berdiri. Saya duduk menunggu dalam waktu yang lama, maka saya berdiri untuk menghampirinya yang sedang duduk di atas tikar shalat. Ia lalu berkata kepada saya, "Wahai Shalih, apakah kamu mau membicarakan sesuatu yang ada di dalam hatimu? Atau saya yang membicarakannya kepadamu?" Saya menjawab, "Bila engkau yang memulainya maka itu lebih baik wahai Amirul Mukminin."

la berkata, "Seakan-akan saya setuju denganmu dan saya membenarkan keputusan yang ditetapkan dari majelis kita." Saya berkata, "Ah, khalifah tetap khalifah kami! Kalaulah bukan berpendapat seperti pendapat bapaknya, bahwa Al Qur" an adalah makhluk." Ia berkata, "Saya memang berpendapat seperti itu untuk beberapa tahun, hingga Al Watsiq mendatangkan seorang syaikh yang ahli fikih dan hadits dari daerah Adznah, tapal batas negeri dataran Syam. Terikat sepanjang masa, dengan rambut beruban yang teratur rapi dan mengucapkan salam tanpa merasa gentar, lalu berdoa dengan ringkas dan saya melihat rasa malu pada dirinya di tengah- tengah pandangan rasa kasihan pada kedua mata Al Watsiq dan penuh rasa prihatin terhadapnya.

Al Watsiq berkata, "Wahai Syaikh, jawablah pertanyaan Abu Abdullah Ahmad bin Abu Du'ad atas perkara yang ditanyakannya kepadamu." Ia Al Watsiq berkata, "Wahai Syaikh, jawablah pertanyaan Abu Abdullah Ahmad bin Abu Du'ad atas perkara yang ditanyakannya kepadamu." Ia

Syaikh tersebut lalu menghadap Ahmad dan bertanya, "Wahai Ahmad! Terhadap perkara apa kamu menyeru manusia?" Ahmad berkata, "Kepada pendapat tentang Al Qur'an adalah makhluk." Syaikh itu berkata, "Pendapatmu ini, yang kamu serukan kepada manusia untuk mengikutinya, tentang pendapat bahwa Al Qur'an adalah makhluk, apakah ia sebagai tambahan dalam ajaran agama dan tidak sempurna agama kecuali dengan berpendapat dengannya?" Ia menjawab, "Ya." Syaikh berkata, "Lalu apakah Rasulullah SAW menyerukan manusia kepada perkara tersebut?" Ia berkata, "Tidak." Syaikh itu berkata kepadanya, "Apakah beliau mengetahuinya?" Ia menjawab, "Ya." Syaikh berkata, "Mengapa kamu mengajak orang-orang kepada perkara yang tidak pernah diserukan Rasulullah kepada mereka dan membiarkan mereka terhadap perkara tersebut?" Ia terdiam. Syaikh pun meneruskan perkataannya, "Wahai Amirul Mukminin! Ini salah satunya."

Syaikh itu berkata, "Beritahukanlah kepadaku wahai Ahmad, tentang firman Allah,"Pada hari iniKusempurnakan untuk kamu agamamu." (Qs. Al Maa' idah [5]: 3) sedangkan kamu telah mengatakan bahwa agama tidak

sempurna kecuali dengan meyakini pendapatmu bahwa Al Qur x an adalah makhluk, sedangkan Allah jujur secara kesempurnaan dan lengkap (tidak

ada yang kurang). Sementara itu, apakah kamu dalam kekurangan?" Ia terdiam. Syaikh itu berkata, "Wahai Amirul Mukminin! Ini yang kedua."

Setelah itu tak beberapa lama syaikh itu ia berkata, "Beritahukanlah kepadaku wahai Ahmad, tentang firman, "Hai Rasul! Sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintankan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. "

(Qs. Al Ma'idaah [5]: 67). Jadi, pendapatmu yang kamu serukan kepada manusia, apakah termasuk perkara yang telah disampaikan Rasulullah?" la pun terdiam, maka syaikh berkata, "Wahai Amirul Mukminin! Ini yang ketiga."

Syaikh tersebut bertanya lagi, "Beritahukanlah kepada saya wahai Ahmad! Jika Rasulullah SAW mengetahui pendapat yang kamu serukan kepada manusia agar mengikutinya, maka apakah baginya keluasan untuk tidak menyampaikannya kepada mereka?" Ahmad menjawab, "Ya, baginya keluasan atas perkara tersebut." Syaikh pun berkata, "Begitu pub terhadap Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali RA?" la menjawab, "Ya." Syaikh itu lalu memalingkan wajahnya menghadap Al Watsiq dan berkata, "Wahai Amirul Mukminin! Tidak ada keluasan bagi kita atas apa yang diberikan keluasan kepada Rasulullah SAW dan kepada para sahabatnya, niscaya Allah tidak memberikan keluasan kepada kita."

Al Watsiq berkata, "Ya, jika kita tidak diberi keluasan seperti yang RasulaLah dan para sahabatnya tidak memberikan kepada kita keluasan, niscaya Allah juga tidak memberikannya kepada kita." Al Watsiq lalu berkata, "Lepaskan tali belenggunya." Tatkala dilepaskan ikatannya, ia mengambil tali pengikatnya." Al Watsiq berkata, "Biarkan ia." Kemudian berkata, "Wahai Syaikh! Kenapa kamu mengambil tali pengikatnya?" Ia menjawab, "Sesungguhnya saya telah mengikat di dalam niatku agar menggenggamnya dan jika aku telah menggenggamnya maka saya bermaksud meletakkannya di tangan saya dan selesai sudah. Lalu saya berdoa, 'Wahai Tuhanku! Tanyakanlah hamba-Mu, kenapa Engkau mengikatku tanpa kesalahan dan Engkau sia-siakan keluargaku?'."

Al Watsiq pun menangis, begitu juga syaikh dan semua orang yang hadir. Al Watsiq lalu berkata kepadanya, "Wahai syaikh, jadikanlah saya termasuk orang-orang yang terbebas dari kesalahan ini." Ia menjawab, Wahai Amirul Mukminin! Tidaklah aku keluar dari rumahku melainkan aku telah menjadikanmu terbebas darinya sebagai penghormatan terhadap Rasulullah dan seluruh kerabatmu." Wajah Al Watsiq pun berseri gembira dan berkata kepadanya, "Tinggallah bersamaku, maka aku pasti akan berbuat baik Al Watsiq pun menangis, begitu juga syaikh dan semua orang yang hadir. Al Watsiq lalu berkata kepadanya, "Wahai syaikh, jadikanlah saya termasuk orang-orang yang terbebas dari kesalahan ini." Ia menjawab, Wahai Amirul Mukminin! Tidaklah aku keluar dari rumahku melainkan aku telah menjadikanmu terbebas darinya sebagai penghormatan terhadap Rasulullah dan seluruh kerabatmu." Wajah Al Watsiq pun berseri gembira dan berkata kepadanya, "Tinggallah bersamaku, maka aku pasti akan berbuat baik

Perhatikanlah cerita tersebut, sebab di dalamnya terdapat pelajaran bagi orang-orang yang berakal. Lihatlah bagaimana seorang musuh mengambil sumber dalil untuk mengalahkan musuhnya agar dapat menentang pendapatnya dengan kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.

Kesalahan pada pembahasan ini hanya pada satu huruf, yaitu ketidakpahaman terhadap maqashidusy-syar' dan tidak menyatukan antara ujung yang satu dengan ujung yang lain. Sesungguhnya sumber pengambilan dalil menurut orang-orang yang mendalam ilmunya ialah menjadikan syariat seperti satu bentuk, sesuai aturan yang telah ditetapkan; antara yang kulliyat dengan yang jus'iyat, antara yang amm dengan yang khash, antara yang mutiak dengan yang muqayyad, antara yang mujmal denqan yang al mufassar, dan sebagainya dari seluruh aspek yang berkenaan dengannya.

Apabila seorang peneliti telah mencapai salah satu hukum yang sesuai dengan salah satu ketentuan tersebut, maka itulah aturan yang diatur untuknya tatkala diambil intisari hukum.

Contohnya adalah manusia yang sempurna. Manusia tidak dinamakan manusia kecuali disebutkan secara keseluruhan, bukan hanya tangan, kaki, kepala, atau lidah, tetapi semua komponen yang membuatnya dinamakan manusia. Begitu juga syariat, tidak dapat ditentukan hanya dengan satu hukum atas dasar pengambilan intisari yang sebenar-benarnya, namun harus dengan melihat semua aspek, bukan hanya berdasarkan sebagian dalil, bagaimanapun status dalil tersebut, meski yang mengeluarkan dalil itu adalah orang yang Contohnya adalah manusia yang sempurna. Manusia tidak dinamakan manusia kecuali disebutkan secara keseluruhan, bukan hanya tangan, kaki, kepala, atau lidah, tetapi semua komponen yang membuatnya dinamakan manusia. Begitu juga syariat, tidak dapat ditentukan hanya dengan satu hukum atas dasar pengambilan intisari yang sebenar-benarnya, namun harus dengan melihat semua aspek, bukan hanya berdasarkan sebagian dalil, bagaimanapun status dalil tersebut, meski yang mengeluarkan dalil itu adalah orang yang

Oleh sebab itu, tatkala orang-orang yang mendalam ilmunya menggambarkan syariat, mereka menggambarkannya dengan satu gambaran yang saling berhubungan, seperti halnya anggota tubuh manusia yang digambarkan secara benar.

Sedangkan orang-orang yang mengikuti mutasyabihat akan mengambil dalil yang terbatas dan seenaknya, meskipun ada dalil yang menentangnya, baik dari dalil-dalil yang global maupun yang terperinci, sehingga satu bagian tidak dapat memberikan pemahaman terhadap hukum-hukum syariat yang sebenamya. Mereka hanya menghendaki dan mengikuti yang mutasyabihat, dan orang yang mengikutinya hanyalah orang-orang yang hatinya condong kepada kesesatan, sebagaimana yang telah dipersaksikan Allah, "Dan siapakah yang lebih benar perkataannya daripada Allah." (Qs. An-Nisaa" (4): 122)

Termasuk pengikutan terhadap perkara yang mutasyabihat yaitu mengambil dalil-dalil yang mutlak sebelum melihat perkara yang mengikatnya (atau membatasinya) dan mengambil dalil-dalil yang amm tanpa melihat statusnya, mempunyai pengkhususan atau tidak? Begitu pula sebaliknya, yaitu menjadikan dalil nash yang muqayyad kemudian menjadikannya dalil yang mutlak, atau yang khash kemudian dijadikan dalil yang amm dengan pendapat akal tanpa menggunakan dalil yang lain.

Sesungguhnya tindakan tersebut menyimpang dan sebagai bentuk pengikutan terhadap hawa nafsu dalam berdalil, sebab mengambil dalil yang mutlak padahal ada nash yang muqayyad, hanya akan menyebabkan hukum menjadi samar, sedangkan jika dalil yang mugayyad diterapkan, maka hukum akan menjadi jelas. Sebagaimana mutlak-nya dalil yang muqayyad, maka pendapat akal dalam hal-hal yang muqayyad bersebrangan dengan nash Sesungguhnya tindakan tersebut menyimpang dan sebagai bentuk pengikutan terhadap hawa nafsu dalam berdalil, sebab mengambil dalil yang mutlak padahal ada nash yang muqayyad, hanya akan menyebabkan hukum menjadi samar, sedangkan jika dalil yang mugayyad diterapkan, maka hukum akan menjadi jelas. Sebagaimana mutlak-nya dalil yang muqayyad, maka pendapat akal dalam hal-hal yang muqayyad bersebrangan dengan nash

pelaksanaan yang mutlak dan umum kepada mereka yang mukallaf, dan hal itu tidak dapat dibatalkan dengan udzur kecuali udzur yang ditentukan dapat mengangkat perintah tersebut, yaitu hilangnya akal. Walaupun seorang mukallaf telah mencapai tingkat keutamaan, setinggi apa pun itu, perintah tersebut tetap diwajibkan atas dirinya hingga ia meninggal dunia. Tidak ada seorang pun yang dapat mencapai derajat seperti derajat Rasulullah SAW dalam hal agama, kemudian derajat para sahabatnya yang mulia.

Tidak ada dari mereka yang terbebas dari kewajiban, meski sebesar biji sawi, kecuali terhadap perintah yang tidak sanggup dijalankan, seperti orang yang sakit bertahun-tahun tidak diwajibkan berperang dan orang yang tidak mampu berdiri tidak diharuskan shalat dengan berdiri, dan perempuan yang haid tidak diwajibkan shalat sebagaimana diperintahkan kepadanya ketika tidak sedang haid.

Orang yang menganggap pembebanan syariat dapat diangkat pada tingkatan tertentu (dari tingkatan-tingkatan ajaran agama), seperti pengikut aliran {Ibahiyah), maka pendapat tersebut adalah bid'ah yang menyesatkan.

Permasalahan yang ditimbulkan oleh pelaku bid'ah antara lain:

1. Pemyataan-pernyataan mereka tentang hadits-hadits shahih, bahwa hadits-hadits tersebut menyelisihi Al Qur 'an, atau antara satu hadits dengan hadits lainnya saling bertentangan dan rusak artinya, atau bertentangan dengan akal, sebagaimana yang mereka hukumkan dalam sabda Rasulullah bagi orang-orang yang minta diputuskan hukum di antara mereka,

" Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, aku akan menentukan hukum antara kamu dengan kitab Allah: seratus kambing dan pembantu dikembalikan kepadamu, sedangkan anakmu harus dirajam seratus kali serta diasingkan, dan perempuan ini harus dirajam juga. Wahai Unais, bawalah perempuan ini dan jika ia mengakuinya maka rajamlah ia."

Ia lalu membawanya. Perempuan itu pun mengakuinya, maka Unais merajamnya.

Mereka berkata, "Hadits ini bertentangan dengan Al Qur’ an, karena beliau menghukumnya dengan hukuman rajam dan pengasingan, sedangkan hukuman rajam dan pengasingan dalam kitab Allah (Al Qur' an) tidak disebutkan. Jika hadits ini batil maka itulah yang kami maksudkan, sedangkan jika hadits ini benar maka ia telah menyelisihi kitab Allah dengan menambahkan hukuman rajam dan pengasingan."

Hal ini adalah pengikutan terhadap perkara yang mutasyabih, karena kalimat Al Kitab dalam perkataan orang-orang Arab dan dalam syariat dapat diartikan dari beberapa segi, diantaranya adalah hukum dan kewajiban, seperti dalam firman Allah,

^ Kitab Allah yang ada pada kamu." "Diwajibkan atas kamu berpuasa." (Qs. Al Baqarah [2]: 183). " Ya Tuhan kami, mengapa Engkau wajibkan berperang kepada

kami?"{Qs. An-Nisaa* [4J: 77). Pengertian yang sesungguhnya yaitu, "Saya pasti akan menentukan

hukum di antara kamu dengan kitab Allah, yaitu dengan syariat-syariat Allah yang telah disyariatkannya kepada kita."

Kata Al Kitab juga disebutkan untuk Al Qur'an, maka pengkhususannya dengan salah satu arti yang menjadi cakupannya tanpa dalil adalah pengikutan terhadap dalil yang mutasyabih.

Dalam hadits disebutkan,

"Perumpamaan umatku adalah bagaikan hujan, tidak dapat diketahui apakah yang pertama yang terdapat kebaikan atau yang terakhir?'

Mereka berkata, "Ini menandakan bahwa tidak ditetapkan keutamaan bagi orang-orang yang terdahulu dari umat ini. Kemudian diriwayatkan,

'Sesungguhnya Islam dimulai dengan —dianggap— aneh dan akai kembali menjadi aneh sebagaimana pertama kali diturunkannya, maka beruntunglah orang-orang yang —dianggap— aneh.'

Hadits ini menerangkan keutamaan orang-orang yang terdahuh dan yang terakhir dari mereka yang dipertengahan. Kemudiai diriwayatkan,

' Sebaik-baiknya zaman adalah zamanku, kemudian yang setelahnya, kemudian yang setelahnya. 1

Hadits ini menerangkan keutamaan orang-orang pertama secara mutlak."

Mereka berkata, "Jadi — lihatlah bahwa— perkara ini saling bertentangan."

Mereka telah berbohong, karena sesungguhnya di sana tidak terdapat perselisihan dan pertentangan.

Jika pertentangan tersebut diperhatikan oleh orang yang berakal dalam hukum-hukum syariat, maka ada dua kemungkinan, tidak dapat digabungkan sama sekali dari asalnya, atau dapat digabungkan. Sedangkan yang tidak dapat digabungkan yaitu pertentangan antara dalil qath 'i (pasti hukumnya) dan dalil zhanni (yang masih mengandung Jika pertentangan tersebut diperhatikan oleh orang yang berakal dalam hukum-hukum syariat, maka ada dua kemungkinan, tidak dapat digabungkan sama sekali dari asalnya, atau dapat digabungkan. Sedangkan yang tidak dapat digabungkan yaitu pertentangan antara dalil qath 'i (pasti hukumnya) dan dalil zhanni (yang masih mengandung

Jika telah ditetapkan perkara ini, maka sabda beliau SAW, "Sebaik-baiknya masa adalah masa saya." adalah perkara yang mendasar dalam pembahasan ini, maka tidak ada seorang pun di antara kita yang sampai pada derajat para sahabat RA, sedangkan selainnya mengharuskan penakwilan terhadap keadaan atau zaman atau dari sebagian sisinya.

Adapun sabda beliau SAW, "Maka beruntunglah orang-orang yang aneh." bukan ditetapkan atas keutamaan seperti yang dimaksud, akan tetapi hal itu sebagai dalil atas pahala yang baik. Yang tersisa dari masalah tersebut adalah keterangan tentang kemungkinan pahala mereka yang akan seperti pahala para sahabat, atau di bawah pahala mereka, atau bahkan di atas mereka. Namun argumentasi itu memang tidak terdapat di dalam hadits tersebut. Oleh karena itu, dalil tersebut selayaknya dipakai pada hukum dasar terlebih dahulu, agar tidak terdapat permasalahan.

2. Perkataan mereka yang menyatkan adanya pertentangan dalam sabda beliau SAW, berikut ini:

"Janganlah kamu mengutamakanku dari Yunus bin Matta dan janganlah kamu membeda-bedakan antara para nabi dengan diriku dalam kebaikan."

Sabda beliau SAW,

"Saya adalah pemimpin anak Adam dan tidak ada kesombongan." Sisi penggabungan antara keduanya sangat jelas. Diantaranya juga bahwa mereka berkata tentang sabda beliau SAW,

"Jika salah seorang di antara kamu bangun dari tidurnya, maka ia hendaknya tidak memasukkan tangannya ke dalam tempat air sampai ia mencucinya tiga kali, karena sesungguhnya salah seorang di antara kamu tidak tahu dimana tangannya berada."

"Sesungguhnya akhir hadits tersebut merusak yang pertamanya, sebab yang pertama benar jika tidak ada sabda beliau, 'Sesungguhnya salah seorang di antara kamu tidak tahu begini.

Jadi, sebenamya tidak ada seorang pun di antara kita yang tahu letak tangannya saat tertidur. Perkara yang paling berbahaya adalah jika tangannya menyentuh kemaluannya, dan jika seseorang mengerjakannya saat terjaga ia pasti diperintahkan untuk mencuci tangannya. Lalu, bagaimana mungkin diperintahkan untuk mencuci tangan sedangkan ia tidak tahu letak tangannya saat tidur, menyentuh kemaluan atau tidak?"

Sanggahan kami ini sama seperti pokok sanggahan yang sebelumnya: Sesungguhnya orang yang tidur terkadang memegang Sanggahan kami ini sama seperti pokok sanggahan yang sebelumnya: Sesungguhnya orang yang tidur terkadang memegang

Semua perkara yang disebutkan dalam pembahasan ini berkenaan dengan pengelabuan terhadap hadits-hadits dengan pendapat akal yang tercela yang sebelumnya telah dipersaksikan bahwa hal itu termasuk perkara bid'ah yang menyesatkan.