Al Imam Abu Ishaq Ibrahim bin Musa bin Muhammad

N. Al Imam Abu Ishaq Ibrahim bin Musa bin Muhammad

Al-Lakhmi Asy-Syathibi Al Gharnathi —Rahimahumullahu— Al Mustanshir (Argumentator itu) Berdalil dengan Qiyas

Orang yang menguatkan pandangannya itu memperkuat dengan dalil qiyas, "Kalau benar ulama salaf tidak mengamalkannya, artinya mereka telah melakukan scsuatu yang tidak pernah dilakukan oleh orang sebelum mereka, padahal orang-orang sebelum mereka pasti lebih baik kondisinya. Umar bin Abdul Aziz berkata, 'Akan terjadi berbagai kejadian pada umat manusia sesuai dengan kadar kejahatan yang mereka ada-adakan', maka demikian juga akan terjadi antusias dalam kebaikan sesuai dengan kadar kepayahan yang mereka ada-adakan."

Pendalilan ini jelas tidak diperbolehkan dalam pandangan ulama ushul,

karena:

1. Berseberangan dengan nash, yaitu yang diisyaratkan oleh Malik dalam masalah Al Atabiyah. Jadi, hal ini termasuk i'tibar (pengambilan pandangan) yang keliru.

2. Mengqiyaskan pada nash yang belum kukuh dari jalan yang bisa diterima, dan yang demikian ini tidak seperti itu.

3. Perkataan Umar bin Abdul Aziz adalah sebuah cabang ijtihad yang dilakukan oleh seorang mujtahid yang mungkin benar dan mungkin pula keliru, sedangkan hakikat yang menjadi hukum asal haruslah bersumber dari Nabi SAW atau ahlul ijma’, sedangkan permasalahan itu tidak bersumber dari keduanya.

4. Ini adalah qiyas tanpa makna yang jami' (mernpunyai unsur kesamaan), atau ada makna jami' tetapi tidak langsung. Poin ini akan dijelaskan nanti, Insyallah, pada saat membicarakan perbedaan antara maslahat mursalah dengan bid'ah.

Perkataan mustanshir, "Ulama salaf telah melakukan sesuatu yang tidak

pernah dilakukan oleh orang sebelum mereka", demi Allah, mereka tidak pernah dilakukan oleh orang sebelum mereka", demi Allah, mereka tidak

Perkataan mustanshir, "Pasti lebih baik kondisinya", maka apa yang dilakukan oleh ulama salaf adalah baik, sedangkan jika cabangnya —yang diqiyaskan— dikatakan baik, maka itu hanyalah klaim, sebab sesuatu dapat dikatakan baik atau buruk hanya dengan syariat, atau karena doa dengan bentuk seperti itu memang baik secara syar'i.

Adapun mengqiyaskannya pada perkataannya, "Telah terjadi berbagai kejadian yang dialami manusia," maka berdasarkan hal-hal yang telah dijelaskan sebelumnya, pandangan semacam itu nampak salah. Kemudian ada perkara lain, yaitu tashrih (penjelasan) bahwa memunculkan ibadah baru adalah boleh, dengan alasan qiyas pada apa yang dikatakan oleh Umar. Setelah kita terima qiyas atas perkataan Umar dalam makna adat kebiasaan, maka padanya terdapat perbedaan tempat bergantungnya hukum yang telah tetap, sebagaimana disebutkan sebelumnya, seperti denda bagi pekerja, dan hal yang sesuai dalam mengarahkan masalah sumpah bukanlah hanya sangkaan.

la terus berkata, “Al mutaqaddimin generasi pertama sebagian ditunjukan kepada hukum lantaran sifat amanah, pengetahuan agama, dan keutamaannya masih sangat terjamin. Ketika hal itu mengalami perubahan (pada kehidupan manusia), maka sudah semestinya hukum juga berubah. Ini adalah hukum yang bisa menghentikan ahlul batil dari kebatilan mereka. Jadi, pengaruh dari makna ini sangat terlihat dan sesuai, berbeda dengan apa yang ada pada kita, yakni kebalikan dari hal itu."

Apakah engkau tidak melihat bahwa banyak orang yang mengalami kemalasan dalam melakukan perkara yang hukumnya fardhu, apalagi perkara yang hukumnya sunah —padahal perkara sunah itu sedikit dan gampang—. Bila engkau menambahkan perkara-perkara lain sebagai anjuran kepada mereka, dan diharapkan mereka mau melakukannya, maka tak ayal lagi pekerjaan mereka akan semakin bertambah banyak, sehingga rasa malasnya akan semakin bertambah besar melebihi yang pertama, bahkan mereka justru akan meninggalkan semuanya. Apabila hal ini (kemalasan) Apakah engkau tidak melihat bahwa banyak orang yang mengalami kemalasan dalam melakukan perkara yang hukumnya fardhu, apalagi perkara yang hukumnya sunah —padahal perkara sunah itu sedikit dan gampang—. Bila engkau menambahkan perkara-perkara lain sebagai anjuran kepada mereka, dan diharapkan mereka mau melakukannya, maka tak ayal lagi pekerjaan mereka akan semakin bertambah banyak, sehingga rasa malasnya akan semakin bertambah besar melebihi yang pertama, bahkan mereka justru akan meninggalkan semuanya. Apabila hal ini (kemalasan)

Kita tahu bahwa orang yang melaksanakan shalat pada malam nishfu sya 'ban termasuk melaksanakan bid'ah; dan ketika waktu Subuh datang, ia masih dalam keadaan tertidur atau melakukan shalat Subuh dalam keadaan sangat malas. Seperti itulah keadaan seluruh perkara bid'ah, perkara yang diada-adakan ini akhirnya mempengaruhi ibadah yang justru lebih utama, atau paling tidak merusaknya, bahkan mungkin menghilangkannya sama sekali. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa setiap bid'ah yang terjadi akan diiringi dengan kematian Sunnah yang lebih baik.

Kemudian, qiyas (yang dilakukan oleh mustanshir) ini menyelisihi landasan syariat, yaitu permintaan Nabi SAW agar mendapatkan kemudahan dan kelembutan. Sedangkan menambahkan beban (ibadah bid'ah) yang tidak disyariatkan akan muncul dan selalu dikerjakan dengan cara mengorbankan tempat-tempat dilakukannya ibadah sunah. Tidak diragukan lagi, hal itu adalah tasydid (memberatkan). Jika perkataan mustanshir ini kita terima, maka setiap pelaku bid'ah di kalangan orang awam akan mendapatkan jalan untuk membuat bid'ah, dan perkataan mustanshir itu akan dijadikan hujjah serta pegangan yang kuat untuk membenarkan perbuatan mereka dan yang akan diperbuat, siapa pun dia. Tentu saja ini merupakan sikap yang sangat keliru.

Berdalil Bolehnya Membaca Doa setelah Shalat

Kemudian mereka mengemukakan dalil diperbolehkannya doa setelah shalat secara global, dengan menukil perkataan Malik dan yang lain. Ini sebenarnya bukan masalah yang diperdebatkan, namun ia menjadikan dalil- dalil tersebut mencakup cara yang disebutkannya, kemudian berkomentar: Banyak hadits dan atsar, amal manusia, dan pandangan ulama dalam makna ini, sebagaimana dapat disaksikan —Ia kemudian berkata— adalah hal yang dimaklumi bahwa Nabi SAW adalah seorang imam pada shalat-shalat itu, maka beliau tidak mengkhususkan doa untuk diri sendiri, seperti disebutkan dalam Sunnah-Sunnah beliau:

" Tidak halal bagi seorang lelaki untuk menjadi imam bagi suatu kaum kecuali dengan seizin mereka, dan janganlah ia mengkhususkan doanya untuk dirinya sendiri. Jika ia melakukan ha/ itu berarti ia telah mengkhianati mereka."

Perhatikanlah di sini, wahai ulul albab, keumuman nash tentang doa- doa setelah shalat adalah untuk dirinya sendiri, sedangkan pernyataan tadi mengatakan bahwa seorang imam tidak mengkhususkan doa hanya untuk dirinya tanpa menyertakan jamaah. Ini adalah pernyataan yang bertentangan.

Kebanyakan manusia (ulama) membawakan hadits ini pada doa imam dalam shalat itu sendiri, dalam keadaan sujud atau keadaan yang lain, bukan seperti yang dipahami oleh mustanshir yang telah menakwilkannya. Menurut Malik, tidak sah mengamalkan hadits itu. Ia membolehkan imam untuk mengkhususkan doa bagi dirinya sendiri, tanpa menyertakan makmum dalam doanya. Hal ini ia sebutkan di dalam An-Nawadir. Ketika disanggah dengan perkataan ulama dan salaf, sebagaimana yang telah disebutkan, ia mulai menakwilkan dengan cara yang berbelit-belit dan terjatuh dalam pandangan yang kurang teliti. Secara lahir, hal tersebut tidak terlepas dari pendapat yang saling pertentangan, karena permasalahannya sudah jelas, demikian juga dengan hadits-hadits yang ia nukil. Namun saya sengaja tidak menyebutkannya di sini, karena terlalu panjang dan sudah saya sebutkan di tempat lain. Segala puji hanya bagi Allah yang memberikan kemampuan kepada saya untuk melakukan hal itu.

0. Amal yang Belum Jelas Kedudukan Bid'ahnya dapat

Digolongkan sebagai Bid'ah Idhafiyyah Apakah setiap amal yang belum jelas kedudukan bid'ahnya dapat

digolongkan sebagai bid'ah idhafiyyah sehingga dilarang? Atau tidak digolongkan sebagai bid'ah sehingga boleh diamalkan?

Jika kita pandang dari hukum-hukum syar'i, maka kedudukan permasalahan tersebut berada dalam perkara syubhat, yang telah dianjurkan untuk ditinggalkan, sebagai bentuk kehati-hatian dari keterjerumusan dalam perkara yang dilarang. Perkara terlarang yang kita maksudkan adalah mengamalkan bid'ah. Orang yang melakukan amalan yang belum jelas tadi tidak bisa dipastikan bahwa dirinya mengamalkan bid'ah atau Sunnah? Dari sisi ketidakjelasan ini, ia juga tidak dapat dikatakan mengamalkan bid'ah hakikiyyah, namun secara umum ia juga tidak terlepas dari makna bid'ah.

Maksudnya, larangan (untuk melakukan perbuatan yang masuk) dalam perkara yang syubhat bertujuan untuk melindungi diri dari keterjerumusan dalam perkara terlarang, karena di dalamnya terdapat hal-hal yang belum jelas (statusnya). Misalnya seekor hewan yang matinya belum jelas, bangkai atau mati karena disembelih, maka kita dilarang untuk memakannya, sebab bisa jadi (daging) hewan tersebut adalah bangkai. Larangan paling ringan adalah bangkai yang belum jelas hukumnya, sedangkan larangan paling berat (terlarang) adalah bila terbukti bahwa daging itu adalah bangkai!

Demikian juga tentang bercampurnya anak hasil susuan dengan orang yang bukan mahram, larangan yang ada tertuju kepada anak susuan, begitu juga ketika terbukti nasab yang masih diperdebatkan.

Demikianlah, seluruh hal yang belum jelas hukumnya dilarang untuk dikerjakan. Jika suatu perbuatan belum jelas statusnya, sunah atau bid'ah, maka perbuatan tersebut secara umum tidak digolongkan sebagai hal-hal yang bid'ah. Masalah ini termasuk bid'ah idhafiyyah. Contohnya:

1. Terjadi pertentangan antara dalil-dalil yang ada bagi seorang mujtahid, apakah sesuatu amal disyariatkan sehingga boleh mempraktekkannya, atau tidak disyariatkan sehingga tidak boleh mempraktekkannya? Sementara itu ia tidak dapat mengumpulkan antara dua dalil yang bertentangan itu, dan tidak mampu menggugurkan salah satunya dengan cara me-nasakh, tarjih, atau yang lainnya. Jadi, menurut ilmu ushul ia harus mengambil sikap tawaqquf (menunda untuk memutuskan hukum), sebab bila ia memberlakukan dalil yang mensyariatkannya 1. Terjadi pertentangan antara dalil-dalil yang ada bagi seorang mujtahid, apakah sesuatu amal disyariatkan sehingga boleh mempraktekkannya, atau tidak disyariatkan sehingga tidak boleh mempraktekkannya? Sementara itu ia tidak dapat mengumpulkan antara dua dalil yang bertentangan itu, dan tidak mampu menggugurkan salah satunya dengan cara me-nasakh, tarjih, atau yang lainnya. Jadi, menurut ilmu ushul ia harus mengambil sikap tawaqquf (menunda untuk memutuskan hukum), sebab bila ia memberlakukan dalil yang mensyariatkannya

2. Apabila terjadi pertentangan pendapat dalam pandangan seorang yang bertaqlid dalam sebuah permasalahan, maka sebagian ulama menyatakannya sebagai bid'ah, sedangkan sebagian lainnya mengatakan tidak. Kedua pendapat itu masih belum jelas; siapakah yang lebih kuat, baik dilihat dari kapasitas keilmuan maupun yang lainnya. Hendaknya ia tawaqquf dan bertanya tentang keduanya, sehingga bila telah jelas baginya bahwa salah satunya lebih kuat, ia akan mengikutinya dan meninggalkan yang lain. Jika ia memutuskan untuk mengikuti salah satunya tanpa dasar yang kuat, maka kedudukannya seperti seorang mujtahid yang memutuskan untuk mengamalkan salah satu dalil tanpa ada sesuatu yang menjadikannya lebih rajih. Jadi kedua contoh ini sama.

3. Telah disebutkan dalam riwayat-riwayat yang shahih dari kalangan sahabat RA bahwa dulu mereka ber-tabarruk dengan berbagai hal yang berasal dari Rasulullah SAW. Dalam Shahih Al Bukhari misalnya, disebutkan —dari Abu Jahifah RA— bahwa ia berkata, "Rasulullah SAW pernah keluar menemui kami pada saat matahari terik, kemudian dibawakan air wudhu untuknya, maka Nabi SAW berwudhu dan para sahabat mengambil bekas wudhunya untuk diusap-usapkan."

Dalam riwayat hadits itu disebutkan bahwa mereka memperebutkan

(bekas) air wudhunya.

Diriwayatkan dari Miswar RA —dalam kisah Hudaibiyyah—, "Tidaklah Nabi SAW berdahak, melainkan akan terjatuh pada salah satu telapak tangan sahabat, lalu dahak itu akan diusapkan pada wajah dan kulitnya."

Banyak riwayat lainnya yang menjelaskan bentuk tabarruk seperti

ini, dengan rambutnya, pakaiannya, dan sebagainya. Hingga jika Rasulullah

RA menyentuh rambut salah seorang dari mereka dengan tanganya, maka sahabat itu membiarkan rambut yang disentuh Rasulullah (tidak mencukurnya) hingga meninggal dunia.

Bahkan sebagian dari mereka ada yang meminum darah bekamnya. Secara lahir, hal seperti ini juga disyariatkan bagi para wali dan pengikut Sunnah Rasulullah, ber-tabarruk dengan air wudhunya, mengusapkan dahaknya, dan menggunakannya sebagai obat; hal itu umum, yaitu dari seluruh bekas diri bcliau.

Hanya saja, perlu ditegaskan bahwa hal-hal yang disebutkan tadi bertentangan dengan atsar yang matan-nya pasti, namun ada problem dalam memposisikannya, yaitu bahwa sepeninggal Nabi SAW, para sahabat RA tidak pernah melakukan tabarruk serupa terhadap para pengganti beliau. Padahal Nabi SAW digantikan oleh orang terbaik dari umat ini, yaitu Abu Bakar RA, kemudian Umar RA, Utsman RA, Ali RA, dan sahabat-sahabat yang lain. Tidak ada riwayat yang shafiih dan ma’ruf bahwa tidak ada seorang pun yang ber-tabarruk kepada salah seorang dari mereka dan hanya ber-iqtida (mengambil suriteadan) pada perkataan, perbuatan, atau tingkah laku yang sesuai dengan tuntunan Nabi SAW. Ini artinya telah terjadi ijma' dikalangan sahabat Nabi SAW bahwa ber-tabarruk itu harus ditinggalkan, karena:

1. Meyakini adanya kekhususan pada diri Nabi SAW dan kedudukan beliau sebagai seorang nabi mencakup semua hal, untuk menguatkan keyakinan keberadaan berkah dan kebaikan yang mereka incar. Sebab Nabi SAW adalah cahaya, baik secara lahir maupun batin, maka orang yang mengincar cahaya itu dengan bentuk apa pun, akan mendapatkannya. Berbeda dengan kondisi umatnya, walaupun memiliki cahaya karena melakukan iqtida dan mengikuti petunjuknya, namun tidak akan mencapai kedudukannya. Mungkin sejalan, tetapi tidak sampai mendekatinya. Jadi, hal ini merupakan kekhususan Nabi SAW, seperti menikah lebih dari empat orang, halal menerima wanita yang menghibahkan diri kepadanya, dan tidak wajib baginya membagi di 1. Meyakini adanya kekhususan pada diri Nabi SAW dan kedudukan beliau sebagai seorang nabi mencakup semua hal, untuk menguatkan keyakinan keberadaan berkah dan kebaikan yang mereka incar. Sebab Nabi SAW adalah cahaya, baik secara lahir maupun batin, maka orang yang mengincar cahaya itu dengan bentuk apa pun, akan mendapatkannya. Berbeda dengan kondisi umatnya, walaupun memiliki cahaya karena melakukan iqtida dan mengikuti petunjuknya, namun tidak akan mencapai kedudukannya. Mungkin sejalan, tetapi tidak sampai mendekatinya. Jadi, hal ini merupakan kekhususan Nabi SAW, seperti menikah lebih dari empat orang, halal menerima wanita yang menghibahkan diri kepadanya, dan tidak wajib baginya membagi di

Berdasarkan pengertian tersebut, maka tidak sah bagi umat sepeninggal beliau untuk ber-tabarruk kepada salah seorang sahabat atau yang lain, karena orang yang menyamakan seseorang dengan nabi berarti telah berbuat bid'ah, sebagaimana menikah lebih dari empat dengan alasan iqtida'.

2. Tidak meyakini adanya pengkhususan hukum itu, dengan alasan saddudz-dzarai', sebab dikhawatirkan akan dijadikan sebagai Sunnah, sebagaimana disebutkan dalam masaiah ittiba' terhadap atsar dan pelarangannya. Atau karena orang awam tidak akan berhenti dalam batas tertentu dalam masalah ini, sebab mereka cenderung melampaui batas dan berlebihan dalam ber-tabarruk karena kejahilan mereka, yang pada akhirnya akan mengagungkan orang yang diincar untuk diambil tabarruk-nya di luar batas yang dibolehkan.

Bisa jadi seseorang meyakini bahwa pada diri seseorang ada sesuatu yang bisa diambil berkahnya, padahal sebenarnya tidak ada. Sesungguhnya tabarruk adalah pokok ibadah, oleh karena itu Umar RA menebang pohon yang menjadi tempat pembaiatan (oleh Rasulullah), sebab tabarruk semacam inilah yang menjadi dasar disembahnya berhala-berhala, seperti yang terjadi pada umat-umat terdahulu, sebagaimana diungkapkan oleh para ahli sejarah. Jadi, Umar RA khawatir kondisinya akan berubah menjadi shalat kepada pohon itu, sehingga menjadi sesembahan selain Allah, demikian juga ketika mereka terlalu tengglam dalam mengagungkannya.

Al Farghani — komentator Tarikh Ath-Thabari— menceritakan tentang Al Hallaj, bahwa pengikut-pengikutnya sangat berlebihan dalam ber-tabarruk kepadanya, hingga ada yang mengusapkan air kencingnya ke bagian tubuhnya dan memakai kotorannya untuk bau-bauan. Hingga mereka sampai pada taraf meyakini uluhiyyah pada dirinya. Maha Suci dan Maha Tinggi Allah dari hal tersebut.

Masalah perwalian, walaupun ada atsarnya secara zhahir, namun terkadang masih samar kebenarannya, sebab hakikatnya kembali pada perkara Masalah perwalian, walaupun ada atsarnya secara zhahir, namun terkadang masih samar kebenarannya, sebab hakikatnya kembali pada perkara

Sepintas kita bisa berkesimpulan bahwa alasan yang kedua lebih kuat, sebagaimana yang menjadi ketetapan dalam ilmu ushul, bahwa setiap amalan atau aktivitas untuk mendekatkan diri kepada Allah yang diberikan kepada Nabi SAW dengan sendirinya akan menjadi contoh bagi umatnya, selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya. Namun alasan yang pertama lebih kuat jika dipandang dari sisi yang lain, yaitu penutupan mereka dengan meninggalkannya, sebab kalau mereka meyakini akan disyariatkannya amalan tersebut, tentu sebagian mereka akan ada yang mengamalkannya walaupun dalam sebagian kondisi, dengan alasan hal itu pada asalnya disyariatkan atau didasarkan pada keyakinan tidak adanya illah (alasan) yang mengharuskan munculnya pelarangannya sehingga tidak bisa dilakukan.

Ibnu Wahb meriwayatkan —dalam Jami'-nya— dari Yunus bin Yazid, dari Ibnu Sihab, ia berkata, "Ada seorang Anshar yang bercerita kepadaku bahwa Rasulullah apabila berwudhu atau berdahak, maka para sahabat yang berada di sekitarnya segera mengambil (bekas) air wudhu atau dahaknya, mereka meminumnya dan mengusapkannya pada kulit mereka. Tatkala beliau melihat hal itu, beliau bertanya, "Kenapa kalian melakukan hal itu?" Mereka menjawab, "Kami mengincar kesucian dan keberkahan dengan hal itu." Rasulullah lalu bersabda, "Barangsiapa di antara kalian mencintai Allah dan Rasul-Nya maka hendaklah ia berkata benar, menunaikan amanat, dan jangan menyakiti tetangganya."

Jika riwayat ini shahih, berarti menunjukkan kepada kita bahwa yang lebih utama adalah meninggalkannya kemudian mencari suatu amalan yang lebih kuat dan lebih pantas di antara tugas-tugas taklif serta tidak mengkhususkannya pada diri seseorang, sebab semua itu tidak ada yang kukuh keberadaannya. Kecuali dalam hal ruqyah dan hal lain yang mengikutinya, atau doa seseorang untuk orang lain, sebagaimana akan dijelaskan nanti, insyaallah.

Jadi, permasalahan ini berputar pada dua perkara, yaitu masyru',

tetapi masuk dalam perkara yang syubhat dan tidak masyru'. Wallahu a 'lam.