Uzlah (Mengisolasi Diri) Mengerjakan perbuatan yang tidak ada tuntunannya (syariat), tidak

I. Uzlah (Mengisolasi Diri) Mengerjakan perbuatan yang tidak ada tuntunannya (syariat), tidak

ada dalil-dalilnya, atau perbuatan yang sudah dihapuskan [di-nasakh) dan ia ada dalil-dalilnya, atau perbuatan yang sudah dihapuskan [di-nasakh) dan ia

"Akan tetapi aku puasa dan berbuka, shalat dan tidur serta menikahi wanita. Jadi, barangsiapa enggan dengan Sunnahku, maka ia bukan golonganku."

Jika demikian maka itulah makna bid'ah. Jika dikatakan, "Yang telah lalu dinukil dari Ibnu Arabi; tentang

rahbaniyyah, bahwa ia adalah siyahah (berjalan di muka bumi untuk ibadah) dan menggunakan biara-biara untuk mengisolasi diri —ia berkata— hal itu dianjurkan dalam agama kita ketika terjadi kerusakan zaman.

Imam Ghazali telah berbicara panjang lebar tentang pasal ini dalam kitab Ihya' ketika menyebutkan tentang uzlah (mengisolasi diri). Ia menyebutkannya dalam pembahasan tentang adab-adab nikah. Kesimpulannya, hal tersebut disyariatkan, bahkan merupakan perbuatan yang paling utama ketika maksudnya tersampaikan, saat nikah dan berdinamika dengan manusia menjadi sesuatu yang menyulitkan bagi manusia dan menyebabkan pencarian nafkah yang haram serta perbuatan yang tidak dibolehkan, sebagaimana sabda Rasulullah SAW,

" Hampir-hampir sebaik-baik harta orang Islam adalah kambing yang diikuti hingga puncak gunung dan tempat-tempat turunnya hujan, ia berlari membawa agamanya dari fitnah." (Hadits shahih)

Banyak hadits yang senada dengan makna ini. Juga firman Allah SWT kepada Nabi-Nya," Sebutlah nama Tuhanmu, dan beribadahlah kepada-Nya dengan penuh ketekunan." (Qs. Al Muzammil [73]: 8)

Kata tabattul— menurut pendapat Zaid bin Aslam— artinya adalah menolak dunia. Kata itu diambil dari perkataan mereka, "Aku memutuskan tali jika aku memotongnya." Maksudnya adalah memutus hubungan dari segala sesuatu, kecuali dari-Nya.

Hasan dan yang lain berkata, "Putuskan dirimu (dari dunia) dan berijtihadlah menuju-Nya." Ibnu Zaid berkata, "Pusatkanlah hanya beribadah kepada-Nya." Juga kisah-kisah tentang salafush-shalih yang memutuskan diri dari dunia demi ibadah kepada Allah dan menolak sebab-sebab dunia. Mereka mengisolsi diri dari semua orang dan menyendiri di gunung-gunung atau lembah-lembah, hingga sebagian gunung di Syam telah Allah khususkan sebagai tempat para wali dan orang-orang yang mengisolasi diri, hingga Lebanon dan yang lain. Jadi, apa alasanmu tentang hal tersebut?

Jawabam: Rahbaniyyah, jika dengan makna yang telah ditetapkan pada syariat-

syariat pertama, maka kami tidak menerima bahwa ia juga ditetapkan di syariat kita, karena dalil-dalil yang telah disebutkan menunjukkan pe-nasakh- annya, baik karena sebab tertentu maupun tanpa sebab tertentu, karena tidak ada rahbaniyyah dalam Islam, dan Nabi SAW telah menolak tabattul (kehidupan meninggalkan dunia), berdasar pada dalil-dalil yang lalu.

Hal itu bermakna ibadah sepenuhnya kepada Allah, sebagaimana telah disyariatkan (pada umat sebelumnya) dan sebatas ibadah Rasulullah SAW kepada Allah dan beliaulah yang dituju oleh firman-Nya, "Dan beribadahlah kepada-Nya dengan penuh ketekunan." (Qs. Al Muzammil [73]: 8). Jadi, inilah yang sedang kami tetapkan dan perbuatan tersebut adalah Sunnah yang diikuti, petunjuk yang benar, serta jalan yang lurus.

Dalam perkataan Zaid bin Aslam dan perkataan lainnya tentang makna tabattul, tidak ada yang bertentangan dengan makna ini, karena menolak dunia bukan bermakna menolak mengambilnya secara umum dan tidak mau Dalam perkataan Zaid bin Aslam dan perkataan lainnya tentang makna tabattul, tidak ada yang bertentangan dengan makna ini, karena menolak dunia bukan bermakna menolak mengambilnya secara umum dan tidak mau

Jadikanlah perjalanan hidup salafush-shalih sebagai cermin bagimu, karena kamu bisa melihat makna tabattul dalam bentuk mengikuti jejak Rasulullah SAW. Mereka (sahabat dan yang lain) mencari harta dalam hal-hal yang dibolehkan bagi mereka dan menginfakkannya sebagaimana mereka dianjurkan, tapi tidak sedikit pun hati mereka terkait dengannya apabila nyata bagi mereka perintah atau larangan. Mereka mengedepankan perintah dan larangan Allah daripada bagian diri mereka yang batil dalam bentuk yang tidak menghilangkan bagian diri mereka di dalamnya, yaitu bersikap menengah, seperti yang disebutkan sebelumnya.

Kemudian syariat menganjurkan mereka untuk beristri dan mempunyai anak, maka mereka segera melaksanakannya, dan tidak berkata, "Anjuran itu menyibukkan kami dari perintah Allah kepada kami." Sebab, perkataan ini mengisyaratkan makna lalai dari makna pembebanan yang ada. Karena dasar syariat adalah bahwa setiap yang dituntut adalah termasuk kategori ibadah kepada Allah SWT dan pendekatan diri kepada-Nya. Ibadah-ibadah mahdhah (ibadah murni) jelas termasuk kategori itu. Jika adat kebiasaan dimaksudkan untuk mengerjakan perintah Allah, maka itu termasuk ibadah. Tetapi bila hanya diniatkan untuk mencari keuntungan duniawi, maka itu tidak termasuk ibadah, dan tidak diganjar pahala, walaupun terjadinya dibolehkan oleh syariat.

Sahabat RA telah memahami makna ini, dan dengan pemahaman mereka ini, tidak mungkin perintah-perintah dibantah oleh mereka atau oleh orang yang memahami seperti pemahaman mereka. Jadi, tabattul dalam bentuk ini benar dan sesuai dengan Sunnah. Perkataan Hasan dan yang lainnya dalam menafsirkan ayat juga benar, jika mengambil bentuk seperti ini, yaitu ikutilah petunjuk dan ikutilah perintah Tuhanmu karena Dia Maha Mengetahui hal yang baik untukmu dan Yang Mengatur urusanmu. Oleh karena itu, Allah berfirman setelahnya, " (Dialah) Tuhan masyrik dan maghrib, tiada tuhan melainkan Dia, maka ambillah Dia sebagai pelindung" (Qs. Al

Muzammil [73): 9) Artinya adalah pelindung untukmu; Dia pelindung bagimu dari apa yang bukan hasil usahamu dan Dia pelindung di bawah usahamu, dari apa yang merupakan pembebanan padamu, dan di antara yang diserahkan kepadamu agar dirimu tidak melakukan perbuatan yang menyebabkan diri susah, baik sekarang maupun yang akan datang.

Tabattul ditafsirkan bahwa ia bermakna ikhlas, dan ini pendapat Mujahid serta Adh-Dhahhak. Qatadah berkata, "Aku ikhlaskan ibadah dan dakwah kepada-Nya, maka berdasarkan tafsir ini, tidak ada kaitan di dalamnya dengan tujuan untuk mempertanyakan."

Jika hal ini telah ditetapkan, maka assiyahah, mendirikan biara-biara, serta bertempat tinggal di gunung-gunung dan gua-gua, tidak menjadi masalah, selama tidak mengharamkan hal-hal yang dihalalkan Allah dari perkara-perkara yang diharamkan oleh para rahib, serta tidak menekan diri dengan sesuatu yang menyusahkan diri mereka. Akan tetapi yang demikian tidak dinamakan rahbaniyyah kecuali semacam majaz (simbolik) atau pemindahan adat yang tidak digunakan bahasa menurut kebiasaannya, sehingga tidak masuk ke dalam substansi firman-Nya, "Dan meneka mengada- adakan rahbaniyyah." (Qs. Al Hadiid [57]: 27) Tidak pada namanya dan juga tidak pada maknanya.

Jika dengan pelaziman yang ada adalah seperti yang dilazimkan oleh para rahib, maka kami tidak menerima bahwa di dalam syariat ini terdapat anjuran atau perbuatan untuk hal itu. Bahkan hal itu masuk dalam kategori perkara yang tidak diperbolehkan, sebab secara jelas tidak selaras dengan sabdanya,

"Barangsiapa enggan dengan Sunnahku, maka ia tidak termasuk golonganku?

Sedangkan yang disebutkan oleh Imam Ghazali dan yang lain, bahwa ia lebih mengutamakan hidup menyendiri daripada bersosialisasi dengan orang banyak, dan mengedepankan pengasingan diri daripada membentuk keluarga

(padahal ia mampu dan memiliki sebab-sebab terbentuknya keluarga), maka itu diambil dari kaidah lain bukan dari kaidah-kaidah yang ada di sini.

Tuntutan-tuntutan syariat pasti akan menjadikan para mukallaf mampu mengerjakannya dan ketika mengerjakannya ia selamat dari keterjerumusan pada hal yang dilarang atau tidak. Jadi, bila ia mampu menjalani kebiasaan yang bertentangan dengan hal-hal makruh atau yang haram, maka tidak ada masalah ketika tuntutan tersebut dilakukan sesuai dengan kemampuannya, yaitu sebatas yang dilakukan oleh salafush-shalih sebelum terjadinya fitnah. Jika ia tidak mampu mengerjakan hal tersebut kecuali dengan menjerumuskannya dalam perbuatan makruh atau haram, maka dalam masalah tetapnya tuntutan terdapat perincian, sesuai dengan wujud perkataan Abu Hamid Al Ghazali. Ketika tuntutan itu menjadi perbuatan yang dianjurkan, tetapi ia tidak mengerjakannya kecuali dengan menjerumuskannya ke dalam perbuatan yang dilarang, maka yang sunah itu jatuh tanpa ada masalah, seperti anjuran sedekah kepada orang yang membutuhkan, namun di tangannya hanya ada uang milik orang lain, sehingga ia tidak jadi bersedekah, sebab jika ia lakukan maka akan jatuh pada perbuatan menggunakan harta orang lain tanpa seizinnya, dan hal tersebut tidak diperbolehkan. Dengan demikian, orang tersebut seperti orang yang tidak memiliki apa pun untuk disedekahkan, atau seperti orang yang datang kepada orang sakit yang mendekati mati, atau seperti orang yang menguburkan orang mati namun takut akan ada perubahan jika ditinggalkannya, maka kemudian ia bangun untuk melaksanakan shalat sunah, atau seperti orang yang menikah namun tidak mendapatkan harta kecuali yang haram, serta contoh-contoh lainnya yang serupa dengan itu.

Tuntutan tersebut terkadang wajib, namun akan membuat seseorang melakukan perbuatan yang makruh, padahal yang seperti itu tidak dianggap, karena melaksanakan yang wajib lebih utama daripada melaksanakan yang makruh. Terkadang pula menjerumuskannya pada perbuatan yang dilarang, dan inilah yang sebenarnya berbenturan. Namun kewajiban-kewajiban itu tidak berjalan dalam satu timbangan sebagaimana hal-hal yang diharamkan. Jadi, hal tersebut harus ditimbang-timbang. Apabila timbangan itu Tuntutan tersebut terkadang wajib, namun akan membuat seseorang melakukan perbuatan yang makruh, padahal yang seperti itu tidak dianggap, karena melaksanakan yang wajib lebih utama daripada melaksanakan yang makruh. Terkadang pula menjerumuskannya pada perbuatan yang dilarang, dan inilah yang sebenarnya berbenturan. Namun kewajiban-kewajiban itu tidak berjalan dalam satu timbangan sebagaimana hal-hal yang diharamkan. Jadi, hal tersebut harus ditimbang-timbang. Apabila timbangan itu

—Menurut sekelompok ulama— yang paling utama adalah memperhatikan sisi yang diharamkan, karena membuang kerusakan lebih didahulukan daripada mengambil kebaikan. Jadi, apabila uzlah (mengisolasi diri) menyebabkan keselamatan, maka itu lebih utama pada masa-masa fitnah, dan fitnah itu tidak hanya berkaitan dengan peperangan, namun juga fitnah yang berkaitan dengan kehormatan, harta, dan hal-hal lainnya yang berhubungan dengan dunia. Patokannya adalah sesuatu yang mencegah manusia melakukan ketaatan kepada Allah, dan hal semacam ini terjadi antara yang sunah dengan yang makruh dan antara dua hal yang makruh.

Jika pengasingan diri itu justru menyebabkan seseorang meninggalkan perkumpulan dan masyarakat serta meninggalkan perbuatan tolong-menolong dalam ketaatan, dan yang serupa dengan itu, maka hal itu juga keselamatan jika dilihat dari sisi lain, dan yang demikian itu juga harus dipertimbangkan antara hal-hal yang diperintahkan dengan hal-hal yang dilarang. Begitu pula masalah nikah, apabila menyebabkan perbuatan maksiat dan dalam meninggalkannya tidak terdapat maksiat, maka meninggalkan nikah akan lebih utama.

Di antara contoh hal tersebut —namun ini bermasalah— adalah yang disebutkan oleh Walid bin Muslim dengan sanad-nya kepada Habib bin Maslamah, bahwa ia berkata kepada Ma'in bin Tsaur, "Apakah kamu tahu alasan orang-orang Nasrani menjadikan biara?" Ma'in berkata, "Apa (alasan)?" Ia berkata, "Karena para raja membuat perkara-perkara bid'ah, menghilangkan perintah para nabi, dan memakan babi. Mereka mengisolasi diri di biara dan meninggalkan perkara-perkara yang telah mereka buat-buat, lalu mereka berkhalwat untuk beribadah."

Habib berkata kepada Ma'in, "Apakah kamu juga mempunyai sikap Habib berkata kepada Ma'in, "Apakah kamu juga mempunyai sikap

Kisah itu menunjukkan bahwa perbuatan orang-orang Nasrani disyariatkan pula dalam agama kita. Maksudnya adalah, mengasingkan did dari manusia ketika bid'ah menyebar dan hawa nafsu merebak adalah sebatas yang disyariatkan dalam agama kita, bukan seperti yang diperbuat orang- orang Nasrani dalam menjalani rahbaniyyahnya, itu dibolehkan bagi kita, karena telah ditetapkan pe-nasakh-annya. Atas dasar inilah berlaku perkataan Imam Abu Hamid dan lainnya dari orang-orang yang menukil dan berhujjah dengan perbuatan mereka. Dalil atas hal tersebut adalah, sekelompok orang yang melakukan uzlah juga telah menikah, dan hal itu tidak mencegah mereka untuk tetap mengerjakan apa yang telah mereka kerjakan, karena mereka benar-benar memperhatikan pertimbangan antara apa-apa yang akan terjadi pada mereka dengan sebab menikah. Berdasarkan pemyataan ini, maka tidak masalah terhadap perkataan Imam Ghazali dan yang lain dari orang- orang yang meniti jalan ini, karena mereka membangun perilakunya di atas pondasi yang qath /dalam syariat; yang muhkam tidak di-nasakh oleh sesuatu pun dan tidak ada celah kritik dari masalah kita ini. Namun dalam masalah ini ada tahqiq tambahan yang tidak layak di paparkan di sini, yang diambil dari kitab Al Muwafaqat Bagi yang membacanya pasti mendapatkan makna hal ini dengan sempurna.

Kesimpulannya, melakukan kehidupan rahbaniyyah yang telah ditiadakan dalam ayat merupakan perbuatan bid'ah hakikiyyah, karena Nabi SAW menolaknya secara dasar dan cabang.