Mengada-adakan Rahbaniyyah Allah SWT berfirman tentang Isa AS dan orang-orang yang

A. Mengada-adakan Rahbaniyyah Allah SWT berfirman tentang Isa AS dan orang-orang yang

mengikutinya, "...dan Kami jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya, "...dan Kami jadikan dalam hati orang-orang yang

Abdullah bin Hamid dan Ismail bin Ishak Al Qadhi serta yang lain meriwayatkan hadits ini dan Abdullah bin Mas'ud RA, ia berkata: Rasulullah SAW bertanya kepadaku,

"Apakah kamu tahu golongan manusia yang paling pandai?" Aku menjawab, "Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui." Beliau bersabda, "Manusia yang paling pandai adalah manusia yang paling tajam pandangannya terhadap kebenaran ketika manusia berselisih pendapat, walaupun ia (termasuk manusia) yang kurang amalnya, dan berjalan dengan kedua pantatnya (ngesot). Orang-orang sebelum kita terbagi-bagi menjadi tujuh puluh dua kelompok, hanya tiga kelompok yang selamat, sedangkan sisanya binasa. (Tiga kelompok itu) yaitu "Apakah kamu tahu golongan manusia yang paling pandai?" Aku menjawab, "Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui." Beliau bersabda, "Manusia yang paling pandai adalah manusia yang paling tajam pandangannya terhadap kebenaran ketika manusia berselisih pendapat, walaupun ia (termasuk manusia) yang kurang amalnya, dan berjalan dengan kedua pantatnya (ngesot). Orang-orang sebelum kita terbagi-bagi menjadi tujuh puluh dua kelompok, hanya tiga kelompok yang selamat, sedangkan sisanya binasa. (Tiga kelompok itu) yaitu

27) Orang-orang yang beriman adalah orang-orang yang percaya dan tulus kepadaku, sedangkan orang-orang yang fasik adalah orang- orang yang mendustakan dan ingkar kepada-Ku."

Ini adalah salah satu hadits orang Kufah. Rahbaniyyah di dalam ayat ini bemnakna mengasingkan diri dari makhluk dan mengeyampingkan dunia serta kelezatannya, baik wanita maupun hal lainnya. Di antara makna itu juga adalah melazimkan tempat ibadah (gereja) dan diri —sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Nasrani sebelum Islam— disertai dengan melazimkan ibadah. Ini adalah penafsiran sekelompok ulama tafsir.

Istitsna 'di dalam firman Allah ini, "untuk mencari keridhaan Allah" memungkinkan sebagai istitsna'muttashil(bersambung), namun bisa juga berarti munfashil {terpisah). Jika kita anggap sebagai pengecualian yang bersambung, maka seakan-akan Allah berfirman, "Kami tidak memajibkannya kepada mereka kecuali dalam bentuk yang dikerjakannya itu untuk mencari keridhaan Allah." Artinya, rahbaniyyah menjadi bagian yang diwajibkan atas mereka —atau disyariatkan kepada mereka— selama tujuannya semata-mata hanya mencari keridhaan Allah, akan tetapi mereka tidak memeliharanya dengan semestinya. Dalil bahwa mereka tidak memeliharanya adalah ketika mereka tidak beriman kepada Rasulullah SAW. Ini adalah pendapat sekelompok mufassirin (orang-orang yang ahli dalam bidang tafsir), karena jika tujuan semua itu adalah mencari keridhaan dan merupakan syarat dalam beramal seperti yang disyariatkan kepada mereka, maka selayaknya mereka Istitsna 'di dalam firman Allah ini, "untuk mencari keridhaan Allah" memungkinkan sebagai istitsna'muttashil(bersambung), namun bisa juga berarti munfashil {terpisah). Jika kita anggap sebagai pengecualian yang bersambung, maka seakan-akan Allah berfirman, "Kami tidak memajibkannya kepada mereka kecuali dalam bentuk yang dikerjakannya itu untuk mencari keridhaan Allah." Artinya, rahbaniyyah menjadi bagian yang diwajibkan atas mereka —atau disyariatkan kepada mereka— selama tujuannya semata-mata hanya mencari keridhaan Allah, akan tetapi mereka tidak memeliharanya dengan semestinya. Dalil bahwa mereka tidak memeliharanya adalah ketika mereka tidak beriman kepada Rasulullah SAW. Ini adalah pendapat sekelompok mufassirin (orang-orang yang ahli dalam bidang tafsir), karena jika tujuan semua itu adalah mencari keridhaan dan merupakan syarat dalam beramal seperti yang disyariatkan kepada mereka, maka selayaknya mereka

Dengan demikian, jika mereka tidak mengerjakan hal tersebut dan tetap bersikeras mengerjakan syariat yang pertama (yang telah dinasakh), maka sama saja mengikuti hawa nafsu, bukan mengikuti perkara-perkara yang disyariatkan, sebab mengikuti yang disyariatkan menjadi cara untuk mendapatkan keridhaan, sedangkan tujuan mencari keridhaan adalah dengan mengikuti perkara-perkara yang disyariatkan.

Allah SWT berfirman, "Maka Kami berikan kepada orang-orang yang beriman di antara mereka pahalanya dan banyak di antara mereka orang-orang fasik." (Qs. Al Hadiid [57]: 27)

Orang-orang yang beriman adalah orang-orang yang mengikuti rahbaniyyah semata-mata untuk mencari keridhaan Allah. Sedangkan orang-orang fasik adalah orang-orang yang keluar dari kategori melakukan rahbaniyyah (bila ia tidak beriman kepada Rasulullah SAW).

Ketetapan ini memberi hukum bahwa apa yang disyariatkan kepada mereka disebut sebagai perbuatan bid'ah, dan ini bertentangan dengan yang ditunjukkan oleh batasan bid'ah.

Jawabannya adalah: Ia dinamakan bid'ah karena mereka menghilangkan syarat hukum syariat; telah disyaratkan kepada mereka namun mereka tidak melaksanakan syarat tersebut. Jadi apabila ibadah disyaratkan dengan suatu syarat, kemudian dikerjakan tanpa syaratnya, maka ibadah itu dinamakan bid'ah, walaupun dilakukan dengan semestinya, seperti orang yang melakukan shalat tetapi sengaja meluputkan salah satu syarat dari syarat- syarat sahnya shalat, misalnya menghadap kiblat dan bersuci, padahal ia mengetahuinya.

Dengan demikian, perbuatan rahbaniyyah orang-orang Nasrani adalah perbuatan yang benar sebelum diutusnya Nabi Muhammad SAW. Ketika Dengan demikian, perbuatan rahbaniyyah orang-orang Nasrani adalah perbuatan yang benar sebelum diutusnya Nabi Muhammad SAW. Ketika

Namun jika kita anggap istitsna '(pengecualian) itu sebagai pengecualian yang terputus —ini adalah pendapat sekelompok ulama tafsir— maka maknanya adalah: pada dasarnya, Kami tidak mewajibkannya kepada mereka. Mereka mengada-adakannya karena mencari keridhaan Allah, namun mereka tidak mengerjakan sesuai syaratnya, yaitu beriman kepada Rasulullah SAW, karena beliau diutus kepada seluruh manusia.

Hal tersebut dinamakan bid'ah karena dilihat dari dua sisi: Pertama, kembali pada anggapan bahwa ia adalah bid'ah hakikiyyah,

karena masuk dalam kategori batasan bid'ah. Kedua, kembali pada anggapan bahwa ia adalah bid'ah idhafiyyah,

karena zhahir Al Qur'an menunjukkan bahwa perbuatan itu tidak tercela sama sekali, tetapi mereka meluputkan syaratnya. Jadi, barangsiapa di antara mereka tidak meluputkan syaratnya dan mengerjakannya sebelum diutusnya Muhammad SAW sebagai nabi, maka mereka akan mendapat ganjaran dari Allah SWT, sesuai dengan yang ditunjukkan-Nya di dalam firman-Nya, "Maka Kami berikan kepada orang-orang yang beriman di antara mereka pahalanya." (Q. Al Hadiid [57]: 27) Artinya, orang yang mengerjakannya pada waktunya kemudian beriman kepada Nabi Muhammad SAW setelah diutus, maka Allah penuhi ganjarannya.

Kami katakan bahwa perbuatan tersebut dari sisi yang demikian ini dinamakan bid'ah idhafiyyah, karena jika hal itu digolongkan pada bid'ah hakikiyyah, maka mereka telah bertentangan dengan syariat yang dulu mereka kerjakan. Karena ini adalah hakikat bid'ah, maka mereka tidak mendapatkan ganjaran, justru mendapatkan hukuman karena menentang perintah dan larangan Allah. Hal itu menunjukkan bahwa mereka telah mengerjakan hal yang dibolehkan bagi mereka untuk dikerjakan, sehingga bid'ah itu tidak dinamakan sebagai bid'ah hakikiyyah. Akan tetapi nanti akan ditinjau dari Kami katakan bahwa perbuatan tersebut dari sisi yang demikian ini dinamakan bid'ah idhafiyyah, karena jika hal itu digolongkan pada bid'ah hakikiyyah, maka mereka telah bertentangan dengan syariat yang dulu mereka kerjakan. Karena ini adalah hakikat bid'ah, maka mereka tidak mendapatkan ganjaran, justru mendapatkan hukuman karena menentang perintah dan larangan Allah. Hal itu menunjukkan bahwa mereka telah mengerjakan hal yang dibolehkan bagi mereka untuk dikerjakan, sehingga bid'ah itu tidak dinamakan sebagai bid'ah hakikiyyah. Akan tetapi nanti akan ditinjau dari

perkataan ini tidak terkait hukumnya dengan umat ini karena telah dinasakh di dalam syariat kita. Jadi, tidak ada rahbaniyyah dalam Islam.

Nabi SAW bersabda,

"Barangsiapa membenci Sunnahku, maka ia bukan golonganku." Ibnu Arabi menukil empat pendapat tentang ayat ini:

Pertama, sebagaimana yang telah lalu. Kedua, rahbaniyyah adalah menolak perempuan (tidak menikahinya)

dan itu telah dinasakh di dalam syariat kita. Ketiga, menjadikan gereja sebagai tempat mengisolasi diri. Keempat, pergi meninggalkan tempat tinggal. Ia berkata, "Ini adalah perbuatan yang dianjurkan di dalam agama kita

ketika terjadi kerusakan zaman." Zhahir perkataan ini memberi hukum bahwa hal tersebut bid'ah, karena

orang-orang yang mengada-adakan rahbaniyyah sebelum Islam melakukan hal tersebut untuk lari mempertahankan agama mereka, dan itu dinamakan bid'ah. Anjuran kepada perbuatan itu memberi hukum bahwa tidak ada bid'ah di dalamnya. Bagaimana kedua statemen tersebut disatukan? Masalah ini butuh penjelasan, yang mungkin nanti akan diuraikan.

Ada yang berpendapat bahwa makna firman-Nya, "Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah" adalah mereka telah meninggalkan kebenaran, memakan daging babi, minum khamer, tidak mandi junub, dan meninggalkan khitan. "Lalu mereka tidak memeliharanya" artinya ketaatan dan ajaran agama. "Dengan pemeliharaan yang semestinya", dhamir ha kembali pada sesuatu yang tidak disebut, yaitu ajaran agama yang diambil dari pemahaman makna firman-Nya, "Dan Kami jadikan dalam hati orang- Ada yang berpendapat bahwa makna firman-Nya, "Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah" adalah mereka telah meninggalkan kebenaran, memakan daging babi, minum khamer, tidak mandi junub, dan meninggalkan khitan. "Lalu mereka tidak memeliharanya" artinya ketaatan dan ajaran agama. "Dengan pemeliharaan yang semestinya", dhamir ha kembali pada sesuatu yang tidak disebut, yaitu ajaran agama yang diambil dari pemahaman makna firman-Nya, "Dan Kami jadikan dalam hati orang-

Apa pun anggapannya, sisi inilah yang merupakan pendapat kebanyakan ulama, namun tidak ada pandangan tentang hal tersebut bagi umat ini.

Sa'id bin Manshur dan Ismail Al Qadhi meriwayatkan dari Abu Umamah Al Bahili RA, ia berkata, "Kamu mengadakan qiyamullail pada bulan Ramadhan sedangkan hal itu tidak diwajibkan atas kamu. Yang diwajibkan atas kamu hanyalah puasa, maka terus-meneruslah bangun malam jika kamu memang mengerjakannya dan jangan kamu tinggalkan, karena bani Israil mengadakan bid'ah yang tidak diwajibkan Allah kepada mereka dengan tujuan mencari keridhaan Allah, namun mereka tidak memeliharanya dengan semestinya. Oleh sebab itu, Allah menegur mereka karena meninggalkannya." Ia lalu membaca, "Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah."

Perkataan ini mendekati pendapat sebagian mufassir tentang firman- Nya, "Maka mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya," Yang dimaksud adalah mereka melalaikannya dan melakukannya secara terus-menerus.

Sebagian penukil tafsir berkata, "Di dalam penakwilan ini terdapat kelaziman untuk menyempurnakan bagi setiap orang yang memulai perbuatan tathawwu 'atau tambahan dan memeliharanya dengan semestinya."

Ibnu Arabi —dan ia telah berpaling dari manhaj yang benar— berkata,

"Orang yang menyangka bahwa itu adalah rahbaniyyah yang diwajibkan atas mereka setelah mereka melazimkannya."

la berkata, "Perkataan ini tidak keluar dari substansi perkataan. Gaya bahasa dan maknanya juga tidak mengarah kepada hal itu, serta tidak diwajibkan sesuatu atas seseorang kecuali dengan syara' atau nadzar."

la berkata, "Dalam hal itu tidak terdapat perselisihan pendapat di antara pemeluk-pemeluk agama, wallahu a’lam."

Perkataan (Ibnu Arabi) ini perlu ditinjau dan diperhatikan, jika kita asumsikan pengamalan sesuatu dari pendapatnya, karena kebanyakan ulama cenderung pada pendapat yang pertama, lantaran di dalam agama ini tidak ada bid'ah dan tidak mengandung kemungkinan pendapat pembolehan bid'ah dalam segala keadaan, sebab segala keputusan hukum harus berdasarkan dalil. Pondasi dasarnya adalah mengikuti dalil dan tidak boleh melakukan pekerjaan yang bertentangan dengan dalil.

Walaupun demikian, kita tidak boleh membiarkan perkataan Abu Umamah RA dari tinjauan yang benar, yang sesuai dengan dalil syariat, meskipun itu adalah tinjauan jauh bila dilihat dari perkara zhahimya; yaitu ia menganggap perbuatan Umar RA dalam mengumpulkan manusia di masjid (untuk shalat Tarawih berjamaah) dipandu oleh seorang imam pada bulan Ramadhan sebagai perbuatan bid'ah, karena ketika ia masuk masjid dan mereka (kaum muslim) sedang shalat, ia berkata, "Alangkah baik bid'ah ini, dan orang-orang yang tidur darinya lebih baik." (mengerjakannya sendiri setelah tidur)

Telah dibahas sebelumnya bahwa Umar menamakannya bid'ah karena (berdasarkan) suatu tinjauan. Adapun berdirinya imam untuk mengimami manusia di masjid pada bulan Ramadhan, merupakan perbuatan Sunnah, karena telah dikerjakan oleh Rasulullah SAW, dan beliau meninggalkannya hanya karena takut Tarawih dijadikan sebagai shalat wajib. Jadi, ketika zaman wahyu telah berlalu dan sudah hilang illat (pewajiban shalat Tarawih), kembalilah pengamalan shalat Tarawih seperti asalnya (dengan berjamaah). Hal itu tidak terjadi pada zaman kekhalifahan Abu Bakar, karena bertentangan Telah dibahas sebelumnya bahwa Umar menamakannya bid'ah karena (berdasarkan) suatu tinjauan. Adapun berdirinya imam untuk mengimami manusia di masjid pada bulan Ramadhan, merupakan perbuatan Sunnah, karena telah dikerjakan oleh Rasulullah SAW, dan beliau meninggalkannya hanya karena takut Tarawih dijadikan sebagai shalat wajib. Jadi, ketika zaman wahyu telah berlalu dan sudah hilang illat (pewajiban shalat Tarawih), kembalilah pengamalan shalat Tarawih seperti asalnya (dengan berjamaah). Hal itu tidak terjadi pada zaman kekhalifahan Abu Bakar, karena bertentangan

Seakan-akan Abu Umamah RA dalam masalah ini menganggap adanya peninjauan kembali pengamalan (shalat Tarawih) itu, maka ia menamakannya sebagai perkara baru yang diada-adakan, selaras dengan penamaan Umar RA, kemudian ia mernerintahkan untuk melaksanakan secara terus-menerus berdasarkan pemahamannya pada ayat tersebut; yaitu bahwa tidak memeliharanya adalah dengan tidak melakukannya secara terus-menerus karena melazimkan amal perbuatan yang Sunnah, maka mereka tidak memenuhi target dari apa yang mereka lazimkan, karena menjadikan amal- amal Sunnah dalam hal ini adalah tidak lazim, demikian halnya dengan sunah rawatibah. Yang demikian ini terjadi pada dua sisi:

Pertama, diambil sesuai aslinya dan sesuai kemampuan manusia, maka kadang-kadang bersemangat dan kadang-kadang tidak bersemangat, terkadang sesuai adat kebiasaan dan terkadang tidak sesuai adat kebiasaan karena terbentur oleh kesibukan-kesibukan atau yang lainnya. Hal-hal lainnya dari hal-hal yang serupa dengan itu, yaitu seperti seseorang yang hari ini memiliki sesuatu untuk disedekahkan, tapi keesokannya ia tidak memiliki sesuatu untuk disedekahkan, atau ia memilikinya tetapi tidak membuatnya semangat untuk bersedekah, atau ia tidak berniat untuk bersedekah, atau ia menahannya, atau perkara-perkara alami lainnya yang ada pada kehidupan manusia.

Dilihat dari sisi ini, seseorang tidak berdosa bila meninggalkan seluruh perbuatan sunah dan tidak ada cela atasnya, karena jika ada celaan atau teguran, berarti itu bukan perbuatan sunah, dan perbuatan sunah berbeda dengan perbuatan wajib.

Kedua, diambil sebagai suatu amal yang harus dikerjakan, seperti seseorang yang mewajibkan dirinya melakukan amalan rutin dari amal shalih Kedua, diambil sebagai suatu amal yang harus dikerjakan, seperti seseorang yang mewajibkan dirinya melakukan amalan rutin dari amal shalih

Makna ini mafhum dari sabda Rasulullah SAW tentang dua rakaat setelah shalat Ashar yang beliau lakukan. Ketika beliau ditanya tentang hal itu, beliau menjawab,

" Wahai putri Abu Umayah! Kamu bertanya tentang shalat dua rakaat setelah Ashar? Orang-orang dari pihak Abdul Qais datang mengislamkan kaum mereka, sehingga mereka menyibukkanku dari shalat sunah dua rakaat setelah shalat Zhuhur, maka inilah dua rakaat itu (qadhanya)."

Beliau ditanya tentang shalat dua rakaat itu sesudah beliau melarang melakukannya (setelah Ashar). Rasulullah SAW selalu melakukan dua rakaat itu setelah shalat Zhuhur, sebagai amalan sunah yang rutin {rawatib), maka ketika dua rakaat itu luput darinya, beliau melakukannya setelah melewati waktunya sebagai qadha keduanya sebagaimana mengqadha shalat fardhu.

Ketika itu, kondisi amalan semacam ini menjadi amalan sunah yang Ketika itu, kondisi amalan semacam ini menjadi amalan sunah yang

Dalil atas kebenaran sikap lemah lembut ada di dalam Al Quran. Bersikap lemah lembut memang lebih utama dan lebih layak, —walaupun bersikap terus-menerus terhadap suatu amalan juga merupakan tuntutan.

Allah SWT berfirman, "Dan ketahuilah olehmu bahwa di kalangan kamu ada Rasulullah, kalau ia menuruti kemauman kamu dalam beberapa urusan, benar-benarlah kamu akan mendapat kesusahan...." Berdasarkan pendapat sebagian mufassir bahwa banyak perkara yang masuk dalam takalif lslamiyyah. Makna "benar-benarlah kamu akan mendapat kesusahan" Maksudnya adalah "Kamu sungguh akan mendapatkan kesulitan, dan kesulitan akan datang kepadamu, sedangkan agama Allah tidak terdapat kesulitan di dalamnya." " Tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan) dengan memberi kemudahan dan keluasan [dan menjadikan iman ituindah dalam hatimu." (Qs. Al Hujuraat [49]: 7)

Nabi SAW diutus hanya dengan agama yang toleran, serta mengangkat kesulitan dan belenggu yang dulu ada pada orang-orang lain (selain Islam).

Allah SWT berfirman dalam menyifati Nabi-Nya, "...berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat betas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin." (Qs.At-Taubah[9]:128)

"Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu..." (Qs. Al Baqarah [2]r 185)

"Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah" (Qs. An-Nisaa' [4]: 28)

Allah SWT menamakan pengambilan sikap keras terhadap diri sebagai sikap melampaui batas, seperti di dalam firman-Nya, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas.... ." (Qs. Al MaaMdah[5]:87)

Banyak dalil dari hadits, misalnya:

1. Masalah puasa wishal, seperti yang terdapat dalam hadits yang diriwayatkan dari Aisyah RA, ia berkata, "Nabi SAW melarang mereka puasa wishal sebagai sikap kasih sayang beliau terhadap mereka." Mereka berkata, "Tapi engkau melakukan puasa wishaP" Beliau menjawab,

" Sesungguhnya aku tidak seperti kamu, karena aku tinggal di sisi Tuhanku yang memberiku makan dan minum."

Diriwayatkan dari Anas RA, ia berkata: Rasulullah SAW melakukan puasa wishal pada akhir bulan Ramadhan, kemudian kaum muslim melakukan wishal pula. Ketika kabar itu sampai kepada beliau, beliau bersabda,

"Seandainya bulan diperpanjang, maka kami akan menyambung puasa dari hari ke hari lainnya (wishal) sehingga orang-orang yang berlebih- lebihan meninggalkan kelebih-lebihannya."

Ini adalah pengingkaran. Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, ia berkata: Rasulullah SAW

melarang puasa wishal, maka seorang laki-laki dari kaum muslim berkata, "Tapi engkau melakukan wishal ya Rasulullah?!" Rasulullah

SAW pun bersabda,

"Siapakah diantara kalian yang seperti aku? Sesungguhnya aku tinggal di sisi Tuhanku yang memberiku makan dan minum."

Ketika mereka menolak berhenti dari puasa wishal hari demi hari, saat mereka melihat hilal (awal bulan), beliau pun bersabda,

"Seandainya bulan mundur, niscaya aku menambahkanmu (puasa wishal)."

Perkataan tersebut adalah perkataan orang yang jengkel (Rasulullah jengkel ketika mereka menolak berhenti dari puasa wishal).

Masalah bangun malamnya Nabi SAW bersama mereka (kaum muslim) pada bulan Ramadhan. Beliau meninggalkannya karena khawatir bangun malam itu (shalat Tarawih) diwajibkan atas mereka, lalu mereka tidak mampu mengerjakannya, sehingga mereka akan jatuh pada perbuatan dosa dan kesulitan. Jadi, perbuatan beliau itu merupakan sikap kasih sayang beliau terhadap mereka.

Al Qadhi Abu Thayyib berkata, "Kemungkinan Allah mewahyukan kepada beliau, bahwa jika beliau terus-menerus melakukan shalat tersebut bersama mereka, maka shalat itu akan diwajibkan atas mereka."

Aisyah RA berkata, "Jika Rasulullah SAW meninggalkan suatu amalan sedangkan sebenarnya beliau menyukai amalan itu, maka itu semata-mata karena beliau khawatir jika manusia ikut mengerjakannya maka akan diwajibkan atas mereka."

Makna ini juga terdapat dalam sabdanya,

" Janganlah kamu mengkhususkan puasa pada hari Jum’ at."

Mahlab berkata, "Alasannya adalah karena jika dilakukan terus- menerus, maka dikhawatirkan amalan itu akan menjadi amalan wajib."

Karena makna ini, larangan tersebut sesuai dengan pendapat Malik dalam kitab Al Muwattha', dan tidak ada masalah dengan hal tersebut.

Masalah hadits Haula' bin Tuwait. Aisyah RA berkata: Rasulullah SAW datang kepadaku dan di sisiku ada seorang wanita, maka beliau bertanya, "Siapakah wanita ini?' Aku menjawab, "Ini adalah wanita yang tidak pernah tidur karena selalu melakukan shalat." Rasulullah SAW lalu bersabda,

"Kamu tidak tidur malam!' Kerjakanlah amalan yang mampu kamu kerjakan. Demi Allah! Allah tidak akan bosan hingga kalian bosan. "

Beliau mengulang kata-kata "tidak tidur" sebagai bentuk pengingkaran beliau terhadapnya —wallahu a 'lam— dan tidak ridha dengan perbuatannya, karena beliau khawatir wanita itu mendapatkan kebosanan dan kejemuan atau meninggalkan hak yang lebih kuat.

Diriwayatkan dari Anas RA, ia berkata: Rasulullah SAW masuk masjid —dan mendapati tali terpancang di antara dua tiang— maka beliau bersabda,

"Apa ini?" Mereka menjawab, "Tali Zainab untuk melakukan shalat. Apabila ia malas atau letih maka ia berpegangan padanya." Beliau pun bersabda, "Lepaskan tali ini. Hendaklah salah seorang dari kalian shalat ketika waktu semangat, dan bila malas atau letih, maka duduklah."

Dalam riwayat lain,

" Tidak, lepaskanlah (tali )ini.” Diriwayatkan dari Abdullah bin Amr RA, ia berkata: Telah sampai

berita kepada Nabi SAW bahwa aku puasa terus-menerus dan shalat malam. Beliau lalu mengutus utusan kepadaku untuk membawaku kepadanya. Beliau lalu bersabda,

"Aku telah dikabarkan bahwa kamu puasa dan tidak pernah berbuka serta selalu shalat malam? Janganlah kamu kerjakan, karena matamu punya hak dan keluargamu punya hak. Jadi, berpuasa dan berbukalah, shalat dan tidurlah."

Diriwayatkan dari Ibnu Salamah, ia berkata: Abdullah bin Amru bin Ash RA meriwayatkan kepadaku, ia berkata, "Dahulu aku puasa dahr dan membaca Al Qur'an setiap malam, maka apakah aku menyebutkannya kepada Nabi SAW atau beliau mengutus utusan kepadaku sehingga aku mendatanginya. Beliau lalu bersabda,

"Apakah benar kabar yang disampaikan kepadaku, bahwa kamu puasa sepanjang tahun dan membaca Al Qur 'an setiap malam?" Aku menjawab, "Benar, ya Rasulullah, karena aku tidak melihat pada yang demikian itu kecuali kebaikan." Beliau pun bersabda, "Seandainya memang demikian —atau bersabda, "Demikian!"— maka cukuplah kamu puasa tiga hari setiap bulan."

Aku berkata, "Wahai Nabi Allah, aku kuat lebih dari itu!" Beliau bersabda, " Sesungguhnya istri mempunyai hak atas kamu, orang- orang yang datang kepadamu mempunyai hak atas kamu, dan badanmu punya hak atas kamu. "Beliau melanjutkan sabdanya, " — Kalau memang kamu kuat— maka puasalah seperti puasa Daud AS, karena beliau adalah manusia yang paling suka beribadah. "Aku kemudian bertanya, "Wahai Nabi Allah, bagaimana (cara melakukan) puasa Daud?" Beliau menjawab, "Beliau puasa sehari dan berbuka sehari —Beliau menambahkan, "Bacalah Al Qur'an (khatamkan) setiap bulan?"—Aku berkata, "Wahai Nabi Allah, sesungguhnya aku mampu melakukan lebih dari itu." Beliau menjawab, " —Kalau demikian— bacalah setiap tujuh hari, dan jangan lebih dari itu, karena istrimu punya hak atasmu, orang-orang yang mendatangimu mempunyai hak atasmu, dan tubuhmu mempunyai hak atasmu."

Aku pun memegangnya dengan erat, maka Allah mengeratkannya padaku." Aku pun memegangnya dengan erat, maka Allah mengeratkannya padaku."

Dalam riwayat lain beliau bersabda,

" Puasalah sehari dan berbukalah sehari, dan itulah puasa Daud. "dan itulah puasa yang paling adil. la (Abdullah bin Amru) lalu berkata, "Aku mampu lebih utama dari itu." Rasulullah SAW menjawab, " Tidak ada yang lebih utama dari itu. "la berkata, "Aku menerima tiga hari yang dikatakan oleh Rasulullah SAW, dan itu lebih aku sukai daripada keluarga dan hartaku."

Dalam Shahih At-Tirmidzi terdapat riwayat dari Jabir RA, ia berkata, "Seorang laki-laki yang berada di sisi Rasulullah SAW menyebutkan tentang ibadah dan ijtihadnya, sedangkan laki-laki lain yang juga berada di sisi beliau menyebutkan tentang keringanannya. Nabi SAW pun bersabda,

" Tidak sebanding dengan di'ah." Yang dimaksud di'ah adalah kelembutan dan kemudahan. At-Tirmidzi berkata, "Hadits tersebut hasan gharib." Diriwayatkan dari Anas RA, ia berkata: Tiga kelompok datang kepada

rumah istri-istri Nabi SAW untuk menanyakan tentang ibadah Nabi SAW.

Ketika mereka diberitahu, temyata seakan-akan mereka menganggap ibadah beliau sedikit. Mereka berkata, "Dimana posisi kita dibandingkan dengan Nabi SAW? Beliau telah diampuni dosanya baik yang lalu maupun yang akan datang?" Salah seorang dari mereka berkata, "Aku akan melakukan shalat malam untuk selamanya." Yang lain berkata, "Aku akan puasa untuk selamanya dan tidak akan berbuka." Yang lainnya lagi berkata, "Aku akan mengasingkan diri dari wanita, maka aku tidak akan menikah untuk selamanya." Rasulullah SAW pun bersabda,

"Apakah kalian yang mengatakan begini...begini? Demi Allah, sungguh aku adalah orang yang paling takut kepada Allah dan paling bertakwa di antara kamu, akan tetapi aku berpuasa dan berbuka, aku melakukan shalat dan tidur, serta menikahi wanita. Jadi, barangsiapa enggan dengan Sunnahku, maka ia bukan golonganku."

Hadits-hadits yang maknanya senada dengan ini jumlahnya sangat banyak, dan keseluruhannya menunjuk perintah untuk mengambil kemudahan dan keluasan, dan hal itu dapat digambarkan menurut sisi pertama, karena tidak adanya pelaziman. Jika digambarkan benar-benar ada pelaziman, maka dalam bentuk yang tidak memberatkan jika dikerjakan secara terus-menerus.