Mujtahid dan Muqallid (Orang yang Mengikuti tanpa

A. Mujtahid dan Muqallid (Orang yang Mengikuti tanpa

Mengetahui Dalil) Orang yang menisbatkan diri kepada bid'ah tidak akan luput dari dua

hal; sebagai mujtahid atau muqallid. Adapun muqallid, bisa termasuk yang mengakui dalil-dalil yang diangkat oleh mujtahid lalu ia menelaahnya, atau termasuk muqallid yang tidak mengkaji dan menelaah dalil-dalil sebagaimana orang awam. Dalam masalah ini ada tiga pembagian:

l. Kelompok pertama: Terbagi atas dua bentuk. a. Orang tersebut sah atau memenuhi syarat

sebagai mujtahid, maka perbuatan bid'ah darinya tidak akan terjadi kecuali karena ketidaksengajaan. Mungkin juga bid'ah darinya dalam bentuk sifat, bukan inti. Hal seperti ini dikatakan sebagai suatu kesalahan atau ketergelinciran, karena pelakunya tidak bermaksud mengikuti ayat-ayat yang mutasyabih dengan tujuan suatu fitnah dan ingin menakwil kitab suci Al Qur'an. Dengan kata lain, ia tidak mengikuti hawa nafsunya dan tidak menjadikannya sebagai pegangan. Sebab, apabila datang kepadanya suatu kebenaran, ia akan tunduk dan mengakuinya.

Salah satu contohnya adalah sebuah riwayat dari Aun bin Abdullah bin Utbah bin Mas'ud, ia pernah mengatakan bahwa ia termasuk golongan Murji'ah. Tetapi ia kemudian menarik kembali perkataannya, ia berkata, "Dan, permulaan aku memisahkan diri —tidak ragu— lalu aku memisahkan diri dari apa yang dikatakan golongan Murji'ah.''

Diriwayatkan oleh Muslim dari Yazid bin Shuhaib Al Faqir, ia berkata, "Dahulu pendapatku diwrnai oleh pendapat kaum Khawarij. Suatu ketika kami keluar bersama rombongan dalam rangka mengerjakan ibadah haji, kemudian kami menemui banyak orang. Ketika kami melewati Madinah, tiba-tiba -kami melihat- Jabir bin Abdullah sedang berbicara di depan banyak orang -tentang hadits Nabi SAW- sambil duduk bersandar di tiang; Dari Rasulullah SAW, beliau bersabda, Ketika ia sampai pada perkataan 'Al Jahannamiyyin’, aku berkata kepadanya, 'Wahai sahabat Rasulullah! Apa

yang sedang kalian perbincangkan? Sedangkan Allah berfirman, " Sesungguhnya barangsiapa yang engkau masukkan ke dalam neraka, maka sungguh telah Engkau hinakan ia." (Qs. Aali 'Imraan [3]: 192) Dia juga berfirman, "Setiap kali mereka hendak keluar daripadanya, mereka dikembalikan lagi. "(Qs. As-Sajdah [32]: 20) lalu apa yang kalian bicarakan?' Ia menjawab, "Apakah Anda membaca Al Qur'an?' Aku berkata, 'Ya!' Ia (Jabir bin Abdullah) berkata, 'Apakah kamu pernah mendengar tentang kedudukan Nabi Muhammad SAW, yaitu kedudukan yang dengannya Allah utus beliau?" Aku berkata, 'Ya!' Ia berkata, 'Yaitu kedudukan beliau SAW yang terpuji yang dengannya Allah mengeluarkan mereka yang keluar dari neraka.' 'Kemudian ia menyifati peletakan shirat (jembatan) dan tentang saat menyeberangnya manusia di atasnya. Ia berkata, 'Aku khawatir tidak mampu untuk lebih berhati-hati dari sikap itu.' Ia menyangka bahwa suatu kaum dikeluarkan dari neraka setelah letih tinggal di dalamnya. Ia berkata, "Maka mereka keluar dari neraka bagaikan biji yang terbakar oleh sinar matahari, lalu masuk ke sebuah sungai dari sekian banyak sungai surga, kemudian mereka mandi di dalamnya, lalu mereka keluar bagaikan kertas.' Kami kembali dan berkata, 'Celakalah kalian! Apakah kalian melihat seorang syaikh berbohong atas nama Rasulullah SAW?' Lalu kami keluar, tetapi tidak ada yang keluar dari kami kecuali seorang laki-laki. Atau seperti yang ia katakan."

Yazid Al Faqir termasuk ahli hadits yang tepercaya dan dianggap tsiqah oleh Ibnu Mu'in serta Abu Zar'ah. Abu Hatim berkata, "la adalah orang yang berlaku jujur dan Al Bukhari mengambil hadits darinya."

Ubaidullah bin Hasan Al Anbari termasuk ahli hadits yang tepercaya dan termasuk ulama yang banyak ilmunya dalam hal Sunnah. Akan tetapi, sebagian orang mengatakan bahwa ia adalah pelaku bid'ah, karena ada yang mengatakan bawah ia pernah berkata, "Sesungguhnya setiap mujtahid dari tiap agama adalah benar dalam setiap ijtihadnya." Karena hal inilah ia dikafirkan oleh Al Qadhi Abu Bakar dan yang lain. Al Qutaibi berkata (tentangnya), "Sesungguhnya Al Qur'an menunjukkan kepada suatu perbedaan. Perkataan tentang Qadar (Qadariyah) adalah benar dan hal itu Ubaidullah bin Hasan Al Anbari termasuk ahli hadits yang tepercaya dan termasuk ulama yang banyak ilmunya dalam hal Sunnah. Akan tetapi, sebagian orang mengatakan bahwa ia adalah pelaku bid'ah, karena ada yang mengatakan bawah ia pernah berkata, "Sesungguhnya setiap mujtahid dari tiap agama adalah benar dalam setiap ijtihadnya." Karena hal inilah ia dikafirkan oleh Al Qadhi Abu Bakar dan yang lain. Al Qutaibi berkata (tentangnya), "Sesungguhnya Al Qur'an menunjukkan kepada suatu perbedaan. Perkataan tentang Qadar (Qadariyah) adalah benar dan hal itu

Suatu ketika ia (Ubaidillah bin Hasan Al Anbari) ditanya tentang aliran Jabariyah dan Qadariyah, lalu ia mengatakan bahwa keduanya benar, sebab mereka semua mengagungkan dan menyucikan Allah. Ia juga berkata, "Demikian juga perkataan tentang nama-nama; mereka yang mengatakan bahwa seorang pelaku zina adalah mukmin, maka itu memang benar. Sedangkan yang mengatakan bahwa pelaku zina adalah kafir, maka itu juga benar. Adapun yang mengatakan bahwa pelaku zina mukmin adalah fasik, maka itu juga benar. Orang yang mengatakan bahwa pelaku zina adalah kafir dan tidak musyrik, maka itu juga benar, karena Al Qur' an menunjuk kepada semua makna ini." Ia berkata, " Juga Sunnah-Sunnah yang berbeda- beda, seperti perkataan tentang undian dan lawannya, pengadu domba dan lawannya, tentang hukuman mati seorang muslin karena membunuh seorang kafir, dan tidak dihukum mati seorang mukmin karena membunuh orang kafir. Jadi, dengan pendapat manapun seorang ahli fikih mengambil hukum adalah benar."

Ia (Ubaidillah bin Hasan Al Anbari) berkata, "Seandainya seseorang berkata, 'Sesungguhnya seorang pembunuh akan masuk ke neraka,' maka perkataannya adalah benar. Apabila ia berkata, 'la di neraka,' maka perkataannya pun benar. Apabila ia berhenti dan tidak berkomentar, maka hal itu pun benar. Yang demikian itu apabila ia menginginkan perkataannya sebagai bentuk penghambaan terhadap Allah dan ia tidak mengetahui hal yang ghaib."

Ibnu Abu Khaitsamah berkata: Sulaiman bin Abu Syaikh mengabarkanku, ia berkata, "Sesungguhnya Abdullah bin Al Hasan bin Al Husain bin Abu Al Hariqi Al Anbari Al Bashari pernah dituduh dalam suatu perkara yang besar, dan telah diriwayatkan darinya perkataan yang tidak beradab."

Sebagian ulama muta’akhirin berkata, "Inilah yang telah disebutkan oleh Ibnu Abu Syaikh tentangnya. Telah dikatakan bahwa ia menarik kembali pendapat dan perkataannya ketika ia menemukan kebenaran, dan ia berkata, 'Jika demikian maka aku akan kembali atau menarik kembali perkataanku, lalu aku menjadi bagian yang terkecil. Sesungguhnya menjadi ekor dari suatu kebaikan lebih aku sukai daripada menjadi kepala dalam hal kebatilan."

Apabila terbukti apa yang dikatakan padanya, maka itu merupakan kekeliruan orang yang alim, karena ia kembali darinya sebagaimana kembalinya orang-orang mulia kepada kebenaran. Karena, segala hal yang diriwayatkan darinya telah sesuai dengan zhahir dalil-dalil syar'i, sebab ia tidak mengikuti akalnya. Syariat juga tidak berbenturan dengan pendapatnya, dan ia lebih dekat dengan penentangan terhadap hawa nafsu. Oleh karena itu, ia diberi taufik untuk kembali kepada kebenaran.

Al Faqir juga menambahkan perkataannya, tidak seperti kaum Khawarij yang telah menentang Abdullah bin Abbas tatkala meminta dalil, sebagian dari mereka berkata, "Janganlah kalian memusuhinya, karena ia termasuk orang yang ada dalam firman-Nya, 'Sebenamya mereka adalah kaum yang suka bertengkar'." (Qs. Az-Zukhruf [43]: 58)

Mereka lalu memenangkan Al Mutasyabih dari Al Muhkam dan berpegang pada pendapat selain sawad Al Azham.

Apabila ia tidak sampai pada derajat mujtahid karena keilmuannya, maka ia tidak boleh mengambil kesimpulan hukum yang bertentangan dengan syariat —sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya— karena disamping kebodohan yang ada pada dirinya, ada juga hawa nafsu yang mendorong dan membangkitkan dirinya untuk mengambil kesimpulan. Inilah yang menjadi pemandunya dalam menentukan sikap. Terkadang ia juga telah mencapai posisi yang tinggi seperti imam atau publik pigur yang menjadi panutan, dan dirinya telah merasakan kenikmatan yang tiada terkira dengan posisi tersebut. Oleh karena itu, sangat sulit keluar dari perasaan cinta terhadap jabatan dan kepemimpinan dari hati apabila ia sendiri yang menjadi pemimpin. Kaum sufi berkata, "Cinta pada kepemimpinan adalah cinta yang Apabila ia tidak sampai pada derajat mujtahid karena keilmuannya, maka ia tidak boleh mengambil kesimpulan hukum yang bertentangan dengan syariat —sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya— karena disamping kebodohan yang ada pada dirinya, ada juga hawa nafsu yang mendorong dan membangkitkan dirinya untuk mengambil kesimpulan. Inilah yang menjadi pemandunya dalam menentukan sikap. Terkadang ia juga telah mencapai posisi yang tinggi seperti imam atau publik pigur yang menjadi panutan, dan dirinya telah merasakan kenikmatan yang tiada terkira dengan posisi tersebut. Oleh karena itu, sangat sulit keluar dari perasaan cinta terhadap jabatan dan kepemimpinan dari hati apabila ia sendiri yang menjadi pemimpin. Kaum sufi berkata, "Cinta pada kepemimpinan adalah cinta yang

Sebagian contoh pemyataan tersebut adalah Al Imamiyah dari kelompok syi'ah yang berpendapat untuk menetapkan adanya khalifah dalam kepemimpinan walaupun tanpa Nabi SAW. Kelompok ini menyangka bahwa khalifah kedudukannya sama seperti nabi dalam hal 'Ishmah (terjaga dari dosa). Tentu saja ini berlandaskan pada pondasi keraguan. Alasan mereka adalah, syariat selalu memerlukan keterangan dan penjelasan untuk semua mukallaf, baik dengan lisan maupun dengan argumentasi naqh dari orang yang memiliki lisan yang ma'shum.

Mereka menetapkan hal tersebut berdasarkan hal-hal yang tampak pada akal pikiran mereka yang paling sederhana, tanpa ada argumentasi akal atau naqli. Yang mereka gunakan sebagai dasar adalah persangkaan yang mereka akui sebagai dalil akal atau persangkaan mereka —terhadap makna— dari dalil naqli yang batil, baik batil pada asalnya maupun batil karena kesalahan pada tahap penerapan dasar-dasarnya dan penerapan ajaran mereka. Namun ketika diberitahukan bahwa semua itu ada dalam ltitab imam-imam mereka, mereka justru menuntut sesuatu sebagai haknya, dan apabila mereka diminta berbagai dalil atas hal tersebut, mereka bingung untuk mendatangkannya. Jadi, sebenamya d mereka tidak memiliki alasan (dalil) dari sisi manapun.

Permasalahan syubhat yang paling kuat pada mereka terletak pada perbedaan pendapat umat, dan sudah semestinya —menurut mereka— ada orang yang mampu mengangkat perbedaan tersebut. Allah SWT berfirman,

" Tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu." (Qs. Huud [11]: 118-119). Namun tidak demikian adanya jika Allah memberikan Al 'Ishmah, sebagaimana yang diberikan kepada Nabi SAW, karena dialah pewarisnya. Jika tidak demikian maka semua orang —baik yang benar maupun yang salah— akan mengaku bahwa hanya dia yang mendapat rahmat dan kebenaran dan Tuhannya. Namun ketika mereka diminta untuk mendatangkan dalil tentang Al 'Ishmah, mereka tidak mampu memberi jawaban kecuali madzhab yang mereka sembunyikan dan mereka tidak menampakkannya kecuali kepada kalangan khusus mereka. Itulah bentuk kekufuran dan pengakuan tanpa disertai bukti.

Ibnu Al Arabi berkata —dalam kitab Al 'Awashim—, "Aku keluar dari negeriku dan tidaklah aku bertemu dengan manusia dalam perjalananku kecuali orang-orang yang mendapat petunjuk, hingga sebuah kabar sampai kepadaku tentang kelompok ini; yaitu kelompok Al Imamiyah dan Al Bathiniyah dari Syiah. Inilah kelompok bid'ah yang pertama kali aku temukan. Aku juga banyak dikejutkan dengan adanya orang-orang yang suka bergumul dengan Al Musyabbihah (seperti perkataan bahwa Al Qur’an adalah makhluk) dan tentang penolakan terhadap sifat-sifat Allah, serta tentang perkataan inna lillahi wa inna ilaihi raaji'uun bagi yang percaya adanya syetan. Ketika aku mengetahui kebodohan mereka, aku memilih untuk bersikap lebih berhati-hati, sehingga aku merasa ragu hidup di tengah-tengah mereka yang memiliki akidah yang benar, walaupun aku mampu menjalani hidup di tengah- tengah mereka selama delapan bulan. Aku kemudian pergi menuju negeri Syam, lalu mendatangi Baitui Maqdis untuk kemudian membentuk dua puhih delapan halaqah (kelompok belajar) dan dua madrasah yaitu; madrasah mazhab Syafiiyah pada pintu tengah masjid dan madrasah Hanafiyah.

Dalam halaqah-halaqah dan madrasah tersebut aku menemukan para ulama besar yang sering melakukan bid'ah, dan para pewarta dari agama Yahudi serta Nasrani. Sejak itu aku membangkitkan semangat keilmuan dan melakukan beberapa diskusi dengan semua kelompok yang dihadiri oleh guru kami (Abu Bakar Al Fahri) dan ulama lainnya dari ahli Sunnah.

Kemudian aku turun ke tepian pantai untuk beberapa keperluan dan aku melihat banyak sekali pengikut aliran kelompok ini (Al lmamiyah dan Al Bathiniyah), lalu aku mendatangi (berjalan-jalan) kota-kota yang ada di tepian pantai kurang lebih selama lima bulan. Aku juga mendatangi daerah yang disebut 'Aka. Pemuka Imamiyah pada saat itu adalah Abu Al Fath Al 'Akky, dan di sana ada seorang syaikh dari ahli Sunnah yang dikenal dengan nama Al Faqih Ad-Daibaqi. Aku bertemu dengan Abu Al Fath di majelisnya, ketika itu aku berumur dua puluh tahun. Ketika ia melihatku masih muda namun cukup berilmu dan terlatih, ia tertarik kepadaku. Sungguh, walaupun mereka berdiri di atas kebatilan, namun mereka memiliki jiwa yang sportif, obyektif, dan mau mengakui kelebihan yang ada pada diri orang lain. Ia (Abu Al Fath) tidak serta-merta meninggalkanku, ia justru toleran kepadaku, dan saat berdebat ia juga tidak lantas melemahkanku. Pada kesempatan itulah aku berbicara tentang madzhab Imamiyah dan tentang perkataan mereka mengenai Al 'Ishmah dalam perbincangan yang cukup panjang.

Dari sekian waktu pembicaraan kami, mereka berkata, "Sesungguhnya Allah SWT mempunyai banyak rahasia dan hukum yang terletak pada semua penciptaan-Nya, sehingga akal manusia tidak bisa berdiri sendiri untuk mengetahuinya, maka hal itu hanya bisa diketahui melalui seorang Imam yang Ma’shum (yang terhindar dari perbuatan dosa)." Aku katakan kepada mereka, "Apakah seorang imam yang diutus untuk menyampaikan pesan dari Allah akan wafat (pada permulaan ia diperintahkan untuk menyampaikannya)? Atau ia akan kekal?" Ia menjawab, "Ia akan wafat!" Sebenarnya ini bukanlah pilihan dari pendapat madzhabnya, namun ia menutup-nutupinya dari diriku. Aku lalu bertanya, "Apakah ia akan digantikan oleh seseorang?" Ia berkata, "Ia akan digantikan oleh yang diwasiatkan, yaitu Ali." Aku bertanya lagi, "Apakah ia akan menghukumi dengan benar dan melaksanakan hukum itu?" Ia menjawab, "Ia tidak bisa mengerjakan seluruhnya lantaran banyaknya perlawanan." Aku katakan, "Apakah ia akan mengerjakannya tatkala ia mampu?" Ia berkata, " Taqiyyah (ketakwaan) yang mencegahnya untuk mengerjakan hal tersebut, dan tidak bisa hilang hingga ia wafat. Akan tetapi terkadang ia kuat dan terkadang ia lemah, dan hal ini Dari sekian waktu pembicaraan kami, mereka berkata, "Sesungguhnya Allah SWT mempunyai banyak rahasia dan hukum yang terletak pada semua penciptaan-Nya, sehingga akal manusia tidak bisa berdiri sendiri untuk mengetahuinya, maka hal itu hanya bisa diketahui melalui seorang Imam yang Ma’shum (yang terhindar dari perbuatan dosa)." Aku katakan kepada mereka, "Apakah seorang imam yang diutus untuk menyampaikan pesan dari Allah akan wafat (pada permulaan ia diperintahkan untuk menyampaikannya)? Atau ia akan kekal?" Ia menjawab, "Ia akan wafat!" Sebenarnya ini bukanlah pilihan dari pendapat madzhabnya, namun ia menutup-nutupinya dari diriku. Aku lalu bertanya, "Apakah ia akan digantikan oleh seseorang?" Ia berkata, "Ia akan digantikan oleh yang diwasiatkan, yaitu Ali." Aku bertanya lagi, "Apakah ia akan menghukumi dengan benar dan melaksanakan hukum itu?" Ia menjawab, "Ia tidak bisa mengerjakan seluruhnya lantaran banyaknya perlawanan." Aku katakan, "Apakah ia akan mengerjakannya tatkala ia mampu?" Ia berkata, " Taqiyyah (ketakwaan) yang mencegahnya untuk mengerjakan hal tersebut, dan tidak bisa hilang hingga ia wafat. Akan tetapi terkadang ia kuat dan terkadang ia lemah, dan hal ini

ini dibenarkan?" la berkata, "Tidak, ini tidak dibenarkan namun diperbolehkan dalam keadaan darurat." Aku berkata, "Lalu di mana peran Al 'Ishmah?" la berkata, "Sesungguhnya Al 'Ishmah yang kita maksud adalah dengan kemampuan." Aku berkata, "Lalu setelah dirinya (Imam yang terdahulu) apakah mereka menemukan kemampuan?" la berkata, "Tidak!" Aku berkata, "Jika demikian maka agama akan diremehkan dan kebenaran akan menjadi samar serta tidak diperhatikan?" la berkata, "Sesungguhnya la (Al Imam) akan muncul." Aku berkata, "Melalui siapa?" la berkata, "Melalui Al Imam Al Muntzhar (Imam Mahdi)." Aku berkata, "Bisa saja yang datang itu adalah Dajjal!" Semua yang hadir pada saat itu tertawa. Kami menghentikan perbincangan itu atas keinginanku, karena aku takut jika aku menyakitinya maka ia akan membalas dendam di kampung halamannya.

Kemudian aku berkata, "Yang paling aneh dan" pembicaraan ini adalah apabila Al Imam memberikan wasiat kepada orang yang tidak mempunyai kemampuan, berarti ia telah berbuat sesuatu yang sia-sia, dan ia tidak akan memiliki Al 'Ishmah lagi. Yang lebih aneh lagi, Allah SWT (menurut madzhab mereka) apabila mengetahui bahwa tidak ada ilmu pengetahuan kecuali dengan orang yang akan mengajarkan, kemudian Tuhan mengirimkan orang yang lemah dan tidak konsisten yang tidak mungkin mengatakan 'tidak tahu' maka seakan-akan Tuhan tidak mengajarkannya dan tidak mengirimnya. Ini adalah kejahatan yang ada pada madzhab mereka."

Yang bisa dilihat dari perkataan mereka adalah, mereka tidak kuat mempertahankan perkataannya, kemudian pembicaraan jadi mehias.

Pemuka atau ketua Al Bathiniyah yang berada di Al Ismailiyah lalu ingin bersua denganku, maka Abu Al Fath mendatangiku ketika aku berada di majelis Al Fakih Ad-Dibaqi, ia berkata, "Sesungguhnya ketua Ismailiyah ingin berbicara denganmu!" Aku menjawab, "Aku sedang sibuk." Ia berkata,

13 Mudarah: membayar kepada suatu kelompok demi kemaslahatan dalam suatu masalah.

"Di sini ada tempat yang sudah dipersiapkan, yaitu benteng kaum Thabraniyyin, masjid di dalam istana yang terletak di tepi pantai." la mendesakku. Lalu aku berdiri dalam keadaan antara marah dan hati-hati, maka aku masuk ke dalam istana yang terjaga itu, lalu kami menoleh ke dalamnya. Aku melihat mereka telah berkumpul di pojok sebelah Timur dan istana itu, dan aku melihat dari wajah mereka ada sesuatu yang tidak wajar, maka aku mengucapkan salam kemudian menuju /ra/va6 untuk melaksanakan shalat dua rakaat. Tidak ada yang aku kerjakan dengan shalatku itu kecuali aku berpikir cara mendapatkan kemudahan dalam mengatur pembicaraanku dengan mereka dan selamat dari mereka. Demi umurku yang masih memperkenankanku untuk bisa bercerita kepada kalian, sesungguhnya aku sama sekali tidak mempunyai harapan bisa keluar dari majelis itu untuk selama- lamanya, karena saat itu aku seakan-akan telah melihat laut yang menimpa batu hitam dengan kekuatan yang terukur. Lalu aku berkata, "Inilah kuburanku, mereka akan menguburku!" Lalu aku bersenandung secara pelan,

Masih adakah jalan ke dunia untuk aku kembali? Apakah kami memiliki kuburan selain lautan? Atau selain air yang menjadikain kafan? Ini merupakan keganasan keempat yang pernah terjadi pada diriku, namun Allah kembali menyelamatkanku darinya.

Setelah aku selesai shalat dan mengucap salam, aku menghadap mereka dan menanyakan kabar mereka. Jwaku tertegun dan berkata, "Sesungguhnya jenazah paling mulia dan berada di tempat yang paling mulia adalah jenazah yang wafat karena memperjuangkan agama." Abu Al Fath lalu berkata kepadaku sambil (menunjuk ke arah seorang pemuda yang berwajah tampan), "Ini adalah tuan dari suatu kelompok dan pemimpinnya!" Aku pun menyapanya, namun ia hanya diam. la kemudian mendahuluiku berbicara, "Telah sampai kepadaku berita tentang majelis-majelismu dan sampai pula perkataanmu ke telingaku! Kamu berkata, 'Allah berfirman dan bekerja! Allah yang seperti apa yang kamu maksud? Beritahu aku, aku akan keluar dari situasi yang panas ini yang telah membuatmu berani melangkahi kelompok yang lemah ini!" Akan tetapi kawan-kawannya telah lebih dahulu Setelah aku selesai shalat dan mengucap salam, aku menghadap mereka dan menanyakan kabar mereka. Jwaku tertegun dan berkata, "Sesungguhnya jenazah paling mulia dan berada di tempat yang paling mulia adalah jenazah yang wafat karena memperjuangkan agama." Abu Al Fath lalu berkata kepadaku sambil (menunjuk ke arah seorang pemuda yang berwajah tampan), "Ini adalah tuan dari suatu kelompok dan pemimpinnya!" Aku pun menyapanya, namun ia hanya diam. la kemudian mendahuluiku berbicara, "Telah sampai kepadaku berita tentang majelis-majelismu dan sampai pula perkataanmu ke telingaku! Kamu berkata, 'Allah berfirman dan bekerja! Allah yang seperti apa yang kamu maksud? Beritahu aku, aku akan keluar dari situasi yang panas ini yang telah membuatmu berani melangkahi kelompok yang lemah ini!" Akan tetapi kawan-kawannya telah lebih dahulu

Keterangan dari cerita itu: Al Imam Abu Bakr Ahmad bin Ibrahim Al Ismaili Al Hafizh Al Jurjani berkata, "Aku adalah orang yang paling benci kepada pencinta ilmu kalam. Suatu ketika aku pergi ke suatu kampung dan masuk ke dalam masjidnya, saat itu untuk pertama kalinya aku memasuki masjid tersebut. Aku melihat sebuah tiang dan aku shalat di sana, tiba-tiba aku menemui dua orang lelaki sedang belajar ilmu kalam di sampingku, maka aku meramalkan suatu kesialan dengan dua orang itu, aku berkata, 'Pertama kali aku memasuki kampung ini aku mendengar sesuatu yang aku benci, maka aku mempercepat shalatku sehingga aku dapat menjauh dari keduanya.' Kemudian ada salah satu dari perkataan mereka yang menyangkut dibenakku, yaitu, 'Sesungguhnya kdompok Batiniyah adalah makhluk Allah yang memiliki akal paling lemah. Namun seyogianya kami tidak menuntut mereka sebuah dalil, akan tetapi menuntut mereka dengan kalimat, "Kenapa?" sebab dengan itu mereka tidak berdaya.' Kemudian aku mengucap salam dengan cepat.

Atas izin Allah SWT, setelah itu seorang lelaki Ismailiyah (Al Imam Abu Bakr Ahmad bin Ibrahim Al Ismaili Al Hafizh Al Jurjani) menyingkap topeng penganut afiran Atheis (tidak bertuhan) di Ismailiyah. Seorang penganut Atheis menulis surat kepada Wasymakir, ia mengundangnya untuk datang, dan di dalam suratnya ia berkata, "Sesungguhnya aku tidak menerima ajaran Muhammad kecuali dengan satu mukjizat, dan apabila kalian mampu memperlihatkannya maka kami akan kembali kepada ajaran kalian." Begitulah hingga waktu berlalu, lab mereka (penganut Atheis) memilih satu orang utusan yang pandai, cerdik, (kuat) untuk menghadap Wasymakir. Utusan itu berkata, "Sesungguhnya engkau adalah seorang amir, dan sudah menjadi tabiat para amir dan raja-raja mempunyai kekhususan dari orang-orang biasa, dan tidak meniru seorang pun dalam hal akidah, tetapi sudah menjadi hak mereka untuk mencari kebenaran bukti-bukti." Wasymakir lalu berkata, "Aku akan Atas izin Allah SWT, setelah itu seorang lelaki Ismailiyah (Al Imam Abu Bakr Ahmad bin Ibrahim Al Ismaili Al Hafizh Al Jurjani) menyingkap topeng penganut afiran Atheis (tidak bertuhan) di Ismailiyah. Seorang penganut Atheis menulis surat kepada Wasymakir, ia mengundangnya untuk datang, dan di dalam suratnya ia berkata, "Sesungguhnya aku tidak menerima ajaran Muhammad kecuali dengan satu mukjizat, dan apabila kalian mampu memperlihatkannya maka kami akan kembali kepada ajaran kalian." Begitulah hingga waktu berlalu, lab mereka (penganut Atheis) memilih satu orang utusan yang pandai, cerdik, (kuat) untuk menghadap Wasymakir. Utusan itu berkata, "Sesungguhnya engkau adalah seorang amir, dan sudah menjadi tabiat para amir dan raja-raja mempunyai kekhususan dari orang-orang biasa, dan tidak meniru seorang pun dalam hal akidah, tetapi sudah menjadi hak mereka untuk mencari kebenaran bukti-bukti." Wasymakir lalu berkata, "Aku akan

Terhadap berita ini seluruh ulama pesimis dengan nasib agama mereka, mereka berkata, "Sesungguhnya orang-orang Ismaily kafir akan membungkam orang-orang Ismaily Al Hafizh." Tidak memungkinkan bagi mereka untuk mengatakan kepada raja bahwa ia (Abu Bakr Al Ismaily) tidak mengetahui permasalahan tauhid, karena mereka tidak mau menjadi orang yang tertuduh Mereka pun hanya dapat berserah kepada Allah SWT agar Dia menjaga agama-Nya.

Abu Bakr Al Ismaily Al Hafizh berkata: Tatkala surat sampai kepadaku, aku pun beranjak pergi. Ketika mendekati tempat tujuan, aku berkata, "Inna lillah. "Bagaimana mungkin aku berdebat dalam permasalahan yang tidak aku kuasai?" Apakah aku akan menyumbangkan sesuatu kepada raja dan memperlihatkan din" sebagai orang yang pandai dalam berdebat serta mengerti tentang dalil-dalil Allah dalam membela agamanya? Sungguh aku sangat menyesal karena tidak pernah belajar ilmu kalam. Kemudian tiba-tiba Allah SWT mengingatkanku tentang sebuah perkataan yang pernah kudengar dari dua orang lelaki di sebuah masjid Rayy di sebuah kampung yang indah. Dengan itu jiwaku dan pendirianku menjadi kuat untuk dijadikan pegangan. Ketika aku tiba, sang raja menjumpaiku kemudian pergi menjumpai semua orang, maka hadirlah seluruh orang Ismaily, baik orang Ismaily asli maupun yang hanya bermadzhab Ismaily. Berkatalah raja kepada utusan itu, "Bicaralah! Imam akan mendengarkan pembicaraanmu!" Utusan itu pun berbicara. Ketika ia telah selesai, aku berkata, "Kenapa?" Mendengar perkataan itu, utusan itu Abu Bakr Al Ismaily Al Hafizh berkata: Tatkala surat sampai kepadaku, aku pun beranjak pergi. Ketika mendekati tempat tujuan, aku berkata, "Inna lillah. "Bagaimana mungkin aku berdebat dalam permasalahan yang tidak aku kuasai?" Apakah aku akan menyumbangkan sesuatu kepada raja dan memperlihatkan din" sebagai orang yang pandai dalam berdebat serta mengerti tentang dalil-dalil Allah dalam membela agamanya? Sungguh aku sangat menyesal karena tidak pernah belajar ilmu kalam. Kemudian tiba-tiba Allah SWT mengingatkanku tentang sebuah perkataan yang pernah kudengar dari dua orang lelaki di sebuah masjid Rayy di sebuah kampung yang indah. Dengan itu jiwaku dan pendirianku menjadi kuat untuk dijadikan pegangan. Ketika aku tiba, sang raja menjumpaiku kemudian pergi menjumpai semua orang, maka hadirlah seluruh orang Ismaily, baik orang Ismaily asli maupun yang hanya bermadzhab Ismaily. Berkatalah raja kepada utusan itu, "Bicaralah! Imam akan mendengarkan pembicaraanmu!" Utusan itu pun berbicara. Ketika ia telah selesai, aku berkata, "Kenapa?" Mendengar perkataan itu, utusan itu

Abu Bakr Al Ismaily berkata, "Setelah hari itu aku memerintahkan mereka untuk mempelajari ilmu kalam. Sejak itu aku tahu bahwa ia termasuk salah satu pondasi Islam."

Ibnu Arabi berkata: Ketika aku mendengar cerita itu, aku berkata: Apabila masih ada waktu untuk bemapas, maka saat ini sama seperti kejadian Ismaily. Kemudian aku katakan kepada Abu Al Fath, "Sesungguhnya aku dahulu tidak dianggap apa-apa. Seandainya aku keluar dari Aka sebelum bertemu dengan orang yang alim ini, maka aku pasti akan keluar darinya dengan rasa malu, dan dengan melihat serta tercengang kepada kepandaiannya dalam berbicara dan kepada kedalaman ilmunya, tatkala ia berkata kepadaku, 'Allah yang seperti apa?' Tidak ada orang yang bertanya kecuali orang yang sepertinya. Akan tetapi di sini terdapat satu poin yang mesti kita ambil darinya pada saat ini, mengapa Anda berkata, 'Allah yang mana yang kamu maksud?' Anda menggunakan ungkapan 'ayyu' dan meninggalkan kata-kata yang menunjukkan pertanyaan. Ini adalah pertanyaan kedua dari hikmah yang kedua, bahwa 'ayyu' mempunyai dua makna dalam pertanyaan, makna yang mana yang Anda maksud? Mengapa Anda bertanya dengan kalimat yang mempunyai dua kemungkinan? Mengapa Anda tidak bertanya dengan kalimat yang jelas dan hanya mempunyai satu makna? Apakah Anda mengungkapkan itu karena tidak sengaja dan karena ketidaktahuan? Atau memang ada hikmah di dalamnya? la pun menerangkannya kepada kami.

Tidak lama setelah terbukanya pembicaraan tentang hal ini dan telah meluas, ia jadi berubah, hingga wajahnya menjadi kekuning-kuningan karena rasa malu, sebagaimana wajahnya menghitam pada kali pertama bertemu karena kedengkian. Salah satu dari kawannya lalu bergerak mundur dan menghampiri kawannya yang berada di sampingnya, kemudian berkata kepadanya, 'Sesungguhnya pemuda ini seperti lautan yang meruapkan ilmu, kami tidak pernah bertemu dengan orang seperti dia.' Biasanya mereka Tidak lama setelah terbukanya pembicaraan tentang hal ini dan telah meluas, ia jadi berubah, hingga wajahnya menjadi kekuning-kuningan karena rasa malu, sebagaimana wajahnya menghitam pada kali pertama bertemu karena kedengkian. Salah satu dari kawannya lalu bergerak mundur dan menghampiri kawannya yang berada di sampingnya, kemudian berkata kepadanya, 'Sesungguhnya pemuda ini seperti lautan yang meruapkan ilmu, kami tidak pernah bertemu dengan orang seperti dia.' Biasanya mereka

Ketika aku mendengar ungkapan itu dari para pembesar, aku berkata, "Ini adalah majelis yang agung, perbincangan yang panjang dan memerlukan penjabaran. Akan tetapi akan kita teruskan dan pada lain hari saja." Aku pun berdiri dan keluar, maka mereka semua berdiri bersamaan denganku dan berkata, "Anda harus menetap sebentar lagi!" Aku berkata, "Tidak!" Lalu aku mempercepat langkahku dalam keadaan telanjang kaki, lalu langsung menuju arah pintu dan keluar, hingga aku hampir sampai pada persimpangan jalan. Di sana aku berhenti sejenak untuk memberi kabar gembira bahwa aku masih hidup. Mereka keluar setelahku dan mengeluarkan (laiki) untukku, kemudian aku mengenakannya dan berjalan bersama mereka sambil bercanda-riang. Mereka berjanji kepadaku untuk menghadiri majelis yang lain, tetapi aku tidak pernah memenuhinya, sehingga aku takut kematianku ada pada pemenuhan janjiku.

Ibnu Arabi berkata: Sahabat-sahabatku An-Nashriyah pada masjid Al Aqsha pernah berkata, "Sesungguhnya syaikh kami (Abu Al Fath bin Ibrahim Al Maqdisi) berkumpul dengan pemuka Syiah Al Imamiyah, ia lalu mengadukan permasalahan kepada Abu Al Fath tentang kerusakan masyarakat, dan perkara ini tidak akan kembali membaik kecuali dengan keluarnya Al lmam Al Muntazhar. Nashr berkata, 'Keluamya pada waktu tertentu atau tidak?" Orang syi'ah itu berkata, 'Ya!' Abu Al Fath berkata, 'Waktunya diketahui atau tidak?' Orang syi'ah itu berkata, 'Ya, diketahui!' Nashr berkata, 'Kapan itu terjadi?' Ia berkata, 'Apabila umat telah rusak.' Abu Al Fath berkata, 'Apakah kalian menahannya keluar padahal seluruh umat telah rusak, kecuali kalian? Apabila kalian rusak maka apakah ia akan keluar? Maka bergegaslah menghampirinya, dan lepaskanlah ia dari penjaranya, lalu bergegaslah kembali ke madzhab kami." Maka ia pun terdiam. Aku mengira ia (Ibnu Arabi) mendengar dari syaikhnya (Abu Al Fath Sulaiman bin Ayyub Ar-Razi Az-Zahid).

Selesai apa yang diceritakan oleh Ibnu Arabi dan yang lain dalam permasalahan-permasalahan. Di dalam kitab Al Ghuniyyah terdapat banyak contoh dalam permasalahan tersebut.

2. Kelompok kedua: Bagian ini juga bermacam-macam, yaitu yang belum bisa mengambil

kesimpulan dengan sendirinya, dan ia masih mengikuti yang lain dan para pengambil kesimpulan (mustanbithin). Akan tetapi dalam hai syubhat, mereka mengajak orang lain untuk mengikuti mereka sebagaimana orang yang diikutinya mengajak orang lain, karena pernahaman itu telah mendarah daging pada dirinya, posisinya seperti orang pertama. Walaupun belum sampai kepada derajatnya (yang pertama), tetapi ia telah mencintai madzhabnya dari dasar hatinya sehingga ia terperdaya olehnya dan menjadi pembelanya.

Pengikut kelompok ini tidak pernah meninggalkan dalil walaupun dalil tersebut umum, ia bisa diikutkan pada mereka yang meneliti perkara syubhah walaupun ia dari orang awam, karena pada dasarnya ia memiliki karakter yang mengembalikan semuanya pada dalil.

Ia mengetahui bahwa ia tidak pandai dalam meneliti suatu permasalahan dan ia juga tahu bahwa ia bukan orang yang meneliti permasalah tersebut. Oleh karena itu, orang yang berdalil dengan dalil-dalil yang umum tidak akan sama dengan orang yang berdalil dengan dalil-dalil yang khusus.

Kita akan bedakan antara keduanya dengan contoh:

a. Mengambil secara langsung dan serta merta syubhat yang dilakukan oleh pelaku bid'ah kemudian ia mengikutnya, sehingga apabila ia diminta untuk berlari dari bid'ah atas dasar pengetahuannya, ia akan bersemangat dan berusaha untuk lari darinya atau lebih memilih keluar kepada sesuatu yang tidak masuk akal.

Contohnya: kejadian yang menimpa Hamdan bin Qarmith, yaitu dinisbatkan denhan nama AJ Qaramithah. Dahulu ia menyerukan kepada Aliran Bathiniyah, lalu seruannya disambut oleh sekelompok Contohnya: kejadian yang menimpa Hamdan bin Qarmith, yaitu dinisbatkan denhan nama AJ Qaramithah. Dahulu ia menyerukan kepada Aliran Bathiniyah, lalu seruannya disambut oleh sekelompok

Pada suatu hari ia bertemu seorang da'i (penyeru) aliran Bathiniyah yang sedang berjalan menuju perkampungannya, orang itu menggiring beberapa ekor sapi, maka Hamdan berkata kepadanya (sedangkan ia tak tahu keadaannya), "Sepertinya aku melihatmu berjalan dari tempat yang jauh, kemanakah tujuanmu?" Orang itu lalu menyebutkan sebuah tempat, dan temyata tempat itu adalah desa Hamdan. Hamdan pun berkata, "Naikilah salah satu sapi itu, agar kamu bisa sedikit beristirahat dari letihnya perjalanan."

Tatkala ia melihatnya (Hamdan) condong kepada banyak agama, orang itu masuk dari pintu itu untuk menarik Hamdan, lalu berkata, "Sesungguhnya aku tidak percaya, tapi aku diperintahkan untuk itu." Hamdan kemudian berkata, "Seakan-akan kamu tidak mengerjakan sesuatu kecuali atas perintah!" Ia berkata, "Ya!" Hamdan lalu berkata, "Atas perintah siapa kamu melakukannya?" Ia berkata, "Atas perintah yang memilikiku, memilikimu, serta yang memiliki dunia dan akhirat." Ia (Hamdan) berkata, "Itulah Tuhan semesta Alam!" Ia berkata, "Kamu benar, tapi Allah memberikan kerajaannya kepada orang yang ia kehendaki." Ia berkata, "Lalu apa maksud kedatanganmu ke desa yang kamu tuju?" Ia berkata, "Aku diperintahkan untuk menyeru kepada penduduknya untuk pergi dari kebodohan kepada pengetahuan, dari kesesatan kepada petunjuk, dan dari kesengsaraan menuju kesenangan, serta untuk menolong mereka dari keterpurukan dan kemiskinan. Sesungguhnya aku memiliki jalan keluar bagi mereka untuk pergi dari keletihan dan kepedihan hidup." Hamdan berkata, "Tolonglah aku! Mudah-mudahan Allah akan menolongmu! Siramilah aku dengan ilmu yang dapat menghidupkan —jiwa—ku, sesungguhnya aku sangat memerlukan semua hal yang Anda sebutkan!" Ia berkata, "Sesungguhnya aku tidak diperbolehkan untuk mengungkapkan rahasia yang tersembunyi kepada siapa pun kecuali setelah aku mempercayainya dan mengambil suatu perjanjian dengannya." Ia

(Hamdan) berkata, "Apa perjanjianmu? Sebutkanlah, maka aku akan melaksanakannya!" la berkata, "Kamu harus berjanji pada dirimu, demi Allah, akan menjaga semua rahasiaku dan rahasia Al Imam. Kamu tidak boleh membuka rahasia Al Imam yang aku beritahu kepadamu dan kamu juga tidak boleh menyebarkan rahasiaku."

Setelah itu Hamdan memenuhi dan melaksanakan perjanjiannya, lalu mulailah penyeru itu mengajarkan ilmu-ilmu kebodohannya sehingga ia dapat memperdayai Hamdan. la pun selalu mengikuti semua ajakan penyeru itu, lalu ia mulai berkecimpung dalam dakwah dan menjadi pemuka dari para pemuka bid'ah'. Oleh karena itu, para pengikutnya dinamakan dengan sebutan Al Qaramithah.

b. Lebih berprasangka baik kepada pelaku bid'ah dan ia mengikutinya. Ia tidak mempunyai dalil khusus tentang hal tersebut kecuali prasangka baik terhadap pelaku bid'ah secara khusus. Yang mengikuti bentuk kedua ini kebanyakan berasal dari orang awam.

Contohnya: kisah yang disebutkan dalam firman-Nya, "Apabila dikatakan kepada mereka, 'Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul. 'Mereka menjawab, 'Cukuplah bagi kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya '." (Qs. Al Maa’dah [5]: 104) dan "Berkata Ibrahim, 'Apakah berhala- berhala itu mendengar (doa)mu sewaktu kalian berdoa (kepada- Nya)... atau (dapatkah) mereka memberi manfaat kepadamu atau memberi mudharat? 'Mereka menjawab, '(Bukan karena itu)sebenarnya kami mendapati nenek moyang kami berbuat demikian'. "(Qs. Asy-Syu'araa" [26]: 72-74)

Al Mas'udi menceritakan: Suatu ketika di perkampungan yang ada di Mesir ada seorang lelaki Nasrani dari daerah Qibthy yang menampakkan agamanya. Orang itu terkenal dengan keilmuannya dan kearifannya. Kabar itu pun sampai ke telinga Ahmad bin Thalun (penguasa Mesir saat itu), maka ia memerintahkan untuk menghadirkannya. Ia lalu mengajukan permohonan kepada orang itu Al Mas'udi menceritakan: Suatu ketika di perkampungan yang ada di Mesir ada seorang lelaki Nasrani dari daerah Qibthy yang menampakkan agamanya. Orang itu terkenal dengan keilmuannya dan kearifannya. Kabar itu pun sampai ke telinga Ahmad bin Thalun (penguasa Mesir saat itu), maka ia memerintahkan untuk menghadirkannya. Ia lalu mengajukan permohonan kepada orang itu

Kemudian mereka menanyakan hal itu, ia pun berkata, "Dalilku akan kebenarannya (agama Nasrani) yaitu bahwa keberadaanku di sana {sha'idj bertentangan dengan yang lain, bertolak belakang dengan yang bin, dan ditentang oleh akal dan dijauhi oleh jiwa-jiwa (manusia) karena keanehannya. Berlawanannya dengan agama lain, tidak ada pandangan yang dapat menguatkannya, tidak ada alasan yang membenarkannya, dan tidak ada bukti yang menguatkannya, baik dari akal maupun dari perasaan seorang pengkaji yang mengkajinya. Akan tetapi walau demikian aku melihat banyak umat dan raja-raja agung yang mempunyai pengetahuan yang luas, tunduk kepadanya (agama Nasrani) dan memeluk ajarannya —walaupun ada ketimpangan dan pertentangan dengan akal—. Aku jadi aku mengerti bahwa mereka tunduk kepada ajarannya dan memeluk agamanya karena bukti-bukti yang telah mereka lihat dan tanda-tanda serta mukjizat yang telah mereka ketahui, yang mewajibkan mereka untuk tunduk kepadanya dan memeluknya."

Dengan pemyataannya tersebut, bertanyalah seseorang kepadanya, "Apakah segi agamamu yang bertentangan dan dan bertolak belakang itu? Apakah hal itu akan diketahui atau dimengerti tujuannya? Diantaranya adalah; perkataan mereka bahwa tiga itu satu dan satu itu tiga. Serta penyifatan mereka terhadap seorang manusia dan ruh kudus serta Dia (Tuhan) adalah Trinitas. Apakah pada diri (manusia)nya terdapat kemampuan atau pengetahuan? Juga dalam hal pernahaman mereka tentang bersatunya Tuhan mereka Yang Qadim (tidak ada yang mendahului) dengan manusia atau seorang hamba yang Muhdits (yang baru tercipta). Juga dengan yang terjadi pada kelahirannya, penyalibannya, dan pembunuhannya, apakah ada penghinaan yang lebih besar dan keji dari seorang Tuhan yang disalibkan dan diludahi Dengan pemyataannya tersebut, bertanyalah seseorang kepadanya, "Apakah segi agamamu yang bertentangan dan dan bertolak belakang itu? Apakah hal itu akan diketahui atau dimengerti tujuannya? Diantaranya adalah; perkataan mereka bahwa tiga itu satu dan satu itu tiga. Serta penyifatan mereka terhadap seorang manusia dan ruh kudus serta Dia (Tuhan) adalah Trinitas. Apakah pada diri (manusia)nya terdapat kemampuan atau pengetahuan? Juga dalam hal pernahaman mereka tentang bersatunya Tuhan mereka Yang Qadim (tidak ada yang mendahului) dengan manusia atau seorang hamba yang Muhdits (yang baru tercipta). Juga dengan yang terjadi pada kelahirannya, penyalibannya, dan pembunuhannya, apakah ada penghinaan yang lebih besar dan keji dari seorang Tuhan yang disalibkan dan diludahi

Mereka tidak mendebatnya, meski banyaknya masalah yang bertentangan dan bertolak belakang dalam agamanya.

Bukti yang dapat diambil dari cerita tersebut adalah bertumpunya secara total terhadap para sesepuh dan orang-orang tua tanpa disertai bukti dan dalil.

3.Kdompokketiga: Pada bagian ini juga ada bermacam-macam, mereka yang ber-taqlid

kepada orang lain dengan landasan kaidah Al ashlu bara 'ah minadz-dzirnmah, yaitu yang mengatakan bahwa pada asalnya hukum segala sesuatu itu boleh, selama tidak ada dalil yang melarangnya. Hal ini tidak luput dari dua kemungkinan:

Pertama, di sana terdapat orang lain yang lebih patut untuk ditiru atau diikuti daripada dia. Hal ini disebabkan penyebutan orang itu hanya dibesar- besarkan di kalangan masyarakat luas dalam hal agamanya, baik di kalangan awam maupun orang alim. Juga disebabkan oleh pengagungan mereka terhadap orang itu yang melebihi pengagungan mereka terhadap orang lain.

Kedua, di sana tidak ada orang yang lebih patut untuk ditiru kecuali ia, tetapi ia tidak mendapatkan pengagungan yang besar dari masyarakat luas setinggi apa yang mereka lakukan terhadap orang lain (yang ditiru). Apabila ada orang yang mendapat posisi yang demikian akan tetapi mereka meninggalkan orang yang pantas untuk diikuti, lalu mengikuti orang lain, maka orang ini berdosa apabila tidak kembali kepada orang yang pantas untuk diikuti, terlebih lagi bila ia meninggalkannya (orang yang pantas) dan membiarkan dirinya pada posisi yang merugi (mengikuti orang yang tidak pantas). Alasan apa pun atas perbuatannya itu, maka tetap tidak bisa diterima, karena ia telah mengikuti orang yang tidak mengerti agama, maka ia dihukumi Kedua, di sana tidak ada orang yang lebih patut untuk ditiru kecuali ia, tetapi ia tidak mendapatkan pengagungan yang besar dari masyarakat luas setinggi apa yang mereka lakukan terhadap orang lain (yang ditiru). Apabila ada orang yang mendapat posisi yang demikian akan tetapi mereka meninggalkan orang yang pantas untuk diikuti, lalu mengikuti orang lain, maka orang ini berdosa apabila tidak kembali kepada orang yang pantas untuk diikuti, terlebih lagi bila ia meninggalkannya (orang yang pantas) dan membiarkan dirinya pada posisi yang merugi (mengikuti orang yang tidak pantas). Alasan apa pun atas perbuatannya itu, maka tetap tidak bisa diterima, karena ia telah mengikuti orang yang tidak mengerti agama, maka ia dihukumi

Inilah kondisi saat Rasulullah SAW diutus kepada mereka dan mereka meninggalkan ajaran agama mereka yang benar, tetapi mereka lagi kembali kepada kesalahan yang sama seperti yang dialami oleh orang-orang tua mereka, dan tidak melihat dengan sebenar-benarnya (karena hawa nafsu telah menutupi akal sehat mereka), sehingga mereka tidak bisa membedakan antara dua jalan yang berbeda. Demikian juga orang yang memiliki kondisi semacam ini.

Jarang sekali Anda temukan sifat orang yang termasuk dalam golongan ini, kecuali ia membela (memberikan argumen) atas perbuatannya dan mempertahankannya, hanya karena ia meniru dan mengikuti sesuatu yang ia anggap benar.

Diriwayatkan oleh Al Baghwi dari Abu Ath-Thufail Al Kinani bahwa pada zaman Rasulullah SAW (dikabarkan bahwa) seseorang telah dikaruniai seorang anak laki-laki, lalu orang itu membawa anaknya kepada Rasulullah SAW, maka beliau mendoakan anak tersebut agar menjadi anak yang —selalu mendapatkan— berkah. Rasulullah kemudian memegang kening anak tersebut, lalu dari kening anak tersebut tumbuhlah rambut yang menyerupai jambul kuda.

Ia berkata lagi, "Ketika anak tersebut beranjak dewasa, tatkala pada zaman Khawarij, anak tersebut menjadi pengikut aliran Khawarij, temyata jambul yang ada di kening menjadi rontok. Bapaknya lalu mengambilnya (anak itu) dan mengurungnya karena takut anaknya ditemui oleh seseorang sehingga ia dihukum."

Ia melanjutkan, "Kami pun menemuinya dan menasihatinya, kami berkata, 'Tidakkah kamu melihat berkah Nabi SAW telah hilang?' Ia berkata, 'Kami masih terus menasihatinya sehingga ia kembali dari pendapat mereka (golongan Khawarij).' Tatkala anak tersebut telah bertobat, Allah SWT mengembalikan rambutnya (keningnya ditumbuhi rambut kembali)."

Apabila tidak ada pendukung bagi orang yang diikuti ini karena ia Apabila tidak ada pendukung bagi orang yang diikuti ini karena ia

Masalah yang sama dengan hal ini adalah masalah Ahlul Fatarat 14 yang mengerjakan ibadah dengan mengikuti bapak-bapak mereka dan

ketidaktahuan orang-orang pada zamannya tentang cara beribadah kepada Allah SWT, karena para ulama mengatakan tentang hukum mereka. Mereka terbagi atas dua kelompok, yaitu:

Pertama, kelompok yang tidak mendapatkan ajaran syariat dan tidak mengetahui cara mendekatkan diri kepada Allah SWT, maka ia tidak mengerjakan sesuatu yang menurutnya belum tentu dapat mendekatkan dirinya kepada Allah, sehingga ia mengerjakan sesuatu yang dikerjakan oleh orang-orang pada zamannya yang tidak memiliki sandaran kecuali hal-hal yang mereka anggap baik, dan hal tersebut tidak membuatnya takut untuk tidak memilih jalan orang-orang pada zamannya. Orang seperti ini adalah orang yang benar-benar termasuk dalam keumuman ayat Al Qur" an dalam firman Allah SWT, "Dan Kami tidak akan mengadzab sebe/um Kami mengutus seorang rasul." (Qs. Al Israa' [17]: 15).

Kedua, kelompok yang berada dalam kebimbangan terhadap sesuatu yang dikerjakan oleh orang-orang pada zamannya dalam peribadahan terhadap selain Allah. Juga dalam kebimbangan antara penghalalan dengan pengharaman sesuatu yang menggunakan akal pikiran, akan tetapi ia menyetujui mereka dalam keyakinan mereka yang salah. Dalam hal ini ulama mengategorikan mereka sebagai orang yang tidak mendapat udzur dan mempunyai andil dalam berbuat dosa, karena menyetujui dan mengikuti or- ang-orang pada zamannya. Dalam pekerjaan ia juga membela dan mempertahankan ajaran tersebut. Oleh karena itu, mereka dianggap sebagai ahlinya (baca; pengikutnya), begitu pula dengan pembahasan yang sedang

14 Yaitu orang-orang yang hidup di antara pengutusan dua nabi, sedangkan mereka tidak

merasakan keduanya.

kita bicarakan, karena keduanya tidak memiliki perbedaan antara keduanya.

Sebagian ulama ada yang mengartikan ungkapan (dalam ayat Al Qur’an) secara mutlak dan berkata, "Bagaimanapun keadaan seseorang, ia tidak akan diadzab kecuali setelah pengutusan seorang rasul dan mereka tidak diterima kecuali setelah pengutusan." Apabila hal ini bisa dianggap sebagai suatu perkataan, maka timpalannya dalam masalah kita adalah adanya seorang alim yang lebih mengetahui (dalam urusan agama) daripada orang yang telah diikuti dan mampu menerangkan serta membedakan antara Sunnah dengan bid'ah. Apabila seorang muqallid mengembalikan permasalahan agamanya kepadanya (orang yang lebih alim) dan tidak bersikeras berpegang kepada yang pertama, berarti ia telah menjalankan sebuah kehati-hatian yang merupakan sikap dari orang-orang yang memiliki akal sehat dan mendambakan keselamatan. Akan tetapi apabila ia bersikeras berpegang kepada yang pertama, maka jelaslah kekerasan hatinya, karena meski keadaan telah jelas di hadapannya, namun ia tidak rela dengan hal tersebut. Ketidakrelaannya itu dikarenakan hawa nafsu yang ada dalam dirinya dan rasa fanatik yang selalu mengikutinya, sebagaimana seekor anjing yang selalu mengikuti tuannya. Apabila demikian adanya, maka ia tidak akan bisa mempertahankan madzhab tuannya dan akan mengangkat dalil dengan sekuat tenaga untuk sesuatu yang ia pertahankan, dan hukumnya telah dikemukakan di depan.

Anda telah melihat seseorang yang membawa syariat, yaitu Rasulullah SAW, yang diutus kepada para pelaku bid'ah dan pengikut hawa nafsu yang bersandar kepada bapak-bapak dan pembesar-pembesar mereka dalam urusan agama. Mereka mereka menolak syariat yang dibawa oleh Rasulullah, karena godaan hawa nafsu telah menutupi hati mereka, sehingga samar bagi mereka antara mukjizat dengan hal-hal lainnya. Anda melihat bagaimana syariat yang dibawa beliau SAW menjadi suatu hujjah (alasan) atas mereka secara mutlak dan umum, sehingga setiap orang yang meninggal dunia dari mereka semua digiring ke neraka tanpa pembedaan antara pembangkang secara terang-terangan dengan yang tidak. Pengutusan beliau SAW berarti datangnya suatu hujjah kepada mereka, karena telah datang bukti-bukti yang Anda telah melihat seseorang yang membawa syariat, yaitu Rasulullah SAW, yang diutus kepada para pelaku bid'ah dan pengikut hawa nafsu yang bersandar kepada bapak-bapak dan pembesar-pembesar mereka dalam urusan agama. Mereka mereka menolak syariat yang dibawa oleh Rasulullah, karena godaan hawa nafsu telah menutupi hati mereka, sehingga samar bagi mereka antara mukjizat dengan hal-hal lainnya. Anda melihat bagaimana syariat yang dibawa beliau SAW menjadi suatu hujjah (alasan) atas mereka secara mutlak dan umum, sehingga setiap orang yang meninggal dunia dari mereka semua digiring ke neraka tanpa pembedaan antara pembangkang secara terang-terangan dengan yang tidak. Pengutusan beliau SAW berarti datangnya suatu hujjah kepada mereka, karena telah datang bukti-bukti yang