Bersandarnya Orang-Orang yang Condong kepada Kesesatan pada Hadits-Hadits yang Meragukan,

A. Bersandarnya Orang-Orang yang Condong kepada Kesesatan pada Hadits-Hadits yang Meragukan,

Lemah, serta Dusta terhadap Rasulullah SAW Ada hadits yang di dalamnya terdapat kedustaan tidak diterima oleh

para pembuat hadits dalam berdalil. Contohnya: memakai celak mata pada hari Asyura', menghormati ayam jantan yang berbulu putih, dan memakan terong dengan niat khusus. Sesungguhnya Nabi SAW bergetar dan menggigil tatkala mendengarnya hingga serbannya jatuh dari kedua pundaknya. Sesungguhnya orang yang meriwayatkan hadits-hadits seperti ini — sebagaimana telah diketahui— bodoh dan salah dalam meriwayatkan ilmu, dan ia sama sekali tidak meriwayatkannya dari orang yang biasa meriwayatkan dengan cara-cara keilmuan dan perbuatan.

Sebagian ulama memakai hadits hasan (hadits yang memiliki syarat- syarat hadits shahih, namun tingkat periwayat dinilai kurang dhabit) agar dapat setara dengan hadits shahih menurut para ahli hadits, karena sanadnya secara mufakat tidak seorang pun yang mencelanya dengan anggapan terdapat cacat padanya. Begitu pula orang-orang yang menggunakan hadits mursal (hadits yang diriwayatkan oleh seorang tabi'in yang berasal dari Nabi SAW), agar dapat dijadikan hadits shahih, dengan alasan bahwa hadits yang ditinggalkan seperti hadits yang disebutkan dan hadits yang benar. Sedangkan selain dari perkara tersebut maka para ulama hadits tidak memakainya sama sekali.

Kalau dari sisi pemeluk agama Islam ketika menjelaskan (?) perkara ini dengan pengambilan dari hadits-hadits yang datang dari setiap orang yang meriwayatkannya tidaklah karena berkedudukannya mereka terhadap Jarah wa ta’dil (sisi kecacatan dan keadilan) secara makna, padahal mereka telah sepakat tentang perkara tersebut dan tidak pula tentang pencarian sanad demi mendapatkan pengertian tertentu. Oleh sebab itu, mereka menjadikan sanad sebagai ketentuan agama dan tidak hanya bertujuan telah diriwayatkan kepada saya oleh Fulan dari si Fulan, akan tetapi mereka menginginkan hal tersebut karena mencakup pengetahuan tentang orang-orang yang Kalau dari sisi pemeluk agama Islam ketika menjelaskan (?) perkara ini dengan pengambilan dari hadits-hadits yang datang dari setiap orang yang meriwayatkannya tidaklah karena berkedudukannya mereka terhadap Jarah wa ta’dil (sisi kecacatan dan keadilan) secara makna, padahal mereka telah sepakat tentang perkara tersebut dan tidak pula tentang pencarian sanad demi mendapatkan pengertian tertentu. Oleh sebab itu, mereka menjadikan sanad sebagai ketentuan agama dan tidak hanya bertujuan telah diriwayatkan kepada saya oleh Fulan dari si Fulan, akan tetapi mereka menginginkan hal tersebut karena mencakup pengetahuan tentang orang-orang yang

Sedangkan hadits-hadits dha’if tidak dapat dipastikan bahwa Nabi SAW telah mengatakannya, maka hukum tidak dapat disandarkan padanya. Lalu, bagaimana menurutmu tentang hadits-hadits yang jelas terdapat kebohongan?

Ya, sesungguhnya orang-orang yang selalu bersandar pada hadits yang terdapat unsur kebohongan adalah orang yang mendahulukan hawa nafsu. Namun, semua ini jika dianggap tidak menyelisihi hadits yang menjadi dasar- dasar syariat. Apabila ia menyelisihinya maka sudah seharusnya tidak dijadikan dalil, sebab ia menjadi penghancur salah satu dasar dari dasar-dasar syariat. Telah disepakati pula pelarangannya, meski secara tersurat terlihat benar dan hal itu sebagai dalil adanya keraguan atau kesalahan atau kelupaan dari sebagian para perawi. Bagaimana penilaiannya jika tidak benar?

Diriwayatkan dari Ahmad bin Hanbal, ia berkata, "Hadits dha’if lebih baik daripada qiyas." Perkataannya yang tersurat mengindikasikan bahwa menjalankan perintah hadits dha'if tidak dibenarkan, sebab ia telah mendahulukannya atas qiyas yang dapat dijadikan dalil perbuatan atasnya menurut jumhur ulama, bahkan ia adalah hasil mufakat para salafush-shalih RA. Jadi, pemyataannya tersebut menandakan bahwa ia telah menjadikan derajat hadits dha’if lebih tinggi daripada derajat qiyas.

Jawaban dari pernyataan ("Hadits dha'if lebih baik daripada qiyas"): Sesungguhnya pernyataan tersebut adalah pendapat seorang mujtahid dan ijtihadnya pasti bisa salah atau benar, sebab ia tidak mempunyai dalil yang dapat membantah hal tersebut. Jika diterima pendapatnya, maka mungkin dapat dipahami dari arti yang menyelisihi perkataannya yang tersurat, sebab Jawaban dari pernyataan ("Hadits dha'if lebih baik daripada qiyas"): Sesungguhnya pernyataan tersebut adalah pendapat seorang mujtahid dan ijtihadnya pasti bisa salah atau benar, sebab ia tidak mempunyai dalil yang dapat membantah hal tersebut. Jika diterima pendapatnya, maka mungkin dapat dipahami dari arti yang menyelisihi perkataannya yang tersurat, sebab

Mungkin, maksud perkataannya "lebih baik daripada qiyas" adalah jika hal itu dijadikan dalil, sehingga seakan-akan ia menolak qiyas dan membuat pemyataan yang menolak orang yang menjadikannya sebagai dasar hukum, sehingga dengannya ia menentang hadits-hadits. Oleh karena itu, Imam Ahmad rahimahullah lebih cenderung untuk tidak memakai qiyas. Imam Ahmad berkata, "Kita terus mencela orang yang menggunakan pendapat akal (Ahlul-Ra’yi) dan mereka mencela kita hingga datang imam Syafi'i yang menyelesaikan pertentangan di antara kita." Atau yang ia maksudkan adalah qiyas yang rusak, yang tidak mempunyai dasar dari Al Qur' an, As-Sunnah, serta ijma', sehingga ia lebih mengutamakan hadits dhaif, meski hadits tersebut tidak dipakai. Lagipula, bila perkataan Imam Ahmad itu dapat dipahami sesuai kehendaknya, maka tidak dibenarkan untuk bersandar atasnya dengan adanya penentangan terhadap pendapat para Imam RA.

Apabila dikatakan: Semua ini hanya sebagai pernyataan penolakan atas imam-imam yang selalu menggunakan dalil-dalil dari hadits-hadits yang tidak shahih. Mereka —sebagaimana dalam pernyataan— mengharuskan sanad-nya shahih. Mereka juga telah membuat pernyataan bahwa hadits- hadits tentang targhib wa tarhib (anjuran dan ancaman) periwayatannya tidak harus bersandar pada sanad yang shahih. Namun jika ada maka hal itu lebih baik. Jika tidak ada, maka tetap dibolehkan untuk meriwayatkan dan menggunakannya sebagai dalil. Sesungguhnya para imam telah mengerjakannya, seperti: Malik di dalam kitab Al Muwaththa, Ibnu Mubarak di dalam kitab Ar-Raqa 'iq, Ahmad bin Hanbal di dalam kitab Ar-Raqa 'iq, dan Sufyan dalam kitab Jami'AlKhair.

Semua bentuk periwayatan di sini berkenaan dengan perkara targhib wa tarhib, dan jika bersandar pada hadits yang diperbolehkan maka diperbolehkan pula hal tersebut pada perkara yang sepertinya, yang kembali Semua bentuk periwayatan di sini berkenaan dengan perkara targhib wa tarhib, dan jika bersandar pada hadits yang diperbolehkan maka diperbolehkan pula hal tersebut pada perkara yang sepertinya, yang kembali

Jika telah jelas permasalahan ini, maka semua hadits yang —telah diriwayatkan tentang keutamaannya— ada di dalam hadits-hadits adalah bagian dari perkara targhib dan tidak disyaratkan padanya persaksian ahli hadits tentang ke-shahih-an sanad-nya, berbeda dengan hukum.

Dengan demikian pemyataan seperti ini adalah pengambilan dalil dengan cara orang-orang yang mendalam ilmunya bukan dengan cara orang-orang yang condong kepada kesesatan. Mereka telah memisahkan antara hadits-hadits hukum yang disyaratkan ke-shahih-an sanadnya dengan hadits-hadits targib wa tarhib (kabar gembira dan peringatan) yang tidak mereka syaratkan ke-shahih-an sanadnya.

Maka jawabannya: Apa yang telah disebutkan oleh ahli hadits tentang perkara mempermudah penggunaan hadits-hadits targhib wa tarhib tidak sejalan dengan permasalahan kita yang sesungguhnya. Karena, perbuatan yang sedang dibicarakan hukumnya, baik telah ditentukan nashnya yang masih asli secara global dan terperinci, atau belum ditentukan secara global dan terperinci, maupun telah ditentukan nashnya secara global dan tidak terperinci.

1. Tidak terdapat keraguan tentang ke-shahih-annya, seperti shalat fardhu dan shalat sunah yang mempunyai sebab tertentu dan yang lain. Juga seperti puasa fardhu atau puasa sunah yang telah diketahui sebab 1. Tidak terdapat keraguan tentang ke-shahih-annya, seperti shalat fardhu dan shalat sunah yang mempunyai sebab tertentu dan yang lain. Juga seperti puasa fardhu atau puasa sunah yang telah diketahui sebab

2. Jelas bahwa perkara tersebut tidak dibenarkan dan ia adalah pokok- pokok bid'ah yang sesungguhnya. Karena, ia merupakan pendapat akal yang dibangun atas dasar hawa nafsu.

Ia adalah sebenar-benar perkara bid'ah dan bid'ah yang paling buruk. Contoh: sifat ke-rahib-an yang jauh dari ajaran Islam, beribadah dengan berjemur diri di bawah terik matahari, dan berdiam diri serta tidak berbicara dengan seorang pun. Anjuran untuk mendapatkan pahala dengan perbuatan seperti ini tidaklah benar, karena hal itu tidak ada dalam syariat dan tidak ada dasar-dasar hukum yang menganjurkan atau memberikan ancaman terhadap orang-orang yang menyelisihi perbuatan tersebut.

3. Mungkin ia mengira perkara ini seperti perkara yang pertama dari sisi ketentuan dasar hukum; sama bahwa apabila telah ditetapkan ketentuan dasar hukum suatu ibadah secara global, maka dengan mudah meriwayatkan perincian-perinciannya dari jalur yang tidak disyaratkan ke-shahih-an dalil-dalilnya. Sesungguhnya mengerjakan shalat sunah 3. Mungkin ia mengira perkara ini seperti perkara yang pertama dari sisi ketentuan dasar hukum; sama bahwa apabila telah ditetapkan ketentuan dasar hukum suatu ibadah secara global, maka dengan mudah meriwayatkan perincian-perinciannya dari jalur yang tidak disyaratkan ke-shahih-an dalil-dalilnya. Sesungguhnya mengerjakan shalat sunah

Namun, yang telah disebutkan dalam pertanyaan tersebut sama sekali tidak mengandung perkara ini, sebab tidak ada hubungan antara ditetapkannya shalat sunah siang hari dengan malam hari secara mutlak, dan antara shalat pertengahan bulan Sya'ban sekian rakaat dengan sekian rakaat. Membaca pada setiap rakaat dengan surah anu secara khusus dengan jumlah sekian dan sekian kali pengulangannya. Juga yang semisalnya yaitu puasa pada hari anu dari bulan anu sehingga kebiasaan tersebut menjadi tujuan khusus, padahal perkara tersebut sama sekali tidak ada dalam syariat secara mutlak untuk mengerjakan perkara sunah yang berkaitan dengan shalat dan puasa.

Dalil dari pernyataan tersebut yaitu, pengkhususan hari dari hari-hari yang lain atau masa dari masa-masa yang lain dengan ibadah tertentu mencakup hukum syariat secara khusus, sebagaimana telah ditetapkan hukum berpuasa pada bulan Asyura', atau puasa Arafah atau bulan Sya'ban, sebagai nilai tambah mengerjakan puasa sunah yang lain secara mutlak. Telah ditetapkan kelebihan-kelebihannya dari puasa hari-hari yang lain secara Dalil dari pernyataan tersebut yaitu, pengkhususan hari dari hari-hari yang lain atau masa dari masa-masa yang lain dengan ibadah tertentu mencakup hukum syariat secara khusus, sebagaimana telah ditetapkan hukum berpuasa pada bulan Asyura', atau puasa Arafah atau bulan Sya'ban, sebagai nilai tambah mengerjakan puasa sunah yang lain secara mutlak. Telah ditetapkan kelebihan-kelebihannya dari puasa hari-hari yang lain secara

Oleh karena itu, targhib yang khusus ini menunjukkan tingkatan pahala hanya pada bentuk perkara mandub yang khusus dan mengharuskan pengembalian ketetapan hukumnya kepada hadits-hadits yang shahih atas dasar perkataan mereka, "Sesungguhnya hukum tidak dapat dipastikan kebenarannya kecuali dari jalur-jalur hadits shahih." Bid'ah yang bersandar pada dalil-dalil yang tidak shahih pasti terdapat penambahan atas perkara- perkara yang telah disyariatkan, seperti penentuannya dengan waktu atau jumlah atau cara-cara pelaksanaan tertentu. Hal itu menjadikan suatu kepastian bahwa hukum-hukum pada penambahan tersebut ditetapkan tanpa dalil-dalil yang shahih, dan ia menyelisihi dasar-dasar yang telah ditetapkan oleh para ulama.

Tidaklah dikatakan, "Sesungguhnya mereka hanya menghendaki hukum-hukum tentang perkara yang wajib atau haram." Maka selayaknya kita menjawab, "Ini adalah penilaian hukum tanpa dalil, namun menyangkut semua pembagian hukum yang lima, maka seperti halnya tidak ditetapkannya hukum perkara wajib kecuali dengan dalil yang shahih. Jika hukumnya telah ditetapkan, maka lebih mudah untuk menetapkan hukumnya berdasarkan hadits-hadits targhib wa tarhib, bukan atas ketentuan diri sendiri. Pada akhirnya, jika semua perkara yang menyangkut targhib telah ditetapkan hukum dan tingkatan pahalanya sesuai dengan yang disyariatkan dari jalur dalil yang shahih, maka anjuran mengerjakannya tanpa dalil yang shahih akan dimaklumi. Namun, jika hukumnya ditetapkan dengan dalil-dalil targhib, Tidaklah dikatakan, "Sesungguhnya mereka hanya menghendaki hukum-hukum tentang perkara yang wajib atau haram." Maka selayaknya kita menjawab, "Ini adalah penilaian hukum tanpa dalil, namun menyangkut semua pembagian hukum yang lima, maka seperti halnya tidak ditetapkannya hukum perkara wajib kecuali dengan dalil yang shahih. Jika hukumnya telah ditetapkan, maka lebih mudah untuk menetapkan hukumnya berdasarkan hadits-hadits targhib wa tarhib, bukan atas ketentuan diri sendiri. Pada akhirnya, jika semua perkara yang menyangkut targhib telah ditetapkan hukum dan tingkatan pahalanya sesuai dengan yang disyariatkan dari jalur dalil yang shahih, maka anjuran mengerjakannya tanpa dalil yang shahih akan dimaklumi. Namun, jika hukumnya ditetapkan dengan dalil-dalil targhib,

Telah terjerumus ke dalam kesalahan sekelompok orang yang menisbatkan dirinya kepada ilmu fikih dan mengkhususkan dirinya atas or- ang awam dengan pengakuan sebagai tingkatan orang yang khawash. Namun, dasar dari kesalahan tersebut adalah ketidakpahamannya terhadap perkataan ulama hadits pada kedua bagian tersebut. Wallahu a 'lam.