Tingkatan Dosa Pelaku Bid'ah

C. Tingkatan Dosa Pelaku Bid'ah

1. Dari segi pelakunya; orang yang berijtihad atau orang yang bertaqlid (mengikuti). 2. Dari segi terjadinya bid'ah; dalam perkara yang wajib atau selinnya. 3. Dari segi perbuatannya; terang-terangan atau sembunyi-sembunyi.

4. Dari segi menyeru kepadanya atau tidak. 5. Dari segi status; pelakunya keluar dari kelompok Ahlus-Sunah atau tidak. 6. Dari segi kategori bid'ah; bid'ah hakikiyah atau idhafiyah. 7. Dari segi pengambilan dalil; dalil yang jelas atau dalil yang samar. 8. Dari segi tingkat perbuatan; terus-menerus atau tidak. 9. Dari segi akibat; mengakibatkan kekufuran atau tidak. Serta segi-segi lainnya.

Pengertian ini, meski masih dianggap kurang memadai bagi seorang pakar ilmu ushul, namun tetap ada peringatan yang sesuai dengan kadar perbuatan pelaku bid'ah dengan bentuk kata global, dan perkara itulah yang terpenting pada pembahasan ini.

1. Dari segi pelakunya; orang yang berijtihad atau orang yang bertaqlid (mengikuti) adalah sesuatu yang sudah sangat jelas. Sebab, condong terhadap kesesatan yang terdapat dalam hati seorang peneliti ayat-ayat yang mutasyabihatbaxya untuk mencari-cari penakwilannya, lebih merasuk ke dalam hati orang yang ber-taqlid, meski orang tersebut juga mengaku meneliti perkara tersebut. Karena, orang yang ber-taqlid dalam hal penelitian pasti bersandar pada pendapat orang yang diikutinya, dan pada sebagian dasar yang digunakan adalah perbuatan bid'ah. Atau seseorang yang ber- feqift/menyandarkan semuanya pada dirinya sendiri, ia mengambil hal-hal yang bagiannya belum tersentuh oleh orang lain, kecuali ia membuat suatu pendapat untuk dirinya sendiri, maka pada saat itu ia tidak disebut orang yang ber-taqlid, namun ia termasuk pembuat dosa yang pertama, kemudian semua dosa ditimpakan atasnya karena ia orang pertama yang membuat sunah yang buruk itu. Dengan demikian, ia akan mendapat dosa dari perbuatannya dan perbuatan orang yang mengikutinya. Sedangkan orang yang kedua, yaitu orang yang ber-taqlid, maka sebagian dosanya 1. Dari segi pelakunya; orang yang berijtihad atau orang yang bertaqlid (mengikuti) adalah sesuatu yang sudah sangat jelas. Sebab, condong terhadap kesesatan yang terdapat dalam hati seorang peneliti ayat-ayat yang mutasyabihatbaxya untuk mencari-cari penakwilannya, lebih merasuk ke dalam hati orang yang ber-taqlid, meski orang tersebut juga mengaku meneliti perkara tersebut. Karena, orang yang ber-taqlid dalam hal penelitian pasti bersandar pada pendapat orang yang diikutinya, dan pada sebagian dasar yang digunakan adalah perbuatan bid'ah. Atau seseorang yang ber- feqift/menyandarkan semuanya pada dirinya sendiri, ia mengambil hal-hal yang bagiannya belum tersentuh oleh orang lain, kecuali ia membuat suatu pendapat untuk dirinya sendiri, maka pada saat itu ia tidak disebut orang yang ber-taqlid, namun ia termasuk pembuat dosa yang pertama, kemudian semua dosa ditimpakan atasnya karena ia orang pertama yang membuat sunah yang buruk itu. Dengan demikian, ia akan mendapat dosa dari perbuatannya dan perbuatan orang yang mengikutinya. Sedangkan orang yang kedua, yaitu orang yang ber-taqlid, maka sebagian dosanya

Bagaimanapun juga, dosa orang yang pertama berbuat bid'ah, pasti lebih besar, sementara orang yang mengikutinya pasti lebih ringan, karena meskipun dirinya berpendapat dan menyelisihi kebenaran serta berdalil dengan akalnya, namun dirinya hanya memiliki dalil yang global (bukan dalil yang terperinci). Adapun perbedaan antara kedua perkara tersebut, sangatlah jelas, karena dalil-dalil yang terperinci itu lebih kuat untuk digunakan sebagai dalil —terhadap pokok-pokok perkara— daripada dalil-dalil yang global.

Jadi, besarnya dosa yang diberikan sesuai dengan dalil yang dikemukakan.

2. Dari segi terjadinya bid'ah; dalam perkara yang wajib atau selainnya. Penjelasannya akan diterangkan dalam pembahasan tentang hukum- hukum bid'ah.

3. Dari segi perbuatan; sembunyi-sembunyi atau terang-terangan dalam melakukannya. Dosa pelaku yang mengerjakannya secara sembunyi- sembunyi hanya terbatas untuk dirinya dan tidak meluas kepada orang lain. Akan tetapi tetap saja perbuatan bid'ah telah diperbuat, baik dalam ukuran besar, kecil, maupun sedang. Hukumnya seperti hukum asalnya. Jika dikerjakan secara terang-terangan — meski tidak mengajak orang lain— maka keterus-terangannya dalam perbuatan bid'ah menjadi perantara untuk diikuti orang lain. Hal ini akan dijelaskan, insyaallah.

Jadi, dosa akan ditimpakan kepada orang yang membuat bid'ah dan orang yang mengikutinya, dan dosa dalam perkara tersebut sangatlah besar.

Contoh-contohnya adalah tentang asal usul shalat malam pertengahan bulan Sya'ban (yang diceritakan oleh Ath-Tharthusi) dari Abu Muhammad Al Maqdisi, ia berkata, "Sesungguhnya shalat anjuran yang dilakukan pada bulan Rajab dan bulan Sya'ban tidak pernah ada Contoh-contohnya adalah tentang asal usul shalat malam pertengahan bulan Sya'ban (yang diceritakan oleh Ath-Tharthusi) dari Abu Muhammad Al Maqdisi, ia berkata, "Sesungguhnya shalat anjuran yang dilakukan pada bulan Rajab dan bulan Sya'ban tidak pernah ada

4. Dari segi menyeru kepadanya atau tidak. Terkadang, seseorang yang menawarkan bid'ahnya agar diikuti, temyata tidak diikuti oleh orang lain. Manusia memang berbeda-beda kesiapan unsur-unsur yang terdapat di dalam diri mereka agar dapat diikuti, ada yang kurang terkenal, atau tidak terkenal sehingga seruannya tidak diikuti. Hal itu dikarenakan adanya orang yang lebih terkenal dan lebih mulia kedudukannya di sisi manusia daripada dua contoh orang tersebut.

Adapun seorang penyeru, jika ia menyerukan kepada perbuatan bid'ah, maka potensi untuk diikuti lebih kuat dan lebih terkesan. Apalagi jika ia pintar berorasi dan berargumentasi, pasti dapat menyentuh perasaan ketika menyampaikan sesuatu yang sesat. Bualannya pun menjadi sesuatu yang menyakinkan dan tambahan-tambahannya lebih bisa merasuk ke dalam hati. Seperti Al Ma'bad Al Juhani yang menyeru manusia kepada pendapatnya tentang perkara takdir, dengan kepandaian lidahnya, ia bisa menisbatkan pendapatnya kepada Al Hasan Al Bashri.

Diriwayatkan dari Sufyan bin Uyainah, bahwa Amr bin Ubaid pernah ditanya tentang permasalahan takdir, ia lalu menjawab, "Ini dari pendapat Al Hasan." Seseorang kemudian berkata kepadanya, "Sesungguhnya orang-orang telah meriwayatkan hal yang berbeda dengan pendapat dari Al Hasan." Ia menjawab, "Saya katakan kepada kamu, 'Ini adalah dari pendapat saya al hasan (yang baik)'." Yang dinginkan adalah pendapat dari dirinya.

Muhammad bin Abdullah Al Anshari berkata, "Sesungguhnya bila Amr bin Ubaid ditanya tentang sesuatu, ia menjawab, 'Ini dari perkataan Al Hasan.' Jawaban itu seakan-akan perkataan Al Hasan bin Abu Al Hasan, namun sebenamya adalah perkataannya sendiri."

5. Dari segi status pelakunya; keluar dari kelompok Ahlus-Sunnah atau tidak. Pelaku bid'ah yang tidak keluar dari Ahlus-Sunnah tidak menambah kerusakan lain yang menyebabkan dosa, tetapi jika keluar dari Ahlus-Sunnah maka ia telah semakin membangkang terhadap para imam —perbuatan ini menyebabkan pelakunya harus dihukum mati—, membuat kerusakan di atas muka bumi, menebarkan fitnah, dan menimbulkan peperangan hingga menimbulkan permusuhan serta kebencian di antara kelompok- kelompok tersebut. Baginya dosa yang sangat besar dan tak terhingga.

Contohnya adalah kisah tentang kelompok Khawarij (yang telah disifati oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya),

"Mereka membunuh para pemeluk agama Islam dan membiarkan para penyembah berhala. Mereka keluar dari agama sebagaimana keluarnya anak panah dari busurnya."

Terkadang mereka tidak sampai keluar dari batasan tersebut, namun hanya menyeru kepadanya, tapi seruan itu mengarah pada keharusan Terkadang mereka tidak sampai keluar dari batasan tersebut, namun hanya menyeru kepadanya, tapi seruan itu mengarah pada keharusan

Seperti halnya yang dialami oleh seorang ulama pengikut Imam Malik di Andalus —termasuk daerah kekuasaan Al Mahdi—, mereka merobek-robek kitab-kitab ajaran Imam Malik dan menyebutnya sebagai pendapat akal, serta menyiksa sebagian besar orang-orang mulia hanya karena mereka menganut madzhab Imam Malik dalam perkara syariat.

Mereka menganut faham Zhahiriyyah tulen yang menurut para ulama paham tersebut adalah bid'ah yang muncul pada tahun 200 H. Sungguh sangat disayangkan! Seandainya saja mereka mengikuti madzhab Daud dan para sahabatnya. Mereka justru menentangnya hingga melampaui batas dan membuat pemahaman agama dari pendapat akal mereka serta membuat madzhab bagi manusia, yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan syariat, lalu memerintahkan mereka untuk menganutnya dengan pemaksaan dan ancaman sehingga tersebarlah kekeliruan di tengah-tengah manusia.

Paham tersebut dapat bertahan lama, namun kemudian berangsur- angsur punah hingga tersisa sedikit darinya sampai sekarang.

Mudah-mudahan tersedia waktu yang lapang agar kita dapat menyebutkan beberapa paham aliran tersebut, yang tersisa di tengah- tengah penulisan kitab ini, insyaallah.

Hal tersebut dosanya sangat besar dari sekadar seruan biasa, bila ditinjau dari dua hal berikut ini:

a. Menakut-nakuti dan mengancam atas nama Islam dan

pembunuhan.

b. Banyaknya orang yang mengikuti seruan tersebut, sebab peringatan dan ancaman tentang kehidupan akhirat sudah tidak lagi berpengaruh pada jiwa kebanyakan manusia, bcrbeda dengan ancaman dunia. Oleh sebab itu, disyariatkan Al Hudud(batasan hukum Allah) dan siksaan-siksaan yang disebutkan dalam syariat. Sesungguhnya Allah tidak akan menggoncangkan kepemimpinan sdama ia tidak menggoncangkan Al Qur" an. Seorang pelaku bid'ah, jika merasa seruannya yang dilakukan dengan mengancam tidak membuahkan hasil maka ia pasti berusaha menjilat para penguasa (agar penguasa tersebut menekan masyarakat) supaya seruannya lebih mudah untuk diterima.

6. Dari segi kategori bid'ah; bid'ah hakikiyah atau bid'ah idhafiyah. Bid'ah hakikiyah lebih besar dosanya, sebab bid'ah hakikiyah mengingkari Sunnah secara langsung tanpa perantara, dan juga karena ia adalah pengingkaran yang murni dan keluar dari Sunnah secara terang-terangan. Seperti: pernyataan tentang takdir, penilaian baik dan buruk, pernyataan terhadap pengingkaran hadits ahad, pengingkaran terhadap ijma' ulama, pengingkaran terhadap pengharaman khamer, serta pengukuhan terhadap seseorang sebagai imam yang maksum.

Jika dikatakan sebagai bid'ah idhafiyyah, maka arti dari kalimat idhafiyah yaitu bahwa perbuatan bid'ah tersebut pada satu sisi ada di dalam syariat, sedangkan dari sisi lain murni dari pendapat akal (telah dimasukkan tambahan pada posisi tertentu dari segi pendapat akal dengan tidak menghapuskan dalil-dalilnya dari semua segi).

Meskipun bid'ah idhafiyyah sejalan dengan bid'ah hakikiyah, namun perbedaan antara keduanya sangat jelas, seperti yang akan diterangkan selanjutnya, insyaallah.

Oleh karena perbedaan tersebut, maka berbeda pula dosanya, misalnya:

a. Menyediakan mushaf Al Qur’an dimasjid untuk dibaca setiap selesai shalat Subuh.

Malik berkata, "Pertama kali yang menyediakan mushaf adalah Al Hajjaj bin Yusuf, ia ingin menjadi orang yang pertama mengatur pembacaan Al Qur’an setelah shalat Subuh di masjid."

Ibnu Rusyd berkata, "Seperti yang dilakukan di daerah kami sampai saat ini."

Semua ini adalah perkara yang baru —yang saya maksud adalah mewajibkannya di masjid— sebab membaca Al Qur’an di masjid secara keseluruhannya memang telah disyariatkan dan ditetapkan, tetapi pengkhususan masjid untuk membaca Al Qur’an dari segi pengaturan tersebut adalah hal yang baru.

b. Menyediakan mushaf untuk dibaca pada hari Jum'at—dan

bertujuan seperti pada poin a— pada zaman sekarang.

7. Dari segi pengambilan dalil; dalil yang jelas atau dalil yang samar. Jika dalil yang jelas (sharih) digunakan di dalam bid'ah, maka pasti mengarah pada penentangan terhadap syariat. Namun jika menggunakan dalil yang samar, maka tidak akan mengarah pada penentangan syariat, ada kemungkinan hal tersebut tidak termasuk bid'ah. Menggunakan dalil yang samar lebih ringan dosanya daripada menggunakan dalil yang jelas (sharih).

Oleh karena itu, ulama menjadikan perkara meninggalkan dalil- dalil yang mutasyabihat secara keseluruhan sebagai Sunnah. Dalam hadits juga telah diperingatkan untuk meninggalkan perkara

yang mutasyabihat agar tidak terjatuh dalam perkara yang haram, menjadi perlindung baginya. Karena terjatuh ke dalam perkara yang mutasyabihat berarti terjatuh ke dalam perkara yang haram, dan meninggalkan perkataan yang haram bukan termasuk perkara sunnah namun wajib hukumnya. Begitu juga dengan mengerjakan perbuatan yang meragukan dalam bid'ah, perbedaan antara keduanya sangat jelas.

Apabila kita berkata, "Sesungguhnya meninggalkan perkara yang mutasyabihat masuk dalam perkara Sunnah, sedangkan Apabila kita berkata, "Sesungguhnya meninggalkan perkara yang mutasyabihat masuk dalam perkara Sunnah, sedangkan

Dalam hal tersebut, tidak terdapat perbedaan antara dosa kecil dengan dosa besar pada penyebutannya sebagai perbuatan dosa, maka jika terdapat perbedaan pada keduanya, berarti dari sisi yang lain. Berbeda dengan perbuatan makruh dengan dosa kecil dan kebiasaan bid'ah —meski perbuatan bid'ah itu makruh— yang terus-menerus dikerjakan dan ditampakkan oleh pengikut mereka di tempat-tempat perkumpulan dan di masjid-masjid, acap kali hal tersebut dikerjakan sesuai hukum aslinya —makruh— atau disertakan dengan sesuatu yang menyebabkan munculnya dosa karena terus-menerus mengerjakan, mempelajari, menyebarkan, fanatik terhadapnya, dan sebagainya. Dalam hal itu pasti tetap terdapat bid'ah -sesuai kejadiannya- yang makruh yang tidak melampaui batas hukum makruh tersebut. Wallahu 'alam.

8. Dari segi tingkat perbuatan; terus-menerus atau tidak. Hal itu disebabkan dosa kecil dapat menjadi dosa besar apabila dikerjakan secara terus-menerus. Begitu pula bid'ah yang kecil akan dapat menjadi besar karena terus-menerus dikerjakan. Apabila bid'ah tersebut merupakan kesalahan, maka lebih hina lagi jika dikerjakan dengan terus-menerus, dan termasuk dalam kategori ini jika pelaku bid'ah meremehkannya dan menganggap mudah perkaranya, sebab yang demikian itu seperti meremehkan dosa. Sedangkan orang-orang yang menganggap remeh sesuatu dosanya lebih besar daripada selainnya.

9. Dari segi akibat; mengakibatkan kekufuran atau tidak. Sebab sesuatu 9. Dari segi akibat; mengakibatkan kekufuran atau tidak. Sebab sesuatu