Al Istihsan Al istihsan juga ada hubungannya dengan ahli bid'ah. Al istihsan tidak

B. Al Istihsan Al istihsan juga ada hubungannya dengan ahli bid'ah. Al istihsan tidak

mungkin tanpa adanya mustahsin (yang menilai baik), sedagkan mustahsin tidak lepas dari akal atau syariat.

Adapun syariat sebagai mustahsin, tidak perlu lagi membahas baik dan buruk menurut syariat, sebab inilah yang dikehendaki oleh banyak dalil, bahkan tidak perlu kita namai istihsan untuk penilaian baik dari syariat. Kita juga tidak memerlukan pembahasan tambahan dalam masalah ini, cukuplah Al Qur;an, Sunnah, dan ijma atau yang timbul darinya seperti qiyas dan istkdlal.

Jadi, kita tinggal membahas akal sebagai mustahsin. Jika berdasarkan dalil maka tidak perlu kita namai al istihsan, sebab

kembalinya kepada dalil juga. Jika tanpa dalil, maka itulah bid'ah yang dianggap baik. Hal ini diperkuat oleh orang yang mengatakan bahwa alistihsan adalah sesuatu yang dianggap baik oleh mujtahid dengan akalnya atau pendapatnya.

Mereka mengatakan: Menurut mereka ini termasuk jenis yang dianggap baik pengembaliannya dan menjadi kecenderungan tabi'at. Jadi, dibolehkan untuk memutuskan hukum sesuai yang dikandung olehnya, jika di dalam syariat tidak ada sesuatu yang menafikan perkataan ini. Sesuatu dari ibadah yang tidak ada dalilnya disebut sebagai bid'ah. Jika demikian berarti harus terbagi menjadi baik (hasan) dan buruk, sebab tidak semua istihsan benar.

Di samping itu, ada takwil yang kedua menurut ahli ushul untuk masalah alistihsan ini, yaitu: yang dimaksudkan adalah dalil yang mencela diri mujtahid, yang tidak bisa diungkapkan dan tidak mampu dinampakkan.

Takwil ini, dengan pengertian seperti itu, maka istihsan akan membantunya karena jauhnya, sebab ia menjauhkan jalan adat kebiasaan. Seseorang biasanya membuat bid'ah tanpa ada syubhat dalil yang menunjukkan kecacatannya. Bahkan setiap bid'ah pada umumnya —untuk pelakunya— harus mempunyai keterkaitan dengan dalil syar'i. Namun terkadang memungkinkan baginya untuk dinampakkan, dan mungkin juga tidak bisa ditampakkan —inilah yang lebih sering—, maka inilah yang mereka jadikan hujjah.

Barangkali akan mencela makna dengan dalil-dalil yang digunakan argumentasi oleh ahli takwil dahulu, mereka membawakan tiga dalil:

Dalil pertama: Firman Allah SWT, "Dan ikutilah sebaik-baik apa yang

telah diturunkan kepadamu dam Tuhanmu. "(Qs. Az-Zumar [39]: 55)

"Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik. "(Qs. Az-

Zumar [23]: 23)

"Sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku. Yang mendengarkan perkataan Jalu mengikuti apa yang terbaik diantaranya. "(Qs. Az-Zumar [391:17-18)

Dalil kedua: Sabda Nabi SAW,

"Apa yang dilihat oleh kaum muslim sebagai sesuatu yang baik, maka hal itu baik di sisi Allah."

Maksudnya adalah yang mereka lihat dengan akal mereka. Jika yang ia nilai baik berdasarkan dalil syar'i, maka kebaikan tersebut bukan seperti yang mereka lihat, sebab tidak ada tempat untuk akal dalam pensyariatan. Oleh karena itu, tidak ada gunanya membicarakannya. Bila demikian, maka yang dimaksud adalah yang mereka lihat dengan pendapat mereka.

Dalil ketiga: Umat ini telah menganggap baik masuk ke kamar mandi tanpa memperkirakan bayaran atau lama waktunya atau jumlah air yang dipakainya. Tidak ada sebab dalam masalah itu selain bahwa dalam permasalahan seperti itu dianggap buruk dalam adat kebiasaan, sehingga manusia menganggap baik untuk meninggalkannya. Padahal kita yakin bahwa bila sewa yang majhul (tidak tertentu) atau waktu sewanya atau kadar yang dibeli, tidak diketahui, maka itu terlarang. Namun menyewakan (toilet umum) dalam hal ini dianggap baik meskipun menyelisihi dalil. Oleh karena itu, selama al istihsan tidak menyelisihi dalil, maka ia lebih berhak untuk diperbolehkan.

Lihatlah, ini juga ketergelinciran kaki orang yang akan membuat bid'ah. Ia boleh saja berkata, "Kalau aku sudah ber-istihsan untuk masalah ini dan itu, maka dikalangan ulama selain aku pasti sudah ada yang melakukannya."

Jika demikian kondisinya, maka nampaknya kita juga harus menekuni hal ini, agar tidak ada orang bodoh yang teperdaya atau mengaku sebagai alim. Billaahit-tautiiq.