Tanathu (Sikap Berlebih-lebihan dan Melampaui
J. Tanathu (Sikap Berlebih-lebihan dan Melampaui
Batas dalam Beragama) Kandungan pembahasan terdahulu menetapkan bahwa kesulitan dalam
agama itu tidak ada, baik secara global (umum) maupun terperinci (khusus) —walaupun dalam masalah ini telah ditetapkan di dalam ushul fikih dalam bentuk yang lebih mendalam— dan kita harus membangun pemikiran kita atas dasar ini.
Telah dipahami dari salafush-shalih dan orang yang menekuni ibadah kepada Allah dari orang-orang yang telah ditetapkan kewaliannya, bahwa mereka bersikap keras terhadap diri mereka sendiri dan mewajibkan orang lain untuk bersikap demikian serta melazimkan kesulitan karena menggeluti jalan menuju akhirat, lantaran menganggap orang yang tidak melazimkan hal-hal yang mereka lazimkan adalah orang yang lalai, terkutuk, dan diharamkan. Mungkin mereka memahami hal itu dari beberapa ungkapan syariat, maka mereka membenarkan hal yang mereka lazimkan, hingga perkara itu menggiring mereka keluar dari Sunnah menuju perbuatan bid'ah hakikiyyah atau bid'ah idhafiyyah.
Termasuk kategori tersebut adalah seorang mukallaf yang mempunyai dua jalan untuk menuju akhirat (salah satunya mudah dan yang satunya lagi sulit) dan keduanya memiliki batasan-batasan tertentu. Jadi, orang-orang yang keras dalam menjalankan agama memilih jalan tersulit, yang juga akan menyulitkan mukallaf. Mereka meninggalkan jalan yang termudah karena sikap keras mereka terhadap diri sendiri.
Orang dengan kategori tersebut sama seperti orang yang mendapatkan dua air untuk bersuci; panas dan dingin, lalu ia lebih memilih air dingin (yang justru akan menyulitkannya) dan meninggalkan air yang panas. Orang jenis ini seperti orang yang tidak memberikan hak pada jiwa (seperti yang dituntut oleh syariat) dan menentang dalil yang tidak membolehkan penyulitan diri sendiri, sehingga Sang Pemberi syariat tidak ridha dengan pensyariatan yang demikian itu. Allah SWT berfirman, "Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. " (Qs. An-Nisaa' [4]: 29). Jika demikian halnya maka ia menjadi orang yang mengikuti hawa nafsunya dan tidak ada alasan baginya untuk berdalil dengan sabda Rasulullah SAW,
"Maukah kamu aku tunjukkan hal-hal yang dengannya Allah hapuskan "Maukah kamu aku tunjukkan hal-hal yang dengannya Allah hapuskan
Hadits tersebut mengisyaratkan kepada kita untuk menyempurnakan wudhu saat diri membencinya, karena itu menjadi sebab dihapuskannya dosa dan diangkatnya derajat. Jadi, di dalamnya terdapat dalil bahwa manusia harus berusaha mendapat ganjaran tersebut dengan memaksa jiwa, karena ganjaran itu dapat diperoleh jika telah melakukan hal tersebut. Oleh karena itu, kami katakan bahwa dalam hadits tidak ada dalil untuk perkataanmu, karena di dalamnya hanya terdapat dalil untuk meratakan wudhu saat ada kebencian. Namun di dalamnya terdapat perkara tambahan, seperti seorang laki-laki yang hanya mendapat air dingin pada musim dingin, tetapi kondisi itu tidak mencegahnya untuk menyempurnakan wudhu.
Sedangkan makna dari kebencian jiwa tidaklah seperti yang Anda maknai, sebab pada dalil-dalil yang telah disebutkan justru menunjukkan anjuran untuk menghilangkan kebencian itu dari seorang hamba. Seandainya hadits itu bermakna seperti yang Anda maksud, maka dalil-dalil yang menyerukan untuk menghilangkan kesulitan akan bertentangan dengan dalil qath'i, sedangkan khabar wahid (khabar perorangan) adalah dalil zhanni, sehingga tidak ada pertentangan di antara keduanya karena adanya kesepakatan untuk mengedepankan yang qath’i dan yang serupa dengan hadits itu adalah firman Allah SWT, " Yang demikian itu ialah karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan..." (Qs. At- Taubah [9]: 120)
Yang termasuk tanathu (sikap berlebih-lebihan dan melampaui batas dalam beragama) antara lain:
1. Mencukupkan makanan yang paling kasar dan paling buruk untuk dikonsumsi hanya karena sikap keras terhadap diri dan bukan karena tujuan lain, karena syariat tidak bermaksud menyiksa diri dengan pembebanan. Hal itu juga bertentangan dengan sabda Rasulullah SAW,
"Sesungguhnya bagijiwamu mempunya hak atasmu." Nabi SAW memakan makanan yang baik jika ia
mendapatkannya, menyukai manisan dan madu, suka dengan daging bagian paha, dan menikmati air. Lalu manakah sikap keras dari perilaku beliau ini?
Penggunaan yang dibolehkan tidak termasuk dalam firman-Nya, "Kamu telah menghabiskan rezekimu yang baik dalam kehidupan duniawimu (saja). "(Qs. Al Ahqaaf [46]: 20). Karena yang dimaksud dalam ayat itu adalah bersikap israf (berlebih-Iebihan) yang keluar dari batasan yang dibolehkan dengan dalil yang lalu.
Jadi, hanya mencukupkan diri dengan makanan yang tidak baik tanpa udzur merupakan sikap tanatthu' (sikap berlebih- lebihan dan melampaui batas dalam beragama), seperti yang
dibahas dalam firman-Nya, u Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengharamkan apa-apa yang baik yang telah
Allah halalkan bagimu." (Qs. AlMaaMdah [5]: 87)
2. Memakai pakaian yang kasar tanpa ada kepentingan. Hal ini juga termasuk sikap keras terhadap diri dan sikap tanatthu' yang tercela. Sebab, di dalamnya terkandung pula tujuan mencari kemasyhuran.
Diriwayatkan dari Rabi' bin Zayyad Al Haritsi, bahwa ia pernah berkata kepada Ali bin Abu Thalib RA, "Pergilah denganku kepada saudaraku Ashim." Ia bertanya, "Ada apa dengannya?" Ia menjawab, "Ia memakai jubah untuk tujuan ibadah." Ali RA lalu berkata, "Biar aku yang mengurusnya." Ia pun datang dengannya sambil memakai jubah dan mengenakan pakaian lainnya, sedangkan rambut dan jenggotnya tidak beraturan. Ali pun bermuka masam di hadapannya, seraya berkata, "Celaka kamu! Apa kamu tidak malu kepada keluargamu? Apakah kamu tidak kasihan pada anakmu? Tidakkah kamu melihat Allah membolehkan kamu yang baik-baik dan Dia membenci kamu mendapatkan sedikit darinya? Bahkan kamu lebih remeh bagi Allah dari hal itu. Tidakkah kamu mendengar firman-Nya,
"Dan Allah telah meratakan bumi untuk makhluk(Nya)... dari keduanya keluar mutiara dan marjan." (Qs. Ar-Rahmaan [55]: 10-22) Tidakkah kamu melihat Allah SWT telah membolehkan hal-hal ini untuk hamba-Nya hanya agar mereka memanfaatkannya dan memuji Allah atas nikmat tersebut agar Dia menetapkan keimanan padanya? Sesungguhnya memanfaatkan nikmat-nikmat Allah dengan perbuatan, lebih baik daripada dengan perkataan." Ashim berkata, "Bagaimana dengan kerasnya makanan dan pakaianmu?" la berkata, "Cetaka kamu! Sesungguhnya Allah mewajibkan kepada pemimpin-pemimpin kebenaran untuk mengukur diri mereka dengan orang-orang lemah."
Coba perhatikan! Mengapa Allah tidak menuntut hamba-hamba- Nya untuk meninggalkan hal-hal yang lezat, namun justru hanya menuntut mereka untuk mensyukurinya apabila mereka mendapatkannya? Oleh karena itu, orang yang memilih jalan untuk mencegah dirinya dari hal-hal yang dibolehkan Allah tanpa alasan syar'i, telah terpisah dari ajaran Allah dan semua yang datang dari orang-orang terdahulu tentang pencegahan mereka dari beberapa makanan (atau pakaian) dari sisi ini. Mereka mencegah diri dari hal tersebut, dengan alasan yang dibolehkan syariat, seperti menolak bersenang-senang karena sempitnya keadaaan yang dialami, atau karena takut terjerumus kepada hal yang makruh atau dilarang, atau terdapat keraguan (pada sesuatu yang dimakan atau dipakai) yang hanya diketahui oleh orang yang meninggalkannya sedangkan orang lain tidak mengetahuinya. Masalah-masalah tentang keadaan tersebut tidak menentang dalil-dalil hanya karena masalah yang telah dialami. Masalah ini telah disebutkan sebagaimana mestinya dalam kitab AJ Muwafaqat
3. Mencukupkan diri dengan perbuatan dan keadaan yang bertentangan dengan kecintaan jiwa dalam segala hal tanpa terkecuali. Tidakkah kamu lihat bahwa Allah membolehkan banyak hal yang dapat memenuhi kesukaan jiwa, kesenangan, dan kelezatannya? Seandainya menentangnya merupakan kebajikan, maka manusia pasti disyariatkan 3. Mencukupkan diri dengan perbuatan dan keadaan yang bertentangan dengan kecintaan jiwa dalam segala hal tanpa terkecuali. Tidakkah kamu lihat bahwa Allah membolehkan banyak hal yang dapat memenuhi kesukaan jiwa, kesenangan, dan kelezatannya? Seandainya menentangnya merupakan kebajikan, maka manusia pasti disyariatkan
Di samping itu, dalam perkara-perkara yang dimakan (dipakai), baik dalam bentuk pelazimanan maupun dalam bentuk anjuran, Allah SWT telah meletakkan banyak hal dari yang dicari kelezatannya, yang mendorong untuk memakan (atau memakai) perkara-perkara tersebut, agar kelezatan-kelezatan itu bagaikan pendorong untuk mengerjakan perkara-perkara tersebut, sebagaimana menjadikan ganjaran sebagai sesuatu yang ditunggu-tunggu dalam perintah-perintah apabila dilaksanakan dan dalam larangan-larangan apabila dijauhi. Dia menjadikan di dalam perintah-perintah —apabila ditinggalkan— dan di dalam larangan-larangan —apabila dikerjakan— ganjaran yang berbeda dengan yang pertama (hukuman), agar semua itu membangkitkan kemauan para mukallaf untuk menaatinya. Dia meletakkan untuk orang-orang yang akan menuntut balas untuk mengadakan perjanjian damai sehingga ia akan diberi balasan yang berharga secara langsung dari bermacam-macam kelezatan dan cahaya-cahaya yang melapangkan dada, yang sedikit pun tidak sebanding dengan kelezatan dunia. Hal ini menjadi sebab untuk mendapatkan kelezatan taat dan kembali kepadanya, dan lebih mengutamakannya dari yang lain. Jika demikian maka pelaku akan merasa ringan untuk melaksanakannya, sehingga ia mampu memikul beban yang sebelumnya tidak mampu dipikulnya kecuali dengan kesulitan yang dilarang; jika kesulitan yang ada tidak dapat dilaksanakan, maka larangan tersebut tidak berfungsi baginya.
Bahkan coba perhatikan! Bagaimana Allah memberikan berbagai kelezatan yang berbeda-beda untuk makanan dan minuman, juga pada air mani yang dijatuhkan ditempatnya, menjadi sebab mendapatkan anak, dan sesuatu yang lebih lezat daripada makanan dan minuman, serta yang lain dari perkara-perkara yang diluar jangkauan jiwa, seperti sikap menerima ketika kita dilahirkan di suatu belahan bumi, atau lebih maju dari seluruh manusia dalam perkara-perkara besar, atau melahirkan kelezatan-kelezatan yang akan meremehkan kelezatan-kelezatan duniawi.
Jika demikian, maka di mana tempat yang mulia ini dari Tuhan Yang Maha Lembut lagi Maha Mengetahui? Siapa yang menyembah dengan mendatangkan hal yang bertentangan dengan yang telah diatur Allah untuknya dari sikap lemah lembut dan mempermudah, serta sebab-sebab yang mengantarkan kepada kecintaan-Nya, lalu ia mengambil yang lebih berat dan lebih susah, kemudian menjadikannya sebagai tangga yang dianggap mampu mengantarkannya dan dianggap pula sebagai jalan khusus? Sikap itu hanyalah tindakan yang sangat bodoh dan berputar-putar dalam lembah kesesatan!
Semoga Allah menjadikan segala sesuatu bermanfaat bagi kita berkat karunia-Nya. Apabila Anda mendengar hikayah yang hanya memberlakukan sikap keras terhadap jalan ini, atau Anda melihat sikap tanatthu', baik pelakunya adalah orang-orang yang dianggap seperti salafush-shalih maupun orang yang tidak dikenal karena perbuatannya tidak dikenal pula oleh para ulama. Jika ada orang yang seperti golongan pertama, maka ia mesti berbeda dengan yang nampak pertama kali —sebagaimana yang dijelaskan— dan jika seperti golongan kedua maka tidak ada hujjah di dalamnya, karena hujjah hanya ada pada orang yang mengikuti Rasulullah SAW.
K. Saddudz-Dzari'ah Terkadang asal hukum suatu amal itu disyariatkan, namun berubah
menjadi seperti bid'ah karena termasuk masalah saddudz-dzarii'ah (tidak memberi jalan untuk hal-hal yang ada keburukannya). Namun dalam pembahasan kali ini kita tidak hanya berbicara dalam bentuk yang baru. Penjelasannya bahwa suatu amal itu dianjurkan —misalnya— maka pelakunya mengerjakannya khusus untuk dirinya menurut hukum pertamanya, yaitu dianjurkan. Jika pelakunya hanya terbatas pada kadar ini maka hal itu bukan suatu, dan hukumnya pun tidak berubah. Apabila ia melakukannya secara terus-menerus khusus untuk dirinya tanpa harus menampakkannya, bahkan apabila ia menampakkannya, namun tidak menampakkannya dalam bentuk pelaziman dari sunah-sunah rawatib dan amalan wajib yang lazim —misalnya—, maka ini benar tanpa ada masalah.
Hukum asal dari amalan tersebut berbentuk anjuran untuk menyembunyikan amalan sunah yang dikerjakan di dalam rumah, sesuai sabda beliau,
"Sebaik-baik shalat adalah shalatmu dirumah-rumahrnu, kecuali shalat- shalat wajib."
Dalam hadits itu, penampakannya dibatasi pada shalat wajib walaupun hal itu di Masjid Nabawi atau di Maspdil Haram, atau di Masjid Baitul Maqdis, sehingga mereka berkata, "Sesungguhnya shalat sunah di rumah lebih utama daripada di salah satu masjid yang tiga, sesuai dengan zhahir hadits ini." Shalat sunah yang hukumnya seperti shalat wajib dalam penampakkannya antara lain: shalat Idul Fitri dan Idul Adha, Khusyuf, dan Istisqa. Selain shalat-shalat tersebut hukumnya masih tetap disembunyikan.
Dari sinilah para salafushshalih terus menyembunyikan amalan- amalan yang mampu mereka kerjakan atau ringan bagi mereka, karena hadits dan mengikuti perbuatan Rasukillah SAW, sebab beliau adalah qudwah dan uswah.
Walaupun demikian, dalam hal dibawah ini belum ada ketentuannya; apabila beliau selalu mengerjakannya di rumah, apakah beliau juga mendirikannya secara berjamaah di masjid-masjid, selain Ramadhan —sebagaimana pembahasan lalu—, atau hanya dikerjakan di rumah? Hal itu terjadi pada zaman pertama masa kenabian seperti shalat malam yang dilakukan oleh Ibnu Abbas bersama Nabi SAW ketika menginap di rumah bibinya (Maimunah) dan sesuatu yang telah ditetapkan dari sabda Rasulullah SAW,
"Bangunlah, maka aku akan shalat untuk (mengimami)mu." Juga riwayat yang disebutkan di dalam kitab AlMuwaththa 'tentang
shalat Yarfa' —pembantu Umar RA— bersama Umar bin Khaththab pada shalat Yarfa' —pembantu Umar RA— bersama Umar bin Khaththab pada
Alasan adalah bahwa unsur bid'ah dalam ibadah ini adalah bahwa setiap shalat sunah yang selalu dikerjakan oleh Rasulullah SAW dan beliau menampakkannya dalam bentuk jamaah, maka itu adalah sunah; dan mengerjakan shalat sunah yang bukan sunah dengan cara pelaksanaan yang sunah, berarti mengeluarkan hukum sunah dari shalat-shalat itu secara syara'. Kemudian hal itu menjadi keyakinan bagi orang awam dan orang yang tidak memiliki ilmu bahwa yang demikian itu adalah perbuatan sunah. Tentu saja ini adalah kerusakan besar, karena telah meyakini sunnah terhadap sesuatu yang bukan sunah, sehingga melaksanakannya dalam bentuk pelaksanaan yang dianggap sunah adalah perbuatan mengganti syariat. Sebagaimana jika seseorang meyakini sesuatu yang wajib pada itu tidak wajib, atau sesuatu yang tidak wajib namun hal itu dianggap wajib, kemudian mengerjakannya sesuai dengan keyakinan, maka itulah kerusakan.
Berapa banyak amal perbuatan yang pada asalnya benar, namun kemudian ia dikeluarkan dari lininya dengan keyakinan dan pengamalan Berapa banyak amal perbuatan yang pada asalnya benar, namun kemudian ia dikeluarkan dari lininya dengan keyakinan dan pengamalan
Karena yang demikian itu kebanyakan mereka melarang untuk mengikuti atsar. Sebagaimana diriwayatkan oleh Ath-Thahawi, Ibnu Waddhah, dan yang lain dari Ma'rur bin Suweid Al Asadi, ia berkata: Aku pernah menunaikan haji bersama Amirul mukminin Umar bin Khaththab RA. Ketika kami kembali ke Madinah, aku ikut kembali bersamanya. Ketika ia melakukan shalat Subuh, ia membaca, 'Alain taraa kaifa fa 'ala rabbuka...' dan 'liiilaafi Quraisy.... 'Kemudian ia melihat manusia pergi ke suatu tempat, maka ia bertanya, 'Mengapa mereka pergi?' Lalu dijawab, 'Mereka datang ke masjid, di sinilah tempat Rasulullah SAW shalat.' Ia lalu berkata, 'Orang- orang sebelum kamu binasa hanya karena ini, mengikuti bekas-bekas peninggalan nabi-nabi mereka, lalu mereka menjadikannya gereja-gereja dan biara-biara. Orang yang ketepatan shalat pada bagian masjid tempat dimana Rasulullah SAW shalat, maka shalatlah di bagian itu, dan jika tidak, maka janganlah kamu menyengajanya'."
Ibnu Waddhah berkata: Aku mendengar Isa bin Yunus; Mufti Thursun, berkata, "Umar bin Khaththab RA memerintahkan untuk memotong pohon yang dulu di bawahnya Rasulullah SAW dibai'at, karena manusia selalu pergi ke sana dan shalat di bawahnya. Ia takut terjadi fitnah pada mereka."
Ibnu Waddhah berkata, "Malik bin Anas dan yang lain dari ulama Madinah benci untuk mendatangi masjid-masjid itu dan peninggalan- peninggalan jejak Nabi SAW selain masjid Quba."
Ia juga berkata, "Aku mendengar mereka menyebutkan bahwa Sufyan masuk ke masjid Baitul Maqdis, lalu shalat di dalamnya dan tidak mengikuti jejak-jejak tersebut. Begitu pula orang-orang yang mengikutinya, ia tidak melakukan demikian. Waki' juga datang ke masjid Baitul Maqdis, dan ia tidak menyalahkan perbuatan Sufyan."
Ibnu Waddhah berkata, "Hendaklah kamu mengikuti imam-imam yang terkenal. Telah berkata sebagian pendahulu kita, 'Berapa banyak perkara yang hari ini baik menurut banyak orang tapi merupakan kemungkaran menurut orang terdahulu'."
Imam Malik membenci semua bid'ah, walaupun dalam kebaikan. Semua ini merupakan cara agar yang tidak Sunnah tidak dijadikan
Sunnah atau yang tidak baik dianggap sebagai syariat. Imam Malik benci datang ke Baitul Maqdis, ke kuburan para syuhada,
serta ke masjid Quba, karena khawatir perbuatan itu dianggap Sunnah, walaupun di dalam atsar terdapat anjuran untuk melakukannya.
Akan tetapi karena ulama mengkhawatirkan akibat buruk dari perbuatannya, maka mereka meninggalkannya.
Ibnu Kinanah dan Asyhab berkata, "Kami mendengar Imam Malik berkata ketika Sa'ad bin Abu Waqqas mendatanginya, 'Aku ingin kakiku hancur agar aku tidak mengerjakarmya’."
Ibnu Kinanah ditanya tentang peninggalan-peninggalan yang mereka tinggalkan di Madinah, ia lalu berkata, "Peninggalan yang paling tepat menurut kami adalah Quba." Namun Imam Malik benci mendatanginya karena takut dijadikan sebagai sunah.
Sa'id bin Hassan berkata, "Aku belajar hadits kepada Ibnu Nafi', ketika aku melewati hadits yang memberi keluasan pada malam Asyura, ia bertanya kepadaku, "Kenapa begitu wahai Abu Muhammad?" Ia menjawab, "Karena takut dijadikan sunah."
Ini adalah perkara yang dibolehkan atau dianjurkan tapi mereka benci untuk mengerjakannya karena takut perkara itu adalah bagian dari bid'ah. Sebab menjadikannya Sunnah sama dengan selalu rutin dikerjakan oleh manusia dengan cara menampakkannya. Jika hal itu diketjkan secara terus- menerus layaknya sesuatu yang Sunnah, maka ia masih dalam hal-hal yang berbau bid'ah.
Jika dikatakan: Bagaimana hal tersebut termasuk dalam kategori bid'ah Jika dikatakan: Bagaimana hal tersebut termasuk dalam kategori bid'ah
Jawaban: Pertanyaan ini benar, tapi untuk pensyariatan pertama kali terdapat dua tinjauan:
1. Dari segi bahwa ia disyariatkan. Dalam hal ini tidak ada komentar.
2. Dari segi ia menjadi sebab terjadinya bid'ah atau mengerjakannya tidak dalam bentuk yang diajarkan Sunnah. Ia tidak disyariatkan, karena penentuan sebab adalah hak Pemberi syariat bukan hak mukallaf, dan Pemberi syariat tidak menentukan shalat di Quba atau Baitul Maqdis —misalnya— sebagai sebab untuk dijadikan Sunnah. Jadi, penentuan mukallaf terhadap hal itu merupakan pendapat yang tidak bersandar kepada syariat, sehingga ia menjadi perbuatan bid'ah.
Inilah maknanya bahwa ia merupakan bid'ah idhafiyyah. Adapun apabila sebabnya telah ditetapkan dan musababnya telah terlihat, yaitu keyakinan bahwa mengerjakannya termasuk Sunnah dan pelaksanaannya pun sesuai dengannya, maka itu adalah bid'ah hakikiyyah. Kaidah seperti ini mempunyai contoh yang banyak dan akan disebutkan pada tengah-tengah pembahasan, agar tidak terjadi pengulangan.
Apabila telah ditetapkan pada perkara-perkara yang disyariatkan, bahwa mungkin akan dianggap sebagai bid'ah idhafiyyah, maka bagaimana pendapatmu dengan bid'ah hakikiyyah? Karena terkadang bid'ah hakikiyyah dan bid'ah idhafiyyah berkumpul jadi satu. Dengan demikian, dari dua sisi terlihat bahwa bid'ah "Ashbaha wa lillahi al hamd" dalam lafazh adzan Subuh sangat jelas. Kemudian ketika dikerjakan di masjid-masjid dan kelompok- kelompok secara rutin sebagaimana tidak ditinggalkannya kewajiban- Apabila telah ditetapkan pada perkara-perkara yang disyariatkan, bahwa mungkin akan dianggap sebagai bid'ah idhafiyyah, maka bagaimana pendapatmu dengan bid'ah hakikiyyah? Karena terkadang bid'ah hakikiyyah dan bid'ah idhafiyyah berkumpul jadi satu. Dengan demikian, dari dua sisi terlihat bahwa bid'ah "Ashbaha wa lillahi al hamd" dalam lafazh adzan Subuh sangat jelas. Kemudian ketika dikerjakan di masjid-masjid dan kelompok- kelompok secara rutin sebagaimana tidak ditinggalkannya kewajiban-
Apabila meyakininya untuk kedua kalinya atas hal sunah atau wajib, maka ia menjadi bid'ah dari tiga sisi, dan yang seperti itu harus ada dalam setiap bid'ah yang ditampakkan dan dilazimkan. Apabila disembunyikan dan perbuatan tersebut hanya khusus pelakunya, maka perkaranya lebih ringan.
Ya Allah... wahai kaum muslim! Apa yang akan dituai oleh pelaku bid'ah atas dirinya dari hal-hal yang tidak diperhitungkannya? Semoga Allah melindungi kita dari kejahatan diri kita dengan karunia-Nya.
L. Penyempurna Pembahasan Sebelumnya Telah teriadi bencana: Imam masjid meninggalkan perbuatan yang
biasa dikerjakan oleh manusia yang hidup di Andalusia, yaitu berdoa bersama jamaah setiap selesai shalat wajib dengan bentuk kelompok secara rutin. Itu pula yang teriadi di kebanyakan negara Islam, setelah mengucapkan salam (tanda selesai shalat) imam langsung berdoa untuk manusia (jamaah) dan jamaah yang hadir mengamininya. Imam yang meninggalkan kebiasaan itu bersandar pada kebiasaan nabi dan imam-imam setelahnya yang tidak pernah melakukan hal tersebut sesuai dengan yang dinukil ulama dalam kitab-kitab mereka dari para salaf dan fuqaha. Alasan bahwa perbuatan itu bukan dari perbuatan Rasulullah SAW jelas, karena setelah selesai shalat (wajib dan sunah) beliau melakukan dua hal yang salah satunya adalah berdzikir kepada Allah.
Berzikir kepada Allah SWT yang menurut adat kebiasaan bukan doa, maka jamaah tidak mendapatkan bagian darinya, kecuali membaca sebagaimana yang dibacanya atau bacaannya selain bacaan beliau di luar shalat, seperti yang dikatakan dalam riwayat bahwa setiap selesai shalat beliau membaca: Berzikir kepada Allah SWT yang menurut adat kebiasaan bukan doa, maka jamaah tidak mendapatkan bagian darinya, kecuali membaca sebagaimana yang dibacanya atau bacaannya selain bacaan beliau di luar shalat, seperti yang dikatakan dalam riwayat bahwa setiap selesai shalat beliau membaca:
sanggup memberi terhadap apa yang Engkau larang, tidak ada yang berguna kemuliaan dan kekayaan, karena kemuliaan dan kekayaan hanya darimu."
b. "Ya Allah, Engkaulah kesejahteraan, dan dari-Mulah kesejahtcraan, Maha Suci dan Maha Tinggi Engkau, wahai Tuhan Yang Memiliki Keagungan dan Kemuliaan."
c. "Maha Suci Tuhanmu Yang mempunyai keperkasaan dari apa yang mereka katakan. n (Qs. Ash-Shaaffaat (37]: 180).
Beliau membacanya khusus untuk diri beliau, seperti dzikir-dzikir lainnya. Jadi, orang yang membaca seperti yang beliau baca, berarti telah melakukan perbuatan baik. Tapi jika tidak mungkin semuanya dibaca dalam bentuk perkumpulan.
Jika doa, maka umumnya riwayat yang membicarakan doa dari Nabi SAW setelah shalat adalah doa yang didengar darinya, dan itu khusus untuk dirinya, sebagaimana diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari Ali bin Thalib RA, dari Rasulullah SAW, bahwa beliau apabila hendak melakukan shalat wajib, maka beliau mengangkat kedua tangannya... Beliau ketika selesai shalat membaca;
"Ya Allah, ampunilah aku —terhadap— apa yang telah lalu dan yang akan datang —dari masaku— apa yang tersembunyi dan apa yang terlihat dariku. Engkau Tuhanku dan tiada tuhan selain Engkau." Hadits hasan shahih.
Dalam riwayat Abu Daud disebutkan bahwa Rasulullah SAW bila telah selesai shalat mengucapkan doa,
"Ya Allah, ampunilah aku —terhadap— apa yang telah lalu dan yang akan datang —dari masaku— apa yang tersembunyi dan apa yang terlihat dariku serta apa yang berlebih-lebihan. Engkaulah Dzat yang Maha mengetahui dariku. Engkau Yang Maha Akhir, tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Engkau."
Diriwayatkan oleh Abu Daud, bahwa setiap selesai shalat Rasulullah membaca,
" Ya Allah, Tuhan kami dan Tuhan segala sesuatu, aku menjadi saksi " Ya Allah, Tuhan kami dan Tuhan segala sesuatu, aku menjadi saksi
Dalam riwayat Abu Daud,
"Ya Tuhan, bantulah aku (dalam kebaikan) dan jangan bantu aku (dalam kemaksiatan), tolonglah aku dalam kebaikan dan jangan tolongaku (dalam kemaksiatan), tunjukkan aku pada suatu siasat dan jangan tunjukkan musuhku pada jalan yang kutempuh, tunjukilah aku dan mudahkan petunjukku kepada diriku dan tolonglah aku atas orang yang zhalim kepadaku...."
Diriwayatkan oleh An-Nasa' i bahwa setiap selesai shalat Subuh beliau membaca,
" Ya Allah, aku mohon kepadamu ilmu yang bermanfaat, amal yang diterima, dan rezekiyang baik."
Diriwayatkan dari salah seorang Anshar, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW membaca (setelah selesai shalat),
"Ya Allah, ampunilah dosaku dan terimalah tobatku. Sesungguhnya Engkau Maha Penerima tobat lagi Maha Pengampun."
Doa tersebut dibaca hingga seratus kali. Dalam riwayat lain dijelaskan bahwa beliau membaca doa ini setelah
selesai shalat Dhuha.
Perhatikanlah, semua redaksi doa-doa tersebut khusus untuk diri beliau, bukan untuk para jamaah! Hal semacam ini dapat menjadi argumentasi bagi perbuatan manusia sekarang ini.
Ada yang berkata, "Ada riwayat tentang doa yang secara umum ditujukan untuk manusia, yang dibaca ketika dalam beberapa kondisi, misalnya saat khutbah. Beliau (saat khutbah) pernah memohon diturunkan hujan dan permohonan lainnya." Dijawab, "Benar, tapi di mana beliau pernah melazimkan doa yang dibaca dengan keras untuk para jamaah yang hadir setelah selesai shalat?"
Kami kemudian berkata: Sesungguhnya para ulama mengatakan bahwa doa dan dzikir semacam ini, yang biasa dibaca setelah shalat, hukumnya mustahab, bukan sunah dan bukan juga wajib. Hal ini sekaligus menjadi dalil atas dua perkara:
1. Doa-doa ini bukan bersumber dari Nabi SAW yang dilakukan secara terus-menerus.
2. Beliau tidak terus-menerus membacanya dengan suara keras dan tidak menampakkannya kepada manusia selain di tempat-tempat pengajaran. Seandainya dilakukan secara terus-menerus dan ditampakkan, niscaya hukumnya pasti sunah dan tidak ada alasan bagi para ulama untuk mengatakan selain sunah, karena kekhususannya — sebagaimana mereka sebutkan— dilakukan secara terus-menerus dan ditampakkan pada sekumpulan orang. Hal itu tidak lantas dikatakan bahwa seandainya doa Nabi SAW itu diucapkan secara pelan, maka bagaimana hal itu bisa diriwayatkan? Karena kami berkata, "Orang yang terbiasa membaca doa dengan suara pelan, maka ia harus menampakkannya, baik karena kebiasaan maupun karena ingin memperingatkan atas pensyariatan."
Jika dikatakan: Zhahir hadits menunjukkan bahwa hal itu dilakukan secara terus-menerus, berdasarkan perkataan perawi, "Beliau selalu membaca" dan "Hatim selalu memuliakan tamu".
Kami katakan: Tidak demikian, dilakukan terus-menerus dengan jumlah yang banyak atau berulang-ulang itu dilihat dari kalimat secara umum, sebagaimana yang ada dalam hadits Aisyah RA, yaitu bahwa Nabi SAW apabila ingin tidur sementara beliau dalam keadaan junub, maka beliau berwudhu seperti wudhu untuk shalat. Aisyah juga meriwayatkan bahwa Nabi SAW pernah tidur dalam keadaan junub tanpa menyentuh air. Disebutkan pula dalam sebagian hadits, "Beliau mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dikerjakannya kecuali satu kali." Hal ini telah ditetapkan oleh ahli hadits.
Seandainya beliau mengerjakannya secara terus-menerus dengan sempurna, maka pasti akan dijadikan sebagai amalan sunah, seperti shalat Witir dan lainnya. Seandainya hal ini diterima, maka di manakah bentuk perkumpulan —doa terpimpin— itu?
Kesimpulannya adalah, doa dalam bentuk perkumpulan —secara terpimpin— yang dilakukan secara terus-menerus tidak bersumber dari Nabi SAW. Hal itu juga bukan sebagai sabda atau ketetapannya.
Al Bukhari meriwayatkan dari Ummu Salamah RA, bahwa Nabi SAW menetap sebentar setelah membaca salam. Ibnu Syihab berkata, "Hingga manusia pergi menurut pandangan kami."
Diriwayatkan dari Muslim, dari Aisyah RA, bahwa apabila (setelah) membaca salam, beliau tidak duduk kecuali sekadar membaca," Ya Allah, Engkaulah kesejahteraan dan dari Engkau-lah kesejahteraan. Maha Suci Engkau, wahai Tuhan Yang memiliki Keagungan dan Kemuliaan."
Adapun perbuatan para imam setelah beliau, telah dinukil oleh para ahli fikih dari hadits Anas bin Malik pada selain kitab-kitab shahih "Aku pernah melaksanakan shalat di belakang Nabi SAW dan apabila beliau telah mengucapkan salam, maka beliau bangun. Aku pernah melaksanakan shalat di belakang Abu Bakar RA, adan apabila ia telah mengucapkan salam, Adapun perbuatan para imam setelah beliau, telah dinukil oleh para ahli fikih dari hadits Anas bin Malik pada selain kitab-kitab shahih "Aku pernah melaksanakan shalat di belakang Nabi SAW dan apabila beliau telah mengucapkan salam, maka beliau bangun. Aku pernah melaksanakan shalat di belakang Abu Bakar RA, adan apabila ia telah mengucapkan salam,
ia mencela imam-imam yang duduk setelah salam. Ia berkata, "Para imam terdahulu apabila telah memberi salam, maka akan langsung bangkit."
Ibnu Umar RA berkata, "Duduknya itu bid'ah." Ibnu Mas'ud RA berkata, "Imam duduk di atas batu panas lebih baik
baginya daripada perbuatannya itu (duduk setelah shalat)." Imam Malik —dalam kitab Al Mudawwanah— berkata, "Apabila (telah)
mengucapkan salam, maka ia hendaknya bangun dan tidak duduk kecuali berada dalam perjalanan atau berada di halamannya."
Para ahli fikih menganggap mempercepat berdiri setelah memberi salam termasuk dalam keutamaan shalat, karena duduknya imam setelah shalat akan membuat dirinya merasa sombong dan tinggi hati di hadapan para jamaah. Kesendirian imam di hadapan para makmum akan menyebabkan orang yang masuk melihat bahwa ia adalah imam mereka, sedangkan kesendiriannya dalam keadaan shalat adalah suatu kemestian.
Salah seorang guru yang kami ambil manfaat ilmunya berkata, "Ini adalah hukum kesendiriannya di suatu tempat (di hadapan para makmum), lalu bagaimana dengan orang yang berada di depan jamaah untuk memimpin permohonan doa dan keinginan lalu mereka mengamininya dengan suara keras?" Ia berkata, "Seandainya ini baik, maka Nabi SAW serta para sahabat RA pasti akan selalu mengerjakannya, dan tidak ada seorang ulama pun yang menukil hal itu walaupun mereka sepakat menukil seluruh perkaranya. Lalu, apakah Nabi SAW pergi dari tempat shalat dari sebelah kanan atau kiri?"
Ibnu Baththal menukil dari ulama salaf tentang pengingkaran terhadap hal itu dan sikap keras terhadap orang yang mengerjakannya cukup sebagai argumentasi.
Ini adalah sesuatu yang dinukil dari seorang syaikh setelah menjadikan doa yang selalu dibaca sesudah shalat dalam bentuk jamaah (terpimpin) sebagai Ini adalah sesuatu yang dinukil dari seorang syaikh setelah menjadikan doa yang selalu dibaca sesudah shalat dalam bentuk jamaah (terpimpin) sebagai
Berita tentang kondisi ini sampai kepada sebagian syaikh zaman ini, maka ia menolak imam itu dengan mengeluarkan seluruh dalil yang bertentangan dengan pendapat para ulama yang mendalam ilmunya. Penolakan itu —menurut prasangkanya— dengan mengeluarkan dalil-dalil yang ia mampu, yang jika diperhatikan oleh orang yang pandai maka pasti akan diketahui substansinya, seperti perintah berdoa setelah shalat dengan dalil Al Qur' an dan Sunnah; dan semua itu —seperti yang telah dijelaskan— tidak ada dalil yang mendasarinya. Menambahkan doa dalam bentuk jamaah secara umum setelah shalat juga tidak ada dalil yang mendasarinya —seperti yang telah dijelaskan— karena adanya perbedaan dua dasar.
Secara terperinci, hal semacam itu masih terus dilakukan di seluruh dunia atau oleh mayoritas imam masjid tanpa ada yang mengingkari, kecuali Abu Abdullah, dimana ia kemudian mencelanya. Tanpa ragu lagi dikatakan bahwa penukilan ini merupakan kecerobohan, karena hal itu merupakan penukilan ijma' yang wajib bagi orang yang meninjau dan berhujjah dengannya sebelum melazimkannya untuk mencari dasar ijma' hal tersebut, karena ia harus menukil dari seluruh mujtahid umat ini, dari awal masa sahabat hingga sekarang, dan ini adalah perkara yang tidak bisa ditolerir. Semua satu kata, bahwa ijma' orang-orang awam tidak dianggap walaupun mereka mengaku-ngaku sebagai imam.
Perkataan "Tanpa ada yang menolak" boleh saja, tapi pengingkaran terhadap mereka terbukti ada dari kalangan imam, dan hal itu masih terus berlangsung.
Thurthusyi menukil dari Imam Malik,... kesimpulannya adalah bahwa
Imam Malik mengingkari hal tersebut pada zamannya dan pengingkaran
Imam Thurthusyi pada zamannya diikuti oleh para sahabatnya, kemudian Qarafi menganggapnya sebagai bid'ah yang dibenci menurut madzhab Maliki, dan pendapat itu diterima oleh orang yang sezaman dengannya — sepengetahuan kami— walaupun ia menyangka hal itu sebagai bid'ah yang baik.
Kemudian para guru yang tinggal di Andalusia, ketika melihat bid'ah ini masuk, mereka mengingkarinya. Di antara yang mereka yakini dalam hal tersebut yaitu bahwa itu adalah madzhab Maliki. Seorang ahli zuhud (Abu Abdullah bin Mujahid), dan muridnya (Abu Umran Al Mirtili) mewajibkan diri untuk meninggalkannya. Insyaallah akan kami bahas pada pembahasan berikutnya.
Sebagian guru kami berkata (dalam menolak orang yang mendukung amal ini): Sesungguhnya kami telah menyaksikan perbuatan ini dari para imam fikih yang shalih, mengikuti Sunnah, serta selalu menjaga perkara- perkara agama. Mereka melakukan hal tersebut baik sebagai pemimpin maupun sebagai orang yang dipimpin.
Kami tidak melihat orang yang meninggalkan perbuatan itu kecuali sebagai orang yang menyimpang. —Maka ia berkata— sedangkan hujjah orang yang mengingkari adalah bahwa manusia masih terus melaksanakannya, tapi ia tidak mendatangkan dalil sedikit pun, karena manusia yang diikuti terbukti tidak melakukannya. Ia berkata, "Ketika bid'ah- bid'ah serta penyimpangan-penyimpangan tersebar dan manusia bersepakat melaksanakannya, orang bodoh berkata, 'Seandainya hal ini adalah perbuatan mungkar, maka manusia tidak akan mengerjakannya'." Kemudian ia menceritakan pengaruh dari sikap menyepakati, "Aku tidak mengenal sesuatu pun dari apa yang telah aku tahu bahwa hal itu dikerjakan oleh manusia kecuali adzan untuk shalat." Ia berkata, "Apabila ini terjadi pada masa tabi'in, (ia mengomentari, 'Pada masa itu telah banyak hal-hal baru dalam agama"), maka bagaimana dengan zaman sekarang? Kemudian ijma' itu, seandainya terbukti, maka mesti terlahir darinya sesuatu yang terlarang, karena ia bertentangan dengan apa yang dinukil dari orang-orang pertama tentang Kami tidak melihat orang yang meninggalkan perbuatan itu kecuali sebagai orang yang menyimpang. —Maka ia berkata— sedangkan hujjah orang yang mengingkari adalah bahwa manusia masih terus melaksanakannya, tapi ia tidak mendatangkan dalil sedikit pun, karena manusia yang diikuti terbukti tidak melakukannya. Ia berkata, "Ketika bid'ah- bid'ah serta penyimpangan-penyimpangan tersebar dan manusia bersepakat melaksanakannya, orang bodoh berkata, 'Seandainya hal ini adalah perbuatan mungkar, maka manusia tidak akan mengerjakannya'." Kemudian ia menceritakan pengaruh dari sikap menyepakati, "Aku tidak mengenal sesuatu pun dari apa yang telah aku tahu bahwa hal itu dikerjakan oleh manusia kecuali adzan untuk shalat." Ia berkata, "Apabila ini terjadi pada masa tabi'in, (ia mengomentari, 'Pada masa itu telah banyak hal-hal baru dalam agama"), maka bagaimana dengan zaman sekarang? Kemudian ijma' itu, seandainya terbukti, maka mesti terlahir darinya sesuatu yang terlarang, karena ia bertentangan dengan apa yang dinukil dari orang-orang pertama tentang
Demikian halnya pertentangan ijma' al muta’akhirin terhadap ijma' al mutaqaddimin yang sesuai dengan Sunnah, selamanya tidak menjadi hujjah atas Sunnah itu. Alangkah serupanya permasalahan ini dengan yang
diceritakan oleh Abu Ali di Syadzan 23 —dengan sanad yang marfu — kepada Abu Abdullah bin Ishak Al Ja'fari, ia berkata: Abdullah bin Hasan —yang
dimaksud adalah Ibnu Hasan bin Ali bin Abu Thalib— memperbanyak duduk (datang) ke Rabi'ah. Suatu hari, mereka bernostalgia. Tiba-tiba seorang laki- laki yang sedang duduk di majelis berkata, "Amal perbuatan ini tidak seperti ini." Abdullah berkata, "Tidakkah kamu lihat; jika banyak orang-orang yang bodoh sehingga merekalah yang menjadi pemimpin, maka apakah ia paham dengan hujjah atas Sunnah?" Rabi'ah berkata, "Aku bersaksi bahwa ini adalah perkataan cucu-cucu para nabi. Akan tetapi aku berkata, 'Tidakkah kamu melihat jika banyak orang yang ber-taklid kemudian membuat-buat hal baru dalam agama dengan pendapat mereka, lalu dengannya mereka akan menghukumi, maka apakah ia memahami hujjah atas Sunnah namun tidak memiliki kehormatan?"
Kemudian ia berusaha menopang klaimnya dengan hal-hal yang
kesimpulannya sebagai berikut:
Di antara perumpamaan manusia, "Salah bersama yang lain dan jangan benarkan dirimu sendiri." Artinya, kesalahan mereka adalah kebenaran dan kebenaran kamu adalah kesalahan. Ia berkata, "Makna yang terkandung di dalam hadits adalah, 'Hendaklah kamu bersama jamaah, karena srigala hanya
23 Syazan adalah laqab dua laki-laki dari perawi hadits, salah satunya bernama Aswad bin Amir Abdurrahman Asy-Syami -orang yang singgah di Baghdad- meninggal tahun 208 H.
Sedangkan yang satunya lagi bernama Abdul Aziz bin Usman bin Jabalah, meninggal tahun 221, dan yang zahir bahwa di dalam ungkapan naskah kita terdapat penyelewengan. Begitulah pada aslinya, dan itu telah diselewengkan. Mungkin di dalam perkataan itu terdapat pembuangan juga, jadi makna yang dimaksud jelas, bahwa apa yang tidak butuh kepada taqrir beliau pada zaman kenabian dari bagian-bagian hukum telah terdapat di dalam syariat kaidah-kaidah
kulliyyah yang memasukkannya dan disimpulkan darinya.
menerkam kambing yang jauh (terpisah)'."
la menjadikan orang yang meninggalkan doa dengan cara-cara tersebut sebgai orang yang bertentangan dengan ijma' —sebagaimana yang kamu lihat— dan menganjurkan untuk mengikuti manusia serta tidak bertentangan dengan mereka, sesuai dengan hadits Nabi SAW,
"Janganlah kamu berselisih, hingga hatimu berbeda-beda." Semua ini berdiri di atas ijma' yang mereka sebutkan. Jamaah adalah
kelompok manusia, bagaimanapun keadaan mereka, dan makna jamaah akan dibahas di dalam hadits tentang kelompok-kelompok; dan pendapat inilah yang mengikuti Sunnah, walaupun hanya satu orang di dunia.
Sebagian ulama madzhab Hambali berkata: Jangan pedulikan masalah-masalah yang dipaparkan, di mana orang
mengklaim kebenaran masalah itu hanya karena keterkejutan atau klaim bahwa tidak ada perselisihan dalam masalah ini. Orang yang mengatakan demikian (sama sekali tidak mempunyai pendukung) yang membenarkan perkataannya itu, apalagi menafikan adanya perbedaan dalam masalah tersebut; dan hendaklah mengembalikan hukum dalam masalah itu pada hal- hal yang pasti dan jelas, sehingga tidak mampu dibantah oleh orang yang menentang.
la berkata: Di dalam masalah-masalah seperti ini, Imam Ahmad bin Hambal berkata, "Barangsiapa mengklaim adanya ijma' —padahal sebenamya tidak ada— maka ia bohong; ini adalah klaim banyak orang."
Ibnu Aliyah berkata, "Mereka ingin membatalkan Sunnah dengan klaim
ijma'."
Yang dimaksud oleh Imam Ahmad adalah, "Para ahli ilmu kalam dalam fikih menggunakan cara-cara ahli bid'ah. Apabila aku mendebat mereka dengan Sunnah dan atsar, maka mereka berkata, 'Ini bertentangan dengan ijma'.' Pendapat yang bertentangan dengan hadits itu tidak mereka hafal Yang dimaksud oleh Imam Ahmad adalah, "Para ahli ilmu kalam dalam fikih menggunakan cara-cara ahli bid'ah. Apabila aku mendebat mereka dengan Sunnah dan atsar, maka mereka berkata, 'Ini bertentangan dengan ijma'.' Pendapat yang bertentangan dengan hadits itu tidak mereka hafal
Dalam perkataan ini terdapat petunjuk makna yang sedang kita bicarakan, "Dan, tidak selayaknya menukil hukum syariat dari seorang ulama kecuali telah diteliti dan ditetapkan, sebab ia mengabarkan tentang hukum Allah. Oleh karena itu, jauhilah sikap mempermudah, karena itu ciri keluar dari jalan yang lurus menuju keburukan."
Termasuk bentuk kerusakan adalah menentang jumhur ulama dengan mengatakan bahwa mereka bodoh dan sesat. Sebenarnya ini adalah klaim orang yang menentang perkataannya sendiri, sehingga bukanlah suatu kerusakan jika hal itu diterima, karena mengikuti Sunnah hukumnya wajib.
Telah dinukil prihal salafush-shalih yang selalu menganjurkan untuk beramal dengan kebenaran dan tidak boleh mengisolasi diri karena kurangnya orang ahli dalam hal tersebut.
Begitu pula dengan orang yang mencela orang yang berbuat bid'ah dengan ungkapan bid'ah; mengeluarkan ungkapan itu untuk orang-orang yang berkumpul —pada hari Arafah setelah Ashar— guna berdoa di selain Arafah —sampai kepada yang sejenisnya— maka pencelaannya itu benar. Sebagaimana ia mengatakan kepada Basyar Al Marisi, Ma'bad Al Juhami, dan fulan, hal itu tidak masuk ke dalam hadits, "Barangsiapa berkata, 'Binasalah manusia,' maka Allah akan membinasakan mereka." Maksud hadits itu adalah apabila ia mengatakan perkataan tersebut dengan tujuan tinggi Begitu pula dengan orang yang mencela orang yang berbuat bid'ah dengan ungkapan bid'ah; mengeluarkan ungkapan itu untuk orang-orang yang berkumpul —pada hari Arafah setelah Ashar— guna berdoa di selain Arafah —sampai kepada yang sejenisnya— maka pencelaannya itu benar. Sebagaimana ia mengatakan kepada Basyar Al Marisi, Ma'bad Al Juhami, dan fulan, hal itu tidak masuk ke dalam hadits, "Barangsiapa berkata, 'Binasalah manusia,' maka Allah akan membinasakan mereka." Maksud hadits itu adalah apabila ia mengatakan perkataan tersebut dengan tujuan tinggi
Yang termasuk kerusakan adalah takut adanya niat yang rusak lantaran masuknya perasaan ujub dan mencari popularitas yang dilarang. Seakan- akan ia berkata, "Janganlah mengikuti Sunnah pada saat orang yang memeluk agamanya dengan baik dianggap asing karena takut kemasyhuran dan masuknya perasaan ujub." Ini adalah perkataan yang keras, dan ini bertentangan dengan hal yang serupa, karena orang yang diangkat menjadi pembaca doa untuk banyak orang setelah selesai shalat-shalat mereka secara rutin, merupakan kerusakan niat yang memasukkan perasaan ujub dan mencari kemasyhuran ke dalamnya. Inilah alasan Qarafi, dan inilah sikap terbaik dalam mengikuti Sunnah, karena meninggalkan doa untuk banyak orang yang disertai dengan sikap mengikuti, berbeda dengan orang yang berdoa dan ia tidak pada jalan yang ditempuh pendahulunya, maka itu lebih dekat pada kerusakan niat.
Yang juga termasuk dalam kerusakan adalah sesuatu yang ia sangka termasuk perkataan yang dicampur dengan pendapat ahli bid'ah yang mengatakan bahwa doa itu tidak bermanfaat. Ini juga seperti penjelasan sebelumnya, karena ia berkata kepada banyak orang, "Tinggalkan itu demi mengikuti Nabi SAW dalam meninggalkan doa secara berjamaah setelah shalat-shalat wajib, agar kamu tidak disangka berbuat bid'ah. Ini sebagaimana yang telah Anda lihat.
Ibnu Arabi berkata: Guru kami, Abu Bakar Al Fahri, mengangkat kedua tangannya ketika rukuk dan ketika mengangkat kepala dari rukuk, dan ini menurut madzhab Maliki dan Syafi'i yang dikerjakan juga oleh kaum Syiah. —Ia berkata— bahwa pada suatu hari ia hadir di sisiku di mahras (benteng) Abu Syu'ara, di sebuah pesisir, tempat aku belajar saat-saat shalat Zhuhur. Ia lalu masuk masjid dari mahras tersebut, kemudian maju ke shaf pertama, dan aku di belakangnya duduk di atas pagar batas laut guna mencari angin segar, karena saat itu cuaca panas. Aku berada satu shaf dengan Abu Tsamnah, kepala urusan laut, dan panglimanya yang sedang bersama-sama
dengan beberapa orang sahabatnya sedang menunggu waktu shalat. la mengontrol di atas kapal Al Mannar. Ketika syaikh Fahri mengangkat kedua tangannya pada waktu rukuk dan mengangkat kepala dari rukuk, Abu Tsamnah dan sahabat-sahabatnya berkata, "Tidakkah kamu melihat orang masyrik ini, bagaimana ia masuk masjid kita ini? Pergilah kepadanya dan bunuhlah, lalu lemparkan ke laut, maka tidak ada seorang pun yang melihatmu." Hatiku terbang di antara sisi-sisi tubuhku, dan aku berkata, "SubhanaJJaM Thurthusi ini adalah ahli fikih zaman ini." Mereka lalu berkata kepadaku, "Kenapa ia mengangkat kedua tangannya?" Aku menjawab, "Begitulah Nabi SAW berbuat." Ini adalah madzhab Maliki dalam riwayat penduduk Madinah darinya, dan aku menenangkan mereka hingga ia selesai dari shalatnya, lalu aku bangkit bersamanya menuju sebuah tempat tinggal dari mahras. Ia melihat perubahan wajahku, maka aku coba untuk memalingkannya. Ia kemudian bertanya kepadaku, dan aku pun memberitahunya. Ia pun tertawa, lalu bertanya, "Bagaimana bisa aku membunuh berdasarkan Sunnah?" Aku berkata kepadanya, "Halal bagimu melakukan hal itu, karena kamu berada di antara kaum yang jika kamu melakukannya maka mereka akan melakukannya terhadapmu, dan mungkin saja darahmu akan hilang." Ia berkata, "Tidak perlu berbicara tentang hal ini, cari pembicaraan yang lain saja."
Perhatikanlah kisah ini, di dalamnya ada sesuatu yang bisa menyembuhkan, sebab tidak ada kerusakan di dunia melebihi kerusakan yang disebabkan oleh matinya Sunnah, dan dalam hal ini aku lebih tepat menisbatkannya kepada bid'ah. Tetapi Thurthusi sama sekali tidak berpendapat demikian, maka perkataannya lebih utama untuk diikuti daripada perkataan orang yang menolak ini. Jadi, antara keduanya jelas berbeda.
Jika perkataannya dianggap, maka lazim untuk menganggap perkataan yang serupa dengannya bagi setiap orang yang mengingkari doa dalam bentuk jamaah pada hari Arafah di tempat selain Arafah, dan di antara mereka ada Naff (maula Ibnu Umar), Malik, Laits, Atha', dan yang lain dari golongan salaf. Karena hal itu tidak lazim, maka masalah kita pun demikian.
Kemudian ia menutup al istidlal secara ijma' dengan perkataan, "Imam- imam masjid pada zaman ini dan di seluruh negeri sepakat atas doa setelah shalat." Nampaknya ia memasukkan hal itu sebagai hujjah ijma' modern.
Jika ingin berdoa dalam bentuk jamaah secara rutin, maka ia tidak boleh meninggalkan seperti yang ia takukan dengan Sunnah. —Inilah masalah kami yang diasumsikan— namun telah dibahas sebelumnya.