Mengambil Fatwa dari Hati

F. Mengambil Fatwa dari Hati

Masih ada satu lagi permasalahan dalam pembahasan ini bagi mereka yang memilih mengambil fatwa dari hati secara mutlak tanpa batas, yang merupakan pendapat Imam Ath-Thabari. Pada intinya, kata hati dan apa yang membuat jiwa tenang termasuk hukum-hukum syara' dan sekaligus sebagai dalil syar'i. Sesungguhnya ketenangan jiwa dan kata hati sama sekali terlepas dari dalil, sehingga bisa dianggap atau tidak dianggap (sebagai dalil -penrj). Jika tidak dianggap, maka jelas hal ini bertentangan dengan hadits dan atsar yang ada. Telah dijelaskan dimuka bahwa ini dianggap (sebagai sebuah dalil -penrj) berdasarkan dalil-dalil yang ada. Seandainya dianggap (sebagai sebuah dalil), maka akan ada dalil ketiga selain Al Qur' an dan Sunnah, Masih ada satu lagi permasalahan dalam pembahasan ini bagi mereka yang memilih mengambil fatwa dari hati secara mutlak tanpa batas, yang merupakan pendapat Imam Ath-Thabari. Pada intinya, kata hati dan apa yang membuat jiwa tenang termasuk hukum-hukum syara' dan sekaligus sebagai dalil syar'i. Sesungguhnya ketenangan jiwa dan kata hati sama sekali terlepas dari dalil, sehingga bisa dianggap atau tidak dianggap (sebagai dalil -penrj). Jika tidak dianggap, maka jelas hal ini bertentangan dengan hadits dan atsar yang ada. Telah dijelaskan dimuka bahwa ini dianggap (sebagai sebuah dalil -penrj) berdasarkan dalil-dalil yang ada. Seandainya dianggap (sebagai sebuah dalil), maka akan ada dalil ketiga selain Al Qur' an dan Sunnah,

Bila dikatakan: Ini dianggap sebagai suatu dalil dalam masalah larangan (bukan perintah), maka hal ini tidak lepas dari masalah yang lalu, karena setiap larangan dan perintah adalah sebuah bentuk perbuatan yang berhubungan dengan hukum syara', yaitu antara hukum boleh dan tidak boleh, dan ini dikaitkan dengan tenang tidaknya hati dan jiwa. Meskipun itu berasal dari sebuah dalil, tetapi tetap saja tidak bisa lepas dari masalah tadi.

Maka jawabannya: Pernyataan awal benar, tetapi yang perlu

diperhatikan adalah cara mencapai hal itu. Ketahuilah, setiap masalah memerlukan dua hal:

1. Melihat pada dalil hukum

Adapun melihat pada dalil hukum, itu hanya berkisar antara dua dalil, yaitu Al Qur’an dan Sunnah. Atau dalil yang dikembalikan pada keduanya, yaitu ijma', qiyas, dan lainnya. Sedangkan ketenangan hati (tidak adanya keraguan dalam hati) tidak dianggap dalam hal ini, kecuaB dari segi keyakinan; bisa dijadikan dalil atau tidak? Tidak ada seorang pun (?) kecuali para pelaku bid'ah yang menganggap sesuatu itu baik atau buruk tanpa berlandaskan pada dalil sama sekali kecuali apa yang menjadi ketenangan hati (?) sesungguhnya perkaranya seperti yang mereka sangka. Inilah pandangan mereka yang bertentangan dengan kesepakatan (ijma') kaum muslim.

2. Melihat masuk tidaknya suatu masalah pada dalil tersebut

Hal ini tidak hanya ditunjukkan dengan dalil syar'i, namun bisa juga dengan dalil lainnya, bahkan tanpa dalil sama sekali. Jadi, dalam hal ini tidak disyaratkan derajat ijtihad atau ilmu. Jika orang awam ditanya tentang status hukum suatu amalan yang bukan termasuk amalan shalat ketika sedang shalat, maka orang tersebut pasti menjawab, "Jika amalan tersebut sedikit maka tidak membutuhkan shalat, tapi jika banyak maka membatalkan shalat." Untuk menentukan amalan sedikit yang tidak membatalkan shalat, tidak memerlukan Hal ini tidak hanya ditunjukkan dengan dalil syar'i, namun bisa juga dengan dalil lainnya, bahkan tanpa dalil sama sekali. Jadi, dalam hal ini tidak disyaratkan derajat ijtihad atau ilmu. Jika orang awam ditanya tentang status hukum suatu amalan yang bukan termasuk amalan shalat ketika sedang shalat, maka orang tersebut pasti menjawab, "Jika amalan tersebut sedikit maka tidak membutuhkan shalat, tapi jika banyak maka membatalkan shalat." Untuk menentukan amalan sedikit yang tidak membatalkan shalat, tidak memerlukan

Demikian juga bila kita berpendapat tentang wajibnya bersegera untuk bersuci dan kita bedakan antara sesuatu yang ringan dengan sesuatu yang berat saat bersuci. Cukuplah bagi orang awam untuk mengetahui hal itu menurut penglihatan. Jadi, sah tidaknya bersuci ditentukan oleh sesuatu yang ada di dalam hatinya, karena ia melihat pada Manathul Hukm tersebut.

Jika demikian halnya, maka orang yang mempunyai daging kambing berhak (halal) untuk memakannya, karena kehalalannya sudah jelas dengan adanya syarat kehalalannya. Jadi, hukum ditentukan berdasarkan hal ini. Jika ia punya bangkai kambing, maka haram baginya untuk memakannya, karena keharamannya sudah jelas dengan tidak adanya syarat kehalalannya. Jadi, hukum ditentukan berdasarkan hal ini, bukan berdasarkan pada apa yang ada pada diri orang tersebut. Bukankah sepotong daging secara dzatnya bisa berbeda hukumnya, tergantung pada sebabnya, bisa jadi itu halal karena ada sebab yang menghalalkannya dan bisa jadi itu haram karena ada sebab yang mengharamkannya. Bahkan boleh jadi sepotong daging yang halal dimakan oleh seseorang menjadi haram bila dimakan oleh orang lain?

Jadi, jika disyaratkan atas apa yang ada di dalam hati adanya dalil syar'i yang menunjukkan hal itu, maka contoh tersebut adalah salah, karena dalil-dalil syara' tidak mungkin saling bertentangan antara satu dengan yang lain. Jika kita umpamakan adanya daging yang status hukumnya membingungkan seseorang, maka ia tidak boleh memakannya karena Jadi, jika disyaratkan atas apa yang ada di dalam hati adanya dalil syar'i yang menunjukkan hal itu, maka contoh tersebut adalah salah, karena dalil-dalil syara' tidak mungkin saling bertentangan antara satu dengan yang lain. Jika kita umpamakan adanya daging yang status hukumnya membingungkan seseorang, maka ia tidak boleh memakannya karena

Artinya, jika kita menganggap dengan istilah kita terhadap apa yang ditetapkan karena hukum halal atau haram, maka hal itu kedudukannya menjadi jelas, sedangkan apa yang meragukan maka tinggalkanlah dan jangan dilakukan. Inilah maksud dari sabda beliau SAW, "Mintalah fatwa pada hatimu walaupun orang-orang memberimu fatwa. "Karena penetapan sebuah sebab yang kamu lakukan dalam masalahmu khusus berhubungan dengan dirimu sendiri, tidak berhubungan dengan orang lain.

Hal ini sangat jelas dalam masalah yang sebab hukumnya tidak jelas bagimu tapi jelas bagi selainmu, karena cara pandangnya berbeda dengan cara pandangmu. Hadits, "Walaupun orang-orang memberimu fatwa "bukan berarti jika mereka menyampaikan sebuah hukum syar'i kepadamu kamu hams menolaknya dan hanya berdasar pada apa yang dikatakan oleh hati. Ini adalah pendapat yang salah dan melanggar kebenaran syariat. Tapi yang dimaksud adalah kembali pada penentuan sebab sebuah hukum.

Memang benar, boleh jadi kamu tidak ada kemampuan 38 untuk menentukan sebab tadi, sedangkan selainmu bisa melakukannya lalu kamu

mengikutinya (taqlidj dalam masalah ini. Tapi masalah ini diluar pembahasan kita, sebagaimana ada kalanya penentuan sebuah sebab itu didasarkan pada salah satu dalil syar'i, seperti penentuan batasan kaya yang wajib zakat. Pada

38 Seperti itulah dalam teks aslinya, namun kata itu sebenarnya adalah Dzari'ah (bukan

dariyah) sebab dariyah asal katanya adalah dari" ah.

dasarnya hal ini berbeda sesuai dengan keadaan, akan tetapi syara' memberikan batasan dengan 20 dinar atau 200 dirham dan yang semisalnya. Akan tetapi yang menjadi bahasan kita di sini adalah penentuan suatu sebab yang diserahkan pada seorang mukallaf.

Jadi, jelaslah masalah ini, bahwa hadits-hadits tersebut sama sekali tidak dimaksudkan untuk memasukkan kata hati dan kecenderungan jiwa ke dalam dalil-dalil syar'i, sebagaimana yang dianggap oleh penanya yang bermasalah. Inilah keterangan yang pasti.

Segala puji bagi Allah SWT yang dengan nikmat-Nya sempurnalah segala kebaikan.

BAB IX