Pendalaman dalam Al Istihsan Menurut Imam Malik dan Imam Abu Hanifah, istihsan merupakan

C. Pendalaman dalam Al Istihsan Menurut Imam Malik dan Imam Abu Hanifah, istihsan merupakan

salah satu sumber hukum. Sementara Imam Syafi'i sangat mengingkarinya, hingga ia berkata, "Barangsiapa ber-istihsan berarti ia telah membuat syariat (baru)."

Sebetulnya orang yang menditi pendapat kedua imam tersebut (Malik dan Abu Hanifah -penerj) akan memahami bahwa yang dimaksud oleh mereka adalah mengamalkan dalil yang terkuat antara dua dalil sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ibnu Al 'Arabi. Dianggap dalil umum jika berlangsung terus-menerus dan dianalogikan apabila cocok, maka menurut Imam Malik dan Abu Hanifah hal itu bisa di-takhsis (dikhususkan) dengan dalil apa pun, baik secara zhahir (lafazh -penerj) maupun maknanya. Imam Malik meng-istihsan-kan (menganggap baik) untuk ditakhsis dengan mashlahah (kepentingan umum), sementara Imam Abu Hanifah meng- istihsan- kan untuk ditakhsis dengan perkataan salah seorang sahabat yang bertentangan dengan qiyas. Akan tetapi mereka berdua berpendapat sama dalam pen-takhsis-an qiyas dan pengurangan ‘illat (sebab atau alasan). Sementara itu, Imam Syafi'i tidak mengakui adanya pen-takhsis-an dalam ‘illat syariat.

Inilah yang dikatakan oleh Imam Ibnu Al Arabi dan seperti yang tersirat dari perkataan Imam Al Kurkhi, bahwa istihsan adalah berpaling dari satu hukum kepada hukum lainnya yang lebih kuat dalam suatu permasalahan atau yang serupa dengannya.

Sebagian ulama madzhab Hanafi berpendapat bahwa istihsan adalah suatu analogi yang wajib diamalkan, karena iZar dikatakan demikian lantaran adanya atsar (pengaruh) darinya, baik pengaruh itu lemah maupun kuat. Semua itu dinamakan al istihsan atau qiyas mustahsan (qiyas yang baik). Hal Sebagian ulama madzhab Hanafi berpendapat bahwa istihsan adalah suatu analogi yang wajib diamalkan, karena iZar dikatakan demikian lantaran adanya atsar (pengaruh) darinya, baik pengaruh itu lemah maupun kuat. Semua itu dinamakan al istihsan atau qiyas mustahsan (qiyas yang baik). Hal

Bahkan disebutkan dari Imam Malik, ia berpendapat, "Al istihsan

merupakan 90% dari ilmu."

Diriwayatkan oleh Ashbagh dari Ibnu Al Qasim, dari Malik, ia berkata

(tentang al istihsan), "Bisa jadi istihsan itu lebih kuat daripada qiyas."

Disebutkan pula dari Imam Malik, ia berkata, "Orang yang

meninggalkan qiyas hampir-hampir juga meninggalkan Sunnah."

Perkataan seperti ini tidak mungkin diartikan sama dengan (pengertian istihsan -penrj) yang telah disebutkan tadi, {istihsan -penrj) yaitu: apa yang dianggap baik oleh seorang mujtahid dengan akal pikirannya. Atau dengan kata lain; istihsan adalah dalil yang dianggap susah untuk diungkapkan oleh seorang mujtahid. Tentu saja istihsan dengan pengertian seperti ini tidak mungkin dianggap sama dengan 90% dari ilmu dan juga tidak mungkin lebih kuat daripada qiyas yang merupakan salah satu sumber hukum.

Dalam kesempatan lain, Ibnu Al Arabi berkata, "Istihsan adalah meninggalkan apa yang ditunjukkan oleh suatu dalil dengan cara pengecualian atau rukhshah (keringanan) lantaran adanya suatu hal yang bertentangan dengan apa yang ditunjuk oleh dalil tersebut."

Beliau membagi istihsan menjadi empat macam, yaitu: 1. Meninggalkan dalil karena urf (adat kebiasaan). 2. Meninggalkan dalil karena mashlahat {sebuah kepentingan) 3. Meninggalkan dalil karena taisir (memudahkan). 4. Meninggalkan dalil untuk menghilangkan haraj (keberatan) dan untuk

meringankan. Ulama dari madzhab Maliki mendefinisikan istihsan, "Menggunakan

suatu maslahat yang parsial dengan meninggalkan qiyas yang global. Atau mengutamakan mengambil dalil secara mutlak daripada qiyas."

Ibnu Rusyd mendefinisikan al istihsan dengan berkata, "Al istihsan yang banyak digunakan secara umum daripada qiyas adalah meninggalkan qiyas yang menyebabkan sikap ghuluw (berlebihan) dalam hukum pada sebagian masalah karena adanya alasan yang mempengaruhi hukum terhadap suatu masalah tertentu."

Pengertian-pengertian tersebut pada intinya maknanya hampir sama. Jika ini yang dimaksud dengan al istihsan dalam madzhab Maliki dan

Hanafih, maka al istihsan bisa dianggap sebagai dalil, karena sebagian dalil membatasi dan mengkhususkan sebagian yang lain, sebagaimana dalil dari Al Qur'an dan Sunah. Yang seperti ini tidak diingkari oleh Imam Syafi'i, maka tidak ada hujjah sama sekali bagi seorang mubtadi' untuk membuat al istihsan.

10 contoh kasus untuk menerangkan maksud dari istihsan:

1. Meninggalkan suatu masalah ke masalah yang semisalnya karena adanya dalil dari Al Qur * an, seperti firman Allah, "Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka "(Qs. At-Taubah [9]: 103)

Secara teks, ayat ini umum mencakup semua harta benda, akan tetapi syariat mengkhususkannya pada harta yang wajib dizakati.

Jika ada yang bertanya: Hartaku ini untuk sedekah, maka secara zhahir mencakup semua harta. Akan tetapi yang dimaksud adalah harta yang wajib dizakati karena adanya dalil dari Al Qur'an yang mendukung hal ini.

Maka para ulama menjawab, "Hal seperti ini kembali kepada pen-takhsis-an sebuah keumuman dengan pernahaman Al Qur’an yang lazim. Contoh ini disebutkan oleh Al Kurkhi ketika memberikan contoh untuk istihsan.

2. Ulama madzhab Hanafi berkata: Bekas minum burung buas hukumnya najis karena diqiyaskan dengan binatang buas. Inilah sebab yang kuat 2. Ulama madzhab Hanafi berkata: Bekas minum burung buas hukumnya najis karena diqiyaskan dengan binatang buas. Inilah sebab yang kuat

3. Abu Hanifah berkata, "Jika ada empat orang memberikan persaksian atas seseorang yang berzina, tetapi setiap orang di antara mereka memberikan kesaksian dari segi (yang berbeda), maka ia tidak bisa dihukum had. Namun menurut dalil al istihsan ia perlu dihukum had. Alasannya adalah, hukum had bisa dilaksanakan apabila telah ada empat saksi dan setiap orang menyebutkan sebuah rumah, meskipun setiap orang di antara mereka tidak satu tingkatan dalam pemberitaannya, karena terjadinya kata sepakat di antara mereka atas satu tingkatan yang sama persis tidaklah mungkin. Jadi, jika setiap orang di antara mereka hanya menyebutkan satu sudut pandang, maka itu menunjukkan kejadian itu berulang-ulang, dan sangat mungkin saling melengkapi antara yang satu dengan yang lain."

Jika ada yang berkata, "Menurut qiyas perkara seperti ini tidak wajib dikenakan hukuman had," maka artinya secara zhahir keempat saksi tersebut tidak bersepakat atas terjadinya satu kali perzinaan. Bahkan pada ujungnya hal ini —secara zhahirnya— telah mengklaim para saksi yang adil sebagai orang-orang yang fasik, karena seandainya hukuman had tidak dilakukan, berarti para saksi adalah orang fasik. Padahal tidak ada alasan sama sekali untuk menyatakan mereka sebagai orang fasik, selama secara zhahir mereka adalah orang-orang yang adil. Hal ini bukan termasuk menghukumi sesuatu berdasarkan qiyas, akan tetapi berdasarkan apa yang disampaikan oleh Al Qur’an. Pada intinya, masalah ini dikembalikan pada pembuktian tentang ada tidaknya sebab yang mewajibkan adanya suatu hukum.

4. Dalam madzhab Maliki dinyatakan: Dibolehkan meninggalkan dalil

karena adanya urf (adat).

la menghukumi sumpah dengan urf, padahal secara bahasa lafazh sumpah itu tidak ditunjukkan sama sekali oleh urf, seperti perkataan orang, "Demi Allah, aku tidak akan masuk rumah bersama orang itu," maka ia dianggap melanggar sumpahnya jika masuk ke setiap tempat yang secara bahasa disebut rumah. Masjid juga disebut rumah, maka ia dianggap melanggar jika masuk masjid. Akan tetapi menurut urf, masjid tidak termasuk dalam kata rumah, maka ia tidak dianggap melanggar sumpahnya.

5. Meninggalkan dalil karena adanya maslahat, seperti: denda bagi pekerja meskipun ia bukan seorang tukang. Menurut madzhab Maliki, dalam masalah ini ada dua pendapat. Demikian juga seperti denda penjaga kamar mandi sewaan atas baju yang hilang, denda pemilik perahu, dan denda para cab pembantu. —Menurut pendapat Malik— pekerja pembawa barang juga wajib membayar denda, apalagi para tukang (yang melakukan pekerjaan secara langsung -penrj). Adapun alasannya adalah dianalogikan dengan denda yang diwajibkan atas para tukang.

Jika dikatakan: Bukankah ini termasuk bab al mashlahat al mursalah,

bukan bab al istihsan?

Maka jawabannya: Benar, hanya saja mereka menggambarkan al istihsan sebagai pengecualian dari sebuah kaidah, berbeda dengan al mashlahat al mursalah. Yang seperti ini cocok dalam masalah denda, karena para pelaku termasuk orang yang dipercaya, yang ditunjukkan oleh dalil, bukan dengan al bara 'ah alashliyyah (pada dasarnya manusia itu terbebas dari tanggung jawab). Oleh karena itu, pemberlakuan ganti rugi atas mereka masuk dalam kategori pengecualian atas sebuah dalil dan masuk dalam bab al istihsan (dari sudut pandang ini).

6. Mereka menyatakan ijma' atas wajibnya denda bagi orang yang memotong ekor keledai milik Hakim. Maksudnya adalah denda seharga 6. Mereka menyatakan ijma' atas wajibnya denda bagi orang yang memotong ekor keledai milik Hakim. Maksudnya adalah denda seharga

Penegasan adanya ijma' dalam masalah ini perlu mendapat perhatian, karena sebenarnya dalam masalah ini ada dua pendapat, baik dalam madzhab Maliki maupun yang lainnya. Akan tetapi pendapat yang kuat dalam madzhab Maliki adalah yang disebutkan tadi, sebagaimana yang disebutkan oleh Qadhi Abdul Wahab.

7. Meninggalkan sesuatu yang ditunjukkan oleh dalil dalam masalah

yang sepele dan jarang terjadi, guna menghilangkan kesusahan dan memberikan kemudahan bagi manusia. Jadi, boleh menukar sesuatu yang sepele dengan sejenisnya, dengan adanya perbedaan dalam ukuran ketika dalam timbangan dalam porsi besar. Bolehnya tukar-menukar uang antara yang satu dengan yang lain, jika salah satunya mengikuti yang lain. Boleh juga menukar uang dirham dengan perak yang ditimbang, karena selisih antara keduanya sangat sedikit. Padahal, pada dasarnya model transaksi-transaksi tersebut dilarang, seperti yang disebutkan dalam sebuah hadits, bahvwa —boleh tukar menukar antara— perak dengan perak dan emas dengan emas jika ukurannya sama. Barangsiapa menambah atau minta tambah maka ia telah melakukan riba.

Alasan diperbolehkannya transaksi tersebut adalah, suatu hal yang sepele dihukumi seakan-akan tidak ada sama sekali, karena biasanya transaksi tersebut bukanlah tujuan utamanya. Lagi pula, mempersulit dalam masalah yang sepele ini akan mengakibatkan kesusahan dan kesulitan yang keduanya diangkat (dihapus) dari mukallaf.

8. Dalam kitab Al Utaibah dari riwayat Ashbagh, mengenai dua orang yang sama-sama menggauli seorang budak perempuan dalam satu kali suci, kemudian budak perempuan tersebut melahirkan seorang anak. Salah seorang di antara mereka mengingkari bahwa itu anaknya, sedangkan yang satunya lagi mengakuinya. Dalam hal ini perlu dilakukan penelitian atas orang yang mengingkari bahwa itu anaknya dalam masalah jima' yang diakuinya. Apabila ketika ia menggauli budak tadi terjadi inzal (keluarnya air mani) darinya, maka pengingkarannya (terhadap anak tersebut) tidak dianggap, sehingga anak itu menjadi milik mereka berdua. Namun, jika ia mengaku telah melakukan 'azl (mengeluarkan air mani di luar rahim wanita yang digauli) saat jima' yang diakuinya, maka dalam hal ini Ashbagh berkata, "Aku berpendapat dengan dalil al istihsan, bahwa anak itu adalah anak temannya. Padahal menurut qiyas keduanya dalam posisi yang sama dan dimungkinkan telah terjadi pembuahan sementara ia tidak tahu."

Dalam masalah ini Amr bin Ash RA berkata, "Sesungguhnya tempat

itu kadang terbalik."

Ia berkata, "Memberlakukan al istihsan dalam hal ini —yaitu dengan menisbatkan anak tersebut pada temannya, padahal menurut qiyas kedudukan mereka berdua sama— ada kalanya lebih kuat daripada qiyas." (?) Ia lalu menceritakan riwayat dari Malik seperti pendapat ini.

Ibnu Rusyd mencoba memberikan alasan pendapat ini: Pada dasarnya, orang yang menggauli budak perempuannya dan melakukan ad, lata budak tadi melahirkan seorang anak, maka anak itu dinisbatkan kepadanyanya, meskipun ia mengingkarinya. Demikian juga jika budak tadi dimiliki oleh dua orang dan keduanya menggaulinya dalam satu kali suci, sedangkan salah seorang di antara keduanya melakukan azl, sehingga ia mengingkari anak itu dan menganggap anak itu sebagai anak temannya yang tidak melakukan azl. Dalam masalah ini hukumnya sama apabila keduanya az/atau melakukan inzal. Al istihsan —sebagaimana dikatakan— menghendaki anak tersebut dinisbatkan Ibnu Rusyd mencoba memberikan alasan pendapat ini: Pada dasarnya, orang yang menggauli budak perempuannya dan melakukan ad, lata budak tadi melahirkan seorang anak, maka anak itu dinisbatkan kepadanyanya, meskipun ia mengingkarinya. Demikian juga jika budak tadi dimiliki oleh dua orang dan keduanya menggaulinya dalam satu kali suci, sedangkan salah seorang di antara keduanya melakukan azl, sehingga ia mengingkari anak itu dan menganggap anak itu sebagai anak temannya yang tidak melakukan azl. Dalam masalah ini hukumnya sama apabila keduanya az/atau melakukan inzal. Al istihsan —sebagaimana dikatakan— menghendaki anak tersebut dinisbatkan

Oleh karena itu, menurut dugaan yang kuat, anak tersebut adalah anak dari orang yang mengakuinya sebagai anaknya dan mengaku bahwa ia telah melakukan inzal. Hukum yang berdasarkan dugaan yang kuat termasuk sebuah dasar hukum, dan dalam hal ini memiliki pengaruh, maka harus diambil sebagai bentuk istihsan—sebagaimana yang dikatakan Ashbagh—.

9. Umat telah menganggap baik atas tidak adanya ketentuan yang baku untuk lama dan banyak sedikitnya air yang dipakai saat masuk kamar mandi sewaan. Pada dasarnya ini dilarang, tetapi mereka membolehkannya. Ini berbeda dengan perkataan pendukung bid'ah. Itu adalah hal lain yang hampir serupa dengan masalah ini, yang tidak keluar dari dalil sama sekali.

Adapun masalah upah, ditentukan oleh adat kebiasaan (urlf, maka tidak perlu ditetapkan secara baku. Sedangkan lamanya pemakaian dan banyak sedikitnya air yang dipakai, meskipun hal ini juga tidak ditetapkan dengan kebiasaan, maka sebaiknya disesuaikan dengan keperluan yang sewajarnya. Ini berdasarkan sebuah kaidah fikih yang mengatakan bahwa nafyu jami' alghurur fi al uqud la yuqddir alaih (peniadaan semua bentuk penipuan dalam masalah akad tidak ada ketentuannya).

Kaidah ini mempersempit lingkup muamalah dan menghilangkan tawar-menawar (?). Hal ini dimaksudkan untuk meniadakan masalah dan sebagai langkah antisipasi terhadap perselisihan yang mungkin saja terjadi. Ini termasuk kategori pelengkap yang bila melihat sesuatu yang dilengkapi menjadi batal, maka tidak boleh dilakukan secara keseluruhan, guna menjaga sesuatu yang lebih penting —sebagaimana yang diterangkan dalam masalah ushul—. Oleh karena itu, sebagian bentuk penipuan yang ringan dan susah ditinggalkan perlu ditolerir

(dimaafkan) dikarenakan susahnya meninggalkan hal itu dan susahnya untuk mengira-ngira. Akan tetapi dalam hal penipuan yang besar tidak boleh ditolerir, lantaran besarnya bahaya yang ditimbulkan. Namun, perbedaan besar kecilnya sebuah penipuan tidak ada pada semua hal dan hanya dilarang dalam beberapa macam hal yang akibatnya besar. Jadi, dibuatlah pokok-pokok untuk mengqiyaskan (menganalogikan) masalah-masalah yang tidak sedikit jumlahnya dalam hal boleh tidaknya suatu masalah tadi, dan ternyata kebanyakan hukumnya tidak boleh. Dari dua pokok inilah muncul berbagai masalah yang menjadi fokus pembahasan para ulama. Jika segi penipuannya sedikit, masalahnya mudah, pertentangannya sedikit, dan sangat perlu untuk ditolerir, maka pendapat ini perlu diambil. Termasuk dalam hal ini adalah masalah penetapan banyak sedikitnya air kamar mandi yang dipakai dan lama tidaknya waktu pemakaian.

Para ulama berkata: Imam Malik dalam masalah ini sangat perhatian dan teliti. la membolehkan seseorang untuk mempekerjakan orang lain dengan upah makanan, walaupun dasarnya tidak ditentukan, karena hal itu termasuk masalah sepele dan tidak menjadi permasalahan yang berarti. la membedakan antara kemungkinan adanya unsur penipuan ringan yang berhubungan dengan waktu, lalu ia membolehkannya, dan antara adanya unsur penipuan besar yang berhubungan dengan upah, lalu ia melarang. Ia berkata, "Seseorang boleh membeli suatu barang hingga musim panen tiba, meskipun tidak pasti harinya, akan tetapi jika seseorang menjual suatu barang dengan harga satu dirham atau kurang lebih itu, maka tidak boleh. Sebab perlu ada perbedaan dalam masalah ini, guna sebagai penentu harga secara pasti, karena hal itu tidak bisa ditentukan dengan adat kebiasaan. Hal itu tidak sama seperti masalah waktu, dan juga kadang-kadang orang lebih bisa mentolerir masalah waktu daripada masalah harga.

Hal ini dikuatkan dengan riwayat Amru bin Ash RA, bahwa Nabi SAW pernah menyuruh membeli unta hingga dikeluarkan zakatnya. Hal ini tidak pasti kapan hari dan waktunya, tapi hanya Hal ini dikuatkan dengan riwayat Amru bin Ash RA, bahwa Nabi SAW pernah menyuruh membeli unta hingga dikeluarkan zakatnya. Hal ini tidak pasti kapan hari dan waktunya, tapi hanya

Perhatikanlah bagaimana timbulnya pengecualian dari sebuah dasar hukum yang disebabkan oleh adanya kesusahan dan keberatan. Bagaimana mungkin ini termasuk dalam masalah al istihsan dengan akal yang hanya berlandaskan kebiasaan, sebagaimana yang disangka oleh sebagian orang? Jelas ada sebuah perbedaan yang sangat mencolok antara dua hal ini.

10. Mereka berkata: Sebagian dari al istihsan adalah memperhatikan masalah perbedaan ulama. Ini merupakan salah satu dasar dalam madzhab Maliki, yang mengandung beberapa masalah, antara lain:

a. Air yang sedikit jika terkena najis dalam jumlah sedikit dan salah satu sifat airnya tidak berubah, maka ia tidak boleh dipakai untuk berwudhu dan diganti dengan tayamum. Jika salah seorang berwudhu dengan air tersebut, lalu mengerjakan shalat, maka shalatnya harus diulang selama masih ada waktu, dan tidak diulang jika waktunya telah habis. Pendapat tentang diulangnya shalat selama masih ada waktu didasarkan pada pendapat yang mengatakan bahwa air tersebut tetap suci dan menyucikan sehingga boleh digunakan untuk wudhu. Pendapat ini mengharuskan diulanginya shalat untuk selamanya ketika seseorang tidak berwudhu dengan air ini dan menggantinya dengan tayamum.

b. Pendapat mereka dalam masalah nikah tidak sah, yang wajib dibatalkan jika tidak ada kesepakatan (dikalangan ulama) atas tidak sahnya nikah tersebut. Jadi, nikah tersebut batal dengan jalan cerai, tetapnya hak waris, dan mengharuskan adanya plrceraian sebagaimana dalam nikah yang sah. Tapi jika ada kesepakatan di antara ulama atas tidak sahnya nikah tersebut, maka nikah tersebut batal dengan jalan selain cerai, tidak adanya hak waris, dan tidak diharuskan adanya perceraian.

c. Masalah orang yang lupa takbiratul ihram dan takbir ketika ruku'

bersama imam, sehingga ia harus melanjutkan (shalatnya), karena bersama imam, sehingga ia harus melanjutkan (shalatnya), karena

Masalah-masalah seperti ini banyak sekali terdapat dalam madzhab Maliki, yang intinya adalah memperhatikan dalil mereka yang tidak sependapat dengan madzhab Maliki dalam beberapa hal, karena yang kuat menurut mereka belum tentu kuat pula menurut madzhab Maliki dalam beberapa hal.

Aku telah menulis pembahasan tentang masalah perbedaan pendapat yang aku tujukkan kepada penduduk Maroko dan negara-negara Afrika lainnya karena adanya dua hal yang mendasarinya:

Salah satunya adalah hal yang berkenaan khusus dengan masalah ini jika hal ini benar, yaitu, "Apa dasar masalah ini dari syariat? Terdapat dalam kaidah fikih yang mana masalah ini?"

Dasar masalah ini, yang kami ketahui sampai sekarang, adalah hasil pangamatan yang bisa dijadikan dasar, dan kapan pun seorang mujtahid menguatkan salah satu dalil —meskipun dengan dalil tarjih yang paling lemah sekalipun— maka ia wajib mengambil dalil tersebut dan membuang yang lain, sebagaimana yang dijelaskan dalam kaidah ushul fikih. Dengan demikian, jika seorang mujtahid mengambil pendapat orang lain padahal dalil yang dipakai orang tersebut lemah menurut pendapatnya dan ia meninggalkan dalil yang ia kuatkan (tarfih) yang wajib ia ambil dan ikuti, maka ia telah bertentangan dengan kaidah yang berlaku.

Sebagian mereka memberikan jawaban kepadaku dengan jawaban yang bervariasi, akan tetapi aku menyarankan kepada salah seorang dari mereka (saudaraku, Abu Al Abbas bin Al Qabbab) untuk meneliti kembali. Beliau mengirim surat padaku yang isinya:

Kitab ini mengandung pembahasan tentang perlunya menanyakan kembali masalah perbedaan pendapat. Anda berpendapat bahwa lebih kuatnya salah satu di antara dua dalil yang ada dan mengutamakannya dari yang lainnya menyebabkan tidak berlakunya sama sekali dalil-dalil yang marjuh (lemah). Anda juga mengkritik keras perkataan seorang mufti yang pada awalnya mengatakan, "Ini tidak boleh." tapi setelah ia menyelaminya, Kitab ini mengandung pembahasan tentang perlunya menanyakan kembali masalah perbedaan pendapat. Anda berpendapat bahwa lebih kuatnya salah satu di antara dua dalil yang ada dan mengutamakannya dari yang lainnya menyebabkan tidak berlakunya sama sekali dalil-dalil yang marjuh (lemah). Anda juga mengkritik keras perkataan seorang mufti yang pada awalnya mengatakan, "Ini tidak boleh." tapi setelah ia menyelaminya,

Sudah sangat banyak pengertian tentang al istihsan sampai mereka berkata, "Pengertian yang paling mendekati kebenaran adalah, "Al istihsan adalah sesuatu yang ada dalam diri seorang mujtahid, yang susah untuk diungkapkan." Jika seperti ini pengertian al istihsan yang menjadi dasar atas berbagai macam masalah, maka bagaimana dengan masalah-masalah yang disandarkan padanya? Tentu sangat susah cakupannya.

Aku pernah berpendapat sebagaimana pendapat para ulama lainnya dalam masalah al istihsan dan masalah-masalah lain yang disandarkan padanya, akan tetapi karena ada hal-hal yang menguatkan tentang adanya al istihsan (seperti fatwa-fatwa para khulafaurrasyidin dan sahabat) tanpa adanya pengingkaran sama sekali dalam masalah ini, maka saya berpendapat dengan alistihsan. Inilah yang aku pegang dan yakini, karena kita memang disuruh untuk mengikuti dan mencontoh para sahabat.

Salah satu contohnya adalah tentang seorang wanita yang menikah dengan dua lelaki, sedangkan lelaki yang kedua tidak tahu bahwa wanita tersebut sudah menikah kecuali setelah menggaulinya. Umar, Mu'awiyah, dan Al Hasan berpendapat bahwa ia harus menceraikannya. Masalah ini mencakup semua perkara yang kalian pertanyakan, bahwa jika terbukti suami yang belum menggaulinya adalah suami yang pertama, maka berarti suami kedua telah menggauli istri orang lain. Bagaimana mungkin kelalaian yang ia lakukan membolehkan wanita tadi untuk tetap menjadi istrinya dan menganggap sah akad nikah yang ia lakukan, padahal ia menikahi istri Salah satu contohnya adalah tentang seorang wanita yang menikah dengan dua lelaki, sedangkan lelaki yang kedua tidak tahu bahwa wanita tersebut sudah menikah kecuali setelah menggaulinya. Umar, Mu'awiyah, dan Al Hasan berpendapat bahwa ia harus menceraikannya. Masalah ini mencakup semua perkara yang kalian pertanyakan, bahwa jika terbukti suami yang belum menggaulinya adalah suami yang pertama, maka berarti suami kedua telah menggauli istri orang lain. Bagaimana mungkin kelalaian yang ia lakukan membolehkan wanita tadi untuk tetap menjadi istrinya dan menganggap sah akad nikah yang ia lakukan, padahal ia menikahi istri

Kasus ini serupa dengan kasus seorang wanita yang suaminya hilang dalam tidak diketahui lobar beritanya. Jadi, suaminya kembali sebelum istrinya menikah lagi, maka suaminyalah yang berhak mendapatkan istrinya kembali. Namun, jika ia kembali setelah istrinya menikah lagi dan sudah digauli oleh suaminya yang baru, maka suami pertamanya harus menceraikan istrinya. Lain halnya jika suaminya tersebut kembali setelah istrinya menikah lagi namun belum digauli oleh suaminya yang baru, maka ada dua pendapat. Ada pendapat yang mengatakan bahwa istri harus melakukan iddah dari suaminya yang pertama. Apabila bisa dipastikan suaminya selamat (tidak melakukan seperti apa yang disangkakan) maka tidak boleh menikahi istrinya meskipun suaminya kembali sebelum istrinya nikah lagi. Demikian juga jika tidak ada kepastian tentang keselamatan si suami. Jadi, bagaimana mungkin wanita tadi boleh dinikahi lelaki lain, padahal ia masih menjadi istri tentang suaminya yang hilang?

Diriwayatkan dari Umar dan Utsman, mereka berkata, "Jika suami yang hilang kembali, maka ia diberi dua pilihan; istri atau mahar yang ia berikan pada istrinya. Jika si suami memilih mahar, maka si istri tetap menjadi istri dari suami yang baru."

Hal ini berlawanan dengan qiyas." Ibnu Abdul Barr men-shahih-kan penukilan pendapat ini dari Umar

dan Utsman. Ia juga menukil dari Ali RA bahwa ia pun berpendapat seperti ini dan menghukumi dengannya, meskipun pendapat yang masyhur dari beliau adalah tidak begitu. Demikian pula masalah-masalah yang terjadi di kalangan sahabat yang sangat banyak.

Ibnu Al Mu'adil berkata, "Jika ada dua orang memasuki waktu shalat, lalu salah seorang melakukan shalat dengan memakai baju yang terkena Ibnu Al Mu'adil berkata, "Jika ada dua orang memasuki waktu shalat, lalu salah seorang melakukan shalat dengan memakai baju yang terkena

Metode yang kalian sebutkan —bahwa perkara yang pada awalnya dilarang tidak dianggap— setelahnya dilaksanakan untuk kedua orang tersebut telah berlawanan dengan perkataan Ibnu Al Mu'adil, karena ia berpendapat bahwa orang yang melakukan shalat setelah habis waktunya hams mengqadha shalat yang ia lalaikan, sedangkan yang lain belum melaksanakan shalat sebagaimana yang diperintahkan dan tidak mengqadha shalat. Jadi, tidak semua perkara yang pada awalnya dilarang tidak dianggap setelah dilaksanakan.

Ad-Daruquthni men-shahih-kan hadits Abu Hurairah RA dari Nabi SAW, beliau bersabda,

"Seorang wanita tidak boleh menikahkan wanita lain, dan tidak juga seorang wanita menikahkan dirinya sendiri (nikah tanpa wall), karena pezina yang menikahkan dirinya (tanpa wall)."

Ia juga mengeluarkan hadits dari Aisyah RA yang berbunyi,

"Siapa pun wanita yang menikah tanpa izin walinya, maka nikahnya tidak sah." -Beliau mengatakannya sebanyak tiga kali— Jika suaminya telah menggaulinya maka ia berhak atas mahar, sebagai ganti dari "Siapa pun wanita yang menikah tanpa izin walinya, maka nikahnya tidak sah." -Beliau mengatakannya sebanyak tiga kali— Jika suaminya telah menggaulinya maka ia berhak atas mahar, sebagai ganti dari

menguatkannya tiga kali, serta menyebutnya sebagai zina, dan ini paling tidak menyebabkan tidak sahnya segala sesuatu yang terjadi setelah akad. Akan tetapi beliau SAW menutup sabdanya dengan sebuah pernyataan yang mengandung sahnya sesuatu yang terjadi setelah adanya jima',

"Dan ia berhak mendapat mahar sebagai ganti dari apa yang telah didapatkan suaminya (menggauli)."

Padahal, mahar seorang pezina adalah haram. Allah berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah

kamu melanggar syiar-syiar Allah" (Qs. Al MaaMdah [5]: 2) Dalam ayat ini Allah mengaitkan larangan atas pelanggaran tersebut

dengan keinginan mereka mencari keutamaan dan ridha Allah, padahal mereka kafir kepada-Nya, sehingga tidak dianggap sah ibadah mereka dan tidak diterima amal mereka. Meskipun hukum ini telah dihapus (di-naskh), namun tetapi bisa dijadikan dalil untuk masalah ini.

Salah satu contohnya adalah perkataan Abu Bakar RA, "Kamu akan mendapati sekelompok orang yang menganggap dirinya telah menghambakan diri kepada Allah (para pendeta), maka tinggalkanlah mereka dan ibadah mereka."

Oleh karena itu, tidak diperbolehkan menjadikan seorang pendeta sebagai tawanan (budak) dan perintah untuk membiarkan mereka dan peribadahannya —walaupun masih ada perselisihan dalam masalah ini—.

Tidak boleh pula menjadikan orang yang tidak ikut berperang sebagai tawanan (budak). Semua ini dilakukan karena mereka melakukan penghambaan kepada Allah -seperti anggapan mereka- dan ini adalah suatu bentuk ibadah kepada Allah SWT, meskipun dengan cara yang sangat salah dan keliru. Oleh karena itu, kita tidak boleh menilai salah ibadah seorang Tidak boleh pula menjadikan orang yang tidak ikut berperang sebagai tawanan (budak). Semua ini dilakukan karena mereka melakukan penghambaan kepada Allah -seperti anggapan mereka- dan ini adalah suatu bentuk ibadah kepada Allah SWT, meskipun dengan cara yang sangat salah dan keliru. Oleh karena itu, kita tidak boleh menilai salah ibadah seorang

Para ulama telah berbeda pendapat dalam masalah larangan dari syara'; apakah itu menjadikan sesuatu yang dilarang menjadi batal dan tidak sah? Hal ini telah dijelaskan oleh para ahli fikih dan ahli ushul. Lalu, bagaimana tidak dengan masalah ini?

Jika ada masalah yang diperselisihkan oleh para ulama, yang disandarkan pada dalil yang masih diperselisihkan, berarti masalah tadi keluar dari permasalahan yang ada, maka kita tinggal men-tarjih (menguatkan salah satu pendapat dari pendapat-pendapat yang ada) masalah-masalah yang seperti ini, lalu setiap orang akan men-tarjih pendapat yang ia pandang paling kuat.

Mungkin kita cukupkan pembahasan ini sampai di sini. Inilah yang ditulis oleh beliau kepadaku. Beliau telah menjelaskan secara

panjang lebar tentang dalil-dalil yang menguatkan adanya al istihsan. Tidak mungkin dengan ini semua, setiap orang boleh berpegang pada sesuatu yang ia anggap baik {al istihsan) tanpa menggunakan dalil sama sekali.